BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Program
Program adalah cara tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian
suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan
lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program
adalah unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur,
karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti:
1. Adanya tujuan yang mau dicapai,
2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan tersebut,
3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan dengan
prosedur yang harus dilewati,
4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan,
5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (Wahab dalam
Siagian dan Suriadi, 2010:116-117).
2.2 Kemiskinan
2.2.1 Pengertian Kemiskinan
Memahami kemiskinan tidak cukup dari satu aspek saja, mengingat
kemiskinan itu multi dimensi apabila dilihat dari kondisi kebutuhan manusia yang
juga beragam. Kemiskinan mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan
ketidakmampuan. Kemiskinan memiliki berbagai dimensi, yaitu:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi),
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan
dan keluarga),
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal,
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam,
6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat,
7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan,
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental,
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (Suharto, dkk, 2004).
Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan satu sama lain, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan dapat diukur dengan adanya standar
kebutuhan hidup layak dan yang miskin adalah manusianya. Lebih dalam lagi, jika
kemiskinan ditinjau dari sandart kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan
kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan dasar yang disebabkan
kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan dalam upaya
memenuhi standar hidup yang layak.
Ditinjau dari segi pendapatan, dapat didefinisikan kemiskinan sebagai suatu
kondisi kurangnya pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang pokok. Apabila ditinjau dari segi kesempatan, maka kemiskinan merupakan
dampak dari ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan
basis-basis kekuatan sosial, seperti:
b. Informasi dan berbagai pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan hidup,
c. Jaringan-jaringan sosial,
d. Organisasi-Organisasi sosial dan politik,
e. Sumber-sumber modal yang diperlukan dalam upaya peningkatan
pengembangan kehidupan.
Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefinisikan sebagai kekurangan
sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan kesejahteraan. Sementara Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan
sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses
jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan
kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.
Sementara Mencher mengemukakan, kemiskinan adalah gejala penurunan
kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi
daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu
titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak
(Siagian, 2012: 5). Dalam hal ini dipahami bahwa kemiskinan terjadi karena
seseorang atau sekelompok orang tidak lagi mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan hidupnya atau wilayah mengalami penurunan produksi.
2.2.2 Bentuk – Bentuk Kemiskinan
Kemiskinan secara sosio-ekonomis memiliki 2 bentuk kemiskinan yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif sebagaimana dikemukakan oleh Baswir
dan Sumodiningrat dalam Elly dan Usman (2011 : 795-797) dengan penjelasan
1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan dimana orang – orang miskin memilki
tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup
minimum diukur anatara lain dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, pendidikan, kalori GNP perkapita, dan pengeluaran konsumsi,
2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan
antara tingkat pendapatan dan tingkat pendapatan lainnya. Disamping itu
terdapat bentuk – bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab
kemiskinan (asal muasal kemiskinan), yaitu:
a. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang
miskin. Kemiskinan natural terjadi disebabkan faktor – faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Kondisi
kemiskinan seperti ini disebut “persisten poverty”, yaitu kemiskinan yang
telah kronis atau turun temurun,
b. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok,
masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya
dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.
Kemiskinan ini disebabkan karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin
dan boros,
c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor
buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset
produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia
2.2.3 Faktor Penyebab Kemiskinan
Secara umum ada dua faktor penyebab kemiskinan, yaitu:
1. Faktor Internal, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu yang
mengalami kemiskinan yang secara substansial adalah dalam bentuk
kekurangmampuan, meliputi:
a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b.Intelektual, seperti kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.
c.Mental emosional atau tempramental, seperti malas, mudah menyerah dan
putus asa.
d. Spiritual, seperti tidak jujur, penipu, serakah, dan tidak disiplin.
e.Sosial psikologis, seperti kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi,
stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.
f. Keterampilan, seperti tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan
lapangan kerja.
g.Aset, seperti tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,
tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu atau keluarga
yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik
waktu menjadikannya miskin, meliputi:
a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar,
b.Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat
memenuhi kebutuhan hidup,
c.Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya
d.Kebijakan perbankan terhadap pelayanan kredit mikro dan tingkat bunga
yang tidak mendukung sektor usaha mikro,
e.Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil
masyarakat banyak,
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum
optimal, seperti zakat,
g.Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (srtructural
adjusment program),
h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan,
i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana,
j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material,
k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata, dan
l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin (Siagian,
2012: 114-116).
Suharto (2009) menyebutkan kemiskinan disebabkan oleh 4 faktor, yaitu:
1. Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis termasuk kondisi fisik dan
psikologis simiskin
2. Faktor sosial, orang miskin disebabkan karena kondisi lingkungan sosial yang
menjebak seseorang menjadi miskin.
3. Faktor kultural, kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan
4. Faktor struktural, menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak
sensitif dan inaccessible sehingga menyebkan seseorang atau sekelompok orang
2.2.4 Kemiskinan Pedesaan
Pedesaan adalah bagian integral dari suatu negara. Di negara berkembang
kemiskinan yang ada di pedesaan menggambarkan kemiskinan negara. Disamping
itu kemiskinan pedesaan juga sebagai salah satu penyebab terjadinya urbanisasi yang
kurang diinginkan dan akan menyebabkan terjadinya regional disparity. Oleh karena
itu, pedesaan haruslah ditangani lebih serius agar kesejahteraan masyarakat dapat
ditingkatkan.
Pada situasi dimana pendekatan pertanian masih dominan di Indonesia,
kemiskinan di pedesaan hampir sepenuhnya melekat pada pertanian rakyat yang sarat
tenaga kerja. Ditinjau dari faktor penyebab, kemiskinan dipedesaan tidak semata –
mata disebabkan karena kurangnya modal agregat di perdesaan, tetapi juga oleh tidak
meratanya penguatan aset (modal) produksi. Distribusi penguasaan aset atau modal
produksi hanya dikuasai oleh sejumlah kecil pelaku ekonomi. Petani diperkirakan
hanya mempunyai modal yang sangat terbatas, dan sebagian besar diantaranya lebih
mengandalkan lebih mengandalkan tenaga kerja keluarga (Madekhan, 2007).
