• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan lokasi dan Unit Analisis Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penetapan lokasi dan Unit Analisis Penelitian"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PRODUKTIVITAS BACKYARD HATCHERY MENDUKUNG

PENINGKATAN PRODUKSI UDANG VANAME

Lies Emmawati Hadie*, Rasidi, Wartono Hadie Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya

*E-mail : ema_hadi@yahoo.com

Abstrak: Produksi udang nasional ditargetkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mencapai 755.506 ton pada tahun 2015, sebagian besar dari target tersebut di dominasi oleh udang vaname. Kendala krusial yg perlu segera mendapat perhatian adalah masalah ketersediaan benih unggul dalam jumlah yg mencukupi kebutuhan. Total kebutuhan benih secara nasional adalah sebesar + 89,0 milyar , untuk dapat memenuhi target produksi yang telah dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Faktanya kebutuhan benih baru tercukupi sekitar 40 – 50 %, artinya supply- demand tidak berimbang. Kajian dilaksanakan melalui survey ke sentra budidaya udang. Survey dilakukan dengan metode Rapid Rural Appraisal dan Participatory Rapid Appraisal. Lokasi yg di survey adalah provinsi Jawa Barat , Jawa Tengah , Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan di provinsi dan kabupaten Bandung, Karawang, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sidoarjo, dan Makassar. Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi backyard hatchery yang mencapai 83.0% dalam menghasilkan benih udang vaname di tingkat nasional. Backyard hatchery umumnya dimiliki oleh pengusaha dengan modal terbatas. Untuk dapat meningkatkan produksi benih dengan mutu yang baik, perlu didorong untuk menerapkan Cara Perbenihan yang Baik secara bertahap dibawah bimbingan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Badan Pengembangan Sumberdaya Daya Manusia dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan–KKP, sehingga backyard hatchery tersebut dapat memperoleh sertifikasi. Sertifikat cara pembenihan ikan yang baik (CPIB) pada backyard hatchery akan menjadi jaminan atas produksi benih udang vaname yang berkualitas unggul dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan, sehingga dapat dicapai target produksi udang nasional sesuai yang telah dicanangkan oleh KKP.

Kata Kunci: benih unggul, backyard hatchery, udang vaname, produktivitas.

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi udang cenderung meningkat pada tahun 2015, hal ini terlihat dari meningkatnya budidaya udang intensif pada tahun 2014. Kondisi ini terjadi karena harga udang yang tinggi di pasar internasional yang mendorong perluasan budidaya udang di tambak (KKP, 2014b).

Produksi udang nasional ditargetkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mencapai 755.506 ton pada tahun 2015, sebagian besar dari target tersebut di dominasi oleh udang vaname. Dari data sementara KKP, produksi total udang nasional mencapai 592.219 ton dengan komoditas udang vaname sebesar 70 %, udang windu 21 % dan udang lainnya 9 %. Sementara target produksi udang tahun ini sebesar 755.506 ton. Dalam rangka mendukung realisasi target produksi udang

(2)

perlunya program penyediaan induk udang yang akan mendorong produktivitas dalam negeri (KKP, 2014b) .

Kendala krusial yg perlu segera mendapat perhatian adalah masalah ketersediaan benih unggul dalam jumlah yg mencukupi kebutuhan. Total kebutuhan benih secara nasional adalah sebesar + 89,0 milyar , untuk dapat memenuhi target produksi yang telah dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tambak (KKP, 2014b). Faktanya kebutuhan benih baru tercukupi sekitar 40 – 50 %, artinya supply- demand tidak berimbang. Oleh karean itu diperlukan kajian untuk mengevaluasi produktivitas backyard hatchery guna mendukung peningkatan produksi udang vaname.

METODE PENELITIAN Metode Penelitian

Kegiatan dilaksanakan dengan metode Rapid Rural Appraisal dan Participatory Rapid Appraisal yaitu dengan melakukan pengumpulan data pokok dan informasi kualitatif dan kuantitatif tentang produksi benih udang secara komprehensif (Townsley,1999). Metode untuk pengambilan responden menggunakan metode snowball sampling yakni dengan menentukan sampel awal kemudian menentukan sampel berikutnya berdasarkan informasi yang diperoleh .

Penetapan lokasi dan Unit Analisis Penelitian

Penelitian dilaksanakan di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penelitian dan pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus – November 2014. Lokasi yang dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa provinsi tersebut merupakan sentra backyard hatchery udang vaname.

Jenis dan Sumber Data

Sifat data yang digunakan berupa data kualitatif dan kuantitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden, dan data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan di provinsi dan kabupaten Bandung, Karawang, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sidoarjo, dan Makassar. Data sekunder yang dimaksud berupa laporan-laporan dari Dinas Kelautan dan Perikanan serta penelitian-penelitian yang terkait.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(3)

Gambar 1. Persentase asal induk udang yg dibutuhkan oleh hatchery di tingkat nasional (KKP,2012)

Kendala yang umumnya dihadapi oleh hatchery – hatchery udang skala besar maupun backyard hatchery adalah pemeliharaan stock induk berkualitas prima dalam jumlah yg relatif besar. Faktor ini merupakan salah satu faktor penting, selain pola manajemen induk yg menentukan tercapainya target produksi benih yg telah ditetapkan. Aspek genetik dalam manajemen induk udang merupakan hal penting, sebab sifat genetika pada populasi induk merupakan potensi gen yang akan dikelola dan di eksploitasi untuk menghasilkan benih udang yg berkualitas prima. Jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka target produksi benih sulit untuk dicapai secara maksimal. Salah satu contoh adalah kapasitas produksi benih udang pada broodstock center di Karangasem, Bali yg hanya mampu mencapai 50 % dari potensi produksi sebesar 300.000 ekor per tahun, dan broodstock center Situbondo yang mampu mencapai 71.4 % dalam menghasilkan induk udang. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian serius, karena kebutuhan induk secara nasional adalah sebesar 2.600.000 ekor. Hal ini berarti bahwa private sector mempunyai kontribusi yang cukup besar dibandingkan dengan broodstock center milik pemerintah. Informasi dari beberapa sumber menunjukkan peran penting dari private sector dalam produksi induk udang yg menghasilkan + 81 % dari total induk udang lokal (Gambar 2).

Gambar 2 Produksi induk udang pada private sector dan broodstock center tahun 2014 (DJPB, 2012)

Sehubungan dengan kondisi tersebut diatas diperlukan kebijakan dari pihak pemerintah sebagai fasilitator dalam peningkatan kapasitas produksi induk udang lokal. Pada tahun berjalan ini telah diluncurkan program pembangunan dan pengembangan Broodstock Center dan Regional Broodstock Center di beberapa wilayah. Program ini diharapkan dapat meningkatkan stok induk untuk memenuhi kebutuhan induk udang secara nasional melalui serangkaian metode dan proses seleksi induk udang (KKP, 2012).

(4)

udang yg prima memerlukan lingkungan yg relatif bebas dari pencemaran atau hanya ada sedikit mengalami pencemaran (Boyd,1999). Program pengembangan wilayah perbenihan menjadi salah satu pilihan yg cukup efektif untuk daerah di wilayah Barat dikembangkan ke arah wilayah Timur. Sementara ini sentra produksi benih adalah 43 % berada di wilayah Sumatera Utara dan Lampung, 28 % di wilayah Jawa, serta 16 % di wilayah Bali –Nusa Tenggara, sebesar 9 % berada di Sulawesi selatan, dan 2 % di Kalimantan Timur (Gambar 3).

Gambar 3. Produksi benih udang vaname di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali–Nusa Tenggara (KKP, 2012)

(5)

Gambar 4. Kapasitas produksi backyard (83%) dan hatchery besar (17%) (DJPB,2012)

Fakta ini memperlihatkan peran penting backyard hatchery dalam memenuhi kebutuhan benih vaname di tingkat nasional yang memerlukan peningkatan kapasitas serta perbaikan manajemen dalam menghasilkan benih udang berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries ( F.A.O, 1999) dan Global Aquaculture Alliance (2002).

KESIMPULAN

Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi backyard hatchery yang mencapai 83.0% dalam menghasilkan benih udang vaname di tingkat nasional. Backyard hatchery umumnya dimiliki oleh pengusaha dengan modal terbatas. Untuk dapat meningkatkan produksi benih dengan mutu yang baik, perlu didorong untuk menerapkan CPIB secara bertahap dibawah bimbingan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Badan Pengembangan Sumberdaya Daya Manusia dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan–KKP, sehingga backyard hatchery tersebut dapat memperoleh sertifikasi. Sertifikat CPIB pada backyard hatchery akan menjadi jaminan atas produksi benih udang vaname yang berkualitas unggul dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan, sehingga dapat dicapai target produksi udang nasional sesuai yang telah dicanangkan oleh KKP.

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, C.E.1999. Codes of Practice for Responsible Shrimp Farming. Global Aquaculture Alliance. St. Louis, Missouri, USA.

F.A.O. 1999. Food Safety Issues Associated With Products From Aquaculture Report of a Joint FAO/NACA/WHO Study GroupWorld Health Organization .Geneva, Switzerland.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2012. Data Produksi Perbenihan Perikanan Budidaya 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal. 05 – 08.

Global Aquaculture Alliance. 2002. Guidelines for Best Aquaculture Practise. Aquaculture Facility Certification.

