• Tidak ada hasil yang ditemukan

E-Book Majalah Geografi Warta Geologi Volume 3 Nomor 4

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "E-Book Majalah Geografi Warta Geologi Volume 3 Nomor 4"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

P e n g a n t a r R e d a k s i

Pengantar Redaksi Pembaca yang budiman,

Selamat bertemu kembali dengan Warta Geologi (WG) dalam penerbitan Volume 3 Nomor 4, edisi Desember 2008. Seperti edisi-edisi sebelumnya dalam edisi ini kami menyajikan rubrik-rubrik “Editorial”, “Geologi Populer”, “Lintasan Geologi”, “Geo Fakta”, “Profil”, “Seputar Geologi”, dan “Layanan Geologi”.

“Editorial” WG kali ini mengupas mengenai dua mata sisi uang penebangan hutan, yaitu sisi pertama kekeringan yang melanda pada musim kemarau, dan sisi kedua longsor serta banjir pada musim penghujan. Selanjutnya dalam rubrik “Geologi Populer” kami menyajikan tulisan-tulisan “Fenomena Semburan Lumpur di Indonesia: Edukasi bagi masyarakat sekitar Sumur Migas di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir (Ol)”, “CBM – Gas Methan dalam Batubara Calon Bahan Bakar Masa Depan”, dan “Kaldera “Supervolcano” Toba”. Selanjutnya dalam rubrik “Lintasan Geologi” para pembaca dapat menyimak tulisan yang berjudul “Kawah Ijen Penghasil Belerang Terbesar”. “Geo Fakta” menyajikan bagian pertama dari dua artikel berjudul “Geomedika Pengaruh debu mineral pada kesehatan” dan sosok geologis dunia bernama Alfred Russel Wallace. Adapun dalam profil kita kali ini WG menurunkan tulisan tentang sosok geologis wanita asal Yogyakarta, ibu Sri Sumarti.

Pembaca yang budiman,

Artikel “Fenomena Semburan Lumpur di Indonesia” merupakan tulisan Edy Sutriyono dkk. yang melaporkan upaya edukasi melalui penyuluhan kepada masyarakat di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir. Kegiatan edukasi ini dilakukan berkaitan dengan usaha pengaktifan kembali sumur-sumur minyak di daerah tersebut dan adanya kekhawatiran yang muncul di kalangan masyarakat dengan semburan lumpur yang terjadi di daerah lain di Indonesia. Kegiatan ini patut diteladani oleh daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki potensi sumur minyak dan semburan lumpur.

Artikel “CBM – Gas Methan dalam Batubara” merupakan karya tulis Siti Sumilah Rita Susilawati. Penulis secara persuasif menguraikan apa itu Coal Bed Methane (CBM), bagaimana proses terbentuknya, bagaimana cara eksploitasinya, dan apa manfaatnya. Di akhir tulisan, penulis menyinggung penyelidikan CBM di Indonesia, potensinya, dan peranan Badan Geologi dalam kaitan pengkajian potensi CBM ini.

Igan S. Sutawidjaja kembali hadir dalam WG kali ini dengan tulisannya yang berjudul Kaldera

“Suvervolcano” Toba. Penulis mencoba menguraikan secara singkat karakteristik dan teori pembentukan kandera Toba.

Artikel “Kawah Ijen Penghasil Belerang Terbesar” karya SR Wittiri dan Sri Sumarti menyajikan kawah di Gunung Ijen yang menjadi penghasil belerang terbesar di Indonesia. Pada akhir tulisan mencuat permasalahan menarik, yaitu bagaimana menormalkan air kawah dengan pH 2,5-3? Ternyata serangkaian percobaan yang dilakukan oleh tim geokimia BPPTK cukup berhasil menormalkan air.

Artikel berjudul “Geomedika, pengaruh debu mineral pada kesehatan” merupakan terjemahan Joko Parwata dari beberapa sumber di Internet. Tulisan ini mengetengahkan munculnya disiplin ilmu baru bernama Geomedika yang mengkaji efek-efek proses geologis pada kesehatan makhluk hidup dengan mengupas salah satu kasus debu mineral.

Profil WG edisi ini menampilkan kisah wanita Indonesia yang menjadi geologis karena Gunung Merapi. Sri Sumarti, saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi Gunung Merapi pada Balai Penyelidikan dan Pengembangan Kegunungapian Yogyakarta, PVMBG, Badan Geologi. Semangat hidupnya untuk menyelesaikan segala macam rintangan yang menghalangi jalan hidupnya dapat pembaca simak dalam profil ini. Adapun rubrik “Layanan Geologi” kali ini diisi dengan informasi Laboratorium Kimia BPPTK, PVMBG. Terakhir dalam rubrik “Seputar Geologi” kita akan menyimak beberapa kegiatan Badan Geologi antara bulan November hingga Desember 2008. Berturut-turut dilaporkan acara “Penyuluhan Geologi untuk Guru-Guru Geografi se-Kabupaten Pacitan jawa Timur” dan “Launching Peta dan Seminar Gaya Berat Indonesia”. menyumbangkan tulisannya di WG kali ini, terutama kepada Edy Sutriyono dkk dari Universitas Sriwijaya.

(4)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8 Kesalahan besar yang sering menerpa suatu kaum adalah tidak pernah belajar dari suatu kejadian, tidak pernah belajar dari pengalaman. Kesalahan tersebut menghasilkan tragedi yang berkali-kali terjadi.

Contoh kecil yang sebenarnya sangat disadari oleh semua pihak, bahwa menebang hutan secara semena-mena akan menghasilkan dua sisi mata uang. Sisi pertama adalah musim kemarau yang akan menghasilkan kekeringan yang kerontang karena tidak ada cadangan air tanah, sedangkan sisi lainnya akan menghasilkan longsor dan banjir yang membawa lumpur beserta pepohonan.

Apabila menyimak Peta Kerentanan Gerakan Tanah, kita akan terkesima setelah menyadarinya bahwa hampir 75 % bumi Indonesia rentan akan gerakan tanah (longsor). Posisi geografis Indonesia yang diapit oleh tiga mega lempeng dunia yang sering dituding sebagai salah satu pemicunya. Posisi tersebut menghasilkan banyak gunungapi, morfologi yang berbukit dan tentu saja, kondisi batuan yang tidak kompak.

Lelah mata kita menyimak berbagai informasi dari beragam media massa yang menayangkan berita kekeringan, banjir, longsor. Ada kalanya lokasi kejadiannya di tempat yang sama terjadi setiap tahun.

Belum lama ini kita menyaksikan longsor yang disusul dengan banjir yang merendam suatu perkampungan di Provinsi Sulawesi Barat. Ada pemandangan yang tidak lazim di sana, pada salah satu sekolah yang terlanda bukan saja terendam oleh lumpur yang tebal, tetapi juga pepohonan mulai ranting hingga batang. Hanya ada satu penjelasan yang logis, longsor yang disusul banjir tersebut karena ulah penebangan hutan yang semena-mena.

Dua Sisi Mata Uang Penebangan Hutan antara

Kering-kerontang dan Banjir

Hutan tidak saja berfungsi sebagai paru-paru dunia, tetapi sekaligus sebagai pengikat tanah dan pada gilirannya akan menangkap aliran air di permukaan untuk disimpan di dalam akuifer yang akan mengalir keluar ketika kemarau datang.

Hidup dengan mengacu pada hasil kerja keras para geolog dan pecinta lingkungan adalah langkah awal yang patut. Adalah hal yang tidak bijaksana apabila berdiri menuding bahwa posisi geografis adalah penyebab sumua bencana yang terjadi. Kondisi tersebut adalah given yang sudah tentu tidak bisa direkayasa, apalagi merubahnya. Yang dapat dilakukan adalah berlaku bijak dalam menata dan mempergunakannya.

Peta Kerentanan Gerakan Tanah telah tersedia, Daerah Rawan Banjir sudah pasti, tetapi tidak sedikit orang yang menjadikannya sebagai lokasi favorit sebagai tempat tinggal.

(5)
(6)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

B

encana semburan lumpur belakangan ini telah menjadi perhatian masyarakat

Indonesia, khususnya masyarakat yang

tinggal di sekitar lapangan migas di Sumatera

Selatan. Dalam upaya mengantisipasi kejadian

alam seperti itu diperlukan edukasi melalui

penyuluhan mengenai semburan lumpur agar

masyarakat mendapat wawasan yang lebih

luas, sehingga kepanikan yang berlebihan dapat

dihindari. Penyuluhan dilakukan di Kecamatan

Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir, di daerah

tersebut sedang dilakukan pengaktifan kembali

sumur-sumur minyak. Untuk mengetahui

keberhasilan kegiatan ini, yang berupa

meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai

fenomena semburan lumpur, dilakukan melalui

kuesioner yang diberikan sebelum dan sesudah

penyuluhan. Berdasarkan hasil evaluasi diketahui

adanya peningkatan pemahaman masyarakat

mengenai fenomena semburan lumpur yang

terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Fenomena Semburan

Lumpur di Indonesia:

Edukasi bagi Masyarakat di sekitar Sumur Migas

di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir (OI)

Oleh: Edy Sutriyono

1

, Budhi Setiawan

2

, Budhi K.

Susilo

1

, Ika Juliantina

2

, Endang Wiwik D.H.

