LAPORAN HASIL
KAJIAN TENTANG SISTEM PEMERINTAHAN
DESA DALAM PERSFEKTIF
UU NO.6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
DI SUMATERA UTARA
Kajian Bersama
Badan Penelitian Dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara
Dengan
Badan Penelitian Dan Pengembangan Hukum Dan HAM
Kementerian Hukum Dan HAM Republik Indonesia
KAJIAN TENTANG SISTEM PEMERINTAHAN DESA DALAM PERSFEKTIF UU NO.6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
DI SUMATERA UTARA Copyright©
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA JL. Sisingamangaraja No. 198, Medan
Tim Penyusun
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara
1. Dr. Iskandar Muda, SE, M.Si, Ak, CA 2. Drs. Darwin Lubis, MM
3. Kausar Abdi, SH, M.Pd 4. Anton Sinaga, ST 5. Silvia Darina, SP
6. Hebron Berlin Sembiring, S.Sos, MAP
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum Dan HAM
1. Y. Ambeg Paramarta, S.H., M.Si 2. RR. Risma Indriyani, S.H, M.Hum 3. Dra. Poerwati, M.Si
4. Donny Michael, S.H, M.H 5. Firdaus, S,Sos, M.H
6. Yuliana Primawardani, S.Sos, M.Si 7. Arief Rianto Kurniawan, S.H, M.Si 8. Oksimana Darmawan, SE, SH 9. Bambang Supriyadi, S.Sos., M.M 10.Anita Marianche, SH
Cetakan Pertama – 09 September 2016
ISBN : 979-458-912-8
DAFTAR ISI
Halaman :
Kata Pengantar i
Kata Sambutan iii
Daftar Isi iv
2.1.1. Pembangunan Perdesaan 11
2.1.2. Keuangan Daerah 14
2.1.3. Keuangan Desa 15
2.1.4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa 18
2.1.5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa 23
2.1.6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) 29
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu 34
2.3 Kerangka Pemikiran 36
BAB III METODE PENELITIAN 37
3.7. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen 39
3.8. Metode Analisis Data 41
3.9. Waktu Pelaksanaan Penelitian.. 41
3.10. Locus Penelitian 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 43
4.1. Hasil Penelitian 43
4.1.1. Karakteristik Responden 43
4.1.2. Statistik Frekuensi 44
4.1.3. Uji Asumsi Klasik 53
4.1.3.1.Hasil Uji Multikolineritas 55
4.1.3.2.Hasil Uji Heteroskedastisitas 56
4.2. Pengujian Hipotesis 57
4.3. Pembahasan 59
4.3.1. Langkah yang Diambil Pemerintah Provinsi/Kabupaten Menyediakan Dukungan Dana Untuk Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Desa Bagi Aparat Pemerintah Daerah terkait dan Pengawasan oleh Inspektorat Daerah
59
4.3.2. Langkah yang Diambil oleh Pemerintah Daerah bagi Menyusun Peraturan Bupati tentang Pengelolaan dan Pengendalian Tenaga Pendamping mencakup Tata Cara Rekrutmen, Kode Etik, Mekanisme Evaluasi Kinerja dan Sanksi
60
4.3.3. Langkah yang Diambil untuk Fungsi Evaluasi dan Pengawasan
Camat Kepada Desa 67
4.3.4. Langkah Pemerintah Daerah dalam Melaksanakan Pembinaan
dan Pendampingan dalam Penyusunan APBDesa 68
4.3.5. Langkah Pemerintah Daerah dalam Menyusun Pengaturan Besaran Pendapatan Tetap Perangkat Desa sebagai Acuan dalam Menetapkan Penghasilan Tetap Perangkat Desa
72
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 83
5.1 Kesimpulan 83
5.2 Rekomendasi Penelitian 85
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dan menganalisis (1) langkah yang diambil pemerintah provinsi/kabupaten menyediakan dukungan dana untuk peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan desa bagi aparat pemerintah daerah terkait, dan pengawasan oleh Inspektorat daerah. (2) Langkah yang diambil oleh pemerintah daerah bagi menyusun Peraturan Bupati tentang pengelolaan dan pengendalian tenaga pendamping, mencakup juga tata cara rekrutmen, kode etik, mekanisme evaluasi kinerja dan sanksi. (3) mengetahui langkah yang harus diambil bagi menyusun aturan yang memperjelas fungsi evaluasi dan pengawasan camat kepada desa, termasuk meminta Pemerintah Daerah untuk menyusun panduan evaluasi dan pengawasan oleh camat dan mekanisme pengaduan didesa, (4) Mengetahui langkah Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembinaan dan pendampingan dalam penyusunan APBDesa (5) Mengetahui langkah Pemerintah Daerah dalam menyusun pengaturan besaran pendapatan tetap perangkat desa sebagai acuan dasar setiap daerah dalam menetapkan penghasilan tetap perangkat desa, dan (6) mengetahui sejauhmana kesiapan Pemerintahan Desa dalam menyelenggarakan Sistem Pertanggungjawaban Dana Alokasi Desa berdasarkan Permendagri No.113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel terikat
(dependent variable) adalah Efektifitas Pengelolaan Keuangan Desa (Y) sedangkan sebagai variabel bebas (independent variable) adalah Pemahaman atas sistem keuangan dan aset desa (X1), Sistem Penyaluran Dana Desa (X2), Belanja
Desa (X3), Penyusunan APBDes (X4), Pelaporan & Pertanggungjawaban (X5),
Pengelolaan Keuangan Desa (X6), Pemahaman atas Mekanisme Pendirian dan
Pengelolaan BUMDEs (X7) dan Kebijakan Ekonomi, Politik dan Sosial (X8).
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu teknik analisis deskriptif dan uji Confirmatory Factor untuk mengukur instrument penelitian. Untuk menguji pengaruh digunakan uji regresi berganda (multiple regression). Jumlah sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 203 (dua ratus tiga) reponden yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa dan unsur pemerintahan desa lainnya. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemahaman atas sistem keuangan dan aset desa (X1), Sistem Penyaluran Dana Desa (X2), Belanja Desa (X3),
Penyusunan APBDes (X4), Pelaporan & Pertanggungjawaban (X5) dan
Pemahaman atas Mekanisme Pendirian dan Pengelolaan BUMDEs (X7)
berpengaruh signifikan terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan Desa (Y). variabel Pengelolaan Keuangan Desa (X6) dan Kebijakan Ekonomi, Politik dan
Sosial (X2) tidak berpengaruh positif terhadap Efektifitas Pengelolaan Keuangan
manajemen pemerintahan desa; 5. Melakukan pembinaan upaya percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis; 6. Melakukan bimbingan teknis bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota; 7. Melakukan inventarisasi kewenangan provinsi yang dilaksanakan oleh desa; 8. Melakukan pembinaan dan pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dalam pembiayaan desa; 9. Melakukan pembinaan terhadap kabupaten/kota dalam rangka penataan wilayah desa; 10. Membantu pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai desa; dan 11. Membina dan mengawasi penetapan pengaturan BUMDes kabupaten/kota dan lembaga kerja sama antar-desa yang belum optimal dan banyak belum terbentuk pada beberapa Kabupaten di Sumatera Utara. Selain itu dalam pengelolaan keuangan desa sangat terkait erat dengan hak asasi manusia (HAM). Dalam pengelolaan keuangan desa harus bersifat partisipatif, akuntabel, transparan, taat hukum, dan manfaat. Pengelolaan keuangan desa belum memnuhi syarat terutama pemenuhan kebutuhan masyarakat desa (dalam jangka pendek) dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat desa (dalam jangka panjang).