(6)

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor Kep.02/MEN/2007 tentang Cara Budidaya Ikan Yang Baik. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014a. Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan Republik Indonesia nomor 3/PERMEN-KP/2014 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010 – 2014.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014b. Siaran Pers Nomor : 21/PDSI/HM.310/II/2014. KKP Kembangkan Budidaya Udang Supra Intensif. Diakses 2 April 2015 dari http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10445/KKP-Kembangkan-Budidaya-Udang-Supra-Intensif/.

The Global Aquaculture Advocate . 2012. The Global Magazine for Farmed Seafood (ed Nov- Des 2012) Volume 15 Issued 6. USA.

(7)

KARAKTERISASI PROTEIN SPORA Myxobolus koi SEBAGAI

BAHAN VAKSIN SUB UNIT PADA IKAN KOI (Cyprinus carpio koi)

UNTUK MENEKAN KEMATIAN AKIBAT MYXOBOLUSIS *)

Gunanti Mahasri

Departemen Manajemen Kesehatan Ikan dan Budidaya Perikanan Fakutas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga

E-mail: mahasritot@gmail.com

Abstrak: Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu sumber andalan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Produksi dari perikanan budidaya secara keseluruhan diproyeksikan meningkat dengan rata-rata 4,9 % per tahun. Salah satu budidaya perikanan yang banyak diminati banyak orang saat ini adalah budidaya ikan mas walaupun permintaan di tingkat pasaran lokal akan ikan mas dan ikan air tawar lainnya selalu mengalami pasang surut.Akan tetapi dilihat dari jumlah hasil penjualan secara rata-rata selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Selain itu penjualan benih ikan mas boleh dikatakan hampir tak ada masalah, prospeknya cukup baik. Tujuan dari penelitian ini adalah karakterisasi protein spora pada insang Ikan Mas (Cyprinus carpio) akibat infestasi Myxobolus sp dengan metode SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis) untuk pengembangan bahan vaksin sub-unit. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen laboratorik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis SDS-PAGE protein spora Myxobolus sp. menunjukkan bahwa didapatkan protein pada berat molekul antara 41,1 kDa – 230,1 kDa. Berdasarkan hasil identifikasi berat molekul protein spora Myxobolus sp. diperoleh sebanyak 5 profil pita protein dengan berat molekul 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa dan 121,7 kDa. dan protein dengan BM 230,1 kDa. Pita protein dengan berat molekul 89,8 kDa menggambarkan pita yang paling tebal dibanding pita yang lain. Hasil uji tantang menunjukkan bahwa spora Myxobolus koi dapat meningkatkan kelulushidupan ikan dari 10% menjadi 86%, sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan sub unit vaksin

Kata Kunci: myxobolus koi, protein spra, vaksin subunit, myxobolusis.

PENDAHULUAN

Pengembangan ikan hias air tawar di Indonesia melalui budidaya mempunyai prospek yang yang cerah. Hal ini disebabkan berbagai ikan hias tersebut termasuk dalam kategori ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu spesies ikan tersebut adalah Ikan koi (Cyprinus carpio koi). Peluang budidaya ikan ini masih cukup besar untuk meraih potensi pasar yang terus meningkat. Berdasrkan data dari Kementrian Perikanan dan Kelautan tahun 2010 dinyatakan bahwa Indonesia baru menguasai 7,5% perdagangan ikan hias dunia, masih lebih rendah jika dibandingkan Singapura yang sudah mencapai 22,5%. Hal ini menyebabkan pengembangan ikan koi meningkat terutama melalui budidaya baik secara intensif maupun tadisional. Akan tetapi banyak kendala yang dapat menyebabkan kegagalan dalam budidaya tersebut, dimana kendala utama yang sangat perlu diperhatikan adalah munculnya serangan penyakit.

(8)

ini mulai tahun 2009 dimasukkan dalam hama penyakit karantina (HPIK) golongan I, karena penyakit ini dapat menyebabkan sakit, cepat menular dan menyebabkan kematian ikan. Penyakit yang ditimbulkan ini disebut dengan Myxobolusis yang dapat menyebabkan masalah serius pada ikan mas dan dapat menyebabkan kematian hingga 60-90% dengan prevalensi mencapai 100% (Supriyadi dan Tim Lentera, 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahun 1974 dan 1978 telah terjadi kasusserangan Myxobolus sp di Indonesia yang menyebabkan kematian ikan koi hingga 100% terutama pada stadia benih.

Ikan yang terserang oleh penyakit myxobolusis tersebut menunjukkan sulit bernafas karena ditemukan adanya bintil atau nodul atau kista pada filamen insang. Di Blitar telah dilaporkan oleh para petani bahwa pada tahun 2010 telah terjadi wabah myxobolusis pada ikan mas koi yang berukuran 3-5 cm dengan mortalitas mencapai 90%. Penyebaran parasit ini terjadi karena perpindahan parasit dari ikan satu ke ikan yang lain , baik secara langsung maupun melalui inang antara pada fase tertentu dari siklus hidup parasit tersebut (Ryce, 2003). Tahun 2002 telah terjadi kematian masal ikan mas di daerah Sleman dan Kulon Progo yang disebabkan oleh parasit Myxobolus sp dan Henneguya (Anonim, 2002) sehingga kerugian yang dialami pembudidaya ikan cukup besar. Myxobolus sp juga ditemukan di daerah Ngrajek kabupaten Magelang pada tahun 2006 dengan prevalensi mencapai 91%, (Obing, 2006). Kemudian di kolam ikan mas koi di Blitar prevalensi mencapai 86% pada tahun 2010 (Anugrahi, 2010).

Myxobolusis adalah merupakan penyakit parasiter pada ikan yang disebabkan oleh sporozoa, antara lain Myxobolus sp. Pada umumnya organisme penyebab penyakit ini dikenali dengan morfologi sporanya, jumlah dan lokasi filamen polar (Mahasri, 2004). Secara patologi Myxobolus koi menginfeksi insang dari ikan common carp dan golfish dengan ciri-ciri terdapat nodul putih atau agak kemerahan atau bahkan berwarna merah pada jaringan insang (Paperna, 1992 dan Egusa, 1992). Kista yang telah matang pada connective tissue dimana nodul berwarna merah gelap dapat menyebabkan haemoraghi dan degenerasi pada kapilaris insang. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya sistem respirasi dan pergerakan operculum yang tidak normal akibat dari meningkatnya produksi mukus atau lendir.

Myxobolus yang berbentuk kista dapat menginfeksi permukaan kulit dan lapisan subcutaneous, muscle gill dan central nervous system sebagai organ visceral. Apabila kista pecah maka spora akan menyebar di perairan dan menyebabkan kematian pada ikan (Lom dan Dykova, 1995). Hal ini takan mempengaruhi tingkat produksi ikan. Myxobolus yang menyerang insang dan subcutaneous dapat menyebabkan penurunan berat badan pada ikan karena nafsu makan ikan yang menurun, melemah, berenang di dekat pematang, warna kulit mulai pucat, dan terganggu sistim syarafnya. Apabila infeksi terjadi pada organ dalam, seperti hati, ginjal, dan selaput usus cenderung lebih fatal. Inang utama dari genus Myxobolus adalah ikan air tawar (Sugianti, 2005).

(9)

digunakan sebagai bahan vaksin. Itabashi et al. (2004) dalam Mahasri (2008) telah berhasil mendeteksi protein inti dan sitoplasmik Zoothamnium arbuscula dengan anti protein spasmin-1 pada spasmonema. Analisis hasil immunoblotting menunjukkan bahwa protein antigennya mempunyai berat molekul 68 kDa, 55 kDa dan 71 kDa. Selanjutnya Mahasri (2007) telah berhasil menisolasi protein membrane imunogenik dari Zoothamium penaei MP38, MP48 dan MP67.

Clark et al. (1996) dalam Mahasri (2008) menyatakan telah berhasil mengisolasi protein membran antigen dari Paramecium, Tetrahymena dan Ichthyiophthirius multifiliis, diduga protein ini berperan dalam infestasi parasit pada inang di mana protein mayor merupakan ligan perlekatan yang penting pada Ichthyiophthirius multifiliis dan merupakan jembatan masuknya parasit ke dalam sel.

Chavda et al (2010) mengemukakan hasil analisa elektroforesis SDS-PAGE dari spora Myxobolus cerebralis yang menginfeksi ikan Catla catla diperoleh enam ekspresi pita protein dengan berat molekul 130 kDa dan 60 kDa serta empat pita protein lainnya 7 kDa sampai 45 kDa. Asri (2012) menunjukkan hasil isolasi protein spora Myxobolus koi yang menginfeksi ikan Cyprinus carpio dengan metode elektroforesis SDS-PAGE didapatkan dua pita protein dengan berat molekul 70,22 kDa dan 22,83 kDa. Lebih lanjut Insariani dkk (2012) mengemukakan hasil isolasi glikoprotein permukaan M. koi menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR) diperoleh protein dengan berat molekul 12 kDa, 25 kDa dan 27 kDa.

Berdasar latar belakang diatas maka pencarian bahan vaksin sub unit dari protein Myxobolus koi perlu dilakukan untuk dapat dikembangkan sebagai bahan vaksin sub unit untuk mencegah serangan myxobolusis, sehingga kematian ikan di kolam dapat ditekan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai Bulan Maret sampai dengan Bulan November 2013, dengan lokasi penelitian di Laboratorium Kering Fakultas Perikanan dn Kelautan, Universitas Airlangga dan Laboratorium Biologi Molekuler Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Malang.