1

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

1. Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Sriwijaya E-mail: edy_ sutriyono@yahoo.com

2. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sriwijaya

(7)

Geologi Populer

Pendahuluan

Keberadaan lapangan migas di suatu daerah diharapkan dapat berkontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD). Daerah Tanjung Tiga Timur di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir memiliki sumur-sumur migas yang ditinggalkan sementara kegiatan operasinya (temporary abandonment). PT Pertamina EP Region Sumatera berkerjasama dengan PT Formasi Sumatera Energi berupaya untuk mengaktifkan kembali sumur-sumur migas yang ditinggalkan tersebut. Upaya pengaktifan kembali sumur migas perlu dibarengi dengan pengelolaan lingkungan yang baik, termasuk sosialisasi kepada masyarakat setempat sehubungan dengan pengaktifan kembali program tersebut.

Perlu disadari bahwa eksploitasi migas seringkali menimbulkan dampak lingkungan yang secara langsung ataupun tidak langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pencemaran lingkungan akibat zat-zat kimia dari tumpahan minyak, semburan liar (blowout) berupa lumpur atau gas methana (CH4), dan kebocoran pipa minyak/gas adalah contoh-contoh permasalahan lingkungan secara fisik. Dampaknya secara non-fisik yang terkait dengan aspek sosial-ekonomi dan psikologi masyarakat sering kali lebih serius dan bersifat lebih kompleks atau rumit, terutama dalam upaya pemulihan atau “recovery”. Kasus semburan lumpur Sidoarjo di Jawa Timur atau yang dikenal sebagai LUSI yang terjadi sejak tahun 2006 diduga terkait dengan kegiatan pemboran ekplorasi migas yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas (Perusahaan Swasta Nasional).

Semburan lumpur di Desa Lubai Persada, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim (Sumatera Selatan) yang terjadi pada bulan April 2008 di stasiun kompresor gas Merbau (Mbu) 01 milik PT Pertamina EP Region Sumatera merupakan contoh lain bencana yang terkait dengan aktifitas eksploitasi migas. Kedua fenomena itu telah menimbulkan dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Fenomena serupa bukannya tidak mungkin akan didapatkan juga di Kabupaten Ogan Ilir, terutama jika dilihat dari tatanan tektoniknya, yaitu lapangan migas di Muara Enim dan Ogan Ilir secara regional keduanya berada pada South Sumatera back-arc basin.

Publikasi secara luas bencana semburan lumpur di beberapa daerah di Indonesia, khususnya yang terjadi di Kabupaten Muara Enim, tentunya telah menarik perhatian dan memberikan dampak psikologis sebagian masyarakat yang wilayahnya terdapat sumur migas. Dalam rangka mengantisipasi kejadian alam seperti di Kabupaten Muara Enim, masyarakat di Kecamatan

Fenomena LUSI

Model “mud volcano” (dari Prasetyo, 2007).

Peta tektonik Sumatera. Kabupaten OI dan Kabupaten Muara Enim terletak di

(8)

8 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8 Rambang Kuang, maka Kabupaten Ogan Ilir perlu mendapatkan edukasi melalui penyuluhan mengenai fenomena semburan lumpur di beberapa daerah di Indonesia agar mereka mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang hal itu, sehingga kepanikan yang berlebihan dapat dihindari jika di daerahnya terjadi hal yang serupa. Lebih jauh lagi, pemahaman yang cukup tentang kejadian alam tersebut diharapkan masyarakat dapat turut berperan aktif dalam menangani permasalahan yang ada, termasuk penanganan pengungsi, penyelamatan harta miliknya, dan dampak kemasyarakatan lainnya.

Tinjauan Pustaka

Indonesia dikenal sebagai daerah “ring of fire” di kawasan Asia-Pasifik merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana alam. Fenomena alam yang hingga kini menjadi kontroversi adalah LUSI. Kemunculan LUSI menjadi kontroversi diduga karena adanya muatan “politis” yang menyertainya, sehingga sulit bagi pemerintah untuk menyatakan apakah LUSI itu sebagai bencana alam (natural disaster) ataukah bencana yang diakibatkan oleh aktifitas pemboran sumur eksplorasi migas yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Terlepas dari kontroversi yang terkait dengan kepentingan politik, LUSI, oleh para ahli geologi dipandang sebagai fenomena ”mud volcano” atau gunung api lumpur, yang mengalami erupsi akibat aktivitas tektonik yang terkait dengan penyusupan lempeng Indo-Australia di bawah pulau Jawa.

Seperti telah disebutkan bahwa semburan lumpur ternyata terjadi juga di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten Indramayu (Jawa Barat) dan Kabupaten Muara Enim (Sumatera Selatan). Kemunculan lumpur di Indramayu dikaitkan dengan kegiatan seismik yang dilakukan oleh PT Pertamina, sedang di Muara Enim semburan lumpur merupakan gejala ”blowout” di sumur migas milik PT Pertamina EP Region Sumatera yang telah dimatikan sejak tahun 2002 (dalam sejarahnya, sumur itu pernah mengalami blowout di tahun 2002).

Dalam kasus Muara Enim, PT Pertamina EP Region Sumatera memberikan argumentasi bahwa blowout dipicu oleh gerakan lempeng Indo-Australia yang menyusup di bawah pulau Sumatera ketika terjadi gempa tektonik di Bengkulu, sehingga semen penyumbat sumur retak dan mengakibatkan terjadinya semburan lumpur. Berdasarkan Ali Syahbana (Asisten Manager) PT Pertamina EP Region Sumatera, kedalaman sumber semburan lumpur di daerah ini adalah 27 meter (Sumatera Ekspres, 7 Mei 2008), oleh karena itu kasus ini dianggap berbeda dengan LUSI yang memiliki kedalaman

cukup besar. Apapun faktor penyebab dari erupsi lumpur di wilayah itu, namun satu faktor yang dapat dipastikan yaitu adanya formasi lumpur dengan kandungan gas cukup tinggi.

Secara tektonik, wilayah Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Muara Enim keduanya berada pada sistem South Sumatera back-arc basin, dan daerah cekungan sedimen itu dikenal sebagai penghasil minyak dan gas bumi. Berdasarkan kesamaan lingkungan tektoniknya, kedua wilayah kabupaten tersebut kemungkinan memiliki kemiripan kondisi geologi.

Dalam konteks semburan lumpur, formasi lumpur yang dijumpai di Kabupaten Muara Enim kemungkinan didapatkan juga di Kabupaten Ogan Ilir, hal ini dimungkinkan karena kedua wilayah itu di masa lampau berada pada satu sistem cekungan pengendapan, sehingga memiliki kemiripan sejarah geologi. Tentu saja, skenario ini memerlukan penelitian lebih lanjut lagi untuk membuktikan bahwa formasi lumpur bertekanan tinggi dijumpai juga di wilayah Kabupaten Ogan Ilir.

Materi dan Metode Pelaksanaan

Kegiatan pengabdian masyarakat berupa edukasi tentang fenomena semburan lumpur di Indonesia, telah dilaksanakan di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan banyaknya sumur migas disekitar pemukiman penduduk didalam wilayah ini. Untuk itu, dalam melaksanakan kegiatan ini telah disusun:

a.Kerangka pemecahan masalah yaitu pemfokusan kegiatan pada dampak sosial akibat fenomena semburan lumpur di suatu daerah, sehingga masyarakat disekitar sumur-sumur migas memiliki kewaspadaan bencana terkait dengan kemungkinan terjadi semburan lumpur.

b.Realisasi kegiatan pengabdian masyarakat mengenai dampak sosial akibat fenomena semburan lumpur diwujudkan dalam bentuk edukasi dimaksudkan memberikan pengetahuan tentang kondisi geologi daerahnya dan pemahaman tentang fenomena semburan lumpur bagi masyarakat yang tinggal disekitar sumur-sumur migas di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir.

(9)

Geologi Populer d.Metode pelaksanaan kegiatan ini dilakukan

melalui ceramah dan tanya jawab. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat mengenai materi edukasi maka dilakukan kuesioner sebelum dan sesudah pelaksanaan.

Hasil dan Pembahasan

Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan dan evaluasi yang dilaksanakan melalui kuesioner kepada peserta sebelum dan sesudah ceramah mengenai semburan lumpur.

Persiapan Kegiatan

Pada tahap persiapan pelaksanaan kegiatan, tim pelaksana melakukan kunjungan lapangan sebanyak 2 kali. Pada kunjungan pertama, tim pelaksana melakukan orientasi lapangan dengan melihat secara langsung situasi kehidupan masyarakat, sekaligus memperkenalkan diri, melakukan sosialisasi rencana kegiatan dan memohon perizinan dan bantuan fasilitas bagi pelaksanaan kegiatan. Pada kunjungan kedua, tercapai kesepakatan antara Tim Pelaksana dan Bapak Camat terkait dengan waktu dan tempat kegiatan.

Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dari LPM Universitas Sriwijaya dengan judul “Fenomena Semburan Lumpur di Indonesia:

Edukasi bagi Masyarakat di sekitar Sumur Migas di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir dilaksanakan pada hari Kamis, 30 Oktober 2008 di Ruang Pertemuan, Kantor Kecamatan Rambang Kuang. Kegiatan ini dihadiri oleh peserta yang berasal dari 5 (lima) desa dimana di wilayahnya terdapat sumur-sumur minyak yang masih produksi, maupun sumur-sumur yang sudah ditinggalkan (lebih dikenal sebagai sumur tua). Peserta yang hadir dalam kegiatan ini tercatat di daftar hadir sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) orang.