ABSTRACT
The purpose of this study is to examine and analyze (1) the steps taken by the provincial government / district provides funding support to increase the capacity of rural financial management for local government officials, and supervision by the Inspectorate area. (2) Steps taken by the government to draw up regulations concerning the management and control regent assistants, includes procedures for recruitment, code of ethics, performance evaluation mechanism and sanctions. (3) determine the steps to be taken to draw up rules that clarify the function of the evaluation and supervision of district head to the village, including asking local governments to develop evaluation guidelines and oversight by the district and complaints mechanisms village, (4) Knowing the step of local governments in implementing coaching and mentoring in the preparation of APBDesa (5) knowing the local government step in preparing setting the amount of the fixed income of the village as the basic reference of each area in the village establish regular income, and (6) determine the extent of readiness of the Village Administration in organizing the Accountability System Allocation Fund Village by regulation No. 113 of 2014 concerning Financial Management of the Village. Variables used in this research is the dependent variable (dependent variable) is the Effectiveness of Financial Management Desa (Y) while the independent variable (independent variable) is the understanding of the financial system and village assets (X1), System Disbursement Village (X2), Shopping Village (X3), Preparation APBDes (X4), Reporting & Accountability (X5), Financial Management village (X6), understanding of the mechanism Establishment and Management BUMDes (X7) and Economic Policy, Politics and Society (X8). Data analysis techniques in the study conducted by the two approaches, descriptive analysis techniques and test Confirmatory Factor to measure the research instrument. To test the effect of multiple regression test was used (multiple regression). Total sample used in this study was 203 (two hundred thirty) respondents were comprised of the village chief, secretary of the village and other villages of the government. The sampling technique in this study using purposive sampling method.
guidance specific field that can not be done by the local government district/city; 7. Conduct an inventory carried out by the provincial authority of the village; 8. guidance and supervision over the establishment of the Draft Budget of districts / cities in the financing of the village; 9. guidance to districts/cities in order structuring rural areas; 10. Assist the government in order to determine the customary law community unit as the village; and 11. To foster and oversee establishment BUMDes settings district/city and inter-agency cooperation village that is not optimal and many have not been formed in several regencies in North Sumatra.
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Responden Penelitian... 42
Tabel 4.2. Deskriptif Frekuensi Pemahaman Atas Sistem Keuangan dan Aset Desa (X1)... 43
Tabel 4.3. Deskriptif Frekuensi Sistem Penyaluran Dana Desa (X2)... 43
Tabel 4.4. Deskriptif Frekuensi Deskriptif Frekuensi Sistem Penyaluran Dana Desa (X3)... 45
Tabel 4.5. Deskriptif Frekuensi Belanja Desa (X4)... 46
Tabel 4.6. Deskriptif Frekuensi Penyusunan APBDes (X5)... 48
Tabel 4.7. Deskriptif Frekuensi Pelaporan & Pertanggungjawaban (X6)... 48
Tabel 4.8. Deskriptif Frekuensi Pengelolaan Keuangan Desa (X7)... 50
Tabel 4.9 Deskriptif Frekuensi Pemahaman atas Mekanisme Pendirian dan Pengelolaan BUMDEs (X8)... 50
Tabel 4.10 Deskriptif Frekuensi Pemahaman atas Mekanisme Pendirian dan Pengelolaan BUMDEs (X8)... 51
Tabel 4.11. Uji Multikolinearitas... 55
Tabel 4.12. Pengujian Goodness of Fit... 57
Tabel 4.13. Uji F... 57
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Pengelolaan Keuangan Desa... 17
Gambar 2.2. Skema APBDesa... 18
Gambar 2.3. Skema Pendapatan Asli Desa... 19
Gambar 2.4. Kelompok Pendapatan Asli Desa... 19
Gambar 2.5. Pertanggungjawaban APBDes... 22
Gambar 2.6. Kerangka Konseptual... 36
Gambar 4.1. Uji Normalitas Data dengan Histogram... 54
Gambar 4.2. Gambar Normal P-P Plot ... 54
DAFTAR LAMPIRAN
GLOSSARIUM
ADD = Alokasi Dana Desa
AMOS = Analysis of Moment Structural Equation Modelling APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBDesa = Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa BUMDEs = Badan Usaha Milik Desa
CFA = Confirmatory Factor Analysis
LPPD = Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa PADesa = Pendapatan Asli Desa Desa
RKPDes = Rencana Kerja Pembangunan Desa RKUD = Rekening Kas Umum Daerah RKUN = Rekening Kas Umum Negara
RPJM Desa = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa SiLPA = Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
SKPD = Satuan Kerja Perangkat Daerah SPM = Standar Pelayanan Minimal
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Desa merupakan wilayah yang terluas di Indonesia, bisa dikatakan bahwa
Indonesia dibangun dari desa. Desa merupakan pelopor sistem demokrasi yang
otonom semenjak zaman periode kolonialisasi dahulu, karena sejak lama desa
telah memiliki sistem dan mekanisme pemerintahan serta norma sosial menurut
budaya daerah masing-masing. Dapat dikatakan desa merupakan benih
pembentukan sebuah negara, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di
negara-negara lainnya. Tetapi ironisnya pembangunan daerah pedesaan di Indonesia
selalu terpinggirkan, karena kita lebih condong dalam pembangunan kawasan
perkotaan. Ini juga yang menyebabkan laju urbanisasi penduduk ke daerah
perkotaan.
Dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “dalam teritori
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali,
Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan lain sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Kesatuan Republik Indonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan
tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada susunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah, setelah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengaturan desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya
mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan
pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Lebih lanjut melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat
dipertegas melalui ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Sejarah pengaturan tentang desa, telah dikeluarkan beberapa peraturan,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang
Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Tanggal 15 Januari 2014 pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam konsideran UU tersebut diisampaikan
bahwa desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita
kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dalam perjalanan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan
pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera.
Desa menurut teks hukum Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa pada pasal 1 angka 1 memberikan batasan tentang desa sebagai berikut :
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari rumusan diatas terjawablah bahwa desa memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan
adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat.