Bahan dan Peralatan

Bahan utama untuk isolasi dan karakterisasi protein adalah yang akan digunakan antara lain adalah NaCL fisiologis, etanol, pelarut percoll gradient, pepsin, HCL, EDTA, KCL, KH2PO4, Na2HPO4,, trypsin, sodium citrat, NaHPO4, H2), NaHCO3, glucosa, phenol red 0,5%, NaOH, filter 0,22 um, bovineserum albumin, dextrosa, ETOH, proteinase, pasangan primer ForwardERIB1 5’ – ACCTGGTTGATCCTGCCAG-3’ (2-20) dan Reverse ERIB10 5’ – CCTCCGCAGGTTCACCTACGG-3’ (2079-2059), 400 UM DNTP, 3 um MgCl2, yellow and blue dye, agarose, TAE buffer, sybrsafe, DNAladder 100 bp dan 1 bp, loading dey, tris-HCL, 2-mercaptoethanol, sodium deodecyl sulfat (SDS), bromophenol blue, glycerol, SDS loading buffer, polyacrylamide, stacking gel, ammonium peroxidaisulphate (APS), TEMED dan glycine. Sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah Haemocytometer, rubber pollicemen, microscope micrometer, autoclaf, tabung centrifuse, swinging rotor, water bath sonicator dan 1 set peralatan SDS-PAGE electrophoresis (Rantam, 2003).

(10)

Karakterisasi Protein Spora Myxobolus koi dengan SDS-PAGE

1. Preparasi sampel spora Myxobolus koi

Ikan yang terserang myxobolusis dicuci dengan akuades agar kotoran yang menempel pada tubuh ikan hilang, kemudian nodul myxobolus yang menempel diinsang diambil dengan menggunakan pinset dan scalpel secara perlahan-lahan agar nodul yang berisi spora tidak hancur. Nodul yang telah diambil kemudian diletakkan di petri disc dan diberi PBS secukupnya. Nodul dipotong beberapa bagian untuk mengeluarkan spora dengan menggunakan scalpel kemudian ditambahkan akuades, dimasukkan dalam tabung reaksi dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan sel Myxobolus. Supernatan yang terbentuk kemudian dibuang dan endapan ditambah akuades, disentrifugasi kembali hingga memadat dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Selanjutnya pelet dihitung dengan Haemocytometer, kemudian ditambah PBS sebanyak 2 ml dan disimpan di dalam freezer 4oC.

2. Isolasi crude protein spora Myxobolus koi

Spora yang telah dihitung diberi PBS secukupnya kemudian di sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Endapan diambil sebanyak 1 ml kemudian disonikasi dalam es (1 menit sonikasi ½ menit istirahat), dilakukan berulang 10 kali. Hasil sonikasi diberi buffer lisis 500 µl lalu divortex (½ menit vortex I menit istirahat) dalam es, dilakukan berulang 15 kali. Hasil vortex disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, supernatan yang terbentuk dikoleksi kemudian dilakukan analisis SDS-PAGE.

3. Penentuan konsentrasi crude protein spora Myxobolus koi

Penentuan konsentrasi crude protein spora Myxobolus menggunakan metode Bio-Rad Protein Assay dan dibaca menggunakan Spectrophotometer UV-Visible dengan panjang gelombang 600 nm.

4. Analisis protein spora Myxobolus koi dengan SDS-PAGE

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui pola berat molekul tiap fraksi protein. Analisis terhadap protein dilakukan dengan metode elektroforesis SDS-PAGE dengan komposisi separating gel 12,5 % dan stacking gel 5 %. Metode elektroforesis ini dilakukan dengan cara: Running gel dibuat dan dimasukkan ke dalam plate kaca. Setelah mengeras pada bagian atas dimasukkan stacking gel yang telah dipersiapkan (Osborne and Brooks, 2006).

(11)

masing-masing selama 2 menit. Diberikan larutan pengembangan warna yang terdiri dari formaldehid 3,7 %, zitronsauce 5 % dan aquades. Setelah pita-pita terlihat maka reaksi dihentikan dengan menambahkan asam asetat 10 %. Hasil gel yang telah tampak pita-pita proteinnya disimpan dalam gliserol 10 % dan siap untuk didokumentasikan (Laemmli, 1970).

5. Uji aplikasi Protein Sprora Myxobolus koi

Pemberian protein spora Myxobolus koi dilakukan pada empat kelompok perlakuan yaitu K1, K2, K3 dan K4. Dosis protein yang diberikan pada udang sebanyak 300 μl/ekor yang diberikan secara perendaman (Zang et al, 2002). Setelah dilakukan aklimatisasi, pada kelompok K1 (Kontrol) yaitu kelompok tidak diberi protein spora dan diinfeksi spora Myxobolus koi, diberikan PBS sebanyak 300 μl/ekor. Kelompok K2 diberi protein spora dengan dosis sebanyak 300 µl/ekor dan diinfeksi. Tujuh hari berikutnya diinfeksi dengan 80 spora/liter. Kelompok K3 tanpa diberi protein spora dan diinfeksi Myxobolus koi (Fegan, et al., 1993), K4 adalah perlakuan diberikan protein spora tapi tidak diinfeksi Myxobolus koi, dan penghitungan kelulushidupan (SR) dilakukan pada akhir pemeliharaan yaitu pada hari ke tujuh.

6. Analisis Data

Data kualitatif adalah data karakter protein spora yang berupaberat molekul protein yang disajikan sebagai gambar (pita protein) hasil dari elektroferesis Gel SDS. Sedangkan data kuantitatif yaitu data hasil analisis gambaran darah dan kelulushidupan (SR) dianalisis dengan menggunakan uji statistik ANOVA (Analisis of Variance) dan jika ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) dengan tingkat kepercayaan 5% (Steel and Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Karakterisasi Protein Spora Dengan SDS-PAGE

Karakterisasi protein spora Myxobolus sp. dengan menggunakan metode SDS-PAGE didapatkan 5 pita protein dengan berat molekul (BM) 230,1 kDa, 121,7 kDa, 89,8 kDa, 51,0 kDa, 41,1 kDa. Hasil dari karakterisasi protein dengan menggunakan metode SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 1.

(12)

Gambar 1. Hasil Karakterisasi Protein Menggunakan Metode SDS -PAGE

2. Hasil Penentuan Kelulushidupan Ikan Koi Yang Dipapar Protein Spora. Kelulushidupan ikan koi dinyatakan dalam persentase dan dihitung pada hari ke empat belas disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1. menunjukkan bahwa pada uji proteksi protein spora M. koi, terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antar perlakuan terhadap rata-rata kelangsungan hidup antara yang dipapar dan tidak dipapar dengan spora Myxobolus koi setelah 14 hari pemeliharan.

Tabel 1. Hasil Penentuan KelulushidupanIkan Koi Yang Dipapar Protein Spora Setelah 14 Hari Pemeliharaan

Kelompok

Perlakuan Kelulushidupan Ikan Koi Setelah Divaksin

Kontrol, tidak diinfeksi dan tidak dipapar Protein (K1)

90,00a ± 2,24

Diinfeksi Myxobolus dan Dipapar dengan Protein Spora dosis 600 µl/Ikan (K2)

86,00b ± 6,52

Diinfeksi Myxobolus dan Tidak Dipapar dengan Protein Spora dosis 600 µl/Ikan (K3)

10,00c ± 3,54

Tidak Diinfeksi Myxobolus dan Dipapar dengan Protein Spora dosis 600 µl/Ikan (K4)

92,00a ± 2,94

(13)

Pembahasan

Myxobolusis merupakan penyakit parasiter pada ikan yang disebabkan oleh sporozoa, antara lain Myxobolus sp. Pada umumnya organisme penyebab penyakit ini dikenali dengan morfologi sporanya, jumlah dan lokasi filamen polar (Mahasri, 2004). Secara patologi Myxobolus sp. yang menyerang insang Ikan Mas (Cyprinus carpio) menimbulkan perubahan patologis adanya nodul atau kista berwarna putih (Paperna, 1992 dan Egusa, 1992). Rukyani (1978) menyatakan bahwa hanya Ikan Mas (Cyprinus carpio) dan Ikan Tawes (Punius gonionotus) diketahui sebagai inang parasit Myxobolus, sehingga dapat dipastikan nodul yang diperoleh pada insang ikan Mas dalam penelitian ini merupakan nodul Myxobolus sp. Sampel nodul yang berisi spora Myxobolus sp. pada penelitian ini diambil dari insang ikan mas (Cyprinus carpio), nodul yang menempel pada insang dipisah dari insang secara hati-hati agar didapatkan nodul yang utuh.

Hasil SDS-PAGE pada penelitian ini menunjukkan adanya 5 pita protein dengan berat molekul (BM) 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa, 121,7 kDa dan 230,1 kDa. Hasil pita protein yang didapat belum diketahui manakah yang merupakan protein spora dan pita protein manakah yang merupakan protein dari jaringan nodul. Pada penelitian Chavda (2010) menyebutkan bahwa protein dari spora Myxobolus cerebralis memiliki BM 7 kDa, 45 kda, 60 kDa dan 130 kDa. Sehingga pada penelitian ini pita protein dengan BM 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa dan 121,7 kDa kemungkinan adalah protein dari spora Myxobolus sp., sedangkan pita protein dengan BM 230,1 kDa diduga kemungkinan besar merupakan protein nodul Myxobolus sp.

Pita protein yang terbentuk terlihat bahwa pada pita dengan BM 89,8 kDa memiliki pita yang lebih tebal dibanding pita yang lain. Tebal tipisnya pita yang terbentuk menggambarkan banyaknya protein yang terkandung dalam profil protein nodul Myxobolus sp. Pita protein yang terbentuk tebal dan tipisnya yang dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran dari protein-protein tersebut, selain itu juga dapat diakibatkan adanya smear (Williams, 2001).

