• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH PEDAGANG MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH PEDAGANG MA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH PEDAGANG MAKANAN

DI SEKTOR INFORMAL DAERAH SUBURBAN KABUPATEN

BOGOR

Livelihoods Structure and Strategies of food seller in Informal Sector Bogor District Suburban

Areas

Rizka Amalia*) dan Arya Hadi Dharmawan

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologis Manusia, IPB

*)Email : rizkaa.zulfi@gmail.com ABSTRACT

Livelihood strategies are done by humans to maintain the sustainability of life. Meanwhile, this research is focused on livelihood strategies of food seller in informal sector. The study is conducted because industrialization and development. Affect of this industrialization and development are urbanizing process, so that is make profession conversion of domination farmer become food stall at informal sector. The method used in this study is survey research using questionnaires and qualitative approach using a slip, case studies and observations to support quantitative data. The results of this study is about characteristics of informal sector workers especially in food vendors, the structure of household income, livelihood strategies, the reason to trade in public areas and management saving capacity of informal sector workers.

Keywords: development, urbanizing process, saving capacity

PENDAHULUAN

Industrialisasi merupakan salah satu pemicu proses pengkotaan dan perubahan sosial. Pengkotaan dan perubahan sosial ini berpotensi pada adanya konflik dan sengketa, yang berkaitan dengan ketidakseimbangan distribusi resiko dan manfaat industri pada masyarakat sekitar industri. Salah satu bentuk industri adalah industri jasa pendidikan yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurut PPW-LPPM (2002) dalam Tan (2006) menyatakan bahwa kehadiran IPB di Dramaga telah mendorong urbanisasi dan perubahan sosial. IPB mempunyai andil besar membawa masyarakat desa-desa lingkar kampus yang sebelumnya homogen petani dan didominasi oleh komunitas-komunitas Suku Sunda

menjadi masyarakat suburban yang kian heterogen.

Wilayah Lingkar Kampus (WLK) merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan ruang terpenting di pinggir Kota Bogor.

Daerah suburban merupakan sebuah kawasan yang masyarakatnya telah terperangkap dalam suatu transformasi meninggalkan pertanian tetapi masih belum didominasi oleh kegiatan-kegiatan industrial, maka dari itu banyak masyarakat di daerah suburban yang mencari nafkah pada sektor informal yang tidak teratur. Ketidakteraturan ini terlihat bagaimana pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan yang mengambil

public area seperti pinggir jalan atau trotoar, dan menjual makanan yang tidak bersih.

Salah satu wilayah yang merupakan daerah suburban adalah di Jalan Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Jalan Babakan yang berada di Desa Babakan merupakan daerah suburban karena desa Babakan ini dibatasi oleh desa dan kota serta adanya industrialisasi pendidikan, sehingga memungkinkan pembangunan dan proses pengkotaan.

Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan merangkum tiga pertanyaan yakni: 1) bagaimana strategi yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan untuk mempertahankan kehidupan?; 2) sebab-sebab apa yang membuat pedagang makanan bertahan?; 3) sejauhmana para pedagang makanan di sektor informal mengelola surplus pendapatan (kapasitas menabung) mereka?

Tujuan Penelitian

(2)

2 | Amalia, Rizka. et. al.Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna: 1) bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang strategi nafkah pekerja sektor informal khususnya para pedagang makanan di daerah suburban. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga menambah khazanah literatur kajian mengenai strategi nafkah khususnya strategi nafkah pedagang makanan di sektor informal daerah suburban; 2) bagi pemerintah Kabupaten Bogor, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi yang bermanfaat untuk memberikan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait keberadaan sektor informal khususnya pedagang makanan.

PENDEKATAN TEORITIS

Pengertian Strategi Nafkah

Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali digunakan oleh Duque dan Pastrana pada tahun 1973, kemudian konsep tersebut digunakan dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu (Crow 1989 dikutip Widiyanto 2009). Ellis (2000) mendefinisikan bahwa nafkah mengarah pada perhatian hubungan antara aset dan pilihan orang untuk kegiatan alternatif yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk bertahan hidup, yang mana sebuah nafkah terdiri dari aset, (alam, fisik, manusia, modal keuangan, dan sosial) kegiatan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumah tangga. Sementara itu, Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumah tangga yaitu dengan menyusun formasi keamanan sosial sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan (Iqbal 2004).

Sumber-Sumber Strategi Nafkah

Ellis (2000), menyatakan bahwa pengikut garis Chambers dan Conway berpikir tentang kehidupan (misalnya Scoones 1998) cenderung untuk mengidentifikasi lima kategori modal utama sebagai basis nafkah yaitu: 1) modal alam mengacu pada sumber daya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan hidup mereka; 2) modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi; 3) modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi; 4) modal finansial

mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit; 5) modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka.

Migrasi Desa-Kota

Menurut Todaro dan Stilkind (1981) menyatakan bahwa kemandekan ekonomi di desa serta adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi memaksa para masyarakat desa untuk mencari jalan lain dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya. Lebih lanjut, Todaro dan Stilkind (1981) menyatakan bahwa keadaan pertanian yang menyedihkan mendorong untuk migrasi ke kota, kemudian mereka mengisi sektor informal di kota seperti sektor informal yang produktif (memperbaiki peralatan rumah tangga) atau sektor informal yang tidak produktif yang sering bersifat parasit (pedagang kaki lima, tukang parkir, pelacur, dan lain-lain).

“The factor which enter into the decision to migrate and the process of migration may be summarized under four headings, as follow: (1) factors associated with the area of origin, (2) factors associated with the area of destination, (3) intervening obstacles, (4) personal factors”

( Lee 1889: 16-17).

Dari keempat faktor migrasi di atas, Menurut Lee (1889) migrasi ini akibat daerah asal yang mempunyai tanda-tanda negatif seperti masyarakat tertekan karena berkurangnya lahan pertanian dan kesempatan bekerja yang menurun, sedangkan di daerah tujuan dapat memberikan peluang untuk bekerja. Pada kenyataannya daerah tujuan menjadi terpuruk karena banyaknya orang yang bermigrasi sehingga akhirnya mengakibatkan keterpurukan di daerah tujuan yang terwujud adanya

kesemrawutan sektor informal dan kriminalitas. Maka dari itu, Todaro dan Stilkind (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan sektor informal bukan merupakan obat mujarab untuk mengobati pengangguran di perkotaan.

Pengertian sektor informal

Adanya pemisahan antara sektor formal dan informal menunjukkan adanya permasalahan tenaga kerja yaitu status informal yang produktifitasnya rendah (Arfida 2003). Pada dasarnya posisi usaha informal dalam sistem yang lebih luas ditentukan oleh hubungannya dengan pelaku-pelaku ekonomi lain dan negara, negara dalam hal ini bertindak sebagai perencana kebijakan dan penanganan pembangunan kota dan desa (Chandrakirana dan Sadoko, tidak ada tahun). Sektor informal dapat dilihat dan ditemukan di tempat-tempat umum seperti: jalanan dan lokasi keramaian. Dari hal tersebut sejalan dengan definisi Chandrakirana dan Sadoko (tidak ada tahun), tentang sektor informal yaitu:

(3)

tertentu (ILO Kenya Report); satuan usaha dalam jumlah tenaga kerja kecil (Sethuraman); status ketenagaan kerja yang ditentukan atas dasar pemilikan faktor produksi (PREALC); pasaran tenaga kerja yang tidak dilindungi (Mazumdar); kegiatan ekonomi yang berlangsung di luar sistem legal (de Soto); dan sebagai proses perolehan penghasilan di luar sistem regulasi (Castells & Portes)” (Chandrakirana dan Sadoko tidak ada tahun: 16).

Sementara itu, definisi sektor informal menurut Thomas (1990) dalam Suwartika (2003) menyatakan bahwa sektor informal ditimbang berdasarkan ukuran usaha yang dikombinasikan dengan berbagai peraturan terkait, yang mana di sektor informal hanya mempekerjakan sedikit pekerja.