Adapun inti dari kegiatan ini adalah edukasi bagi peserta melalui ceramah. Pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dipandu langsung oleh Camat Rambang Kuang. Ceramah ini menjelaskan tentang kondisi tatanan tektonik di Indonesia dan keterkaitannya dengan fenomena terbentuknya gunung lumpur. Hal yang menarik adalah penjelasan tentang fenomena LUSI dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama di Sumatera Selatan, khususnya di Kecamatan Rambang Kuang.

Evaluasi Kegiatan

Pada pelaksanaan kegiatan ini, peserta telah diminta untuk mengisi kuisioner sebanyak dua kali, yakni sebelum dan sesudah ceramah. Kuisioner tersebut memuat sejumlah pertanyaan yang dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama, pertanyaan yang mengukur tingkat pengetahuan dan persepsi peserta tentang semburan lumpur

(10)

0 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

di Indonesia; kedua, pertanyaan yang mengukur tingkat pengetahuan peserta tentang dampak sosial dan upaya penanggulangan semburan lumpur di Indonesia; dan ketiga, pertanyaan untuk lebih memahami persepsi peserta terhadap upaya mengaktifkan sumur minyak di daerah ini. Pada umumnya peserta telah mengetahui adanya kejadian semburan lumpur di Sidoarjo.

Informasi penyebab kejadian lumpur oleh sebagin besar peserta juga telah diketahui. Sebelum penyuluhan, umumnya peserta berpendapat bahwa kejadian semburan lumpur ini diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.

Setelah penyuluhan, hampir setengah dari peserta berpandangan bahwa kejadian tersebut bukan sepenuhnya kesalahan PT Lapindo Brantas.

Setelah penyuluhan peserta mempunyai pandangan mengenai adanya pengaruh gempa pada kejadian semburan lumpur tersebut. Peserta juga memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai gunung lumpur di Sidoarjo. Peserta telah mengetahui adanya semburan lumpur di Muara Enim dan memahami penyebab terjadinya. Selain itu, pendapat peserta juga berubah tentang adanya pengaruh gempa Bengkulu terhadap semburan lumpur di Muara Enim.

Setelah penyuluhan, peserta berpendapat bahwa kejadian semburan lumpur di Muara Enim berbeda dengan di Sidoarjo. Meski demikian, peserta belum dapat menjelaskan perbedaan dan persamaannya.

Umumnya peserta berpendapat bahwa semburan lumpur bukan merupakan kejadian alam biasa. Untuk itu diperlukan adanya peran serta masyarakat dalam penanggulangan semburan lumpur. Peserta juga berkeyakinan bahwa kejadian

tersebut merupakan peringatan dari Allah SWT agar pemerintah lebih bijak dalam mengelola kekayaan alam.

Peserta umumnya berpendapat bahwa kejadian ini merupakan bukti bahwa masyarakat belum dilibatkan dalam upaya pengelolaan lingkungan. Sebagain besar peserta juga sependapat perlunya peningkatan wawasan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan seperti yang telah dilakukan.

Pada umumnya peserta telah mengetahui dampak sosial akibat semburan lumpur dan memiliki dampak yang sangat besar. Penyelesaian dampak sosial ini merupakan hal yang sangat rumit dan tidak mudah.

Setelah penyuluhan, peserta mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah. Peserta juga berpandangan bahwa sudah cukup serius dan tanggap menanggulangi semburan lumpur Sidoarjo. Pembuatan tanggul-tanggul aliran penahan lumpur dipandang efektif untuk mencegah luapan lumpur oleh para peserta setelah penyuluhan dilakukan.

Pasca penyuluhan sebagain besar peserta berpendapat bahwa masyarakat telah mendapat perlakuan yang memadai dari perusahaan dan pemerintah. Pandangan peserta mengenai peran serta masyarakat Sidoarjo dalam upaya penanggulangan semburan lumpur terbagi dua kelompok. Setengah dari peserta berubah pandangan mengenai tuntutan masyarakat kepada perusahaan dan pemerintah.

Peserta memandang berbeda dampak sosial akibat semburan lumpur di Sidoarjo dan Muara Enim. Peserta juga berpendapat bahwa dampak sosial di Muara Enim tidak separah jika dibandingkan dengan di Sidoarjo serta penanggulanganya jauh lebih mudah. Peserta berpendapat Pertamina dan pemerintah sudah serius menangani semburan lumpur di Muara Enim dan masyarakat telah berperan dalam upaya penanggulangannya. Pandangan ini agak berbeda dengan kurang dilibatkannya masyarakat dalam menangani semburan lumpur di Muara Enim.

(11)

Camat dan Sekcam mengapit Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. dan Ir. Ika Juliantina, M.S.

Camat, Aprizal Hasyim, S.Sos., M.M. membuka dan sekaligus memandu pelaksanaan kegiatan.

Dr.Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. sedang memberikan ceramah yang mengedukasi masyarakat tentang tatanan tektonik dan fenomena gunung lumpur di Indonesia.

Tampak peserta sedang memperhatikan slide yang menggambarkan sebaran genangan semburan lumpur di Sidoarjo.

yang memadai tentang penanggulangan semburan lumpur dan pengaktifan sumur harus dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Kecamatan Rambang Kuang berupa edukasi tentang fenomena semburan lumpur di Indonesia berdasarkan pelaksanaan dan hasil analisis statistik dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Masyarakat di wilayah Kecamatan Rambang Kuang, yang diwakili oleh perangkat desa dan beberapa tokoh masyarakat dari Desa Tambang Rambang, Sukananti, Tanjung Bulan, Kayu Ara dan Tanjung Miring sangat antusias terhadap pelaksanaan kegiatan edukasi ini.

2. Hasil kuesioner menunjukkan ada peningkatan kemampuan peserta dalam memahami fenomena semburan lumpur di Indonesia, dampak sosial dan upaya penanggulangan semburan lumpur serta persepsi tentang upaya mengaktifkan kembali sumur minya di Kecamatan Rambang Kuang Kabupaten Ogan Ilir.

Saran

Berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Kecamatan Rambang Kuang, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Edukasi yang langsung menyentuh langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari perlu dilakukan sampai ke semua lapisan masyarakat yang lebih luas,

2. Tema tentang semburan lumpur, sangat menarik perhatian masyarakat, untuk itu perlu bagi LPM Universitas Sriwijaya untuk menjalin kerjasama dengan PT Pertamina Region Sumatera untuk melaksanakan kegiatan edukasi sebagai bagian dari program CSR (Corporate Social Responsibility).n

(12)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

T

entu para pembaca sependapat dengan saya bahwa kita ingin suatu

waktu Indonesia tidak mengalami

krisis energi, khususnya bahan bakar

minyak seperti yang selama ini kita alami.

Krisis energi mengakibatkan pemadaman

listrik, antrian gas dan minyak tanah dan

banyak lagi efek negatif sebagai akibatnya.

Penyebabnya karena harga bahan bakar

minyak (BBM) melonjak tajam. Pertanyaannya,

bisakah keinginan tersebut terwujud?

Jawabannya bisa, dengan mengurangi

ketergantungan kepada BBM.

Oleh:

SS Rita Susilawati

CBM – Gas Methan dalam

Batubara

Calon Bahan Bakar Masa Depan

(13)

Perbedaan Sumur Gas Konvensional dan Sumur CBM.

Ada beberapa pilihan pengganti sebagai alternatif, salah satunya adalah beralih kepada batubara dan bahan ini tersedia di bumi pertiwi Indonesia. Batubara mengandung gas methan yang dikenal dengan Coal Bed Methane (CBM). “Pendatang baru” ini sering diartikan sebagai Calon Bahan bakar Masa depan dan keberadaannya sangat menjanjikan.

Mengenal Coal Bed Methane (CBM)

Coal bed methan adalah gas methan yang terperangkap di dalam lapisan batubara. Gas ini terbentuk secara alamiah dalam proses pembentukan batubara (coalification). CBM pertamakali dikenal karena keberadaannya yang sering menimbulkan masalah dalam penambangan batubara bawah tanah. Dalam sejarah pertambangan batubara, kecelakaan akibat ledakan gas tercatat telah banyak memakan korban jiwa. Apabila gas methan yang terakumulasi di bawah tanah terganggu keberadaannya, misalnya terkena oksigen karena proses penambangan, maka akan meledak. Selain itu, gas ini juga beracun jika terhirup dalam jangka waktu yang cukup lama. Tetapi bila dikelola dan dikemas dengan baik, maka gas methan ini akan bermanfaat dan dapat diandalkan sebagai alternatif pengganti BBM. CBM mulai dilirik dan diproduksi secara komersial untuk kepentingan sumber energi sekitar 15 hingga 20 tahun lalu, terutama di negara-negara Amerika, Canada, China dan Australia.

Secara prinsip antara CBM dan gas konvensional, misalnya LPG tidak ada perbedaan karena sama-sama berasal dari dalam bumi. Yang membedakannya adalah batuan yang

“melahirkannya” atau source rock-nya. Yang bertindak sebagai reservoir maupun source rock dari CBM adalah lapisan batubara, sedangkan pada gas bumi konvensional adalah batuan yang berbeda atau bukan batubara. Walaupun source rock gas bumi itu serpih bitumen ataupun batubara misalnya, tetapi gas tersebut bermigrasi keatas melalui lapisan batuan yang porous dan terkumpul/terperangkap di dalam berbagai tipe reservoir pada batuan lain, bisa batupasir, batugamping ataupun batuan beku.

