• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Pengembangan Karir dan Work Family Conflict pada Karyawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Pengembangan Karir dan Work Family Conflict pada Karyawan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Work Family Conflict

1. Pengertian Work Family Conflict

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) work family conflict merupakan konflik antar peran dimana tuntutan peran dipekerjaan dan dirumah saling bertentangan satu sama lain. Konflik peran ganda bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan dalam keluarga, sehingga peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan kesulitan dalam menjalankan peran di keluarga (pekerjaan).

Greenhaus, Allen, & Spector (2006) memperbaharui definisi work family conflict, yaitu: pemenuhan peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan berkurangnya kinerja dalam pemenuhanan peran di keluarga (pekerjaan). Pada pengertian ini dapat dilihat bahwa work family conflict merupakan konflik kinerja antar peran yang saling tumpang tindih.

(2)

tumpang tindih dengan tanggung jawab di keluarga (Netemeyer, Boles, & McMurrian, 1996; Hennessy, 2005).

Jadi berdasarkan pemaparan pengertian di atas, work family conflict merupakan salah satu bentuk konflik antar peran dimana tuntutan peran di pekerjaan saling tumpang tindih dengan tuntutan peran di keluarga, pemenuhan terhadap peran yang satu akan menggangu pemenuhan peran yang lainnya sehingga memunculkan perilaku yang tidak diharapkan dalam pekerjaan.

2. Dimensi Work Family Conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi work family conflict, yaitu:

1. Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain pada waktu yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.

(3)

3. Behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari suatu perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan harapan perilaku pada peran yang lainnya. Sebagai contoh seorang manajer pria saat bekerja diharapkan memiliki kepercayaan diri, emosi yang stabil, agresif, dan objektif, sedangkan ketika berada di rumah mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi, dan emosional. Jika seseorang tidak bisa menyesuaikan perilakunya dengan berbagai peran yang berbeda, maka akan mengalami konflik antar peran-peran tersebut.

Selanjutnya, Greenhaus, Allen, dan Spector (2006) menambahkan dimensi work family conflict yang keempat yaitu;

4. Energy-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika peran yang

satu menyebabkan kelelahan fisik dan emosional sehingga menghambat pemenuhan peran lainnya. Misalnya, seorang karyawan yang sangat lelah untuk bekerja di pagi hari karena semalaman menjaga anak yang sakit.

3. Bentuk-bentuk Work Family Conflict

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk work family conflict, yaitu: pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga (work interference family) dan kehidupan rumah tangga yang mengganggu pekerjaan (family

interference work) (Frone, Russel, & Cooper, 1992a; Allen, Herst, Bruck, &

(4)

Byron (2005) menemukan bahwa work interference family (WIF) mempunyai dampak yang lebih besar terhadap work family conflict dibandingkan dengan family interference work (FIW). Selain itu WIF dinilai memiliki hubungan yang erat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Hasil penelitian Netemeyer, McMurrian, & Boles (1996) pada guru, sales, dan bisnisman menunjukkan WIF lebih mempengaruhi kepuasan kerja daripada konflik FIW.

4. Konsekuensi-Konsekuensi Work Family Conflict

Work family conflict memiliki banyak konsekuensi (Allen, Herst, Bruck,

dan Sutton, 2000) yaitu pertama, yang mencakup hasil kinerja seperti: kepuasan kerja, motivasi, komitmen organisasi, keinginan untuk pindah, absensi, prestasi kerja, kepuasan karir, dan keberhasilan karir. Kedua, yang mencakup hasil di luar pekerjaan seperti: kehidupan pernikahan, waktu luang dan kepuasan hidup, dan pelaksanaan peran di keluarga. Ketiga, yang mencakup munculnya stres seperti: ketegangan psikologis, kesehatan fisik, depresi, burnout, penyalahgunaan obat-obatan, dan stres pada pekerjaan.