Pasal 23 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan dengan
tegas bahwa pemerintahan desa diselenggarakan oleh pemerintah desa. Jelas
terjawab siapakah yang dimaksud pemerintah desa, maka dikembalikan pada
pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014, yakni pemerintah desa
adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu Perangkat Desa
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Sedangkan BPD kedudukannya
adalah hanya lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis. Kebijakan dasar dan strategi dalam pelaksanaan
tersebut perlu dirumuskan dalam Road map Implementasi pelaksanaan UU Desa.
Road map juga didasarkan pada PP No. 43 Tahun 2014, tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Strategi dalam mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pelaksanaan UU Desa perlu dijabarkan lebih luas dalam peraturan pelaksanaan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Permendagri, Perda, Perdes dan kebijakan
pendukung lainnya. Lebih lanjut strategi penyelenggaraan pembangunan desa juga
harus melihat dan mendukung persaingan ekonomi regional yang terealisasi dalam
bentuk Masyarakat Ekonomi Asean Tahun 2016 ini. Salah satu amanah dari UU
No. 6 tahun 2014 adalah kebijakan penyaluran dana desa yang bersumber dari
APBN ke seluruh desa di Indonesia. Dana desa yang ditransfer dari APBN
melalui APBD Kabupaten harus digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat di desa. Tahun 2015 merupakan tahun pertama
pelaksanaan penyaluran dana desa dengan alokasi anggaran mencapai Rp20,766
triliun yang akan disalurkan ke kurang lebih 74.093 desa di seluruh Indonesia.
Selain dana desa, desa juga memperoleh dana yang dikenal dengan Alokasi Dana
Desa (ADD) yang berasal dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diterima oleh Kabupaten. Potensi jumlah ADD yang mengalir ke
desa diperkirakan sekitar Rp 40 triliun s.d. Rp 50 triliun di tahun 2015 ini. Untuk
Provinsi Sumatera Utara, berdasarkan data Kepala Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Pemerintahan Desa (Bapemas Pemdes) Provinsi Sumatera Utara
bahwa Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana desa senilai Rp 3,293
Miliar pada tahun 2016. Jumlah dana tersebut meningkat sebesar dua kali lipat
Alokasi anggaran tersebut diperuntukan untuk 5.418 desa yang tersebar di
27 kabupaten di Sumatera Utara. Dari 27 kabupaten tersebut, terdapat lima
kabupaten yang mendapatkan dana terbesar dari kabupaten lainnya. Kelima
kabupaten tersebut adalah Kabupaten Nias Selatan dengan alokasi dana
Rp.272.337.292 untuk 459 desa, selanjutnya Kabupaten Deliserdang dengan
alokasi dana senilai Rp 237.763.644 untuk 380 desa, lalu Kabupaten Simalungun
senilai Rp.230.404.778 untuk 386 desa, Kabupaten Padang Lawas Utara
mendapatkan alokasi dana Rp 225.561.557.000 untuk 387desa, dan Kabupaten
Mandailing Natal mendapat alokasi dana senilai Rp 222.908.920 untuk 377 desa.
Tergambar bahwa saat ini desa akan mengelola sekurang-kurangnya dana
seperempat miliar per tahunnya. Untuk mengelolanya pemerintah merumuskan
berbagai kebijakan mulai perencanaan, pengalokasian, pelaksanaan maupun
monitoring dan evaluasinya.
1.2. Pokok Permasalahan
1. Langkah langkah apa yang diambil pemerintah Provinsi/Kabupaten
menyediakan dukungan dana untuk peningkatan kapasitas pengelolaan
keuangan desa bagi aparat pemerintah daerah terkait, dan pengawasan oleh
Inspektorat daerah?
2. Langkah langkah yang diambil oleh pemerintah daerah bagi menyusun
Peraturan Bupati tentang pengelolaan dan pengendalian tenaga pendamping,
mencakup juga tata cara rekrutmen, kode etik, mekanisme evaluasi kinerja
3. Langkah langkah yang harus diambil bagi menyusun aturan yang
memperjelas fungsi evaluasi dan pengawasan Camat kepada desa, termasuk
meminta pemerintah daerah untuk menyusun panduan evaluasi dan
pengawasan oleh Camat dan mekanisme pengaduan di desa?
4. Langkah langkah pemerintah daerah dalam melaksanakan pembinaan dan
pendampingan dalam penyusunan APBDesa?
5. Langkah langkah pemerintah daerah dalam menyusun pengaturan besaran
pendapatan tetap perangkat desa sebagai acuan dasar setiap daerah dalam
menetapkan penghasilan tetap perangkat desa?
6. Bagaimanakah kesiapan Pemerintahan Desa dalam menyelenggarakan Sistem
Pertanggungjawaban Dana Alokasi Desa berdasarkan Permendagri No.113
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa?
1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui langkah apa yang diambil pemerintah Provinsi/Kabupaten
menyediakan dukungan dana untuk peningkatan kapasitas pengelolaan
keuangan desa bagi aparat pemerintah daerah terkait, dan pengawasan oleh
Inspektorat daerah.
2. Mengetahui langkah yang diambil oleh pemerintah daerah bagi menyusun
Peraturan Bupati tentang pengelolaan dan pengendalian tenaga pendamping,
mencakup juga tata cara rekrutmen, kode etik, mekanisme evaluasi kinerja dan
3. Mengetahui langkah yang harus diambil bagi menyusun aturan yang
memperjelas fungsi evaluasi dan pengawasan Camat kepada desa, termasuk
meminta pemerintah daerah untuk menyusun panduan evaluasi dan
pengawasan oleh Camat dan mekanisme pengaduan didesa.
4. Mengetahui langkah pemerintah daerah dalam melaksanakan pembinaan dan
pendampingan dalam penyusunan APBDesa.
5. Mengetahui langkah pemerintah daerah dalam menyusun pengaturan besaran
pendapatan tetap perangkat desa sebagai acuan dasar setiap daerah dalam
menetapkan penghasilan tetap perangkat desa.
6. Mengetahui sejauhmana kesiapan Pemerintahan Desa dalam
menyelenggarakan Sistem Pertanggungjawaban Dana Alokasi Desa
berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa.
1.3.1. Sasaran Penelitian
1. Terumuskannya instrumen yang akan memberikan arahan skenario dan
tahapan proses dalam melakukan pencapaian pelaksanaan, pengintegrasian,
transisi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan mulai dari
preparasi, tindaklanjut preparasi, pemantapan, pengintegrasian dan transisi
program pemerintah daerah menjadi kebijakan pemerintah desa dalam
2. Terumuskannya dokumen Perencanaan Pembangunan Desa (RPJMDes dan
RKPDes), APBDes Partisipatif dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) Kades.
3. Terumuskannya kapasitas kelembagaan kemasyarakatan, desa dan
pemerintahan lokal/ daerah.
4. Mendorong kebijakan penyelarasan rencana dan penganggaran yang berbasis
Masyarakat Desa atau Swakelola Masyarakat.
5. Menjadikan kebijakan pengintegrasian satu perencanaan dan satu
penanggaran dengan RPJMDes dan RKPDes sebagai satu-atunya dokumen
perencanaan di tingkat desa yang diselaraskan dengan kebijakan strategis
pemerintah daerah dan nasional.
