2.1.
KONSEP PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PROGRAM DIRJEN
CIPTA KARYA
Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan,
konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan
berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat perencanaan pembangunan.
Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota perlu memahami arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan,
pemrograman, dan pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.
Konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya, membagi amanat
pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan
ruang/spasial, amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat pembangunan
Bidang Pekerjaan Umum, serta amanat internasional.
Gambar 2.1. Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
BAB
ARAHAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA
- UU No. 20/2001 tentang Rumah Susun - UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung - UU No. 18/2008 tentang PengelolaanPersampahan
- UU No. 7/2004 tentang SDA
- PP No. 18/2005 tentang Pengembangan SPAM - PP 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah sejenis - PP 36/2005 tentang Peraturan
- Standar Pelayanan Minimal Bidang PU dan Penataan Ruang
A.Rencana dan Program Bidang CK B.Pelaksanaan Pembangunan Bidang CK
Permukiman yang
Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan
pada beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi
birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green economy.
Disamping isu umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masing-masing daerah,
sehingga dukungan seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat
diperlukan.
2.2.
AMANAT PEMBANGUNAN NASIONAL
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional
karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka
kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya
berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.
2.2.1.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen
perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara
menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam
dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang
Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal
sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu :
a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air
minum dan sanitasi diarahkan ntuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat
serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi,
pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan
kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive
approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup,
sumber daya air, serta kesehatan.
b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1)
peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum
dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi
masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan
profesional, dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air
minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan
pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana
dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan
makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.
d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN,
yaitu:
• RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui percepatan
pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah
dan dunia usaha dalam pengembangan perumahan dan permukiman.
• RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat
terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang
dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya
kota tanpa permukiman kumuh.
• RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.
2.2.2.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010
menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi
masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang
layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H,pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi
masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan
sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.Dokumen
RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur permukiman pada periode
2010-2014, yaitu:
a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014, dengan
perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum non-perpipaan
terlindungi 38 %.
b. Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir tahun 2014,
yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem pengelolaan air limbah terpusat
(off-site) bagi 10% total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat
skala kota sebesar 5% maupun sistem pengelolaan air limbah terpusat skala komunal
sebesar 5 % serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air
limbah setempat (on-site) yang layak bagi 90 % total penduduk.
c. Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di daerah
d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk
meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai,
melalui:
a. menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
b. memastikan ketersediaan air baku air minum,
c. meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,
d. meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air limbah, dan
pengelolaan persampahan,
e. meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,
f. meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,
g. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS),
h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,
i. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j. mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3.
Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI)
Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan
ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres
No. 32 Tahun 2011. Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan
sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi
(KPI MP3EI). Ditjen Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur
permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut.
Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan
ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor
konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi,
pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan
faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.
A. Peningkatan Potensi Ekonomi Wilayah Melalui Koridor Ekonomi
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia diselenggarakan
berdasarkan pendekatan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, baik yang telah
ada maupun yang baru. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan
sektoral dan regional. Setiap wilayah mengembangkan produk yang menjadi keunggulannya.
memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta
memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan mengembangkan
klaster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan
tersebut disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan
antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi serta infrastruktur
pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan konektivitas
tersebut menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia. Peningkatan potensi ekonomi wilayah
melalui koridor ekonomi ini menjadi salah satu dari tiga strategi utama (pilar utama).
Gambar 2.2. Ilustrasi Koridor Ekonomi Indonesia
Dalam rangka Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi dibutuhkan penciptaan
kawasan-kawasan ekonomi baru, diluar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang telah ada.
Pemerintah dapat memberikan perlakuan khusus untuk mendukung pembangunan pusat-pusat
membiayai pembangunan sarana pendukung dan infrastruktur. Tujuan pemberian perlakuan
khusus tersebut adalah agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam
pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Perlakuan khusus tersebut antara lain meliputi : kebijakan perpajakan dan kepabeanan
peraturan ketenagakerjaan, dan perijinan sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Untuk
menghindari terjadinya enclave dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah mendorong dan mengupayakan terjadinya keterkaitan (linkage) semaksimal mungkin dengan pembangunan ekonomi di sekitar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi baru tersebut dapat berupa KEK dalam skala besar yang diharapkan
dapat dikembangkan disetiap koridor ekonomi disesuaikan dengan potensi wilayah yang
bersangkutan.