Protein yang memiliki berat molekul besar biasanya merupakan protein yang imunogenik tetapi tidak menutup kemungkinan protein dengan berat molekul kecil dapat bersifat imunogen, walaupun molekul besar jauh lebih baik (Tizard, 1987). Kodyman (2000) menyatakan bahwa antigen yang mengandung protein dengan BM 15 kDa dan 24 kDa merupakan antigen yang imunogenik, sehingga dalam penelitian ini protein nodul yang berisi spora Myxobolus sp. yang terbentuk dalam profil protein dengan BM 41,1 kDa, 51 kDa, 89,8 kDa, 121,7 kDa dan 230,1 kDa kemungkinan besar adalah protein yang sangat imunogenik.

Sampel yang digunakan dalam penelitian merupakan crude spora Myxobolus sp. dan tidak diketahui jumlah spora didalamnya. Menurut Kusnoto dalam Sumbodo (2007) keberhasilan preparasi protein dengan SDS-PAGE dipengaruhi tingkat kebersihan (tidak terkontaminasi) isolat serta konsentrasi protein yang cukup. Dalam penelitian ini diperoleh protein selain protein spora, yaitu protein dengan BM berkisar antara 41,1 kDa – 121,7 kDa yang merupakan protein dari spora Myxobolus sp. dan protein dengan BM 230,1 kDa yang diduga ada protein dari jaringan nodul yang berisi Myxobolus sp.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein spora Myxobolus koi mampu melindungi (bersifat protektif) ikan koi terhadap myxobolusis. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan kelangsungan hidup ikan koi, dan dapat diartikan terjadi penurunan kematian ikan.

(14)

kemungkinan masih merupakan campuran antara spora dan jaringan nodul. Menurut Kusnoto dalam Sumbodo (2007) keberhasilan preparasi protein dengan SDS-PAGE dipengaruhi tingkat kebersihan (tidak terkontaminasi) isolat serta konsentrasi protein yang cukup. Dalam penelitian ini diperoleh protein selain protein spora, yaitu protein dengan BM berkisar antara 41,1 kDa – 121,7 kDa yang merupakan protein dari spora Myxobolus sp. dan protein dengan BM 230,1 kDa yang diduga ada protein dari jaringan nodul yang berisi Myxobolus sp.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein spora Myxobolus koi mampu melindungi (bersifat protektif) ikan koi terhadap myxobolusis. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan kelangsungan hidup ikan koi, dan dapat diartikan terjadi penurunan kematian ikan. Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat kelulushidupan yang terendah terjadi pada ikan yang tidak diberi protein spora dan diinfeksi dengan Myxobolus yaitu 10%. sedangkan yang tertinggi terjadi pada ikan yang diberi protein spora, tapi tidak diinfeksi Myxobolus yaitu 92%. Untuk melihat apakah protein spora myxobolus memberi proteksi pada ikan, maka dapat dilihat kelulushidupan ikan mas yang tidak diberi protein spora dan diinfeksi myxobolus yaitu 86%. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dengan pemberian protein spora dapat meningkatkan kelulushidupan ikan dari 10% menjadi 86%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Diperoleh 5 profil pita protein spora Myxobolus sp. dengan berat molekul 41,1

kDa, 51 kDa, 89,8 kDa, 121,7 kDa

2. Protein Spora Myxobolus koi dapat meningkatkan respon imun dan kelulushidupan ikan koi dari 10% sampai dengan 86% dan dapat meningkatkan pertahanan tubuh ikan koi terhadap infeksi Myxobolus koi.

Saran

Saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa perlu dilakukan karakterisasi protein untuk mengetahui tingkat imunogenitas dari protein yang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Anam, K. 2009. SDS - PAGE Dengan Silver Staining Dan Zimogram. Bioteknologi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Clark, T.G., Tian-Long Lin and H.W. Dickerson, 1996. Surface antigen crosslinking triggers forced exit of a protozoan parasite from its host. Dalam : G. Mahasri. Respon Imun Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) yang Diimunisasi Dengan Protein Membran Imunogenik MP 38 dari Zoothamnium penaei. Surabaya. Hal 23.

Easy, R., and D. Cone. 2009. Taxonomy of Myxobolus ridouti n. Sp. and

M. Ridgwayi N. Sp. (myxozoa) from Pimephales notatus and semotilus atromaculatus (cypriniformes) In ontario. Canada. p.1-2.http://harkness.ca Egusa. 1992. Infectious Diseases of Fish. AA Balkerna Publication

Rotterdam/Brookfield. 696 pp.

(15)

Detected by Anti-Zoothamnium arbuscula ( Protozoa ) Spasmin 1 Antibody In Mammalian Cells Are Dependent on the Cell Cycle. Dalam : G. Mahasri. Respon Imun Udang Windu (Penaeus monodon Fabricus) yang Diimunisasi Dengan Protein Membran Imunogenik MP 38 dari Zoothamnium penaei. Surabaya. Hal 23.

Lom, J., and Dykova, I. 1995. Myxosporea (Phylum) Myxosoa : In Woo. P. T. K. (ed.) Fish Diseases and Disorders Vol. 1. Protozoan and Metazoan Infection. CAB International, Walliford. UK. Pp 97-145.

Mahasri, G. 2004. Ilmu Penyakit Ikan Protozoa Pada Ikan dan Udang. Surabaya. Hal 25-29.

--- 2007. Pengembangan Protein Membran Imunogenik Zoothamnium penaei sebagai bahan Imunostimulan terhadap Zoothamniosis. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya

Rantam. 2003. Metode Imunologi. Dalam : A. Fajriah. Karakterisasi Protein Lernea sp. Dengan menggunakan metode SDS-PAGE. Surabaya. 2009.

Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Dalam Pengendalian Penyakit Ikan. Institut Pertanian Bogor. p. 10-11. http://rudyct.com.

Tizard, I. R. 1987. An Introduction of Veterinary Immunology. W. B. Saunders Company. 254-257.

(16)

PENGARUH KOMBINASI PUPUK ORGANIK KOTORAN AYAM, ROTI

AFKIR, DAN AMPAS TAHU TERHADAP BIOMASSA DAN KANDUNGAN

NUTRISI CACING SUTERA (Tubifex sp.)

Nurul Fatimah, Johannes Hutabarat, Vivi Endar Herawati

Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Jl. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah – 50275, Telp/Fax. +6224 7474698

E-mail: nurulfatimaaah@gmail.com

Abstrak: Cacing sutera (Tubifex sp.) merupakan pakan alami yang disenangi karena mempunyai kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan larva ikan. Selama ini, ketersediaan cacing sutera masih mengandalkan hasil pengumupulan dari alam. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh kombinasi kotoran ayam, ampas tahu dan roti afkir yang difermentasi terhadap produksi biomassa, populasi, dan kandungan nutrisi cacing sutera. Penelitian ini menggunakan design Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan masing- masing 3 kali ulangan. Perlakuan A (roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l), B (kotoran ayam 75gr/L, roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l), C (kotoran ayam 50gr/l, roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l) dan D (kotoran ayam 25gr/l, roti afkir 100gr/l ,ampas tahu 50gr/l). Kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu dimasukkan kedalam 12 wadah plastik dengan ukuran 30x21x7 cm. Media tersebut ditebari cacing sebanyak 10 gram/wadah, dipelihara selama 50 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi biomassa, populasi dan kandungan nutrisi cacing sutera (Tubifex sp.). Perlakuan B memberikan nilai populasi, biomass dan kandungan protein tertinggi yaitu sebesar 28.499,17±200,01 individu/0,044m2, 135,95±0,64 gram/0,044m2 untuk biomassa dan kandungan protein sebesar 66,36±0,26%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu dapat meningkatkan produksi biomassa, populasi dan kandungan protein cacing sutera.

Kata Kunci: tubifex sp., kotoran ayam, ampas tahu, roti afkir, fermentasi.

PENDAHULUAN

(17)

Moina sp.), hal ini disebabkan cacing sutera mempunyai kelebihan dalam hal nutrisinya. Muria et al. (2012) menambahkan kandungan nutrisi yang dimiliki oleh Tubifex adalah protein sebesar 41,1%, lemak sebesar 20,9%, serat kasar sebesar 1,3% dan kandungan abu sebesar 6,7%. Secara kualitatif, kandungan nutrisi tersebut tidak dapat digantikan oleh pakan buatan.

Ketersediaan cacing sutera saat ini sebagian besar masih mengandalkan hasil pengumupulan dari alam. Para pencari cacing sutera mendapatkan cacing sutera dengan cara menyaring lumpur-lumpur sungai, selokan dan parit, atau tempat-tempat lain yang menjadi habitat cacing sutera. Drago (2004) menambahkan hewan-hewan kelas Oligochaeta mempunyai habitat di lingkungan dengan konduktifitas tinggi, kedalaman yang rendah dan kaya akan bahan organik. Kelemahan produksi cacing sutera dengan cara tersebut adalah bersifat musiman. Sehingga, ketersediaan cacing sutera yang berkelanjutan sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi permintaan cacing sutera. Kegiatan budidaya cacing sutera perlu dikembangkan sebagai solusi untuk mengatasi ketergantungan cacing sutera hasil pengumpulan dari alam dan untuk menghasilkan cacing sutera yang lebih berkualitas.