6. Menumbuhkembangkan perkembangan ekonomi perdesaan/lokal, Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), teknologi tepat guna, jejaring usaha antar desa,
dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2016.
7. Menyediakan tenaga pendamping desa profesional yang mempunyai
kompetensi khusus dalam mendukung perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi pembangunan desa dan kawasan perdesaan.
8. Memperkuat kebijakan dan intrumen pengendalian pembangunan desa dan
kawasan perdesaan khususnya kebijakan yang mendukung pelaksanaan UU
Desa.
9. Melihat kesiapan Pemerintahan Desa dalam menyelenggarakan Sistem
Pertanggungjawaban Dana Alokasi Desa berdasarkan Permendagri No.113
1.4.Ruang Lingkup
1. Mengkaji dan mengevaluasi kinerja aparat pemerintah desa.
2. Mengkaji rumusan dokumen Perencanaan Pembangunan Desa (RPJMDes dan
RKPDes), APBDes Partisipatif dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) Kades.
3. Mengkaji rumusan instrumen yang akan memberikan arahan skenario dan
tahapan proses dalam melakukan pencapaian pelaksanaan, pengintegrasian,
transisi kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan mulai dari
preparasi, tindaklanjut preparasi, pemantapan, pengintegrasian dan transisi
program pemerintah daerah menjadi kebijakan pemerintah desa dalam
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa.
4. Mengkaji perkembangan ekonomi perdesaan/lokal, Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes), teknologi tepat guna, dan jejaring usaha antar desa.
5. Mengkaji kesiapan Pemerintahan Desa atas implementasi Sistem
Pertanggungjawaban Dana Alokasi Desa berdasarkan Permendagri No.113
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Pembangunan Perdesaan
Pembangunan perdesaan mempunyai peranan penting dalam konteks
pembangunan nasional karena mencakup bagian terbesar wilayah nasional.
Sekitar 65% penduduk Indonesia bertempat tinggal didaerah perdesaan.
Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan daerah dan
pembangunan nasional yang dilaksanakan secara serasi, terpadu, secara
berdayaguna dan berhasilguna disetiap dan diseluruh kawasan perdesaan.
Kawasan perdesaan dicirikan dengan penduduknya bermukim di desa dan mata
pencaharian pada umumnya dari sektor pertanian, memiliki tingkat produktivitas
tenaga kerja yang relatif rendah, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya
kualitas pemukiman.
Permasalahan didalam pembangunan perdesaan adalah rendahnya aset
yang dikuasai masyarakat perdesaan, rendahnya akses masyarakat perdesaan ke
sumber-sumber daya ekonomi seperti lahan, modal, input produksi, keterampilan,
teknologi serta jaringan kerjasama. Di sisi lain rendahnya sarana prasarana yang
tersedia dan kualitas sumber daya manusia yang sangat rendah, lemahnya
kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat serta lemahnya koordinasi dalam
pengembangan kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan dilakukan dengan
pendekatan secara multisektoral (holistik), partisipatif, berlandaskan pada
melaksanakan pemanfaatan sumberdaya pembangunan secara serasi, selaras dan
sinergis sehingga tercapai optimalitas.
Sasaran pokok yang ingin dicapai dalam pembangunan desa adalah :
1. Terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
2. Meningkatnya kualitas dan kuantitas infrastruktur di kawasan perdesaan;
3. Tertatanya lingkungan pemukiman masyarakat perdesaan;
4. Meningkatnya akses kontrol dan partisipasi seluruh elemen masyarakat
perdesaan.
Pembangunan desa merupakan proses kegiatan untuk meningkatkan
keberdayaan dalam meraih masa depan yang lebih baik. Pengertian ini meliputi
upaya untuk memperbaiki keberdayaan masyarakat bahkan sejalan dengan era
otonomi, makna dari konsep hendaknya diperluas dengan peningkatan
keberdayaan masyarakat serta peningkatan patisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan. Masyarakat merupakan subjek pembangunan bukan objek
pembangunan yang mampu menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya yang
dimiliki dan mengarahkan proses pembangunan untuk peningkatan taraf
kehidupannya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan yang lebih
diprioritas kepada pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat atau
peningkatan pendapatan masyarakat desa dan menegakkan citra pemerintah
daerah dalam pembangunan.
Menurut Surjadi, pembangunan masyarakat desa adalah sebagai suatu
proses dimana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan
bersama untuk memenuhi keinginan mereka. Dan pembangunan masyarakat desa
menurut Tjokrowinoto (1999) dapat dilakukan berdasarkan 3 azas, diantaranya:
(1) azas pembangunan integral, (2) azas kekuatan sendiri, (3) azas pemufakatan
bersama. Azas pembangunan integral ialah pembangunan yang seimbang dari
semua segi masyarakat desa. Azas kekuatan sendiri adalah tiap-tiap usaha
pertama-tama harus berdasarkan kekuatan sendiri. Azas pemufakatan bersama
ialah pembangunan harus dilaksanakan secara benar untuk menjadi kebutuhan
masyarakat desa dan putusan untuk melaksanakan proyek bukan atas prioritas
atasan tetapi merupakan keputusan bersama anggota masyarakat desa.
Disamping itu strategi desa yang telah dikembangkan antara lain
pendekatan dari atas (top down), pendekatan dari bawah (bottom up) dan
pendekatan pengelolaan mandiri oleh masyarakat desa (community base
management). Pendekatan ‘top down’ dilaksanakan berdasarkan jalan pikiran
bahwa masyarakat desa adalah pihak yang bodoh dan belum dapat memikirkan
serta mengerjakan apa yang baik untuk mereka. Jadi semua segi kehidupan
dirancang dan diturunkan dari pemerintahan. Pendekatan ‘bottom up’
dilaksanakan dengan asumsi bahwa masyarakat desa telah memiliki kemampuan
untuk memikirkan dan mengerjakan kebutuhannya sendiri dan pemerintah hanya
turut serta dalam sistem administrasinya. Pendekatan ‘community base
management/pengelolaan berbasis masyarakat’ sebenarnya bukan gagasan baru
namun muncul dan digali dari masyarakat setempat yang diangkat dari praktek
masyarakat tradisional dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan
Taliziduhu Ndraha dalam Simanjuntak (2010) mengemukakan ciri-ciri dari
pembangunan desa sebagai berikut:
1. Adanya partisipasi aktif dari masyarakat desa yang bersangkutan dalam
proses pembangunan, tanpa partisipasi aktif masyarakat desa yang
bersangkutan pembangunan itu bukanlah pembangunan desa.
2. Proses pembangunan desa adalah usaha berencana dan diorganisasikan guna
membantu anggota masyarakat untuk mampu berpartisipasi aktif.
3. Membangun desa berarti membangun masyarakat, maka pembangunan
masyarakat berarti membangun swadaya dan mengintensifkan partisipasi
masyarakat.