Terbentuknya Sektor Informal

Seiring adanya pembangunan dan modernisasi di pedesaan, telah membawa dampak yang tidak diinginkan

berupa ketimpangan (inequality) akses terhadap

sumber-sumber nafkah bagi masyarakat di pedesaan dan lumpuhnya kelembagaan penjamin ketahanan-hidup asli, dengan arti lain bahwa pembangunan dan modernisasi

telah menghancurkan tata-nilai asli dan meminggirkan

mekanisme social-security net sehingga tradisi tidak dapat bekerja optimal (Dharmawan 2007). Keberadaan industri mengakibatkan kecenderungan masyarakat yang bersifat

individualis (Mardiyaningsih 2003).

“Dampak pembangunan kota ternyata tidak memberikan tempat lagi bagi penduduk asli (dwellers) dalam proses produksi ekonomi kota yang tidak bertumpu pada lahan sawah. Akhirnya, mereka seperti terputus dari ikatan lahan sawah dan tradisi” (Budiyanto 2001: 15).

Kemudian, Iqbal (2004) mengungkapkan bahwa akibat

dari pertumbuhan penduduk dan luapan tenaga kerja yang ada serta semakin pesatnya pembangunan di pedesaan

memicu tumbuhnya sektor informal (underground

economy) yang semakin beragam, faktor yang mendorong tumbuh kembangnya sektor informal adalah: a) akses terhadap sumber daya ekonomi dan potensi lahan di pedesaan yang semakin langka, karena rasio lahan terhadap manusia semakin ciut; b) tingkat pendidikan dan keahlian yang terbatas, tidak memungkinkan untuk bisa masuk dalam lapangan pekerjaan formal, karena daya tampungnya yang sedikit; c) tidak membutuhkan keahlian maupun modal yang tinggi, dan bisa dilakukan oleh semua kalangan masyarakat; d) tidak terkait dengan berbagai ketentuan pemerintah setempat, karena sifatnya yang tidak terdata; e) tingkat kebutuhan pada sektor relatif tinggi, karena sektor ini berkembang seiring dengan tumbuhnya sektor lain yang menjadi sandaran sektor informal.

Jenis-Jenis Pekerjaan Sektor Informal

Adanya gerak pembangunan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mencari tambahan penghasilan. Kebutuhan yang semakin meningkat, sementara pekerjaan

yang menjadi sandaran utama mengalami penurunan. Dalam prakteknya, kegiatan-kegiatan informal meliputi bermacam-macam hal, mulai dari usaha-usaha marginal sampai perusahaan-perusahaan besar (Hart 1973). Lebih lanjut Hart (1973) menyatakan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan informal yang sah berasal dari:

1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder.

Kegiatan primer dan sekunder terbuka pada pekerja yang terampil. Keterampilan ini bisa diperoleh dengan cara magang secara informal (dengan bayaran sedikit) pada salah satu pekerja dalam waktu yang relatif lama. Contoh kegiatan primer dan sekunder adalah penjahit, kontraktor bangunan, pembuat sepatu, pertanian dan perkebunan.

2. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar.

Usaha tersier merupakan pekerjaan yang tidak penuh, kegiatan ini dilakukan pekerja yang sebelumnya telah mengumpulkan tabungan dengan berbagai cara yang kemudian diinvestasikan kembali dengan manajemen sendiri. Contoh usaha tersier adalah perumahan, transportasi, dan kegiatan sewa menyewa.

3. Distribusi kecil-kecilan.

Usaha eceran kecil-kecilan biasanya menetap di suatu tempat dan penyalur di kota, mereka membentuk perserikatan dengan orang-orang lainnya untuk memadukan usaha. Adanya perserikatan ini mengakibatkan pemusatan kelompok etnis tertentu yang kemudian menjadi jaringan informal untuk mencegah masuknya orang lain ke dalam perdagangan komoditi tertentu. Contoh usaha eceran kecil-kecilan adalah pedagang kaki lima, penyalur, dan pedagang pasar. “Pedagang kaki lima berjualan dengan berbagai sarana: kios, tenda, dan secara gelar” (Chandrakirana dan Sadoko tidak ada tahun: 38).

4. Jasa yang lain.

Jasa-jasa lainnya misalnya montir, tukang cukur, tukang cuci merupakan kegiatan yang mempunyai persyarakat keahlian dan modal kecil sehingga membatasi kemungkinan masuk ke pekerjaan tersebut. ada contoh lain misalnya tukang membersihkan kotoran manusia yang merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan sehingga terbuka dalam batas-batas permintaan pasar dan keengganan pribadi.

5. Transaksi pribadi.

(4)

Kerangka Pemikiran

Daerah suburban merupakan sebuah kawasan yang masyarakatnya telah terperangkap dalam suatu transformasi meninggalkan pertanian tetapi masih belum didominasi oleh kegiatan-kegiatan industrial, maka dari

suburban dapat disebabkan adanya industrialisasi. Industrialisasi ini merupakan salah satu pemicu proses pengkotaan dan perubahan sosial. Proses pengkotaan dan perubahan sosial ini berpotensi pada adanya konflik dan suburban dapat disebabkan adanya industrialisasi. Industrialisasi ini merupakan salah satu pemicu proses pengkotaan dan perubahan sosial. Proses pengkotaan dan perubahan sosial ini berpotensi pada adanya konflik dan

4 | Amalia, Rizka. et. al.Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor

Keterangan: Keterangan:

: mempengaruhi searah : mempengaruhi searah : saling mempengaruhi : saling mempengaruhi : berhubungan tidak langsung : berhubungan tidak langsung

itu banyak masyarakat di daerah suburban yang mencari nafkah pada sektor informal yang tidak teratur. Ketidakteraturan ini terlihat bagaimana pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan yang mengambil

public area seperti pinggir jalan atau trotoar dan menjual makanan yang tidak bersih. Terbentuknya daerah

itu banyak masyarakat di daerah suburban yang mencari nafkah pada sektor informal yang tidak teratur. Ketidakteraturan ini terlihat bagaimana pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan yang mengambil

public area seperti pinggir jalan atau trotoar dan menjual makanan yang tidak bersih. Terbentuknya daerah

Daerah Suburban Daerah Suburban

(X1) Sumber nafkah

X1.2 Tingkat modal sosial

X1.4 Tingkat modal finansial X1.5 Tingkat modal

fisik

X1.1 Tingkat modal alam

X1.3 Tingkat modal SDM

Kapasitas Menabung Alasan Bertahan

Hidup

sengketa, yang berkaitan dengan ketidakseimbangan distribusi resiko dan manfaat industri pada masyarakat sekitar industri. Salah satu bentuk industri adalah industri jasa pendidikan yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berdampak pada pengalihan profesi dari dominasi petani menjadi pekerja sektor informal.

sengketa, yang berkaitan dengan ketidakseimbangan distribusi resiko dan manfaat industri pada masyarakat sekitar industri. Salah satu bentuk industri adalah industri jasa pendidikan yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berdampak pada pengalihan profesi dari dominasi petani menjadi pekerja sektor informal.

Ragam Investasi (Y1) Strategi Nafkah

Y.1.1. Tingkat alokasi waktu

Y.1.6. Tingkat siklus pekerjaan

Y.1.7. Tingkat hutang Y.1.2. Tingkat

reguleritas kerja

Y.1.8. Tingkat luas jaringan Y.1.3. Tingkat pendapatan

Y.1.9. tingkat luas konsumen Y.1.4. Tingkat

Spesialisasi pekerjaan

Y.1.5. Tingkat investasi Y.1.10. Tingkat jaminan

lahan

(5)

Salah satu sektor informal yang banyak ditemukan adalah pedagang makanan. Pedagang makanan menggunakan sumber-sumber nafkah untuk menjalankan usahanya. Sumber-sumber nafkah tersebut adalah modal sosial, sumber daya manusia, finansial, fisik, dan alam. Sumber-sumber nafkah ini dapat direkayasa sesuai dengan kondisi yang dialami masing-masing individu atau rumah tangga pedagang makanan. Sumber nafkah ini kemudian mempengaruhi strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan. Beberapa strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makan dapat dikategorikan sebagai berikut: 1) Tingkat alokasi waktu; 2) Tingkat reguleritas kerja; 3) Tingkat pendapatan; 4) Tingkat spesialisasi kerja; 5) Tingkat investasi; 6) Tingkat siklus pekerjaan; 7) Tingkat hutang; 8) Tingkat luas jaringan; 9) Tingkat luas konsumen; dan 10) Tingkat jaminan lahan