Pembangunan koridor ekonomi ini juga dapat diartikan sebagai pengembangan wilayah
untuk menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan kompetitif serta
berkelanjutan. Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia melalui
pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia memberikan penekanan baru bagi pembangunan
ekonomi wilayah.
B. Penguatan Konektivitas Nasional
Suksesnya pelaksanaan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
tersebut sangat tergantung pada kuatnya derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter
wilayah) maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia. Dengan
pertimbangan tersebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) menetapkan penguatan konektivitas nasional sebagai salah satu dari tiga strategi
utama (pilar utama).
Konektivitas Nasional merupakan pengintegrasian 4 (empat) elemen kebijakan nasional
yang terdiri dari Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas),
Pengembangan wilayah (RPJMN/RTRWN), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT).
Upaya ini perlu dilakukan agar dapat diwujudkan konektivitas nasional yang efektif, efisien, dan
terpadu. Konektivitas nasional Indonesia merupakan bagian dari konektivitas global. Oleh
karena itu, perwujudan penguatan konektivitas nasional perlu mempertimbangkan
keterhubungan Indonesia dengan dengan pusat-pusat perekonomian regional dan dunia
(global) dalam rangka meningkatkan daya saing nasional. Hal ini sangat penting dilakukan guna
memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan regional dan global/internasional.
Maksud dan tujuan Penguatan Konektivitas Nasional adalah sebagai berikut:
1. Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama untuk memaksimalkan
pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman, melalui inter-modal
2. Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland).
3. Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang inklusif dan
berkeadilan) melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal,
terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan.
Gambar 2.3. Konsep Gerbang Pelabuhan dan Bandar Udara Internasional di Masa Depan
Tabel 2.1. Komponen Konektivitas
Gambar 2.4. Visi Konektivitas Indonesia
Hasil dari pengintegrasian keempat komponen konektivitas nasional tersebut kemudian
dirumuskan visi konektivitas nasional yaitu ‘TERINTEGRASI SECARA LOKAL, TERHUBUNG
SECARA GLOBAL (LOCALLY INTEGRATED, GLOBALLY CONNECTED)’.
Gambar 2.5. Kerangka Kerja Konektivitas Nasional
Fokus Penguatan Konektivitas Nasional untuk mendukung percepatan dan perluasan
2.2.4.
Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pengentasan
Kemiskinan Indonesia (MP3KI)
Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi
dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI
dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju
penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di
semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan
kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:
a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu
melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,
b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin
dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan regional dengan
memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam
pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
(PNPM-Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.
• Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (Ekonomi Makro)
Komponen Saat ini MP3KI
2013-1014 2015-2025
A. Mekanisme Ekonomi
- Pertumbuhan
Ekonomi Pertumbuhan inklusif (MP3EI)
- Stabilitas Ekonomi Makro
Pengendalian Inflasi dan Kesinambungan fiskal untuk menjaga daya beli masyarakat
B. Afirmasi
(Keberpihakan)
- Program 4 Klaster Belum terpadu lokasi dan waktu, terutama untuk kantong kemiskinan
• Terpadu pada lokasi & waktu, terutama
Peningkatan income generating activities (wirausaha, financial inclusion, dan supply chain
MP3EI)
-Dukungan Data belum terpadu Data sasaran terintegrasi (PPLS), bertahap
menuju social security number (e-KTP)
• Agenda Transformasi Penanggulangan Kemiskinan MP3KI 2013-2025 dan RPJMN 2015-2025
• Instrumen MP3KI Jangka Pendek-Menengah
- 157 Kecamatan Kemiskinan (Quick Wins)
- 273 Kecamatan - Pendanaan: anggaran K/L di
lokasi pilot
Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (
Livelihood
)Ketiga instrumen dilaksanakan dengan menggunakan platform PNPM
1. Peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia masyarakat miskin perdesaan dan perkotaan
2. Pengembangan dan diversifikasi sumber usaha masyarakat miskin berbasis sumber daya alam 3. Penyediaan dan pengembangan infrastruktur dasar
terpadu, yaitu: listrik, sanitasi, air bersih, dan transportasi alternative bagi masyarakat perdesaan 4. Pemberian jaminan pelayanan dasar dan
perlindungan sosial di wilayah perdesaan, terpencil dan perbatasan
• Sinergi MP3KI dan MP3EI A) Tujuan
1. Mempercepat upaya pengurangan kemiskinan
2. Menghindarkan dan mengurangi kesenjangan pendapatan antar penduduk
B) Strategi
1. Meningkatkan efek spill over dari pusat-pusat pertumbuhan MP3EI ke wilayah
2. Meningkatkan kapasitas penduduk untuk memanfaatkan peluang
C) Implementasi (antara lain)
1. Kebijakan umum: industri padat karya dan upah minimum
2. Meningkatkan akses (transportasi) dari pusat pertumbuhan ke non pusat pertumbuhan
3. Membangun Sekolah Kejuruan dan melaksanakan berbagai diklat
kewirausahaan dan ketrampilan
4. Mendorong program kemitraan antara perusahaan dan UKM lokal
5. Mempermudah penyediaan permodalan dan pembentukan wira usaha (business
star up) serta outlet pemasaran (pasar-pasar lokal)
2.2.5.
