• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pasca Puka di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pasca Puka di Kota Medan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009

KOMPETENSI APOTEKER DAN

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

PASCA PUKA DI KOTA MEDAN

Wiryanto

Laboratorium Farmasi Komunitas Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara

Jl. Almamater No. 5 Kampus USU Medan

wiryanto_2510@yahoo.com

ABSTRAK

Pelayanan kefarmasian di Apotek saat ini didiskripsikan para pemerhati kesehatan sebagai pelayanan yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh Apoteker tetapi oleh siapa saja yang ada di Apotek. Diskripsi yang menyimpan beragam permasalahan mendasar bagai fenomena gunung es ini, telah direspon oleh 2 institusi terkait paling bertanggungjawab, yaitu Departemen Kesehatan RI dan Organisasi Profesi ISFI. Respon Departemen Kesehatan adalah dengan diterbitkannya Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan respon Organisasi Profesi ISFI adalah dicanangkannya Sertifikasi Profesi Apoteker yang pada tahap awal dilaksanakan melalui Penataran dan Uji Kompetensi Apoteker (PUKA). Makalah ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kompetensi apoteker dan gambaran pelayanan kefarmasian di apotek pasca PUKA di kota Medan.

Penelitian dilakukan dalam 4 tahap, tahap pertama menilai kompetensi apoteker melalui uji sebelum dan sesudah mengikuti penataran, tahap kedua survei lapangan untuk mengetahui sejauh mana penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, tahap ketiga survei lapangan untuk mengetahui sejauh mana peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan tahap keempat observasi tersamar untuk mengetahui sejauh mana Pelayanan Obat Keras tanpa Resep Dokter dilakukan di Apotek.

Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi Apoteker terhadap 8 materi penataran sebelum dilaksanakan penataran cenderung mengecewakan dengan data kelulusan rata-rata: 25% nilai C, 16% nilai B, 1% nilai A, selebihnya 28% nilai D dan 30% nilai E. Hasil uji kompetensi Apoteker sesudah penataran menunjukkan adanya peningkatan dengan data kelulusan rata-rata: 15% nilai C, 33% nilai B, 30% nilai A, selebihnya 20% nilai D dan 2% nilai E. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa rata-rata skor pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah antara 34,79% hingga 50,29% atau berada dalam kategori kurang. Status kepemilikan apotek ternyata tidak mempengaruhi skor pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa secara umum pelayanan kefarmasian di apotek dilakukan oleh asisten apoteker. Ditinjau dari kehadiran apoteker diketahui bahwa apoteker yang hadir lebih dari 10 hari di apotek dalam satu bulan hanya 7,5%. Gambaran peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek adalah 15% kategori baik, 22,5% kategori sedang, dan 65% kategori buruk. Hasil penelitian tahap keempat memberikan gambaran pelayanan obat keras tanpa resep yaitu 60% apotek melayani obat psikotropika, semua apotek melayani obat antibiotik dan obat penyakit degeneratif, dan semua apotek melayani Obat Wajib Apotek tidak sesuai ketentuan. Pelayanan apotek cenderung dilakukan oleh siapa saja: 12% oleh Apoteker, 32% oleh Asisten Apoteker, dan 56% oleh siapa saja.

Kata kunci: Profesi, Kompetensi, Standar Pelayanan, Peran

PENDAHULUAN

Pelayanan kefarmasian di Apotek saat ini didiskripsikan para pemerhati kesehatan sebagai pelayanan yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh Apoteker tetapi oleh siapa saja yang ada di Apotek. Syaifullah Tatang, seorang pakar farmasi menyatakan di Banda Aceh bahwa citra Apoteker khususnya dalam perapotekan kerap hanya sebagai sebuah nama yang dipinjamkan untuk kemudian mendapatkan imbalan (Anonim1,2002). Sebuah pertemuan forum wartawan yang diselenggarakan oleh Koalisi Indonesia Sehat juga menilai bahwa buruknya persoalan obat di Indonesia terkait dengan lemahnya peran Pemerintah dan Apoteker. Dalam pertemuan tersebut ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Indah Sukmaningsih mengatakan bahwa selama ini Apoteker hanya penjual obat, menerima resep dan mengkalkulasi harga, sementara Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ahaditomo mengatakan bahwa justru

(3)

Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009 memberikan pelayanan kefarmasian, menunjukkan betapa

semakin lemahnya komitmen berprofesi mayoritas apoteker akhir-akhir ini, membawa akibat tidak eksisnya profesi apoteker di tengah masyarakat yang akhirnya berujung pada menurunnya kompetensi mayoritas para Apoteker. Pada saat yang sama, dimensi obat yang lain yaitu sains dan teknologi Industri Farmasi, telah membawa masalah yang berpotensi merugikan bagi masyarakat: multiple prescribers of medications for single

patient, the explosion of drug products and information presently on the market, the increased complexity of drug therapy, the significant level of drug-related morbidity and mortality associated with drug use, and the high human and financial cost of drug misadventuring (Cipole

dkk,1998). Lebih lanjut kejadian yang disebut sebagai

Medication error dalam pelayanan kefarmasian juga

menunjukkan data yang semakin mengkhawatirkan (Dwiprahasto,2004; Timmerman, 2003). Berbagai gambaran tentang buruknya profil pelayanan kefarmasian di atas telah direspon oleh 2 institusi terkait paling bertanggungjawab, yaitu Departemen Kesehatan RI dan Organisasi Profesi ISFI. Respon Departemen Kesehatan adalah dengan diterbitkannya Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Menteri Kesehatan RI.,2004) dan respon Organisasi Profesi ISFI adalah dicanangkannya Sertifikasi Profesi Apoteker yang pada tahap awal dilaksanakan melalui Penataran dan Uji Kompetensi Apoteker (PUKA).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi apoteker dan profil pelayanan kefarmasian di Apotik pasca PUKA di Kota Medan.

METODE

1. Kompetensi apoteker dinilai melalui uji pada sebelum dan sesudah mengikuti penataran di Medan meliputi 8 bidang/topik materi terdiri dari: Pharmaceutical Care, Komunikasi Konseling, Farmakoterapi dan Peran Apoteker, Drug Therapi Problem, Perkembangan IPTEK Sediaan Farmasi, Manajemen Apotek, Kode Etik dan Organisasi Profesi, serta Sertifikasi, Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja terkait Pekerjaan Kefarmasian, masing-masing terdiri dari 5 soal pilihan berganda. Penilaian Kompetensi dinyatakan dalam persentase kelulusan peserta dengan kategori A (81-100), B (61-80), C (41-60), D (21-40) dan E (0-20)

2. Penelitian profil pelayanan kefarmasian dilakukan dalam 3 tahap, 2 tahap melalui survei lapangan terkait penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian dan Peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan 1 tahap melalui observasi tersamar terkait Profil Pelayanan Obat Keras Tanpa Resep Dokter.

HASIL DAN DISKUSI

1. Kompetensi Apoteker

Peserta Uji Kompetensi terdiri dari 166 orang Apoteker, 18% di antaranya berpendidikan pasca sarjana S2/S3 dan

beberapa berpredikat profesor, mayoritas atau 80% telah lebih 10 tahun sebagai Apoteker. Uji Kompetensi dilaksanakan sebelum dan sesudah mengikuti penataran. Hasilnya dapat dilihat pada diagram 1 berikut, bahwa hasil uji kompetensi Apoteker terhadap 8 materi penataran sebelum dilaksanakan penataran cenderung mengecewakan dengan data kelulusan rata-rata: 25% nilai C, 16% nilai B, dan hanya 1% nilai A, selebihnya 28% nilai D dan 30% nilai E. Hasil uji kompetensi Apoteker sesudah penataran menunjukkan adanya peningkatan dengan data kelulusan rata-rata: 15% nilai C, 33% nilai B, 30% nilai A, selebihnya 20% nilai D dan 2% nilai E.

Diagram 1. Persentase rata-rata hasil uji

Melihat hasil di atas, dapat dikemukakan bahwa penguasaan ilmu mayoritas Apoteker Peserta PUKA bukanlah ilmu-ilmu terkait profesi atau praktik pelayanan kefarmasian, dan lamanya menyandang predikat Apoteker bukanlah jaminan bahwa Apoteker tersebut adalah seorang ahli dan profesional di bidang praktik pelayanan kefarmasian

2. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Tabel 1 di bawah ini adalah kategori penerapan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan bentuk kegiatan sebagaimana Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar Kefarmasian di Apotik.

KEGIATAN %

PENERAPAN KATEGORI Pengelolaan

Sumber Daya 82,18 Cukup

Pelayanan 42,69 Kurang Evaluasi Mutu

Pelayanan 3,47

Sangat Kurang

Tabel 1. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan kegiatan

(4)

Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009 menuju pelayanan berorientasi pasien sebagaimana

seharusnya. Demikian juga terhadap evaluasi mutu pelayanan masih belum dilaksanakan dengan baik, yang mengindikasikan bahwa mutu masih belum menjadi parameter yang harus diperhatikan dalam pelayanan.

Tabel 2 di bawah ini adalah kategori penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan keluangan waktu dan kegiatan lain APA.