Media kultur memegang peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan budidaya cacing sutera. Pemberian pupuk pada media kultur cacing sutera bertujuan meningkatkan kandungan nutrisi. Mengacu pada penelitian yang dilakukan Damle dan Chari (2011) dengan membandingankan berbagai macam kotoran hewan dan mengkombinasikan dengan berbagai macam bahan-bahan organik didapatkan bahwa jenis pupuk dari kotoran ayam adalah yang mencapai produksi populasi tertinggi. Pursetyo et al. (2000) menambahkan bahwa pemupukan ulang kotoran ayam kering berpengaruh terhadap populasi cacing sutera.

(18)

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh kombinasi kotoran ayam, ampas tahu dan roti afkir yang difermentasi terhadap produksi biomassa dan populasi cacing sutera; dan

2. Mengetahui kombinasi media kultur terbaik terhadap kandungan nutrisi cacing sutera.

Pengkajian kombinasi pupuk organik yang di fermentasi, akan bermanfaat untuk memberikan tambahan informasi bagi masyarakat khususnya para pembudidaya bahwa kotoran ayam, ampas tahu dan roti afkir cocok digunakan sebagai media cacing sutera sehingga dapat menambah biomassa dan dapat menghasilkan kandungan nutrisi yang tinggi dalam kultur cacing sutera.

MATERI DAN METODOLOGI PENELITIAN

Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah cacing sutera (Tubifex sp.) yang diperoleh dari pembudidaya cacing sutera di Ngadirejo, Temanggung. Padat penebaran yang digunakan adalah 10gram/wadah (Fajri, 2014). Wadah yang digunakan dalam penelitian ini berupa nampan sebanyak 12 buah dengan ukuran 30 x 7 x 21 cm, dengan luasan masing-masing wadah sebesar 0,044 m2, dan ketinggian media adalah 4 cm.

Media Uji

Media kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pupuk organik yang terdiri dari campuran kotoran ayam, ampas tahu dan roti afkir yang telah difermentasi menggunakan bakteri EM4 selama dua minggu kemudian dicampur dengan lumpur halus sisa budidaya lele. EM4 mengandung komposisi bakteri berupa Lactobacillus casei dan Saccaromyces cerevisiae.

Kotoran ayam yang digunakan berasal dari peternak ayam yang berada di daerah Limbangan, Kendal, sedangkan untuk ampas tahu berasal dari pembuat tahu dan roti afkir dari pabrik roti yang berada di daerah Semarang. Bahan-bahan organik tersebut sebelum di fermentasi dilakukan pengeringan dan dihancurkan sampai halus. Menurut Pursetyo et al., (2011) Sebelum digunakan dalam penelitian, kotoran ayam segera dijemur dibawah sinar matahari secara langsung untuk penurunan jumlah bakteri patogen.

(19)

Jumlah penggunaan larutan aktivasi probiotik, molase dan air disesuaikan menurut (Chasim, 2014) menggunakan perbandingan 1:1 bahan dan pelarut. Selanjutnya pupuk dimasukkan dalam ember dan ditutup rapat hingga terjadi proses fermentasi selama dua minggu. Setelah dua minggu pupuk kombinasi hasil fermentasi dicampur dengan lumpur halus sisa budidaya lele dan siap digunakan sebagai pupuk dalam kultur

Tubifex sp.

Rancangan Penelitian

Pola kombinasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan dengan 3 kali ulangan. Model dalam perlakuan ini dilakukan dengan menambahkan kombinasi pupuk kotoran ayam, ampas tahu, dan roti afkir, adapun pupuk dan dosis yang digunakan mengacu pada Damle dan Chari (2011) yang menggunakan dosis tersebut pada kultur daphnia dan mengacu pada aplikasi di lapangan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dosis campuran masing-masing media merupakan prosentase pupuk serta bahan organik dengan lumpur dengan dosis yang sama pada perlakuan kultur daphnia.

Perlakuan A: Roti afkir 100g/l, Ampas tahu 50g/l

Perlakuan B: Kotoran ayam 75g/l, Roti afkir 100g/l, Ampas tahu 50g/l Perlakuan C: Kotoran ayam 50g/l, Roti afkir 100g/l, Ampas tahu 50g/l Perlakuan D: Kotoran ayam 25g/l, Roti afkir 100g/l, Ampas tahu 50g/l

Pemupukan Ulang

Penambahan pupuk dilakukan dua hari sekali, dengan tujuan untuk menjaga kualitas air. Dosis yang digunakan pada masa pemeliharaan selama 50 hari adalah sebesar 0,25 kg/m2 (11 gr/ wadah) dengan luasan wadah sebesar 0,0441 cm2 (Masrurotun, 2014). Sebelum di beri pupuk, aliran air pada wadah dimatikan. Pupuk yang sudah bercampur air di tuang secara merata pada wadah, didiamkan sampai pupuk mengendap sekitar 1 jam. Setelah pupuk mengendap, aliran air dinyalakan kembali.

Pengelolaan Air

Pengaturan debit air menggunakan kran aerasi yang dipasang pada paralon. Air yang disalurkan berasal dari sumur yang dipompa kemudian di tampung dalam tandon, dari tandon air dialirkan kedalam wadah-wadah pemeliharaan cacing. Untuk menjaga agar kualitas air tetap baik, maka setiap hari air diganti. Penggantian air dilakukan dengan mengalirkan air dengan kecepatan ± 0.35 liter/menit. Dilakukan juga pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, DO, pH, dan NH3 dengan menggunakan Water Quality Checker untuk mengetahui kualitas air didalam media kultur selama masa pemeliharaan. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dua hari sekali pada pagi dan sore hari.

Pemanenan

(20)

Setelah cacing terpisah dari substrat kemudian cacing ditimbang dalam berat basah untuk mengetahui biomassa pada akhir penelitian.

Pertumbuhan Mutlak

Rumus untuk mencari pertumbuhan mutlak menurut Effendi (1982) dalam Suharyadi (2012) adalah:

W = Wt – Wo Keterangan :

W : Pertumbuhan mutlak (gram) Wt : Biomassa pada waktu t (gram)

Wo : Biomassa pada awal penelitian (gram)

Populasi

Populasi jumlah cacing ditentukan dengan menghitung secara langsung dari pengambilan sampel, sampel yang diambil pada penelitian ini yaitu dengan menghitung populasi cacing sebanyak 1 gram dan kemudian di koneversikan dengan jumlah biomassa cacing yang didapatkan dari setiap perlakuan.

Analisis Proksimat

Analisis Proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi protein, karbohidrat, lemak dan kadar air yang terkandung dalam cacing tubifex setelah di kultur, caranya yaitu dengan melakukan uji proksimat. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.

HASIL

Biomassa Multak

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai rata-rata biomassa mutlak dan populasi untuk masing masing perlakuan selama penelitian tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Rata-rata Biomassa Mutlak (gram) dan Populasi (individu) pada Cacing Sutera (Tubifex sp.) setelah Pemberian Pupuk Organik selama 50 hari.

Perlakuan Variabel

Biomassa Mutlak (gram) Populasi (individu)

A 124,25 ± 0,74 26240,46 ±

230,12

B 135,95 ± 0,64 28499,17 ±

200,01

C 126,96 ± 0,59 27830,67 ±

323,81

D 124,75 ± 0,86 26659,37 ±

434,07

(21)

Gambar 1. Rata-rata Nilai Biomassa Mutlak Cacing Sutera (Tubifex sp.) setelah Pemberian Pupuk Organik selama 50 hari

Populasi

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai populasi pada cacing sutera selama penelitian tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel rerata nilai populasi pada masing-masing perlakuan dari populasi yang tertinggi adalah perlakan B sebesar 28499,17 individu ± 200,01 % , dan terendah adalah perlakuan A sebesar 26240,46 individu ± 230,12 % dengan selisih nilai populasi tertinggi dan nilai populasi terbesar sebesar 2258,71 individu. Grafik nilai populasi cacing sutera disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rata-rata Nilai Populasi Cacing Sutera (Tubifex sp.) setelah Pemberian Pupuk Organik selama 50 hari

Kandungan Nutrisi

Kandungan nutrisi dari Cacing Sutera (Tubifex sp.) yang dikultur dengan media pupuk organik yang difermentasi dengan komposisi berbeda diketahui melalui analisis proksimat. Adapun hasil analisis proksimat berat kering Tubifex sp. disajikan pada Tabel 2 dibawah ini :

(22)

Perlakuan Protein (%) Lemak (%) Abu (%) KH Serat Kasar A 56,08±0,57 7,21 5,85 26,22 4,66

B 66,36±0,26 9,36 6,30 13,74 4,24 C 59,93±0,62 8,32 4,86 21,69 5,18 D 58,93±0,61 8,47 5,88 21,76 4,97

Berdasarkan Tabel 2 kandungan protein pada cacing sutera (Tubifex sp.) selama penelitian yang paling tinggi adalah pada perlakuan kombinasi pupuk fermentasi kotoran ayam 75gr/l, 50gr/l roti afkir, dan 25gr/l ampas tahu sebesar 66,36 % ±0,26 % .

Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Parameter yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), suhu, pH, dan amoniak. Kualitas air harus diperhatikan untuk memenuhi kelangsungan hidup cacing. Nilai pengukuran kualitas air selama penelitian tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Pengukuran Kualitas Air Pemeliharaan Cacing Sutera (Tubifex sp.) Selama 50 Hari Penelitian.