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Menurut UU No. 39 Tahun 2009 KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan
fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan
kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi
diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga
menunjang kegiatan ekonomi di KEK. Beberapa ketentuan tentang KEK :
• KEK terdiri atas satu atau beberapa zona:
1. pengolahan ekspor; diperuntukkan bagi kegiatan logistik dan industri yang produksinya
ditujukan untuk ekspor.
2. logistik; diperuntukkan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan,
pendistribusian, perbaikan, dan perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari
luar negeri.
3. industri; diperuntukkan bagi kegiatan industri yang mengolah bahan mentah, bahan
baku, barang. setengah jadi, dan/atau barang jadi, serta agroindustri dengan nilai yang
lebih tinggi untuk penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan
industri yang produksinya untuk ekspor dan/atau untuk dalam negeri.
4. pengembangan teknologi; diperuntukkan bagi kegiatan riset dan teknologi, rancang
bangun dan rekayasa, teknologi terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di
bidang teknologi informasi.
5. pariwisata; diperuntukkan bagi kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung
penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, pameran, serta kegiatan yang terkait.
6. energi; diperuntukkan untuk kegiatan riset dan pengembangan di bidang energi serta
produksi dari energi alternatif, energi terbarukan, dan energi primer.
7. ekonomi lain; diperuntukkan untuk kegiatan lain selain huruf a sampai f yang ditetapkan
oleh Dewan Nasional.
• Lokasi KEK:
1. sesuai dengan RTRW dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung;
2. pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan mendukung KEK;
3. terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan dan pelayaran internasional
internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan;
4. mempunyai batas yang jelas.
• Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh:
1. Badan Usaha, usulan disampaikan melalui pemerintah provinsi setelah memperoleh
persetujuan pemerintah kabupaten/kota
2. pemerintah kabupaten/kota, usulan diajukan oleh pemerintah kabupaten/kota usulan
disampaikan melalui pemerintah provinsi
3. pemerintah provinsi, usulan disampaikan setelah mendapat persetujuan pemerintah
kabupaten/kota.
• Penyelenggaraan KEK:
1. pengusulan KEK;
3. pembangunan KEK;
4. pengelolaan KEK; dan
5. evaluasi pengelolaan KEK.
• Lokasi KEK:
1. dalam satu wilayah kabupaten/kota; atau
2. lintas wilayah kabupaten/kota.
• Kelengkapan dokumen Usulan pembentukan KEK:
1. deskripsi rencana pengembangan KEK yang diusulkan, paling sedikit memuat rencana
dan sumber pembiayaan serta jadwal pembangunan KEK;
2. peta detail lokasi pengembangan serta luas area KEK yang diusulkan;
3. rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK yang dilengkapi dengan peraturan zonasi;
4. studi keJayakan ekonomi dan finansial;
5. Amdal yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. usulan jangka waktu beroperasinya KEK dan rencana strategis pengembangan KEK;
7. penetapan lokasi atau bukti hak atas tanah;
8. rekomendasi dari otoritas pengeJola infrastruktur pendukung dalam hal untuk
pengoperasian KEK memerlukan dukungan infrastruktur lainnya;
9. pernyataan kesanggupan melaksanakan pembangunan dan pengelolaan KEK; dan
10.komitmen pemerintahan kabupaten/kota mengenai rencana pemberian insentif berupa
pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah serta kemudahan.