Menurut O‟Driscoll (2006) ada beberapa konsekuensi bagi karyawan yang

(5)

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Family Conflict

Ahmad (2008) menciptakan suatu model yang dikembangkan berdasarkan model stress-strain dan teori identitas sosial. Menurut teori stress-strain, faktor pemicu mengarah pada stressor, sedangkan konflik mengarah pada ketegangan (strain). Teori identitas sosial mengatakan bahwa setiap individu selalu mengklasifikasikan dirinya ke dalam beberapa kategori sosial yang menentukan identitas dan peran mereka dalam lingkungan sosial. Setiap peran yang ada memberikan aspek-aspek identitas yang berbeda pada diri individu, misalnya seseorang yang menganggap bahwa kehidupan pekerjaannya merupakan aspek yang sangat penting dari identitas mereka. Konflik dapat muncul ketika dalam menjalankan peran yang dianggap penting, seseorang tidak mempunyai waktu yang cukup dari yang diharapkan akibat adanya faktor-faktor situasional. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict tersebut, yaitu;

1. Faktor Pekerjaan

Merumuskan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, beberapa faktor pada pekerjaan yang mempengaruhi work family conflict, yaitu; tipe pekerjaan, komitmen waktu kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, peran yang berlebihan dan fleksibilitas pekerjaan (Ahmad, 2008).

2. Faktor Keluarga

(6)

3. Faktor Individu

Sedangkan faktor individu yang mempengaruhi pengalaman work-family conflict seseorang, yaitu; nilai-nilai yang dianut terhadap peran yang

dimiliki, orientasi peran gender, locus of control, dan sikap perfeksionis (Ahmad, 2008).

4. Faktor Organisasi

Berdasarkan hasil penelitian Galinsky, Bond, & Friedman (1996) dapat disimpulkan bahwa karyawan (yang sudah mempunyai anak) mempunyai kinerja yang baik (memiliki sedikit konflik, sedikit stress, dan coping yang lebih baik) jika karyawan tersebut mempunyai pekerjaan yang memungkinkan mereka untuk memiliki autonomi yang lebih besar, bisa mengkontrol jadwal kerja, mempunyai lebih sedikit hambatan kerja, dan rasa aman yang tinggi. Selain itu, karyawan tersebut juga mempunyai kinerja yang baik jika mereka mempunyai lingkungan kerja yang suportif (manajer yang suportif, budaya kerja yang suportif, dan kesempatan untuk peningkatan karir) yang tidak dipengaruhi oleh gender.

B. Pengembangan Karir

1. Pengertian Pengembangan Karir

(7)

setiap karir karyawan mempunyai pekerjaan, posisi, dan pengalaman yang berbeda-beda satu sama lain. Pengembangan karir merupakan suatu proses dan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mempersiapkan karyawan di posisi tertentu di dalam organisasi. (Melinda & Zulkarnain, 2004)

Bernardin (2003) menjelaskan bahwa pengembangan karir merupakan suatu usaha yang formal, teratur, dan terencana untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan karir karyawan dan kebutuhan tuntutan kerja perusahaan. Dalam pelaksanaannya, pengembangan karir diatur untuk meningkatkan kepuasan karir para karyawan dan untuk meningkatkan efektivitas perusahaan/organisasi.

Nawawi (2008) mengajukan beberapa pengertian dari pengembangan karir, yaitu; pertama, pengembangan karir merupakan suatu rangkaian (urutan) posisi atau jabatan yang ditempati seseorang selama masa kehidupan tertentu, yaitu sejak awal memasuki suatu perusahaan sebegai pekerja sampai dengan berhenti.

Kedua, pengembangan karir merupakan perubahan nilai-nilai, sikap, dan motivasi yang terjadi pada seseorang seiring dengan perubahan/peningkatan usianya yang semakin matang. Ketiga, pengembangan karir merupakan usaha yang dilakukan secara formal dan berkelanjutan dengan difokuskan pada peningkatan/penambahan kemampuan seorang karyawan.