Hipotesis Penelitian

Sebagaimana dirumuskan dalam tujuan penelitian yaitu: (1) menerangkan strategi yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan untuk mempertahankan kehidupan, (2) menerangkan sebab-sebab pedagang makanan bertahan menjadi pedagang makanan di Jalan Babakan, dan (3) menerangkan cara pengelolaan surplus pendapatan pedagang makanan di Jalan Babakan. Maka dari itu, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) diduga strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan semakin bervariasi dengan bertambahnya sumber nafkah yang dimanfaatkan oleh pekerja informal; 2) diduga karena alasan bertahan hidup, maka pedagang makanan melanjutkan usaha berdagang makanan sekalipun di area publik; 3) diduga karena alasan bertahan hidup, maka semakin banyak strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan; 4) diduga semakin tinggi kapasitas menabung, maka semakin bervariasi ragam investasi yang dilakukan oleh pedagang makanan. Tujuan (1) ditajamkan dengan menjawab hipotesis (1), tujuan (2) ditajamkan dengan menjawab hipotesis (2) dan (3), serta tujuan (3) ditajamkan dengan menjawab hipotesis (4).

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei yang didukung pendekatan kualitatif. “Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok” (Singarimbun, 2008: 1). Dalam upaya memperkaya data sehingga dapat memahami fenomena sosial yang diteliti, peneliti berusaha menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif. “Data kualitatif

ini dikumpulkan dengan menggunakan slip, yakni

selembar kertas yang khusus disediakan, di samping penggunaan kuisioner” (Singarimbun, 2008: 10). Selain

menggunakan slip, data kualitatif ini dikumpulkan

melalui studi kasus dan observasi.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Jalan Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dimulai pada tanggal 7 September sampai 28 November 2012. Pemilihan tempat penelitian

dilakukan secara sengaja (purposive). Tempat penelitian

ini dipilih karena merupakan salah satu tempat yang tergolong daerah suburban yang ditandai oleh: pertama, letaknya diantara desa dan kota yaitu menurut data profil Desa Babakan tahun 2011 bahwa batas wilayah sebelah utara adalah Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga; sebelah selatan adalah Desa Dramaga, Kecamatan Dramaga; sebelah timur adalah Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat; sebelah barat adalah Desa Cibanteng, kecamatan Ciampea. Kedua, ditandai oleh penduduk di tempat penelitian yang kurang mempunyai akses terhadap lahan sawah sehingga mereka banyak terlempar di sektor informal seperti menjadi pedagang makanan. Menurut data profil Desa Babakan tahun 2011 bahwa tidak ada penduduk yang bermata pencaharian petani, 795 orang bermata pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), 382 orang bermata pencaharian sebagai pedagang keliling, 127 orang bermata pencaharian sebagai pembantu rumah tangga, 1.955 orang bermata pencaharian sebagai karyawan perusahaan swasta, 5 orang bermata pencaharian sebagai montir, 7 orang bermata pencaharian sebagai dokter swasta, 2 orang bermata pencaharian sebagai bidan swasta, orang bermata pencaharian sebagai TNI, 8 orang bermata pencaharian sebagai Polri, 23 orang bermata pencaharian sebagai pengusaha kecil dan menengah, 3 orang bermata pencaharian sebagai jasa pengobatan alternatif, dan 38 orang bermata pencaharian sebagai dosen swasta. Ketiga, ditandai oleh adanya industrialisasi pendidikan berupa berdirinya Institut Pertanian Bogor (IPB) yang memiliki banyak mahasiswa dari berbagai daerah. Keberadaan IPB ini mengakibatkan banyaknya pembangunan fasilitas-fasilitas penunjang seperti fasilitas-fasilitas kesehatan, perumahan dan perbelanjaan di sekitar IPB.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder, diperoleh dari literatur yang terkait dengan strategi nafkah dan sektor informal. Data primer, diperoleh dari hasil kuisioner, wawancara dan observasi.

Kerangka sampling dalam penelitian ini terdiri dari 114 pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Kerangka sampling ini didapatkan berdasarkan sensus yang dilakukan oleh peneliti. Dari kerangka sampling tersebut kemudian pada tanggal 19 September 2012 dilakukan pemilihan responden melalui teknik sampel

random sederhana (simple random sampling) sebanyak 35

responden menggunakan microsoft office excel 2007

(6)

35 responden. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sistem bola salju (snowball) dan purposive. Metode sistem bola salju (snowball ) dan purposive digunakan untuk mendapatkan informan yang bisa memberikan informasi pendukung data kuantitatif.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Kuisioner yang dikumpulkan kemudian diolah dalam tiga

tahapan, antara lain: (1) editing data, (2) pengkodean

data, (3) membuat tabel frekuensi, grafik, matriks, dan

tabulasi silang. Pertama peneliti melakukan editing data

meliputi klarifikasi, keterbacaan, konsistensi, dan kelengkapan data yang sudah terkumpul. Data yang telah terkumpul kemudian diberi kode selanjutnya ditransfer ke

dalam komputer dengan aplikasi statistic program for

social sciences (SPSS versi 16.0) dan microsoft office excel 2007. Kemudian membuat statistik deskriptif variabel-variabel melalui tabel frekuensi, grafik, matriks, dan tabulasi silang. Kategorisasi tingkat pendapatan dilakukan dengan cara proses penghitungan melalui kaidah kurva sebaran normal. Selain itu, data juga diolah melalui rekap data.

6 | Amalia, Rizka. et. al.Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor

Data pendapatan yang diperoleh dari kuisioner diolah

menggunakan aplikasi microsoft office excel 2007.

Pengolahan data pendapatan ini menggunakan rumus sebagai berikut:

1. Pendapatan berdagang Rp/tahun (c) = a - b, yang

mana a adalah penerimaan dari berdagang dan b adalah biaya produksi berdagang

2. Pendapatan jasa tenaga rumah tangga Rp/tahun (f) =

d + e, yang mana d adalah pendapatan sampingan dan e adalah upah anggota rumah tangga

3. Pendapatan rumah tangga Rp/tahun (g) = c + f, yang

mana c adalah pendapatan berdagang Rp/tahun dan f adalah pendapatan jasa tenaga rumah tangga Rp/tahun

4. Pengeluaran rumah tangga Rp/tahun (j) = h + i, yang

mana h adalah pengeluaran konsumsi dan i adalah pengeluaran konsumsi non pangan

5. Saving capacity Rp/tahun (k) = g – j, yang mana g adalah pendapatan rumah tangga Rp/tahun dan j adalah pengeluaran rumah tangga Rp/tahun.

6. Pendapatan per kapita per hari (m) = z : n, yang

mana z adalah rata-rata pendapatan rumah tangga pedagang per hari dan n adalah rata-rata jumlah anggota keluarga.

Berdasarkan rumus di atas maka akan diperoleh besar pendapatan yang jenis datanya adalah data rasio, Data Rasio dari pendapatan ini kemudian diolah menjadi data interval dengan menggunakan kaidah kurva normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pedagang Makanan di Sektor Informal

Data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan di Jalan Babakan, umur

rata-rata pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan di Jalan Babakan adalah 40 tahun dengan kisaran umur antara 22 sampai 74 tahun, yang sebagian besar berumur 30 tahun ke atas. Sementara itu, tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima, yaitu: kategori sangat rendah (tidak tamat SD/sederajat), rendah (tamat SD/sederajat), sedang (tamat SMP/sederajat), tinggi (tamat SMA/sederajat), dan sangat tinggi (tamat perguruan tinggi). Dari jumlah responden sebanyak 35 pedagang makanan, maka pada gambar 2 menunjukkan persentase tingkat pendidikan pedagang makanan di Jalan Babakan.

