I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025, yang pelaksanaan 5 tahunan (jangka menengah) tertuang dalam UU No. 17tahun 2007, menyebutkan bahwa salah satu bidang pembangunan yang menduduki posisi penting adalah upaya untuk membangun kualitas sumberdaya manusia (SDM). Disebutkan bahwa SDM merupakan subjek dan sekaligus objek pembangunan sehingga SDM yang berkualitas merupakan kunci keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan visi Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia mengakibatkan rendahnya
produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Padahal daya saing yang
tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan-tantangan
globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Kemampuan bangsa
untuk berdaya saing tinggi adalah kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Oleh karena itu, pembangunan nasional dalam jangka panjang diarahkan untuk mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia yang maju dan mandiri sehingga mampu berdaya saing dalam era globalisasi.
Kemandirian tercermin antara lain dalam kemampuan memenuhi tuntutan kebutuhan, termasuk di dalamnya kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah pangan, oleh karenanya pangan terkait erat dengan upaya mewujudkan hal tersebut di atas. Pangan atau makanan adalah hak asasi manusia yang paling mendasar yang harus dipenuhi. Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan pangannya dengan
mutu gizi seimbang akan dapat hidup sehat, aktif, dan lebih mampu berkiprah dalam pembangunan. Sebaliknya apabila kebutuhan pangan tersebut tidak terpenuhi dapat timbul keresahan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu
kestabilan ekonomi dan politik suatu negara, sehingga pelaksanaan pembangunan akan terhambat. Dapat dikatakan bahwa mati hidupnya suatu bangsa tergantung pada pemenuhan kebutuhan pangan tersebut. Mengingat pentingnya memenuhi kebutuhan pangan, maka setiap negara perlu mendahulukan pembangunan di bidang pangan sebagai pondasi bagi
pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal tersebut juga sejalan dengan
kesepakatan internasional yang tertuang dalam World Food Summit 1996 dan
ditegaskan lagi dalam World Food Summit 2001 untuk melaksanakan aksi-aksi
mengatasi masalah kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia.
Millenium Development Goals tahun 2000 menetapkan salah satu tujuannya
untuk mengurangi angka kemiskinan dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya pada tahun 2015. Selain itu, beberapa konvensi internasional juga memuat komitmen bangsa-bangsa terhadap pembangunan di bidang pangan, gizi dan kesehatan.
Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan pemerintah untuk
memberikan jaminan kepada warganegaranya agar dapat hidup sejahtera lahir
batin. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
9 menyebutkan antara lain bahwa setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Walaupun secara eksplisit hak atas pangan tidak disebutkan, kedua ayat tersebut secara implisit memuat perintah untuk menjamin kecukupan pangan dalam rangka memenuhi hak azasi atas pangan setiap warganya dan menyatakan pentingnya
pangan sebagai salah satu komponen utama dalam mencapai kehidupan
kewajiban pemerintah memenuhi kebutuhan pangan adalah UU No. 7 Tahun
1996 tentang Pangan, mencakup aspek ketersediaan, distribusi, sampai konsumsi pangan tingkat rumahtangga dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya dalam rangka mencapai status gizi yang baik. Masalah pangan dan gizi memang merupakan masalah yang kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Untuk itu diperlukan pengkajian yang
cermat dan mendasar dalam rangka penyusunan perencanaan program
pembangunan bidang pangan. Salah satu cara/pendekatan yang dapat
dilakukan adalah dengan melihat pola konsumsi masyarakatnya.
