• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DAPAT DIKATAKAN MERUPAKAN BAGIAN DARI OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DAPAT DIKATAKAN MERUPAKAN BAGIAN DARI OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEPUTUSAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DAPAT DIKATAKAN MERUPAKAN BAGIAN DARI OBJEK SENGKETA

TATA USAHA NEGARA A. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara

Ketetapan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama Beschikking oleh Van Vollenhoven dan C. W van der Pot yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H. D. Van Wiljk/Willemkonjinenbelt, dan lain-lain, dianggap sebagai “de vader vanhet modern beschikking begrip.64

Di Indonesia istilah Beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins ada yang memperkenalkan istilah Beschikking ini dengan “ketetapan”, seperti E. Utrecht, Bagir Manan, Sjchran Basah, Indroharto dan lain-lain, dan dengan “keputusan”. Djenal Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan istilah keputusan barang kali akan lebih tepat untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian dengan istilah ketetapan.65

Menurutnya di Indonesia istilah ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis, yaitu sebagai ketetapan MPR yang berlaku ke luar danke dalam. Meskipun penggunaan istilah keputusan dianggap lebih tepat. Istilah ketetapan dengan pertimbangan untuk membedakan dengan penerjemahan “besluit” (keputusan) yang

64Ridwan HR. Op. Cit, hal 144 65Ibid, hal 144-145.

(2)

sudah memiliki pengertian khusus, yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau sebagai peraturan perundang-undangan.

Istilah “Beschikking” sudah sangat tua dan dari segi kebahasaan digunakan dalam berbagai arti. Meskipun demikian, dalam pembahasan ini istilah Beschikking hanya dibatasi dalam pengertian yuridis, khususnya HAN. Menurut H. D van Wiljk Willem Konijnenbelt, ketetapan merupakan keputusan pemerintah untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan intrumen yuridis pemerintahan yang utama.66

Konsepsi tentang Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)67 dalam UU PERATUN berbunyi, keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarakan oleh Badan atau Pejabat yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan atau sering disebut Undang-undang Administrasi Pemerintahan , konsepsi KTUN ini diatur lebih detail dan menyeluruh, sehingga menimbulkan konstruksi baru tentang elemen-elemen yang terkandung dalam KTUN yang akan menjadi obyek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal 1 butir 7 berbunyi Keputusan administrasi pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut

66Ibid, hal 145-146. 67Ibid

(3)

Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN juga semakin luas karena disebutkan dalam Pasal 87, Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Sementara UU PERATUN masih mengandung konsep yang lebih rigid dan sempit.

Sumber hukum materil dalam sebuah pengujian Keputusan Tata Usaha Negara juga belum terakomodir melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negarajo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan akan mempermudah para hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menguji sebuah sengketa administrasi karena dapat menjadi sumber hukum materil dalam suatu pengujian Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan

(4)

keputusan yang dimaksud. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan dalam hal peraturan perundangan-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Bertolak belakang pada Pasal 77 ayat (5) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menyebutkan tentang penyelesaian upaya administratif berupa keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka keberatan tersebut dianggap dikabulkan. Disini dapat dilihat perubahan paradigma dalam pelayanan publik. Hal ini akan mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hukum acara mengenai pengajuan permohonan ini semestinya harus menyesuaikan diri agar tidak terjadi tumpang tindih dalam tindakan dan keputusan pihak yang berwenang.

Keputusan dan ketetapan Tata Usaha Negara merupakan tindakan Tata Usaha Negara, dimana tindakan Tata Usaha Negara tersebut terdiri dari 2 macam yaitu:

1. Tindakan hukum TUN berdasar hukum perdata (hukum privat) misalnya menyewakan ruang (Pasal 1548), jual-beli (Pasal 1457) ataupun perjanjian kerja (BK III BW) yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Negara untuk kepentingan jabatan.

