• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYUSUN KALIMAT MENGGUNAKAN METODE MIND MAP BAGI SISWA TUNARUNGU KELAS DASAR IV DI SLB NEGERI 2 BANTUL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYUSUN KALIMAT MENGGUNAKAN METODE MIND MAP BAGI SISWA TUNARUNGU KELAS DASAR IV DI SLB NEGERI 2 BANTUL."

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYUSUN KALIMAT MENGGUNAKAN METODE MIND MAP BAGI SISWA

TUNARUNGU KELAS DASAR IV DI SLB NEGERI 2 BANTUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh: Puput Trijayanti NIM. 11103241029

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

Bagi tunarungu, mampu mendengar merupakan doa dan harapan, mampu merangkai kata penuh makna merupakan sebuah tekad

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Kedua Orangtua saya, Bapak Matamsudi dan Ibu Marwiyah yang senantiasa memberikan doa dan dukungannya.

(7)

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYUSUN KALIMAT MENGGUNAKAN METODE MIND MAP BAGI SISWA

TUNARUNGU KELAS DASAR IV DI SLB NEGERI 2 BANTUL

Oleh Puput Trijayanti NIM. 11103241020

ABSTRAK

Peneltian ini bertujuan untuk memperbaiki proses peningkatan keterampilan menyusun kalimat menggunakan metode mind map bagi siswa tunarungu kelas dasar IV di SLB Negeri 2 Bantul.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas dengan mengadopsi desain penelitian model Kemmis dan McTaggart. Subjek penelitian yaitu 3 siswa tunarungu kelas dasar IV. Penelitian dilakukan dalam dua siklus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode tes untuk mengukur tingkat keterampilan menyusun kalimat subjek, metode observasi untuk mengamati aktivitas siswa, dan metode dokumentasi untuk menghimpun data pelengkap berupa foto dan catatan khusus. Analisis data deskripstif kuantitatif yang dilanjutkan dengan teknik komparatif, yaitu membandingkan hasil pre test dan post test.

Hasil siklus I yang dicapai subjek belum mampu memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan. Subjek AC telah memenuhi KKM, sementara subjek VK dan YN belum. Tindakan pada siklus II diberikan dengan memperhatikan hasil refleksi siklus I. Modifikasi yang diterapkan pada siklus II yaitu lebih mengintensifkan kegiatan diskusi dan tanya jawab. Subjek VK dan YN diberikan perhatian dan bantuan yang lebih banyak. Setelah pelaksanaan siklus II, seluruh subjek telah mampu memenuhi KKM yang ditetapkan, yaitu sebesar 70. Subjek VK memperoleh nilai 77 termasuk kriteria baik. Subjek AC memperoleh nilai 94 termasuk kriteria sangat baik. Subjek YN memperoleh nilai 83 termasuk kriteria baik. Peningkatan nilai tes didukung oleh kualitas aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran yang juga semakin meningkat dari setiap pertemuan. Subjek semakin berani dan percaya diri dalam mengaktualisasikan dirinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keterampilan menyusun kalimat dapat ditingkatkan menggunakan metode mind map bagi siswa tunarungu kelas dasar IV di SLB Negeri 2 Bantul.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan

Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Peningkatan Keterampilan

Menyusun Kaliman Menggunakan Metode Mind Map bagi Siswa Tunarungu Kelas Dasar IV di SLB Negeri 2 Bantul” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memperbaiki proses peningkatan

keterampilan menyusun kalimat menggunakan metode mind map bai siswa tunarungu kelas dasar IV di SLB Negeri 2 Bantul dengan mengaplikasikan ilmu yang telah

diperoleh selama menempuh pendidikan di bangku perkuliahan atas izin dan ridho dari

Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain itu penelitian ini sebagai salah satu syarat

kelulusan gelar sarjana di bidang Pendidikan Luar Biasa. Penulis sadar bahwa

penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar berkat bantuan Allah

Subhanahu Wa Ta’ala melalui bantuan hamba-hamba-Nya dan kerjasama berbagai

pihak. Oleh karena itu sebagai wujud rasa syukur, perkenankan penulis menyampaikan

rasa terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M. Pd, M. A

yang telah memberikan fasilitas dan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang

sangat bermanfaat dan menyenangkan hingga terselesaikannya tugas akhir skripsi

ini.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Dr. Haryanto M. Pd., yang telah memberikan izin

(9)

3. Ketua Jurusan PLB FIP, Dr. Mumpuniarti, M. Pd. yang memberikan izin penelitian

dan memberikan dukungan demi terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Suparno, M. Pd. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan

waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran dalam penyusunan tugas

akhir skripsi ini.

5. Seluruh bapak dan ibu dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa FIP UNY yang telah

memberikan ilmu, arahan, bimbingan hingga penulis memperoleh ilmu pengetahuan

dan keterampilan yang bermanfaat dalam layanan pendidikan khusus.

6. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Bupati Bantul, Kepala Bapeda Bantul,

yang telah memberi izin untuk melaksanakan penelitian.

7. Kepala Sekolah SLB Negeri 2 Bantul, Ibu Sri Andarini Eka Prapti, S. Pd. yang telah

memberikan izin, kesempatan dan tempat untuk melaksanakan penelitian.

8. Bapak dan Ibu Guru SLB Negeri 2 Bantul, khususnya Ibu Nurul Wasliyah, S. Pd

selaku guru kelas dasar IV yang berperan sebagai kolaborator penulis dalam

menyelesaikan penelitian.

9. Seluruh siswa kelas dasar IV SLB Negeri 2 Bantul yang telah bersedia menjadi

subjek penelitian dan mampu berperan aktif selama pelaksanaan penelitian.

10. Kedua orang tua tercinta, Bapak Matamsudi dan Ibu Marwiyah, kakakku Kholiq

Syaifuddin dan Khanif Pujiati, kakak iparku Renny dan Priyanto, serta kedua

ponakanku tercinta Nisa dan Rara. Terimakasih atas semua pengertian, kerja keras,

(10)

11. Teman-teman seperjuangan Hanafi Catur Wulandari, Anggraeni Ika Shanti,

Ernawati, Eko Prastiwi, Indra Dewi Patmawijayanti, Elwis Lathifah dan

teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih telah memberikan

kebahagiaan, kebersamaan, semangat dan sumbangan pemikiran yang positif.

12. Teman-teman satu angkatan PLB kelas A 2011, terima kasih atas

dukungan,kebersamaan, dan segala kenangan selama ini. Semoga pertemanan kita

terus berlanjut hingga seluruhnya mencapai harapan yang diimpikan.

13. Kepada Gurindra Budi Prasetyo yang telah memberikan semangat, bantuan, dan

perhatian hingga terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.

14. Semua pihak yang memang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih telah

membantu proses penyelesaian tugas akhir ini.

Terimakasih atas dukungan dan doanya, semoga bantuan yang telah diberikan

dapat menjadi amal jariah dan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga karya

ini dapat menjadi inspirasi dan sumber informasi untuk membangun dan

memajukan dunia pendidikan, khususnya ruang lingkup layanan pendidikan khus

Yogyakarta, April 2015

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Mengenai Anak Tunarungu... 13

1. Pengertian Anak Tunarungu ... 13

2. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 14

(12)

4. Pemerolehan Bahasa Anak Tunarungu ... 21

5. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu ... 23

B. Kajian Mengenai Keterampilan Menyusun Kalimat ... 24

1. Pengertian Keterampilan ... 24

2. Pengertian Ketrampilan Menyusun Kalimat ... 25

3. Jenis Kalimat ... 27

4. Unsur Kalimat ... 28

5. Pola Kalimat... 30

6. Penilaian Keterampilan Menyusun Kalimat ... 32

C. Kajian Mengenai Metode Mind Map ... 33

1. Pengertian Metode Mind Map ... 33

2. Kelebihan Mind Map ... 37

3. Langkah-Langkah Penerapan Mind Map ... 38

D. Hasil Penelitian Sebelumnya ... 41

E. Kerangka Pikir... 42

F. Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 46

B. Desain Penelitian ... 47

C. Prosedur Penelitian ... 49

D. Subjek Penelitian ... 56

E. Variabel Penelitian ... 56

F. Tempat dan Setting Penelitian ... 57

G. Waktu penelitian ... 57

H.Metode Pengumpulan Data ... 58

1. Metode Tes... 58

2. Metode Observasi ... 59

3. Metode Dokumentasi ... 59

(13)

1. Instrumen Tes ... 60

2. Instrumen Observasi ... 66

J. Uji Validitas Instrumen ... 70

K. Teknik Analisis Data ... 71

L. Indikator Keberhasilan Tindakan ... 72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 73

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 73

2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 74

3. Deskripsi Keterampilan Menyusun Kalimat Pra Tindakan ... 77

4. Deskripsi Tindakan pada Siklus I ... 82

a. Perencanaan Tindakan Siklus I ... 82

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus I ... 83

c. Deskripsi Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Siklus I ... 88

d. Deskripsi Tes Hasil Belajar Siklus I ... 94

e. Refleksi Siklus I ... 98

5. Deskripsi Tindakan pada Siklus II ... 105

a. Perencanaan Tindakan Siklus II ... 105

b. Pelaksanaan Tindakan Siklus II ... 107

c. Deskripsi Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Siklus II ... 110

d. Deskripsi Tes Hasil Belajar ... 114

e. Refleksi Siklus II ... 118

6. Analisis Data ... 124

7. Uji Hipotesis ... 132

B. Pembahasan ... 133

C. Keterbatasan Penelitian ... 141

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 143

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Jadwal Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 57 Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Tes Keterampilan Menyusun Kalimat ... 63 Tabel 3. Kriteria Penilaian Keterampilan Menyusun Kalimat ... 65 Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Observasi Aktivitas Siswa dalam Kegiatan