Hingga saat ini, pola konsumsi masyarakat Indonesia secara umum
masih didominasi oleh pangan sumber karbohidrat atau pangan nabati. Konsumsi pangan nabati mencapai 85% dan hanya 15% merupakan protein hewani (Ariani, 2006). Sebagai pembanding, proporsi konsumsi protein hewani per kapita di Amerika Serikat mencapai 65.19% dari total protein, Australia 68.23%, dan Malaysia 47.49%, serta rata-rata per kapita dunia sebesar 34.75% (Daud, 2006). Rendahnya konsumsi tersebut berpotensi menghambat upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Salah satu sebabnya adalah protein hewani memiliki komponen protein tertentu yang sangat esensial untuk perkembangan manusia yang tidak dapat diperoleh dari protein nabati. Dapat dikatakan bahwa protein hewani berperan penting dalam perkembangan
kecerdasan manusia dan layak disebut sebagai agent of development bagi
pembangunan bangsa. Sumber protein hewani berasal dari produk peternakan
dan perikanan.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (LIPI, 2004) memberikan
rekomendasi bahwa untuk mencapai mutu gizi konsumsi pangan yang baik, dari
gram dipenuhi dari pangan sumber protein hewani dengan perincian 9 gram dari protein ikan dan 6 gram dari protein ternak. Dari sisi ketersediaan, tingkat ketersediaan energi yang dikonsumsi pada
tahun 2004 sebesar 3031 Kal/kapita/hari dan protein sebesar 76.2
gram/kapita/hari (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Ketersediaan kalori ini telah
melebihi tingkat rekomendasi sebesar 2500 Kal/kapita/hari. Selanjutnya ketersediaan protein yang mencapai 76.2 gram/kapita/hari tersebut lebih tinggi dari angka kecukupan konsumsi yang direkomendasikan yaitu sebesar 52.0 gram/kapita/hari. Namun demikian sebagian besar dari protein ini dihasilkan dari protein nabati yaitu 83.3%, sedangkan kontribusi protein hewani hanya 17.7%. Dari jumlah ini, yang tersedia paling banyak adalah dari jenis ikan (Tabel 1).
Tabel 1. Perkembangan Ketersediaan Beberapa Komoditas Pangan di Indonesia Tahun 2000-2008 (ribu ton) Sumber: Dewan Ketahanan Pangan Nasional (2006), BPS (2009)
Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Pangan Nabati Padi 5190 5046 5149 5214 5409 5399 5445 5715 5987 Jagung 968 935 965 1089 1123 1201 1160 1328 1485 Kedelai 1018 827 673 672 723 797 748 593 724 Kacang tanah 737 710 718 786 837 838 838 789 772 Sayur 7559 6920 7145 8575 9060 9200 9564 9941 1023 Buah 841 996 1166 1355 1435 1510 1617 1735 1927 Pangan Hewani Daging Sapi/Kerbau 386 382 373 410 488 505 262 347 465 Daging Ayam 804 900 1083 1 118 1191 1 244 665 772 1481 Telur 786 850 946 974 1 107 1 149 1204 1297 1416 Susu 496 480 493 553 550 342 617 637 670 Ikan 5107 5353 5516 5916 6443 6809 7395 7608 8107
Ikan telah menjadi produk yang sangat penting karena merupakan produk pangan dengan nilai nutrisi tinggi. Ikan juga menjadi komoditas penting bagi sebagian besar penduduk, tidak hanya di Indonesia melainkan di seluruh dunia. Tahun 2004, perikanan dunia memasok sekitar 106 juta ton ikan sebagai bahan pangan yang merupakan catatan tertinggi dalam catatan FAO. Secara umum, ikan memasok kebutuhan 2.8 milyar penduduk dunia dengan kontribusi sekitar 20% dari rata-rata asupan protein hewani (FAO, 2007). Secara budaya, ikan telah menjadi bagian dari menu diet konsumsi penduduk sejak berabad-abad sebelumnya. Pada saat sekarang, hal tersebut juga terkait dengan unsur ekonomi bahwa ikan merupakan salah satu sumber protein yang murah bagi sebagian besar penduduk. FAO memprediksikan bahwa kebutuhan ikan dunia akan terus meningkat baik karena meningkatnya populasi penduduk maupun karena adanya usaha-usaha untuk meningkatkan konsumsi per kapita. Ikan merupakan