2. Tindakan hukum TUN berdasarkan hukum publik, yaitu tindakan menurut hukum publik yang bersifat sepihak yang dilakukan oleh badan atau pejabat

(5)

TUN dalam rangka melaksanakan utusan pemerintahan dengan maksud menimbulkan akibat hukum.68

Bila melihat dan menganalisis dua (2) tindakan sebagaimana disebutkan di atas, maka selayaknya yang dapat dikatakan sebagai tindakan dari Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai muatan sebagai objek dari sebuatn keputusan administratif (keputusan tata usaha Negara) ialah tindakan yang diuraikan pada point kedua sebagaimana disebutkan di atas. Setelah mengetahui tindakan yang merupakan tindakan dari Pejabat Tata Usaha Negera, selanjutnya dapat mengetahui bentuk-bentuk dari sebuah keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut:

1. Keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan atau perintah. Misalnya pemberian ijin, dispensasi, dan konsesi.

2. Keputusan yang menyediakan sejumlah uang. Misalnya pemberian subsidi atau hibah.

3. Keputusan yang membebankan suatu kewajiban. Misalnya membayar pajak. 4. Keputusan yang member suatu kedudukan. Misalnya pengakatan seseorang

menjadi pejabat atau pegawai negeri.

5. Keputusan penyitaan. Misalnya pencabutan hak milik.69

68 Diana Halim Koentjoro, Hukum Adminitrasi Negara, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2004), hal 57.

69 Faisal Akbar Nasution, Makalah diajukan dalam acara Sosialisasi Administrasi Negara, yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Pakpak Barat Pada tanggal 20 April 2011.

(6)

Bentuk-bentuk di atas, dapat diterapkan serta mempunyai keabsahan di dalam pelaksanaannya, apabila telah memiliki 4 (empat) syarat sebagaimana diutarakan oleh van der pot:

1. Ketetapan harus dibuat oleh alat pemerintah yang berwenang

2. Pembentukan kehendak alat pemerintahan yang membuat keputusan tidak boleh memuat kekurangan yuridis.

3. Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan oleh peraturan yang menjadi dasarnya dan pembuatannya juga harus memperhatikan cara membuat keputusan dimaksud, apabila cara tersebut diutarakan secara tegas dalam peraturan dasar tersebut.

4. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.70 Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sesuai dengan syarat-syarat formil di atas sebagaimana disampaikan Van Den Pot, maka keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat berakibat sebagai berikut:

1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) itu harus dianggap batal sama sekali. 2. Berlakunya KTUN itu dapat digugat.

3. Dalam KTUN tersebut, sebelum dapat berlaku memerlukan persetujuan suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi.

4. KTUN itu diberi suatu tujuan lain daripada tujuan semula.71

70Ibid 71Ibid

(7)

B. Unsur-Unsur Keputusan Dikatakan Sebagai Keputusan Tata Usaha Negara Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah Undang undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan:

”Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisis tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. ”

Keputusan atau beschikking (sering pula dikatakan penetapan), dapat diberikan batasan, antara lain:

“Beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam menyelenggarakan hak istimewa, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan hukum”. Beschikking adalah suatu perbuatan hukum publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istemewa. Beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan yang ada pada alat atau organ tersebut.72

Berpijak dari ketiga batasan beschikking tersebut, bahwa beschikking adalah:

1. Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan persetujuan dua belah pihak.

2. Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan istemewa.

3. Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum.73 Beschikking mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Beschikking adalah selalu bersifat hukum publik.

Seperti halnya setiap keputusan administrative lainnya, Beschikking ini juga dikeluarkan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh suatu ketentuan hukum tata Negara atau hukum usaha Negara, jdi selalu bersifat hukum public.

2. Beschikking itu selalu bersifat sepihak. 72Habib Adjie. Op, Cit, hal 43.

(8)

Beschikking itu seperti halnya keputusan administrative lainnya juga selalu dikatakan bersifat sepihak. Sekalipun tidak jarang terjadinya suatu Beschikking itu (inspraak) ataupun atas dasar tercapainya persetujuan atau kerjasama dengan pikah yang terkena Beschikking yang bersangkutan (Zusimmung, Mittwerkung).