Pembelajaran Menyusun Kalimat Menggunakan Metode Mind Map .. 68 Tabel 5. Sistem Skoring terhadap Hasil Observasi Aktivitas Siswa ... 69 Tabel 6. Kriteria Penilaian Hasil Observasi Aktivitas Siswa ... 69 Tabel 7. Hasil Nilai Pre Test Keterampilan Menyusun Kalimat Siswa

Tunarungu Kelas dasar IV ... 78 Tabel 8. Data Hasil Nilsi Tes Belajar atau Post Test Keterampilan Menyusun

Kalimat Menggunakan Metode Mind Map pada Siklus I ... 95 Tabel 9. Data Hasil Nilai Peningkatan Keterampilan Menyusun Kalimat

Setelah Pelaksanaan Post Test Siklus I ... 99 Tabel 10. Nilai Hasil Tes Belajar atau Post Test Keterampilan Menyusun

Kalimat Menggunakan Metode Mind Map pada Siklus II ... 115 Tabel 11. Data Hasil Peningkatan Nilai Keterampilan Menyusun Kalimat Setelah

Pelaksanaan Post Test Siklus II ... 119 Tabel 12. Peningkatan Nilai Keterampilan Menyusun Kalimat dari Pre Test,

(16)

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Skema Pemerolehan Bahasa pada Anak Tunarungu ... 22 Gambar 2. Bagan Mind Map sebagai Media untuk Menjelaskan Konsep

Mengenai Unsur-Unsur pada Kalimat ... 36 Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir Penelitian ... 45 Gambar 4. Tahapan Penelitian Tindakan Kelas diadopsi dariModel Kemmis

dan Mc. Taggart ... 48 Gambar 5. Grafik Histogram Hasil Nilai Pre Test Keterampilan Menyusun

Kalimat Siswa Tunarungu Kelas Dasar IV ... 81 Gambar 6. Grafik Histogram Hasil Nilai Post Test Siklus I Keterampilan

Menyusun Kalimat Siswa Tunarungu Kelas Dasar IV ... 98 Gambar 7. Grafik Histogram Peningkatan Nilai Keterampilan Menyusun

Kalimat Menggunakan Metode Mind Map Siklus I ... 100 Gambar 8. Grafik Histogram Nilai Hasil Post Test Siklus II Keterampilan

Menyusun Kalimat Siswa Tunarungu Kelas Dasar IV ... 118 Gambar 9. Grafik Histogram Peningkatan Nilai Keterampilan Menyusun

Kalimat Menggunakan Metode Mind Map Setelah Siklus II ... 121 Gambar 10. Grafik Histogram Peningkatan Nilai Keterampilan Menyusun

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran1. Rencana Program Pembeajaran Siklus I... 158

Lampiran 2. Rencana Program Pembelajaran Siklus II ... 157

Lampiran 3. Instrumen Tes Pra Tindakan dan Pasca Tindakan Keterampilan Menyusun Kalimat Menggunakan Metode Mind Map ... 162

Lampiran 4. Panduan Observasi Aktivitas Siswa ... 167

Lampiran 5. Hasil Pre Test Keterampilan Menyusun Kalimat Menggunakan Metode Mind Map ... 168

Lampiran 6. Hasil Post Test Siklus I Keterampilan Menyusun Kalimat Menggunakan Metode Mind Map ... 180

Lampiran 7. Hasil Post Test Siklus II Keterampilan Menyusun Kalimat Menggunakan Metode Mind Map ... 192

Lampiran 8. Hasil Penghitungan Nilai Pre Test, Post Test I dan Post Test II ... 204

Lampiran 9. Hasil Observasi Aktivitas Siswa pada Siklus I... 206

Lampiran 10 Hasil Observasi Aktivitas Siswa pada Siklus II ... 209

Lampiran 11. Catatan Khusus Pre Test dan Pelaksanaan Siklus I... 211

Lampiran 12. Catatan Khusus pada Siklus II ... 212

Lampiran 13. Hasil Catatan Subjek Menggunakan Bagan Mind Map ... 213

Lampiran 14. Foto Pelaksanaan Penelitian ... 217

Lampiran 15. Surat Validasi Intrumen Tes dan Observasi ... 221

(18)

 

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Anak tunarungu merupakan bagian dari anak berkebutuhan khusus.

Tunarungu merupakan istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan

keadaan individu yang mengalami ketidakmampuan atau gangguan

pendengaran. Terbagi menjadi gangguan pendengaran sebagian hingga

keseluruhan. Mulai dari yang ringan sampai pada tingkatan lebih berat,

digolongkan ke dalam kategori tuli dan kurang dengar. Salah satu akibat dari

gangguan pendengaran yaitu pada umumnya anak mengalami kesulitan pada

aspek perkembangan bahasa. Murni Winarsih (2007: 36) menyatakan bahwa

penyandang tunarungu pada umunya mengalami hambatan dalam melakukan

kegiatan komunikasi dikarenakan adanya kekurangan atau ketidakmampuan

dalam menyampaikan pesan melalui bahasa. Perkembangan bahasa terbagi

menjadi empat komponen, yaitu mendengarkan, menyimak, membaca dan

menulis. Kemampuan berbahasa pada anak tunarungu berpengaruh terhadap

kemampuannya dalam bersosisalisasi, mengekspresikan dan mangontrol emosi,

serta dalam menempuh pendidikan. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa

pada anak tunarungu seharusnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan anak pada lembaga-lembaga penyedia layanan pendidikan yang

tepat.

Anak tunarungu mampu memperoleh layanan pendidikan formal di

(19)

 

lembaga yang disediakan untuk menyelenggarakan layanan pendidikan bagi

anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Di sisi lain, sekolah inklusif

adalah lembaga pendidikan yang disediakan untuk menyelenggarakan layanan

pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak-anak pada

umumnya yang tidak mengalami hambatan maupun kebutuhan khusus.

Pendidikan di sekolah inkusif mampu menciptakan lingkungan belajar yang

lebih heteregon. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu sekolah khusus di

wilayah Kabupaten Bantul, yaitu SLB Negeri 2 Bantul.

Berdasarkan kegiatan observasi dan wawancara yang telah

dilaksanakan di kelas dasar IV SLB Negeri 2 Bantul, diperoleh informasi dan

data yang menunjukkan bahwa siswa mengalami hambatan perkembangan

bahasa khususnya pada aspek keterampilan menyusun kalimat. Menyusun

kalimat adalah bentuk kegiatan memposisikan satuan bahasa yang terdiri dari

kelompok kata menjadi suatu kalimat utuh dengan struktur yang tepat sehingga

mampu dimaknai dengan baik dan benar. Keterampilan menyusun kalimat

dalam ilmu Bahasa Indonesia merupakan cakupan dari aspek sintaksis. Samuel

A. Kirk & James J. Gallagher (1991: 11) menyatakan bahwa sintaksis

merupakan susunan kata, yaitu suatu cara yang mengatur kata-kata dalam

kalimat dan hubungan dari antar kata tersebut. Agar dapat menyusun kalimat

sesuai dengan struktur yang tepat, siswa harus dibekali dengan pengetahuan

mengenai jenis unsur-unsur kalimat, kedudukan (urutan posisi), fungsi dari tiap

jenis unsur-unsur penyusun kalimat tersebut (subjek, predikat, objek,

(20)

 

Suparno dan Tin Suharmini (dalam Tin Suharmini, 2009: 40), salah satu

karakteristik perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu yaitu kesulitan

dalam menyusun kata-kata dengan struktur kalimat atau tata bahasa yang

benar. Oleh karena itu keterampilan menyusun kalimat sangat dibutuhkan oleh

siswa tunarungu. Keterampilan tersebut merupakan bekal penting untuk

mengembangkan kemampuan berkomunikasi, secara tertulis maupun secara

lisan agar informasi yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan

mudah dan benar.

Siswa apabila mampu menguasai struktur kalimat dengan baik, maka

siswa diharapkan mampu memaknai kalimat dan kosakata dalam kalimat

tersebut. Informasi yang diperoleh dari kegiatan observasi dan wawancara

menunjukkan siswa belum memiliki pemahaman bahwa dalam suatu kalimat

terdapat unsur-unsur penyusun yang memiliki kedudukan dan fungsi

masing-masing (subjek, predikat, objek, keterangan). Pernyataan tersebut diperkuat

dengan data yang diperoleh peneliti, yaitu saat guru mencoba untuk

menunjukkan sebuah kata, sebagai contoh “menyapu”. Siswa memahami

bahwa makna dari kata yang dicontohkan oleh guru yaitu kegiatan menyapu

karena siswa langsung memperagakan gerakan menyapu. Namun, ketika guru

meminta siswa untuk menyusun kalimat dari deretan kosakata acak yang telah

ditentukan guru, siswa tidak dapat melakukannya. Hasilnya siswa menyusun

kalimat dengan struktur yang terbolak-balik. Contohnya siswa menyusun

kalimat yang seharusnya memiliki struktur SPO “Citra menyapu lantai”

(21)

 

masih mengalami kebingungan dan kurang memiliki pengetahuan mengenai

proses menyusun suatu kalimat dengan mengikutsertakan unsur-unsur kalimat

sesuai dengan fungsi dan kedudukannya (subjek, predikat, objek, keterangan).