PEKERJAAN LAIN APA

%

PENERAPAN KATEGORI tanpa pekerjaan

lain 50,29 Kurang

Pegawai Swasta 44,07 Kurang PNS Non Depkes 40,02 Kurang PNS Depkes 34,79 Kurang Tabel 2. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Pekerjaan Lain APA

Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2 menunjukkan bahwa semua kelompok APA masuk ke dalam kategori kurang dalam hal menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian dalam mengelola Apotek, mengindikasikan bahwa pelayanan kefarmasian masih dilaksanakan tanpa komitmen profesional

Tabel 3 di bawah ini adalah kategori penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan kepemilikan apotek.

KEPEMILIKAN %

PENERAPAN KATEGORI

PSA 38,95 Kurang

APA 50,56 Kurang

Kelompok 45,64 Kurang

APA - PSA 61,44 Cukup

Tabel 3. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepemilikan Apotek

Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3 menunjukkan bahwa kepemilikan APA belum menjamin penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian dalam mengelola Apotek.

3. Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Tabel 4 di bawah ini adalah frekuensi rata-rata kehadiran apoteker perbulan

FREKUENSI JUMLAH

(n=40) (%)

1 25 62,5

2-4 11 27,5

5-10 1 2,5 >10 3 7,5

Tabel 4. Frekuensi Rata-Rata Kehadiran Apoteker Perbulan

Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4 menunjukkan bahwa unjuk kerja yang ditampilkan mayoritas APA adalah masih jauh dari harapan pencanangan TATAP atau No Pharmacist No Services

Tabel 5 di bawah ini adalah ragam kegiatan pelayanan kefarmasian yang dilakukan apoteker jika berada di apotek.

RAGAM KEGIATAN APOTEKER

JUMLAH (n=40) (%) Terlibat dalam penerimaan

resep 13 62,5

Terlibat dalam skrining resep 13 32,5 Terlibat dalam penyiapan obat

resep 9 22,5

Terlibat dalam penyerahan obat

resep 7 17,5

Berkonsultasi dengan dokter

penulis resep 4 10

Memberikan informasi tentang obat kepada dokter dan tenaga kesehatan lain

10 25

Tabel 5. Ragam Kegiatan Pelayanan Kefarmasian Yang Dilakukan Apoteker Jika Berada Di Apotek

Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5 menunjukkan bahwa kurang dari 30% APA yang melakukan kegiatan sebagaimana layaknya para profesional berpraktek melayani pelanggan

Tabel 6 di bawah ini adalah kategori peran apoteker terhadap kegiatan pelayanan kefarmasian jika berada di apotek

PERAN APOTEKER

JUMLAH (n=40) (%) JML

KEGIATAN KATEGORI

<2 Buruk 26 65

2-4 Sedang 9 22,5

>4 Baik 5 15

Tabel 6. Kategori Peran Apoteker Terhadap Kegiatan Pelayanan Kefarmasian Jika Berada di Apotek

Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas Apoteker yang diteliti cenderung tidak berperan dengan baik dalam kegiatan pelayanan kefarmasian jika berada di apotik. Melihat minimnya kehadiran dan peran mayoritas apoteker saat ini, sulit diharapkan profesi ini dapat membangun kepantasan untuk meraih martabat, tradisi luhur, dan masa depan.

4. Profil Pelayanan Obat Keras Tanpa Resep Dokter

(5)

Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009

Diazepam 1 Pegawai

Carbamazepin 15 AA /Pegawai 60% apotek melayani obat psikotropika tanpa resep Tabel 7. Data Pelayanan Obat Psikotropika (OKT) di Apotek tanpa resep

NAMA OBAT

Khloramfenicol 1 Pegawai Thiamfenicol 2 AA/Pegawai Erythromycin 5 AA

Ciprofloxacin 3 Apt/ AA/Pegawai Cefixim 2 Apt/ Pegawai

Trimoxul 2 Pegawai

Tetracyclin 1 Pegawai Metronidazol 1 Pegawai

Sanprima 1 Pegawai

Semua Apotek melayani obat antibiotika tanpa resep Tabel 8. Data Pelayanan Obat Keras di Apotek tanpa resep

Farmalat 5 Apt/ AA/Pegawai

Nifedipin 10 Apt/ AA/Pegawai

Digoxin 15 Apt/ AA/Pegawai Cedocard 10 AA /Pegawai

Metformin 25 Apt/ AA/Pegawai

Semua Apotek melayani obat keras untuk penyakit degeneratif tanpa resep

Tabel 9. Data Pelayanan Obat Penyakit Degeneratif di Apotek Tanpa Resep

NAMA OBAT

Semua Apotek melayani OWA tidak sesuai ketentuan

Tabel 10. Data Pelayanan Obat Wajib Apotek di Apotek Tanpa Resep

Melihat profil pelayanan obat keras tanpa resep dokter sebagaimana dapat dilihat pada tabel 7 hingga 10, mengindikasikan bahwa obat cenderung tidak lagi dipandang sebagai barang yang mempunyai resiko dalam penggunaan, sementara jusru hal ini yang memberikan pembenaran bagi keberadaan profesi apoteker di masyarakat