Adisasmita (2006) menjelaskan tentang indikator kemiskinan perdesaan dan
penyebab kemiskinan pedesaan, yaitu:
a. Indikator kemiskinan pedesaan
Masyarakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini
terpenuhi seperti ; (1) kurang kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki
lahan dan modal pertanian terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati
investasi disektor pertanian; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar
(pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara –
cara pertanian tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adnya
jaminan sosial; (11) korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa;
(12) tidak memilki akses untuk memperoleh; (13) tidak adnya partisipasi dalam
pengambilan keputusan publik.
b. Penyebab kemiskinan perdesaan, ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi
terjadinya kemiskinan dipedesaan yaitu cepatnya laju pertumbuhan penduduk,
semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sempitnya kesempatan.
Terjadinya ketimpangan antara tenaga kerja dan faktor tanah disebabkan oleh
tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dengan sumber daya alam yang
terbatas.
Kemiskinan petani pedesaan dapat juga dijelaskan melalui capability
approach yang diketengahkan oleh Amartya Sen (1999) didalam Development As
Freedom. Menurut Sen, kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice; orang
miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi capability
deprivation. Capability mengacu pada dua perkara, yaitu ability to do dan ability to
be. Petani miskin dipedesaan benar – benar mengalami ability to do dan ability to be
yang rendah karena mereka dalam posisi yang dirampas. Berbagai macam
deprivation dapat diketengahkan disini:
1. Structural devivation. Struktur berkaitan dengan: power relations, dimana posisi
petani selalu dalam posisi lemah; (2) adanya kebijakan pemerintah yang
memengaruhi kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan; (3) dualisme
ekonomi yang muncul dalam wajah baru.
2. Social capability deprivation: orang miskin tidak dapat meraih kesempatan,
informasi, pengetahuan, keterampilan, partisipasi dalam organisasi.
3. Economic capability deprivation: orang miskin tidak dapat mengakses fasilitas
mereka terjebak pada Bank Plecitdan kaum rentenir yang tidak membutuhkan
prosedur yang berbelit – belit.
4. Tecnological capability deprivation: dimana orang miskin tidak dapat memiliki
teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Teknologi tradisional
seperti pembuatan alat – alat dari bahan lokal (tanah, bambu, kayu dan lain – lain) telah digantikan oleh alat pabrikan.
5. Political capability deprivation: petani miskin dipedesaan tidak mampu
memengaruhi keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), tidak didengarkan aspirasinya, tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan collective action.
6. Psychological deprivation: petani miskin pedesaan selalu memperoleh stigma
sebagai orang – orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibat mereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan, merasa
teralienasi didalam kehidupan sosial dan politik.
2.3 Pembangunan Berkelanjutan
Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan kepada sumber daya
yang tidak tergantikan (non-renewable) dan menciptakan alternatif serta tatanan
ekologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan ditingkat lokal. Hal ini
berimplikasi pada masyarakat setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup,
konservasi dll. (Nasdian, 2014: 50)
Pembangunan berkelanjutan yang kokoh harus bermuara dari pembangunan
dipedesaan. Hal tersebut sangat berlaku di negara berkembang seperti di Indonesia.
pedesaan di Indonesia juga menjadi sumber kehidupan karena indonesia negara
agraris. Oleh kerana itu pembangunan di Indonesia akan kurang mempunyai arti bila
tidak dilakukan pembangunan masyarakat desa (Adi, 2003: 292)
Konsep pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan sebagai
pembangunan yang memiliki kemampuan dalam menjamin kebersinambungan
pembangunan. Hal mana dilakukan dengan cara berikhtiar memenuhi keperluan
masa sekarang tanpa membahayakan peluang generasi yang akan datang dalam
memenuhi berbagai keperluan hidup nantinya. Dengan demikian, konsep
pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian terhadap kepentingan masa
sekarang dan kepentingan masa mendatang (Siagian dan Suriadi, 2012: 56).
Perserikatan Bangsa Bangsa melaksanakan konferensi khusus tentang
Masalah Lingkungan dan Pembangunan. Konferensi ini lebih dikenal dengan
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Riode Janeiro, Brazil (Tinto, dalam Siagian dan
Suriadi, 2012). Konferensi ini mengangkat slogan “berpikir mendunia, bertindak sesuai keadaaan setempat”. Slogan ini berupaya menggambarkan perlunya bertindak
bijaksana terhadap lingkungan. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi ini
berupaya menyadarkan perlunya menumbuhkan semangat kebersamaan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh benturan antara
kelompok-kelompok pelaku pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan kelompok-kelompok
yang memperhatikan lingkungan.
Hasil utama implementasi Konferensi Tingkat Tinggi Bumi antara lain adalah
berupa kesepakatan para pemimpin negara-negara di dunia ini untuk menyetujui
berbagai rancangan besar yang berkaitan dengan pembangunan berkesinambungan
yang didasarkan atas pemeliharaan lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial
mengikat dan tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat. Adapun tiga
persetujuan meliputi:
1. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati.
Konferensi ini bertujuan melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika,
semua jenis mahluk hidup, habitat, dan sistem lingkungan. Juga bertujuan untuk
menjamin pendayagunaan berbagai sumber daya hayati secara
berkesinambungan demi menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati
secara adil.
2. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kerangka Kerja Perubahan
Iklim Global. Persetujuan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepekatan gas
rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat yang dapat mencegah campur
tangan manusia yang berbahaya yang berkaitan dengan iklim.
3. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penyelesaian Masalah
Penurunan Kualitas Tanah. Persetujuan ini berupaya mencipta pemecahan
terhadap masalah rusaknya tanah. Penurunan kualitas tanah ini telah mengurangi
secara signifikan daya dukung suatu kawasan bagi kehidupan manusia yang
mendiaminya (Soejachman, dalam Siagian dan Suriadi, 2012: 60-61).
Selanjutnya tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat
merangkum dua kesepakatan, yaitu:
1. Pendeklarasian Rio berkenaan dengan asas yang menekankan hubungan antara
lingkungan dan pembangunan. Asas tersebut dapat dilaksanakan secara umum
dalam rangka menjamin pemeliharaan lingkungan dan pembangunan yang
2. Dasar-dasar kebenaran pengelolaan hutan, yaitu pernyataan yang mengikat
tentang dasar-dasar kebenaran bagi satu pertujuan dunia tentang pengelolaan,
pelestarian dan pembangunan berkesinambungan dari semua jenis hutan.
3. Agenda 21 yang merupakan rancangan lengkap tentang program pembangunan
berkesinambungan saat memasuki abad ke-21. Disebutkan dalam Agenda 21
bahwa selain pemerintah bangsa-bangsa di dunia, badan-badan khusus
Perserikatan Bangsa bangsa dan organisasi internasional lainnya, maka seluruh
lapisan masyarakat perlu memahami konsep pembangunan berkesinambungan.
