• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjaminan Mutu Pada Pendidikan Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penjaminan Mutu Pada Pendidikan Tinggi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Penjaminan Mutu

Pada Pendidikan Tinggi

Gumilar Rusliwa Somantri

I

Pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan luar biasa untuk terus meningkatkan mutu kompetitif tingkat internasional. Mereka dituntut dari waktu ke waktu untuk mengejar standar mutu yang semakin tinggi karena inovasi teknologis, dinamika sistemis, dan respon perilaku pasar pragmatis-rasional.

Banyak lembaga pendidikan tinggi mulai menjalankan reformasi dalam rangka memperbaiki mutu yang secara komparasi masih relatif memprihatinkan. Salah satu langkah yang ditempuh, mereka mengembangkan sistem penjaminan mutu. Namun, pada umumnya lembaga pendidikan tinggi terjebak oleh kekeliruan mendasar dalam memahami, merumuskan dan menerapkan sistem penjaminan mutu.

Tulisan ini bermaksud meluruskan kekeliruan tersebut agar penjaminan mutu tidak menjadi kemewahan yang menambah parah masalah, tetapi ia benar-benar tampil sebagai solusi.

II

Lembaga pendidikan tinggi di tanah air tumbuh bak jamur di musim penghujan. Dewasa ini terdapat dua ribuan lembaga pendidikan tinggi swasta dan 77 lembaga pendidikan tinggi negeri.

Lembaga pendidikan tinggi tersebut, terutama universitas dan institut, dapat dibedakan pada beberapa kategori kasar seperti kecil, menengah dan besar. Universitas besar, hampir semuanya berada di pulau Jawa dengan jumlah dapat dihitung oleh jari. Kebanyakan dari universitas besar tersebut berstatus negeri.

Empat universitas dan institut negeri terkemuka, yaitu UI, UGM, ITB, dan IPB sejak Desember tahun 2000 mulai memasuki era tata-kelola yang lebih otonom. Semangat yang kental mewarnai era baru tersebut adalah mendorong potensi keempat lembaga pendidikan tingga menjadi motor penggerak reformasi pendidikan tinggi di tanah air. Diharapkan keempat lembaga pendidikan tinggi di atas dalam waktu yang tidak terlalu lama mampu menjadi unggulan di tengah kancah percaturan internasional.

Keempat lembaga pendidikan tinggi tersebut bergiat melakukan reformasi termasuk memelopori upaya penerapan sistem penjaminan mutu. Gaung reformasi tersebut mulai dapat dirasakan hingga ke seluruh pelosok tanah air.

Kini sistem penjaminan mutu menjadi wacana dan praktek yang mulai ramai dilakukan oleh banyak lembaga pendidikan swasta dan negeri, baik pada kategori kecil, sedang, maupun besar.

Jika kita cermati respons terhadap wacana dan praktek sistem penjaminan mutu yang terjadi dewasa kini, kita akan mendapati tiga corak ekstrim sebagai berikut.

(2)

Ekstrim pertama, mereka mencampur-adukan pemahaman konsep dan praktek sistem penjaminan mutu dengan akreditasi. Dengan mengikuti prosedur akreditasi, mereka beranggapan telah menerapkan sistem penjaminan mutu. Nilai akreditasi memang dapat mencerminkan potret mutu pada saat tertentu, menurut standar yang telah ditentukan oleh badan terkait. Namun, ia sebenarnya tidak langsung terkait dengan komitmen internal lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan untuk menjalankan tata-kelola berdasarkan sistem dan prosedur baku yang dirumuskan sendiri.

Singkat kata, akreditasi merupakan instrumen birokratis untuk “kendali mutu”. Sedangkan sistem penjaminan mutu merupakan mekanisme internal organisasi yang menjadi cetak-biru seperti apa mutu prediktif dihasilkan dan dikembangkan.

Ekstrim kedua, ditengah-tengah ketidakjelasan mengenai kedua hal tersebut di atas, lembaga pendidikan tinggi tergoda untuk mendirikan badan struktural penjaminan mutu. Namun, namun secara konsep dan peran tidak lain dan tidak bukan lembaga ini merupakan miniatur dari badan akreditasi yang terdapat di tingkat supra-struktur.

Ekstrim ketiga, meskipun pemahaman mengenai penjaminan mutu telah relatif jelas, namun mereka terperangkap pada perspektif deduktif-generalistik serta salah kaprah di tataran operasional.