11.40% 31.40%

17.10% 22.90%

17.10%

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%

Sumber: data primer

Gambar 2. Tingkat pendidikan responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012

Berdasarkan gambar 2, menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan terdapat 31,4% tamat SD/sederajat; 22,9% tamat SMA/sederajat; 17,1% tamat perguruan tinggi/sederajat; 17,1% tamat SMP/sederajat; dan 11,4% tidak tamat SD/sederajat. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan akhir pedagang makanan tergolong dalam tingkat pendidikan rendah lebih banyak dari pada pendidikan akhir pedagang makanan yang tergolong dalam tingkat pendidikan tinggi. Hal ini diperkuat dengan penelitian Suwartika (2003) yang menyatakan bahwa tenaga kerja sektor informal mempunyai tingkat pendidikan formal rendah lebih besar dibandingkan dengan tingkat pendidikan formal tinggi. Meskipun begitu, hasil penelitian Iqbal (2004) yang menyatakan bahwa faktor pendorong tumbuh kembangnya sektor informal adalah adanya tingkat pendidikan dan keahlian yang terbatas tidak dapat dibenarkan karena sektor informal ini juga menampung pekerja yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan sangat tinggi.

(7)

Tabel 1. Frekuensi dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan jenis kelamin, tahun 2012

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 51,4% pedagang makanan berjenis kelamin perempuan dan 48,6% pedagang makanan berjenis kelamin laki-laki. Hal itu dapat diartikan bahwa pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan banyak dilakukan oleh perempuan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian mengenai strategi nafkah rumah tangga nelayan oleh Iqbal (2004) yang menyatakan bahwa sektor informal dan perdagangan kecil, biasanya banyak ditekuni oleh para wanita.

Sementara itu, status perkawinan menunjukkan banyaknya tanggungan dalam suatu rumah tangga. Jika berstatus sudah kawin maka jumlah yang ditanggung untuk dinafkahi lebih banyak dari pada berstatus belum kawin. Berdasarkan data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 85,7% pekerja sektor informal sebagai pedagang makanan berstatus sudah kawin dan 14,3% pekerja sektor informal sebagai pedagang makanan berstatus belum kawin.

Tabel 2. Frekuensi dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan status perkawinan, tahun 2012

Status Perkawinan Frekuensi Persentase

Kawin 30 85,7

Belum kawin 5 14,3

Total 35 100,0

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 2, menunjukkan bahwa pedagang makanan di Jalan Babakan yang berstatus sudah kawin lebih banyak dari pada yang berstatus belum kawin. Status perkawinan ini mempunyai nilai pada sektor informal khususnya usaha berdagang makanan, dengan sudah berstatus kawin maka dalam mengerjakan usaha makanan dapat melibatkan dua individu yang diikat dengan tali perkawinan. Pelibatan berdasarkan status perkawinan ini didasarkan atas kerja sama dan komplementer (saling melengkapi).

Kemudian, berdasarkan data primer di lapangan menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 34,3% pedagang makanan merupakan penduduk asli Kecamatan Dramaga, 65,7% pedagang makanan merupakan penduduk yang berasal dari luar Kecamatan Dramaga. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan merupakan pendatang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan informan

yang tinggal di sekitar Jalan Babakan dan Kepala Desa Babakan Raya.

“Dahulu Babakan Raya teh tidak seramai ini. Dahulu, di sekitar Babakan Raya ini masih berupa hutan karet dan masih adem. Pada sekitar 1990-1997 warkop mah masih ramai oleh konsumen mahasiswa bahkan sampai antri karena sekitar 1994 pedagang makanan masih jarang ada. Babakan raya yang biasa disebut Bara ini mulai ramai oleh pedagang gerobak itu pada tahun 1998 kemudian pada tahun 2000 IPB membangun kios-kios yang berada di pinggir trotoar jalan” (SND, 42 tahun).

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 17 48,6

Lerempuan 18 51,4

Total 35 100,0

“Awalnya yang berdagang di sekitar sini itu adalah

penduduk asli sini, tetapi seiring waktu berjalan menjadi banyak pendatang. Sebelum tahun 1997 ketika kepala desanya masih Pak END, memperbolehkan keberadaan pedagang kaki lima. Kemudian setelah tahun 1997, yang mana pada saat itu saya sudah menjadi kepala desa maka saya meneruskan kebijakan yang dibuat oleh Pak END. Eh gara-gara hal itu pihak desa banyak memperoleh teguran dari IPB” (Pak YYT, Kepala Desa Babakan Raya)

Berdasarkan penuturan Pak SND dan Pak YYT menunjukkan bahwa perubahan waktu serta kebijakan yang diterapkan oleh kepala Desa Babakan dan IPB mengakibatkan masuknya pendatang dari luar Kecamatan Dramaga untuk bergadang makanan di Jalan Babakan. Selain itu, diperkuat juga dengan hasil penelitian Tan (2006) yang menyatakan bahwa:

“Keberadaan IPB juga membawa adanya program pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh Lembaga pengabdian Masyarakat (LPM). Program ini berlangsung pada tahun 2000, wujud program ini adalah menyediakan kios sebanyak 70 buah di jalan Babakan Raya dengan sejumlah ketentuan. Kios-kios tersebut pada awalnya disewakan pada orang-orang lokal. Namun tiga tahun kemudian kios-kios tersebut beralih tangan kepada pedagang pendatang. Para pedagang pribumi mengalihkan hak pakai kios tersebut kepada orang lain karena usaha mereka tidak maju atau tidak mampu bersaing dengan pendatang” (Tan, 2006: 75).

Berdasarkan hasil penelitian Tan (2006), data primer, penuturan Pak SND seorang warga Desa Babakan dan Pak YYT seorang kepala Desa Babakan Raya menunjukkan bahwa pedagang makanan yang berdagang di Jalan Babakan sebagian besar adalah orang-orang pendatang dari berbagai daerah sekitar Jalan Babakan.

Struktur Nafkah Rumah Tangga Pedagang Makanan

(8)

8 | Amalia, R rumah tangga)an berdagang tan sampingan ( a tenaga rumah

ributor ayam po

ktur dan Strategi N

mempengaruh

bar 3 berikut in

p29

g Makanan di Sek

a-rata

abupaten Bogor

i pendapatan

(9)

pendapatan berdagang menyumbang lebih besar pada total pendapatan yang diperoleh selama satu tahun. Berdasarkan gambar 4 juga menunjukkan bahwa struktur pendapatan pada setiap golongan tingkat pendapatan rumah tangga berbeda, karena sumber nafkah yang diakses oleh anggota rumah tangga berbeda pula karena asing-masing kategori tingkat pendapatan rumah tangga mempunyai pekerjaan sampingan yang berbeda-beda. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah melakukan pekerjaan sampingan sebagai buruh cuci, tukang pijit, penjual jamu gendong, atau penjual es; pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga yang sedang melakukan pekerjaan sampingan sebagai sopir, penjual buah potong, penjual pulsa, atau pegawai IPB; dan pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga yang tinggi melakukan pekerjaan sampingan sebagai pegawai perusahaan, penyewaan kamar kos, usaha salon, atau distributor ayam potong.

Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi pendapatan yang berasal dari usaha berdagang makanan dan semakin rendah kontribusi pendapatan sampingan. Hal ini terjadi karena pada rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah mempunyai keterbatasan untuk mengakses pekerjaan sampingan yang layak dan

sumber nafkah yang secure, sehingga mereka

menggantungkan kehidupannya pada pendapatan berdagang. Pada gambar 4 juga menunjukkan bahwa semua kategori rumah tangga melakukan pola nafkah ganda, hal ini menunjukkan bahwa pendapatan dari berdagang tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga atau

pendapatan berdagang dirasakan kurang stabil dan secure.

Pola nafkah ganda yang dilakukan oleh masing-masing golongan rumah tangga mempunyai perbedaan. Pada kategori rumah tangga yang tingkat pendapatannya rendah membangun pola ganda dengan cara suami-istri bekerja di sektor informal yang berlainan jenis misalnya suami bekerja sebagai pedagang makanan sedangkan istri bekerja sebagai penjual jamu gendong. Pada kategori rumah tangga yang tingkat pendapatannya sedang membangun pola ganda dengan cara suami-istri bekerja sebagai pedagang makanan di sektor informal. Pada kategori rumah tangga yang tingkat pendapatannya tinggi membangun pola ganda dengan cara suami-istri bekerja di sektor yang berlainan jenis yaitu formal-informal.