3. Beschikking itu bersifat individual, konkret, final.

Individual artinya mengenai orang atau orang-orang atau hal atau keadaan tertentu yang jelas individualisasinya. Konkret artinya tidak abstrak. Final artinya sudah defenitif sifatnya dan tidak memerlukan suatu keputusan atau tindakkan lain-lain baik entah itu dari pejabat yang berbuat atau instansi lain.74

Senada dengan pendapat yang disampaikan Ilham Lubis, maka beliau berpendapat unsur-unsur keputusan terdiri dari yaitu:

1. Bentuknya tertulis diterbitkan oleh Badan atau Jabatan TUN, berisi tindakan TUN, berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual, final, dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang maupun badan hukum perdata;

2. Keputusan yang merupakan kebijakan itu diterbitkan oleh badan atau jabatan TUN berdasarkan wewenang pemerintahnya yang bersifat diskresinor, jadi kedudukan produk yang merupakan pengaturan.75

Perubahan signifikan mengenai konstruksi definisi Keputusan Tata Usaha Negara dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan akan memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Definisi sebuah Keputusan Tata Usaha Negara hanya menggunakan kriteria berupa ketetapan tertulis, dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dan ketetapan tersebut dikeluarkan dalam rangka

74Ibid. hal 44-45.

75Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negera Medan Yaitu Ilham Lubis, wawancara yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 2016.

(9)

penyelenggaraan pemerintahan. Dibanding definisi Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara memberikan kriteria yang lebih sempit. Sebuah Keputusan Tata Usaha Negara harus memenuhi unsur konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dengan adanya definisi yang lebih luas dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan, kriteria Keputusan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara menjadi tidak relevan lagi. Namun dalam Pasal 87 Undang-undang Administrasi Pemerintahan menjunjukkan kriteria Keputusan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang-undang Pengadilan Tata Usaha Negara masih diakui eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna sebuah Keputusan Tata Usaha Negara.

Penetapan Tertulis dalan Undang-undang PERATUN direvitalisasi dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjadi bentuk yang tidak sekedar tindakan formal dalam bentuk tulisan, namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam bentuk Tindakan Faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Penetapan tertulis dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Bentuk penetapan itu harus tertulis

2. Ia dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN 3. Berisi tindakan hukum TUN

4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 5. Bersifat konkret, individual dan final

(10)

6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.76 Artinya pejabat TUN dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum dalam bentuk terbitnya sebuah beschikking akan tetapi penetapan juga dimaknai dalam bentuk dan atau tindakan faktual. Secara teoritis, Tindakan Faktual selama ini dipahami bukan bagian dari tindakan hukum pemerintah namun merupakan Tindakan Faktual yang dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.

Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal 22 – pasal 32 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Dalam pasal 1 ayat (9) disebutkan Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan memberikan ruang bagi pejabat TUN untuk menerbitkan Diskresi.

Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya dalam Undang-Undang Administrasi

76Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal. 163

(11)

Pemerintahan memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN. Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e UU PTUN, hanya terdapat satu sumber KTUN yang dikecualikan yakni KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada perkembangannya, tata usaha TNI saat ini sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan melalui Kementerian Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah komando Panglima TNI. Terlebih lagi belum adanya wadah untuk mengakomodir sengketa tata usaha militer. Pengadilan Tata Usaha Militer sampai saat ini belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ruang lingkup KTUN yang mencakup lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif, sementara TNI murni dibawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyeleggaraan pemerintahan di bidang pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit dalam pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat disengketakan di PTUN. Hal ini membuka tirai eksklusivistas dalam TNI yang sejatinya dalam negara demokrasi, tidak semestinya terdapat unsur-unsur yang tidak dapat tersentuh oleh hukum.

Berdasarkan pasal 53 ayat (2) UU PTUN, makna menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum. Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam mengonstruksi kerugian hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung, berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan hukum perdata. Namun dengan adanya klausul “berpotensi menimbulkan akibat hukum”

(12)

menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN yang kerugiannya belum nyata sekalipun telah dapat digugat di PTUN.

Klausul Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat, menambah makna baru dari Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN. Hilangnya redaksi “Individual” dalam pasal 1 ayat (7) dan pasal 87 UU AP, dalam konteks pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai sebuah keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat sangat relevan dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yakni asas erga omnes (asas yang menegaskan putusan Peradilan Administratif bersifat mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak yang terkait langsung dengan sebuah perkara atau KTUN).