Variabel Kisaran Kelayakan Menurut Pustaka Suhu (C) 21,6 – 22,8 15 - 25 Findy (2011)

pH 6,7 – 7,1 5,44 - 7,48 Masrurotun (2014) DO (mg/l) 2,58 – 3,08 1,64 – 3,95 Findy (2011) Amonia (mg/l) 0 - 0,01 <1,50 Shafrudin et al. (2005)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kisaran variabel yang diukur sudah memenuhi kriteria layak dan optimal untuk proses pemeliharaan cacing sutera (Tubifex sp.). Suhu, pH, DO, dan amoniak sudah memenuhi kelayakan untuk kehidupan cacing sutera (Tubifex sp.).

PEMBAHASAN

Biomassa Mutlak

(23)

Tingginya jumlah biomassa pada perlakuan B (75 g/l kotoran ayam, 100g/l roti afkir, 50g/l ampas tahu) diduga karena pupuk pada perlakuan B memiliki nilai perbandingan kandungan bahan organik berupa N, P, dan K pada media yang tertinggi dari seritap perlakuan yaitu dengan perbandingan sebesar 3:1:1. Syam et al.

(2011) menambahkan, tingginya bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Febrianti (2014), bahan organik yang terdapat dalam media meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi pada media yang akan mempengaruhi populasi dan produksi biomassa cacing sutera.

Nilai biomassa mutlak terendah diperoleh pada perlakuan A yaitu kombinasi tanpa kotoran ayam, 100g/l roti afkir, dan 50g/l ampas tahu hal ini diduga karena lebih rendahnya kandungan N, P, K pada pupuk yang diberikan ke media kultur dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharyadi (2011), makanan diperlukan cacing sutera untuk tumbuh dan berkembang, sehingga apabila terjadinya kekurangan makanan pada cacing sutera maka dapat menyebabkan rendahnya biomassa cacing sutera. Febrianti (2004) menambahkan peningkatan kualitas pupuk yang digunakan diikuti oleh peningkatan populasi dan biomassa cacing sutera yang dibudidayakan. N, P, K dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri sebagai makanan cacing, nilai N yang rendah dapat menyebabkan jumlah makanan bakteri dan ganggang berfilamen sebagai pakan cacing pada media relatif rendah. Penambahan kotoran ayam juga mempengaruhi biomassa cacing sutera. Menurut Fajri (2014), pemberian kotoran ayam sebagai media tumbuh cacing sutera memberikan efek yang nyata terhadap produksi biomassa cacing sutera. Ketersediaan bahan organik yang cukup pada media kultur akan memacu pertumbuhan cacing sutera. Menurut Syam et al. (2011), pemupukan dalam budidaya cacing sutera bertujuan untuk menambahkan sumber baru pada media kultur cacing sutera. Fermentasi bahan-bahan organik sebagai media juga terbukti lebih efektif dalam kultur cacing sutera. Hal ini sesuai dengan penelitian Syam et al. (2011) yaitu dengan penggunaan pupuk kotoran ayam fermentasi menunjukkan bahwa meningkatkan jumlah populasi dan biomassa cacing sutera secara signifikan dibandingkan pupuk kotoran ayam tanpa di fermentasi. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Febriyanti (2004) menunjukan adanya pengaruh nyata penggungaan pupuk kotoran ayam yang difermentasi dengan biomassa tertinggi pada hari ke 40 sebesar 1.720 gr/ m2.

Populasi Cacing Sutera (Tubifex sp.)

(24)

Hal ini terkait dengan bahan organik dan bakteri yang lebih banyak pada substrat perlakuan B.

Perlakuan A yaitu kombinasi tanpa kotoran ayam, 100g/l roti afkir, dan 50g/l ampas tahu menghasilkan populasi terendah. Rendahnya populasi pada perlakuan A diduga karena nilai kandungan N, P, K pada perlakuan A lebih rendah daripada nilai kandungan N, P, dan K pada perlakuan lain . Hal ini sesuai dengan pernyataan Febrianti (2004), kualitas pupuk yang digunakan dapat membedakan kualitas bahan organik yang masuk dan jumlah bakteri yang dapat ditumbuhkan. Peningkatan kualitas pupuk yang digunakan diikuti oleh peningkatan populasi dan biomassa cacing sutera yang dibudidayakan.

Hasil penambahan nilai populasi pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Nurfitriani (2014) yaitu dengan kombinasi pupuk 50% kotoran ayam, 35% ampas tahu dan 15% silase ikan menghasilkan populasi sebanyak 215.252 individu/ m2. Hal ini diduga karena pemberian pupuk kombinasi kotoran ayam, roti afkir dan ampas tahu mampu memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi Kandungan ampas tahu yaitu protein 21,91% dan karbohidrat 69,41%. Kandungan protein roti afkir sebesar 10,25% (Alfi, 2009). Kandungan nutrisi yang tinggi dapat menyebabkan ketersediaan makanan cacing lebih banyak sehingga mempengaruhi kemampuan reproduksi cacing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Findy (2011) bahwa, cacing sutera membutuhkan makan untuk pertumbuhannya dan melakukan reproduksi. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan kombinasi pupuk fermentasi kotoran ayam, roti afkir, dan ampas tahu efektif meningkatkan populasi cacing sutera.

Kandungan Nutrisi Cacing Sutera (Tubifex sp.)

Nilai-nilai kandungan nutrisi pada cacing sutera didapatkan dari analisis proksimat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa kandungan nutrisi protein pada cacing sutra yang terbaik adalah pada perlakuan B 100g/l roti afkir, 75g/l kotoran ayam, dan 50g/l ampas tahu, dengan nilai sebesar 66.36±0.26 % dan terendah pada perlakuan A tanpa kotoran ayam 100g/l roti afkir dan 50g/l ampas tahu dengan nilai sebesar 56.08±0.57 %. Tingginya kandungan protein pada perlakuan B diduga karena pupuk fermentasi pada media kultur B memiliki kandungan N, P, K yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya yaitu kandungan nitrogen dalam nitrat sebesar 3,12 dan kandungan fosfat sebeasar 1,05 . Hal ini sesuai dengan penyataan Herawati dan Agus (2014) dimana semakin tinggi kandungan nitrat dan fosfat maka semakin tinggi kandungan proteinnya. Menurut Syam et al .(2011), cacing dari famili Tubificidae memakan bakteri dan partikel organik hasil perombakan oleh bakteri. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah yaitu berasal dari EM4 berupa Lactobacillus casei dan Saccaromyces cerevisiae. Bakteri tersebut membutuhkan nutrien untuk menunjang pertumbuhannya.

Hal ini diduga juga karena penambahan pupuk kotoran ayam yang difermentasi berguna untuk meningkatkan kandungan protein yang terdapat pada cacing sutera. Kotoran ayam juga merupakan pensuplai nilai N yang paling berpengaruh pada perlakuan, hal ini terlihat dari hasil uji N, P dan K dimana semakin banyak dosis kotoran ayam yang digunakan maka nilai N, P dan K semakin tinggi. Damle dan Chari (2011) menambahkan bahwa kandungan N pada kotoran ayam sebesar 1,48%.

(25)

20,19-21,11% dan dapat berperan sebagai pengganti fitoplankton (Sulasingkin, 2003), hal ini secara langsung juga akan meningkatkat nilai nutrisi dalam tubuh Tubifex sp.

Kualitas Air

Air merupakan lingkungan sebagai media hidup Tubifex yang memegang peranan penting bagi pertumbuh dan perkembangan cacing sutera. Kualitas air merupakan salah satu faktor eksternal yang harus dipertahankan agar selalu dalam kondisi optimum. Variabel kualitas air yang diamati antara lain DO, suhu, pH dan ammonia. Selama masa pemeliharaan cacing sutera didapatkan kualitas air yaitu suhu berkisar antara 21,6 – 22,8 oC, DO yaitu antara 2,58 3,08 mg/l, pH berkisar antara 6,7 – 7,1 dan amonia 0 - 0,01 mg/l . Berdasarkan nilai-nilai tersebut, kualitas media kultur masih dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan cacing sutera. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan. Hasil pengukuruan kisaran amoniak pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Nurfitriani (2014) mendapatkan kisaran amoniak 0,258 – 1,032 mg/l dengan pemupukan ulang setiap hari. Hal ini diduga karena pemupukan pada penelitian ini dilakukan setiap dua hari sekali dengan tujuan untuk menjaga kualitas air, dengan melakukan pemupukan setiap hari akan menyebabkan tingginya hasil dari bahan organic oleh baktei, selain itu sisa metabolisme cacing yang dikeluarkan ke perairan juga dapat menjadi pemicu tingginya kada ammonia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Febrianti (2004) bahwa, tingginya kadar ammonia pada media dapat disebabkan adanya penambahan pupuk setiap hari yang menyebabkan jumlah bahan organik juga tinggi.

KESIMPULAN

1. Kombinasi kotoran ayam, ampas

tahu dan roti afkir yang difermentasi terhadap produksi biomassa dan populasi cacing sutera memberikan pengaruh sangat nyata terhadap produksi biomassa dan populasi cacing sutera (Tubifex sp.) dan;

2. Pada penelitian ini, perlakuan B

merupakan perlakuan terbaik, yaitu kombinasi pupuk 75 gr/l kotoran ayam, 50 gr/l, ampas tahu dan 100 gr/l roti afkir.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada kelompok Sanggar Cacing Sutera desa Medari, Temanggung yang telah menyediakan fasilitas selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Alfi, M.F. 2009. Pengaruh Penggunaan Tepung Roti Afkir Sebagai Pengganti Jagung dalam Ransum terhadap Produksi Karkas Ayam Broiler Jantan. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Chasim, N. 2014. Optimalisasi Pertumbuhan dan Kelulushidupan Larva Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Dengan Pemberian Pakan Daphnia sp. yang Dikultur Massal Menggunakan Pupuk Organik yang Difermentasi EM4. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, 67 hlm.