Setidak-tidaknya kita akan menemukan dua pola kekeliruan dari kelompok ekstrim ketiga ini. Pola pertama, lembaga pendidikan tinggi membentuk badan struktural tersendiri yang menjalankan tugas penjaminan mutu. Biasanya tugas pertama yang mereka jalankan adalah merumuskan sistem dan prosedur baku yang bersifat general dan diberlakukan untuk semua unit.

Sistem dan prosedur generalistis memuat kelemahan fatal dalam hal rigiditas dan akomodasi pola-pola unit yang bersifat tipikal, namun produktif. Sementara itu, keterlibatan unit dalam perumusan sistem dan prosedur biasa sangat terbatas dan bersifat tambahan.

Pola kedua adalah lembaga pendidikan tinggi mencari jalan pintas dengan ”membeli” sistem dan prosedur untuk diterapkan. Langkah seperti ini biasanya menjebak lembaga pendidikan tinggi pada harapan berlebihan dan politis dari sertifikasi, yang tipis batasnya dengan strategi semu mengelabui pasar. Lebih parah lagi, kastemisasi menjadi suatu persoalan yang luar biasa sulit dilakukan, ditengah sosok sistem yang kaku dan umum.

Singkat kata, ketiga ekstrim pemahaman dan praktek penjaminan mutu pendidikan tinggi seperti diuraikan di atas merepresentasikan kegagalan kita semua dalam mengambil solusi masalah akut daya saing rendah.

III

Istilah “mutu” pendidikan tinggi idealnya difahami pada mata rantai proses produksi, konsumsi, dan reproduksi akademis. Sering kita terjebak melihat mutu universitas hanya secara indikatif-kuantitatif pada produk akademis semata seperti lulusan, hasil riset, publikasi, serta “pelayanan” masyarakat.

Padahal, mutu produk akademis tersebut sangat ditentukan oleh proses produksi dalam suatu kompleks struktur akademis dan non-akademis. Proses produksi akademis tersebut melibatkan subjek ajar, staf akademis,

(3)

staf non-akademis; nilai bersama, kepemimpinan, infrastruktur, kapital kebudayaan, kekuatan finasial, jejaring, komunikasi, dan sebagainya.

Selain itu, mutu pendidikan tinggi dapat ditelusuri jauh pada relevansi serta kepuasan pemakai; bahkan pada proses reproduksi lembaga maupun aktor yang terkait di dalamnya. Proses reproduksi difahami sebagai “pemulihan tenaga” dari lembaga dan aktor demi kesinambungan proses produksi itu sendiri.

Memang dalam proses tata kelola mutu pendidikan tinggi dilihat hanya pada dua hal: produk akademis dan proses produksi yang merahiminya. Agar mutu produk akademis dapat diprediksi dan dapat dikembangkan menurut penaraan tertentu, proses produksinya perlu ditopang oleh sistem dan prosedur “baku” dari aspek akademik maupun non-akademik.

Istilah baku merujuk pada sistem dan prosedur akademik atau non akademik yang dirumuskan secara cermat dan ringkas atas dasar cara kerja yang ada. Jadi, ia berbeda dengan generalisasi yang umumnya menggunakan pendekatan dari atas kebawah, dan menutup ruang tipikalitas.

Sistem dan prosedur baku tersebut menjamin terjadinya efisiensi dan efektivitas tata-kelola akademis dan non akademis, sekaligus menjamin konsistensi mutu proses dan produk dari universitas. Penjaminan mutu pendidikan tinggi, dengan demikian, berjalan dengan sendirinya, melekat pada penerapan sistem dan prosedur baku baik di bidang akademis maupun non-akademis.

Agar komitmen lembaga dan aktor yang terkait konsisten dalam menjalankan sistem dan prosedur yang telah dirumuskan sendiri, dapat menggunakan lembaga sertifikasi profesional untuk melakukan evaluasi.

Esensi sertifikasi di sini tidak lain adalah “penegasan” komitment dari lembaga pendidikan tinggi untuk menjalankan sistem dan prosedur yang disepakati. Sekaligus, wujud pertanggungjawaban lembaga pendidikan tinggi kepada publik berkepentingan untuk memberikan layanan bermutu.

Sebenarnya, kita dengan menerapkan sistem dan prosedur baku itu sendiri, tanpa sertifikasi, sudah lebih dari cukup. Publik berkepentingan cukup cerdas untuk menilai mutu produk dan proses dari suatu lembaga pendidikan tinggi.