• Penetapan KEK dilakukan oleh Dewan Nasional setelah Dewan Nasional melakukan kajian
terhadap usulan pembentukan KEK dalam waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari
kerja sejak diterimanya dokumen usulan secara lengkap. Kajian dilakukan terhadap :
1. pemenuhan kriteria lokasi KEK; dan
2. kebenaran dan kelayakan isi dokumen yang dipersyaratkan.
• Kegiatan Pembangunan KEK:
1. pembebasan tanah untuk lokasi KEK; dan
2. pelaksanaan pembangunan fisik KEK.
• Pembiayaan Pembangunan KEK:
1. APBN dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
2. Badan Usaha;
3. kerjasama pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota
dengan Badan Usaha; dan/atau
4. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Pengelolaan KEK:
1. Administrator; dibentuk oleh Dewan Kawasan, yang bertugas :
b. bagi Pelaku Usaha untuk mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan usaha di
KEK:
c. melakukan pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK yang dilakukan oleh
Badan Usaha pengelola KEK; dan
d. menyampaikan laporan operasionalisasi KEK secara berkala dan insidental kepada
Dewan Kawasan.
2. Badan Usaha pengelola; bertugas menyelenggarakan kegiatan usaha KEK, berbentuk :
a. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
b. Badan Usaha koperasi;
c. Badan Usaha swasta; atau
d. Badan Usaha patungan antara swasta dan/atau koperasi dengan Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
Badan Usaha pengelola KEK ditetapkan pada masa pelaksanaan pembangunan KEK dan
paling lambat sebelum KEK dinyatakan siap beroperasi oleh Dewan Nasional.
2.2.6.
Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian,
Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang
meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs.
Program-program pembangunan yang berkeadilan, meliputi :
1. Program pro rakyat :
a) Program penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga;
b) Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat;
c) Program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil;
2. Program keadilan untuk semua :
a) Program keadilan bagi anak;
b) Program keadilan bagi perempuan;
c) Program keadilan di bidang ketenagakerjaan;
d) Program keadilan di bidang bantuan hukum;
e) Program keadilan di bidang reformasi hukum dan peradilan;
f) Program keadilan bagi kelompok miskin dan terpinggirkan;
3. Program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDG’s) :
a) Program pemberantasan kemiskinan dan kelaparan;
b) Program pencapaian pendidikan dasar untuk semua;
c) Program pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
d) Program penurunan angka kematian anak;
f) Program pengendalian HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya;
g) Program penjaminan kelestarian lingkungan hidup;
h) Program pendukung percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium.
Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat
terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan masyarakat
perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan
akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.
2.3.
PERATURAN PERUNDANGAN
2.3.1.
UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan
Permukiman
Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk :
a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman;
b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang
proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai
dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;
c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan
dengan tetap
d. memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan
perdesaan;
e. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman;
f. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
g. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat,
aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Tugas Pemerintah kabupaten/kota dalam rangka melaksanaan pembinaan melakukan
penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman
(RP3KP) Kabupaten/Kota (pasal 15). Sementara itu wewenang pemerintah kabupaten/kota
dalam melaksanakan pembinaan perumahan dan kawasan permukiman adalah :
a. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota;
b. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundangundangan bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota bersama DPRD;
c. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan
d. melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan
dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota;
e. mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman
bagi MBR;
f. menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat
kabupaten/kota;
g. memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota
dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
h. menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota; dan
i. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh
pada tingkat kabupaten/kota.
Tugas Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman :
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang
perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi
nasional dan provinsi.
b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan
kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian,
dan kawasan permukiman.
d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.
f. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.
h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.
i. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan
permukiman.
j. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
Penyelenggaraan perumahan meliputi perencanaan perumahan, pembangunan
perumahan, pemanfaatan perumahan dan pengendalian perumahan. Perencanaan prasarana,
sarana, dan utilitas umum perumahan harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan
ekologis meliputi :
1. rencana penyediaan kaveling tanah untuk perumahan sebagai bagian dari permukiman
2. rencana kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.
Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan rancang
bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan yang
mengutamakan pemanfaatan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi
kesehatan. Ketentuan mengenai pembangunan rumah dan perumahan dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah sebagai berikut :
• Pasal 34 ayat 1 dan 2
➢ Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan
perumahan dengan hunian berimbang.