(26)

Drago D, I Ezcurra dan Marchese. 2004. Benthos of a large neotropical river spatial patterns and species assemblages in the Lower Paraguay and Its Floodplain. Archiv fur Hydrobiologie, 160 (3), p. 28

Fajri, W. N. 2014. Pengaruh Pengkayaan Media Kultur dengan Kombinasi Organik: Kotoran Ayam, Ampas Tahu dan Tepung Tapioka Terhadap Biomassa dan Kandungan Nutrisi Cacing Sutera (Tubifex sp.). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.

Febriyanti, D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian dengan Kotoran Ayam Terhadap Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutera. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 46 hlm.

Findy, S. 2011. Pengaruh Tingkat Pemberian Kotoran Sapi terhadap Pertumbuhan Biomassa Cacing sutera. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 42 hlm.

Herawati, V.E dan M. Agus. 2014. Analisis Pertumbuhan dan Kelulushidupan Larva Lele (Clarias gariepenus) yang Diberi Pakan Daphnia sp. Hasil Kultur Massal Menggunakan Pupuk Organik Difermentasi. Jurnal Pena Unikal.,26(1): 1-11. Muria, E S, E. D. Mashitah dan S Mubarak. 2012. Pengaruh Penggunaan Media dengan

Rasio C:N yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Tubifex. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Univertsitas Airlangga, 2 hlm (Abstrak).

Pursetyo K T, W. H. Satyantini dan A.S. Mubarak. 2011. Pengaruh Pemupukan Ulang Kotoran Ayam Kering Terhadap Populasi Cacing Tubifex Tubifex. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 3 (2): 6 hlm.

Suharyadi. 2012. Studi Penumbuhan dan Produksi Cacing Sutera (tubifex sp.) dengan Pupuk yang Berbeda dalam Sistem Sirkulasi. Universitas Terbuka, Jakarta, 84 hlm.

Shafrudin D, W Efiyanti dan Widanarni. 2005. Pemanfaatan Ulang Limbah Organik dari Substrak Tubifex sp. di Alam. Jurnal Akuakulture Indonesia, 4(2): 97-102. Yuniwati, M., F. Iskarima dan A. Padulemba. 2012. Optimasi Kondisi Proses

(27)

PERFORMA PERTUMBUHAN, BIOMASS DAN KANDUNGAN NUTRISI

Tubifex sp.YANG DIKULTUR MASSAL MENGGUNAKAN FERMENTASI

BERBAGAI LIMBAH INDUSTRI

Vivi Endar Herawati*1; Johannes Hutabarat1; Sarjito1; Ristiawan

Agung Nugroho1;Darmanto2

1.Department of Aquaculture, Faculty of Fisheries and Marine Science, Diponegoro University

2.Departement of Food Technology of Fisheries and Marine Science, Diponegoro University

Prof Soedharto Street , Semarang 50275, Indonesia Tel : 024-7474698; Fax : 024-7474698 ; Mobile :08562774535

Email : anshinvie@yahoo.com

Abstrak: Tubifex sp. merupakan sumber pakan alami yang mengandung nutrisi tinggi terutama protein dan asam amino. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan performa pertumbuhan, biomass dan kandungan nutrisi Tubifex sp. yang dikultur massal dengan menggunakan berbagai limbah yang difermentasi bakteri probiotik. Penelitian yang dilakukan eksperimental dengan 3 perlakuan 3 ulangan, adapun perlakuan yang digunakan adalah : A (kotoran ayam 50 g/L; roti afkir 100 g/L; ampas tahu 50 g/L); perlakuan B (kotoran ayam 50 g/L; bungkil kelapa 100 g/L; ampas tahu 50 g/L); perlakuan C (kotoran ayam 50 g/L; bekatul 100 g/L; ampas tahu 50 g/L). Pemberian pakan dilakukan setiap 2 hari menggunakan fermentasi limbah industri sebanyak 11 gram. Hasil penelitian yang didapatkan pertumbuhan dan biomass Tubifex sp. yang dikultur massal menggunakan berbagai limbah industri kecil (P<0.01) berpengaruh nyata antar perlakuan, pertumbuhan tertinggi pada perlakuan kotoran ayam 50 g/L; roti afkir 100 g/L; ampas tahu 50 g/L dengan populasi tertinggi 12317.31ind dan berat biomass 40,81gram. Kandungan nutrisi protein tertinggi 62.66% pada perlakuan 50 g/L; roti afkir 100 g/L; ampas tahu 50 g/L. Profil asam lemak tertinggi pada asam lemak yaitu asam lemak linolenat 9.12% dan asam amino essensial tertinggi pada lysine yaitu 10.51%.

Kata Kunci: populasi, biomass, tubifex sp., limbah, fermentasi, kandungan nutrisi.

PENDAHULUAN

(28)

sangatlah dibutuhkan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber pakan alami terbaik. Untuk mendapatkan cacing sutra yang berkualitas dengan produksi biomass yang tinggi maka media kultur untuk budidaya cacing sutra sangatlah penting untuk diperhatikan (Eti et al. 2011).

Media kultur untuk membudidayakan cacing sutra sangatlah penting, hal ini karena penggunaan pupuk organic dan penambahan pupuk di dalamnya mempengaruhi proses pertumbuhan dan kandungan nutrisi dari Tubifex sp. tersebut. Nutrient yang tinggi terutama kandungan N, P dan K di dalam pupuk organic tersebut yang nantinya akan dimanfaatkan secara optimal oleh Tubifex sp. Proses fermentasi menurut Zahidah et al., (2012) dan Nwaichi (2013), merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme, tujuan dari fermentasi yaitu menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, memiliki umur simpan yang lebih panjang, memiliki karakteristikorganoleptik dan komponen nutrisi yang lebih baik.

Penggunaan kotoran ayam yang dikombinasi dengan limbah industri yang difermentasi sebagai pupuk sangatlah jarang dilakukan oleh para pembudidaya cacing sutra. Kandungan N, P dan K kotoran ayam berdasarkan penelitian Findi (2011) dan Herawati et al. (2015), tertinggi yaitu 7% N; 0,31% P dan 0,23% K dan Limbah industri seperti roti afkir menurut Purbowati (2014) roti afkir mengandung protein kasar (PK) 32,63%, serat kasar (SK) 0,13%, lemak kasar (LK) 4,63%, abu 4,19% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 58,42%., bekatul, ampas tahu menurut Eti et al., (2013) mempuyai kandungan nutrisi kadar air 2,69%, protein kasar 27,09%, serat kasar 22,85%, lemak 7,37%, abu 35,02%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 6,87%, kalsium 0,5%, dan fosfor 0,2% dan bungkil kelapa dalam penelitian Herawati et al. 2014 memiliki kandungan nutrisi, yaitu 18,27% protein; 9,51% lemak; 25,19% serat kasar; abu 3,94% dan karbohidrat 38,17%. Unsur hara N, P dan K yang terkandung dalam bungkil kelapa, yaitu 0,7%; 1,78% dan 2,88%. Pemanfaatan kotoran ayam dan kombinasi limbah industri tersebut memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic untuk meningkatkan pertumbuhan dan kandungan nutrisi Tubifex sp (Syafruddin et al., 2005 dan Pandriyani et al., 2012)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan performa pertumbuhan Tubifex sp. melalui padat populasi, produksi biomass dan kandungan nutrisi melalui proksimat, fraksi asam amino dan asam lemak Tubifex yang dikultur massal menggunakan fermentasi limbah industri sebagai pupuk organic.

Manfaat dari penelitian yaitu untuk menemukan produksi biomass dan kandungan nutrisi Tubifex sp. terbaik yang dikultur massal menggunakan fermentasi limbah industri. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2014-Januari 2015 di Sanggar Cacing Organik Temanggung, Semarang.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dirancang menggunakan metode penelitian eksperimen untuk menemukan performa pertumbuhan, produksi biomass dan kandungan nutrisi pakan alami cacing sutra (Tubifex sp.) dalam kultur massal dengan memanfaatkan limbah industri (roti afkir, bekatul, bungkil kelapa dan ampas tahu) dan kotoran ayam yang di fermentasikan menggunakan bakteri probiotik (Lactobacillus casei dan Sacchoramyces cerevisiae).

(29)

Kotoran ayam dan limbah industri (roti afkir, bungkil kelapa, bekatul dan ampas tahu) dikeringkan terlebih dahulu, kemudian pupuk ditimbang sesuai dosis yang sudah ditentukan

A. 50 g/L kotoran ayam, 100 g/L roti afkir dan 50 g/L ampas tahu; perlakuan B. 50 g/L kotoran ayam, 100 g/L bungkil kelapa dan 50 g/L ampas tahu; perlakuan C 50 g/L kotoran ayam, 100 g/L bekatul dan 50 g/L ampas tahu.

Tahap fermentasi

Pupuk yang sudah ditimbang berdasarakan perlakuan kemudian difermentasi menggunakan bakteri probiotik (Lactobacillus dan Sacharomyces cerevisae), kemudian pupuk ditutup rapat menggunakan plastik dan diikat agar udara dari luar tidak masuk, pupuk didiamkan (sampai terlihat terbentuknya jamur dan bau asam) selama 14 hari. (Herawati et al. 2015).