Ditegaskan pula, bahwa terdapat sembilan kelompok utama yang diharapkan
terllibat dalam program ini, yaitu:
1. Organisasi non pemerintah (NGO/LSM)
2. Pemuda
3. Pekerja
4. Petani dan nelayan
5. Pemerintah lokal
6. Perempuan
7. Ilmuwan
8. Pemuka adat (Siagian dan Suriadi, 2012: 62).
Dalam Pembagunan keberlanjutan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) juga telah menyusunnya dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable
Development Golas (SDGs), hal tersebut disepakati oleh negara anggota PBB.
Terdapat delapan tujuan dan sasaran yang dirangkum dalam Millennium
Development Goals yang harus dicapai sebelum 2015, yaitu:
1. Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah,
3. Membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,
4. Mengurangi tingkat kematian anak,
5. Meningkatkan kesehatan ibu,
6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit serius lainnya,
7. Menjamin kesinambungan pembangunan lingkungan,
8. Mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan.
Dalam MDGs yang menjadi titik sentral pembangunan adalah manusia, atau
pembangunan berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan manusia. MDGs
didasarkan pada konsensus dan kemitraan global sambil menekankan tanggung
jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan
negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.
Manfaat dari MDGs tidak semata-mata untuk mengukur target dan
menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi
yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan millenium dikonkritkan
pelaksanaannya. Misalnya tidak saja menghitung berapa jumlah ibu yang meninggal
disebabkan melahirkan tetapi juga bagaimana menghentikan kematian ibu karena
melahirkan tersebut (Siagian dan Suriadi, 2012: 70).
Sementara dalam SDGs terdapat 17 tujuan yang akan dicapai mulai dari tahun
2015 – 2030. Tujuan tersebut antara lain: 1. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan,
2. Mengentaskan kelaparan, meraih ketahanan pangan dan peningkatan mutu gizi
pangan, serta mengenalkan pertanian berkelanjutan,
3. Menjamin cara hidup sehat dan mengenalkan kesejahteraan pada semua
4. Menjamin pendidikan yang inklusif dan adil serta mengenalkan metode
pembelajaran sepanjang hidup,
5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan seluruh wanita,
6. Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan,
7. Menjamin akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan,
berkelanjutan, dan modern,
8. Mengenalkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,
kesempatan kerja yang penuh dan produktif, serta kelayakan kerja,
9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mengenalkan industrialisasi yang
inklusif, berkelanjutan, dan mendorong inovasi,
10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan antarnegara,
11. Membuat kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan,
12. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan,
13. Mengambil keputusan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya,
14. Melestarikan dan menggunakan samudera, laut, dan sumber daya kelautan
secara bijak demi pembangunan berkelanjutan,
15. Melindungi, memulihkan, dan mengenalkan penggunaan yang berkelanjutan atas
ekosistem darat, memerangi desertifikasi, menghentikan dan memulihkan
kerusakan lahan dan menghentikan kerusakan keanekaragaman hayati,
16. Mengenalkan komunitas masyarakat yang inklusif dan penuh damai untuk
pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan, dan
membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif bagi semua kalangan,
17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global demi
2.4 Pengembangan Masyarakat
2.4.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat (community development) adalah konsep dasar
yang menggarisbawahi sejumlah istilah yang telah digunakan sejak lama, seperti
community resource development, rural areas development, comunity economic
development, rural revitalisation, dan community based development. Community
development menggambarkan makna yang penting dari dua konsep: community,
bermakna kualitas hubungan sosial dan development, perubahan kearah kemajuan
yang terencana dan bersifat gradual. Makna ini penting untuk arti pengembangan
masyarakat yang sesungguhnya (Blackburn dalam Nasdian: 29).
Secara umum pengembangan masyarakat (community development) adalah
kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial,
ekonomi, dan kualaitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan
kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta dan Rudito, 2008: 33).
Bhattacarya mengartikan pengembangan masyarakat adalah pengembangan
manusia yang tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi dan kemampuan
manusia untuk mengontrol lingkungannya. Pengembangan masyarakat adalah usaha
untuk membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu
menumbuhkan kemampuan berorganisasi, berkomunikasi, dan menguasai
lingkungan fisiknya. Manusia didorong untuk mampu membuat keputusan,
mengambil inisiatif dan mampu berdiri sendiri.
Defenisi lain juga digagas Yayasan Indonesia Sejahtera yang menyatakan
pengembangan masyarakat adalah usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan
kemampuan yang dimiliki, baik alam maupun tenaga, serta menggali inisiatif
setempat untuk lebih banyak melakukan kegiatan investasi dalam mencapai
kesejahteraan yang lebih baik
(https://luluhatta.wordpress.com/2014/10/13/pengembangan-masyarakat
community-development/ diakses pada 29 maret 2015 pukul 17.13 WIB).
2.4.2 Tujuan Pengembangan Masyarakat
Tujuan muncul sebelum kebijakan, program ataupun kegiatan dibuat. Jika
dikaji berdasarkan waktu pencapaiannya, tujuan terbagi atas dua yaitu tujuan
langsung atau jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tindakan untuk tujuan
langsung tidak dibenarkan bila tidak sesuai dengan tujuan jangka panjang. Dalam
pengembangan masyarakat perlu diperhatikan keseimbangan antara tujuan jangka
pendek dan tujuan jangka lama sesuai dengan visi masyarakat. Dalam hal ini perlu
upaya untuk menghubungkan dan membuat relevansi antara keduanya.
Mukerji (1961) menytakan bahwa tujuan pengembangan masyarakat secara
rinci adalah membangun kehidupan manusia sebagai individu dan sebagai anggota
komunitasnya dengan cara mengembangkan pandangan yang progresif, kemandirian,
dedikasi terhadap tujuan komunitas, dan kerja sama. (Nasdian, 2014: 36)
2.4.3 Asas – Asas dan Prinsip – Prinsip Pengembangan Masyarakat
Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu
perencanaan sosial perlu berlandasakan pada asas – asas: (1) komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensinerjikan strategi konprehensif
meningkatkan partsipasi warga; dan (4) mengubah perilaku profesional agar lebih
peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas (Ife dalam Nasdian,
2014: 46-47).