Hal lain yang membedakan antara keduanya adalah dalam hal cara penambangannya. Jika gas bumi bisa langsung dieksploitasi, tetapi pada CBM tidak demikian. Sebelum gas ini mengalir keluar, reservoir batubaranya harus direkayasa terlebih dahulu.

Bagaimana CBM terbentuk?

Seperti telah dikemukan diatas, gas methan dalam batubara terbentuk sebagai akibat proses pembatubaraan. Proses pembentukan batubara diawali oleh pertumbuhan tanaman pembentuk batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut kemudian mati dan terbenam. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati tersebut membentuk suatu lapisan dan terawetkan melalui proses biokimia.

Dalam proses biokimia, aktivitas bakteri mengubah sisa tumbuhan menjadi gambut (peat), lambat-laun tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batulempung, batulanau dan batupasir. Dalam perjalanan waktu yang sangat lama, puluhan juta tahun misalnya, gambut ini akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia

(14)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

Proses pembatubaraan dimulai dari penumpukan sisa-sisa tumbuhan yang telah mati di rawa-rawa. Sisa-sisa tumbuhan tersebut kemudian mengalami proses biokimia sehingga membentuk gambut (peat). Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan pengaruh panas dan tekanan dari lapisan-lapisan diatasnya, gambut kemudian berubah menjadi lignit dan batubara (sumber http://waterquality.montana.edu/)

matter seperti methan, CO2 dan air.

Gas methan di dalam batubara terdapat dalam dua bentuk, terserap (adsorbed) dan bebas. Methane yang terserap terdapat pada rangkaian monomolecular di dalam batubara, sedangkan methane dalam bentuk bebas terdapat di dalam pori-pori dan rekahan-rekahan di dalam batubara. Walaupun methan bukan satu-satunya gas yang terdapat di dalam batubara, namun keterdapatannya mencapai 80 – 95% dari total gas yang ada. Gas lain yang umum terdapat di dalam batubara adalah Ethane, Propane, Carbon Dioxide (Co2), Alkanes, Nitrogen (N2), Argon (Ar), Hydrogen (H2), Helium (He) dan Hydrogen Sulphide (H2S).

Dalam lapisan batubara, methan terperangkap dalam salah satu dari 3 bentuk ini ; 1) sebagai “free gas” dalam rekahan-rekahan, 2). sebagai molekul gas yang terserap (adsorbed) dalam “mikropore” dan rekahan, dan 3) sebagai molekul yang larut (dissolved) dalam air yang terdapat dalam lapisan batubara.

Berbagai tipe batubara memiliki tingkat penyerapan gas yang berbeda sehingga peringkat batubara berperan penting dalam menentukan kandungan gas dalam suatu lapisan. Kapasitas penyerapan batubara meningkat seiring dengan meningkatnya peringkat mulai dari lignit hingga batubara bituminus, kemudian mengalami penurunan pada batubara bituminus peringkat tinggi hingga antrasit. Hal ini disebabkan pada batubara peringkat tinggi, tekanan, suhu dan akibat pengaruh tekanan (P) dan temperatur

(T), sehingga berubah menjadi batubara. Pada tahap ini proses pembentukan batubara lebih didominasi oleh proses fisika dan geokimia. Sebagai gambaran untuk batubara dengan tebal +2 m, dibutuhkan lapisan sisa-sisa tumbuhan dengan ketebalan + 60m.

Selama proses pembentukan batubara, sejumlah besar air dihasilkan bersama-sama dengan gas. Pada proses pembatubaraan, gambut berubah menjadi batubara lignit, bituminous sampai batubara antrasit. Proses perubahan dari gambut menjadi batubara dikenal dengan nama proses pembatubaraan (coalification). Peringkat atau tingkat kematangan batubara ini berhubungan langsung dengan temperature, tekanan, kedalaman burial, geothermal gradien dan juga lamanya waktu pembebanan.

(15)

Diagram kiri: cara keluarnya gas dari dalam batubara; kanan: gambaran ideal face dan butt cleats dalam batubara (Sumber USGS)

juga kedalaman burial menyebabkan gas dipaksa keluar karena tekanan geologi dan juga tekanan hidrostatik. Tingkat kematangan batubara akan mengontrol volume gas methan yang dihasilkan dan disimpan. Oleh karena itu peringkat atau kematangan batubara sangat menentukan potensi batubara tersebut dalam menghasilkan gas.

Kontrol kandungan gas dalam batubara

Produksibilitas CBM sangat dipengaruhi oleh faktor geologi seperti, sistem lingkungan pengendapan, geometri/distribusi batubara, peringkat batubara, besarnya kandungan gas, permeabilitas serta tektonik/struktur geologi dan juga oleh kondisi hidrogeologi.

Karena lapisan batubara bertindak sebagai batuan sumber (source bed) dari gas methane dan juga sebagai reservoir untuk gas tersebut, penyebaran/ distribusi batubara yang luas di suatu cekungan akan sangat berpengaruh terhadap besarnya sumberdaya gas methane. Penyebaran vertikal dan lateral batubara sangat dipengaruhi oleh kondisi tektonik, struktur geologi, dan kerangka sedimentasinya. Hal ini disebabkan karena perkembangan/pertumbuhan batubara dikontrol oleh keseimbangan antara penurunan cekungan sedimen dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan pada saat batubara terbentuk. Dalam hal ini, pemahaman terhadap lingkungan pengendapan batubara akan sangat membantu dalam proses eksplorasi CBM.

Kandungan gas dalam batubara dapat berubah apabila kondisi batuan reservoir terganggu. Kandungan gas di dalam batubara dapat bertambah, baik secara lokal maupun regional, oleh pembentukan gas biogenik sekunder atau oleh aliran gas dari tempat lain yang terserap oleh lapisan batubara ditempat itu. Air meteorik di dalam recharge yang aktif atau aliran yang konvergen dapat mengurangi kandungan gas, seperti pada batubara yang terangkat dan tererosi menyebabkan tekanan reservoir lebih rendah sehingga gas methane akan lepas dari lapisan batubara tersebut.

Permeabilitas batubara dan aliran air bawah tanah juga merupakan faktor yang mengontrol produksibilitas methane. Kedua variabel ini berhubungan erat dengan distribusi batubara dan kerangka tektonik pengendapannya. Hal ini disebabkan aliran air tanah yang melalui lapisan batubara membutuhkan lapisan batubara yang secara lateral bersifat permeabel. Batubara merupakan reservoir yang memiliki permeabilitas yang rendah. Permeabilitas batubara dipengaruhi oleh sistim dari rekahannya (cleat system). Gas dan airtanah akan bermigrasi melalui rekahan

Geologi Populer (fracture/cleat) tersebut. Sedangkan keberadaan rekahan/cleats tersebut secara langsung dikontrol oleh aktivitas tektonik/sruktur geologi.

Rekahan/cleat dalam batubara terdapat dalam dua tipe, dikenal dengan nama ”butt cleats” dan ”face cleats”. Keduanya terbentuk hampir tegak lurus satu sama lainnya. Face cleat biasanya menerus sehingga menyediakan jalan untuk permeabilitas yang tinggi sedangkan butt cleats tidak menerus dan biasanya berakhir pada face cleats. Permeabilitas rekahan dalam batubara merupakan jalan utama mengalirnya gas, semakin besar permeabilitas semakin besar produksi gas. Kapasiatas penyerapan batubara (adsorption capacity) terhadap gas didefinisikan sebagai volume gas yang bisa terserap per unit masa batubara yang biasanya disebutkan dalam satuan SCF (standar cubic feet), yaitu volume pada kondisi tekanan dan temperatur standar. Kapasitas penyerapan batubara tergantung pada peringkat dan kualitasnya.

(16)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

Eksploitasi CBM

Berbeda dengan gas konvensional, reservoir batubara harus mengalami rekayasa terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa mengeluarkan gas. Rekahan-rekahan atau cleat dalam batubara biasanya dipenuhi oleh air. Semakin dalam lapisan batubara semakin berkurang kandungan air di dalamnya. Untuk mengeluarkan gas dari dalam batubara, tekanan dalam reservoir tersebut harus dikurangi dengan cara memompa air keluar dari lapisan batubara.

Proses ekstraksi methan dari dalam lapisan batubara dilakukan dengan melakukan pengeboran pada kedalaman 300 hingga 1500 m kemudian air dipompa keluar. Aliran air pada lubang bor bisa menurunkan tekanan dalam lapisan batubara. Karena CBM memiliki tingkat pelarutan yang sangat rendah dalam air, maka CBM bisa dengan mudah terpisah dari air ketika tekanan reservoir menurun. Pengeboran dan pemompaan air mendorong keluarnya gas dari lapisan batubara ke dalam lubang bor. Gas methan ini selanjutnya dikirim ke stasiun kompresor untuk selanjutnya dialirkan pada pipa-pipa gas. Sementara itu air hasil dewatering dapat dibuang ke dalam sistem air setempat, untuk pengairan irigasi misalnya.

Pada tahap awal produksi sumur CBM belum menghasilkan gas dalam jumlah yang ekonomis karena memproduksi sejumlah besar air. Tidak seperti pada gas konvensional, yang puncak produksinya bisa dicapai dalam kurun waktu hanya satu tahun dari masa operasional. Puncak produksi CBM berkaitan dengan dewatering yang diperoleh dalam jangka waktu yang lebih lama, biasanya 5 hingga 7 tahun dari masa awal produksi.