➢ Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib
mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.
• Pasal 35 ayat 1
➢ Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah
sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
• Pasal 36 ayat 1 dan 2
➢ Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu
hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah
kabupaten/kota.
➢ Pembangunan rumah umum harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau
tempat kerja.
• Pasal 38 ayat 1,2,4
➢ Pembangunan rumah meliputi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau
rumah susun.
➢ Pembangunan rumah dikembangkan berdasarkan tipologi, ekologi, budaya, dinamika
ekonomi pada tiap daerah, serta mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan.
➢ Pembangunan rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah.
• Pasal 47 ayat 3
Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus memenuhi
persyaratan :
➢ kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;
➢ ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana,dan utilitas umum.
Ketentuan mengenai pengendalian pembangunan perumahan dalam Undang-undang No.
1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah sebagai berikut :
• Pasal 53 ayat 1 dan 2
➢ Pengendalian perumahan dimulai dari tahap:
a. perencanaan;
b. pembangunan; dan
c. pemanfaatan.
➢ Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam bentuk:
a. perizinan;
b. penertiban; dan/atau
• Pasal 64 ayat 1,2,6
Perencanaan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah. Perencanaan kawasan permukiman dimaksudkan untuk menghasilkan dokumen
rencana kawasan permukiman sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
pembangunan kawasan permukiman.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
ini juga diatur mengenai penanganan kawasan kumuh sebagai berikut :
• Pasal 94
➢ Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh guna meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni
dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan
permukiman kumuh baru serta untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi
perumahan dan permukiman.
➢ Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh dilaksanakan berdasarkan pada prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak
setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat tinggal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
➢ Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.
• Pasal 95 ayat 1 dan 2
➢ Pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman
kumuh baru mencakup:
a. ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi;
c. penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana
dan utilitas umum; dan
d. pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah.
➢ Pencegahan dilaksanakan melalui :
a. pengawasan dan pengendalian; dan
b. pemberdayaan masyarakat.
➢ Pengawasan dan pengendalian dilakukan atas kesesuaian terhadap perizinan, standar
teknis, dan kelaikan fungsi melalui pemeriksaan secara berkala sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
➢ Pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap pemangku kepentingan bidang
perumahan dan kawasan permukiman melalui pendampingan dan pelayanan informasi.
➢ Pencegahan wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,dan/atau setiap orang.
• Pasal 97
➢ Peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh didahului
dengan penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh dengan pola-pola
penanganan:
a. pemugaran;
b. peremajaan; atau
c. pemukiman kembali.
➢ Pola-pola penanganan terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh dilanjutkan
melalui pengelolaan untuk mempertahankan tingkat kualitas perumahan dan
permukiman.
• Pasal 98 ayat 1 dan 2
➢ Penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh wajib memenuhi persyaratan:
a. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah
provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan lingkungan;
c. kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi
persyaratan dan tidak membahayakan penghuni;
d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;
e. kualitas bangunan; dan
f. kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
➢ Penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh wajib didahului proses
pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran
• Pasal 99
Pemugaran dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali, perumahan dan
permukiman menjadi perumahan dan permukiman yang layak huni.
• Pasal 100
➢ Peremajaan dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, permukiman, dan
lingkungan hunian yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan
penghuni dan masyarakat sekitar. Peremajaan harus dilakukan dengan terlebih dahulu
menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat terdampak.
➢ Kualitas rumah, perumahan, dan permukiman yang diremajakan harus diwujudkan
secara lebih baik dari kondisi sebelumnya.
➢ Peremajaan dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat.
• Pasal 101
Pemukiman kembali dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, dan
permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan
masyarakat. Pemukiman kembali dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak
dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata
ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.
• Pasal 102
Pemukiman kembali wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah kabupaten/kota. Lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk pemukiman
kembali ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
2.3.2.
UU No 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan bangunan
gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan
pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai
dengan fungsi bangunan gedung.
A. Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan
bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.
B. Persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan
bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan
intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian
dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL). Penggunaan ruang di atas dan/atau di bawah tanah dan/atau air untuk bangunan
1. Persyaratan tata bangunan meliputi :
a. Persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung meliputi :
1) Persyaratan peruntukan lokasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan tentang
tata ruang. Bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah,
air, dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu
keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan,
2) Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan meliputi KDB, KLB, dan
ketinggian bangunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi
yang bersangkutan.
3) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung meliputi :
• garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai,
jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi;
• jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as
jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan.
Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang
dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan batas-batas
lokasi, keamanan, dan tidak mengganggu fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan
pembangunannya.
b. Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi :
1) Persyaratan penampilan bangunan gedung harus memperhatikan bentuk dan
karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya.
2) Persyaratan tata ruang dalam bangunan harus memperhatikan fungsi ruang,
arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan gedung.
3) Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung
dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar
bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras
dengan lingkungannya.
2. Persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi :
a. Persyaratan keselamatan bangunan gedung meliputi :
1) Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban
muatannya merupakan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan
kukuh dalam mendukung beban muatan kukuh sampai dengan kondisi
pembebanan maksimum dalam mendukung beban muatan hidup dan beban
muatan mati, serta untuk daerah/zona tertentu kemampuan untuk mendukung
beban muatan yang timbul akibat perilaku alam. Besarnya beban muatan
maksimum dan variasi pembebanan agar bila terjadi keruntuhan pengguna
bangunan gedung masih dapat menyelamatkan diri
2) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran merupakan kemampuan bangunan
gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui
sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif, meliputi kemampuan stabilitas
struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan
pemisahan, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan
membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran. Bangunan gedung,
selain rumah tinggal, harus dilengkapi dengan system proteksi pasif dan aktif.
3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir
merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan
terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir, untuk melindungi semua
bagian bangunan gedung, termasuk manusia di dalamnya terhadap bahaya
sambaran petir. Sistem penangkal petir merupakan instalasi penangkal petir
yang harus dipasang pada setiap bangunan gedung yang karena letak, sifat
geografis,
b. Persyaratan kesehatan bangunan gedung meliputi :
1) Sistem penghawaan merupakan kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara
yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau
ventilasi alami dan/atau ventilasi buatan. Bangunan gedung tempat tinggal,
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum lainnya
harus mempunyai bukaan untuk ventilasi alami.
2) Sistem pencahayaan merupakan kebutuhan pencahayaan yang harus
disediakan pada bangunan gedung melalui pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat. Bangunan gedung tempat
tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum
lainnya harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.
3) Sistem sanitasi merupakan kebutuhan sanitasi yang harus disediakan di dalam
dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta
penyaluran air hujan. Sistem sanitasi pada bangunan gedung dan
lingkungannya harus dipasang sehingga mudah dalam pengoperasian dan
pemeliharaannya,
4) Penggunaan bahan bangunan gedung harus aman bagi kesehatan pengguna
c. Persyaratan kenyamanan bangunan gedung meliputi :
1) Kenyamanan ruang gerak merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh
dari dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan kenyamanan
bergerak dalam ruangan.
2) Kenyamanan hubungan antar ruang merupakan tingkat kenyamanan yang
diperoleh dari tata letak ruang dan sirkulasi antarruang dalam bangunan
gedung untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
3) Kenyamanan kondisi udara dalam ruang merupakan tingkat kenyamanan
yang diperoleh dari temperature dan kelembaban di dalam ruang untuk
terselenggaranya fungsi bangunan gedung.
4) Kenyamanan pandangan merupakan kondisi dimana hak pribadi orang dalam
melaksanakan kegiatan di dalam bangunan gedungnya tidak terganggu dari
bangunan gedung lain di sekitarnya.
5) Kenyamanan tingkat getaran dan kebisingan merupakan tingkat
kenyamanan yang ditentukan oleh suatu keadaan yang tidak mengakibatkan
pengguna dan fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran dan/atau
kebisingan yang timbul baik dari dalam bangunan gedung maupun
lingkungannya.
d. Persyaratan kemudahan meliputi :
1) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung meliputi
tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk
bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
• Kemudahan hubungan horizontal antar ruang dalam bangunan gedung
merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu
dan/atau koridor antar ruang. Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan
konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan fungsi ruang
bangunan gedung.
• Kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk sarana
transportasi vertikal sebagaimana berupa penyediaan tangga, ram, dan
sejenisnya serta lift dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung.
Bangunan gedung yang bertingkat harus menyediakan tangga yang
menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan
mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan
pengguna.
Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ram dengan
mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna sesuai standar
teknis yang berlaku.