produk pangan hewani yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, kaya akan nutrisi mikro, mineral, asam lemak dan protein esensial. Kandungan protein ikan berkisar antara 20-35%, merupakan sumber protein utama dalam konsumsi pangan karena kelengkapan komposisi kandungan asam amino esensial serta mutu daya cernanya yang setara dengan telur (Harli, 2008). Kandungan asam-asam amino esensial yang lengkap dan tingginya kandungan asam lemak tak jenuh omega-3 yang tidak dimiliki produk daratan (hewani dan nabati), merupakan keunggulan produk perikanan tersebut. Disamping itu, hasil laut dan produk perikanan juga banyak mengandung berbagai jenis vitamin yang larut dalam lemak, khususnya vitamin A, D, E dan K. Dengan kandungan kalsium (Ca) yang tinggi, ikan dan produk perikanan juga merupakan bahan makanan yang sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel tulang. Ikan-ikan laut juga banyak mengandung senyawa yodium yang sangat diperlukan untuk mencegah
pegunungan. Budaya makan ikan yang tinggi dalam masyarakat Jepang telah membuktikan terjadinya peningkatan kualitas kesehatan dan kecerdasan anak- anak di negara tersebut. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi ikan selain akan dapat menunjang laju pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan/gizi, diharapkan juga akan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia agar menjadi bangsa yang sehat, kuat dan mempunyai etos kerja yang tinggi sehingga menjadi bangsa yang maju, makmur dan sejahtera. 1.2. Perumusan Masalah Indonesia merupakan negara maritim (luas laut 5.8 juta kilometer persegi) dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tentunya menjanjikan potensi yang sangat besar. Berdasarkan data Pusat Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), produksi ikan hasil penangkapan di laut sektor ini merupakan penyumbang terbesar produksi perikanan Indonesia dalam kurun waktu hampir 10 tahun terakhir. Perikanan laut mempunyai tingkat pemanfaatan mencapai 63.49 % dari potensi lestari sebesar 6 409 ton per tahun atau 79.37% dari JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) sebesar 5 127 juta ton per tahun (Tabel 2).
Tabel 2. Perkembangan Produksi Perikanan Indonesia Menurut Kategori Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya, Tahun 2002 – 2008
(Ton) Sumber: Perikanan dan Kelautan dalam Angka, Departemen Kelautan dan Perikanan (2009)
Tabel tersebut memperlihatkan dengan lebih jelas dominasi sektor
perikanan tangkap (laut) dalam penyediaan produksi perikanan. Sumbangannya
mencapai 75.89%, jauh di atas kontribusi perairan umum (7.36%) dan budidaya
(16.75%) per tahun; meskipun demikian, kontribusi perikanan budidaya mengalami laju perkembangannya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal tersebut menggambarkan bahwa pasokan ikan yang dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri (selain untuk kebutuhan ekspor) tersedia dalam jumlah yang cukup besar. Namun ironisnya, tingkat konsumsi ikan per kapita di Indonesia masih tergolong rendah. Rendahnya konsumsi ikan masyarakat Indonesia tersebut dapat dikaitkan dengan berbagai faktor yaitu : 1) pengetahuan mengenai gizi dan teknik pengolahan ikan yang masih terbatas, 2) kendala mendapatkan ikan yang bervariasi, 3) harga ikan (misalnya udang, cumi, kakap merah) yang dinilai cukup KATEGORI Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah 5 515 648 5 915 988 6 350 420 6 817 540 7 448 708 8 238 302 9 051 528 Perikanan Tangkap Perikanan Laut 4 073 506 4 383 103 4 571 510 4 653 010 4 512 191 4734280 4 701933 Perikanan Perairan Umum 304 989 308 693 310 300 312 000 293 921 310 457 494 393 Perikanan Budidaya Budidaya Laut 234 859 249 242 420 919 519 200 1365 918 1509528 1966002 Budidaya Tambak 473 128 501 977 559 612 643 600 629 610 933 833 959 509 Budidaya Kolam 254 624 281 262 286 182 307 900 381 946 410 373 479 167 Budidaya Karamba 40 742 40 304 53 694 65 600 56 200 63 929 75 769 Budidaya Jaring Apung 47 172 57 628 62 371 72 300 143 251 190 893 263 169 Budidaya Sawah 86 627 93 779 85 832 90 000 105 671 85 009 111 584