Pada awal produksi, industri CBM memang membutuhkan biaya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan konvensional gas. Tetapi pada tahap operasional selanjutnya, menurut pengalaman, biaya produksi CBM bisa lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi gas alam konvensional.

Manfaat CBM

CBM dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik, untuk keperluan rumah tangga, maupun digunakan dalam berbagai macam indusri. Melalui proses pemurnian sampai 95%, CBM dapat digunakan sebagai pengganti BBM.

Ada dua manfaat menggunakan CBM untuk sumber energi listrik. Pertama ramah lingkungan, yang kedua menghasilkan panas yang lebih tinggi dibanding dengan batubara. Jika pemakaian batubara sebagai energi pengganti minyak dan gas bumi banyak mendapat kecaman karena dianggap mencemari lingkungan dan dianggap memicu terjadinya pemanasan global, CBM dianggap sebagai sumber energi yang lebih ramah terhadap lingkungan. Pembakaran CBM menghasilkan emisi CO2 yang jauh lebih sedikit daripada pembakaran batubara.

Sebagai contoh, emisi CO2 per unit listrik yang dihasilkan dari pembakaran batubara sub bituminus adalah 1180 ton per GWH (Gega Watt Hour), batubara bituminus menghasilkan 600 ton CO2 per GWH, sedangkan hasil pembakaran CBM hanya menghasilkan 25 ton per GWH. Pembakaran CBM juga bebas sulfur sehingga tidak menghailkan sulfur oxides yang dikenal bisa mengakibatkan polusi dan hujan asam.

Saat ini para pemerhati lingkungan di dunia sangat peduli terhadap emisi gas CO2 yang dianggap memicu terjadinya pemanasan global. Untuk mengurangi emisi gas ini, para ahli berhasil mengembangkan apa yang dinamakan “CO2 sequestration” atau penyimpanan CO2 secara permanen dengan jalan menginjeksikan gas ini ke dalam lapisan batuan jauh didalam bumi.

Bagan perbedaan antara kurva produksi CBM dan konvensional gas (Sumber USGS)

(17)

Diagram pemanfaatan CBM

Batubara, dikenal sebagai salah satu batuan yang bisa digunakan untuk menyimpan CO2. Secara alamiah molekul CO2 lebih mudah terserap oleh lapisan batubara daripada molekul methan. Sehingga secara sederhana jika 1 molekul CO2 mengisi komponen batubara akan ada 1 molekul gas methan yang dibebaskan dalam rangka menjaga kestabilan kimiawinya. Sehingga penyimpanan CO2 pada lapisan batubara yang akan meningkatkan produksi CBMnya, inilah yang dikenal dalam istilah asing, sebagai “enchance CBM recovery”.

CBM di Indonesia

Penyelidikan CBM sebagai sumber energi alternatif di Indonesia mulai intensif dilakukan sekitar tahun 1990an, mengikuti sukses pengembangan CBM di beberapa negara yang sudah berhasil sebelumnya. Pada tahun 1998, perusahaan minyak Caltex memprakarsai penyelidikan potensi gas methan dalam batubara di Cekungan Sumatera bagian tengah. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri yang saat itu masih bernama Departemen Pertambangan dan Energi memprakarsai pembentukan kelompok kerja CBM yang bertugas mengkaji kemungkinan pemanfaatan CBM di Indonesia.

Ada beberapa hal yang mendukung pengembangan CBM di Indonesia, diantaranya adalah; kekayaan sumber daya batubara yang berlimpah, krisis energi, serta kesadaran global penggunaan sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Kekayaan sumberdaya batubara di Indonesia memungkinkan kehadiran sumberdaya CBM yang potensial. Krisis energi yang diakibatkan menurunnya pasokan bahan

bakar minyak (BBM), sementara kebutuhan terus Road map pengembangan industri CBM di Indonesia (Sumber Dirjen Migas). Geologi Populer meningkat, memicu pencarian energi alternatif sebagai pengganti BBM merupakan keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Pemanasan global yang menjadi issue hangat lingkungan dewasa ini, dianggap dipicu oleh emisi green house gas yang diakibatkan pembakaran energi fosil seperti misalnya batubara. Sehingga pemakaian sumber energi yang jauh lebih ramah lingkungan semakin banyak dituntut.

Data terbaru mencatat jumlah sumber daya batubara Indonesia sebesar total 90.451,87 juta ton, yang sebagian besar berupa batubara peringkat rendah dan menengah. Dengan kandungan batubara sebesar itu, diyakini bahwa Indonesia juga memiliki kandungan CBM yang besar. Survei terbaru mengenai CBM di Indonesia yang menghasilkan prediksi potensi CBM di beberapa cekungan batubara Indonesia dilakukan oleh Advances Resources International (ARI) pada tahun 2002. Survei ini dilakukan atas pemintaan Dirjen Migas dan atas biaya Asian Development Bank (ADB). Hasil survei tersebut diketahui bahwa potensi CBM Indonesia sebesar 453 Triliun Cubic Feef (Tcf) potensial gas in place yang terdapat pada lapisan batubara pada kedalaman 500-4500 m.

Selain yang dilakukan oleh ARI, hingga saat ini belum ada survei terpadu komprehensif lainnya yang dilakukan untuk menghitung potensi CBM di seluruh cekungan batubara Indonesia secara lebih akurat. Survei yang dilakukan ARI barulah merupakan survei pendahuluan dengan menggunakan data-data sekunder, sehingga pembuktian potensi CBM Indonesia dengan menggunakan data-data primer masih harus terus dilakukan.

(18)

8 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

Road map pengembangan industri CBM di Indonesia (Sumber Dirjen Migas).

mengindikasikan kehadiran gas methan dalam lapisan batubara di cekungan Sumatra Selatan yang cukup potensial.

Pemerintah Indonesia mempunyai perhatian yang besar dalam pengembangan energi alternatif termasuk pengembangan CBM. Saat ini, pemerintah telah menyediakan Peraturan Pengusahaan Gas Methan dalam batubara. Bahkan melalui Dirjen Migas, pemerintah telah mulai melakukan penawaran wilayah kerja gas methan batubara. Banyaknya aplikasi penawaran menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang tertarik melakukan investasi dalam pengusahaan CBM di Indonesia, karena percaya pada keberadaan CBM potensial di Indonesia, termasuk diantaranya beberapa perusahaan asing. Mengacu pada data Dirjen Migas, hingga tahun ini tercatat 3 perusahaan telah mengantongi ijin pengusahaan CBM di Indonesia.

Potensi CBM Indonesia

Secara umum, di Indonesia terdapat dua endapan batubara yang dianggap prospek mengandung CBM. Endapan batubara berumur Miosen dianggap sebagai endapan yang paling prospektif. Walaupun memiliki kualitas yang rendah, tetapi endapannya sangat tebal berada pada kedalaman target CBM serta memiliki kandungan abu yang sangat rendah. Kekurangannya, karena batubara Miosen masih muda, maka memiliki kandungan moisture yang tinggi, sehingga kemungkinan membutuhkan penanganan khusus dalam proses dewatering ketika ekploitasi CBM nantinya.

Sebaliknya batubara yang berumur Eosen yang memiliki kualitas yang lebih tinggi dianggap kurang prospektif untuk pengembangan CBM karena ketebalan endapannya tipis dan terdapat pada kedalaman yang sangat dalam. Walaupun demikian pada beberapa area, batubara jenis ini kemungkinan juga cukup prospektif mengandung CBM.

Secara umum, terdapat anggapan bahwa batubara Indonesia terlalu rendah dan terlalu dangkal untuk bisa mengandung prospektif CBM. Tetapi, dengan keberhasilan eksploitasi CBM batubara peringkat rendah di Powder River Basin, Amerika Serikat, maka anggapan ini berhasil dipatahkan. Fakta bahwa batubara pada kedalaman dangkal yang ditambang secara open pit di Indonesia memiliki arah jurus yang searah dengan kedalaman cekungan sehingga menjadi gas charged pada kedalaman target CBM pada areal yang luas. Selain itu, juga adanya gas kick pada beberapa sumur minyak yang menembus lapisan batubara, membuat para ahli geologi optimis bahwa CBM yang potensial juga mungkin terdapat pada batubara peringkat rendah yang dimiliki Indonesia.

Peranan Badan Geologi

Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Badan Geologi melalui Pusat Sumber Daya Geologi hingga saat ini banyak melakukan kegiatan eksplorasi CBM dengan fokus pada pengumpulan data dasar secara primer serta membangun database batubara Indonesia yang cukup komprehensif. Data dasar yang diambil secara langsung ini sangat diperlukan dalam pengkajian potensi CBM di suatu daerah secara lebih akurat.

Penghitungan kandungan gas secara langsung (gas desorption) pada lapisan batubara di beberapa cekungan pembawa batubara telah mulai dilakukan semenjak tahun 2002, demikian juga dengan pengukuran permeabilitas batubara. Kandungan gas dan permeabilitas adalah data yang sangat penting untuk diketahui guna melakukan kajian potensi CBM di suatu area. Berbagai bentuk workshop dan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan tenaga ahli yang kompeten menangani CBM. Hingga saat ini Indonesia belum memiliki tenaga ahli yang berpengalaman dalam mengeksplorasi maupun mengeksploitasi CBM.