Tingkat Kemiskinan Pedagang Makanan

Garis kemiskinan mempunyai ukuran yang berbeda-beda tergantung madzab siapa yang digunakan dalam mengukur tingkat kemiskinan tersebut, misalnya ukuran garis kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo, Badan Pusat Statistik (BPS), dan World Bank. Sementara itu, Kemiskinan dalam pengertian konvensional adalah apabila pendapatan suatu komunitas berada di bawah satu garis kemiskinan (Kurniawan 2004 dikutip Sukandar, Suhanda, Amalia, Khairunnisa 2008: 94). Ukuran kemiskinan menurut World Bank adalah USD $2,00 per

orang per hari. Dari ukuran tersebut maka berdasarkan tabel 3 berikut ini dapat dijelaskan tingkat kemiskinan menurut jenis usaha berdagang dan kategori tingkat pendapatan. Berdasarkan tabel 3 berikut dapat diketahui bahwa pendapatan total per kapita per hari pada anggota rumah tangga yang jenis usaha berdagang mempekerjakan diri sendiri maupun jenis usaha berdagang yang memiliki pegawai sudah berada di atas garis kemiskinan menurut World Bank yaitu $2,00 per kapita per hari atau ± Rp20.000 per kapita per hari.

Tabel 3. Jumlah pendapatan per kapita rumah tangga responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan jenis usaha, tahun 2012

Jenis usaha Rupiah per kapita per hari sendiri

(n=6)

memiliki pegawai (n=29) Pendapatan

berdagang 21.000 46.000 Pendapatan

sampingan 6.000 27.000

Total 27.000 73.000

Sumber: data primer

Pendapatan per kapita setiap anggota rumah tangga yang jenis usaha berdagang mempekerjakan diri sendiri adalah Rp21.000 per kapita per hari, sedangkan pendapatan per kapita setiap anggota rumah tangga yang jenis usaha berdagang memiliki pegawai adalah Rp47.000 per kapita per hari. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa baik pedagang makanan yang mempekerjakan diri sendiri dan yang memiliki pegawai termasuk berada di atas garis kemiskinan, karena telah berada di atas angka $2,00 per kapita per hari atau ± Rp20.000 per kapita per hari. Tingkat kemiskinan juga dapat dilihat berdasarkan kategori tingkat pendapatan per kapita per hari.

Tabel 4. Jumlah pendapatan per kapita rumah tangga responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan kategori tingkat pendapatan rumah tangga, tahun 2012

Jenis usaha

Rupiah per kapita per hari Rendah

(n=11)

Sedang (n=18)

Tinggi (n=6)

Pendapatan

berdagang 16.700 40.000 94.000

Pendapatan

sampingan 3.800 13.000 90.000

Total 20.500 53.000 184.000

Sumber: data primer

(10)

43

44

kapita per hari dan tinggi sebesar Rp184.000 per kapita per hari. Berdasarkan data pada tabel 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa semua anggota rumah tangga yang tergolong dalam rumah tangga yang tingkat pendapatannya rendah, sedang dan tinggi telah berada di atas garis kemiskinan..

10 | Amalia, Rizka. et. al.Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor

Pengeluaran Rumah Tangga Pedagang Makanan

Pengambilan data pengeluaran responden dibedakan menjadi biaya konsumsi seperti biaya rokok, buah, dan makanan pokok serta biaya konsumsi non pangan seperti biaya pendidikan, sewa rumah, listrik, kesehatan, baju dan pulsa. Jumlah biaya konsumsi dan konsumsi non pangan per tahun disebut sebagai pengeluaran rumah tangga per tahun. Berdasarkan gambar 5 menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga tertinggi adalah Rp117.000.000 per tahun yang dikeluarkan oleh rumah tangga yang tergolong dalam tingkat pendapatan tinggi, kemudian pengeluaran sebesar Rp41.000.000 per tahun dikeluarkan oleh rumah tangga yang tergolong dalam tingkat pendapatan sedang, dan tingkat pengeluaran paling rendah adalah Rp 22.000.000 per tahun yang dikeluarkan oleh rumah tangga yang tergolong dalam tingkat pendapatan rendah. Sebagai contoh Ibu NA (38 tahun) merupakan responden yang mempunyai

pendapatan tinggi menyatakan bahwa, “pengeluaran sih

banyak seperti pengeluaran untuk bensin mobil dan biaya sekolah anak saya, karena anak saya sekolahnya di sekolah favorit”. Berdasarkan pernyataan Ibu NA tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tinggi maka pengeluaran tinggi, hal ini bertujuan untuk mencukupi kebutuhan yang bersifat mewah (kebutuhan tersier) yaitu bensin mobil pribadi dan sekolah yang favorit.

Sumber: data primer

Gambar 10. Rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun berdasarkan kategori tingkat pendapatan rumah tangga pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012

Berdasarkan gambar 5 dapat disimpulkan secara umum bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga

maka semakin tinggi pengeluaran rumah tangga. Tingginya pengeluaran rumah tangga ini disebabkan daya beli yang tinggi pada suatu barang atau jasa mewah tertentu.

Kapasitas Menabung Pedagang Makanan di Sektor Informal

Selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pedagang makanan per tahun disebut sebagai kapasitas

menabung (saving capacity). Pendapatan rumah tangga

dibangun oleh dua pendapatan yaitu pendapatan dari berdagang dan sampingan. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga rendah mendapatkan pendapatan berdagang dengan cara berdagang menggunakan gerobak atau tenda yang dibongkar setelah dagangannya habis serta melakukan usaha sampingan berupa menjual jamu gendong, tukang pijit, atau menjual es. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga sedang mendapatkan pendapatan berdagang dengan cara berdagang menggunakan lahan sewa dengan bangunan permanen serta melakukan usaha sampingan menjadi sopir, pegawai IPB, atau menjual pulsa. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga tinggi mendapatkan pendapatan berdagang dengan cara berdagang menggunakan lahan sendiri atau sewa dengan bangunan permanen serta melakukan usaha sampingan menjadi distributor ayam potong, mendirikan usaha salon, atau menyewakan kamar kos. Pada tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi golongan tingkat pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi pengeluaran rumah tangga. Semakin tinggi golongan tingkat pendapatan maka semakin tinggi juga selisih antara pengeluaran dan pendapatan rumah tangga. Selisih ini dapat diartikan sebagai kapasitas menabung.

Rp22 Rp41

Rp117

Rp0 Rp20 Rp40 Rp60 Rp80 Rp100 Rp120 Rp140

rendah (n=11) sedang (n=18) tinggi (n=6)

ju

ta rup

ia

h

rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun

Tabel 5. Jumlah saving capacity rumah tangga responden

pedagang makanan di Jalan Babakan menurut kategori tingkat pendapatan, tahun 2012

Kategori

rendah (n=11)

sedang

(n=18) tinggi (n=6)

Pendapatan rumah tangga

per tahun Rp28.000.000 Rp71.000.000 Rp248.000.000 Pengeluaran

rumah tangga

per tahun Rp22.000.000 Rp41.000.000 Rp117.000.000 Saving

Capacity per

tahun Rp6.000.000 Rp30.000.000 Rp131.000.000

Saving Capacity per

bulan Rp 500.000 Rp2.500.000 Rp10.900.000

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan bahwa pada kategori rumah tangga berpendapatan rendah mempunyai

kapasitas menabung (saving capacity) hanya sebesar Rp

(11)

kapasitas menabung (saving capacity) sebesar Rp10.900.000 per bulan. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga rendah mempunyai kapasitas menabung yang rendah karena pendapatan berdagang dilakukan dengan cara berdagang menggunakan gerobak atau tenda yang dibongkar setelah dagangannya habis serta melakukan usaha sampingan berupa menjual jamu gendong, tukang pijit, atau menjual es. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga sedang mempunyai kapasitas menabung yang sedang karena mendapatkan pendapatan berdagang dengan cara berdagang menggunakan lahan sewa dengan bangunan permanen serta melakukan usaha sampingan menjadi sopir, pegawai IPB, atau menjual pulsa. Sementara itu, pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga tinggi mempunyai kapasitas menabung yang tinggi karena mendapatkan pendapatan berdagang dengan cara berdagang menggunakan lahan sendiri atau sewa dengan bangunan permanen serta melakukan usaha sampingan menjadi distributor ayam potong, mendirikan usaha salon, atau menyewakan kamar kos.