mahal dibandingkan daya beli masyarakat pada umumnya, 4) tingkat preferensi/kesukaan ikan belum berkembang, 5) citra/image/gengsi ikan sebagai makanan acara khusus belum berkembang, 6) masih terdapatnya nilai budaya, tabu, mitos, dan pantangan sekelompok masyarakat mengenai dampak negatif konsumsi ikan, dan 7) promosi konsumsi ikan yang belum optimal (Sulistyo et al., 2004). Selain itu, konsumsi ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar gizi dan kesehatan. Faktor-faktor produksi, pemasaran, teknologi dan perhubungan
sangat mempengaruhi konsumsi ikan secara makro (tingkat nasional dan regional), sedangkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya mempengaruhi secara mikro (tingkat keluarga dan individu). Berdasarkan data SUSENAS, tahun 1997 tingkat konsumsi ikan adalah 18 kg per kapita per tahun. Tahun 2000 meningkat menjadi 22 kg per kapita per tahun, dan terakhir tahun 2006, tingkat konsumsi tersebut baru mencapai 24 kg per kapita per tahun, belum mencapai target pemerintah sebesar 26 kg per kapita per tahun dan masih di bawah standar FAO sebesar 30 kg per kapita per tahun. Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Ikan per Kapita Indonesia Tahun 2000-2008
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan (2009)
* : Angka perkiraan * * : Angka proyeksi, Badan Pusat Statistik (2009) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Total Konsumsi (Kg/kap/thn) 21.57 22.47 22.79 22.36 22.58 23.95 25.03 26.00 28.00 Total Populasi (juta) 206 208 211 214 216 219 222** 225** 228**
Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapita per tahun tersebut
menunjukkan masih rendahnya budaya makan ikan di Indonesia. Sebagai perbandingan, konsumsi ikan per kapita per tahun di Jepang adalah 110 kg, Korea Selatan 85 kg, Amerika Serikat 80 kg, Singapura 80 kg, Hongkong 85 kg, Malaysia 45 kg, Thailand 35 kg, dan Filipina 24 kg (FAO, 2003). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingginya konsumsi ikan masyarakat Jepang menyebabkan rendahnya angka kematian akibat jantung koroner di negara tersebut dibandingkan dengan Amerika. Suatu penelitian mencatat bahwa pada kelompok yang mengkonsumsi
ikan sekurang-kurangnya 30 gram sehari memiliki resiko kematian karena
penyakit jantung koroner yang berkurang 50% dibandingkan dengan kelompok
yang tidak mengkonsumsi ikan. Lebih dari itu, asam lemak omega-3, yang
hanya terdapat pada produk perikanan, juga dapat mencegah terjadinya penyakit-penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, beberapa jenis penyakit ginjal, serta membantu penyembuhan depresi dan gejala hiperaktif pada anak-anak (FAO, 2003). Selain itu, asam lemak omega-3 pada minyak ikan juga dapat memperbaiki sensitivitas insulin pada penderita kelebihan berat badan. Zat
tersebut membantu mencegah kemingkinan menderita penyakit diabetes.
Penelitian di University of Connecticut mengindikasikan bahwa ibu hamil yang
dalam darahnya mengandung banyak asam lemak omega-3 sangat membantu
perkembangan pola pertumbuhan neurologi yang baik pada bayi yang
dikandungnya. DHA, merupakan salah satu dari asam lemak omega-3,
bersama-sama dengan AA (arachidonic acid) membantu bayi membangun otak
dan mata yang cemerlang (Suzuki, 2004 dalam Bappenas, 2008).