Badan Geologi juga mempersiapkan diri dengan kelengkapan peralatan eksplorasi CBM yang cukup lengkap. Saat ini Badan Geologi memiliki satu unit Mobile CBM yang bisa digunakan untuk melakukan pengukuran kandungan gas secara langsung di lapangan, disamping alat gas kromatograf untuk menentukan kandungan gas dalam batubara.

Penutup

(19)

Sumber daya CBM di Indonesia berdasarkan hasil survey ARI, 2002, berurutan mulai dari cekungan dengan sumberdaya terbesar pertama hingga terbesar keempat.

Rank (4 tertinggi) Cekungan Daerah Prospeksi

(km2)

Sumber daya CBM

(Tcf-Triliun Cubic feet)

3.7 Sumatra Selatan 7,350 183

3.1 Barito 6,330 102

3.1 Kutai 6,100 80

3.0 Sumatra Tengah 5,150 53

Semua Cekungan 30,248 453

Sumber daya Batubara Indonesia 2007 (Pusat Sumber Daya Geologi, 2007)

No. PULAU KUALITAS SUMBER DAYA

(Juta Ton)

CADANGAN

(Juta Ton)

KALORI KRITERIA

1. JAWA Rendah – sedang < 5100 - 6100 11,24 0,00

Tinggi – sangat tinggi 6100 - >7100 2,97 0,00

2. SUMATERA Rendah – sedang < 5100 - 6100 51.092,29 11.296,52

Tinggi – sangat tinggi 6100 - 7100 1.432,29 525,05

3. KALIMANTAN Rendah – sedang < 5100 - 6100 28.530,11 5.285,91

Tinggi – sangat tinggi 6100 - 7100 11.937,95 1877,07

4 SULAWESI Rendah – sedang < 5100 - 6100 218,42 0,00

Tinggi – sangat tinggi 6100 - 7100 14,68 0,00

5 MALUKU Rendah < 5100 2,13 0,00

6 PAPUA Rendah – sedang < 5100 - 6100 122,51 0,00

Tinggi – sangat tinggi 6100 - 7100 30,91 18.711,55

TOTAL 93.402,51 18.711,55

Peta Lokasi Daerah Pengukuran kandungan gas dalam batubara di Kalimantan (Sumber: KPP Energi Fosil, Pusat Sumber Daya Geologi, 2007)

Geologi Populer Geologi Populer negeri hitam” itu agar kita bangun dari mimpi. Begitu dia burst out, Insya Allah akan memberikan pasokan listrik yang berlimpah sehingga kita tidak akan lagi mendapat giliran pemadaman, memberikan langit yang lebih biru, jauh dari polusi, sehingga kita menyediakan lingkungan yang lebih aman bagi generasi kemudian.n

(20)

0 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

Kaldera

“Supervolcano“ Toba

Oleh:

Igan S. Sutawidjaja

K

aldera Toba atau dikenal sebagai Da-nau Toba di Sumatera Utara,

meru-pakan kaldera terbesar di muka bumi,

berukuran 100 x 30 km2. Pembentukan kaldera

tersebut merupakan kejadian terbesar dalam

catatan sejarah geologi. Luas kaldera menempati

area 2.270 km2, memanjang arah barat

laut-teng-gara searah jalur gunung api Sumatera. Danau

Toba yang merupakan danau terbesar di

Suma-tera, menempati bagian dalam kaldera dengan

elevasi permukaan air 906 m dan bagian

ter-dalam 530 m. Dinding kaldera umumnya curam

dengan ketinggian antara 400 sampai 1200 m,

puncak topografi tertinggi mencapai 1700 m dari

dasar danau.

(21)

diikuti runtuhnya dua blok besar, yakni Blok Pulau Samosir dan Blok Uluan. Beberapa ahli seperti Westerveld (1947), Verstapen (1961), Aldiss dan Ghazali (1984), Nishimura (1984), Tjia dan Kusnaeny (1976) berpendapat bahwa Kaldera Toba terbentuk oleh satu kali letusan besar, yang menurut Chesner (1988) terjadi pada 75.000 tahun yang lalu, seiring dengan pembentukan Gunung Pusuk Bukit (gunung api tipe B) pada tepi barat kaldera, dan Gunung Tanduk Benua di ujung utara kaldera.

Volume material yang dilontarkan antara 2500 - 3000 km3, 1000 km3 diantaranya mengisi

bagian dalam kaldera (Rose dan Chesner, 1987). Material tersebut terdiri atas endapan batuapung, bongkahannya mencapai diameter 80 cm, sedangkan bongkahan litik mencapai diameter 50 cm, menempati areal seluas 20.000 km2,

sebagian terlaskan menjadi ignimbrit, dengan ketebalan mencapai 400 m pada dinding kaldera. Endapan batuapung ini dikenal sebagai Tuf Toba, tersingkap pada dinding graben Prapat sekitar Siguragura.

Apabila dibandingkan dengan Tuf Fish Canyon, San Juan, 3000 km3 (Steven dan Lipman, 1976)

dan Tuf Huckkleberry Ridge, Yellowstone, 2450 km3 (Christiansen, 1979), maka volume material

Di dalam kaldera terdapat sebuah pulau yang dikenal sebagai Pulau Samosir.

Pulau ini mempunyai dimensi 45 km panjang dan lebar 20 km, memanjang searah dengan bentuk kaldera. Menurut van Bemmelen (1939), Pulau Samosir terbentuk bersamaan dengan blok Uluan yang berada di bagian tenggaranya. Kedua blok tersebut merupakan dua blok tubuh gunung api Toba purba yang runtuh setelah terjadi letusan yang sangat dahsyat. Blok Uluan bukan merupakan sebuah pulau, karena blok ini menyatu dengan dinding kaldera di bagian tenggara. Pulau Samosir pun saat ini hampir menyatu dengan daratan Sumatera karena surutnya air danau, hanya dipisahkan oleh sebuah selat selebar 10 m yang dihubungkan dengan sebuah jembatan di bagian barat pulau.

Kaldera Toba

Sampai saat ini pembentukan Kaldera Toba masih dalam perdebatan para ahli geologi, apakah terbentuk oleh satu kali letusan besar Gunung Toba atau terjadi beberapa kali letusan yang diikuti kegiatan tektonik. Van Bemmelen (1939) menyatakan bahwa kaldera Toba terbentuk akibat proses vulkanik yang menghasilkan sebuah kaldera besar yang

Geologi Populer

(22)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8 letusan Gunung Toba tergolong dalam jumlah terbesar dari suatu erupsi gunung api dalam catatan sejarah geologi.

Gunung Pusuk Bukit

Kegiatan pasca-kaldera Toba adalah pembentukan gunung api Pusuk Bukit, gunung api tipe B, yang terbentuk pada dinding barat kaldera, dan menghubungkan antara daratan Sumatera dengan Pulau Samosir. Leleran lava termuda dari gunung api ini berkomposisi dasit, warna abu-abu serta kaya dengan gelas dan kristal.

Kegiatan hidrotermal terdapat pada lereng utara berupa alterasi batuan dan kegiatan fumarola, solfatara serta mata air panas. Bagian barat laut gunung api ini bersentuhan dengan dinding kaldera yang tersusun dari batuan metasedimen berkekar radial dan teralterasi hidrotermal yang mengandung realgar dan sinabar.

Di dalam kaldera, sebelah selatan Samosir dan Uluan, terdapat singkapan endapan batuapung berkomposisi dasit, bongkahnya mencapai diameter 1 meter. Sedangkan di ujung utara kaldera terbentuk Gunung Tanduk Benua yang berkomposisi andesit. Endapan vulkanik ini menutupi endapan Tuf Toba.

Danau Toba kini menjadi primadona para wisatawan di wilayah Sumatera Utara, baik dari dalam maupun luar negeri. Bentuk bentang alam yang menyuguhkan panorama alam dan keindahan magis bagi para pengunjung, sehingga apabila memandang keindahan bentang alam ini tidak menjemukan. Di samping itu, di kawasan ini sudah dikembangkan semua fasilitas untuk kesenangan berwisata, seperti pembangunan hotel-hotel, pengadaan kapal-kapal untuk menikmati keindahan alam dari atas danau, dilengkapi suguhan cerita pembentukan danau menurut versi kebudayaan masyarakat sekitar Danau Toba.

Balok diagram Kaldera Toba, Pulau Samosir dan kerucut gunung api pasca pembentukan kaldera.

(23)

Mata air panas bersuhu 56oC mengendapkan silika pada dasar sungai.

Foto: Igan S. Sutawidjaja

Geologi Populer

Alterasi batuan pada lereng timur laut G. Pusuk Bukit searah dengan dinding kaldera. Foto: Igan S. Sutawidjaja

(24)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

Keindahan panorama alam Danau Toba yang tidak menjemukan.

Foto: Igan S. Sutawidjaja

Keindahan panorama alam Danau Toba yang tidak menjemukan.

(25)

Kegiatan fumarola pada dinding dan dasar sungai lereng utara G. Pusukbuhit. Foto: Igan S. Sutawidjaja

Mata air panas yang muncul pada lereng Gunung Pusuk Bukit, menambah daya tarik pengunjung untuk datang dan menikmatinya. Tetapi area ini belum dikembangkan lebih baik lagi. Beberapa kolam rendam tampaknya kurang terpelihara, sehingga para pengunjung pada umumnya hanya bisa menikmati keindahan pemunculan mata air panas tersebut.n

Penulis adalah Penyelidik Bumi Madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi BADAN GEOLOGI

(26)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

D

ahulu kala gunung api ini sangat besar bentuk fisiknya kemudian

tercabik-cabik oleh letusan besar (violent

eruption) dalam tiga periode yang diperkirakan

mulai berlangsung pada 3500 tahun yang lampau.