Bangunan gedung dengan jumlah lantai lebih dari 5 (lima) harus dilengkapi
dengan sarana transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan
kebutuhan dan fungsi bangunan gedung.
Akses evakuasi dalam keadaan darurat harus disediakan di dalam bangunan
gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat,
dan dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau bencana
lainnya, kecuali rumah tinggal. Penyediaan akses evakuasi harus dapat dicapai
dengan mudah dan dilengkapi dengan penunjuk arah yang jelas.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal,
termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam
bangunan gedung dan lingkungannya.
Kelengkapan prasarana dan sarana merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung
untuk kepentingan umum. Kelengkapan prasarana dan sarana pada bangunan gedung untuk
kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti,
ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:
1. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang
seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, sistem penghawaan,
pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan
prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).
2. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan,
pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya
hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya
yang dikandungnya.
3. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan
keharusan bagi semua bangunan gedung.
Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk (pasal 3) :
1. mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung
yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;
2. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis
bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan,kenyamanan, dan kemudahan;
Fungsi bangunan gedung meliputi:
• Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah
tinggal deret,rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
• Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng.
• Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran,
perdagangan,perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, danpenyimpanan.
• Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan,pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.
• Bangunan gedung fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi
pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri.
Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi. Fungsi bangunan gedung
harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan
harus mendapatkan persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah.
2.3.3.
UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Dalam UU No. 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air diartikan sebagai air, sumber air, dan daya
air yang terkandung di dalamnya, dimana UU ini akan mengatur pengelolaan sumber daya air,
termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak setiap
orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air
minum rumah tangga dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana
Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air
minum rumah tangga tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa
harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi
Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara
terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.
Kesimpulan arahan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terrkait dengan
perencanaan dan pengembangan infrastruktur adalah sebagai berikut :
A. Hak Guna Air
1. Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi
2. Hak guna pakai air yang memerlukan izin apabila :
a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air;
b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar;
Izin Hak Guna Air diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangan-nya.
B. Pola Pengelolaan Air
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan
disusun pola pengelolaan sumber daya air yang disusun berdasarkan wilayah sungai
dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah, serta didasarkan pada
prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai dan pengelolaan air tanah
didasarkan pada cekungan air tanah.
C. Wewenang dan Tanggung Jawab Pengelolaan Wilayah Sungai
1. Pemerintah
a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
b. pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah
sungai strategis nasional :
• menetapkan pola pengelolaan sumber daya air;
• menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air;
• menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air;
• melaksanakan pengelolaan sumber daya air;
• mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air;
• menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air
• membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah
sungai
c. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,
peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas
provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
d. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya
air;
e. menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber daya air;
f. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
2. Pemerintah Provinsi
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan
kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi
b. pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota :
• menetapkan pola pengelolaan sumber daya air;
• menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan provinsi sekitarnya;
• menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air;
• melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan provinsi sekitarnya;
• mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air;
c. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan,
pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan
air tanah lintas kabupaten/kota;
d. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi
dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
e. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan
sumber daya air;
f. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat atas air;
g. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan memberikan
bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah
kabupaten/kota.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota
a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan
kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air
provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
b. pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota :
• menetapkan pola pengelolaan sumber daya air;
• menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
• menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air;
• melaksanakan pengelolaan sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan kabupaten/kota sekitarnya;
• mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan,
• membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
kabupaten/kota;
• menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di
wilayahnya;
4. Pemerintah Desa
a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan oleh
masyarakat dan/atau pemerintahan di atasnya dengan mempertimbangkan asas
kemanfaatan umum;
b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan
sumber daya air yang menjadi kewenangannya;
c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air sesuai dengan
ketersediaan air yang ada;
d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan sumber
daya air di wilayahnya.
D. Konservasi Sumber Daya Air
Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan keberadaan daya
dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air. Konservasi sumber daya air dilakukan
melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan
sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan
sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang
disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan
manusia.