Bentuk kesalahan yang dilakukan siswa didominasi oleh kesalahan penempatan

predikat dan objek. Lemahnya kemampuan mengklasifikasikan kosakata yang

dimiliki siswa juga menjadi salah satu penyebab kesulitan dalam menyusun

kalimat. Siswa belum mampu mengklasifikasikan kosakata sesuai dengan

fungsi dan kedudukan fungsi unsurnya dalam suatu kalimat meskipun siswa

mengetahui makna dari kosakata tersebut.

Guru menjelaskan bahwa kegiatan pembelajaran menyusun kalimat

tidak termuat secara spesifik di dalam kurikulum. Oleh karena itu siswa

memiliki pengalaman mempelajari kalimat yang termuat di dalam buku

pelajaran maupun dari materi yang disampaikan guru tanpa mengetahui proses

kalimat-kalimat tersebut terbentuk atau tersusun. Hal tersebut dapat dijadikan

salah satu penyebab munculnya kesulitan yang dihadapi siswa pada aspek

keterampilan menyusun kalimat. Siswa tidak memiliki pengetahuan secara

jelas mengenai proses penyusunan kalimat dan unsur-unsur yang terdapat di

dalam kalimat. Mulai tahun ajaran 2014, pemerintah menerapkan kurikulum

2013 pada beberapa jenjang pendidikan, salah satunya pada jenjang kelas

dasar IV. Guru wali kelas dasar IV SLB Negeri Bantul menyatakan bahwa

pada kurikulum 2013 siswa kelas dasar IV diharapkan memiliki keterampilan

menyampaikan gagasan maupun menyusun pertanyaan sesuai bacaan. Hal

(22)

 

kesulitan untuk menyusun kalimat dasar yang sifatnya mendeskripsikan

maupun memberikan informasi.

Berdasarkan permasalahan tersebut perlu adanya perbaikan maupun

inovasi metode pengajaran yang diterapkan oleh guru dalam pembelajaran bagi

siswa tunarungu sehubungan dengan keterampilan menyusun kalimat. Oleh

karena itu peneliti berkeinginan untuk berkolaborasi dengan guru yang

bertujuan memperbaiki proses peningkatan keterampilan menyusun kalimat

pada siswa. Adapun metode yang diterapkan peneliti dalam penelitian ini

adalah metode mind map. Alasan yang melatarbelakangi peneliti memilih metode mind map dalam penelitian ini yaitu metode mind map dapat digunakan sebagai salah satu metode untuk memperbaiki proses peningkatan keterampilan

menyusun kalimat pada siswa tunarungu berdasarkan karakteristik dan

kelebihan yang dimilikinya. Metode mind map merupakan metode yang dimaksudkan untuk memaksimalkan kemampuan kerja seluruh bagian otak,

baik otak sebelah kanan maupun kiri. Perpaduan tersebut diharapkan

memberikan kemudahan pada siswa dalam menerima dan memahami suatu

konsep dengan cara memetakan bagian-bagian yang berkaitan dengan konsep

tesebut.

Pada penelitian ini, metode mind map diterapkan dengan tujuan memperbaiki keterlambatan perkembangan bahasa pada siswa tunarungu,

khususnya berkaitan dengan aspek keterampilan menyusun kalimat. Metode

(23)

 

Setiap kosakata dalam suatu kalimat dibagi berdasarkan jenis dan fungsi dari

tiap unsurnya (subjek, predikat, objek, keterangan). Mind map membentuk catatan yang memiliki pola gagasan yang saling bekaitan dengan topik berada

di tengah kemudian subtopik sebagai cabang-cabangnya. Dalam penelitian ini,

topik utama disajikan dalam bentuk gambar maupun gagasan.

Pada awalnya, siswa diberikan informasi mengenai unsur-unsur pada

kalimat disertai dengan fungsi dan contoh dari setiap unsurnya. Informasi

tersebut disampaikan menggunakan metode mind map, yaitu dengan cara menjadikan tulisan “Unsur-Unsur pada Kalimat” sebagai gagasan utama.

Kemudian disekeliling gagasan utama “Unsur-Unsur pada Kalimat” dibuat

beberapa cabang yang terbagi menjadi cabang subjek, cabang predikat, cabang

objek dan cabang keterangan. Setiap cabang tersebut dibagi kembali menjadi

subcabang fungsi dan contoh kosakata yang tepat. Selain itu, setiap cabang

yang tersebut di atas dilengkapi dengan gambar yang berfungsi sebagai simbol

setiap unsur. Gambar-gambar tersebut meliputi, gambar sebuah keluarga

sebagai simbol unsur subjek, gambar beberapa jenis kegiatan sebagai simbol

unsur predikat, gambar beberapa benda sebagai simbol unsur objek, gambar

beberapa tempat sebagai simbol unsur keterangan tempat, dan gambar jam

serta kalender sebagai simbol dari unsur keterangan waktu. Simbol-simbol

tersebut disesuaikan dengan batasan dari setiap jenis unsur kalimat yang

ditetapkan oleh peneliti. Batasan tersebut diantaranya subjek yang digunakan

(24)

 

berfokus pada kosakata benda, dan unsur keterangan dibatasi pada jenis

keterangan tempat dan waktu.

Berpedoman pada bagan mind map mengenai “Unsur-Unsur pada Kalimat” yang telah dijelaskan, peneliti memanfaatkan bagan mind map yang lain untuk menjelaskan konsep mengenai macam pola kalimat dasar. Pola

kalimat dasar yang diteberikan yaitu pola kalimat SP, SPO dan SPOK. Salah

satu contohnya, ketika peneliti dibantu oleh guru memberikan penjelasan

mengenai konsep pola kalimat SP, maka topik utama yang dituliskan yaitu

“Pola Kalimat SP (Subjek- Predikat)”. Di sekeliling topik utama tersebut

dibuat dua cabang yang terdiri dari cabang subjek dan predikat (disertai dengan

simbol gambar). Dari kedua cabang tersebut, guru mengajak siswa untuk

memilih salah satu kata yang telah dicontohkan pada bagan mind map

“Unsur-Unsur pada Kalimat” sesuai dengan kedudukan unsurnya. Siswa bersama

dengan guru dapat pula memilih kosakata lain di luar yang telah dicontohkan.

Misalkan siswa memilih kosakata “Ibu” sebagai unsur subjek dan kosakata

“mencuci” sebagai unsur predikat, sehingga kedua kosakata tersebut dapat

disusun menjadi kalimat “Ibu mencuci”. Pada akhirnya siswa mengetahui

contoh kalimat yang dapat disusun dengan pola SP. Begitu seterusnya hingga

siswa mengetahui pola kalimat SPO hingga SPOK.

Kegiatan pembelajaran keterampilan menyusun kalimat dapat

dilakukan secara bertahap, dimulai dari pola kalimat SP, SPO, dan SPOK

sehingga keterampilan siswa terhadap konsep yang diberikan mampu diterima

(25)

 

meningkatkan daya tarik, daya ingat, dan konsentrasi siswa. Selain itu,

pembelajaran didukung adanya kelebihan bahwa metode mind map merupakan metode yang memiliki kemasan menarik. Metode mind map menggunakan gambar dan simbol dengan warna-warna yang cerah serta bentuk yang unik.

Cabang pada metode mind map dibuat dengan bentuk melengkung sehingga lebih nyaman dilihat karena modalitas belajar anak tunarungu menitikberatkan

pada indera penglihatan. Hal penting dalam memberikan pembelajaran kepada

siswa tunarungu yaitu mampu membuat siswa tertarik untuk mempelajarinya,

sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan konsep yang

diberikan dapat diterima dengan baik.

B.Identifikasi Masalah

1. Pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam kegiatan pembelajaran

mengubah kalimat dengan susunan kosakata acak menjadi kalimat yang

tersusun sesuai dengan pola dan strukturnya (SP, SPO, SPOK).

2. Siswa belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai macam unsur

pada kalimat beserta fungsinya.

3. Siswa mengalami kesulitan dalam mengklasifikasikan kosakata pada suatu

kalimat sesuai dengan kedudukan dan fungsi unsurnya (subjek, predikat,

objek, keterangan).

