BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Teofilin
Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian mengenai teofilin adalah sebagai berikut:
Rumus Struktur :
Gambar 2.1 Struktur Teofilin Nama Kimia : 1,3-dimethyl-7H-purine-2,6-dione Rumus Molekul : C7H8N4O2
Berat Molekul : 180,17
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa pahit, stabil di udara Kelarutan : Sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah larut dalam air
panas, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam amonium hidroksida, agak sukar larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter.
diuretis lemah dan singkat. Kini obat ini banyak digunakan sebagai obat prevensi dan terapi serangan asma (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.1.2 Efedrin Hidroklorida
Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian mengenai efedrin hidroklorida adalah sebagai berikut:
Rumus Struktur :
Gambar 2.3 Struktur Efedrin Hidroklorida
Nama Kimia : (1R,2S)-2-(methylamino)-1-phenylpropan-1-ol hydrochloride Rumus Molekul : C10H15NO.HCl
Berat Molekul : 201,70
Pemerian : Serbuk atau hablur halus, putih, tidak berbau
Kelarutan : Mudah larut dalam air, etanol, tidak larut dalam eter.
Efedrin HCl merupakan simpatomimetik yang bekerja secara langsung dan tidak langsung terhadap reseptor adrenergik, bersifat bronkodilatasi, menurunkan irama dan pergerakan usus, menurunkan aktivitas uterus serta menstimulasi pusat pernapasan (Sweetman, 2009).
2.2 Pengembangan Metode
Pengembangan metode analisis biasanya didasarkan pada literatur yang sudah ada menggunakan instrumen yang sama atau hampir sama. Pengembangan metode biasanya membutuhkan pemilihan syarat-syarat metode tertentu (Gandjar dan Rohman, 2012).
Menurut Gandjar dan Rohman (2012), ada beberapa alasan untuk mengembangkan suatu metode analisis baru, yaitu:
a. Tidak ada metode yang sesuai untuk analit tertentu dalam matriks sampel tertentu
b. Metode yang ada terlalu banyak menimbulkan kesalahan atau metode yang sudah ada tidak reliabel (presisi dan akurasinya rendah)
c. Metode yang sudah ada terlalu mahal, membutuhkan waktu banyak, membutuhkan banyak energi, atau tidak dapat diotomatisasikan
d. Metode yang telah ada tidak memberikan sensitifitas atau spesifisitas yang mencukupi pada sampel yang dituju
e. Instrumentasi dan teknik yang lebih baru memberikan kesempatan untuk meningkatkan kinerja metode tersebut, yang meliputi peningkatan identifikasi analit, peningkatan batas deteksi, serta akurasi dan presisi yang lebih besar f. Ada suatu kebutuhan untuk mengembangkan metode alternatif baik untuk
alasan legal atau alasan saintifik.
2.3 Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis) 2.3.1 Pengertian Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel
ultraviolet dan sinar tampak dengan memakai instrumen spektrofotometer (Rohman, 2007). Spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 1985). Sinar ultraviolet memiliki panjang gelombang antara 200-400 nm, sedangkan sinar tampak memiliki panjang gelombang antara 400-800 nm (Moffat, dkk., 2005).
2.3.2 Komponen Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau serapan suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan penggabungan dari dua fungsi alat yang terdiri dari spektrometer yang menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer sebagai alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi (Rohman, 2007; Satiadarma, dkk., 2004). Biasanya spektrofotometer telah mempunyai software untuk mengolah data yang dapat dioperasikan melalui komputer yang telah terhubung dengan spektrofotometer (Moffat, dkk., 2011). Diagram spektrofotometer ultraviolet-visibel dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Menurut Satiadarma, dkk., (2004) dan Rohman (2007), komponen spektrofotometer UV-Vis adalah sebagai berikut:
a. Sumber-sumber lampu: lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 200-400 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara 400-800 nm.
b. Monokromator: digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.
c. Optik-optik: dapat didesain untuk memecah sumber sinar melewati dua kompartemen.
d. Detektor: digunakan sebagai alat yang menerima sinyal dalam bentuk radiasi elektromagnetik, mengubah, dan meneruskannya dalam bentuk sinyal listrik ke rangkaian sistem penguat elektronika.
penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Rohman, 2007).