Mempertimbangkan keunggulan komparatif bahan pangan ikan tersebut
maka sangat tepat bila pemerintah mentargetkan peningkatan konsumsi ikan
permasalahan gizi yang masih dihadapi masyarakat Indonesia. Pola makan yang tidak seimbang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang serius terutama munculnya penyakit-penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat pada golongan ekonomi menengah ke atas. Pada beberapa golongan etnik Indonesia, kedudukan ikan dalam susunan menu makanan keluarga telah menjadi bagian dari budaya. Kebiasaan makan itu terjadi tidak saja melalui proses sosialisasi dalam sistem sosial masyarakat bersangkutan, tetapi juga telah menyatu dalam selera makan anggota keluarga dan ditunjang oleh ketersediaan bahan makanan di alam. Konsumsi pangan sangat bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Demikian pula dengan tingkat dan pola konsumsi ikan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan Perikanan (KKP)1 pada tahun 2005 disparitas konsumsi tergambar dari tingkat konsumsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) sebesar 8.3 kg/kapita/tahun (terendah) dan Maluku Utara 54.71 kg/kapita/tahun (tertinggi). Variasi ini juga terjadi pada kelompok konsumsi ikan segar, ikan asin, dan produk makanan jadi. Oleh karena itu sangat penting untuk memperoleh informasi tentang ketersediaan kecukupan konsumsi ikan hingga ke tingkat rumah tangga agar tercapai target pemerintah (Bappenas, 2008). Konsumsi ikan per kapita dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara
signifikan tercermin dari konsep food security yang meliputi kecukupan volume
produksi (food availability) dan akses terhadap bahan pangan tersebut (food
access) termasuk keterjangkauan harga oleh masyarakat (price affordability).
Faktor-faktor lain yang berpengaruh misalnya masalah kultur atau budaya,
persepsi terhadap ikan sebagai produk pangan, dan tingkat pendapatan
keluarga. Di samping itu juga dapat dilihat preferensi yang dihubungkan dengan
1Pada tahun 2009 nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berubah menjadi Kementerian
kondisi geografis seperti daerah pesisir atau pedalaman. Preferensi juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan gizi masyarakat.
Variabel-variabel tersebut berinteraksi dengan aspek residual antara ketersediaan volume ikan untuk konsumsi domestik dengan ekspor, yang pada akhirnya menentukan pola dan tingkat konsumsi ikan per kapita. Oleh karena itu, perlu dianalisis pola konsumsi ikan masyarakat Indonesia, yang sekaligus juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.3. Tujuan dan manfaat penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pola konsumsi dan kontribusi produk perikanan terhadap pola konsumsi penduduk (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi struktur permintaan produk perikanan penduduk Indonesia (3) Menduga nilai elastisitas permintaan produk perikanan di Indonesia (4) Merumuskan opsi kebijakan yang diperlukan untuk mendukung peningkatan konsumsi ikan masyarakat Indonesia
Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
pemerintah dalam menyusun kebijakan pangan dan gizi terutama upaya
pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan rumahtangga Indonesia. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai preferensi konsumsi produk perikanan berdasarkan aspek ekonomi dan sosial sebagai ciri pembeli pada konsumen rumahtangga.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Produk perikanan bila dilihat dari sisi permintaan dapat digolongkan
untuk bahan baku industri pengolahan. Ketersediaan konsumsi ikan untuk tingkat rumah tangga dan nasional sangat terkait dengan kebutuhan konsumsi ikan. Secara nasional, ketersediaan ikan untuk konsumsi dapat dihitung dari total produksi ditambah dengan impor produk perikanan dikurangi dengan total ekspor produk perikanan. Tinggi rendahnya permintaan masyarakat terhadap ikan ditandai dengan tinggi rendahnya tingkat konsumsi ikan di masyarakat. Faktor – faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya konsumsi ikan tersebut dibagi menjadi dua dimensi yakni menurut dimensi mikro dan makro. Tingkat konsumsi ikan menurut dimensi mikro sangat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan ikan di masyarakat, harga ikan, daya beli masyarakat, pengetahuan masyarakat, nilai sosial budaya dan preferensi masyarakat. Penelitian difokuskan pada aspek mikro, yaitu konsumsi ikan di tingkat rumahtangga berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2008 (data Susenas tahun 2011 belum diperoleh) dengan melakukan pengelompokan menurut wilayah (perdesaan-perkotaan), golongan pendapatan,