4. Siswa masih mengalami ketergantungan terhadap kalimat yang disusun oleh

guru sehingga kurang terampil dan termotivasi dalam kegiatan pembelajaran

(26)

 

C.Batasan Masalah

Berdasarkan kegiatan observasi yang telah dilaksanakan, permasalahan

dalam penelitian ini dibatasi pada penggunaan metode mind map untuk meningkatkan keterampilan menyusun kalimat sesuai dengan struktur dan atau

pola kalimat yang tepat (SP, SPO dan SPOK) bagi siswa tunarungu kelas dasar

IV di SLB Negeri 2 Bantul.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimanakah proses meningkatkan keterampilan menyusun kalimat

menggunakan metode mind map bagi siswa tunarungu kelas dasar IV di SLB Negeri 2 Bantul?

2. Bagaimanakah hasil proses peningkatan keterampilan menyusun kalimat

menggunakan metode mind map bagi siswa tunarungu kelas dasar IV di

SLB Negeri 2 Bantul?

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian dalam penelitian

ini adalah:

1. Memperbaiki proses peningkatan keterampilan menyusun kalimat

(27)

 

2. Mengetahui hasil proses peningkatan keterampilan menyusun kalimat

menggunakan metode mind map bagi siswa tunarungu kelas dasar IV di

SLB Negeri 2 Bantul.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini mampu memberikan sumbangan bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dan informasi dalam dunia pendidikan khusus, khususnya

berkaitan dengan pengembangan keterampilan menyusun kalimat pada

siswa tunarungu.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam menyususn

kalimat sesuai dengan struktur dan atau pola yang sesuai dengan cara

yang menyenangkan dan menarik sehingga konsep yang diberikan

mampu diterima secara optimal.

b. Bagi Guru

Sebagai salah satu metode alternatif yang dapat dimanfaatkan

untuk menunjang proses pembelajaran, khususnya pada aspek

keterampilan menyusun kalimat sehingga mampu mencapai tujuan

pembelajaran yang telah ditetapkan.

c. Bagi Sekolah

Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan tekait dengan

(28)

 

mampu mengoptimalisasikan kebutuhan anak dengan menyesuaikan

pada kemampuan yang masih dimiliki.

G.Definisi Operasional

1. Keterampilan menyusun kalimat merupakan suatu kecakapan pada kegiatan

menyusun kata-kata tertentu menjadi suatu kalimat utuh dengan struktur

yang sesuai sehingga mampu dimaknai dengan baik dan benar. Adapun

kalimat utuh tersusun dari seluruh dan atau sebagian unsur-unsur kalimat

meliputi subjek, predikat, objek dan keterangan. Penyusunan kalimat yang

dimaksudkan pada penelitian ini yaitu kegiatan merubah kalimat dengan

susunan kata acak menjadi kalimat dengan struktur yang benar dengan pola

kalimat secara bertahap yaitu mulai dari pola kalimat SP, SPO hingga

SPOK. Oleh karena itu siswa harus memiliki pemahaman mengenai

unsur-unsur kalimat beserta fungsinya, kedudukan kosakata pada suatu kalimat

serta mengetahui bentuk pola-pola kalimat. Siswa dikategorikan terampil

apabila setidaknya mampu menyelesaikan 70% dari total soal yang

diberikan. Indikator keberhasilan sebesar 70% merupakan hasil kesepakatan

antara pihak sekolah (guru) dengan peneliti.

2. Metode Mind Map merupakan sebuah metode yang dimaksudkan untuk memaksimalkan kemampuan kerja otak sebelah kanan maupun kiri dengan

memetakan suatu konsep ke dalam suatu bagian-bagian. Metode mind map ditampilkan dengan mengikutsertakan komponen tulisan, gambar, warna

dan garis lengkung. Perpaduan tersebut diharapkan memberikan kemudahan

(29)

 

disajikan dalam bentuk visual. Pengamatan secara visual dapat dikatakan

menjadi modalitas belajar utama yang dimiliki oleh siswa tunaungu.

3. Anak tunarungu yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu siswa yang

mengalami gangguan dan atau hambatan pendengaran sebagian yang

berusia antara 10 hingga 13 tahun sehingga membutuhkan layanan

pendidikan khusus untuk mengoptimalkan kemampuannya dengan

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kajian Mengenai Anak Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu

Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya

kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila

ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara (Murni

Winarsih, 2007: 21). Masyarakat awam mengenal anak tunarungu sebagai

anak yang memiliki kelainan pendengaran, mereka seringkali masih

menyebut dengan istilah anak tuli maupun anak bisu. Sementara menurut

Hallahan & Kauffman (2009:342), tunarungu merupakan istilah umum yang

digunakan untuk menunjukkan keadaan individu yang mengalami

ketidakmampuan atau gangguan pendengaran, meliputi keseluruhan

gangguan pendengaran mulai dari yang ringan sampai pada tingkatan yang

berat, digolongkan ke dalam kategori tuli dan kurang dengar. Edja Sadjaah

(2005: 69) juga berpendapat tunarungu adalah anak yang karena berbagai

hal menjadikan pendengaranya mendapatkan gangguan atau mengalami

kerusakan sehingga sangat mengganggu aktivitas kehidupannya. Selain itu,

Mufti Salim dalam Sutjihati Somantri (2006: 93) menyatakan bahwa anak

tunarungu merupakan anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan

kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak

(31)

hambatan dalam perkembangan bahasanya dan memerlukan bimbingan

serta pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu merupakan

istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan individu yang memiliki

gangguan atau ketidakmampuan mendengar sehingga membutuhkan suatu

bentuk layanan pendidikan khusus guna mengoptimalkan kemampuan yang

dimiliki dan masih dapat dikembangkan.

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

Tidak semua individu memiliki tingkat kemampuan mendengar yang

sama, terlebih lagi pada anak tunarungu yang tentunya mengalami gangguan

pendengaran. Slamet Riadi, dkk (1984: 24) mengmukakan satuan yang

digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan dengar disebut dengan

dicible (dB). Pada anak tunarungu, klasifikasi tingkat kemampuan dengar

sangat penting. Hal tersebut dimaksudkan untuk menentukan alat bantu

dengar yang dapat diberikan kepada anak, sehingga mampu

mengoptimalkan kemampuan mendengar anak apabila terdapat sisa

kemampuan mendengar.

Klasifikasi ketunarunguan sifatnya sangat bervariasi, banyak

pendapat-pendapat berkaitan dengan pengklasifikasian anak tunarungu.

Menurut Boothroyd dalam Murni Winarsih (2007: 23-24), klasifikasi

(32)

a. Kelompok I: kehilangan pendengaran 15-30 dB, disebut mild hearing losses atau ketunarunguan ringan. Daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.

b. Kelompok II: kehilangan pendengaran 31-60 dB, moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang. Daya tangkap terahadap suara cakapan manusia hanya sebagian.

c. Kelompok III: kehilangan pendengaran 61-90 dB, severing hearing losses atau ketunarunguan berat. Daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hampir tidak ada.

d. Kelompok IV: kehilangan pendengaran 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat. Daya tangkap terhadap suara cakapan manusia sama sekali tidak ada.

e. Kelompok V: kehilangan pendengaran lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total. Daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

Andreas Dwidjosumarto dalam Sutjihati Somantri (2006: 95), turut

mengklasifikasikan anak tunarungu berdasatkan taraf kemampuan

mendengarnya, adapaun klasifikasi tersebut yaitu sebagai berikut:

a. Tingkat I, kehilangan pendengaran 35-54 dB, individu hanya

membutuhkan latihan berbicara dan bantuan mendengar khusus.

b. Tingkat II, kehilangan pendengaran 55-69 dB, memerlukan penempatan

sekolah secara khusus. Selain itu memerlukan latihan berbicara dan

(33)

c. Tingkat III, kehilangan pendengaran antara 70-89 dB.

d. Tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.

Anak yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat III dan IV

membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengoptimalkan

kemampuan yang dimiliki.

Menambahkan dari klasifikasi yang telah dijelaskan di atas, Samuel

A. Kirk dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 29)

mengklasifikasikan kemampuan mendengar pada individu sebagai berikut:

a. Kehilangan pendengaran 0 dB, menunjukkan kemampuan mendengar

yang optimal

b. Kehilangan pedengaran 0 – 26 dB, menunjukkan seseorang masih

mempunyai pendengaran normal.

c. Kehilangan pendengaran 27 – 40 dB, kesulitan mendengar bunyi yang

jauh sehingga membutuhkan terapi bicara, tergolong pada tunarungu

ringan.

d. Kehilangan pendengaran 41 – 55 dB, mengerti bahasa percakapan, tidak

dapat mengikuti diskusi kelas, membutuhkan bantuan alat dengar dan

terapi bicara, tergolong tunarungu sedang.

e. Kehilangan pendengaran 56 – 70 dB, hanya bisa mendengar suara dari

jarak dekat, belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu

mendengar serta dengan cara yang khusus, tergolong tunarungu agak

(34)

f. Kehiangan pendengaran 71 – 90 dB, hanya bisa mendengar bunyi yang

sangat dekat, kadang dianggap tuli sehingga membutuhkan pendidikan

khusus secara intensif dibantu dengan alat bantu dengar serta latihan

bicara. Tergolong tunarungu berat.

g. Kehilangan pendengaran 91 dB ke atas, memiliki kemungkinan sadar

akan adanya bunyi atau suara dan getaran. Banyak bergantung pada

penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi,

tergolong tunarungu berat sekali.