Pembangunan memerlukan perencanaan karena kebutuhan pembangunan
lebih besar dari pada sumber daya yang tersedia. Melalui perencanaan
pembangunan ingin dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara efisien dan
efektif sesuai dengan kemampuan sehingga optimal dalam memanfaatkan sumber
daya yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada.
2.1.2. Keuangan Daerah
Pembangunan daerah sebagai integral dari pembangunan nasional yang
didasarkan pada prinsip otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya. Prinsip
otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas dan tanggungjawab yang
nyata kepada pemerintahan daerah secara proporsional. Dengan pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional baik berupa uang maupun
mengembangkan suatu sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah
yang adil. Sistem ini dilaksanakan untuk mencerminkan pembagian tugas
kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah secara transparan. Kriteria keberhasilan pelaksanaan sistem ini
adalah tertampungnya aspirasi semua warga dan berkembangnya partisipasi
masyarakat dalam pertanggungjawaban dan eksplorasi sumber daya yang ada
serta pengembangan sumber-sumber pembiayaan. Pemerintah daerah tidak akan
dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup
untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Keuangan inilah yang
merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan
daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, timbul hak
daerah yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem
pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan
subsistem dari pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam
pengelolaan pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Wujud
Pengelolaan Keuangan Daerah disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). APBD dibagi menjadi tiga bagian yaitu pendapatan, belanja dan
pembiayaan.
2.1.3. Keuangan Desa
Keuangan desa paralel dengan keuangan daerah karena daerah dan desa
penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan desa merupakan
subsistem dari pengelolaan keuangan daerah. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor
72 tahun 2005 tentang Desa, desa diberikan kewenangan antara lain :
1. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
2. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten; dan
4. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.
Di era otonomi sekarang ini, desa mempunyai kewenangan untuk
mengelola keuangannya secara otonom. Untuk itu, setiap desa memiliki
pemahaman atas potensi, permasalahan dan kebutuhan serta prestasinya. Untuk itu
setiap desa dituntut untuk lebih aktif menyusun rencana pembangunan dan
implikasi keuangannya sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Perencanaan dan penganggaran keuangan desa harus dituangkan secara
sistematis ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) sebagai
rencana keuangan tahunan pemerintahan desa. Penganggaran dalam APBDesa
harus disusun dengan mengacu kepada perencanaan yang telah ditetapkan.
Perencanaan pembangunan desa tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes) untuk masa 5 tahun dan dari RPJMDesa diturunkan
RPJMDes dan RKPDes menjadi dasar untuk penyusunan Rancangan APBDes
yang dilaksanakan secara partisipatif.
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa, bahwa ruang lingkup pengelolaan keuangan desa,
meliputi : a) hak desa untuk memperoleh pendapatan desa; b) kewajiban desa
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan desa; c) penerimaan desa; d)
pengeluaran desa dan e) kekayaan desa yang dikelola secara tersendiri. Sedangkan
azas pengelolaan keuangan desa dikelola secara tertib, taat peraturan
perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, akuntabel, partisipatif dan
bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat
untuk masyarakat yang dikelola dalam masa satu tahun anggaran. Skema
Pengelolaan Keuangan Desa :
PERENCANAAN
•Buku Kas PePerincian Objek Penerimaan
•Buku kas Perincian Objek Pengeluaran
•Buku Kas Harian Pembantu
•Buku Kas Pembantu Pajak
2.1.4. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
Kemampuan desa dalam menggali penerimaan dan membelanjakannya
secara eksplisit dapat dilihat dalam struktur APBDesa. Tujuan yang ingin dicapai
oleh pemerintah desa dapat dilihat dari jenis kegiatan maupun besaran biayanya.
Adapun skema APBDesa sebagai berikut :
Sumber : Panabulu Aliance (2015).
Gambar 2.2. Skema APBDesa
Struktur APBDesa terdiri dari Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan.
Pendapatan desa adalah segenap penerimaan desa yang sah dan dapat dinilai
dengan uang, dan merupakan hak pemerintah desa yang diakui sebagai penambah
1. Pendapatan Asli Desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil
swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli
desa yang syah. Hal tersebut terdapat pada Gambar berikut :
Sumber : Panabulu Aliance (2015).
Gambar 2.3. Skema Pendapatan Asli Desa
Kelompok Pendapatan Asli Desa (PADes) terdapat pada gambar berikut :
Sumber : Panabulu Aliance (2015).
2. Bagi hasil pajak dan retribusi daerah Kabupaten merupakan sumber
pendapatan desa yang berasal dari Kabupaten;
3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
Kabupaten atau dikenal dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Tujuan
pemberian adalah a) membiayai program pemerintah desa dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat; b)
meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan
pelayanan, pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
seseuai kewenangannya; c) meningkatkan kemampuan lembaga
kemayarakatan, d) meningkatkan pendapatan, kesempatan bekerja dan
kesempatan berusaha, e) mendorong peningkatan swadaya gotong-royong
masyarakat.
4. Bantuan keuangan pemerintah, pemerintah Provinsi dan pemerintah
Kabupaten. Tujuan pemebrian bantuan keuangan adalah a) mendukung
percepatan pembangunan masyarakat desa; b)mengurangi ketimpangan
keuangan antar desa; c)membiayai pelaksanaan tugas pembantuan.
5. Hibah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat dapat diperoleh
melalui hasil kerjasama antara pemerintah desa dengan pihak ketiga dalam
mengelola usaha-usaha perekonomian tertentu, atau dapat berbentuk hadiah,
donasi, wakaf, hibah dan lain-lain.
Sedangkan belanja desa adalah kewajiban pemerintah desa yang diakui
1. Belanja langsung, merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari: a) belanja pegawai, untuk pengeluaran
honorarium/upah dalam melaksanakan program/kegiatan desa; b) belanja
barang dan jasa, digunakan untuk pengeluaran pembelian/pengadaan barang
yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan dan c) belanja modal, digunakan
untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari
12 bulan dalam kegiatan pemerintahan.
2. Belanja tidak langsung, merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait
secara langsung dengan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak
langsung terdiri dari: a) belanja pegawai, dalam bentuk penghasilan tetap
berupa gaji dan tunjangan Kepala desa dan Perangkat desa; b) belanja subsidi,
digunakan untuk bantuan biaya produksi kepada lembaga yang ada di desa; c)
belanja hibah, digunakan untuk pemberian hibah dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa kepada pemerintah desa lainnya dan kelompok
masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya;
d) belanja bantuan sosial, digunakan untuk pemberian bantuan dalam bentuk
uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat; e) belanja bantuan keuangan, digunakan untuk
pemberian bantuan keuangan kepada pemerintah desa lainnya dalam rangka
terduga, digunakan untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak
diharapkan berulang.