Konsekuensi logis penerapan asas erga omnes ini terhadap pemberlakuan putusan PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat adalah Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak hanya individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN, namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpekluang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.

Demikian bila ditinjau dari aspek-aspek yang telah disebutkan di atas, maka unsur-unsur Keputusan Majelis Pengawas Notaris, yang dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Notaris dalam memberikan sanksi pada notaris yang melakukan pelanggaran administratif, merupakan sebuah putusan Tata Usaha Negara yang

(13)

bersifat Konkrit, Individual (karena sanksi yang diberikan ditujukan pada notaris secara perorangan dan bukan notaris secara keseluruhan atau kumulatif), serta final (pada bagian ini, sifat final tersebut, dalam pelanggaran tertentu bagi pelanggaran administrasi tidak ada kenal banding seperti putusan Majelis Pengawas Daerah Notaris yang memberikan izin pada penyidik kepolisian untuk memeriksa notaris tersebut).

C. Keputusan Majelis Pengawas Notaris Merupakan Bagian Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Majelis Pengawas dalam kedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Ketetapan yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan.

Dalam kedudukan seperti itu Surat Keputusan atau Ketetapan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh Notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai sengketa Tata Usaha Negara, jika Notaris merasa bahwa keputusan tidak tepat atau memberatkan Notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan yang transparan dan berimbang dalam pemeriksan. Peluang untuk mengajukan ke PTUN tetap terbuka setelah semua upaya administrasi, yang disediakan baik keberatan administratif maupun banding administrasi, telah ditempuh, meskipun dalam aturan hukum yang bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari badan atau Jabatan TUN tersebut telah menyatakan final atau tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan

(14)

upaya administratif dalam sengketa Tata Usaha Negara bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan Tata Usaha Negara.

Aspek positif yang didapat dari upaya ini adalah penilaian perbuatan Tata Usaha Negara yang dimohonkan tidak hanya dinilai dari segi penerapan hukum, tapi juga dari segi kebijaksanaan serta memungkinkan dibuatnya keputusan lain yang menggantikan keputusan Tata Usaha Negara terdahulu.

Catatan penting putusan majelis pengawas notaris pusat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan terakhir dalam hal pemberhentian sementara notaris. Akibat Hukum terhadap putusan Majelis Pengawas Notaris terhadap Notaris adalah dengan pemberian sanksi. Pengadilan Tata Usaha Negara dapat mengadili putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris karena Majelis Pengawas dalam kedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Ketetapan yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan.77

D. Bentuk-Bentuk Sanksi Administrasi yang Merupakan Bagian dari Keputusan Majelis Pengawas Notaris

Kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Undang-undang Jabatan Notaris cendrung berkaitan dengan pembuatan akta, yang mana kewajiban tersebut harus dipatuhi oleh notaris, sehingga apabila dilanggar kewajiban-kewajiban tersebut, maka 77Analisa hukum keputusan majelis pengawas pusat notaris yang diajukan kepada pengadilan tata usaha negara: studi kasus Putusan PTUN Jakarta No. 43/G/2011/PTUN-JKT, http://lib. ui. ac. id/bo/uibo/detail. jsp?id=20364955&lokasi=lokal

(15)

notaris tersebut dapat dikenakan sanksi yang ada dalam Undang-undang Jabatan Notaris yang bersifat administrasi adapun pelanggaran-pelanggaran yang mempunyai muatan sanksi administratif adalah:

1. Pelanggaran yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap melakukan jabatannya secara nyata terhitung paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan notaris kepada Menteri, Organisadsi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah, dan menyampoaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap atau stempel jabatan notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggungjawab di bidang pertanahan, Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta Bupati/Walikota di tempat Notaris diangkat.