Berdasarkan uraian mengenai klasifikasi tingkat kemampuan

mendengar pada individu yang telah dijelaskan di atas, diketahui bahwa

pendapat setiap ahli berkenaan dengan klasifikasi kemampuan mendengar

individu cenderung berbeda-beda rentang angkanya. Namun, tipe-tipe

golongan individu yang mengalami gangguan pendengaran cenderung sama,

yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan, sedang, hingga berat. Dari

uraian tersebut peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa hal penting yang

perlu diperhatikan dalam kehidupan nyata individu yang mengalami

gangguan pendengaran adalah pelaksanaan pemeriksaan dan asesmen secara

individual. Tindakan tersebut mampu mengumpulkan informasi mengenai tingkat kemampuan dengar dan potensi yang lebih jelas dan terarah yang

bisa dijadikan bekal pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.

Pengklasifikasian yang dilakukan oleh beberapa ahli sifatnya yaitu

memberikan pedoman dan informasi mengenai ciri-ciri secara umum pada

(35)

Oleh karena itu informasi tersebut tidak dapat diterima secara mentah

pada kasus yang ditemui di kehidupan nyata, perlu adanya pembuktian dan

identifikasi lebih mendalam guna mengoptimalkan pelayanan yang

diberikan kepada individu yang mengalami gangguan pendengaran tersebut.

3. Karakteristik Anak Tunarungu

Karakteristik merupakan ciri khusus yang memberikan informasi

mengenai suatu hal agar lebih mudah diidentifikasi. Oleh karena itu

karakteristik anak tunarungu dapat diartikan sebagai ciri-ciri khusus yang

mampu dijadikan pedoman identifikasi dan atau penilaian bahwa individu

tersebut mengalami gangguan pendengaran. Adapun karakteristik pada anak

tunarungu di antaranya yaitu:

a. Karakteristik pada Aspek Intelegensi

Permanarian Somad dan Hernawati (1996: 35) menyatakan bahwa

pada umumnya anak tunarungu memiliki kecerdasan seperti anak normal

(tidak mengalami gangguan pendengaran), yaitu mulai dari intelegensi

yang tinggi, sedang hingga rendah. Namun, anak tunarungu cenderung

menampakkan intelegensi yang rendah dengan alasan bahwa

perkembangan intelegensi dipengaruhi oleh perkembangan bahasa

sedangkan anak tunarungu mengalami kesulitan dalam memahami

bahasa. Sutjihati Somantri (2006 : 97) menyatakan bahwa sebenarnya

tidak semua aspek intelegensi pada anak tunarungu terhambat karena

aspek intelegensi yang cenderung terhambat yaitu berkaitan dengan

(36)

menghubungkan, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. Tin

Suharmini (2009: 40) menegaskan bahwa anak tunarungu secara

potensial tidak mengalami masalah, yang menjadi masalah yaitu

menetapkan cara mengembangkan potensi intelegensi tersebut.

b. Karakteristik pada Aspek Bahasa dan Bicara

Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 35-36) menyatakan

perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu tidak mengalami

permasalahan sampai pada tingkat meraban. Namun, setelah itu

perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Ketika

memasuki masa meniru, peniruan anak tunarungu terbatas pada hal yang

bersifat visual atau berupa gerakan. Oleh karena itu perkembangan

bahasa dan bicara anak tunarungu membutuhkan adanya pembinaan

secara khusus dan intensif sesuai dengan tingkat ketunarunguan dan

potensi pendukung lain. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Suparno dan Tin Suharmini dalam Tin Suharmini (2009:

40), diperoleh informasi bahwa kesulitan yang dihadapi anak tunarungu,

khususnya anak tunarungu remaja dalam penggunaan bahasa ketika

melakukan komunikasi antara lain yaitu: (1) kesulitan dalam

menyampaikan pendapat, (2) kesulitan menangkap atau menerima pesan,

(3) sering terjadi kesalahan persepsi, (4) kesulitan dalam menyusun

kata-kata dengan struktur kalimat atau tata bahasa yang benar serta, (5) kurang

mempertimbangkan penggunaan bahasa dengan menyesuaikan lawan

(37)

Berdasarkan karakteristik pada aspek bahasa dan bicara yang telah

dijelaskan di atas, diketahui anak tunarungu mengalami kesulitan dalam

menyusun kata-kata dengan struktur kalimat atau tata bahasa yang benar.

Oleh karena itu diperlukan metode khusus yang diterapkan untuk dapat

mengatasi permasalahan tersebut.

c. Karakteristik pada Aspek Emosi dan Sosial

Sutjihati Somantri (2006: 98-99) menyatakan keadaan emosi anak

tunarungu selalu bergolak akibat dari miskinnya bahasa serta pengaruh

dari lingkungan yang diterimanya. Seringkali anak tunarungu mengalami

kesalahan dalam mempersepsikan sesuatu sehingga memicu tekanan

pada emosinya. Tekanan emosi tersebut mampu menghambat

perkembangan kepribadiannya, seperti menampilkan sikap menutup diri

ataupun justru bersikap agresif terhadap lingkungan. Pada umumnya

lingkungan melihat anak tunarungu sebagai individu yang memiliki

kekurangan, hal tersebut tentunya membuat anak rendah diri. Anak

tunarungu sering mengalami kecemasan karena harus menghadapi

lingkungan dengan komunikasi yang beragam sehingga memicu

timbulnya kebingungan, konflik, dan ketakutan.

Menambahkan pendapat yang telah dijelaskan di atas, Tin

Suharmini (2009: 83-84) menyatakan bahwa kesalahan persepsi dari

komunikasi yang dilakukan anak tunarungu, ditambah respon lingkungan

yang kurang menyenangkan mampu menimbulkan adanya salah

(38)

lingkungan yang bermacam-macam membuat anak tunarungu mengalami

kebingungan dan kecemasan karena anak memiliki keterbatasan

kemampuan berbahasa yang diperlukan dalam mengenalkan

norma-norma. Bentuk-bentuk perilaku sosial yang ada pada anak tunarungu

adalah sugesti, simpati, imitasi visual, dorongan untuk bersahabat,

menarik diri dari lingkungan yang lebih luas dan kecemasan sosial.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang ada di

sekeliling anak memegang peranan penting dalam mengendalikan dan

mengembangkan aspek emosi dan perilaku pada anak tunarungu.

Penerimaan dan respon positif yang diberikan lingkungan terhadap

keberadaan anak merupakan hal yang dibutuhkan dalam proses

perkembangan aspek emosi dan perilaku sosialnya.

4. Pemerolehan Bahasa Anak Tunarungu

Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati dalam Murni Winarsih

(2007: 41) menyatakan pemerolehan bahasa diartikan sebagai proses

perkembangan alami bahasa pertama yang terjadi tanpa disadari dan

digunakan untuk keperluan komunikasi semata tanpa kesadaran adanya

kaidah bahasa. Murni Winarsih (2007: 63- 66) menyatakan pemerolehan

bahasa pertama atau bahasa ibu pada bayi, umumnya melalui indera

pendengaran (reseptif) dan mengekspresikannya secara lisan. Sedangkan

bagi anak tunarungu, informasi dari lingkungan ditangkap melalui indera

penglihatan. Oleh karena itu, bayi tunarungu lebih menggunakan indra

(39)

berbicara mengenai hal yang diamati secara bersama-sama. Namun, pada

bayi tunarungu ujaran si ibu tidak dapat didengar sehingga tidak

menciptakan adanya interaksi. Hal tersebut menyebabkan bahasa batini bayi

tunarungu bukan berupa lambang bahasa melainkan berupa lambang visual

yang diperoleh anak dari pengalaman sehari-hari. Myklebust dalam

Permanarian Somad dan Hernawati (1996: 138) menggambarkan proses

[image:39.595.189.420.274.636.2]

pemerolehan bahasa pada anak tunarungu sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Pemerolehan Bahasa pada Anak Tunarungu (dalam Permanarian Somad dan Hernawati, 1996: 138)

Bahasa Ekspresif Visual (Menulis)

Bahasa Reseptif Visual (Membaca) 

Bahasa Ekspresif Auditori (Bicara)

Bahasa Reseptif Visual

(Memahami ungkapan bahasa lingkungan)

Bahas Batini (Hubungan antara lambang visual dengan pengalaman sehari-hari)

PENGALAMAN

(40)

Keterampilan membaca ujaran pada anak tunarungu perlu

dikembangkan sebagai dasar pengembangan bahasa batini, maka bahasa

batini anak tunarungu akan terdiri dari kata-kata seperti yang tampil pada

gerak dan corak bibir sebagai pengganti bunyi bahasa berupa vokal,

konsonan, dan intonasi pada anak yang mendengar.

Oleh karena itu keterampilan membaca ujaran merupakan hal penting

yang dibutuhkan anak tunarungu dalam proses pemerolehan bahasanya.

Berkaitan dengan penelitian ini, apabila anak memiliki keterampilan

membaca ujaran yang baik maka hal tersebut merupakan modal penting

yang dibutuhkan anak untuk mampu memahami susunan kalimat yang benar

dalam kegiatan komunikasi dengan bahasa lisan maupun tulisan.

5. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

Murni Winarsih (2007: 18) menyatakan perkembangan bahasa

merupakan proses mengenal kata-kata dan kalimat mulai dari yang sangat

sederhana hingga kompleks. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996:

138-140) menjelaskan perkembangan bahasa anak tunarungu pada awalnya

tidak berbeda dengan perkembangan bahasa anak normal. Pada usia awal,

bayi akan mengeluarkan suara melalui tangisan. Kemudian kurang lebih

ketika mencapai usia enam bulan anak mencapai tahap meraban. Pada tahap

ini anak tunarungu mulai membuat bunyi-bunyian konsonan dan vokal

seperti anak normal pada umumnya. Namun, akibat dari ketidakmampuan

mendengar stimulus yang diberikan oleh lingkungan menyebabkan bayi

(41)

menyebabkan perkembangan bahasa pada anak yang mengalami

ketunarunguan berhenti sampai pada tahap meraban. Tidak adanya masukan

bunyi membuat alat bicara yang dimiliki anak dengan gangguan

pendengaran tidak terlatih untuk berbicara sehingga alat bicaranya menjadi

kaku.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

anak tunarungu memerlukan adanya layanan dan bimbingan khusus secara

lebih intensif dalam mengembangkan kemampuan bahasanya. Salah satunya

yaitu untuk meningkatkan keterampilan menyusun kalimat sesuai dengan

struktur dan atau tata bahasa yang benar sehingga mampu dijadikan bekal

dalam pengembangan keterampilan menulis dan komunikasi. Hal tersebut

mutlak diperlukan agar pesan yang disampaikan pada anak mampu diterima

dan dimaknai dengan mudah dan benar.

B.Kajian Mengenai Keterampilan Menyusun Kalimat 1. Pengertian Keterampilan

Bagi siswa tunarungu, keterampilan dalam melakukan komunikasi

merupakan modal penting di dalam hubungan interaksi. Keterampilan

menurut Slamet Riadi, dkk (1984:165) yaitu kemampuan khusus untuk

memanipulasi alat, ide dan prinsip dalam melaksanakan suatu kegiatan

maupun memecahkan suatu persoalan, meliputi aspek komunikasi,

komputasi, dan mekanisasi. Siswa tunarungu mengalami kesulitan

berkomunikasi akibat dari terhambatnya perkembangan kemampuan

(42)

perkembangan aspek bahasanya yaitu berkaitan dengan keterampilan

menyusun kalimat sesuai dengan struktur dan atau pola yang benar. Siswa

mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan menempatkan kosakata

dalam suatu kalimat hingga dapat membentuk kalimat utuh sesuai struktur

yang benar. Hal tersebut tentunya memiliki keterkaitan dengan

karakteristik miskinnya pemahaman kosakata yang dimiliki siswa. Masalah

tersebut menyebabkan siswa memerlukan pengetahuan mengenai fungsi

dan kedudukan dari masing-masing unsur kalimat beserta contoh-contoh

kosakatanya sebagai gambaran mengenai konsep penyusunan kalimat.

2. Pengertian Keterampilan Menyusun Kalimat

Kalimat merupakan salah satu sarana yang diperlukan dalam

melakukan komunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Hasan Alwi, dkk

( 2014: 317) menyatakan kalimat merupakan satuan bahasa terkecil, dalam

wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan pikiran utuh. Menurut Abdul

Chaer ( 2006: 327) kalimat merupakan satuan bahasa yang berisi suatu

“pikiran” atau “amanat” yang lengkap. Fachruddin A.E. ( 1988: 75)

menyatakan belum diketahui secara pasti apa yang dimaksud dengan

pikiran yang lengkap. Dilihat dari segi bentuknya, kalimat merupakan

kelompok kata yang mempunyai arti tetentu, terdiri atas subyek dan

predikat dan tidak tergantung pada suatu konstruksi gramatika yang lebih

besar. Berdasarkan pengertian kalimat yang telah dijelaskan di atas, peneliti

(43)

informasi secara untuh sesuai dengan struktur gramatika denan

mengikutsertakan jenis unsur-unsurnya.

Keterampilan menyusun kalimat dalam ilmu Bahasa Indonesia

merupakan cakupan dari aspek sintaksis. Samuel A. Kirk & James J.

Gallagher (1991: 11) menyatakan bahwa sintaksis merupakan susunan kata,

yaitu suatu cara yang mengatur kata-kata dalam kalimat dan hubungan dari

antar kata tersebut. Pengertian sintaksis berarti bagian-bagian kalimat,

mengetahui bahwa subjeknya sebagai pelaku, kata kerjanya adalah

perbuatan, dan objek merupakan penerima perbuatan yang dilakukan.

Endang Supartini (2003: 17) menyatakan sintaksis berarti mempelajari isi

bahasa yang berhubungan dengan tata bahasa. Tata bahasa tersebut

memiliki hubungan dengan pola kalimat dan pembentukan kalimat.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

keterampilan menyusun kalimat merupakan suatu kemampuan khusus

untuk dapat mengurutkan dan memposisikan satuan bahasa terkecil,

terbentuk dari kelompok kata yang mempunyai arti atau pikiran tertentu

pada suatu konstruksi gramatika atau pola yang telah ditentukan sehingga

ide atau pesan yang disampaikan mampu ditangkap dan dipahami dengan

baik dan benar. Oleh karena itu seseorang perlu memiliki pengetahuan

mengenai jenis unsur pada kalimat, fungsi dan kedudukan setiap unsur

kalimat, dan berbagai macam pola kalimat sehingga mampu menyusun

(44)

3. Jenis Kalimat

Menurut Abdul Chaer (2006: 329), kalimat berkenaan dengan

intonasi yang menyiratkan amanat pernyataan, pertanyaan, dan perintah,

maka dibagi menjadi (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, (3) kalimat

perintah, dan (4) kalimat seruan. Sedangkan menurut Hasan Alwi, dkk

(2014: 343-344), jenis kalimat dapat ditinjau dari sudut (a) jumlah

klausanya (b) bentuk sintaksisnya (c) kelengkapan unsurnya, dan (d)

susunan subjek dan predikatnya. Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat

dapat dibagi atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal

dapat dibedakan lagi berdasarkan kategori predikatnya menjadi (1) kalimat

berpredikat verbal, (2) kalimat berpredikat adjektival, (3) kalimat

berpredikat nominal (termasuk pronominal), (4) kalimat berpredikat

numeral, dan (5) kalimat berpredikat frasa preposisional. Kalimat

majemuk juga dapat dibagi lagi atas (1) kalimat majemuk setara dan (2)

kalimat majemuk bertingkat. Bedasarkan bentuk atau kategori

sintaksisnya, kalimat lazim dibagi atas (1) kalimat deklaratif atau kalimat

berita, (2) kalimat imperatif atau kalimat perintah, (3) kalimat interogatif

atau kalimat tanya, dan (4) kalimat eksklamatif atau kalimat serum.

Pada penelitian ini tidak semua jenis kalimat akan diberikan

kepada subjek, penelitian berfokus pada peningkatan keterampilan

menyusun kalimat tipe klausa tunggal dengan predikat adjektival dan

bentuk sintaksis kalimat berita. Kalimat tipe klausa tunggal dengan

(45)

objek dan keterangan. Kalimat berita dipilih karena kalimat tersebut berisi

berita atau pernyataan yang perlu diketahui oleh orang lain (pendengar dan

pembaca) sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Abdul Chaer

(2006: 349).

4. Unsur Kalimat

Telah dijelaskan bahwa kalimat merupakan satuan bahasa yang berisi

pikiran lengkap. Lengkap mengartikan bahwa di dalam satuan bahasa yang

disebut dengan kalimat mengandung unsur-unsur berikut (Abdul Chaer,

2006: 327-328) :

a. Unsur atau bagian yang menjadi pokok pembicaraan, yang lazim

disebut dengan istilah subjek (S). Misalnya kata “adik” dalam kalimat

“Adik membaca buku.”

b. Unsur atau bagian yang menjadi “komentar” tentang subjek, disebut

dengan istilah predikat (P). Misalnya kata “membaca” pada kalimat

“Adik membaca buku.”

Kata predikat biasanya berupa kata kerja seperti contoh di atas,

tetapi dapat pula berupa frase kerja, kata sifat, atau frase sifat seperti

contoh berikut: 1) Saya tidak akan datang, 2) Rumah itu besar, 3) Rumah itu besar sekali.

c. Unsur atau bagian yang merupakan pelengkap dari predikat, lazim

disebut dengan istilah objek (O). Misalnya kata “buku” dalam kalimat

(46)

seperti contoh di atas, tetapi dapat juga berupa frase benda seperti

contoh berikut: Adik membaca buku sejarah.

d. Unsur atau bagian yang merupakan “penjelasan” lebih lanjut terhadap

predikat dan subjek, disebut dengan istilah keterangan (K). Misalnya

frase “di perpustakaan” pada kalimat “ Adik membaca buku di

perpustakaan.”

Unsur keterangan ini dapat memberi penjelasan tentang tempat

seperti contoh di atas, tetapi dapat juga memberi berbagai penjelasan

lain seperti keterangan waktu, sebab, akibat, syarat, alat, dan

sebagainya.