Kapasitas menabung yang dimiliki oleh pedagang makanan diinvestasikan ke dalam dua bentuk investasi yaitu pertama, investasi berupa barang seperti alat elektonik dan perhiasan. Investasi berbentuk barang ini dilakukan karena barang-barang ini mudah dicairkan ketika para pedagang makanan mengalami krisis finansial. Kedua, investasi berbentuk menyekolahkan anggota keluarga karena pedagang makanan berusaha menaikkan status sosial.

Sumber Nafkah Rumah Tangga Pedagang Makanan

Ellis (2000) menyatakan bahwa terdapat lima jenis modal yang diidentifikasi sebagai basis sumber nafkah untuk membangun strategi nafkah. Kelima modal tersebut adalah modal alam, fisik, sumber daya manusia, finansial dan sosial. Modal alam mengacu pada sumber daya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan hidup mereka. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka.

Sementara itu, Dharmawan (2007) menyatakan bahwa keberadaan struktur sosial-ekonomi sebagai faktor tunggal penentu sebuah strategi nafkah, sehingga sistem nafkah (kumpulan strategi nafkah) merupakan respon adaptif-reaktif masyarakat atas tekanan perubahan struktur ekonomi dan institusional yang membelenggu sistem penghidupan mereka. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa strategi nafkah dibentuk oleh lima basis sumber nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia,

finansial dan sosial) yang dipengaruhi oleh keberadaan struktur sosial-ekonomi. Setiap sistem penghidupan yang dibangun oleh rumah tangga selalu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh lima basis nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia, finansial dan sosial) yang telah mengalami tekanan akibat perbedaan struktur sosial-ekonomi.

Berkurangnya sumber nafkah dan tekanan struktur sosial-ekonomi yang mendorong rumah tangga memanipulasi dan mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa diakses. Basis nafkah rumah tangga pedagang makanan untuk membangun sistem nafkah terdiri dari lima sumber nafkah yaitu modal alam, fisik, sumber daya manusia, finansial dan sosial. Pertama, modal alam berupa pemanfaatan lahan yang digunakan dalam menjalankan

usaha berdagang makanan seperti public area, lahan sewa

atau lahan miliki sendiri. Kedua, modal fisik berupa wujud fisik bangunan yang digunakan dalam berdagang seperti mendirikan tenda atau bangunan tembok. Ketiga, modal sumber daya manusia berupa pendidikan terakhir yang ditempuh pedagang makanan dan jumlah pegawai yang dipekerjakan dalam menjalankan usaha berdagang. Keempat, modal finansial berupa uang yang digunakan dalam menjalankan usaha berdagang dalam kurun waktu satu hari, Kelima, modal sosial berupa jumlah mitra kerja yang membantu mengeksistensikan usaha berdagang seperti pemasok bahan, pemodal usaha berdagang dan mitra usaha.

Tabel 6. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tingkat sumber nafkah dan strategi nafkah, tahun 2012

Tingkat strategi nafkah

Tingkat sumber nafkah

Total Tinggi Sedang Rendah

Rendah (< 6 strategi) 0 3 1 4

Sedang (= 6 strategi) 2 6 5 13

Tinggi (> 6 strategi) 2 10 6 18

Total 4 19 12 35

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat sumber nafkah maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga. Beragamnya strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah disebabkan adanya untuk mencapai tingkat keamanan dalam kehidupan secara ekonomi. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tabel 6 menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa diduga semakin banyak sumber nafkah yang dimanfaatkan maka semakin banyak bentuk strategi yang dilakukan oleh pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan untuk mempertahankan kehidupan, dapat diterima.

(12)

12 | Amalia, Rizka. et. al.Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor

bertujuan untuk akumulasi kekayaan, sedangkan Variasi strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga pedagang makanan yang tergolong dalam tingkat pendapatan rendah, bertujuan untuk mencapai tingkat keamanan dalam kehidupan secara ekonomi. Hasil ini sejalan dengan penelitian strategi nafkah rumah tangga petani perkebunan rakyat yang dilakukan Mashitoh (2005) yang menyatakan bahwa bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh petani lapisan bawah lebih beragam daripada bentuk strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga petani pada lapisan atas. Rumah tangga petani lapisan bawah memiliki keterbatasan dalam penguasaan sumber nafkah sehingga mereka menerapkan kombinasi dari berbagai bentuk strategi nafkah. Perbedaan keberagaman strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga petani pada setiap lapisan disebabkan oleh perbedaan keberadaan dimensi strategi nafkah dan sumber nafkah.

Alasan Pedagang Makanan Bertahan di Lahan Umum

Pedagang dapat memanfaatkan lahan milik sendiri, sewa

atau public area seperti trotoar dan pinggir jalan.

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa dari 6 pedagang makanan yang mempekerjakan diri sendiri terdapat 3

pedagang makanan yang memanfaatkan public area.

Sementara itu dari 29 pedagang makanan yang mempekerjakan pegawai terdapat 9 pedagang makanan

yang memanfaatkan public area. Dari data pedagang

makanan yang memanfaatkan public area tersebut jika

dijumlahkan, maka dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat 12 atau 34,3% pedagang makanan yang

memanfaatkan public area, namun baik pedagang

makanan yang mempekerjakan diri sendiri atau

mempekerjakan pegawai yang memanfaatkan public area

tetap bertahan berdagang makanan di public area.

Dari kesimpulan tabel 7 maka perlu diketahui alasan mengapa pada pedagang makanan yang mempekerjakan diri sendiri atau mempekerjakan pegawai tetap bertahan

berdagang makanan di public area. Tabel 8 menunjukkan

jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut alasan bernafkah dan pemanfaatan lahan berdagang.

Tabel 7. Jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tenaga kerja yang dipekerjakan dan pemanfaatan lahan berdagang, tahun 2012

Tenaga Kerja Pemanfaatan lahan Berdagang

Total Milik

sendiri

Lahan sewa

Public area

Mempekerjakan diri sendiri

1 2 3 6

Mempekerjakan pegawai

3 17 9 29

Total 4 19 12 35

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 12 pedagang yang berdagang di area publik yaitu pinggir jalan dan trotoar, terdapat 12 pedagang yang mempunyai alasan bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup. Sementara itu, tabel 8di atas juga menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan di Jalan Babakan, terdapat 80% pedagang makanan yang bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar pedagang makanaan bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup, sedangkan semua

pedagang makanan yang berdagang di public area

mempunyai alasan tetap bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup.

Tabel 8. Jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut alasan bernafkah dan status penguasaan lahan, tahun 2012

Status Penguasaan Lahan

Alasan bernafkah Total Menambah

kekayaan

Tuntutan hidup

Milik sendiri 1 3 4

Lahan sewa 6 13 19

Area publik 0 12 12

Total 7 28 35

Sumber: data primer

Hasil dari analisis data kuantitaif ini diperkuat dengan contoh kasus Ibu NAR (41 tahun).

“Katanya IPB akan menggusur pedagang-pedagang seperti saya Mbak. Ya, saya harus bagaimana jika nanti itu benar-benar terjadi. Saya berfikir bagaimana keadaan saya nanti. Saya mencari makan dari berdagang

seperti ini Mbak. Malah akhir-akhir ini pegawai desa semakin menekan pedagang seperti saya dengan 12ias12an katanya pedagang seperti saya itu 12ias berjualan berkat pertolongan dari desa. Makanya Mbak pegawai desa mau menaikan uang retribusi dari Rp3500 per hari Rp10.000 per hari jika tidak membayar katanya saya disuruh tidak berjualan di sini. Berjualan seperti ini dengan beban menghidupi dua anak yang baru masuk SMK itu sangatlah sulit, makanya Mbak, saya menggadaikan surat rumah dan menjual perhiasan untuk biaya sekolah anak saya dan juga digunakan sebagai modal usaha berdagang. Akibat dari itu, hingga sampai saat ini saya masih harus menyicil Rp600.000 per bulan pada penggadaian”(NAR, 41 tahun).