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (1957) dalam sebuah laporannya
mengenai konsep dan prinsip – prinsip pengembangan masyarakat, memaparkan sepuluh prinsip yang dianggap dapat diterapkan diseluruh dunia. Sepuluh prinsip
tersebut adalah:
1. Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan harus berhubungan dengan kebutuhan
dasar dari masyarakat; program – program (proyek) pertama harus dimulai sebagai jawaban atas kebutuhan yang dirasakan orang – orang;
2. Kemajuan lokal dapat dicapai melalui upaya – upaya tak saling terkait dalam setiap bidang dasar, akan tetapi pengembangan masyarakat yang penuh dan
seimbang menuntut tindakan bersama dan penyusunan program – program
multi-tujuan;
3. Perubahan sikap orang – orang adalah sama pentingnya dengan pencapaian
kemajuan material dari program – program masyarakat selama tahap – tahap awal pembangunan;
4. Pengembangan masyarakat mengarah pada partisipasi orang – orang yang
mengikat dan lebih baik dalam masalah – masalah masyarakat, revitalisasi bentuk – bentuk yang ada dari pemerintah lokal yang efektif apabila hal tersebut
belum berfungsi;
5. Identifikasi, dorongan semangat, dan pelatihan pemimpin lokal harus menjadi
tujuan dasar setiap program;
6. Kepercayaan yang lebih besar pada partisipasi wanita dan kaum muda dalam
program pembangunan, memapankanya dalam basis yang luas dan menjamin
ekspansi jangka panjang;
7. Agar sepenuhnya efektif, proyek – proyek swadaya masyarakat memerlukan
dukungan intensif dan ekstensif dari pemerintah;
8. Penerapan program – program pengembangan masyarakat dalam skala nasional memerlukan pengadopsian kebijakan yang konsisten, pengaturan administratif
yang spesifik, perekrutan dan pelatihan personil, mobilisasi sumber daya lokal
dan nasional, dan organisasi penelitian eksperimen, dan evaluasi;
9. Sumber daya dalam bentuk organisasi – organisasi non-pemerintah harus dimanfaatkan penuh dalam program – program pengembangan masyarakat pada
tingkat lokal, nasional, dan internasional; dan
10. Kemajuan ekonomi dan sosial pada tingkat lokal mensyaratkan pembangunan
yang paralel ditingkat nasional (Nasdian, 2014: 46-48).
Sementara Ife dalam Nasdian (2014) juga memaparkan 22 prinsip
pengembangan masyarakat (community development) yaitu: (1) Integrated
development; (2) Confronting Structural Disadvantage (Konfrontasi dengan
Kebatilan Struktural); (3) Human Right (Hak Asasi Manusia); (4) Sustainability
(Keberlanjutan); (5) Empowerment (Pemberdayaan); (6) The Personal and The
Political (Pribadi dan Politik); (7) Community Ownership (kepemilikan komunitas);
(8) Self-Reliance (Kemandirian); (9) Independence from State (Tidak
Ketergantungan pada Pemerintah; (10) Immediate Goals dan Ultimate Vision
(Tujuan dan Visi); (11) Organic Development (Pembangunan Bersifat Organik); (12)
The Pace of Development (Kecepatan Gerak Pembagunan); (13) External Experties
(Keahlian Pihak Luar); (14) Community Building (Membangun Komunitas); (15)
(Keterpaduan Proses); (17) Non Violence (Tanpa Kekerasan); (18) Inklusif; (19)
Konsensus; (20) Co-operation (Kerjasama); (21) Particapation (Partisipasi); (22)
Defining Need (Mendefinisikan Kebutuhan).
2.5. Pertanian Organik
2.5.1. Pengertian Pertanian Organik
Istilah pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen
secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang
bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan
yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman
berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya
alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik
merupakan suatu gerakan kembali “ke alam” (Sutanto, 2002: 20)
Ada dua pemahaman tentang pertanian organik, yaitu pertanian organik
dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pertanian organik dalam artian sempit yaitu
pertanian yang bebas dari bahan – bahan kimia. Mulai dari perlakuan untuk mendapat benih, penggunaan pupuk, pengendalian hama dan penyakit sampai
perlakuan pasca panen tidak sedikitpun melibatkan zat kimia, semua harus bahan
hayati, alami. Sedangkan pengertian pertanian organik dalam arti luas adalah
pertanian yang masih memberi toleransi penggunaan bahan kimia dalam batas – atas
tertentu (Isnaini, 2006: 239-240)
Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) pertanian organik adalah sistem
produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan
agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah
tanpa bahan kimia, dengan prinsip dasar menghidupkan tanah dengan mengikuti
hukum alam.
Dibutuhkan waktu minimal 2 tahun untuk mongkonversi lahan pertanian
anorganik menjadi lahan pertanian organik. Hal tersebut tergantung situasi dan
kondisi seperti masa penggunaan lahan anorganik, letak lahan pertanian, proses
pengairan dan sebagainya. Selain itu penerapan pertanian anorganik di lahan
pertanian yang sedang masa transisi akan semakin memperlama masa transisi
tersebut (Sriyanto, 2010: 31).
2.5.2 Azas dan Prinsip Pertanian Organik
Menurut Fukuoka (1985) ada 4 azas menuju pertanian organik.
1. Tanpa olah tanah. Tanah tanpa diolah atau dibalik. Pada prinsipnya tanah
mengolah sendiri, baik menyangkut masuknya perakaran tanaman maupun
kegiatan mikrobia tanah, mikro fauna dn cacing tanah.
2. Tidak digunakan sama sekali pupuk kimia maupun kompos. Kebutuhan untuk
tanaman bisa dipenuhi dengan menanam tanaman penutup tanah semisal
leguminose, kacang – kacangan dan mengembalikan jerami ke ladang dengan ditambah sedikit kotorang unggas atau sapi. Jika tanah dibiarkan pada
keadaannya sendiri, tanah akan mampu menjaga kesuburannya secara alami
sesuai dengan daur teratur dari tumbuhan dan binatang (Insaini, 2006: 241).
3. Tidak dilakukan pemberantasan gulma baik melalui pengolahan tanah maupun
penggunan herbisida. Pemakaian mulsa jerami, tanaman penutup tanah maupun
penggengan sewaktu – waktu akan membatasi dan menekan pertumbuhan
4. Sama sekali tidak bergantung pada bahan kimia. Sinar matahari, hujan dan tanah
merupakan kekuatan alam yang secara langsung akan mengatur keseimbangan
kehidupan kami (Sutanto, 2002: 20).
Adapun prinsip – prinsip dasar pertanian organik yaitu:
1. Menghasilkan pangan bernutrisi tinggi dalam jumlah yang cukup.
2. Mendorong dan meningkatkan siklus hayati dalam sistem pertanian dengan
melibatkan mikro organisme, tanah, flora dan fauna.
3. Mengenali dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam produksi pertanian
organik.
4. Sedapat mungkin menggunakan sumber daya – sumber daya yang dapat
diperbaharui pada sistem pertanian yang diselenggarakan secara lokal.
5. Menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang.
6. Menjaga dan mendorong keragaman hayati pertanian dan alam dilahan pertanian
dan sekelilingnya melalui penggunaan sistem produsi berkelanjutan dan
perlindungan habitat tumbuhan dan margasatwa.
7. Menciptakan keseimbangan yang harmonis antara produksi tanaman dan
peternakan.
8. Menyediakan kondisi kehidupan yang mengizinkan bagi hewan untuk hidup
sesuai dengan sifat dasarnya.
9. Mendorong terciptanya kesatuan rangkaian produksi, pemrosesan dan distribusi
yang berkeadilan sosial maupun bertanggungjawab secara ekologis dan
2.5.3 Manfaat Pertanian Organik
Sejumlah keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian
organik, antara lain:
1. Aspek kesehatan
a. Menghasilkan makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga
meningkatkan kesehatan masyarakat.
b. Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani, karena
petani akan terhindar dari paparan (exposure) polusi yang diakibatkan
penggunaan bahan kimia sintetik dalam produksi pertanian.
c. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.
2. Aspek lingkungan
a. Kualitas tanah yang semakin baik, hal ini dikarenakan pertanian organik tidak
memutus siklus tanah.
b. Sistem produksi pertanian organik lebih hemat, yaitu hanya menggunakan
50-80% energi minyak jika dibandingkan dengan pertanian anorganik
c. Kualitas air terjaga.
d. Meminimalkan perubahan iklim global karena emisi gas rumah kaca.
e. Mengurangi jumlah limbah melalui daur ulang limbah menjadi pupuk.
f. Menciptakan keanekaragaman hayati.
3. Aspek Ekonomi
Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, karena:
a. Biaya pembelian pupuk organik lebih murah dari pupuk kimia.
b. Harga jual hasil pertanian organik seringkali lebih tinggi dari pertanian
c. Petani dan peternak bisa mendapat tambahan pendapatan dari penjualan
jerami dan kotoran ternaknya.
d. Bagi peternak, biaya pembelian pakan ternak dari hasil fermentasi bahan
organik lebih murah dari pakan ternak konvensional.
e. Pengembangan pertanian organik berarti mengacu pada daya saing produk
agribisnis Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar internasional akan
produk pertanian organik yang terus meningkat. Ini berarti akan
mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan petani.
4. Aspek sosial budaya
a. Terbentuknya lapangan kerja baru dan keharmonisan kehidupan sosial di
pedesaan.
b. Merangsang hadirnya industri kompos rakyat yang berarti adanya lapangan
kerja baru bagi masyarakat pedesaan.
c. Merangsang adanya kerjasama kemitraan antara petani-peternak-pekebun
untuk menerapkan sistem terpadu. Dalam hubungan ini, peternak
mendapatkan bahan makanan ternak dari limbah pertanian (jerami dan dedak)
dari petani, sedangkan petani mendapatkan kotoran hewan dari peternak
sebagai bahan kompos untuk usaha pertanian organiknya. Sementara pekebun
akan mendapatkan lahannya yang bersih karena hewan ternak yang
merumput dilahanya atau peternak yang mengambil pakan dari lahan
kebunnya dan pekebun mendapatkan puuk alami dari kotoran ternak yang
2.5.4 Tujuan Pertanian Organik
Tujuan jangka pendek yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian
organik adalah sebagai berikut.
1. Ikut serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan
pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit.
2. Mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani
sebagai produsen dan para pengusaha.
3. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian
lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat.
4. Mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budi daya
organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu
meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan.
5. Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan mampu
berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang
dan mendatang.
Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian
organik adalah sebagai berikut:
1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam
bidang pertanian,
2. Memasyarakatkan kembali budi daya organik yang sangat bermanfaat dalam
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang
kegiatan budi daya pertanian yang berkelanjutan,
3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan
4. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga
mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan,
5. Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air, serta mengurangi masalah erosi
akibat pengolahan tanah yang intensif,
6. Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian
organik yang dimiliki petani secara turun – temurun, dan merangsang kegiatan
penelitian organik oleh lembaga penelitian dan universitas,
7. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan
produk – produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya,
8. Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global
dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak
dalam bidang pertanian (Sutanto,2002: 17-18).
Menurut International Federation of Organic Agricultuture Movements
(IFOAM), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik
adalah:
1. Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah
cukup,
2. Melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur ulang alamiah yang
mendukung semua bentuk kehidupan yang ada,
3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan
mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah dan tanaman serta
hewan,
5. Menggunakan sebanyak mungkin sumber – sumber terbaru yang berasal dari
sistem usaha tani itu sendiri,
6. Memanfaatkan bahan – bahan yang mudah didaur ulang baik didalam maupun
diluar usaha tani,
7. Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan
perilakunya yang hakiki,
8. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin
dihasilkan oleh kegiatan pertanian,
9. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman
dan hewan,
10. Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama
petani) dengan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan hak asasi manusia
untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan
kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat (Kanisius, 2005: 54).
2.5.5 Pertanian Berkelanjutan
Konsep pertanian organik adalah bagian dari pertanian berkelanjutan. Konsep
tentang pertanian berkelanjutan sebenarnya merupakan jawaban atas konsep revolusi
hijau yang dianggap terlalu mengeksploitasi lahan pertanian demi peningkatan
produksi pertanian semata yang ternyata bersifat sesaat. Konsep pertanian
berkelanjutan merupakan suatu sistem pertanian yang memiliki tiga ciri utama dalam
kegiatannya. Pertama, mempunyai efisiensi dalam penggunaan teknologi produksi
yang meliputi pemilihan benih, cara pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan
penyakit serta pasca panen. Kedua, semua aktivitas untuk mendukung produksi
mencemari lingkungan mulai dari pembibitan, pengairan, pemupukan pengendalian
hama dan penyakit serta pasca panen. Ketiga, mampu meningkatkan daya dukung
lahan. Lahan yang digunakan untuk pertanian menjadi lebih produktif dan tidak
malah menjadi rusak dan produktivitas menurun (Isnaini, 2006: 234).
2.5.6. Program Pengembangan Masyarakat Sektor Pertanian Organik oleh Yayasan Bitra Indonesia di Desa Lubuk Bayas
BITRA Indonesia sebagai sebuah lembaga sosial, non-profit mempunyai
perhatian khusus pada bidang pertanian. Terutama praktek pertanian yang ikut
menjaga kondisi alam dan lingkungan tetap baik atau biasa disebut pertanian
berkelanjutan dengan konsep pertanian organik/pertanian selaras alam. Desa Lubuk
Bayas merupakan salah satu wilayah yang dijadikan sasaran program pengembangan
masyarakat sektor pertanian oleh Yayasan BITRA.
Desa Lubuk Bayas menjadi salah satu sasaran BITRA dikarenakan kondisi
sosial ekonomi petani di desa tersebut yang tergolong kedalam petani miskin.
Meskipun tergolong petani miskin namun desa tersebut memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Irigasi di desa tersebut sangat baik, terdapat 373 irigasi teknis dan 20
irigasi non-teknis untuk 403 ha lahan pertanian (BPS). Selain itu di desa tersebut
terdapat 512 sapi dan 11 kerbau yang kotoran dan urinnya dapat diolah menjadi
pupuk organik.
Pertanian organik yang diterapkan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas
berfokus pada padi organik. Program tersebut dimulai BITRA Indonesia sejak tahun
2008. Dalam persiapannya, BITRA Indonesia melakukan pertemuan formal,
pelatihan pembuatan pupuk organik dan pestisida, serta pelatihan penerapan
pemeliharaan serta panen dan pasca panen. Kemudian pada implementasi program,
BITRA Indonesia melakukan pendampingan penerapan pembuatan pupuk organik,
pestisida alami, persiapan lahan dan benih, penanaman dan pemeliharaan padi, panen
dan pasca panen.
Adapun tujuan dari program pertanian organik yaitu ;
1. Menciptakan pertanian berkelanjutan dengan mengoptimalkan keseha tan dan
produktivitas agro ekosistem secara alami,
2. Mengurangi biaya produksi dan meningkatkan hasil panen,
3. Meningkatkan kemandirian petani dan terlepas dari monopoli pihak – pihak lain, 4. Meningkatkan taraf hidup petani.
2.6 Sosial Ekonomi
2.6.1 Pengertian Sosial Ekonomi
Pengertian sosial dan ekonomi di bahas secara terpisah meski saling memiliki
keterkaitan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sosial berarti segala sesuatu
yang berkenaan dengan masyarakat. Dalam ilmu sosial pengertian sosial
menunjukkan pada kegiatan yang mengatasi persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan sosial dan
kesejahteraan sosial. Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu
“oikos” yang artinya rumah tangga dan “nomos” yang artinya mengatur, jadi secara
harafiah ekonomi berarti cara mengatur rumah tangga. Sementara pengertian
ekonomi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah, segala sesuatu tentang
azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti
perdagangan, keuangan dan perindustrian. Jadi, dapat dikatakan bahwa ekonomi
Menurut Abdulsyahni (1994) sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi
seseorang dalam kelompok masyarakat yang di tentukan oleh jenis aktivitas
ekonomi, pendidikan, pendapatan, lingkungan tempat tinggal dan jabatan dalam
organisasi. Sedangkan menurut Soekanto (2001) sosial ekonomi adalah posisi
seseorang dalam masyarakat berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan
pergaulan, prestasinya dan hak – hak serta kewajibannya dalam hubunganya dengan
sumber daya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Sosial ekonomi
masyarakat adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan
menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat.
Beberapa faktor yang sering diikutsertakan dalam melihat kondisi sosial ekonomi
masyarakat yaitu pendapatan, pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan.
2.6.2 Pendapatan
Ilmu ekonomi mengenal istilah pendapatan yang mengandung arti sebagai
penghasilan, upah/gaji, keuntungan, sewa, dan setiap aliran pendapatan yang
diterima. Everes merinci pendapatan terdiri atas:
a) Pendapatan berupa uang
1. Usaha sendiri meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi atau penjualan dari
kerajinan rumah.
2. Hasil investasi yakni pendapatan yang di peroleh dari hak milik tanah.
3. Keuntungan sosial yakni pendapatan yang di peroleh dari kerja sosial.
b) Pendapatan berupa barang, yaitu pendapatan berupa :
1. Bagian pembayaran upah dan gaji yang dibentuk dalam beras, pengobatan dan
2. Penerimaan yang bukan pendapatan, yaitu pengambilan tabungan penjualan
barang yang dipakai, penagihan piutang, pinjaman uang, kiriman uang,
hadiah/pemberian, warisan atau menang judi (Mulyanto Sumardi, 1985).
Pendapatan juga dapat dilihat dalam dua istilah yaitu, relatif dan mutlak.
Pendapatan mutlak sebagai mana diteorikan oleh ekonom John Maynard Keynes,
adalah hubungan yang seiring dengan kenaikan pendapatan, sehingga akan
meningkatkan konsumsi, tetapi tidak pada tingkat yang sama. Pendapatan relatif
menentukan seseorang atau tabungan keluarga dan konsumsi berdasarkan
pendapatan keluarga dalam kaitannya dengan orang lain. Pendapatan adalah sebuah
ukuran yang umumnya digunakan sebagai status sosial ekonomi masyarakat karna
relatif mudah untuk mengetahui seseorang.
2.6.3 Pendidikan
Tingkat pendidikan sesuai dengan status sosial ekonomi karena merupakan
fenomena “cross cutting” untuk semua individu. Pencapaian pendidikan individu
dianggap sebagai cadangan untuknya atas semua prestasi dalam hidup, yang
tercermin melalui nilai-nilai atau derajatnya. Akibatnya, pendidikan memainkan
peran dalam sebuah pendapatan. Pendidikan memainkan peran penting dalam
mengasah keteranpilan seseorang individu yang membuat dia sebagai orang yang
siap untuk mencari dan memperoleh pekerjaan, serta kualifikasi khusus yang
mengelompokkan orang dengan setatus sosial ekonomi terendah. Menurut UU
NO.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha
sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keteranpilan yang ditemukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Adapun defenisi jenjang pendidikan menurut UU NO. 20 tahun 2003 yaitu
tahapan pendidikan yang di tetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta
didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang di kembangkan.
Berikut jenjang pendidikan berdasarkan pendidikan formal.
a) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu
upaya pembinaan yang di tujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
b) Pendidikan dasar
Menurut PP No. 28 tahun 1990 pendidikan dasar adalah pendidikan umum
yang lamanya 9 tahun. Diselenggarakan selama 6 tahun di sekolah dasar dan 3 tahun
disekolah menengah tingkat pertama.
c) Pendidikan menengah
Menurut PP No. 28 tahun 1990 pendidikan menengah adalah pendidikan
yang diselenggarakan bagi pendidikan dasar. Bentuk satuan pendidikan yag terdiri
atas sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, sekolah menengah
keagamaan, sekolah menengah kedinasan dan sekolah menengah luarbiasa.
d) Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang
2.6.4 Kesehatan
Kesehatan adalah segala hal yang berhubungan keadaan sehat dan
sakit/penyakit. Sehat menurut WHO adalah sehat jasmani, rohani, maupun sosial.
Seseorang dinyatakan sehat jasmani apabila individu tersebut terbebas dati penyakit
dan kesakitan maupun cacat. Sedangkan sehat rohani adalah bebasnya manusia dari
rasa tertekan. Sehat sosial berarti orang tersebut tidak mempunyai kendala material
maupun kejiwaan untuk bersosialisasi dengan orang lain (Bagong, 1996).
Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia
adalah peningkatan derajat kesehatannya. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat
berarti menjadikan masyarakat tersebut sehat baik jasmani, rohani, maupun sosial
sehingga individu dan masyarakat tersebut dapat terbebas dari penyakit dan
kesakitan maupun mempunyai harapan hidup yang tinggi.
2.6.5 Pangan
Pangan adalah sumber energi satu-satunya bagi manusia. Karena jumlah
penduduk yang terus berkembang, maka jumlah produksi makananpun harus terus
bertambah melebihi jumlah penduduk sehingga tercapai kecukupan pangan.
Pengertian Pangan Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004
pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan
Melalui survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), adapun kebutuhan
dasar yang termasuk komoditas pangan yaitu:
1. Padi-padian dan hasilnya
2. Ubi-ubian dan hasilnya
3. Daging
4. Telur
5. Susu
6. Sayur-sayuran
7. Kacang – kacangan 8. Buah-buahan
9. Makanan yang sudah jadi
10. Minuman mengandung alkohol
11. Tembakau
12. Sirih
Adapun indikator yang digunakan dalam kajian pangan menurut BPS, yaitu
frekuensi makan dalam per-harinya dan frekuensi mengkonsumsi daging/susu/ayam
per-minggunya. (Siagian, 2012: 81)
2.6.6 Perumahan
Perumahan juga merupakan suatu unsur kesejahteraan rakyat, di samping
sandang dan pangan. Perumahan merupakan bahagian dari pembangunan nasional
yang mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.
Dalam undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan
permukiman, perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,
utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Dalam hal ini
perumahan tersebut harus memenuhi syarat rumah sehat yaitu tersedianya sarana air
minum, tersedianya sarana penerangan, dan tersedianya sarana MCK.
Adapun kriteria perumahan berdasarkan konstruksi dalam UU No. 1 Tahun
2011 yaitu;
1. Permanen: memiliki pondasi, dinding terbuat dari batu bata atau batako, atap
terbuat dari genteng dan lantai sudah diplester atau dikeramik
2. Semi permanen: memiliki pondasi, dinding berbahan campuran (setengah
tembok dan setengah kayu/bambu, atap terbuat dari genteng dan lantai sudah
diplester/dikeramik
3. Non permanen: tidak memiliki pondasi, dinding terbuat dari kayu/bambu , atap
menggunakan bahan lain selain genteng dan lantai masih tanah.
Selanjutnya ukuran rumah berdasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan
Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 terbagi atas 3 yaitu;
1. Kecil
Tipe perumahan kecil adalah rumah yang memiliki luas kapling yang lebih kecil
sama dengan 36 m2. Perumahan yang termasuk tipe perumahan kecil yaitu mulai
dari tipe 21 sampai tipe 36,
2. Sedang
Tipe perumahan sedang adalah rumah yang memiliki luas kapling 37m2 – 54m2.
Perumahan yang termasuk tipe perumahan kecil yaitu mulai dari tipe 37 sampai
3. Besar
Tipe perumahan besar adalah rumah yang memiliki luas kapling ≥54m2. Perumahan yang termasuk tipe perumahan kecil yaitu mulai dari tipe 70 sampai
tipe 120.
Berdasarkan kelayakan rumah, rumah dibagi menjadi 2 yaitu layak huni dan
tidak layak huni. Adapun kriteria rumah tidak layak huni menurut BPS yaitu;
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per-orang
2. Jenis lantai bangunan terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa plester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri/kepemilikan fasilitas buang air
besar bersama – sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tidak ada
2.7 Kerangka Pemikiran
Kemiskinan di pedesaan masih menjadi masalah yang membutuhkan
perhatian lebih. Pada umumnya kemiskinan yang ada dipedesaan berada disektor
pertanian. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan menjadi penyebab utama
masyarakat tetap berada dalam kondisi miskin.
Sebagian masyarakat yang mengalami masalah kemisinan di sektor pertanian
berada di Desa Lubuk Bayas. Desa tersebut merupakan desa dengan pertanian
komoditi padi. Beberapa tahun setelah revolusi hijau diterapkan, petani padi di desa
tersebut mengalami permasalahan baru, yaitu penurunan kualitas tanah yang
berdampak pada penurunan kualitas padi dan bertambahnya biaya produksi.
bahan kimia. Selain itu pergeseran cara pertanian yang menggunakan pupuk kimia
dan pestisida membuat petani di desa tersebut semakin bergantung pada pemerintah
dan pemasok pupuk. Hal ini membuat para petani di desa tersebut semakin sulit
dalam meningkatkan kesejahteraannya.
Permasalahan pemahaman akan bahaya kimia, persediaan pupuk dan kondisi
petani di Desa Lubuk Bayas mulai disadari oleh BITRA Indonesia. BITRA Indonesia
melakukan intervensi terhadap petani di desa tersebut dan menerapkan program
pertanian organik. BITRA Indonesia berencana mengembalikan kebiasaan bertani
yang bersifat alamiah dan berkelanjutan.
BITRA Indonesia memberikan pelatihan mengenai pembuatan pupuk organik
dan pestisida nabati serta penerapan pertanian organik sebagai bagian dari persiapan
program. Kemudian dalam implementasi program, BITRA Indonesia melakukan
pendampingan pembuatan pupuk organik dan pestisida nabati, penerapan persiapan
lahan dan benih, penanaman dan pemeliharaan serta panen dan pasca panen.
Berdasarkan tingginya permintaan saat ini, menjadikan harga beras organik
menjadi lebih mahal dari beras anorganik. Sebagian masyarakat di Indonesia dan luar
negeri mulai menyadari pentingnya mengkonsumsi makanan yang alamiah.
Pengurangan biaya produksi dan lebih mahalnya harga beras organik seharusnya
berpengaruh positif terhadap sosial ekonomi petani.
Maka dari itu peneliti ingin melihat ada tidaknya pengaruh positif program
pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan Yayasan BITRA
Indonesia di Desa Lubuk Bayas. Adapun yang menjadi indikator sosial ekonomi
Pengaruh program tersebut dilihat dengan membandingkan sosial ekonomi
petani organik dampingan Yayasan BITRA Indonesia (target group) dengan petani
Bagan Alur Pikir
Program Pertanian Organik oleh Yayasan BITRA Indonesia
1. Pelatihan (Persiapan Program) meliputi,
- Pelatihan formal (penyadaran petani)
- Pelatihan penerapan pertanian organik
- Pelatihan pembuatan pupuk organik, mikroorganisme dan pestisida nabati
2. Implementasi program yang meliputi,
- Pendampingan pembuatan pupuk, mikroorganisme dan pestisida nabati
- Pendampingan persiapan lahan dan benih
- Pendampingan penanaman dan pemeliharaan padi
- Pendampingan panen dan pasca panen
2.8 Hipotesis
Hipotesis berasal dari bahasa latin, yang terdiri dari dua kata, yaitu hipo yang
berarti sementara dan these yang berarti pernyataan. Secara sederhana hipotesis dapat
diartikan sebagai pernyataan sementara atau jawaban sementara.
Kerlinger dalam Siagian (2011) mengemukakan bahwa hipotesis adalah suatu
pernyataan sementara yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel.
Hipotesis yang baik harus menyatakan hubungan yang jelas dan tegas antara dua
variabel atau lebih dan juga membenarkan, bahkan memerlukan pengujian atas
kebenaran yang dirumuskan.
Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada pengaruh positif dari program pertanian organik terhadap sosial
ekonomi kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas
Ho : Tidak ada pengaruh program pertanian organik terhadap sosial ekonomi
kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas
2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.9.1 Defenisi Konsep
Definisi konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan
dengan berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis.
Konsep diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa
yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan
sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi
tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang
dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan peneliti harus
menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya
penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan
definisi konsep. Secara sederhana definisi disini diartikan sebagai batasan arti.
Definsi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam
suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).
1. Pengaruh dalam penelitian ini adalah suatu akibat yang besifat positif yang ditimbulkan oleh suatu keadaan atau kondisi disebabkan oleh terjadinya sesuatu.
Dalam hal ini akibat yang ditimbulkan melalui program pertanian organik
terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk
Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Pertanian organik dalam penelitian ini adalah pertanian jenis tanaman padi dengan sistem produksi yang holistik dan terpadu dengan cara mengoptimalkan
kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami (tidak menggunakan
bahan kimia) sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas
dan berkelanjutan.
3. Pertanian anorganik dalam penelitian ini adalah pertanian jenis tanaman padi dengan sistem produksi menggunakan bahan kimia.
4. Sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial
masyarakat. Dalam penelitian ini yang menjadi batasan kosep sosial ekonomi
2.9.2 Defenisi Operasional
Perumusan definisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan
defini konsep. Jika perumusan definisi konsep ditujukan untuk mencapai
keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa
maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya
transformasi konsep dunia nyata sehingga konsep – konsep penelitian dapat
diobservasi. Definisi operasional sering disebut sebagai proses operasionalisasi
konsep. Operasional konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis
menjadi dinamis. Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu varibel
dapat diukur (Siagian, 2011: 141).
Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam Pengaruh Program
Pertanian Organik Terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina
Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Di Desa Lubuk Bayas Kecamatan
Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai dapat diukur dari indikator – indikator sebagai berikut :
1. Variabel Bebas (Independent Variabel)
Variabel bebas atau variabel x dapat didefenisikan sebagai variabel atau
sekelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel
atau sekelompok atribut yang lain (Siagian, 2011: 89). Variabel bebas merupakan
variabel yang menjadi sebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat (idrus, 2009:
79). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah program pertanian organik dengan
indikator sebagai berikut:
1) Pelatihan (persiapan program), meliputi
b. Pelatihan penerapan pertanian organik dengan materi persiapan lahan dan
benih, penanaman dan pemeliharaan padi, panen dan pasca panen
c. Pelatihan pembuatan sarana produksi pertanian organik meliputi pupuk
organik, zat perangsang tumbuh, mikroba pengurai dan pestisida nabati.
2) Implementasi program
a. Pendampingan pembuatan sarana produksi pertanian organik yang meliputi
pupuk organik, zat perangsang tumbuh, mikroba pengurai dan pestisida
nabati.
b. Pendampingan persiapan lahan dan benih
c. Pendampingan penanaman dan pemeliharaan padi
d. Pendampingan panen dan pasca panen
2. Variabel terikat ( Dependent Variable)
Variabel terikat atau variabel (y) secara sederhana dapat diartikan sebagai
variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Melihat kedudukannya, maka variabel
terikat sering disebut dengan variabel terpengaruh (Siagian, 2011: 90). Adapun
variabel terikat dalam penelitian ini adalah sosial ekonomi kelompok dampingan
Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia dengan indikator sebagai
berikut:
1) Pendapatan, indikator yang digunakan adalah
a. Pendapatan petani per-rante
b. Pendapatan per-bulan petani dari usaha lainnya
2) Kesehatan, indikator yang digunakan adalah
a. Status kesehatan
b. Tempat berobat yang dituju jika sakit
c. Kemampuan untuk membeli obat-obatan
3) Pendidikan, indikator yang digunakan adalah
a. Jumlah anak yang bersekolah
b. jenis sekolah anak
c. Sumber biaya sekolah anak
4) Pangan, indikator yang digunakan adalah
a. Frekuensi makan dalam sehari
b. Frekuensi mengkonsumsi daging/telur/susu/buah per-minggunya
5) Pakaian
a. Rata – rata membeli pakaian baru pertahun
b. Rata – rata membeli pakaian bekas/monja pertahun 6) Perumahan, indikatornya meliputi,
a. Tipe rumah berdasarkan sifat permanen
b. Status kepemilikan rumah/tempat tinggal