Letusan tersebut menghasilkan lobang yang sangat

besar dengan ukuran 19 x 21 km2 di bagian lantai

dan 22 x 25 km2 di bagian atas yang kemudian

dikenal dengan Kaldera Ijen (H. Sundoro, 1990).

Di tengah kaldera tersebut terbentuk sebuah danau

kawah yang menjadi pusat kegiatan vulkanik

Gunung Ijen saat ini. Danau kawah tersebut

berukuran 160 x 1160 m2 di bagian atas (crater

rim) dan 960 x 600 m2 bagian bawah (danau).

Oleh: SR. Wittiri

1

dan Sri Sumarti

2

Kawah Ijen

Penghasil Belerang Terbesar

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

1. Pemerhati Gunung api.

(27)

Bernafas dalam lumpur belerang, Sublimasi belerang yang keluar dari ujung pawon

Foto: Sri Sumarti, 2001

Ditengarai air danau ini adalah salah satu yang paling asam di dunia karena pH (keasaman)-nya antara nilai nol (tidak terukur) hingga 0,8.

Nilai tersebut bervariasi tergantung pada kondisi musim hujan atau kemarau. Oleh karena itu gunung api yang memaku Tanjung Blambangan di ujung timur Pulau Jawa ini lebih dikenal sebagai Kawah Ijen.

Kawah Ijen berdiri tidak utuh pada posisi geografi 8o 03,5’ Lintang Selatan dan 114o 14,5’ Bujur

Timur dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur.

Masa kini permasalahan yang mencuat dan menjadi biang keladi di Gunung Ijen bukan aktivitas letusannya, tetapi air danau yang sangat asam yang secara diam-diam menyusup diantara celah bebatuan dan mengalir jauh hingga ke laut. Dalam perjalannya menuju ke laut, air “abnormal” tersebut melintasi pemukiman penduduk, persawahan, perkebunan, bahkan pabrik (gula). Akibatnya yang nyata adalah terjadi pencemaran

(28)

8 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8 Beratnya 90 kg

Memikul belerang dari lantai kawah mendaki tebing dengan kecuraman 60o

Foto: SR. Wittiri, 2001

lingkungan yang menyebabkan kulit gatal, korosif pada gigi, tanaman tumbuh tidak sempurna, dan korosif pada komponen pabrik.

Sudah tentu tidak semata hal yang negatif yang dijumpai disana. Selain itu ada sisi positif yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup ummat manusia, belerang misalnya. Bahan galian ini jumlahnya sangat melimpah dan baru bisa ditambang sekitar 20%, atau sekitar 14 ton perhari, dari total jumlah yang disediakan oleh alam. Selain itu, batu gamping (lime stone) yang menjadi penyanggah dari formasi selang-seling endapan vulkanik jatuhan dan lava yang

menyusun bebatuan di Ijen menyediakan unsur kalsium (Ca) yang memungkinkan terbentuknya gipsum alam akibat bereaksi dengan air kawah yang mengandung unsur sulfur yang tidak terkira banyaknya.

Bernafas dalam Lumpur Belerang

Salah satu produk gunung api yang dapat dimanfaatkan adalah belerang (sulfur). Bahan galian ini berguna untuk campuran kosmetik, obat-obatan, pemutih dan sebagainya. Kawah Ijen adalah gunungapi yang menghasilkan belerang yang tiada taranya di Indonesia. Informasi dari pengelola Taman Nasional Alas Purwo, yang membawahi antara lain kawasan Kawah Ijen, bahwa sedikitnya 14 ton belerang setiap hari berhasil ditambang. Sedangkan analisa BPPTK, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyebutkan bahwa nilai tersebut hanya sekitar 20% dari potensi yang sesungguhnya yang disediakan oleh alam.

Kendala utama penyebab minimnya hasil yang diperoleh adalah medan yang sulit dan teknologi. Penambang menggunakan cara yang sangat sederhana untuk “menangkap” belerang. Mereka

Komposisi Kimia Kondensat

Solfatara Kawah Ijen (Mei 2000)

(29)

Kali Banyu “Gipsum” Pahit

Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya gipsum di lantai sungai Insert, jarum dan stalagtit gypsum

Foto: Sri Sumarti, 2001

Lintasan Geologi memasang pipa yang terbuat dari besi (pawon) berdiameter 16 – 20 cm. Setiap pipa panjangnya 1 m. agar mudah memasang dan menggantinya jika rusak. Pipa tersebut dipasang sambung-menyambung mulai dari tebing atas dimana titik solfatara yang suhunya mencapai 200o C

sekaligus sebagai sumber belerang hingga dasar tebing yang jauhnya antara 50 - 150 m. Melalui pipa tersebut gas belerang dialirkan kemudian tersublimasi di ujung pipa bagian bawah dan siap ditambang. Apabila salah satu pipa rusak karena korosif, maka uap belerang tidak mengalir sempurna dan terlepas ke udara bebas dan tidak sempat tersublimasi. Kendala lainnya adalah ketika suhu solfatara naik melampaui 200o C,

maka uap belerang tidak sempat tersublimasi karena terbakar.

Menambang belerang bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain menghadapi medan yang sulit, juga tidak ada jaminan keselamatan. Bagi orang

Jauh

(30)

0 W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8 Peta Jalur Menyusuri Kali Banyu “Gipsum” Pahit

Route perjalanan menyusuri Kali Banyu Pahit dari Dam Kawah Ijen sejauh 3 km. Insert, Danau Kawah Ijen Sketsa dan foto: SR. Wittiri, 2001

awam berdiri beberapa menit di lokasi sublimasi belerang akan merasakan pusing dan mual. Para penambang yang harus bekerja beberapa jam lamanya setiap hari tanpa masker pelindung atau semacamnya adalah suatu pilihan yang dilematis.

Bergelut di lantai Kawah Ijen mengharap beberapa ribu rupiah sesungguhnya merupakan pilihan yang terakhir dari semua pekerja tambang. Betapa tidak, setelah “menggelepar” bernafas di dalam lumpur belerang yang amat pekat, bongkah-bongkah belerang tersebut harus diangkut ke puncak (rim crater).

Jarak antara dasar dengan bibir kawah 300 m dengan kemiringan antara 45o – 60o kemudian

berlanjut ke tempat penampungan di Lembah Paltuding yang jaraknya 3 km. Setiap penambang (pemikul) pada umumnya mengangkut 75 – 90 kg belerang dan setiap kilogramnya mereka dibayar beberapa ratus rupiah. Apabila dikalkulasi, maka setiap penambang memperoleh bayaran antara Rp 50.000 – 75.000 (dua rute) setiap hari setelah bernafas dalam lumpur belerang tanpa alat pengaman.

Apabila musim panen menjelang, mereka lebih memilih ke sawah/kebun meskipun hasilnya lebih

sedikit, tetapi mereka menghirup udara yang bersih.

Kali Gipsum

Danau Kawah Ijen berukuran 960 x 600 m2

dengan kedalaman 250 m (1938), sedangkan hasil pengukuran tahun 1996 adalah 182 m (Takano, Sumarti,S dkk). Menurut Stehn, 1930, volume air kawah sebanyak 36 juta m3.

Dalam tahun 1995, Delmelle memperkirakan 32 juta m3, sedangkan hasil pengukuran Takano dan

Sumarti, S dalam tahun 1996 volumenya lebih menyusut menjadi 30 juta m3.

Ketika volume air masih normal, aliran air kawah dikontrol oleh dam. Apabila musim hujan permukaan air akan naik, sehingga dikeluarkan melalui dam. Sejak volumenya menyusut air kawah semakin jauh dari dasar dam sehingga air keluar melalui celah bebatuan. Terakhir kali air kawah mengalir melalui dam dalam tahun 1976. Dalam tahun 2001 diketahui bahwa tepi air danau sudah menjauh 8 m dari dasar dam.

(31)

dengan gamping dan menghasilkan antara lain

gipsum. Orang kimia menulis gipsum dengan CaSO4, artinya benda tersebut perpaduan antara unsur karbonar (Ca) dengan sulfat( SO4). Sesungguhnya gipsum kadangkala terbentuk sebagai anhidrit dan sering keduanya terbentuk bersama-sama. Dapat diartikan bahwa anhidrit adalah mineral sekunder yang dihasilkan dari dehidrasi gipsum.

Bukaan Kawah Ijen condong ke arah barat dan merupakan hulu Kali Banyu Pahit (sungai yang airnya pahit). Demikian kental kadar keasamannya sehingga yang terasa di lidah adalah rasa pahit.

Ketika menyusuri sungai tersebut yang pertama kali disaksikan adalah hamparan putih memenuhi permukaan sungai karena airnya hanya sedikit. Hamparan tersebut adalah endapan gipsum yang terbentuk secara alamiah selama bertahun-tahun. Gipsum ada dimana-mana, di lantai sungai, dinding tebing, atau celah bebatuan. Bentuknya beraneka, ada yang menyerupai jarum, ada juga yang bagaikan onggokan bolu kukus merekah. Terkadang dijumpai menjuntai di dinding tebing bagaikan stalagtit di goa kapur. Endapan gipsum terhampar sepanjang 1 km jauhnya sehingga timbul ide menamainya “Kali Gipsum”.