Tahap analisis nutrient dalam komposisi pupuk

Pupuk yang sudah siap kemudian dianalisis kandungan N, P dan K nya untuk menemukan nutrient dalam masing- masing pupuk sebagai pakan untuk pertumbuhan cacing sutera (Tubifex sp.) Adapun kandungan N, P dan K pada pupuk yang digunakan tersaji dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kandungan N,P dan K pupuk organic yang digunakan

Perlakuan (%) adbk N P K Metode Uji Kotoran ayam+roti afkir+ampas tahu 3.42±0.08 1.60±0.0

9

1.48±0.0 4

Kyeldahl

Kotoran ayam+bungkil kelapa+ampas tahu 2.83±0.08 1.43±0.0 7 dimasukkan dalam media kultur massal. Penanaman Tubifex sp. ditebar dengan padat penebaran 10 gram/ wadah.kemudian pergantian air dan pemupukan ulang dilakukan setiap 2 hari sekali , lama pemeliharaan Tubifex sp. 50 hari.

Kandungan Nutrisi.

Diketahui melalui :

a. Analisis Proksimat untuk menemukan kandungan nutrisi (protein, lemak,

karbohidrat, serat kasar dan abu) Tubifex sp. yang dikultur menggunakan

fermentasi limbah industri.

(30)

c. Analisis asam amino essensial Analisis asam amino essensial dilakukan untuk mengetahui komposisi asam amino Tubifex sp. produk lokal dan produk impor. Analisis asam amino essensial dilakukan dengan menggunakan HPLC. HPLC dengan kolom Eurospher 100-5 C18, 250x4,6mm with precolumn P/N: 1115Y535.

Kualitas Air

Kualitas air selama penelitian tersaji dalam Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Kualitas air selama penelitian

Variabel Kisaran Kelayakan Menurut Pustaka Suhu (C) 21,6 – 22,8 15 - 25 Findy (2011)

pH 6,7 – 7,1 5,44 - 7,48 Masrurotun (2014) DO (mg/L) 2,58 – 3,08 1,64 – 3,95 Findy (2011) Amonia (mg/L) 0 - 0,01 <1,50 Safrudin et al., (2005)

Kualitas media kultur masih dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan cacing sutera, sehingga cacing sutra dapat tumbuh dengan maksimal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biomassa Multak Cacing Sutera (Tubifex sp.)

Biomassa mutlak adalah laju pertumbuhan total cacing. Pengukuran biomassa cacing dilakukan dengan penimbangan sampel cacing yang diperoleh dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,01 mg. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai rata-rata biomassa mutlak dan populasi untuk masing-masing perlakuan selama penelitian tersaji pada Tabel 1.

Gambar 1. Berat Biomassa Mutlak Cacing Sutera (Tubifex sp.) setelah Pemberian Pupuk Organik selama 50 hari

Hasil penelitian memperlihatkan biomassa cacing sutera ( Tubifex sp.) dengan fermentasi limbah industri memberikan pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap biomassa cacing sutera, untuk biomassa mutlak tertinggi adalah Tubifex sp. yang dikultur massal menggunakan kotoran ayam, roti afkir dan ampas tahu yaitu 40.81 gr ± 0,82 dan terendah adalah perlakuan B sebesar 27.73 gr ± 0,74 dengan selisih nilai biomassa tertinggi dan nilai biomassa terendah sebesar 13.08 gram. Hasil penelitian padat populasi cacing sutra selama penelitian tersaji pada Gambar 2.

(31)

Gambar 2. Rata-rata Nilai Populasi Cacing Sutera (Tubifex sp.) setelah Pemberian Pupuk Organik selama 50 hari

Populasi mutlak berdasarkan hasil penelitian perlakuan tertinggi adalah perlakan Tubifex sp. yang dikultur massal menggunakan kotoran ayam, roti afkir dan amapas tahu sebesar 123.17 individu ± 0,66% dan terendah adalah perlakuan Tubifex sp. yang dikultur massal menggunakan kotoran ayam, bungkil kelapa dan ampas tahu sebesar 70.92 individu ± 0,74% dengan selisih nilai biomassa tertinggi dan nilai biomassa terendah sebesar 52.25 individu/gram.

Faktor yang mempengaruhi biomassa dan padat populasi cacing sutera diantaranya yaitu, ketersediaan makanan, kualitas pupuk dan lingkungan. Menurut Findi (2011) dan Karin et al., (2014), ketersediaan makanan di dalam wadah budidaya akan mempengaruhi laju pertumbuhan harian dari cacing sutera, kurang tersedianya makan dalam media menyebabkan kemampuan reproduksi tehambat. Ketersediaan makanan dalam wadah pemeliharaan yaitu dengan pemupukan, pemupukan bertujuan untuk menambah sumber makanan baru pada media pemeliharaan cacing sutera. Kualitas pupuk yang diberikan pada cacing selama masa pemeliharaan dapat membedakan kualitas bahan organik yang dapat diketahui melalui analisis N, P dan K sehingga dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang masuk dalam cacing.

Hasil penelitian menunnjukkan bahwa biomass tertinggi pada Tubifex sp. yang dikultur massal dengan menggunakan kotoran ayam, roti afkir dan ampas tahu. Berdasarkan hasil analisis N,P dan K juga memeberikan hasil tertinggi yaitu 3.42; 1.60 dan 1.48; kandungan nutrient yang tinggi diduga dapat menigkatkan produksi biomassnya karena nutrient yang ada di dalam media kultur tersebut merupakan sumber pkan untuk Tubifex sp. tumbuh dan berkembang biak Selain itu fermentasi pupuk organik sebagai media juga terbukti lebih efektif dalam kultur cacing sutera. Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian Jeans (2012) yang menyatakan bahwa penggunaan pupuk organic yang di fermentasi terbukti meningkatkan jumlah populasi dan biomassa cacing sutera secara signifikan dibandingkan pupuk kotoran ayam tanpa di fermentasi.

Kandungan Nutrisi

(32)

Tabel 2. Hasil analisis proksimat (berat kering) Artemia sp. lokal dan Artemia sp.

Dikultur pada Media Pupuk Organik Fermentasi

A B C

Kandungan protein pada cacing sutera (Tubifex sp.) selama penelitian yang paling tinggi adalah pada perlakuan Tubifex sp. yang dikultur massal menggunakan kotoran ayam, roti afkir dan ampas tahu yaitu 62.66% dan terendah pada perlakuan Tubifex sp. yang dikultur massal menggunakan kotoran ayam, bungkil kelapa dan ampas tahu yaitu 55.94%. Kandungan protein dari hasil penelitian ini tertinggi 62.66% lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan Karin et al (2014), yaitu 44,33% protein; Shafruddin (2005), 54,49%; protein 4%. Tingginya kandungan protein dan rendahnya kandungan lemak dalam penelitian ini dikarenakan kandungan nutrient yang ada dalam media kultur Tubifex sp. tersebut, dimana semakin tinggi kandungan nitrat dan fosfat maka semakin tinggi kandungan proteinnya dan semakin rendah kandungan lipidnya. Hasil penelitian ini diperkuat dengan pernyataan Widianingsih. et.al., (2011); Randal et al., 2011 dan Surya&Nurul (2013) yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi nitrat dan fosfat maka semakin tinggi pula kandungan protein di dalamnya. Profil asam lemak Tubifex sp. dalam kultur massal menggunakan fermentasi limbah industri tersaji dalam Tabel 3.

Gambar

Gambar 2  Produksi induk udang pada private sector dan broodstock center  tahun 2014 (DJPB, 2012) Broodstock Center dan Regional Broodstock Center di beberapa wilayah
Gambar 3.  Produksi benih udang vaname di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali–Nusa Tenggara (KKP, 2012)
Tabel 1.   Hasil Penentuan KelulushidupanIkan Koi Yang Dipapar  Protein                              Spora Setelah 14  Hari Pemeliharaan
Tabel 1. Nilai Rata-rata Biomassa Mutlak (gram) dan Populasi (individu) pada Cacing Sutera (Tubifex sp.) setelah  Pemberian Pupuk  Organik  selama 50 hari
+7

Referensi

Dokumen terkait

12 Sesampai di Tabek Daduak, perbatasan Koto Anau dengan Cupak, beliau bersama dengan seorang kawannya yang bernama Nazar (anggota CPM) asal dari Nagari Batu

Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yuang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada

Maraknya pekerja anak yang bekerja di Industri tembakau di Indonesia, menjadi sebuah sisi gelap dari industri yang menghasilkan trilyunan rupiah untuk kas Negara, dan

Berdasarkan hasil penelitian, maka Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa, Tingkat kemampuan siswa kelas VIII SMP Swasta Budi Setia Tahun Pelajaran

Penulisan Hukum ini bertujuan untuk mengkaji apakah pelaksanaan fungsi Koperasi Mina Bahari ’45 sebagai badan hukum telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

Tahap ini peneliti menentukan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian, yakni buku-buku, jurnal atau referensi terkait penelitian. Kemudian, data dari observasi, wawancara,

Jika suatu jenis minuman softdrink dianggap memiliki kalor jenis yang sam dengan air (4,18 J/g °C), hitunglah jumlah kalor yang diperlukan untuk mendinginkan sebotol minumn

Secara umum, sebagian besar responden menegaskan bahwa kebijakan dan prosedur K3 yang ditetapkan di rumah sakitnya sudah memadai untuk meminimalkan risiko kesehatan dan