Dan pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali oleh pemerintah desa baik pada
tahun anggaran yang bersangkutana maupun pada tahun-tahun anggaran
berikutnya, terdiri dari :
1. Penerimaan pembiayaan terdiri dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
(SiLPA) tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan
kekayaan desa yang dipisahkan, penerimaan pinjaman; dan
2. Pengeluaran pembiayaan terdiri dari pembentukan dana cadangan, penyertaan
modal desa, pembayaran utang.
Secara berkala penggunaan APBDes dilakukan pertanggungjawaban dengan
skema pemangku kepentingan sebagai berikut :
Dengan demikian bentuk pertanggungjawaban APBDes dilakukan secara
berkala kepada Bupati/Walikota dengan menyusun Laporan Semester Pertama
paling lambat akhir Juli tahun berjalan dan Laporan Semester Akhir Tahun yang
disampaikan Januari pada tahun berikutnya kepada pemerintah daerah setempat
dan kepada masyarakat luas.
2.1.5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo pada tanggal 31 Desember 2014 ini sekaligus mencabut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa. Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang baru ini
dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 106 Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
Dasar dikeluarkannya Permendagri tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Nomor 113 tahun 2013 adalah (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang
Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia
5539); dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa
Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5558);
Permendagri Pengelolaan Keuangan Desa terdiri dari Bab-bab tentang
Ketentuan Umum, Asas Pengelolaan Keuangan Desa, Kekuasaan Pengelolaan
Keuangan Desa, APBDes, Pengelolaan, Pembinaan dan Pengawasan. Ketentuan
Umum pada Bab I Pasal 1 meliputi 23 pengertian istilah yang ada dalam
Permedagri Nomor 113 tahun 2014 ini:
Dalam Peraturan Menteri ini dijelaskan beberapa hal antara lain:
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
4. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain
dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
5. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.
6. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai
dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
7. Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan
pertanggungjawaban keuangan desa.
8. Rencana Kerja Pemerintah Desa, selanjutnya disebut RKPDesa, adalah
penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disebut APBDesa,
adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa.
10.Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten dan digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan
11.Alokasi Dana Desa, selanjutnya disingkat ADD, adalah dana perimbangan
yang diterima Kabupaten dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
12.Kelompok transfer adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten.
13.Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa adalah Kepala Desa
atau sebutan nama lain yang karena jabatannya mempunyai kewenangan
menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan desa.
14.Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa yang selanjutnya disingkat
PTPKD adalah unsur perangkat desa yang membantu Kepala Desa untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan desa.
15.Sekretaris Desa adalah bertindak selaku koordinator pelaksanaan
pengelolaan keuangan desa.
16.Kepala Seksi adalah unsur dari pelaksana teknis kegiatan dengan
bidangnya.
17.Bendahara adalah unsur staf sekretariat desa yang membidangi urusan
administrasi keuangan untuk menatausahakan keuangan desa.
18.Rekening Kas Desa adalah rekening tempat menyimpan uang
Pemerintahan Desa yang menampung seluruh penerimaan Desa dan
digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran Desa pada Bank yang
19.Penerimaan Desa adalah Uang yang berasal dari seluruh pendapatan desa
yang masuk ke APBDesa melalui rekening kas desa.
20.Pengeluaran Desa adalah Uang yang dikeluarkan dari APBDesa melalui
rekening kas desa.
21.Surplus Anggaran Desa adalah selisih lebih antara pendapatan desa dengan
belanja desa.
22.Defisit Anggaran Desa adalah selisih kurang antara pedapatan desa dengan
belanja desa.
23.Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SILPA
adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama
satu periode anggaran.
24.Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
Untuk pasal 35 dan pasal 36 pada Permendagri Nomor 113 Tahun 2014
Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, berisi tentang penatausahaan keuangan
desa. Selanjutnya pada pasal 37 menjadi bagian keempat yang memuat tentang
pelaporan.
x Pasal 24
o Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan
APBDesa kepada Bupati/Walikota berupa:
b) laporan semester akhir tahun.
o Laporan semester pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a berupa laporan realisasi APBDesa
o Laporan realisasi pelaksanaan APBDesa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a disampaikan paling lambat pada akhir bulan
Juli tahun berjalan
o Laporan semester akhir tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun
berikutnya.
x Pertanggungjawaban
Bagian kelima berisi mengenai pertanggungjawaban yang diatur dalam
pasal 38 hingga pasal 43.
x Pembinaan dan Pengawasan
x Pasal 44
o Pemerintah Provinsi wajib membina dan mengawasi pemberian
dan penyaluran Dana Desa, Alokasi Dana Desa, dan Bagi hasil
Pajak dan Retribusi Daerah dari Kabupaten kepada Desa.
o Pemerintah Kabupaten wajib membina dan mengawasi
x Pasal 45
o Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Desa, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
x Pasal 46
o Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Hal ini merupakan hal penting karena berhubungan dengan uang, dimana
akuntabilitas dan transparansi harus diterapkan demi mendapatkan keadilan dan
kesejahteraan bersama, baik pihak pemerintah pun warganya. Karena itu,
seyogyanya ada banyak pihak yang tetap kritis dalam merunut hal-hal yang telah
diatur tersebut agar tak terjadi penyimpangan di kemudian hari.
2.1.6. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah lembaga usaha desa yang
dikelola oleh masyarakat dan pemerintahan desa dalam upaya memperkuat
perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi desa.
BUMDes menurut Undang-undang nomor 8 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Desa Pasal 87 dan Pasal 88 didirikan antara lain dalam rangka peningkatan
Pendapatan Asli Desa (PADesa). Berangkat dari cara pandang ini, jika
mendorong setiap Pemerintah Desa memberikan "goodwill" dalam merespon
pendirian BUMDes. Sebagai salah satu lembaga ekonomi yang beroperasi
diperdesaan, BUMDes harus memiliki perbedaan dengan lembaga ekonomi pada
umumnya. Ini dimaksudkan agar keberadaan dan kinerja BUMDes mampu
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan warga
desa. Disamping itu, supaya tidak berkembang sistem usaha kapitalistis di
perdesaan yang dapat mengakibatkan terganggunya nilai-nilai kehidupan
bermasyarakat.
Terdapat 7 (tujuh) ciri utama yang membedakan BUMDes dengan lembaga
ekonomi komersial pada umumnya yaitu:
1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama;
2. Modal usaha bersumber dari desa (51%) dan dari masyarakat (49%)
melalui penyertaan modal (saham atau andil).
3. Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar pada
budaya lokal (local wisdom)
4. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi
pasar;
5. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa (village
policy);
6. Difasilitasi oleh Pemerintah, Pemprov Sumut, Pemerintah Kabupaten, dan
Pemdes;
7. Pelaksaan operasionalisasi dikontrol secara bersama (Pemdes, BPD,
BUMDes sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas
inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modal
usaha BUMDes harus bersumber dari masyarakat. Meskipun demikian, tidak
menutup kemungkinan BUMDes dapat mengajukan pinjaman modal kepada
pihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak
ketiga. Ini sesuai dengan peraturan per undang-undangan (UU 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 213 ayat 3). Penjelasan ini sangat penting
untuk mempersiapkan pendirian BUMDes, karena implikasinya akan bersentuhan
dengan pengaturannya dalam Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Desa
(Perdes).
a. Tujuan Pendirian BUMDes
Empat tujuan utama pendirian BUMDes adalah:
1) Meningkatkan perekonomian desa;
2) Meningkatkan pendapatan asli desa;
3) Meningkatkan pengolahan potensi desa sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
4) Menjadi tulang punggung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi
perdesaan.