Air “Asam” Terjun

Menyusuri Kali “Gipsum” Pahit mulai dari mulut Dam Ijen hingga persimpangan Lembah Paltuding (Kabupaten Banyuwangi) dengan Bondowoso hanya berjarak 3 km, tetapi harus ditempuh selama 5 jam. Petualangan ini mengasyikkan karena selama perjalanan selain menemukan jejak si raja rimba di lokasi yang dikenal dengan Kandang Macan, juga harus berhadapan dengan sedikitnya 15 air terjun. Ukuran air terjun (beda tinggi antar tebing) bervariasi antara < 5 m - > 5 m.

Tantangan menjadi ganda karena ketika melewati setiap air terjun harus menjaga keseimbangan agar tidak jatuh dan harus menghindarkan diri agar tidak basah. Masalah basah saja adalah hal yang lumrah, tetapi basah dengan air asam (acid water) yang pH-nya antara 0,6 – 0,8, maka basah menjadi suatu masalah karena akan menimbulkan rasa gatal sekujur tubuh.

Bandingkan dengan air yang layak sentuh, pH-nya minimal 5 dan air layak minum pH antara 6 – 7. Untuk menaikkan satu satuan pH air diperlukan perbandingan 1 : 10. Artinya bila satu liter dengan pH 1 untuk dinaikkan menjadi pH 2, harus ditambahkan dengan 10 liter air normal (pH 7). Oleh karena itu layak bila air terjun tersebut diberi nama Air “Asam” Terjun.

Seperti dikemukakan di atas bahwa biang

masalah di Gunung Ijen bukan karena letusannya sebagai gunung api, tetapi air danaunya yang asam yang kemudian mengalir jauh ke bawah dan mencemari lingkungan.

Apabila dirunut lebih jauh, sepanjang 45 km air mengalir hingga akhirnya ke laut, pH-nya tidak pernah normal. Padahal sudah mengalami pengenceran oleh dua sungai dengan nilai air normal, masing-masing Sungai Sengon dan Sungai Sat, serta mata air panas di Blawan sebelum masuk ke Asembagus di Kabupaten Bondowoso. Tiba di Asembagus Sungai Banyu Pahit berubah nama menjadi Sungai Banyu Putih karena warna airnya keputih-putihan dan keruh dengan nilai pH 2,5 – 3.

Apa daya, tidak ada pilihan lain kecuali memanfaatkan air tersebut untuk mandi, sikat gigi,cuci, bahkan minum untuk ternak. Akibatnya gigi mudah keropos, pakaian tidak cemerlang meskipun dicuci dengan detergen cemerlang.

Tim geokimia dari BPPTK, telah berupaya mencari jalan keluar atas pertanyaan; “dengan cara bagaimana agar air tersebut menjadi normal?”. Salah satu jawaban yang diperoleh setelah dilakukan serangkaian percobaan (mulai tahun 2000) di laboratorium BPPTK dan dilapangan dalam skala kecil. Caranya adalah seonggok kapur tohor, jumlah dan beratnya diketahui, dicampur dengan sejumlah air kawah kemudian diberi perlakuan khusus untuk mempercepat reaksi. Percobaan tersebut berhasil menghasilkan air normal dan meninggalkan endapan gypsum. Sekali mendayung dua pulau diraih, menghasilkan lingkungan yang bersih dan gipsum. Sangat disayangkan, percobaan lebih lanjut dalam skala besar terhenti karena tidak tersedianya dana. Apapun adanya, BPPTK, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi telah berupaya dan berhasil, meskipun masih dalam skala laboratorium.n

(32)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

S

Setiap hari kita makan, minum, dan bernafas menghirup udara

yang mengandung mineral untuk

mendapatkan unsur-unsur yang penting bagi

kita, tanpa pernah memikirkan benda apa saja

dari sekeliling kita yang masuk ke dalam tubuh

ini. Bagi sebagian besar masyarakat tentu tidaklah

berbahaya jika berinteraksi dengan bahan-bahan

alami. Bahkan hal demikian bermanfaat untuk

penyediaan nutrisi penting. Namun, untuk

beberapa hal, interaksi kita dengan mineral

dan elemen-elemen tertentu dapat merugikan,

bahkan berefek fatal.

GEOMEDIKA

Oleh:

Joko Parwata

Pengaruh Debu Mineral pada Kesehatan

(Bagian 1)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8

(33)

Interaksi jenis ini adalah bidang yang dipelajari

dalam geologi medis, suatu cabang ilmu baru yang relatif cepat berkembang tidak hanya melibatkan para ahli ilmu kebumian tetapi juga ahli medis, kesehatan masyarakat, dokter hewan, pertanian, lingkungan biologi, dan ilmuwan terkait lainnya. Geomedika merupakan kajian efek bahan-bahan dan proses geologis pada manusia, binatang dan tanaman terhadap kesehatan, baik yang positif maupun negatif.

Dalam arti seluas-luasnya, geomedika mempelajari hubungan elemen-elemen dan mineral dengan pernafasan ambient anthropogenic dan debu mineral gunung api serta emisi, transportasi, modifikasi dan konsentrasi organik dan hubungan ke radionuclides, serta mikroba patogen.

Nama disiplin ini mungkin baru, tetapi dampak bahan geologis pada kesehatan manusia telah diakui sejak ribuan tahun. Air raksa (Hg) dan kadmium diukur melalui tingkat pengawetan, 7000 tahun rambut manusia dalam Karluk, Situs arkeologi Kodiak di Alaska; walaupun implikasi

kesehatan dari data ini sulit untuk ditentukan karena adanya kemungkinan penambahan atau degradasi dari waktu ke waktu. Kandungan partikel jelaga yang terdeteksi di paru-paru diawetkan pada jaringan Tyrolean, tukang es, yang sekurang-kurangnya berusia 5.000 tahun. Orang ini mungkin telah menderita penyakit pernafasan setelah ia menghirup kristal mineral kecil, termasuk butir kuarsa.

Hippokrates dan penulis Yunani lain mengakui bahwa faktor lingkungan memberi kontribusi terhadap distribusi geografis penyakit manusia 2400 tahun yang lalu. Dan pada 300 SM, Aristoteles mencatat kejadian keracunan pada para pekerja tambang. Batu dan mineral juga telah digunakan selama ribuan tahun lalu untuk perawatan berbagai penyakit seperti sampar, dan demam cacar.

Ilmuwan mulai menyelidiki hubungan antara bahan-bahan geologis, proses medis dan kondisi sejak 300 tahun lalu. Beberapa dekade lalu, geologi medis telah menarik perhatian sejumlah

(34)

W a r t a G e o l o g i . D e s e m b e r 0 0 8 kalangan di Amerika Serikat dengan munculnya pendapat beberapa orang yang berpengaruh bahwa proses-proses geologi memberi dampak pada epidemiologi. Saat ini melalui kemitraan antara United States Geological Survey (USGS) dengan sejumlah Lembaga Ilmu Kesehatan Lingkungan - dan karena lembaga donor telah mulai mengakui manfaat penelitian multidisiplin tersebut - perkembangan bidang ini jadi semakin maju. Saat ini terdapat banyak kerja sama penyelidikan antara para ahli kebumian, biomedis, dan peneliti kesehatan masyarakat di seluruh dunia, mencakup berbagai masalah geomedis.

Penelitian dan proyek-proyek studi geologi medis akan berusaha menjelaskan tentang dampak mineral dan kandungan elemen-elemennya bagi kesehatan manusia, dan juga menekankan akan pentingnya peluang para ahli kebumian membuat kontribusi tambahan untuk masyarakat kita di dunia ini sangat besar.

Debu Mineral

Debu Mineral adalah istilah untuk atmosfera aerosol yang berasal dari kumpulan awan mineral pembentuk tanah, yang terdiri atas berbagai

oksida dan karbonat. Seluruh aktivitas manusia mengakibatkan terbentuknya 30% debu yang berada di atmosfer. Gurun Sahara adalah sumber utama debu mineral, yang kemudian menyebar melalui laut Mediterania dan Karibia ke utara Amerika Selatan, Amerika Tengah, Amerika Utara, dan Eropa. Gurun Gobi juga adalah salah satu sumber debu di udara, yang menyebar ke bagian timur Asia Barat dan bagian barat Amerika Utara.

Karakteristik

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai pengetahuan operasional yang lengkap, prinsip-prinsip serta konsep umum untuk menerjemahkan informasi tentang rencana kerja, memilih bahan, menggunakan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P&gt;0.05) pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap mutu organoleptik dan kadar air. Kata kunci :

Usaha pendidikan anak prasekolah di Indonesia telah berlangsung sejak taun 1914 pada saat Pemerintah Hindia Belanda membuka kelas persiapan (Voorklas)

Kerinci yang diusahakan pada tanah Andisol, petani umurnnya melakukan penanaman pads bedengarlguludan searah lereng dengan maksud untuk menciptakan kondisi

Berdasarkan Marimin (2004), metode Bayes merupakan teknik pengambilan keputusan terbaik berdasarkan pertimbangan beberapa kriteria sehingga diperoleh nilai

Ikhwan al-Safa views seems in line with the view of education that develop in Indonesia. Regarding the concept of human according to education applied in Indonesia can be

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,

Data hasil penelitian uji organoleptik hedonik menunjukkan bahwa rasa ongol-ongol rumput laut berada pada interval 7,6 – 8,83 dengan skala penerimaan yang suka sampai