serta wilayah kepulauan. Pengelompokan golongan pendapatan dan
pengelompokan jenis ikan yang digunakan sesuai dengan pengelompokan jenis
ikan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sesuai dengan
ketersediaan data Susenas, analisis yang dilakukan hanya menelaah sisi konsumen dan mengabaikan konsumen yang mungkin berperan pula sebagai produsen. Dalam hal ini rumahtangga nelayan tidak dianalisis secara khusus karena umumnya rumahtangga nelayan berperan sebagai produsen sekaligus
sebagai konsumen. Selain itu penggunaan peubah jumlah anggota
rumahtangga dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan jenis kelamin dan
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa Susenas tahun 2008 dilakukan pada bulan Juli, di mana pada bulan tersebut biasanya rumahtangga mulai mempersiapkan keperluan sekolah/pendidikan bagi anak-anaknya. Bagi
beberapa rumahtangga, hal tersebut mungkin akan berpengaruh terhadap
besarnya alokasi pengeluaran untuk makanan dalam keluarga. Selain itu,
metode re-call yang digunakan dalam Susenas mengharuskan responden mengingat kuantitas dan nilai komoditas yang dikonsumsi selama seminggu yang lalu. Konsumsi makanan jadi dalam rumah tangga memerlukan kajian khusus tentang kuantitas komoditas yg dikonsumsi. Konsumsi makanan jadi akibat kebiasaan makan di luar rumah yang menjadi kecenderungan dalam rumah tangga saat ini memerlukan kajian khusus tentang kuantitas komoditas yang dikonsumsi. 1.5. Kontribusi Penelitian 1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data survey. Permasalahan utama yang sering dihadapi dalam survey konsumsi rumah tangga adalah adanya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditas tertentu atau
dikenal dengan istilah zero consumption atau zero expenditure.
Permasalahan tersebut akan berimplikasi pada metode pendugaan
parameter dari model yang dipakai. Penelitian ini menggunakan metode
multistage budgetting approach yang sudah mengakomodir permasalahan
zero consumption/zero expenditure tersebut.
2. Selama ini model yang sering dipakai dalam analisis konsumsi rumahtangga
adalah model AIDS (Almost Ideal Demand System) yang diperkenalkan
pertama kali oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Model AIDS
total anggaran (pendapatan). Akan tetapi, model AIDS sulit menangkap pengaruh ketidaklinearan kurva Engel seperti yang sering ditemukan dalam studi permintaan empiris. Selain itu, model AIDS belum dapat menangkap informasi mengenai perbedaan kelas pendapatan dan perbedaan wilayah.
Untuk menjaga sifat-sifat positif model AIDS serta memelihara
kekonsistenan dengan kurva Engel dan pengaruh harga relatif dalam
maksimisasi utilitas, dalam penelitian ini digunakan model Quadratic AIDS (QUAIDS) yang dikembangkan oleh Banks et al (1997). 3. Selama ini studi yang banyak dilakukan adalah studi mengenai permintaan pangan secara umum. Studi mengenai permintaan produk ikan umumnya dijadikan satu dengan studi mengenai permintaan pangan hewani. Di sisi lain informasi mengenai pola konsumsi ikan dan bagaimana respon terhadap
perubahan harga dan perubahan pendapatan sangat diperlukan untuk
menduga kesejahteraan, pengaruh perubahan teknologi, perkembangan infrastruktur, atau kebijakan ekonomi lain. Informasi ini diperlukan secara lebih spesifik, bukan hanya ikan secara keseluruhan. Penelitian mengenai permintaan ikan secara spesifik termasuk suatu hal baru, khususnya di negara berkembang. 4. Selama ini ikan merupakan produk pangan hewani penyumbang terbesar konsumsi pangan hewani di Indonesia, namun tingkat konsumsi produk
perikanan penduduk Indonesia masih tergolong rendah. Dengan
menganalisis pola konsumsi di tingkat rumahtangga berdasarkan golongan
pengeluaran dan wilayah, maka dapat kebijakan peningkatan konsumsi ikan
dapat diterapkan dengan tepat. Untuk mengetahui sejauh mana
konsumsi/permintaan ikan di masa yang akan datang, maka elastisitas