1) Hari ini dia datang terlambat. (Keterangan waktu) 2) Dia terlambat karena hujan. (Keterangan sebab)

3) Dia dipukuli orang ramai sampai babak belur. (Keterangan akibat) 4) Saya akan hadir di sana. (Keterangan tempat)

5) Adik menulis dengan pensil. (Keterangan alat)

Subjek dan predikat merupakan unsur yang harus ada di dalam setiap

kalimat, sedangkan unsur objek dan keterangan tidak harus selalu ada.

Apabila unsur objek dan unsur keterangan tidak ada di dalam kalimat,

maka kalimat tersebut masih tetap merupakan kalimat sempurna.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan seluruh unsur-unsur

kalimat seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu meliputi subjek,

predikat, objek dan keterangan. Hanya saja peneliti memberikan batasan

(47)

tersebut diantaranya, unsur subjek yang digunakan berfokus pada pelaku

(manusia), unsur predikat berfokus pada kata-kata kerja sehingga mampu

dikembangkan menjadi kalimat yang lebih luas. Ida Bagus Putrayasa

(2012: 27) menyatakan predikat yang terdiri atas kata kerja mempunyai

kemungkinan paling banyak untuk dikembangkan, yaitu dapat

dikembangkan dengan penambahan dua jenis unsur meliputi perluasan

objek dan keterangan. Unsur objek pada penelitian ini berfokus pada

kosakata benda. Unsur keterangan dibatasi pada jenis keterangan tempat

dan waktu. Batasan tersebut ditetapkan agar siswa tidak mengalami

kesulitan dan kebingungan. Inti dari keterampilan yang diberikan yaitu

siswa mulai mengetahui dan memahami bahwa suatu kalimat harus

disusun sesuai dengan struktur yang telah ditentukan agar mampu

ditangkap dan dimaknai dengan mudah dan benar.

5. Pola Kalimat

Berdasarkan batasan jenis kalimat yang telah ditentukan dalam

penelitian, yaitu kalimat berklausa tunggal berprdeikat kata kerja aktif

dengan sintaksis kalimat berita maka pola-pola kalimat yang akan

diberikan kepada subjek merupakan pola-pola kalimat dasar. Kalimat

dasar menurut Hasan Alwi, dkk (2014: 326) yaitu kalimat yang (i) terdiri

atas satu klausa yaitu setidaknya terdiri dari unsur subjek dan predikat

yang memuat satu informasi secara utuh (klausa tunggal), (ii)

unsur-unsurnya lengkap, (iii) susunan unsur-unsur-unsurnya menurut urutan yang

(48)

pengingkaran yang diartikan bahwa kalimat tersebut bukan merupakan

kalimat pertanyaan maupun kalimat yang bermakna negatif karena

memuat unsur kosakata tidak. Pola-pola kalimat dasar menurut Hasan

Alwi, dkk (2014: 329) antara lain yaitu: (1) Kalimat dasar bepola S-P, (2)

Kalimat dasar berpola S-P-O, (3) Kalimat dasar berpola S-P-Pelengkap,

(4) Kalimat dasar berpola Keterangan, (5) Kalimat dasar berpola

S-P-O-Pelengkap, dan (6) Kalimat dasar berpola S-P-O-Keterangan.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hasan Alwi, dkk (2014:343)

menyatakan unsur predikat pada kalimat dapat berupa kata verbal, adjektif,

nominal, numeral dan frasa prepoposional. Namun, pada penelitian ini

peneliti membatasi ruang lingkup kalimat dengan bentuk predikat berupa

kata verbal (kerja) saja agar dapat dikembangkan menjadi kalimat yang

lebih luas (ditambahkan objek dan keterangan). Tidak semua pola kalimat

di atas akan diberikan kepada siswa, peneliti membatasi pola kalimat yang

akan diberikan. Pola kalimat yang akan diberikan diantaranya yaitu pola

kalimat S-P (Subjek-Predikat), S-P-O (Subjek-Predikat-Objek), dan pola

kalimat S-P-O-K (Subjek-Predikat-Objek-Keterangan). Hal tersebut

dengan alasan bahwa pola-pola tersebut merupakan pola-pola dasar yang

wajar diberikan terlebih dahulu kepada siswa agar setidaknya siswa

mampu menangkap konsep mengenai struktur kalimat yang terdiri dari

unsur-unsur penyusun dengan fungsi dan kedudukan yang

berbeda-beda.Unsur subjek, predikat, objek dan keterangan merupakan unsur

(49)

6. Penilaian Keterampilan Menyusun Kalimat

Keterampilan menyusun kalimat terdiri atas beberapa komponen

yang perlu dikuasai oleh subjek agar dapat dinyatakan terampil. Sabbati

Akhaidah, dkk (1988:117) menyatakan kalimat terdiri atas kata-kata. Kata-

kata ini merupakan unsur kalimat yang secara bersama-sama dan menurut

sistem tertentu membentuk struktur. Sebagai unsur kalimat kata-kata

tersebut masing-masing menduduki fungsi tertentu. Pernyataan tersebut

dimaknai oleh peneliti bahwa untuk dapat menyusun sebuah kalimat yang

tepat sesuai tata bahasa, seorang individu harus memiliki pengetahuan

bahwa di dalam kalimat terdapat beberapa jenis unsur dengan fungsi dan

kedudukan masing-masing sehingga mampu membentuk kalimat yang

sesuai dengan struktur maupun pola tertentu yang telah ditetapkan.

Komponen-komponen yang telah dijelaskan di atas mampu

dijadikan pedoman dalam menunjukkan tingkat keterampilan menyusun

kalimat setiap subjek melalui kegiatan tes. Oleh karenanya komponen

yang dimuat dalam instrumen tes terdiri dari pengetahuan mengenai jenis

unsur kalimat, menentukan kalimat sesuai dengan pola kalimat dasar yang

tepat, menentukan kedudukan kosakata dalam kalimat sesuai dengan jenis

unsur dan fungsingya, serta mampu menyusun kosakata acak menjadi

kalimat yang sesuai dengan struktur. Setiap komponen tersebut dijabarkan

oleh peneliti ke dalam soal tes yang ditetapkan untuk mengetahui tingkat

keterampilan menyusun kalimat setiap subjek. Soal tes yang diberikan

(50)

kalimat yang sesuai dengan struktur). Rubrik penilaiann tes keterampilan

menyusun kalimat secara rinci dijelaskan di Bab III mengenai kisi-kisi

intrumen tes.

C.Kajian Mengenai Metode Mind Map 1. Pengertian Metode Mind Map

Guna mencapai tujuan pada suatu program, tentunya dibutuhkan

suatu metode yang ditetapkan untuk dapat merealisasikannya. Metode

dapat diartikan sebagai proses atau prosedur yang hasilnya adalah belajar

atau dapat pula merupakan alat yang memiliki makna belajar menjadi aktif

(Abdul Aziz Wahab, 2012: 83). Pendapat senada diungkap oleh Wina

Sanjaya (2006: 147) yang menjelaskan metode merupakan suatu cara yang

digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun pada

kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun mampu tercapai secara

optimal. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

metode merupakan suatu prosedur atau cara yang ditempuh guna

mensukseskan atau mencapai hasil optimal dari tujuan yang telah

ditetapkan. Tujuan dari penelitian ini hendak dicapai dengan memanfaatkan

metode mind map

Tony Buzan (2007: 4-9) menjelaskan mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil

(51)

mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya. Mind map lebih merangsang secara visual daripada metode pencatatan tradisional yang cenderung linier

dan satu warna. Tony Buzan (2003: 35) menyatakan otak kita tidak berpikir

secara linier dan runtut, melainkan berpikir secara radial (memancar) dan

meledak-meledak. Tony Buzan ( 2003: 113) menjelaskan membuat catatan

secara linier bukan hanya sebagai penjara, tetapi mirip dengan sekumpulan

irisan pedang. Mind map memungkinkan pikiran untuk menjelajahi jagad asosiatif tanpa batas yang dapat diciptakan otak.

Hal tersebut akan memudahkan proses mengingat informasi yang

dicantumkan dalam mind map. Tony Buzan (2010: 60) menyatakan mind map melibatkan kedua sisi otak karena mind map menggunakan gambar, warna, dan imajinasi yang merupakan wilayah kerja otak kanan bersamaan

dengan kata, angka, dan logika yang merupakan wilayah kerja otak kiri.

Sutanto Windura (2009:26) mengemukakan mind map merupakan suatu teknik grafis yang memungkinkan adanya eksplorasi seluruh kemampuan

otak dalam kegiatan berpikir dan belajar. Keterlibatan kedua belahan otak

memungkinkan seseorang untuk lebih mudah mengatur dan mengingat

segala informasi, baik secara verbal maupun tulisan. Mind map menggunakan sebuah gagasan atau gambar sentral. Kemudian gagasan

tersebut dieksplorasi melalui cabang-cabang yang mewakili gagasan utama

yang kesemuanya terhubung pada gagasan sentral (Tony Buzan, 2005: 6).

(52)

memberi umpan secara serentak dan memperkuat sisi lainnya dengan cara

yang memberikan potensi kreatif yang tak terbatas (Tony Buzan, 2005: 7).