Contoh kasus Ibu NAR yang merupakan pedagang makanan yang berdagang di trotoar, penuturan Ibu NAR menunjukkan bahwa Ibu NAR masih bertahan berdagang makanan di trotoar walaupun adanya resiko penggusuran, karena adanya tuntutan hidup untuk menafkahi kedua anaknya. Bagi Ibu NAR trotoar adalah sumber nafkah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan kehidupan agar bisa bertahan hidup.

(13)

maka pekerja informal melanjutkan usaha berdagang makanan sekalipun di area publik, dapat diterima.

Tabel 9. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tingkat alasan bernafkah dan tingkat strategi nafkah, tahun 2012

Tingkat strategi nafkah

Tingkat alasan bernafkah Total Tinggi

(tuntutan hidup)

Rendah (menambah kekayaan)

Rendah 4 0 4

Sedang 10 3 13

Tinggi 14 4 18

Total 28 7 35

Sumber: data primer

Berdasarkan tabel 9 menunjukkan bahwa karena alasan adanya tuntutan kehidupan atau bertahan hidup maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga pedagang makanan di Jalan Babakan. Hal ini disebabkan keterbatasan sumber nafkah yang digunakan sebagai basis nafkah. Keterbatasan sumber nafkah ini memaksa pedagang makanan harus memanipulasi pemanfaatan sumber nafkah yang ada sampai batas maksimal pemanfaatan sebagai basis strategi nafkah

.

Strategi Nafkah Pedagang Makanan

Strategi nafkah yang dibangun oleh pedagang makanan terdiri atas: pola nafkah ganda, strategi mengeksploitasi diri, strategi menekan biaya berdagang, strategi pemanfaatan lahan, strategi mempekerjakan anggota keluarga, strategi pembagian kerja, strategi ekspansi usaha, serta strategi berhutang dan mencairkan investasi serta strategi mengamankan usaha bisnis makanan.

1.Strategi pola nafkah ganda

Pola nafkah ganda yang berlangsung pada rumah tangga pedagang makanan adalah sebagai berikut. Pertama, suami-istri yang masing-masing bekerja dalam satu sektor informal yaitu berdagang makanan. Strategi nafkah pola nafkah ganda dengan bentuk ini dilakukan oleh rumah tangga yang anggota rumah tangga mempunyai tingkat pendidikan rendah dan sedang. Kedua, suami-istri bekerja di sektor informal namun berlainan jenis sektor informal yang diusahakan. Strategi nafkah pola nafkah ganda dengan bentuk ini dilakukan oleh rumah tangga yang anggota rumah tangga mempunyai tingkat pendidikan rendah dan sangat rendah. Ketiga, suami-istri bekerja di sektor yang berlainan yaitu antara sektor informal dan formal.

2.Strategi mengeksploitasi diri

Strategi mengeksploitasi diri merupakan strategi yang dilakukan pedagang makanan melalui pemerasan tenaga dari tubuh agar pendapatan yang mereka peroleh bertambah. Tujuan dari strategi mengeksploitasi diri dengan bekerja di dua jenis sektor informal berbeda ini, untuk mendapatkan pendapatan tambahan untuk mencukupi kebutuhan

rumah tangga. Strategi mengeksploitasi diri ini dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Pada rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah mempunyai sumber nafkah berupa modal finansial dan tingkat pendidikannya rendah, sehingga rumah tangga tersebut hanya mampu memanipulasi secara maksimal sumber nafkah berupa kekuatan dalam diri untuk dieksploitasi agar bisa mendatangkan banyak pendapatan.

3. Strategi menekan biaya berdagang

Penekanan biaya berdagang ini dimaksudkan agar biaya yang dikeluarkan untuk berdagang menjadi berkurang. Penekanan biaya berdagang yang dilakukan sebagai berikut: pertama, pedagang juga menekan biaya transportasi yaitu dengan cara tinggal di tempat yang dekat dengan tempat berdagang; kedua, menekan biaya sewa rumah dan tempat berdagang; ketiga, pedagang menekan biaya transportasi yaitu dengan cara tinggal di satu bangunan yang sama dengan tempat berdagang; keempat, pedagang menekan biaya dengan menjual makanan dagangang sisa sebelumnya.

4. Strategi pemanfaatan lahan

Strategi pemanfaatan lahan, berjualan di lahan umum yaitu di trotoar dipilih karena berdagang di trotoar lebih mengguntungkan akibat tata letak yang dekat dengan konsumen, sedangkan berdagang di lahan umum yaitu di trotoar mempunyai banyak resiko. Sementara itu, berdasarkan observasi di lapang biasanya pedagang yang berdagang di lahan umum (trotoar dan pinggir jalan) ini adalah pedagang yang berdagang menggunakan gerobak atau mendirikan tenda sementara.

5. Strategi mempekerjakan anggota keluarga.

Strategi memperjakan anggota keluarga, mempekerjakan anggota keluarga dimaksudkan untuk mengamankan usaha berdagangnya karena ada aspek dari pegawai yang bisa dipercaya yaitu tentang sikap dan moral pegawai tersebut. Sementara itu, upah diberikan kepada anggota keluarga yang dipekerjakan ditujukan untuk membantu orang tuanya, di mana dengan menggaji anggota keluarga maka anggota keluarga tidak lagi membebani keluarga dan rumah tangganya.

6. Strategi pembagian kerja

(14)

14 | Amalia, Rizka. et. al.Struktur dan Strategi Nafkah Pedagang Makanan di Sektor Informal Daerah Suburban Kabupaten Bogor

kerja ini dipilih oleh rumah tangga pedagang makanan yang mempunyai cukup modal finansial untuk membayar jasa tenaga kerja.

7. Strategi ekspansi usaha

Strategi Ekspansi usaha berdagang ini dilakukan oleh pedagang yang mempunyai tingkat pendapatan rumah tangga tergolong sedang dan tinggi, sehingga dapat dipastikan bahwa rumah tangga pedagang makanan yang melakukan strategi ekspansi usaha ini adalah mereka yang mempunyai modal finansial yang lebih dari cukup. Ekspansi usaha dimaksudkan untuk menambah pendapatan berdagang dan sebagai sarana investasi. Ekspansi usaha dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekspansi usaha berdagang makanan dan ekspansi usaha dalam bentuk lain selain usaha berdagang.

8. Strategi berhutang dan mencairkan investasi

Strategi berhutang dan mencairkan investasi berkaitan dengan modal finansial yang dimiliki oleh pedagang makanan dalam menjalankan usaha berdagang makanannya ketika masa sulit.

9. Strategi mengamankan usaha bisnis makanan

Strategi mengamankan usaha bisnis berdagang makanan yang dilakukan oleh pekerja sektor informal adalah jaminan keamanan usaha bisnis makanan dari aparat desa, IPB, preman (penguasa lahan) dan pemilik lahan. Strategi mengamankan usaha bisnis makanan ini dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan agar mereka terhindar dari penggusuran dan relokasi.

Berdasarkan kisah strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh golongan tingkat pendapatan rumah tangga tinggi, sedang dan rendah menunjukkan perbedaan.

Pengelolaan Surplus Pendapatan Pekerja Sektor Informal

Cara investasi yang dilakukan oleh pedagang makanan tidak hanya dengan menginvestasikan kapasitas menabung pada barang-barang berharga yang kasat mata, tetapi juga diinvestasikan dalam bentuk menyekolahkan anak. Berdasarkan tabel 10 menunjukkan bahwa ragam investasi pada rumah tangga pedagang makanan yang

tergolong pada tingkat saving capacity rendah dan sedang

adalah menabung di rumah, menabung di bank, menabung di lembaga lain (arisan), membeli alat elektronik, membeli hewan dan membeli perhiasan. Cara investasi ini dipilih oleh rumah tangga pedagang yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah dan sedang karena mudahnya akses mencairkan investasi tersebut menjadi uang ketika masa krisis/sulit. Sementara itu, ragam investasi pada rumah tangga pedagang makanan

yang tergolong pada tingkat saving capacity adalah

menabung di rumah, menabung di bank, membeli alat elektronik, membeli perhiasan, membeli rumah, membeli sawah/lahan, dan ekspansi usaha. Hal itu menunjukkan bahwa pada rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan tinggi juga melakukan ragam investasi yang sama dengan rumah tangga

pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah dan sedang. Sementara itu, ragam investasi yang membedakan antara rumah tangga pedagang makanan tingkat pendapatan tinggi dan sedang atau rendah adalah membeli rumah, membeli sawah/lahan, dan ekspansi usaha. Alasan ragam investasi ini dilakukan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Ragam investasi berupa membeli rumah, membeli sawah/lahan, dan ekspansi usaha hanya bisa dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan tinggi karena kapasitas menabung yang dimiliki juga tinggi.