Tabel 11 di bawah ini adalah data petugas apotek yang melayani obat keras tanpa resep

PETUGAS JUMLAH

PETUGAS %

Apoteker 3 12

AA 8 32

Pegawai 14 56

Tabel 11. Data Petugas Apotek Yang Melayani Obat Keras Tanpa Resep

Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 11 menunjukkan bahwa pelayanan kefarmasian cenderung dilakukan oleh siapa saja yang ada di Apotek tanpa memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku

KESIMPULAN

Kompetensi adalah kemampuan kerja yang

mencakup aspek pengetahuan, keterampilan

dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku (Presiden RI, 2004)

.Pelaksanaan PUKA

masih sebatas peningkatan aspek pengetahuan dan sebagai tahap awal proses sertifikasi, belum mampu merubah sikap kerja yang menjadi aspek utama sebuah profesi. Dengan diterbitkannya PP.51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

(Presiden RI, 2009)

merupakan peluang besar bagi pemerintah dan organisasi profesi untuk menjadikan apoteker sebagai sebuah profesi yang bermartabat serta mempunyai peran dan masa depan, melalui proses pemurnian profesi sebagaimana disampaikan Ketua Umum PP ISFI di berbagai kesempatan pertemuan organisasi maupun acara silaturahim

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Adelina Ginting, Rista Romelyn Sirait dan Sri Ayu Elyarni atas partisipasinya dalam pengumpulan data penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Ahaditomo. (2002)., Standard Kompetensi Apoteker Indonesia., Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut Teknologi Bandung.

Anonim1

(2002)., Masyarakat Belum Rasakan Manfaat Farmasi.,

(6)

Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009

Anonim2

(2002)., Peran Apoteker Lemah Perburuk Persoalan Obat.,

Harian Republika.,Jakarta., 30 Oktober 2002.

Anonim3

. (2002)., Disesalkan Apotek Berubah Jadi Toko Obat di Lhokseumawe., Harian Waspada., Medan., 10 September 2002.

Anonim. (2008), Tujuhpuluh persen Apoteker Tidak Berada di Apotek.,

Harian Waspada., Medan., 31 Mei 2008.

Cipole, RJ., Strand, LM., Morley, PC., 1998., Pharmaceutical Care

Practice., The McGraw-Hill Companies, Inc., The United

States of America.

Dwiprahasto, I., 2004., Medication Error., Materi Seminar Sehari Medication Error, Tantangan dalam Pelayanan Medis dan Kefarmasian., Magister Manajemen Farmasi., UGM.

Menteri Kesehatan RI. (1990)., Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.,

Departemen Kesehatan RI., Jakarta.

Menteri Kesehatan RI. (2004)., Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek., Departemen Kesehatan RI., Jakarta.

Presiden RI. (2004) Peraturan Pemerintah RI No.23 tahun 2004

tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi., Lembaran

Negara RI No.78

Presiden RI. (2009) Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian., Lembaran Negara RI

No.5044

Timmerman, K., 2003., Pharmaceutical Care and community

pharmacy in the Netherlands., Makalah pada Lokakarya

(7)

Gambar

Tabel 1 di bawah ini adalah kategori penerapan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan bentuk kegiatan sebagaimana Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar Kefarmasian di Apotik
Tabel 10. Data Pelayanan Obat Wajib Apotek di Apotek Tanpa Resep

Referensi

Dokumen terkait

Dalam mengisolasi mikroorganisme dengan menggunakan metode tuang dimana dibuat pengenceran dari 10 -1 sampai 10 -7 untuk menurunkan jumlah mikroorganisme sehingga

Hasil penelitian menunjukkan stratifikasi sosial terdiri atas: (a) ukuran kekayaan, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas;

Data yang bersifat rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, hanya dapat disajikan untuk kepentingan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan

Setelah mempelajari mata kuliah ini mahasiswa dapat memahami permasalahan- permasalahan yang dihadapi dalam analisis kuantitatif komponen aktif sediaan obat,

P enyes uaia n periode pe ng ukuran adalah penyes uaian ya ng beras al dari informas i tamba han yang diperoleh s elama periode peng ukuran ( yang tidak melebihi

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W3, 2017 3D Virtual Reconstruction and Visualization of

PErfECT developed different photogrammetry tools to enhance the red coral population surveys based in: (i) automatic orientation on coded quadrats, (ii) use of NPR (Non Photo

In order to represent the Stratigraphic Unit duration, using time intervals we use Qualitative Constraints Networks (QCN) suc- cessfully used in the domain of knowledge