Perlindungan dan pelestarian sumber air dilakukan melalui :
1. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
2. pengendalian pemanfaatan sumber air;
3. pengisian air pada sumber air;
4. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
5. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan
pemanfaatan lahan pada sumber air;
6. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
7. pengaturan daerah sempadan sumber air;
8. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
E. Pendayagunaan Sumber Daya Air
• Dilakukan melalui kegiatan penatagunaan, penyediaan, penggunaan,
pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola
pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
• Ditujukan untuk memanfaatkan sumber daya air secara berkelanjutan dengan
mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil,
dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
• Diselenggarakan secara terpadu dan adil, baik antarsektor, antarwilayah maupun
antarkelompok masyarakat dengan mendorong pola kerja sama.
• Didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan
mengutamakan pendayagunaan air permukaan.
• Dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan
memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya
air dan dengan melibatkan peran masyarakat.
1. Penatagunaan sumber daya air, ditujukan untuk :
a. Menetapkan Zona Pemanfaatan Sumber Air.
merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan RTRW dan rencana
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan.
Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan:
1) mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya;
2) menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis hidrologis;
3) memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan sumber
air;
4) memperhatikan kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
5) melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan; dan
6) memperhatikan fungsi kawasan.
b. Penetapan peruntukan air pada sumber air, dilakukan dengan memperhatikan:
1) daya dukung sumber air;
2) jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya;
3) perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air; dan
4) pemanfaatan air yang sudah ada.
2. Penyediaan sumber daya air
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air serta memenuhi berbagai
keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas. Penyediaan sumber daya air dalam
setiap wilayah sungai dilaksanakan sesuai dengan penatagunaan sumber daya air.
Penyediaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber
3. Penggunaan sumber daya air
ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai media
dan/atau materi, yang dilaksanakan sesuai penatagunaan dan rencana penyediaan
sumber daya air yang telah ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air
wilayah sungai bersangkutan.
4. Pengembangan sumber daya air
ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi
kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan,
pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya, yang
dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup.
Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam meliputi:
a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
b. air tanah pada cekungan air tanah;
c. air hujan;
d. air laut yang berada di darat.
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan
pengembangan sistem penyediaan air minum. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk
pertanian dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi
F. Pengendalian Daya Rusak Air
Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Pengendalian daya rusak air diutamakan pada
upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun secara
terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan sumber daya air.
Pengendalian daya rusak air diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat dan menjadi
tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air wilayah
sungai dan masyarakat.
Penanggulangan daya rusak air dilakukan dengan mitigasi bencana. Pengendalian daya rusak
air dilakukan pada sungai, danau, waduk dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah,
sistem irigasi, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
G. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Air
Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk menghasilkan rencana yang
berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan asas pengelolaan
sumber daya air, disusun sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air.
Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan,
Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan persyaratan
melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional
yang mencakup inventarisasi sumber daya air, penyusunan, dan penetapan rencana
pengelolaan sumber daya air.
Rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam program
yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh instansi pemerintah,
swasta, dan masyarakat
2.3.4.
UU No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai
sumber daya.
A. Tugas Pemerintah
a. menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan
sampah;
b. melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah;
c. memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan,
dan pemanfaatan sampah;
d. melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana
pengelolaan sampah;
e. mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah;
f. memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat
setempat untuk mengurangi dan menangani sampah;
g. melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar
terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.
B. Kewenangan Pemerintah
Kewenangan Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah :
a. menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sampah;
c. memfasilitasi dan mengembangkan kerja sama antardaerah, kemitraan, dan jejaring
dalam pengelolaan sampah;
d. menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja pemerintah daerah
dalam pengelolaan sampah; dan
e. menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam pengelolaan
Keweangan pemerintahan provinsi :
a. menetapkan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sesuai dengan kebijakan
Pemerintah;
b. memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan jejaring dalam
pengelolaan sampah;
c. menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja kabupaten/ kota
dalam pengelolaan sampah;
d. memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah antar kabupaten/ antar
kota dalam 1 (satu) provinsi.
Kewenangan pemerintahan kabupaten/kota :
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional
dan provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan
oleh pihak lain;
b. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah
terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
c. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20
(dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem
pembuangan terbuka yang telah ditutup;
d. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai
dengan kewenangannya.
Penetapan lokasi tempat pengolahan sampah terpadu dan tempat pemrosesan akhir sampah
merupakan bagian dari RTRW kabupaten/kota.
C. Kewajiban
• Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah
rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan
lingkungan.
• Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus,
fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas
pemilahan sampah
• Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan
pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya
• Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak
dapat atau sulit terurai oleh proses alam