Tabel 10. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan

Babakan menurut tingkat saving capacity dan

ragam investasi, tahun 2012

Ragam investasi Tingkat saving capacity

Total rendah sedang tinggi

Menabung di rumah 6 4 0 10

Menabung di rumah dan di bank, serta membeli alat elektronik

2 3 1 6

Menabung di rumah

dan di bank 2 1 0 3

Menabung lembaga

lainnya (arisan) 1 2 0 3

Membeli alat elektronik 0 1 0 1

Menabung di rumah dan di bank, membeli alat elektronik, dan membeli hewan

1 1 0 2

Menabung di rumah dan di bank, membeli alat elektronik dan membeli perhiasan

1 5 1 7

Menabung di rumah dan di bank, membeli alat elektronik, membeli perhiasan, dan membeli rumah

0 0 1 1

Menabung di rumah dan di bank, membeli alat elektronik, membeli perhiasan, membeli rumah, sawah/lahan, dan ekspansi usaha

0 0 1 1

Ekspansi usaha 0 0 1 1

Total 13 17 5 35

Sumber: data primer

(15)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan tujuan dan masalah penelitian yang telah disusun di pendahuluan, maka terdapat tiga kesimpulan untuk menjawah masalah penelitian tersebut yaitu: (1) strategi-strategi yang dilakukan oleh pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan di Jalan Babakan untuk mempertahankan kehidupan adalah pola nafkah ganda, strategi mengeksploitasi diri, strategi menekan biaya berdagang, strategi pemanfaatan lahan, strategi mempekrjakan anggota keluarga, strategi pembagian kerja, strategi ekspansi usaha, serta strategi berhutang dan mencairkan investasi serta strategi mengamankan usaha bisnis makanan; (2) sebab-sebab pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan di Jalan Babakan bertahan di lahan umum adalah adanya tuntutan hidup, tetapi sebab-sebab pekerja sektor informal memilih bertahan berdagang makanan di Jalan Babakan adalah ingin menambah kekayaan, dan adanya tuntutan hidup. Sebagian besar pedagang makanan di Jalan Babakan menjalankan usaha makanan bertempat di lahan yang bukan miliknya sendiri dan mempunyai alasan untuk

memenuhi tuntutan hidup; (3) cara pengelolaan surplus

pendapatan para pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan di Jalan Babakan adalah menabung di rumah, menabung di bank, membeli alat elektronik, membeli hewan, membeli perhiasan, membeli rumah, membeli sawah/lahan, dan ekspansi usaha serta menyekolahkan anggota keluarga.

Saran

Bagi akademisi, diharapkan mengkaji lebih lanjut atas solusi yang tepat dalam pengakomodiran pedagang makanan di daerah suburban, mengingat bahwa ternyata pendapatan pedagang makanan dapat membantu penghidupan kaum bawah dan dapat menambah pendapatan desa. Bagi pemerintah Kabupaten Bogor, diharapkan selalu mempertimbangkan penertiban pedagang makanan di trotoar dan pinggir jalan secara frontal. Sebaiknya pedagang makanan di pinggir jalan diakomodir secara tertib dan berkelanjutan karena mengingat bahwa pendapatan dari berdagang makan dapat meningkatkan pendapatan per kapita anggota rumah tangga pedagang makan.

DAFTAR PUSTAKA

Breman J,. 1980. The informal sector in research, theory and practise, comparative asian studies program publication No.III. Sektor Informal dalam urbanisasi, pengangguran, dan sektor informal di kota. Manning C dan Effendi TN. Jakarta [ID]: PT Gramedia. 138-181.

Dharmawan, A.H., 2007. Sistem penghidupan dan nafkah

pedesaan: pandangan sosiologi nafkah (livellihood

sociology) mazhab Barat dan mazhab Bogor. [internet]. [diunduh 11 Maret 2012]. Bogor [ID]:

Institut Pertanian Bogor. ISSN: 1987-4333, vol. 01, no. 2. dapat diunduh dari:

http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi2-1.pdf

Ellis, F., 2000. Rural livehoods and diversity in

developing countries. New York: Oxford University press

Hart, K., 1973. Informal income opportunities and urban employment in Ghana. Sektor Informal dalam urbanisasi, pengangguran, dan sektor informal di kota. Manning C dan Effendi TN. Jakarta[ID]: PT Gramedia. 78-89

Iqbal, M., 2004. Strategi nafkah rumahtangga nelayan (studi kasus di dua desa nelayan tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur). [Tesis]. Bogor[ID]: Institut Pertanian Bogor. 1-183

Mashithoh, A.D., 2005. Analisis strategi nafkah rumahtangga petani perkebunan rakyat (suatu kajian perbandingan: komunitas petani perkebunan teh Ciguha Jawa Barat dan komunitas petani perkebunan tebu Puri Jawa Timur. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 1-130

McGee. T.G., 1971. The urbanization process in the third world. Sektor Informal dalam urbanisasi, pengangguran, dan sektor informal di kota. Manning C dan Effendi TN. Jakarta[ID]: PT Gramedia. 34-60

Musyarofah, S.A., 2006. Strategi nafkah rumahtangga miskin perkotaan (studi kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara). [skripsi]. Bogor[ID]: Institut Pertanian Bogor. 1-146

Singarimbun, M., Effendi, S. 2008. Metode penelitian survei. Jakarta [ID]: LP3ES. 1-336

Sukandar, D., Suhanda, N.S., Amalia, L., Khairunnisa., 2008. Analisis diskriminasi untuk menentukan indikator garis kemiskinan. [jurnal]. Bogor[ID]. Institut Pertanian Bogor. 94-100

Suwartika, R., 2003. Struktur modal usaha dan fungsi modal sosial dalam strategi bertahan hidup pekerja migran di sektor informal (studi kasus Kecamatan Pelabuhan Ratu Dan Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor[ID]: Institut Pertanian Bogor. 1-127

Tan, S.S., 2006. Strategi adaptasi komunitas lokal menanggapi kehadiran kampus IPB di Darmaga (Studi kasus komunitas Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor). [Tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 1-155

(16)

Gambar

Gambar 1. Bagan alir strategi nafkah sektor informal di daerah suburban
Gambar 2. Tingkat pendidikan responden pedagang
Tabel 1. Frekuensi dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan jenis kelamin, tahun 2012
Gambar 3. GGrafik jumlah
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Pedagang Waralaba Dalam Merekrut Pelanggan (Studi Deskripsi : Pedagang Tela-Tela Fried Cassava di Jalan Gatot Subroto, Kelurahan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi komunikasi dalam penataan pedagang kaki lima di Shelter Guyub Rukun

Inventarisasi dan Identifikasi Tumbuhan Anggrek (Orchidaceae) di Pedagang Anggrek Se Eks Kotatif Jember Sebagai Sumber Belajar Untuk Menyusun Strategi Pembelajaran

Untuk itu penelitian ini bertujuan ingin: (1) menganalisis perbedaan strategi komunikasi pedagang kaki lima perantau Minangkabau dengan penduduk asli di Pasar Jatibarang,

bagaimana strategi pelayanan pelanggan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima. dalam meningkatkan

Mengetahui bagaimana strategi Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan Kota Sukabumi dalam Penataan Pedagang Kaki Lima, khususnya Penataan PKL yang berada di Jalan

† Satu tinjauan tentang strategi Perlawanan yang dibuat oleh tentara Indonesia pada 1983 menyebutkan bahwa tujuan perang yang dilancarkan oleh Fretilin adalah: (a)

peak season adalah dengan memanfaatkan akumulasi pendapatan dan menambah stok makanan dan minuman; sedangkan strategi penghidupan pedagang kaki lima angkringan adalah