Mind map membantu dalam proses belajar, mengatur, dan menyimpan sebanyak mungkin informasi yang diinginkan, serta menggolongkan

informasi tersebut secara wajar sehingga memungkinkan munculnya akses

seketika (daya ingat yang sempurna) (Tony Buzan, 2006: 13).

Oleh karena itu dapat disimpulkan mind map merupakan salah satu metode belajar yang memanfaatkan seluruh bagian otak secara optimal

dalam mempelajari suatu konsep. Pada penelitian ini metode mind map diterapkan dengan bantuan media berupa bagan mind map. Bagan mind map pada penelitian ini dibuat dengan menyertakan gambar, warna dan garis

lengkung yang merupakan wilayah kerja otak kanan dan menyertakan

tulisan dan hubungan asosiatif yang merupakan wilayah kerja otak kiri.

Konsep disampaikan dengan bantuan catatan berupa bagan mind map yang

berbentuk radial (memancar) dan bersifat ringkas, menarik, serta kreatif

apabila dibandingkan dengan cara mencatat tradisional yang cenderung

linear dan satu warna. Hal tersebut merangsang kemampuan otak secara

lebih optimal terhadap penamatan secara visual. Dengan demikian informasi

maupun pengetahuan yang diperoleh menjadi lebih mudah diterima,

dipahami dan diingat dengan memanfaatkan indra penglihatan. Karakteristik

dari metode mind map yang telah dijelaskan di atas mendukung karakteristik siswa tunarungu yang memang lebih dapat menerima dan

(53)
[image:53.595.141.511.136.422.2]

pengamatan secara visual. Contoh bentuk bagan mind map yang dibuat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2. Bagan Mind Map sebagai Media untuk Menjelaskan Konsep Mengenai Unsur-Unsur pada Kalimat

Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa peneliti benar-benar

telah menerapkan beberapa karakteristik dari metode mind map, yaitu menyertakan gambar, warna dan garis lengkung yang merupakan wilayah

kerja otak kanan dan menyertakan tulisan dan hubungan asosiatif yang

merupakan wilayah kerja otak kiri. Pada penelitian ini, kata-kata penyusun

kalimat diklasifikasikan berdasarkan unsur dan fungsinya, sehingga siswa

lebih mudah menerima dan memaknai setiap kata yang diberikan. Penyajian

yang singkat disertai bantuan gambar dan warna mampu menguatkan

ingatan siswa tunarungu yang memang cenderung memahami suatu kata

(54)

diperkuat dengan proses pemaknaan kata melalui bantuan gambar maupun

pengalaman langsung. Misalkan saja siswa mengatahui kata “bunga”

pertama-tama dengan mengamati bentuk tulisannya, kemudian memberikan

pemaknaan dengan bantuan gambar maupun benda kongkrit. Dalam hal ini

mind map membantu siswa untuk dapat mengklasifikasikan kata sesuai dengan unsur beserta fungsinya yang kemudian mampu disusun menjadi

suatu kalimat utuh sesuai dengan struktur. Apabila kemampuan tersebut

dapat ditingkatkan, maka secara bersamaan hal tersebut turut meningkatkan

penguasaan kosakata pada siswa tunarungu.

2. Kelebihan Mind Map

Dipilihnya mind map sebagai metode yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah karena menurut Bobbi De Poter (2007: 172)

mind map memiliki manfaat antara lain: (1) fleksibel, mind map dapat dengan mudah ditambahkan di tempat yang sesuai dengan peta pikian anda

tanpa merasa kebingungan, (2) dapat memusatkan pehatian, yaitu langsung

bekonsentrasi pada gagasannya, (3) meningkatkan pemahaman, ketika

membaca suatu tulisan maka peta pikiran akan memberikan pemahaman

dan tinjauan ulang yang lebih berarti, (4) menyenangkan, imajinasi dan

kreativitas tidak tebatas yan menjadikan pembuatan dan peninjauan ulang

catatan lebih menyenangkan. Menambahkan pendapat yang telah dijelaskan

sebelumnya, Michael Michalko (Tony Buzan, 2010: 6-7) mengungkapkan

(55)

menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang saling

terpisah, (4) memberikan gambaran yang jelas pada keseluruhan dan

perincian, (5) memungkinkan dalam pengelompokkan konsep dan

membantu dalam membandingkan, serta (6) mensyaratkan untuk

memusatkan pehatian pada pokok bahasan yang membantu mengalihkan

informasi dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang.

Berdasarkan kelebihan-kelebihan yang dijelasakan pada paragraf

sebelumnya, peneliti membuat keputusan untuk menggunakan metode mind map dalam upaya meningkatkan keterampilan menyusun kalimat pada siswa tunarungu. Peneliti memiliki anggapan bahwa metode mind map dapat digunakan sebagai salah satu metode alternatif dalam kegiatan belajar

anak tunarungu, khususnya pada kegiatan pembelajaran menyusun kalimat.

3. Langkah Penerapan Mind Map

Setiap metode yang akan dimanfaatkan dalam suatu tindakan

tentunya memiliki langkah-langkah atau tahapan yang perlu dilakukan agar

metode tersebut dapat berfungsi secara optimal. Tony Buzan (2010: 35-36)

ada tujuh langkah yang dapat digunakan untuk membuat mind map yang lengkap dengan cara yang sederhana, mudah, dan menyenangkan. Adapun

langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Memulai dari bagian tengah kertas yang sisi panjangnya diletakkan

mendatar. Memulai dari tengah ketas memberikan kesan kepada otak

untuk menyebarkan ke segala arah dan untuk mengungkapkan dirinya

(56)

b. Menggunakan gambar dan foto sebagai ide sentral. Dengan sebuah

gambar dapat membantu untuk berimajinasi, karena sebuah gambar

bermakna seribu kata. Sebuah gambar sentral akan lebih menarik,

membuat kita tetap fokus, berkonsentrasi dan mengaktifkan otak.

c. Menggunakan warna selama proses pembuatan. Alasannya warna dapat

merangsang berfikir keatif, membantu kita memilah-milah areanya,

merangsang pusat-pusat warna pada otak dan menangkap perhatian serta

minat mata kita.

d. Menghubungkan cabang-cabang utama ke gambar pusat dan

menghubungkan cabang-cabang tingkat dua dan tiga ke tingkat satu dan

dua serta seterusnya. Otak bekerja bedasarkan asosiasi dan jika

cabang-cabang tersebut saling berkaitan maka akan menyalakan lebih banyak

pikiran kreatif.

e. Membuat garis melengkung, bukan garis lurus. Garis lurus akan

membosankan otak. Cabang-cabang melengkung dan organis seperti

cabang pohon jauh lebih menarik bagi mata.

f. Menggunakan satu kata kunci untuk setiap baris. Kata kunci tunggal

memberi lebih banyak daya dan fleksibel pada mind map. Setiap kata tunggal atau gambar adalah seperti pengganda, menghasilkan sedeet

asosiasi dan hubungannya sendiri. Bila kita menggunakan kata tunggal,

setiap kata ini akan bebas dan karenanya lebih bisa memicu ide dan

(57)

Sesuai dengan penjelasan pada bagian latar belakang, bentuk mind map yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu memanfaatkan gagasan utama berupa tulisan dan atau gambar yang diletakkan di bagian

tengah bidang kerja. Pada mulanya, siswa diberikan informasi mengenai

unsur-unsur pada kalimat disertai dengan fungsi dan contoh dari setiap

unsur tersebut. Informasi tersebut juga disampaikan dengan bantuan

metode mind map. Kemudian peneliti memanfaatkan bagan mind map yang lain untuk menjelaskan konsep pola kalimat, mulai dari SP, SPO

hingga SPOK. Di sekeliling gagasan utama pada

Gambar

Gambar 1. Skema Pemerolehan Bahasa pada Anak Tunarungu (dalam
Gambar 2. Bagan Mind Map sebagai Media untuk Menjelaskan
Gambar 3. Bagan Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 4. Tahapan Penelitian Tindakan Kelas Diadopsi dari Model
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini adalah model problem based learning efektif untuk meningkatkan keterampilan dasar otomotif bagi anak SMA tunarungu di SLB Negeri Surakarta

Histogram Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman dengan Penerapan Metode Bermain Peran pada Anak Tunarungu Kelas IV SLB Bhakti Kencana ..... Panduan Observasi

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa tuna rungu kelas 3 di SLB As-Syifa Lombok Timur dengan menggunakan metode mind map..

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama dua siklus dengan meng-gunakan Mind Map dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai keterampilan

Sedangkan obyek dalam penelitian ini adalah metode yang digunakan dalam pelaksanaan bimbingan konseling Islam bagi anak tunarungu siswa tingkat Sekolah dasar di

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan selama dua siklus dengan meng-gunakan Mind Map dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai keterampilan

1 Setelah dilakukan penelitian keterampilan menyusun teks deskripsi secara tertulis menggunakan metode mind map dengan alat bantu gambar pada siswa kelas VII B SMP Negeri 2 Pacitan

Penelitian tentang peningkatan kemampuan operasi penjumlahan bersusun menggunakan media kantong bilangan pada anak tunarungu kelas IV di SLB Prima Karya