IV

Sebaiknya penjaminan mutu dilakukan secara “total”, yaitu menjangkau aspek akademik maupun non akademik, serta mengintegrasikan keduanya. Perumusan sistem dan prosedur dapat paralel atau salah satu didahulukan.

Menurut pengalaman, lebih besar manfaat membangun sistem dan prosedur non akademik terlebih dahulu dari pada sebaliknya. Hal ini terkait dengan logika mendasar strategi membangun kepercayaan dan merangsang keterlibatan semua unit yang menjadi ujung tombak operasional.

Sistem dan prosedur, baik akademik maupun non akademik, perlu dirumuskan secara partisipatif dengan pendekatan dari “bawah” ke “atas”. Artinya, cara kerja akademik dan non akademik yang ada di unit terkecil universitas, yaitu program studi, diidentifikasi per komponen dan dipetakan.

Cara umum pemetaan adalah dengan menggambarkan cara kerja dari semua komponen, dari awal (masuk) hingga akhir (file), dengan menggunakan “bahasa” flow-chart. Dengan melihat peta di atas, kita dapat

(4)

mendiskusikan dan mengevaluasi cara kerja yang selama ini dijalankan. Biasanya kita akan terkejut, melihat bagaimana selama ini sumber-daya manusia, waktu, dan sebagainya dihambur-hamburkan karena proses terlalu panjang atau prosedur yang berbelit-belit. Kita, melalui evaluasi cara kerja, intinya merumuskan operation-line yang ringkas dan akurat untuk setiap komponen yang ada.

Agar operation-line dapat dijalankan secara manual, kita pertama-tama perlu merumuskan sistem menu untuk setiap komponen dan langkah. Sebaiknya, operation-line diuji-cobakan secara manual, baru kemudian dilakukan dijitalisasi. Proses tersebut dilakukan dengan menterjemahkan

operation-line pada bahasa pemograman IT.

Sistem dan prosedur yang dijalankan seperti diuraikan di atas, baik digital maupun manual, pada dasarnya memuat secara embedded mekanisme penjaminan mutu.

V

Sebagai penutup, lembaga pendidikan tinggi jika ingin benar-benar keluar dari lingkaran setan masalah rendahnya mutu, perlu melakukan penjaminan mutu total.

Kita sepakat di sini, istilah total lebih merujuk pada upaya yang mendasar, integratif, dan menyeluruh; sebagai kebalikan dari upaya permukaan, .tambal-sulam, dan parsial.

Langkah penjaminan mutu seperti dikemukakan di atas akan berhasil dengan baik apabila ditopang oleh gaya kepemimpinan tertentu dari semua level hierarkhi lembaga pendidikan.

Diperlukan kepemimpinan yang jeli melihat prioritas, disiplin dalam merajut sistem secara menyeluruh, fasilitatif, inspiratif, pekerja keras, serta konsisten dalam menegakan berperspektif good-governance.

(5)

Referensi

Dokumen terkait

Ikatan jembatan kation (dalam Sparks, 1995) Pada Gambar 1.9, anion-anion organik secara normal ditarik oleh muatan negatif permukaan liat, maka jerapan asam humat dan fulvat

 !uru mem$ersilahkan sis.a untuk mema1a dan men#amati materi sesuai den#an tema yan# ditentukan den#an tujuan masin#-masin# kelom$ok da$at memerankan to$ik.

Besar kemungkinan bagi KAP tersebut untuk mengembangkan spesialisasi audit dan keahlian pada atau industri tertentu, yang diharapkan mampu menghasilkan pekerjaan audit

Mengetahui hasil pembelajaran di Sekolah Indonesia Singapura (SIS) dalam hal diterapkannya kurikulum 2013 dengan menggunakan pendekatan scientific serta mengetahui

Batas produksi susu rata-rata sapi perah induk yang ekonomis untuk dipelihara terus adalah ber- beda dari waktu ke waktu atau antara satu daerah dengan daerah lainnya clan

Tujuan dari penulisan skripsi ini untuk Mengetahui prosedur pemilihan kepala desa sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan

Oleh sebab itu jika di dalam suatu lingkungan perairan, jumlah kehadiran senyawa organik tinggi, maka mikroorganisme membutuhkan oksigen dalam jumlah yang lebih

Layanan forum tanggapan yang dilakukan oleh UT sejak tahun 2004 untuk memberikan fasilitas kepada mahasiswa agar dapat saling berkomunikasi, baik antar sesama