Pendirian dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah
merupakan perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif desa yang dilakukan
secara kooperatif, partisipatif, emansipatif, transparansi, akuntabel, dan
sustainable. Oleh karena itu, perlu upaya serius untuk menjadikan pengelolaan
mandiri.
Untuk mencapai tujuan BUMDes dilakukan dengan cara memenuhi
kebutuhan (produktif dan konsumtif) masyarakat melalui pelayanan distribusi
barang dan jasa yang dikelola masyarakat dan Pemdes. Pemenuhan kebutuhan ini
diupayakan tidak memberatkan masyarakat, mengingat BUMDes akan menjadi
usaha desa yang paling dominan dalam menggerakkan ekonomi desa. Lembaga
ini juga dituntut mampu memberikan pelayanan kepada non anggota (di luar desa)
dengan menempatkan harga dan pelayanan yang berlaku standar pasar. Artinya
terdapat mekanisme kelembagaan/tata aturan yang disepakati bersama, sehingga
tidak menimbulkan distorsi ekonomi di perdesaan disebabkan usaha yang
dijalankan oleh BUMDes.
Dinyatakan di dalam undang-undang bahwa BUMDes dapat didirikan sesuai
dengan kebutuhan dan potensi desa. Apa yang dimaksud dengan "kebutuhan dan
potensi desa" adalah:
a. Kebutuhan masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok;
b. Tersedia sumberdaya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal
terutama kekayaan desa dan terdapat permintaan di pasar;
c. Tersedia sumberdaya manusia yang mampu mengelola badan usaha
sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat;
d. Adanya unit-unit usaha yang merupakan kegiatan ekonomi warga
masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi;
BUMDes merupakan wahana untuk menjalankan usaha di desa. Apa yang
ekonomi desa seperti antara lain:
a. Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha
sejenis lainnya;
b. Penyaluran sembilan bahan pokok ekonomi desa;
c. Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, perikanan, dan agrobisnis;
d. Industri dan kerajinan rakyat.
Keterlibatan pemerintah desa sebagai penyerta modal terbesar BUMDes
atau sebagai pendiri bersama masyarakat diharapkan mampu memenuhi Standar
Pelayanan Minimal (SPM), yang diwujudkan dalam bentuk perlindungan
(proteksi) atas intervensi yang merugikan dari pihak ketiga (baik dari dalam
maupun luar desa). Demikian pula, pemerintah desa ikut berperan dalam
pembentukan BUMDes sebagai badan hukum yang berpijak pada tata aturan
perundangan yang berlaku, serta sesuai dengan kesepakatan yang terbangun di
masyarakat desa. Pengaturan lebih lanjut mengenai BUMDes diatur melalui
Peraturan Daerah (Perda) setelah memperhatikan peraturan di atasnya. Melalui
mekanisme "self help" dan "member-base", maka BUMDes juga merupakan
perwujudan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan, sehingga tidak
menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh kelompok tertentu ditingkat
desa. Artinya, tata aturan ini terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang solid.
Penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian Thomas (2013) menunjukkan bahwa pengelolaan Alokasi Dana
Desa (ADD) dalam pembangunan yang dilaksanakan dan dirangkai dari
tahap-tahapan pelaksanaan kegiatan didalam mengalokasikan semua dana desa yang
mana dana tersebut berasal dari anggaran alokasi dana desa. Berdasarkan
Peraturan Bupati Tana Tidung tentang pengelolaan alokasi dana desa dalam
wilayah Kabupaten Tana Tidung Provinsi Kalimantan Timur telah ditetapkan
bahwa tujuan dana ADD tersebut untuk 30% pelaksanaannya pada kegiatan
belanja aparatur dan operasional dan 70% pelaksanaannya untuk kegiatan belanja
publik dan pemberdayaan masyarakat. 30% dari dana ADD berjalan sesuai
dengan petunjuk dan 70% dari ADD berjalan kurang optimal karena lebih
direalisasikan pada pembangunan fisik pada tahun 2010 dan 2011 sedangkan
untuk tahun 2012 lebih kepada pengadaan barang. Rendahnya sumber daya
manusia aparat desa dan kurangnya koordinasi tentang pengelolaan ADD menjadi
hambatan dalam prose pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Sebawang.
Penelitian Suriadi et al (2015) yang berjudul Model Aplikatif
Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDEs) di Sumatera Utara dengan
jenis riset ini adalah kualitatif. Sampel penelitian ini dilakukan pada Desa Rawang
Pasar V dan Desa Air Joman Baru dan Desa Marjanji Aceh dan Desa Loburapa
Kecamatan Aek Songsongan Kabupaten Asahan – Sumatera Utara – Indonesia.
Metode riset ini dilakukan dengan Focus Group Discussion. Hasil kajian
dilapangan bahwa terbentuknya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) hasil dari
dengan peranan Perguruan Tinggi sebagai lembaga sosial ekonomi pedesaan
BUMDes diharapkan mampu memberdayakan dan meningkatkan perekonomian
desa, meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes), meningkatkan pengolahan
potensi desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menjadi tulang punggung
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pedesaan.
Riset Anwar dan Jatmiko pada tahun 2015 menyimpulkan bahwa
pemerintahan desa telah melakukan kegiatan pembangunan desa secara efisien
dan efektif serta tetap memanfaatkan keuangan secara tepat. Hubungan Equity
dengan Efficiency dan Efectiveness cukup kuat, peneliti dapat menjelaskan bahwa
pemerintahan desa telah memperhatikan kesejahteraan desa serta dalam
2.3. Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka konseptual penelitian ini adalah :
Gambar 2.6. Kerangka Penelitian Sistem Penyaluran Dana Desa
(X2)
Efektifitas Pengelolaan Keuangan Desa
Pemahaman atas sistem keuangan dan aset desa (X1)
Penyusunan APBDes (X4)
Pelaporan & Pertanggungjawaban APBDes (X5)
Belanja Desa (X3)
Pengelolaan Keuangan Desa (X6)
Pemahaman atas Mekanisme Pendirian dan Pengelolaan
BUMDEs (X7)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan dan Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah survey. Data penelitian yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder. Pengambilan data sekunder menggunakan
teknik dokumentasi dan pengumpulan data primer menggunakan instrumen
kuesioner dan wawancara. Kuesioner dan daftar pertanyaan yang digunakan oleh
Tim Peneliti dirancang berdasarkan permasalahan dan teori yang terkait.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan data primer yang berupa hasil survey lapangan
pada 29 (desa) di Provinsi Sumatera Utara yang tersebar pada beberapa
Kabupaten dengan melibatkan 203 responden perangkat desa yang terdiri dari
Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Bendahara Desa.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perangkat Desa pada beberapa
Kabupaten di Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
purposive random sampling, yaitu pengambilan sampel dengan kriteria tertentu.