(8)

2. Dimensi Pengembangan Karir

Noe (2002) mengatakan bahwa karyawan, manajer, dan perusahaan mempunyai tanggung jawab dalam pengembangan karir. Baik karyawan, manajer, ataupun perusahaan memiliki peran masing-masing dan upaya pengembangan karir akan berjalan optimal ketika ketiga pihak ini menjalankan perannya dengan baik.

a. Peran Karyawan

Noe (2002) mengatakan bahwa perusahaan dengan perencanaan pengembangan karir yang efektif biasanya mengharapkan karyawan untuk bertanggung jawab penuh atas perjalanan karir mereka. Namun, bagaimanapun kondisi pengembangan karir di suatu perusahaan, seorang karyawan harus melakukan beberapa hal, yaitu:

1. Berinsiatif untuk meminta masukan dari manajer dan rekan kerja mengenai kekuatan dan kelemahan kemampuannya dalam bekerja.

2. Mengidentifikasi tahap perkembangan karir dan perkembangan kebutuhan mereka

3. Mencari tantangan-tantangan melalui kesempatan-kesempatan belajar yang tersedia.

4. Berinteraksi dengan karyawan lain dari divisi pekerjaan yang berbeda ataupun dari perusahaan yang berbeda.

(9)

b. Peran Manajer

Menurut Noe (2002) manajer memainkan peranan penting dalam proses pengembangan karir. Dalam banyak kasus, karyawan biasanya meminta saran tentang karir mereka kepada manajer, karena manajer merupakan orang yang akan mengevaluasi kesiapan karyawan untuk dipromosikan dan menjadi sumber informasi untuk kesempatan karir yang tersedia. Untuk membantu karyawan dalam mengembangkan karir mereka, seorang manajer harus efektif dalam empat peran, yaitu; pelatih (coach), penilai (appraiser), penasehat (advisor), dan agen perujuk (referral agent).

(10)

menghubungkan karyawan dengan sumber daya tertentu yang dapat membantu karyawan mencapai karir yang lebih baik, seperti merujuk karyawan kepada konselor karir, bagian personalia dan lain sebagainya (Noe, 2002).

c. Peran Perusahaan

Noe (2002) mengemukakan bahwa perusahaan bertanggung jawab untuk menyediakan sumber daya yang dibutuhkan karyawan agar berhasil dalam perencanaan karir mereka. Sumber daya yang dimaksud meliputi program maupun proses tertentu untuk perencanaan karir, yaitu;

1. Menyediakan program pelatihan dan pengembangan, misalnya seminar mengenai topik-topik manajemen karir, membuat perencanaan karir secara mandiri, menciptakan tujuan karir, dan melatih manajer dalam memahami dan melaksanakan peran mereka dalam pengembangan karir.

2. Memberikan informasi mengenai kesempatan karir dan pekerjaan, misalnya menyediakan sumber informasi mengenai pengembangan karir yang dapat diakses karyawan baik dalam bentuk surat kabar, elektronik, maupun website.

3. Menyediakan buku perencanaan kerja, yaitu buku panduan yang mengarahkan karyawan melalui serangkaian latihan, diskusi tertulis, dan panduan lainnya yang berhubungan dengan pengembangan karir mereka. 4. Menyediakan fasilitas konseling karir yang bisa dimanfaatkan oleh

(11)

mengambil keputusan karir yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan dirinya.

5. Membentuk jalur karir dan menginformasikannya secara jelas kepada karyawan. Perusahaan juga harus merencanakan serangkaian tahapan karir dalam maupun antar pekerjaan dan keahlian ataupun kriteria lainnya yang dibutuhkan karyawan agar dapat menduduki suatu posisi atau jabatan.

3. Tahap-Tahap Pengembangan Karir

Menurut Noe (2002) pengembangan karir merupakan sebuah proses yang melewati beberapa tahapan dimana disetiap tahapnya memiliki karakteristik tugas pengembangan, kegiatan, dan hubungan yang berbeda. Keinginan untuk berhenti bekerja, motivasi, dan kinerja karyawan dipengaruhi oleh seberapa baik perusahaan menyusun tugas-tugas pengembangan di setiap tahapan karir. Adapun tahap-tahap karir menurut Noe (2002), yaitu:

1. Exploration Stage

(12)

2. Establishment Stage

Pada tahap ini seseorang sudah mampu berkontribusi secara lebih mandiri pada pekerjaan mereka, mempunyai lebih banyak tanggung jawab, dan membentuk gaya hidup yang diinginkan. Karyawan yang berada pada tahap ini tertarik untuk dilihat sebagai orang yang mempunyai kontribusi dalam perusahaan tempatnya bekerja. Selain itu, pada tahap ini juga karyawan membutuhkan kebijakan dari perusahaan yang membantu mereka dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga.

3. Maintenance Stage

Pada tahap ini karyawan fokus pada memperbaharui kemampuan dan mempertahankan persepsi orang lain bahwa dirinya masih mempunyai kontribusi pada perusahaan/organisasi. Karyawan pada tahap ini sudah memiliki banyak pengalaman kerja, pengetahuan mengenai pekerjaan mereka, dan pemahaman yang mendalam mengenai harapan-harapan perusahaan/organisasi. sehingga, karyawan pada tahap ini biasanya dapat menjadi mentor atau pelatih bagi karyawan baru.

4. Disengagement Stage

(13)

merjer, keinginan sendiri, atau penyusutan tenaga kerja. Sehingga mereka akan kembali ke tahap eksplorasi.

C. Hubungan antara Pengembangan Karir dengan Work Family Conflict Dalam pelaksanaannya, pengembangan karir diatur untuk meningkatkan efektivitas perusahaan dan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja merupakan hal penting bagi kehidupan individu yang bekerja. Kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain work family conflict (Soeharto, 2010). Work family conflict bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan dalam keluarga, sehingga peran di pekerjaan (keluarga) menyebabkan kesulitan dalam menjalankan peran di keluarga (pekerjaan) (Greenhauss & Beutell, 1985).

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Parasuraman dan Simmers (2001) bahwa keterbatasan waktu yang dimiliki oleh seseorang berakibat pada terbatasnya waktu untuk keluarga, ketegangan dalam suatu peran yang akhirnya mempengaruhi kinerja peran yang lain, kesulitan perubahan perilaku dari peran satu ke peran yang lain menyebabkan seseorang mempunyai sikap dan perasaan negatif terhadap pekerjaannya. Kim dan Ling (2001) juga menambahkan bahwa sikap dan perasaan yang negatif terhadap pekerjaan merupakan akibat dari work family conflict yang dialami. Individu yang dapat menyeimbangkan peran dalam

(14)

dengan tipe pekerjaan, puas dengan gaji, puas dengan promosi, puas dengan manajer, dan puas dengan teman sekerja (Schultz & Schultz, 1994).

Dalam upaya untuk mengurangi tingkat work family conflict, Allen (2012) menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan tiga bentuk dukungan. Dukungan pertama, menyediakan sumber daya formal seperti pelayanan pengasuhan anak dan fleksibilitas pengaturan jam kerja. Kedua, dukungan dalam bentuk supervisi oleh manajer dan yang ketiga dalam bentuk peraturan perusahaan yang mempertimbangkan faktor-faktor prioritas antara pekerjaan dan keluarga. Berbagai bentuk dukungan tersebut merupakan aspek-aspek dari pengembangan karir yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: peran karyawan, peran manajer, dan peran perusahaan.

Noe (2002) mengemukakan bahwa karyawan, manajer, dan perusahaan merupakan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengembangan karir karyawan dalam suatu perusahaan. Masing-masing pihak memiliki peran tertentu dalam pengembangan karir karyawan. Usaha pengembangan karir karyawan akan berlangsung optimal jika ketiga pihak bertanggung jawab dalam melaksanakan perannya masing-masing. Selanjutnya Noe (2002) menambahkan perusahaan harus lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan pengembangan karir agar bisa menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawannya. Saat ini, peningkatan jumlah pasangan yang keduanya bekerja menciptakan tantangan tersendiri bagi perusahaan dalam pengembangan karir.

(15)

kehidupan pekerjaan-keluarga karyawan dapat mengurangi tingkat work family conflict yang mungkin dialami oleh karyawan tersebut. Hasil penelitian lainnya

menyatakan bahwa semakin baik dukungan manajer yang diterima karyawan, semakin rendah work family conflict yang dialami (Allen, 2008; Allen, 2001; Frone et al., 1997; Goff, Mount, & Jamison, 1990; Thomas & Ganster, 1995). Nielson, Carlson, & Lankau (2001) menemukan bahwa jika karyawan memiliki supervisor/manajer yang mempunyai nilai-nilai pekerjaan - keluarga yang sama akan memiliki work family conflict yang lebih rendah.

Kurnia (2002) menyatakan bahwa fungsi pengembangan karir itu sendiri adalah untuk meminimalkan peran yang harus dijalankan, membangun kompetensi, mendorong tersedianya sumber daya manusia yang sesuai untuk posisi penting. Selain itu Nurtjahjanti, Mujiasih, Prihatsanti, Prasetyo, dan Ratnaningsih (2012) menjelaskan bahwa pengembangan karir juga berfungsi sebagai pencegah stress kerja, memperbaiki kualitas hidup pekerja, dan mengarahkan tindakan pada tujuan yang telah ditetapkan.

(16)

keamanan di tempat kerja dan yang terakhir untuk mendapatkan pencapaian di dalam pekerjaan (Melinda & Zulkarnain, 2004)

Greenhaus dan Beutell (1985) mengatakan bahwa konflik muncul ketika (i) waktu yang digunakan untuk memenuhi suatu peran menghambat pemenuhan peran lainnya, (ii) tuntutan suatu peran yang mengarah pada ketegangan, dan mudah marah akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menjalankan peran lainnya, (iii) tuntutan perilaku disuatu peran bertentangan dengan harapan berperilaku di peran yang lainnya. Selanjutnya, Greenhaus, Allen, dan Spector (2006) menambahkan dimensi work family conflict yaitu; (iv) tuntutan peran yang satu menyebabkan kelelahan fisik, tenaga dan emosional sehingga menghambat pemenuhan peran lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua bentuk work family conflict, yaitu: pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga (work interference family) dan kehidupan rumah tangga yang mengganggu pekerjaan (family

interference work) (Frone, Russel, & Cooper, 1992a; Allen, Herst, Bruck, &

Sutton, 2000). Namun pada penelitian ini hanya fokus kepada work interference family (WIF) saja. Hal ini berdasarkan penelitian Byron (2005) yang menemukan bahwa WIF mempunyai dampak yang lebih besar terhadap work family conflict dibandingkan dengan family interference work (FIW). Selain itu WIF dinilai memiliki hubungan yang erat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan.

(17)

komitmen waktu kerja, keterlibatan dalam pekerjaan, peran yang berlebihan dan fleksibilitas pekerjaan. Waktu kerja yang terlalu panjang akan berdampak buruk bagi kehidupan keluarga dan karyawan itu sendiri yang mencoba menyeimbangkan antara perannya di pekerjaan dan di keluarga. Kossek, Pichler, Bodner, & Hammer (2011) menambahkan bahwa, peran organisasi dan peran manajer pada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pekerjaan-keluarga karyawan dapat mengurangi tingkat work family conflict yang mungkin dialami oleh karyawan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, Guitian (2009) menilai bahwa work family conflict berhubungan erat dengan ketidakhadiran, penurunan produktivitas, ketidakpuasan kerja, penurunan komitmen organisasi, kurangnya kepuasan hidup, kecemasan, kelelahan, distress psikologikal, depresi, penyakit fisik, penggunaan alkolhol, atau masalah dalam pernikahan sehingga dapat menurunkan kinerja dan kesejahteraan karyawan.

(18)

Kedua, pengembangan karir merupakan usaha untuk menyesuaikan tujuan karyawan dengan peluang karir yang tersedia di perusahaan tempatnya bekerja. Sehingga, penilaian karyawan mengenai pengembangan karir dipengaruhi oleh interaksi antara nilai, harapan, dan tujuan karyawan tersebut yang diperoleh melalui pengalaman selama menjalankan pekerjaannya. Ketiga, perusahaan yang mengembangkan sumber daya manusia dengan efektif akan memiliki produktivitas, nilai pasar, dan pertumbuhan laba yang tinggi. Sehingga nantinya, perusahaan dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, pemegang saham, investor, dan kebutuhan karyawan dengan berbagai cara sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh perusahaan. Pada akhirnya, sumber daya manusia yang bekerja diperusahaan tersebut akan mampu mengembangkan diri secara lebih optimal.

Nurtjahjanti, Mujiasih, Prihatsanti, Prasetyo, dan Ratnaningsih (2012) menyatakan bahwa perusahaan yang memberikan kesempatan karir pada karyawannya, merupakan salah satu faktor pendorong yang bagus untuk dapat meningkatkan prestasi kerja karyawan. Sedangkan Boles, Howard dan Donofrio (2001) menyatakan bahwa work family conflict bisa menurunkan prestasi kerja karyawan. Karyawan yang mengalami tingkat work family conflict yang tinggi melaporkan menurunnya prestasi kerja karena merasa lebih dikuasai oleh pekerjaannya yang mengakibatkan karyawan tidak bisa memenuhi tanggung jawab keluarganya dan mengurangi kualitas kehidupan keluarganya (Cristine , Oktarina dan Indah, 2010).

(19)

yang merasa gagal di kedua domain (pekerjaan-keluarga), karena untuk bisa memenuhi kriteria karyawan ideal (misalnya bekerja 40 jam per minggu), wanita merasa harus mengorbankan perannya sebagai ibu bahkan mengorbankan keinginan untuk mempunyai anak (Noe, 2002). Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Robbins (2001) bahwa karyawan yang bekerja lebih dari 40 jam per minggu cenderung mengalami work family conflict.

Namun, dalam penelitian meta-analitisnya Byron (2005) menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara laki-laki dan wanita dalam work family conflict. Selain itu Byron juga menambahkan bahwa status pernikahan (menikah atau tidak menikah) juga mempengaruhi munculnya work family conflict, orang tua tunggal atau yang bercerai akan mengalami work family

conflict yang lebih besar. Selanjutnya Higgins & Duxbury (1992) menemukan

bahwa pasangan yang keduanya bekerja lebih besar kemungkinannya untuk mengalami work family conflict.

Jumlah anak yang dimiliki secara konsisten berhubungan dengan work family conflict pada kedua arah (Bruck & Allen, 2003; Carlson, 1999). Dalam

(20)

Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa ketika karyawan memiliki pengembangan karir yang positif, maka karyawan tersebut akan merasa puas dengan pekerjaannya sehingga lebih efisien dalam bekerja dan pada akhirnya diharapkan memiliki work-family conflict yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai apakah terdapat hubungan antara pengembangan karir dengan work-family conflict.

D. Hipotesis

Dalam penelitian ini diajukan satu hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya. Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:

“Adanya hubungan negatif antara pengembangan karir dan work-family

conflict

Referensi

Dokumen terkait

– Operasional windows lebih kompleks daripada tiled windows – Informasi pada windows dapat tertutup oleh windows lain. – Windows dapat hilang atau terlupakan

Pada hari ini RABU tanggal LIMA BELAS bulan AGUSTUS tahun DUA RIBU DUA BELAS, dimulai pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB, kami Panitia untuk pekerjaan tersebut di

[r]

Menurut Wahyudin (Hulu, 2009:3) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut

Schum} terhadap Fscherichia coli tidak dapat disetarakan dengan antibiotic pembanding kloramfenikol karena diameter daerah hambatan ekstrak kloroform tidak masuk

Penelitian lain yang dilakukan oleh Erry fratama (2013) mengenai Pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap Kinerja keuangan pemerintah daerah (study Empiris

dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Perkebunan

Selain CT-Scan dan MRI diagnosis stoke dapat ditegakkan dengan mengguanakan carotid Doppler (CD) yaitu menentukan apakah pasien mengalami tingkatan stenosis yang tinggi