Sinar ultraviolet dan sinar tampak (visibel) memberikan energi yang cukup untuk terjadinya transisi elektron (Rohman, 2007). Elektron yang energinya tertinggi dalam molekul, berada dalam tingkat energi elektron dasar, terdapat
dalam orbital δ, π, atau n, masing-masing mempunyai keadaan tereksitasi sesuai dengan energi elektron terendah. Transisi elektron yang terkait dengan absorbsi radiasi ultraviolet dan sinar tampak adalah δ→δ*, n→δ*, n→π*, dan π→π* (Satiadarma, dkk., 2004).
Penyerapan radiasi ultraviolet dan sinar tampak dibatasi oleh sejumlah gugus fungsional (yang disebut dengan kromofor) yang mengandung elektron valensi dengan tingkat energi eksitasi yang relatif rendah. Elektron yang terlibat pada penyerapan radiasi ultraviolet dan visibel ini ada tiga, yaitu elektron sigma, elektron phi, dan elektron bukan ikatan (non bonding electron) (Rohman, 2007).
Menurut Rohman (2007), transisi-transisi elektronik yang terjadi di antara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada empat yaitu transisi δ→δ*, transisi n→δ*, transisi n→π*, dan transisi π→π*. Berikut akan diuraikan keempat jenis transisi:
a. Transisi δ→δ*
b. Transisi n→δ*
Jenis transisi ini terjadi pada senyawa organik jenuh yang mengandung atom-atom yang memiliki elektron bukan ikatan (elektron n). Energi yang diperlukan untuk transisi jenis ini lebih kecil dibandingkan
transisi δ→δ* sehingga sinar yang diserap pun mempunyai panjang
gelombang lebih panjang, yakni sekitar 150-250 nm. Kebanyakan transisi ini terjadi pada panjang gelombang kurang dari 200 nm.
c. Transisi n→π* dan transisi π→π*
Untuk memungkinkan terjadinya transisi ini, maka molekul organik harus mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab dengan panjang gelombang 200-700 nm, dan panjang gelombang ini secara teknis dapat diaplikasikan pada spektrofotometer ultraviolet-visibel.
2.3.4 Hukum Lambert-Beer
Menurut Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari. Sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi. Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Rohman, 2007). Hukum Lambert-Beer umumnya dikenal dengan persamaan sebagai berikut: a. A = a.b.c (g/L) atau
Dimana: A = absorbansi a = absorptivitas
b = tebal kuvet (cm) ε = absorptivitas molar c = konsentrasi A11 = absorptivitas spesifik
Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai 0,6. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa pada kisaran nilai absorbansi tersebut, kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal (Rohman, 2007).
2.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel
Metode spektrofotometri memiliki beberapa kelebihan antara lain kepekaan yang tinggi, ketelitian yang baik, mudah dilakukan, cepat pengerjaannya, dan dapat digunakan untuk menentukan senyawa campuran (Munson, 1984). Data spektrum ultraviolet-visibel secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit hanya dapat menghasilkan sedikit sekali puncak absorbsi maksimum dan minimum. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektrofotometri inframerah dan spektrometri massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi kualitatif suatu senyawa tersebut (Satiadarma, dkk., 2004; Rohman, 2007).
2.4 Analisis Multikomponen dengan Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel
satu komponen-komponen dalam campurannya dengan komponen lainnya (Mulja dan Suharman, 1995).
Menurut Day dan Underwood (1986), beberapa kemungkinan yang terjadi pada spektrum absorban dua komponen dapat dilihat pada Gambar 2.6, Gambar 2.7, dan Gambar 2.8.
Gambar 2.6 Spektrum Absorban Senyawa X dan Y
Gambar 2.7 Spektrum Absorban Senyawa X dan Y, Spektrum X Bertumpang Tindih pada Spektrum Y
Berdasarkan Gambar 2.6, Gambar 2.7, dan Gambar 2.8 dapat dilihat adanya beberapa kemungkinan yang terjadi pada spektrum absorban dari dua komponen. Pada Gambar 2.6 menunjukkan adanya kemungkinan spektrum tidak tumpang tindih pada dua panjang gelombang yang digunakan, melainkan X dan Y semata-mata diukur masing-masing pada λ1 dan λ2. Pada Gambar 2.7 menunjukkan bahwa terjadi tumpang tindih satu cara dimana Y tidak mengganggu pengukuran X pada
λ1, tetapi X mengabsorbsi bersama-sama dengan Y pada λ2. Pada Gambar 2.8 menunjukkan bahwa spektrum X dan Y saling tumpang tindih secara keseluruhan.
Menurut Andrianto (2009), penetapan kadar campuran multikomponen sulit dilakukan, sehingga untuk mengatasinya diperkenalkan analisis multikomponen menggunakan prinsip persamaan regresi berganda melalui perhitungan matriks dengan metode pengamatan beberapa panjang gelombang berganda.
Panjang gelombang yang digunakan untuk metode spektrofotometri secara panjang gelombang berganda adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Perbedaan pengukuran suatu absorbansi yang dilakukan pada panjang gelombang maksimal dan tidak pada panjang gelombang maksimal dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Menurut Rohman (2007), ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu:
a. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
b. Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.
c. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal.
2.5 Panjang Gelombang Maksimal Teofilin dan Efedrin HCl 2.5.1 Panjang Gelombang Maksimal Teofilin
Menurut Moffat, dkk. (2011), ada pengaruh dalam penggunaan pelarut terhadap panjang gelombang maksimum teofilin. Pada pelarut asam, teofilin memiliki panjang gelombang maksimum sebesar 270 nm (A11 = 536a). Pada pelarut basa, teofilin memiliki panjang gelombang maksimum sebesar 275 nm (A11 = 650a). Spektrum teofilin dapat dilihat pada Gambar 2.2.
2.5.2 Panjang Gelombang Maksimal Efedrin HCl
Menurut Moffat, dkk. (2011), ada pengaruh dalam penggunaan pelarut terhadap panjang gelombang maksimum efedrin HCl. Pada pelarut asam, efedrin HCl memiliki tiga panjang gelombang maksimum sebesar 251 nm, 257 nm (A11 = 12a), dan 263 nm. Pada pelarut basa, efedrin HCl tidak memberikan serapan. Spektrum efedrin HCl dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Spektrum Efedrin Hidroklorida (Moffat, dkk., 2011) 2.6 Validasi Metode
Validasi metode adalah suatu proses yang menunjukkan bahwa prosedur analitik telah sesuai dengan penggunaan yang dikehendaki. Proses validasi metode untuk prosedur analitik dimulai dengan pengumpulan data validasi oleh pelaksana guna mendukung prosedur analitiknya (Bliesner, 2006).
2.6.1 Akurasi
Akurasi dari suatu metode analisis adalah kedekatan nilai hasil uji yang diperoleh melalui metode prosedur analisis dengan harga yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan dengan persen perolehan kembali (%recovery). Akurasi merupakan ukuran ketepatan prosedur analisis (Satiadarma, dkk., 2004).
2.6.2 Presisi
Presisi adalah ukuran keterulangan metode analisis, termasuk di antaranya kemampuan instrumen dalam melakukan hasil analisis yang reprodusibel. Presisi dinyatakan sebagai standar deviasi relatif atau koefisien variasi. Keterulangan dilakukan dengan cara menganalisis sampel yang sama oleh analis yang sama menggunakan instrumen yang sama dalam periode waktu yang singkat. Presisi antara dikerjakan oleh analis yang berbeda, sedangkan reprodusibilitas dikerjakan oleh analis yang berbeda dan di laboratorium yang berbeda. Syarat koefisien variasi bernilai kurang dari 2% (Satiadarma, dkk., 2004).
2.6.3 Spesifisitas
2.6.4 Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi
Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak dapat dikuantifikasi. Batas deteksi merupakan batas uji yang spesifik menyatakan apakah analit di atas atau di bawah nilai tertentu (Rohman, 2007). Menurut Harmita (2004), batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Batas deteksi (LOD) = 3 x SB slope
Batas kuantifikasi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Rohman, 2007). Menurut Harmita (2004), batas kuantifikasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Batas kuantifikasi (LOQ) = 10 x SB slope
2.6.5 Linieritas dan Rentang
Linieritas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan kisaran konsentrasi analit tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi dari beberapa set larutan baku yang telah diketahui konsentrasinya. Persamaan garis yang digunakan pada kurva kalibrasi diperoleh dari persamaan y = ax + b. Persaman ini akan menghasilkan koefisien korelasi (r) (Satiadarma, dkk., 2004).