Ukuran sampel minimal dalam penelitian ini adalah sebanyak responden
perangkat desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Bendahara
Desa dari Desa Puji Mulyo Kabupaten Deli Serdang, Desa Sei Putih Kabupaten
Kabupaten Asahan, Kelurahan Parapat Kabupaten Simalungun dan Desa Sei
Bahari Kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya jumlah sampel minimum tersebut
dialokasikan ke dalam tiap SKPD dengan menggunakan prinsip alokasi
proporsional dari rumus Yamane.
3.4.Varibel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah :
1. Pemahaman atas sistem keuangan dan aset desa (UU No. 6 Tahun 2014 Bab
VIII Pasal 71 – 75).
2. Pemahaman atas Pengalokasian Bersumber dari APBN dan APBD,
Penyaluran, Belanja Desa, APBDes, Pelaporan & Pertanggungjawaban
(Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 Bab VI Pasal 90 – 105).
3. Pemahaman atas Pengelolaan Keuangan Desa (Permendagri No 113 Tahun
2014).
4. Pemahaman atas Mekanisme Pendirian dan Pengelolaan BUMDEs (UU No.6
Tahun 2014 Pasal 87-88).
Definisi operasional dari masing-masing variabel pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Tabel. 3.1. Definisi Operasional Variabel
Variabel keuangan dan aset desa
(X1)
Pemahaman atas sistem keuangan berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Bab VIII Pasal 71 – 75
Interval Skala Likert
Sistem Penyaluran Dana Desa (X2)
Pemahaman berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 Bab VI Pasal 90 – 105
Interval Skala Likert
Belanja Desa (X3) Pemahaman berdasarkan atas
Peraturan Pemerintah No. 43 tahun
2014 Bab VI Pasal 90 – 105
Penyusunan APBDes (X4)
Pemahaman berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 Bab VI Pasal 90 – 105
Interval Skala Likert
Pelaporan & Pertanggungjawaban
(X5)
Pemahaman berdasarkan atas Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014 Bab VI Pasal 90 – 105
Interval Skala Likert
Pengelolaan Keuangan Desa (X6)
Pemahaman berdasarkan atas Permendagri No 113 Tahun 2014
Interval Skala Likert
Pemahaman atas Mekanisme Pendirian
dan Pengelolaan BUMDEs (X7)
Pemahaman atas sistem keuangan berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 Bab IX Pasal 87 – 88
Interval Skala Likert
Kebijakan Ekonomi, Politik dan Sosial (X8)
Faktor kondisi ekonomi dan perkembangan dinamika sosial
Interval Skala Likert
Efektifitas Pengelolaan Keuangan Desa (Y)
Pemahaman pengelola atau officer Pemerintahan Desa atas efektifitas manajemen keuangan desa.
Interval Skala Likert
3.5.Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua data yaitu data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik kuisioner ataupun wawancara.
3.6.Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan
yaitu teknik analisis deskriptif dan uji Confirmatory Factor untuk mengukur
instrument penelitian. Untuk menguji pengaruh digunakan uji regresi berganda
(multiple regression).
3.7. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen
3.7.1. Uji Validitas Instrumen
Validitas data penelitian ditentukan oleh proses pengukuran yang akurat.
Suatu instrumen pengukur dikatakan valid jika instrumen tersebut mengukur apa
mengukur construct sesuai dengan yang diharapkan peneliti. Ghozali (2005)
menyatakan bahwa untuk mengukur validitas dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu :
1. Melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk
atau variabel.
2. Uji validitas dapat juga dilakukan dengan melakukan korelasi bivariate antara
masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk.
3. Uji dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Pengujian validitas kuisioner dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengkorelasikan antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau
variabel.
3.7.2. Uji Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang
merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan
reliabel atau handal jika jawaban dari responden terhadap pertanyaan adalah
konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Jawaban responden terhadap
pertanyaan dikatakan reliabel jika masing-masing pertanyaan dijawab secara
konsisten.
Ghozali (2005) menyatakan bahwa pengukuran reliabilitas dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu :
1. Repeated Measure atau pengukuran ulang dilakukan dengan cara memberikan
2. One Shot atau pengukuran sekali saja dilakukan dengan cara hanya sekali saja
kuesioner diberikan kepada responden dan kemudian hasilnya dibandingkan
pertanyaan lain atau mengukur korelasi antar jawaban pertanyaan.
Pengujian reliabilitas kuisioner dalam penelitian ini menggunakan one shot
atau pengukuran sekali saja dan untuk pengujian reliabilitasnya digunakan uji
statistik Cronbach Alpha. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika
memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,60.
3.8. Metode Analisis Data
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
dana analisa kualitatif yang menyatakan instensitas yaitu teknik mean, median,
nilai maximum, nilai minimum dan standar deviasi dari butir-butir pertanyaan.
3.9. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian terbagi atas :
No Jenis Pekerjaan Bulan
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima Keenam
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
4 Penyusunan draft proposal
x X
5 Rapat draft proposal x
6 Perbaikan draft proposal
x
7 Pengambilan data lapangan
10 Penyusunan draft lap. Akhir
x x x
11 Rapat draft lap.akhir x
12 Perbaikan draft lap.akhir
x x x
3.10. Locus Penelitian
Daerah yang menjadi focus penelitian adalah wilayah pedesaan pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Kota di Sumatera Utara.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Karakteristik Responden
Adapun responden penelitian ini terdiri dari responden perangkat desa
yaitu Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Bendahara Desa dari Desa Puji Mulyo
Kabupaten Deli Serdang, Desa Sei Putih Kabupaten Batubara, Desa Aek Sagala
Kabupaten Tapanuli Selatan, Desa Marjanji Aceh Kabupaten Asahan, Kelurahan
Parapat Kabupaten Simalungun dan Desa Sei Bahari Kabupaten Deli Serdang.
Adapun:
Tabel 4.1. Responden Penelitian
Jenis Kelamin Total
Laki-Laki 99
4.1.2. Statistik Frekuensi
Statistik frekuensi atas jawaban responden disajikan pada Tabel 4.2
berikut :
Tabel 4.2. Deskriptif Frekuensi Pemahaman Atas Sistem Keuangan dan Aset Desa (X1)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Tabel 4.3 Deskriptif Frekuensi Sistem Penyaluran Dana Desa (X2)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
2,0 57 28,1 28,1 39,9
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
spdd7
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Sumber : Hasil Output SPSS. (2016).
Tabel 4.4. Deskriptif Frekuensi Sistem Penyaluran Dana Desa (X3)
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent