• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh Program Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Program

Program adalah cara tersendiri dan khusus yang dirancang demi pencapaian

suatu tujuan tertentu. Dengan adanya suatu program, maka segala rancangan akan

lebih teratur dan lebih mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, maka program

adalah unsur pertama yang harus ada bagi berlangsungnya aktivitas yang teratur,

karena dalam program telah dirangkum berbagai aspek, seperti:

1. Adanya tujuan yang mau dicapai,

2. Adanya berbagai kebijakan yang diambil dalam upaya pencapaian tujuan tersebut,

3. Adanya prinsip-prinsip dan metode-metode yang harus dijadikan acuan dengan

prosedur yang harus dilewati,

4. Adanya pemikiran atau rancangan tentang anggaran yang diperlukan,

5. Adanya strategi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan aktivitas (Wahab dalam

Siagian dan Suriadi, 2010:116-117).

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Pengertian Kemiskinan

Memahami kemiskinan tidak cukup dari satu aspek saja, mengingat

kemiskinan itu multi dimensi apabila dilihat dari kondisi kebutuhan manusia yang

juga beragam. Kemiskinan mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan

ketidakmampuan. Kemiskinan memiliki berbagai dimensi, yaitu:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan

(2)

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,

pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi),

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan

dan keluarga),

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal,

5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam,

6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat,

7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang

berkesinambungan,

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental,

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (Suharto, dkk, 2004).

Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan satu sama lain, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan dapat diukur dengan adanya standar

kebutuhan hidup layak dan yang miskin adalah manusianya. Lebih dalam lagi, jika

kemiskinan ditinjau dari sandart kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan

kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan dasar yang disebabkan

kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan dalam upaya

memenuhi standar hidup yang layak.

Ditinjau dari segi pendapatan, dapat didefinisikan kemiskinan sebagai suatu

kondisi kurangnya pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup

yang pokok. Apabila ditinjau dari segi kesempatan, maka kemiskinan merupakan

dampak dari ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan

basis-basis kekuatan sosial, seperti:

(3)

b. Informasi dan berbagai pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan hidup,

c. Jaringan-jaringan sosial,

d. Organisasi-Organisasi sosial dan politik,

e. Sumber-sumber modal yang diperlukan dalam upaya peningkatan

pengembangan kehidupan.

Kemiskinan dalam perspektif ekonomi, didefinisikan sebagai kekurangan

sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan

meningkatkan kesejahteraan. Sementara Kemiskinan dalam perspektif kesejahteraan

sosial mengarah pada keterbatasan individu atau kelompok dalam mengakses

jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan

kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas.

Sementara Mencher mengemukakan, kemiskinan adalah gejala penurunan

kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi

daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu

titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak

(Siagian, 2012: 5). Dalam hal ini dipahami bahwa kemiskinan terjadi karena

seseorang atau sekelompok orang tidak lagi mempunyai kemampuan memenuhi

kebutuhan hidupnya atau wilayah mengalami penurunan produksi.

2.2.2 Bentuk – Bentuk Kemiskinan

Kemiskinan secara sosio-ekonomis memiliki 2 bentuk kemiskinan yaitu

kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif sebagaimana dikemukakan oleh Baswir

dan Sumodiningrat dalam Elly dan Usman (2011 : 795-797) dengan penjelasan

(4)

1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan dimana orang – orang miskin memilki

tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak

mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup

minimum diukur anatara lain dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,

perumahan, pendidikan, kalori GNP perkapita, dan pengeluaran konsumsi,

2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan

antara tingkat pendapatan dan tingkat pendapatan lainnya. Disamping itu

terdapat bentuk – bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab

kemiskinan (asal muasal kemiskinan), yaitu:

a. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang

miskin. Kemiskinan natural terjadi disebabkan faktor – faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Kondisi

kemiskinan seperti ini disebut “persisten poverty”, yaitu kemiskinan yang

telah kronis atau turun temurun,

b. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok,

masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya

dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.

Kemiskinan ini disebabkan karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin

dan boros,

c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor

buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset

produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia

(5)

2.2.3 Faktor Penyebab Kemiskinan

Secara umum ada dua faktor penyebab kemiskinan, yaitu:

1. Faktor Internal, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu yang

mengalami kemiskinan yang secara substansial adalah dalam bentuk

kekurangmampuan, meliputi:

a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

b.Intelektual, seperti kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.

c.Mental emosional atau tempramental, seperti malas, mudah menyerah dan

putus asa.

d. Spiritual, seperti tidak jujur, penipu, serakah, dan tidak disiplin.

e.Sosial psikologis, seperti kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi,

stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan

lapangan kerja.

g.Aset, seperti tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,

tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu atau keluarga

yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik

waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar,

b.Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat

memenuhi kebutuhan hidup,

c.Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya

(6)

d.Kebijakan perbankan terhadap pelayanan kredit mikro dan tingkat bunga

yang tidak mendukung sektor usaha mikro,

e.Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil

masyarakat banyak,

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum

optimal, seperti zakat,

g.Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (srtructural

adjusment program),

h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan,

i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana,

j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material,

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata, dan

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin (Siagian,

2012: 114-116).

Suharto (2009) menyebutkan kemiskinan disebabkan oleh 4 faktor, yaitu:

1. Faktor Individual, terkait dengan aspek patologis termasuk kondisi fisik dan

psikologis simiskin

2. Faktor sosial, orang miskin disebabkan karena kondisi lingkungan sosial yang

menjebak seseorang menjadi miskin.

3. Faktor kultural, kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan

4. Faktor struktural, menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak

sensitif dan inaccessible sehingga menyebkan seseorang atau sekelompok orang

(7)

2.2.4 Kemiskinan Pedesaan

Pedesaan adalah bagian integral dari suatu negara. Di negara berkembang

kemiskinan yang ada di pedesaan menggambarkan kemiskinan negara. Disamping

itu kemiskinan pedesaan juga sebagai salah satu penyebab terjadinya urbanisasi yang

kurang diinginkan dan akan menyebabkan terjadinya regional disparity. Oleh karena

itu, pedesaan haruslah ditangani lebih serius agar kesejahteraan masyarakat dapat

ditingkatkan.

Pada situasi dimana pendekatan pertanian masih dominan di Indonesia,

kemiskinan di pedesaan hampir sepenuhnya melekat pada pertanian rakyat yang sarat

tenaga kerja. Ditinjau dari faktor penyebab, kemiskinan dipedesaan tidak semata –

mata disebabkan karena kurangnya modal agregat di perdesaan, tetapi juga oleh tidak

meratanya penguatan aset (modal) produksi. Distribusi penguasaan aset atau modal

produksi hanya dikuasai oleh sejumlah kecil pelaku ekonomi. Petani diperkirakan

hanya mempunyai modal yang sangat terbatas, dan sebagian besar diantaranya lebih

mengandalkan lebih mengandalkan tenaga kerja keluarga (Madekhan, 2007).

Adisasmita (2006) menjelaskan tentang indikator kemiskinan perdesaan dan

penyebab kemiskinan pedesaan, yaitu:

a. Indikator kemiskinan pedesaan

Masyarakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini

terpenuhi seperti ; (1) kurang kesempatan memperoleh pendidikan; (2) memiliki

lahan dan modal pertanian terbatas; (3) tidak adanya kesempatan menikmati

investasi disektor pertanian; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar

(pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara –

cara pertanian tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adnya

(8)

jaminan sosial; (11) korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa;

(12) tidak memilki akses untuk memperoleh; (13) tidak adnya partisipasi dalam

pengambilan keputusan publik.

b. Penyebab kemiskinan perdesaan, ada tiga faktor kritis yang mempengaruhi

terjadinya kemiskinan dipedesaan yaitu cepatnya laju pertumbuhan penduduk,

semakin sempitnya lahan pertanian, dan semakin sempitnya kesempatan.

Terjadinya ketimpangan antara tenaga kerja dan faktor tanah disebabkan oleh

tekanan pertambahan penduduk yang tinggi dengan sumber daya alam yang

terbatas.

Kemiskinan petani pedesaan dapat juga dijelaskan melalui capability

approach yang diketengahkan oleh Amartya Sen (1999) didalam Development As

Freedom. Menurut Sen, kemiskinan berkaitan dengan freedom of choice; orang

miskin sama sekali tidak memiliki freedom of choice karena terjadi capability

deprivation. Capability mengacu pada dua perkara, yaitu ability to do dan ability to

be. Petani miskin dipedesaan benar – benar mengalami ability to do dan ability to be

yang rendah karena mereka dalam posisi yang dirampas. Berbagai macam

deprivation dapat diketengahkan disini:

1. Structural devivation. Struktur berkaitan dengan: power relations, dimana posisi

petani selalu dalam posisi lemah; (2) adanya kebijakan pemerintah yang

memengaruhi kebijakan dalam penanggulangan kemiskinan; (3) dualisme

ekonomi yang muncul dalam wajah baru.

2. Social capability deprivation: orang miskin tidak dapat meraih kesempatan,

informasi, pengetahuan, keterampilan, partisipasi dalam organisasi.

3. Economic capability deprivation: orang miskin tidak dapat mengakses fasilitas

(9)

mereka terjebak pada Bank Plecitdan kaum rentenir yang tidak membutuhkan

prosedur yang berbelit – belit.

4. Tecnological capability deprivation: dimana orang miskin tidak dapat memiliki

teknologi baru yang memerlukan modal yang cukup besar. Teknologi tradisional

seperti pembuatan alat – alat dari bahan lokal (tanah, bambu, kayu dan lain – lain) telah digantikan oleh alat pabrikan.

5. Political capability deprivation: petani miskin dipedesaan tidak mampu

memengaruhi keputusan politik yang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), tidak didengarkan aspirasinya, tidak memiliki kemampuan untuk

melakukan collective action.

6. Psychological deprivation: petani miskin pedesaan selalu memperoleh stigma

sebagai orang – orang yang kolot, bodoh, malas, tidak aspiratif. Stigma inilah yang berakibat mereka menjadi rendah diri dan merasa disepelekan, merasa

teralienasi didalam kehidupan sosial dan politik.

2.3 Pembangunan Berkelanjutan

Program pengembangan masyarakat berada dalam kerangka pembangunan

berkelanjutan yang berupaya untuk mengurangi ketergantungan kepada sumber daya

yang tidak tergantikan (non-renewable) dan menciptakan alternatif serta tatanan

ekologis, sosial, ekonomi, dan politik yang berkelanjutan ditingkat lokal. Hal ini

berimplikasi pada masyarakat setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup,

konservasi dll. (Nasdian, 2014: 50)

Pembangunan berkelanjutan yang kokoh harus bermuara dari pembangunan

dipedesaan. Hal tersebut sangat berlaku di negara berkembang seperti di Indonesia.

(10)

pedesaan di Indonesia juga menjadi sumber kehidupan karena indonesia negara

agraris. Oleh kerana itu pembangunan di Indonesia akan kurang mempunyai arti bila

tidak dilakukan pembangunan masyarakat desa (Adi, 2003: 292)

Konsep pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan sebagai

pembangunan yang memiliki kemampuan dalam menjamin kebersinambungan

pembangunan. Hal mana dilakukan dengan cara berikhtiar memenuhi keperluan

masa sekarang tanpa membahayakan peluang generasi yang akan datang dalam

memenuhi berbagai keperluan hidup nantinya. Dengan demikian, konsep

pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian terhadap kepentingan masa

sekarang dan kepentingan masa mendatang (Siagian dan Suriadi, 2012: 56).

Perserikatan Bangsa Bangsa melaksanakan konferensi khusus tentang

Masalah Lingkungan dan Pembangunan. Konferensi ini lebih dikenal dengan

Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Riode Janeiro, Brazil (Tinto, dalam Siagian dan

Suriadi, 2012). Konferensi ini mengangkat slogan “berpikir mendunia, bertindak sesuai keadaaan setempat”. Slogan ini berupaya menggambarkan perlunya bertindak

bijaksana terhadap lingkungan. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi ini

berupaya menyadarkan perlunya menumbuhkan semangat kebersamaan untuk

menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh benturan antara

kelompok-kelompok pelaku pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan kelompok-kelompok

yang memperhatikan lingkungan.

Hasil utama implementasi Konferensi Tingkat Tinggi Bumi antara lain adalah

berupa kesepakatan para pemimpin negara-negara di dunia ini untuk menyetujui

berbagai rancangan besar yang berkaitan dengan pembangunan berkesinambungan

yang didasarkan atas pemeliharaan lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial

(11)

mengikat dan tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat. Adapun tiga

persetujuan meliputi:

1. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati.

Konferensi ini bertujuan melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika,

semua jenis mahluk hidup, habitat, dan sistem lingkungan. Juga bertujuan untuk

menjamin pendayagunaan berbagai sumber daya hayati secara

berkesinambungan demi menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati

secara adil.

2. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kerangka Kerja Perubahan

Iklim Global. Persetujuan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepekatan gas

rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat yang dapat mencegah campur

tangan manusia yang berbahaya yang berkaitan dengan iklim.

3. Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penyelesaian Masalah

Penurunan Kualitas Tanah. Persetujuan ini berupaya mencipta pemecahan

terhadap masalah rusaknya tanah. Penurunan kualitas tanah ini telah mengurangi

secara signifikan daya dukung suatu kawasan bagi kehidupan manusia yang

mendiaminya (Soejachman, dalam Siagian dan Suriadi, 2012: 60-61).

Selanjutnya tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat

merangkum dua kesepakatan, yaitu:

1. Pendeklarasian Rio berkenaan dengan asas yang menekankan hubungan antara

lingkungan dan pembangunan. Asas tersebut dapat dilaksanakan secara umum

dalam rangka menjamin pemeliharaan lingkungan dan pembangunan yang

(12)

2. Dasar-dasar kebenaran pengelolaan hutan, yaitu pernyataan yang mengikat

tentang dasar-dasar kebenaran bagi satu pertujuan dunia tentang pengelolaan,

pelestarian dan pembangunan berkesinambungan dari semua jenis hutan.

3. Agenda 21 yang merupakan rancangan lengkap tentang program pembangunan

berkesinambungan saat memasuki abad ke-21. Disebutkan dalam Agenda 21

bahwa selain pemerintah bangsa-bangsa di dunia, badan-badan khusus

Perserikatan Bangsa bangsa dan organisasi internasional lainnya, maka seluruh

lapisan masyarakat perlu memahami konsep pembangunan berkesinambungan.

Ditegaskan pula, bahwa terdapat sembilan kelompok utama yang diharapkan

terllibat dalam program ini, yaitu:

1. Organisasi non pemerintah (NGO/LSM)

2. Pemuda

3. Pekerja

4. Petani dan nelayan

5. Pemerintah lokal

6. Perempuan

7. Ilmuwan

8. Pemuka adat (Siagian dan Suriadi, 2012: 62).

Dalam Pembagunan keberlanjutan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) juga telah menyusunnya dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable

Development Golas (SDGs), hal tersebut disepakati oleh negara anggota PBB.

Terdapat delapan tujuan dan sasaran yang dirangkum dalam Millennium

Development Goals yang harus dicapai sebelum 2015, yaitu:

1. Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah,

(13)

3. Membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan,

4. Mengurangi tingkat kematian anak,

5. Meningkatkan kesehatan ibu,

6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit serius lainnya,

7. Menjamin kesinambungan pembangunan lingkungan,

8. Mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan.

Dalam MDGs yang menjadi titik sentral pembangunan adalah manusia, atau

pembangunan berpusat pada peningkatan kualitas kehidupan manusia. MDGs

didasarkan pada konsensus dan kemitraan global sambil menekankan tanggung

jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan

negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Manfaat dari MDGs tidak semata-mata untuk mengukur target dan

menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi

yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan millenium dikonkritkan

pelaksanaannya. Misalnya tidak saja menghitung berapa jumlah ibu yang meninggal

disebabkan melahirkan tetapi juga bagaimana menghentikan kematian ibu karena

melahirkan tersebut (Siagian dan Suriadi, 2012: 70).

Sementara dalam SDGs terdapat 17 tujuan yang akan dicapai mulai dari tahun

2015 – 2030. Tujuan tersebut antara lain: 1. Mengentaskan segala bentuk kemiskinan,

2. Mengentaskan kelaparan, meraih ketahanan pangan dan peningkatan mutu gizi

pangan, serta mengenalkan pertanian berkelanjutan,

3. Menjamin cara hidup sehat dan mengenalkan kesejahteraan pada semua

(14)

4. Menjamin pendidikan yang inklusif dan adil serta mengenalkan metode

pembelajaran sepanjang hidup,

5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan seluruh wanita,

6. Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan,

7. Menjamin akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan,

berkelanjutan, dan modern,

8. Mengenalkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,

kesempatan kerja yang penuh dan produktif, serta kelayakan kerja,

9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mengenalkan industrialisasi yang

inklusif, berkelanjutan, dan mendorong inovasi,

10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan antarnegara,

11. Membuat kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan,

12. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan,

13. Mengambil keputusan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya,

14. Melestarikan dan menggunakan samudera, laut, dan sumber daya kelautan

secara bijak demi pembangunan berkelanjutan,

15. Melindungi, memulihkan, dan mengenalkan penggunaan yang berkelanjutan atas

ekosistem darat, memerangi desertifikasi, menghentikan dan memulihkan

kerusakan lahan dan menghentikan kerusakan keanekaragaman hayati,

16. Mengenalkan komunitas masyarakat yang inklusif dan penuh damai untuk

pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan, dan

membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif bagi semua kalangan,

17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global demi

(15)

2.4 Pengembangan Masyarakat

2.4.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat (community development) adalah konsep dasar

yang menggarisbawahi sejumlah istilah yang telah digunakan sejak lama, seperti

community resource development, rural areas development, comunity economic

development, rural revitalisation, dan community based development. Community

development menggambarkan makna yang penting dari dua konsep: community,

bermakna kualitas hubungan sosial dan development, perubahan kearah kemajuan

yang terencana dan bersifat gradual. Makna ini penting untuk arti pengembangan

masyarakat yang sesungguhnya (Blackburn dalam Nasdian: 29).

Secara umum pengembangan masyarakat (community development) adalah

kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan

diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial,

ekonomi, dan kualaitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan

kegiatan pembangunan sebelumnya (Budimanta dan Rudito, 2008: 33).

Bhattacarya mengartikan pengembangan masyarakat adalah pengembangan

manusia yang tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi dan kemampuan

manusia untuk mengontrol lingkungannya. Pengembangan masyarakat adalah usaha

untuk membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu

menumbuhkan kemampuan berorganisasi, berkomunikasi, dan menguasai

lingkungan fisiknya. Manusia didorong untuk mampu membuat keputusan,

mengambil inisiatif dan mampu berdiri sendiri.

Defenisi lain juga digagas Yayasan Indonesia Sejahtera yang menyatakan

pengembangan masyarakat adalah usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan

(16)

kemampuan yang dimiliki, baik alam maupun tenaga, serta menggali inisiatif

setempat untuk lebih banyak melakukan kegiatan investasi dalam mencapai

kesejahteraan yang lebih baik

(https://luluhatta.wordpress.com/2014/10/13/pengembangan-masyarakat

community-development/ diakses pada 29 maret 2015 pukul 17.13 WIB).

2.4.2 Tujuan Pengembangan Masyarakat

Tujuan muncul sebelum kebijakan, program ataupun kegiatan dibuat. Jika

dikaji berdasarkan waktu pencapaiannya, tujuan terbagi atas dua yaitu tujuan

langsung atau jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tindakan untuk tujuan

langsung tidak dibenarkan bila tidak sesuai dengan tujuan jangka panjang. Dalam

pengembangan masyarakat perlu diperhatikan keseimbangan antara tujuan jangka

pendek dan tujuan jangka lama sesuai dengan visi masyarakat. Dalam hal ini perlu

upaya untuk menghubungkan dan membuat relevansi antara keduanya.

Mukerji (1961) menytakan bahwa tujuan pengembangan masyarakat secara

rinci adalah membangun kehidupan manusia sebagai individu dan sebagai anggota

komunitasnya dengan cara mengembangkan pandangan yang progresif, kemandirian,

dedikasi terhadap tujuan komunitas, dan kerja sama. (Nasdian, 2014: 36)

2.4.3 Asas – Asas dan Prinsip – Prinsip Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu

perencanaan sosial perlu berlandasakan pada asas – asas: (1) komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensinerjikan strategi konprehensif

(17)

meningkatkan partsipasi warga; dan (4) mengubah perilaku profesional agar lebih

peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga komunitas (Ife dalam Nasdian,

2014: 46-47).

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (1957) dalam sebuah laporannya

mengenai konsep dan prinsip – prinsip pengembangan masyarakat, memaparkan sepuluh prinsip yang dianggap dapat diterapkan diseluruh dunia. Sepuluh prinsip

tersebut adalah:

1. Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan harus berhubungan dengan kebutuhan

dasar dari masyarakat; program – program (proyek) pertama harus dimulai sebagai jawaban atas kebutuhan yang dirasakan orang – orang;

2. Kemajuan lokal dapat dicapai melalui upaya – upaya tak saling terkait dalam setiap bidang dasar, akan tetapi pengembangan masyarakat yang penuh dan

seimbang menuntut tindakan bersama dan penyusunan program – program

multi-tujuan;

3. Perubahan sikap orang – orang adalah sama pentingnya dengan pencapaian

kemajuan material dari program – program masyarakat selama tahap – tahap awal pembangunan;

4. Pengembangan masyarakat mengarah pada partisipasi orang – orang yang

mengikat dan lebih baik dalam masalah – masalah masyarakat, revitalisasi bentuk – bentuk yang ada dari pemerintah lokal yang efektif apabila hal tersebut

belum berfungsi;

5. Identifikasi, dorongan semangat, dan pelatihan pemimpin lokal harus menjadi

tujuan dasar setiap program;

6. Kepercayaan yang lebih besar pada partisipasi wanita dan kaum muda dalam

(18)

program pembangunan, memapankanya dalam basis yang luas dan menjamin

ekspansi jangka panjang;

7. Agar sepenuhnya efektif, proyek – proyek swadaya masyarakat memerlukan

dukungan intensif dan ekstensif dari pemerintah;

8. Penerapan program – program pengembangan masyarakat dalam skala nasional memerlukan pengadopsian kebijakan yang konsisten, pengaturan administratif

yang spesifik, perekrutan dan pelatihan personil, mobilisasi sumber daya lokal

dan nasional, dan organisasi penelitian eksperimen, dan evaluasi;

9. Sumber daya dalam bentuk organisasi – organisasi non-pemerintah harus dimanfaatkan penuh dalam program – program pengembangan masyarakat pada

tingkat lokal, nasional, dan internasional; dan

10. Kemajuan ekonomi dan sosial pada tingkat lokal mensyaratkan pembangunan

yang paralel ditingkat nasional (Nasdian, 2014: 46-48).

Sementara Ife dalam Nasdian (2014) juga memaparkan 22 prinsip

pengembangan masyarakat (community development) yaitu: (1) Integrated

development; (2) Confronting Structural Disadvantage (Konfrontasi dengan

Kebatilan Struktural); (3) Human Right (Hak Asasi Manusia); (4) Sustainability

(Keberlanjutan); (5) Empowerment (Pemberdayaan); (6) The Personal and The

Political (Pribadi dan Politik); (7) Community Ownership (kepemilikan komunitas);

(8) Self-Reliance (Kemandirian); (9) Independence from State (Tidak

Ketergantungan pada Pemerintah; (10) Immediate Goals dan Ultimate Vision

(Tujuan dan Visi); (11) Organic Development (Pembangunan Bersifat Organik); (12)

The Pace of Development (Kecepatan Gerak Pembagunan); (13) External Experties

(Keahlian Pihak Luar); (14) Community Building (Membangun Komunitas); (15)

(19)

(Keterpaduan Proses); (17) Non Violence (Tanpa Kekerasan); (18) Inklusif; (19)

Konsensus; (20) Co-operation (Kerjasama); (21) Particapation (Partisipasi); (22)

Defining Need (Mendefinisikan Kebutuhan).

2.5. Pertanian Organik

2.5.1. Pengertian Pertanian Organik

Istilah pertanian organik menghimpun seluruh imajinasi petani dan konsumen

secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang

bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan

yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman

berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya

alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik

merupakan suatu gerakan kembali “ke alam” (Sutanto, 2002: 20)

Ada dua pemahaman tentang pertanian organik, yaitu pertanian organik

dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pertanian organik dalam artian sempit yaitu

pertanian yang bebas dari bahan – bahan kimia. Mulai dari perlakuan untuk mendapat benih, penggunaan pupuk, pengendalian hama dan penyakit sampai

perlakuan pasca panen tidak sedikitpun melibatkan zat kimia, semua harus bahan

hayati, alami. Sedangkan pengertian pertanian organik dalam arti luas adalah

pertanian yang masih memberi toleransi penggunaan bahan kimia dalam batas – atas

tertentu (Isnaini, 2006: 239-240)

Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) pertanian organik adalah sistem

produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan

agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah

(20)

tanpa bahan kimia, dengan prinsip dasar menghidupkan tanah dengan mengikuti

hukum alam.

Dibutuhkan waktu minimal 2 tahun untuk mongkonversi lahan pertanian

anorganik menjadi lahan pertanian organik. Hal tersebut tergantung situasi dan

kondisi seperti masa penggunaan lahan anorganik, letak lahan pertanian, proses

pengairan dan sebagainya. Selain itu penerapan pertanian anorganik di lahan

pertanian yang sedang masa transisi akan semakin memperlama masa transisi

tersebut (Sriyanto, 2010: 31).

2.5.2 Azas dan Prinsip Pertanian Organik

Menurut Fukuoka (1985) ada 4 azas menuju pertanian organik.

1. Tanpa olah tanah. Tanah tanpa diolah atau dibalik. Pada prinsipnya tanah

mengolah sendiri, baik menyangkut masuknya perakaran tanaman maupun

kegiatan mikrobia tanah, mikro fauna dn cacing tanah.

2. Tidak digunakan sama sekali pupuk kimia maupun kompos. Kebutuhan untuk

tanaman bisa dipenuhi dengan menanam tanaman penutup tanah semisal

leguminose, kacang – kacangan dan mengembalikan jerami ke ladang dengan ditambah sedikit kotorang unggas atau sapi. Jika tanah dibiarkan pada

keadaannya sendiri, tanah akan mampu menjaga kesuburannya secara alami

sesuai dengan daur teratur dari tumbuhan dan binatang (Insaini, 2006: 241).

3. Tidak dilakukan pemberantasan gulma baik melalui pengolahan tanah maupun

penggunan herbisida. Pemakaian mulsa jerami, tanaman penutup tanah maupun

penggengan sewaktu – waktu akan membatasi dan menekan pertumbuhan

(21)

4. Sama sekali tidak bergantung pada bahan kimia. Sinar matahari, hujan dan tanah

merupakan kekuatan alam yang secara langsung akan mengatur keseimbangan

kehidupan kami (Sutanto, 2002: 20).

Adapun prinsip – prinsip dasar pertanian organik yaitu:

1. Menghasilkan pangan bernutrisi tinggi dalam jumlah yang cukup.

2. Mendorong dan meningkatkan siklus hayati dalam sistem pertanian dengan

melibatkan mikro organisme, tanah, flora dan fauna.

3. Mengenali dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam produksi pertanian

organik.

4. Sedapat mungkin menggunakan sumber daya – sumber daya yang dapat

diperbaharui pada sistem pertanian yang diselenggarakan secara lokal.

5. Menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah dalam jangka panjang.

6. Menjaga dan mendorong keragaman hayati pertanian dan alam dilahan pertanian

dan sekelilingnya melalui penggunaan sistem produsi berkelanjutan dan

perlindungan habitat tumbuhan dan margasatwa.

7. Menciptakan keseimbangan yang harmonis antara produksi tanaman dan

peternakan.

8. Menyediakan kondisi kehidupan yang mengizinkan bagi hewan untuk hidup

sesuai dengan sifat dasarnya.

9. Mendorong terciptanya kesatuan rangkaian produksi, pemrosesan dan distribusi

yang berkeadilan sosial maupun bertanggungjawab secara ekologis dan

(22)

2.5.3 Manfaat Pertanian Organik

Sejumlah keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian

organik, antara lain:

1. Aspek kesehatan

a. Menghasilkan makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga

meningkatkan kesehatan masyarakat.

b. Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani, karena

petani akan terhindar dari paparan (exposure) polusi yang diakibatkan

penggunaan bahan kimia sintetik dalam produksi pertanian.

c. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.

2. Aspek lingkungan

a. Kualitas tanah yang semakin baik, hal ini dikarenakan pertanian organik tidak

memutus siklus tanah.

b. Sistem produksi pertanian organik lebih hemat, yaitu hanya menggunakan

50-80% energi minyak jika dibandingkan dengan pertanian anorganik

c. Kualitas air terjaga.

d. Meminimalkan perubahan iklim global karena emisi gas rumah kaca.

e. Mengurangi jumlah limbah melalui daur ulang limbah menjadi pupuk.

f. Menciptakan keanekaragaman hayati.

3. Aspek Ekonomi

Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, karena:

a. Biaya pembelian pupuk organik lebih murah dari pupuk kimia.

b. Harga jual hasil pertanian organik seringkali lebih tinggi dari pertanian

(23)

c. Petani dan peternak bisa mendapat tambahan pendapatan dari penjualan

jerami dan kotoran ternaknya.

d. Bagi peternak, biaya pembelian pakan ternak dari hasil fermentasi bahan

organik lebih murah dari pakan ternak konvensional.

e. Pengembangan pertanian organik berarti mengacu pada daya saing produk

agribisnis Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar internasional akan

produk pertanian organik yang terus meningkat. Ini berarti akan

mendatangkan devisa bagi pemerintah daerah yang pada akhirnya akan

meningkatkan kesejahteraan petani.

4. Aspek sosial budaya

a. Terbentuknya lapangan kerja baru dan keharmonisan kehidupan sosial di

pedesaan.

b. Merangsang hadirnya industri kompos rakyat yang berarti adanya lapangan

kerja baru bagi masyarakat pedesaan.

c. Merangsang adanya kerjasama kemitraan antara petani-peternak-pekebun

untuk menerapkan sistem terpadu. Dalam hubungan ini, peternak

mendapatkan bahan makanan ternak dari limbah pertanian (jerami dan dedak)

dari petani, sedangkan petani mendapatkan kotoran hewan dari peternak

sebagai bahan kompos untuk usaha pertanian organiknya. Sementara pekebun

akan mendapatkan lahannya yang bersih karena hewan ternak yang

merumput dilahanya atau peternak yang mengambil pakan dari lahan

kebunnya dan pekebun mendapatkan puuk alami dari kotoran ternak yang

(24)

2.5.4 Tujuan Pertanian Organik

Tujuan jangka pendek yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian

organik adalah sebagai berikut.

1. Ikut serta menyukseskan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan

pemanfaatan peluang pasar dan ketersediaan lahan petani yang sempit.

2. Mengembangkan agribisnis dengan jalan menjalin kemitraan antara petani

sebagai produsen dan para pengusaha.

3. Membantu menyediakan produk pertanian bebas residu bahan kimia pertanian

lainnya dalam rangka ikut meningkatkan kesehatan masyarakat.

4. Mengembangkan dan meningkatkan minat petani pada kegiatan budi daya

organik baik sebagai mata pencaharian utama maupun sampingan yang mampu

meningkatkan pendapatan tanpa menimbulkan terjadinya kerusakan lingkungan.

5. Mempertahankan dan melestarikan produktivitas lahan, sehingga lahan mampu

berproduksi secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang

dan mendatang.

Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian

organik adalah sebagai berikut:

1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam

bidang pertanian,

2. Memasyarakatkan kembali budi daya organik yang sangat bermanfaat dalam

mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang

kegiatan budi daya pertanian yang berkelanjutan,

3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan

(25)

4. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga

mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan,

5. Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air, serta mengurangi masalah erosi

akibat pengolahan tanah yang intensif,

6. Mengembangkan dan mendorong kembali munculnya teknologi pertanian

organik yang dimiliki petani secara turun – temurun, dan merangsang kegiatan

penelitian organik oleh lembaga penelitian dan universitas,

7. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan

produk – produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya,

8. Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global

dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak

dalam bidang pertanian (Sutanto,2002: 17-18).

Menurut International Federation of Organic Agricultuture Movements

(IFOAM), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan sistem pertanian organik

adalah:

1. Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah

cukup,

2. Melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur ulang alamiah yang

mendukung semua bentuk kehidupan yang ada,

3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan

mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah dan tanaman serta

hewan,

(26)

5. Menggunakan sebanyak mungkin sumber – sumber terbaru yang berasal dari

sistem usaha tani itu sendiri,

6. Memanfaatkan bahan – bahan yang mudah didaur ulang baik didalam maupun

diluar usaha tani,

7. Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan

perilakunya yang hakiki,

8. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin

dihasilkan oleh kegiatan pertanian,

9. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman

dan hewan,

10. Memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama

petani) dengan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan hak asasi manusia

untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan

kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat (Kanisius, 2005: 54).

2.5.5 Pertanian Berkelanjutan

Konsep pertanian organik adalah bagian dari pertanian berkelanjutan. Konsep

tentang pertanian berkelanjutan sebenarnya merupakan jawaban atas konsep revolusi

hijau yang dianggap terlalu mengeksploitasi lahan pertanian demi peningkatan

produksi pertanian semata yang ternyata bersifat sesaat. Konsep pertanian

berkelanjutan merupakan suatu sistem pertanian yang memiliki tiga ciri utama dalam

kegiatannya. Pertama, mempunyai efisiensi dalam penggunaan teknologi produksi

yang meliputi pemilihan benih, cara pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan

penyakit serta pasca panen. Kedua, semua aktivitas untuk mendukung produksi

(27)

mencemari lingkungan mulai dari pembibitan, pengairan, pemupukan pengendalian

hama dan penyakit serta pasca panen. Ketiga, mampu meningkatkan daya dukung

lahan. Lahan yang digunakan untuk pertanian menjadi lebih produktif dan tidak

malah menjadi rusak dan produktivitas menurun (Isnaini, 2006: 234).

2.5.6. Program Pengembangan Masyarakat Sektor Pertanian Organik oleh Yayasan Bitra Indonesia di Desa Lubuk Bayas

BITRA Indonesia sebagai sebuah lembaga sosial, non-profit mempunyai

perhatian khusus pada bidang pertanian. Terutama praktek pertanian yang ikut

menjaga kondisi alam dan lingkungan tetap baik atau biasa disebut pertanian

berkelanjutan dengan konsep pertanian organik/pertanian selaras alam. Desa Lubuk

Bayas merupakan salah satu wilayah yang dijadikan sasaran program pengembangan

masyarakat sektor pertanian oleh Yayasan BITRA.

Desa Lubuk Bayas menjadi salah satu sasaran BITRA dikarenakan kondisi

sosial ekonomi petani di desa tersebut yang tergolong kedalam petani miskin.

Meskipun tergolong petani miskin namun desa tersebut memiliki potensi yang dapat

dikembangkan. Irigasi di desa tersebut sangat baik, terdapat 373 irigasi teknis dan 20

irigasi non-teknis untuk 403 ha lahan pertanian (BPS). Selain itu di desa tersebut

terdapat 512 sapi dan 11 kerbau yang kotoran dan urinnya dapat diolah menjadi

pupuk organik.

Pertanian organik yang diterapkan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas

berfokus pada padi organik. Program tersebut dimulai BITRA Indonesia sejak tahun

2008. Dalam persiapannya, BITRA Indonesia melakukan pertemuan formal,

pelatihan pembuatan pupuk organik dan pestisida, serta pelatihan penerapan

(28)

pemeliharaan serta panen dan pasca panen. Kemudian pada implementasi program,

BITRA Indonesia melakukan pendampingan penerapan pembuatan pupuk organik,

pestisida alami, persiapan lahan dan benih, penanaman dan pemeliharaan padi, panen

dan pasca panen.

Adapun tujuan dari program pertanian organik yaitu ;

1. Menciptakan pertanian berkelanjutan dengan mengoptimalkan keseha tan dan

produktivitas agro ekosistem secara alami,

2. Mengurangi biaya produksi dan meningkatkan hasil panen,

3. Meningkatkan kemandirian petani dan terlepas dari monopoli pihak – pihak lain, 4. Meningkatkan taraf hidup petani.

2.6 Sosial Ekonomi

2.6.1 Pengertian Sosial Ekonomi

Pengertian sosial dan ekonomi di bahas secara terpisah meski saling memiliki

keterkaitan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata sosial berarti segala sesuatu

yang berkenaan dengan masyarakat. Dalam ilmu sosial pengertian sosial

menunjukkan pada kegiatan yang mengatasi persoalan yang dihadapi oleh

masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan sosial dan

kesejahteraan sosial. Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu

oikos” yang artinya rumah tangga dan “nomos” yang artinya mengatur, jadi secara

harafiah ekonomi berarti cara mengatur rumah tangga. Sementara pengertian

ekonomi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah, segala sesuatu tentang

azas-azas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti

perdagangan, keuangan dan perindustrian. Jadi, dapat dikatakan bahwa ekonomi

(29)

Menurut Abdulsyahni (1994) sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi

seseorang dalam kelompok masyarakat yang di tentukan oleh jenis aktivitas

ekonomi, pendidikan, pendapatan, lingkungan tempat tinggal dan jabatan dalam

organisasi. Sedangkan menurut Soekanto (2001) sosial ekonomi adalah posisi

seseorang dalam masyarakat berkaitan dengan orang lain dalam arti lingkungan

pergaulan, prestasinya dan hak – hak serta kewajibannya dalam hubunganya dengan

sumber daya.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Sosial ekonomi

masyarakat adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan

menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat.

Beberapa faktor yang sering diikutsertakan dalam melihat kondisi sosial ekonomi

masyarakat yaitu pendapatan, pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan.

2.6.2 Pendapatan

Ilmu ekonomi mengenal istilah pendapatan yang mengandung arti sebagai

penghasilan, upah/gaji, keuntungan, sewa, dan setiap aliran pendapatan yang

diterima. Everes merinci pendapatan terdiri atas:

a) Pendapatan berupa uang

1. Usaha sendiri meliputi hasil bersih dari usaha sendiri, komisi atau penjualan dari

kerajinan rumah.

2. Hasil investasi yakni pendapatan yang di peroleh dari hak milik tanah.

3. Keuntungan sosial yakni pendapatan yang di peroleh dari kerja sosial.

b) Pendapatan berupa barang, yaitu pendapatan berupa :

1. Bagian pembayaran upah dan gaji yang dibentuk dalam beras, pengobatan dan

(30)

2. Penerimaan yang bukan pendapatan, yaitu pengambilan tabungan penjualan

barang yang dipakai, penagihan piutang, pinjaman uang, kiriman uang,

hadiah/pemberian, warisan atau menang judi (Mulyanto Sumardi, 1985).

Pendapatan juga dapat dilihat dalam dua istilah yaitu, relatif dan mutlak.

Pendapatan mutlak sebagai mana diteorikan oleh ekonom John Maynard Keynes,

adalah hubungan yang seiring dengan kenaikan pendapatan, sehingga akan

meningkatkan konsumsi, tetapi tidak pada tingkat yang sama. Pendapatan relatif

menentukan seseorang atau tabungan keluarga dan konsumsi berdasarkan

pendapatan keluarga dalam kaitannya dengan orang lain. Pendapatan adalah sebuah

ukuran yang umumnya digunakan sebagai status sosial ekonomi masyarakat karna

relatif mudah untuk mengetahui seseorang.

2.6.3 Pendidikan

Tingkat pendidikan sesuai dengan status sosial ekonomi karena merupakan

fenomena “cross cutting” untuk semua individu. Pencapaian pendidikan individu

dianggap sebagai cadangan untuknya atas semua prestasi dalam hidup, yang

tercermin melalui nilai-nilai atau derajatnya. Akibatnya, pendidikan memainkan

peran dalam sebuah pendapatan. Pendidikan memainkan peran penting dalam

mengasah keteranpilan seseorang individu yang membuat dia sebagai orang yang

siap untuk mencari dan memperoleh pekerjaan, serta kualifikasi khusus yang

mengelompokkan orang dengan setatus sosial ekonomi terendah. Menurut UU

NO.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha

sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

(31)

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keteranpilan yang ditemukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Adapun defenisi jenjang pendidikan menurut UU NO. 20 tahun 2003 yaitu

tahapan pendidikan yang di tetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta

didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang di kembangkan.

Berikut jenjang pendidikan berdasarkan pendidikan formal.

a) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu

upaya pembinaan yang di tujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam

tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan

dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

b) Pendidikan dasar

Menurut PP No. 28 tahun 1990 pendidikan dasar adalah pendidikan umum

yang lamanya 9 tahun. Diselenggarakan selama 6 tahun di sekolah dasar dan 3 tahun

disekolah menengah tingkat pertama.

c) Pendidikan menengah

Menurut PP No. 28 tahun 1990 pendidikan menengah adalah pendidikan

yang diselenggarakan bagi pendidikan dasar. Bentuk satuan pendidikan yag terdiri

atas sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, sekolah menengah

keagamaan, sekolah menengah kedinasan dan sekolah menengah luarbiasa.

d) Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah

yang mencakup program diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang

(32)

2.6.4 Kesehatan

Kesehatan adalah segala hal yang berhubungan keadaan sehat dan

sakit/penyakit. Sehat menurut WHO adalah sehat jasmani, rohani, maupun sosial.

Seseorang dinyatakan sehat jasmani apabila individu tersebut terbebas dati penyakit

dan kesakitan maupun cacat. Sedangkan sehat rohani adalah bebasnya manusia dari

rasa tertekan. Sehat sosial berarti orang tersebut tidak mempunyai kendala material

maupun kejiwaan untuk bersosialisasi dengan orang lain (Bagong, 1996).

Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia

adalah peningkatan derajat kesehatannya. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat

berarti menjadikan masyarakat tersebut sehat baik jasmani, rohani, maupun sosial

sehingga individu dan masyarakat tersebut dapat terbebas dari penyakit dan

kesakitan maupun mempunyai harapan hidup yang tinggi.

2.6.5 Pangan

Pangan adalah sumber energi satu-satunya bagi manusia. Karena jumlah

penduduk yang terus berkembang, maka jumlah produksi makananpun harus terus

bertambah melebihi jumlah penduduk sehingga tercapai kecukupan pangan.

Pengertian Pangan Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004

pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang

diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku

pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan

(33)

Melalui survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), adapun kebutuhan

dasar yang termasuk komoditas pangan yaitu:

1. Padi-padian dan hasilnya

2. Ubi-ubian dan hasilnya

3. Daging

4. Telur

5. Susu

6. Sayur-sayuran

7. Kacang – kacangan 8. Buah-buahan

9. Makanan yang sudah jadi

10. Minuman mengandung alkohol

11. Tembakau

12. Sirih

Adapun indikator yang digunakan dalam kajian pangan menurut BPS, yaitu

frekuensi makan dalam per-harinya dan frekuensi mengkonsumsi daging/susu/ayam

per-minggunya. (Siagian, 2012: 81)

2.6.6 Perumahan

Perumahan juga merupakan suatu unsur kesejahteraan rakyat, di samping

sandang dan pangan. Perumahan merupakan bahagian dari pembangunan nasional

yang mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya.

Dalam undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan

permukiman, perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,

(34)

utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Dalam hal ini

perumahan tersebut harus memenuhi syarat rumah sehat yaitu tersedianya sarana air

minum, tersedianya sarana penerangan, dan tersedianya sarana MCK.

Adapun kriteria perumahan berdasarkan konstruksi dalam UU No. 1 Tahun

2011 yaitu;

1. Permanen: memiliki pondasi, dinding terbuat dari batu bata atau batako, atap

terbuat dari genteng dan lantai sudah diplester atau dikeramik

2. Semi permanen: memiliki pondasi, dinding berbahan campuran (setengah

tembok dan setengah kayu/bambu, atap terbuat dari genteng dan lantai sudah

diplester/dikeramik

3. Non permanen: tidak memiliki pondasi, dinding terbuat dari kayu/bambu , atap

menggunakan bahan lain selain genteng dan lantai masih tanah.

Selanjutnya ukuran rumah berdasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan

Prasarana Wilayah No. 534/KPTS/M/2001 terbagi atas 3 yaitu;

1. Kecil

Tipe perumahan kecil adalah rumah yang memiliki luas kapling yang lebih kecil

sama dengan 36 m2. Perumahan yang termasuk tipe perumahan kecil yaitu mulai

dari tipe 21 sampai tipe 36,

2. Sedang

Tipe perumahan sedang adalah rumah yang memiliki luas kapling 37m2 – 54m2.

Perumahan yang termasuk tipe perumahan kecil yaitu mulai dari tipe 37 sampai

(35)

3. Besar

Tipe perumahan besar adalah rumah yang memiliki luas kapling ≥54m2. Perumahan yang termasuk tipe perumahan kecil yaitu mulai dari tipe 70 sampai

tipe 120.

Berdasarkan kelayakan rumah, rumah dibagi menjadi 2 yaitu layak huni dan

tidak layak huni. Adapun kriteria rumah tidak layak huni menurut BPS yaitu;

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per-orang

2. Jenis lantai bangunan terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa plester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar sendiri/kepemilikan fasilitas buang air

besar bersama – sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tidak ada

2.7 Kerangka Pemikiran

Kemiskinan di pedesaan masih menjadi masalah yang membutuhkan

perhatian lebih. Pada umumnya kemiskinan yang ada dipedesaan berada disektor

pertanian. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan menjadi penyebab utama

masyarakat tetap berada dalam kondisi miskin.

Sebagian masyarakat yang mengalami masalah kemisinan di sektor pertanian

berada di Desa Lubuk Bayas. Desa tersebut merupakan desa dengan pertanian

komoditi padi. Beberapa tahun setelah revolusi hijau diterapkan, petani padi di desa

tersebut mengalami permasalahan baru, yaitu penurunan kualitas tanah yang

berdampak pada penurunan kualitas padi dan bertambahnya biaya produksi.

(36)

bahan kimia. Selain itu pergeseran cara pertanian yang menggunakan pupuk kimia

dan pestisida membuat petani di desa tersebut semakin bergantung pada pemerintah

dan pemasok pupuk. Hal ini membuat para petani di desa tersebut semakin sulit

dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Permasalahan pemahaman akan bahaya kimia, persediaan pupuk dan kondisi

petani di Desa Lubuk Bayas mulai disadari oleh BITRA Indonesia. BITRA Indonesia

melakukan intervensi terhadap petani di desa tersebut dan menerapkan program

pertanian organik. BITRA Indonesia berencana mengembalikan kebiasaan bertani

yang bersifat alamiah dan berkelanjutan.

BITRA Indonesia memberikan pelatihan mengenai pembuatan pupuk organik

dan pestisida nabati serta penerapan pertanian organik sebagai bagian dari persiapan

program. Kemudian dalam implementasi program, BITRA Indonesia melakukan

pendampingan pembuatan pupuk organik dan pestisida nabati, penerapan persiapan

lahan dan benih, penanaman dan pemeliharaan serta panen dan pasca panen.

Berdasarkan tingginya permintaan saat ini, menjadikan harga beras organik

menjadi lebih mahal dari beras anorganik. Sebagian masyarakat di Indonesia dan luar

negeri mulai menyadari pentingnya mengkonsumsi makanan yang alamiah.

Pengurangan biaya produksi dan lebih mahalnya harga beras organik seharusnya

berpengaruh positif terhadap sosial ekonomi petani.

Maka dari itu peneliti ingin melihat ada tidaknya pengaruh positif program

pertanian organik terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan Yayasan BITRA

Indonesia di Desa Lubuk Bayas. Adapun yang menjadi indikator sosial ekonomi

(37)

Pengaruh program tersebut dilihat dengan membandingkan sosial ekonomi

petani organik dampingan Yayasan BITRA Indonesia (target group) dengan petani

(38)

Bagan Alur Pikir

Program Pertanian Organik oleh Yayasan BITRA Indonesia

1. Pelatihan (Persiapan Program) meliputi,

- Pelatihan formal (penyadaran petani)

- Pelatihan penerapan pertanian organik

- Pelatihan pembuatan pupuk organik, mikroorganisme dan pestisida nabati

2. Implementasi program yang meliputi,

- Pendampingan pembuatan pupuk, mikroorganisme dan pestisida nabati

- Pendampingan persiapan lahan dan benih

- Pendampingan penanaman dan pemeliharaan padi

- Pendampingan panen dan pasca panen

(39)

2.8 Hipotesis

Hipotesis berasal dari bahasa latin, yang terdiri dari dua kata, yaitu hipo yang

berarti sementara dan these yang berarti pernyataan. Secara sederhana hipotesis dapat

diartikan sebagai pernyataan sementara atau jawaban sementara.

Kerlinger dalam Siagian (2011) mengemukakan bahwa hipotesis adalah suatu

pernyataan sementara yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel.

Hipotesis yang baik harus menyatakan hubungan yang jelas dan tegas antara dua

variabel atau lebih dan juga membenarkan, bahkan memerlukan pengujian atas

kebenaran yang dirumuskan.

Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

Ha : Ada pengaruh positif dari program pertanian organik terhadap sosial

ekonomi kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas

Ho : Tidak ada pengaruh program pertanian organik terhadap sosial ekonomi

kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk Bayas

2.9 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.9.1 Defenisi Konsep

Definisi konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan

dengan berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis.

Konsep diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa

yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan

sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi

tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat

(40)

Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang

dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan peneliti harus

menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya

penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan

definisi konsep. Secara sederhana definisi disini diartikan sebagai batasan arti.

Definsi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam

suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

1. Pengaruh dalam penelitian ini adalah suatu akibat yang besifat positif yang ditimbulkan oleh suatu keadaan atau kondisi disebabkan oleh terjadinya sesuatu.

Dalam hal ini akibat yang ditimbulkan melalui program pertanian organik

terhadap sosial ekonomi kelompok dampingan BITRA Indonesia di Desa Lubuk

Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Pertanian organik dalam penelitian ini adalah pertanian jenis tanaman padi dengan sistem produksi yang holistik dan terpadu dengan cara mengoptimalkan

kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami (tidak menggunakan

bahan kimia) sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas

dan berkelanjutan.

3. Pertanian anorganik dalam penelitian ini adalah pertanian jenis tanaman padi dengan sistem produksi menggunakan bahan kimia.

4. Sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial

masyarakat. Dalam penelitian ini yang menjadi batasan kosep sosial ekonomi

(41)

2.9.2 Defenisi Operasional

Perumusan definisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan

defini konsep. Jika perumusan definisi konsep ditujukan untuk mencapai

keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa objek, peristiwa

maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya

transformasi konsep dunia nyata sehingga konsep – konsep penelitian dapat

diobservasi. Definisi operasional sering disebut sebagai proses operasionalisasi

konsep. Operasional konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis

menjadi dinamis. Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu varibel

dapat diukur (Siagian, 2011: 141).

Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam Pengaruh Program

Pertanian Organik Terhadap Sosial Ekonomi Kelompok Dampingan Yayasan Bina

Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia Di Desa Lubuk Bayas Kecamatan

Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai dapat diukur dari indikator – indikator sebagai berikut :

1. Variabel Bebas (Independent Variabel)

Variabel bebas atau variabel x dapat didefenisikan sebagai variabel atau

sekelompok atribut yang mempengaruhi atau memberikan akibat terhadap variabel

atau sekelompok atribut yang lain (Siagian, 2011: 89). Variabel bebas merupakan

variabel yang menjadi sebab berubahnya atau timbulnya variabel terikat (idrus, 2009:

79). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah program pertanian organik dengan

indikator sebagai berikut:

1) Pelatihan (persiapan program), meliputi

(42)

b. Pelatihan penerapan pertanian organik dengan materi persiapan lahan dan

benih, penanaman dan pemeliharaan padi, panen dan pasca panen

c. Pelatihan pembuatan sarana produksi pertanian organik meliputi pupuk

organik, zat perangsang tumbuh, mikroba pengurai dan pestisida nabati.

2) Implementasi program

a. Pendampingan pembuatan sarana produksi pertanian organik yang meliputi

pupuk organik, zat perangsang tumbuh, mikroba pengurai dan pestisida

nabati.

b. Pendampingan persiapan lahan dan benih

c. Pendampingan penanaman dan pemeliharaan padi

d. Pendampingan panen dan pasca panen

2. Variabel terikat ( Dependent Variable)

Variabel terikat atau variabel (y) secara sederhana dapat diartikan sebagai

variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain. Melihat kedudukannya, maka variabel

terikat sering disebut dengan variabel terpengaruh (Siagian, 2011: 90). Adapun

variabel terikat dalam penelitian ini adalah sosial ekonomi kelompok dampingan

Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia dengan indikator sebagai

berikut:

1) Pendapatan, indikator yang digunakan adalah

a. Pendapatan petani per-rante

b. Pendapatan per-bulan petani dari usaha lainnya

(43)

2) Kesehatan, indikator yang digunakan adalah

a. Status kesehatan

b. Tempat berobat yang dituju jika sakit

c. Kemampuan untuk membeli obat-obatan

3) Pendidikan, indikator yang digunakan adalah

a. Jumlah anak yang bersekolah

b. jenis sekolah anak

c. Sumber biaya sekolah anak

4) Pangan, indikator yang digunakan adalah

a. Frekuensi makan dalam sehari

b. Frekuensi mengkonsumsi daging/telur/susu/buah per-minggunya

5) Pakaian

a. Rata – rata membeli pakaian baru pertahun

b. Rata – rata membeli pakaian bekas/monja pertahun 6) Perumahan, indikatornya meliputi,

a. Tipe rumah berdasarkan sifat permanen

b. Status kepemilikan rumah/tempat tinggal

Referensi

Dokumen terkait

PBB telah menjelaskan dan memberikan pernyataan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran HAM terhadap

Kerupuk merupakan jenis makanan kering yang terbuat dari bahan-bahan yang mengandung pati cukup tinggi.Di Masyarakat beredar kerupuk berwarna yang dicurigai

PBB telah menjelaskan dan memberikan pernyataan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran HAM terhadap

The methodology of this study can be divided into four phases which are referred to as phase I, phase II, phase III and phase IV. Phase I is an initial exploration of

[r]

The MACS Micro prototype system (especially the 16 megapixel version) shows top-rated results which (possibly) indicates a connection between pixel size (photon effective area)

Dalam pembahasan masalah ini yang akan dibahas adalah cara pembuatan dari mulai menentukan struktur navigasi, membuat design antarmuka , pembentukan elemen, penggabungan

Dimana sistem pakar bila dikaitkan dengan kemampuan dokter dalam mendiagnosis secara dini kond isi kesehatan pasien, dapat diciptakan suatu sistem komputer yang bertugas