2. Pelanggaran yang memuat tentang Notaris yang melanggar Pasal 16 ayat (1) yaitu:

a. Tidak bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Melanggar dalam membuat akta tidak dalam bentuk minuta akta dan melakukan pelanggaran dengan tidak menyimpannya sebagai bagian dari protokolnya Notaris kecuali dalam hal Notaris mengeluarkan akta ini original;

c. Tidak melekatkan surat, dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta;

d. Tidak mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

e. Tidak memberikan alasan penolakan dalam mebuat pelayanan terkait tugas jabatan Notaris serta tidak melakukan tugas sesuai dengan ketentuan UUJN;

(16)

f. Melakukan kelalaian dalam menjaga kerahasian segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. Melakukan pelanggaran karena tidak menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid dalam lebih satu buku, dan tidak mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Lalai atau tidak membuat daftar Aktya proses terhadap tidak dibayar atau

tidak diterimanya surat berharga;

i. Lalai atau tidak membuat daftar Akta berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap;

j. Tidak mengirimkan daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat atau daftar nihil ke pusat daftar wasiat pada kementeriaan yang menyelanggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. Lalai atau tidak mencatat dalam repotorium tanggal pengriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. Tidak memiliki atau mempunyai cap atau stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkuta;

m. Pelanggaran dengan tidak melakukan pembacaan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta Wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap, saksi dan notaris. Kecuali jika penghadap telah mebaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta dalam setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris tetapi terhadap pembacaan kepala Akta, komparisi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta tetap harus dibacakan;

n. Pelanggaran terhadap tidak membacakan akta dihadapan Penghadap untuk pembuatan akta Wasiat;

o. Pelanggaran dengan sengaja tidak menerima magang calon notaris. 3. Pelanggaran yang dilakukan notaris terhadap pada Pasal 17 UUJN yaitu:

a. Notaris menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya;

b. Notaris meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Notaris merangkap sebagai pegawai negeri; d. Notaris merangkap sebagi Advokat;

(17)

e. Merangkap sebagai pimpinan atau anggota pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Swasta; f. Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

dan/atau Pejabat Lelang Kelas II diluar tempat kedudukan Notaris; g. Notaris menjadi Notaris Pengganti;

h. Notaris melakukan pekerjaan lain yang bertentang dengan norma agama, kesusialaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.

4. Pelanggaran yang dilakukukan oleh Notaris menurut Pasal 19 UUJN, yaitu: a. Notaris mempunyai lebih dari satu kantor ditempat kedudukannya

maupun di luar tempat kedudukannya;

b. Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki tempat kedudukan yang berbeda, tidak mengikuti tempat kedudukan notaris;

c. Notaris tetap melakukan kewenangannya secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatannya di luar tempat kedudukkannya.

5. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 32 UUJN, yaitu: a. Notaris tidak memberikan protokol notaris kepada notaris pengganti pada

saat notaris tersebut menjalankan cuti;

b. Notaris tidak meminta protokol pada notaris pengganti setelah cuti berakhir;

c. Notaris tidak menjalani proses serah terima protokol tersebut dengan membuat berita acara dan menyampaikan pada Majelis Pengawas wilayah 6. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 37 UUJN, yaitu notaris tidak memberikan jasa hukum dibidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.

7. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 48 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran terhadap pewrubahan isi Akta yaitu: diganti, ditambah, dicoret, disisipkan, dihapus dan/atau ditulis tindih tanpa diberi paraf atau diberi tanda pengesahan lain penghadap saksi dan notaris.

8. Pelanggaran yang dilakukan notaris menurut Pasal 49 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran dengan tidak dibuatnya perubahan isi Akta pada sisi kiri Akta atau tidak menunujkan bagian yang diubah pada berubahan yang dibuat diakhir Akta, dengan menunjukan bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

9. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 50 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran terhadap tidak dibuatnya pada penutup akta tentang dinyatakan atau tidaknya penutup akta tentang dinyatakan atau

(18)

tidaknya perubahan atas pencoretan ataupun perubahan lain yang terjadi pada setia akta.

10. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 51 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran dengan tidak dibuatnya berita acara pembetulan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta Akta yang telah ditanda tangani serta memberikan catatan tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan ntanggal dan nomor Akta berita acara pembelian.

11. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 54 UUJN, yaitu notaris melakukan pelanggaran terhadap memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Groose Akta, Salinan Akta atau kutipan Akta kepada orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.

12. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 58 UUJN, yaitu Notaris melakukan pelanggran atas tidak dibuatnya daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat dibawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan oleh UUJN serta notaris tidak membuat akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, baik dalam minuta akta maupun yang aslinya, tanpa sela-sela kosong, masing-masing dalam ruang yang ditutup dengan garis-garis tinta, dengan mencantumkan nomor unit, nomor bulan, tanggal, dan sifat aktadan nama semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun kuasa orang lain.

13. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris menurut Pasal 59 UUJN, yaitu notaris tidak membuat akta klepper untuk daftar akta dan daftar surat dibawah tangan yang disahkan dan disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUJN selain menentukan apa yang tidak boleh dilakukan oleh notaris juga memuat sanksi-sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh notaris, sanksi-sanksi yang ada dalam UUJN bersifat administratifdan berlaku bagi profesi notaris, menurut UUJN sanksi-sanksi administratif tersebut berupa:

(19)

Salah satu cara pembinaan bagi notaris bila ia melakukan pelanggaran atau kesalahan menurut UUJN yang dikategorikan sebagai kesalahan atau pelanggaran ringan yang dilakukan notaris dalam melakukan pekerjaannya. 2. Peringatan Tertulis

Salah satu cara pembinaan bagi notaris apabila tendensi peringatan lisan (beberapa kali) tidak membuahkan perbaikan untuk notaris melakukan kesalahan atau pelanggaran ringan, maka akan dikeluarkan peringatan tertulis.78

3. Pemberhetian Sementara

Salah satu cara pembinaan bagi notaris yang melakukan pelanggaran yang ditentukan oleh UUJN, yaitu:

a. Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. Berada dibawah pengampuan;

c. Melakukan perbuatan tercela;

d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik notaris; atau

e. Sedang menjalani masa penahanan.79 4. Pemberhentian dengan hormat

Salah satu alasan atau sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang ditentukan oleh UUJN, yaitu:

78Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notaris, (Bandung: Sinar Bandung, 1985), hal 33.

(20)

a. Meninggal dunia;

b. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; c. Permintaan sendiri;

d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan notaris secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau

e. Merangkap jabatan.80

5. Pemberhetian dengan tidak hormat

Salah satu sanksi terhadap pelanggaran berat yang dilakukan oleh notaris yang ditentukan oleh UUJN, yaitu:

a. Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. Berada dibawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;

c. Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris; atau

d. Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.81 Pelanggaran-pelanggaran yang ditentukan oleh UUJN kepada notaris beserta sanksi yang mengikutinya harus mempunyai proses yang mengutamakan keadilan serta kepastian hukum dalam melakukan penindakan atas pelanggaran yang dibuat oleh notaris. Hal ini juga harus didukung dengan lembaga yang mempunyai

80Pasal 8 Undang-undang Jabatan Notaris. 81Pasal 12 undang-undang Jabatan Notaris.

(21)

wewenang untuk menjalankan proses menentukan sanksi apa saja yang dijatuhkan kepada notaris yang melanggar serta golongan pelanggaran yang dilakukan notaris agar dapat tercapainya kepastian hukum dan keadilan bagi notaris dan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran tersebut.

(22)

BAB IV

UPAYA HUKUM ADMINISTRASI YANG DILAKUKAN NOTARIS TERHADAP SANKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 2 TAHUN 2014 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2004 TENTANG

JABATAN NOTARIS

A. Prosedur Pemeriksaan Notaris Pada Majelis Pengawas

Pendapat E. K. Meyers berkaiatan dengan hukum, maka didapatkan defenisi hukum adalah semua peraturan yang mengadung pertimbangan-pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya.82Selain itu W. Levensbergen mengatakan bahwa hukum merupakan pengatur, khususnya pengaturan mengenai perbuatan manusia di dalam masyarakat.83

Berkaitan dengan simbol hukum adalah kumpulan aturan-aturan yang harus dijalankan oleh setiap individu, kelompok ataupun suatu bangsa yang mendudukung keberadaan suatu Negara, maka PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004 dan kode etik notaris merupakan aturan bagi organisasi notaris yang harus dijalankan serta merupakan petunjuk dan pedoman bagi setiap notaris ataupun organisasi notaris secara keseluruhan sebagai upaya taat akan aturan hukum, dan bila aturan tersebut, dilanggar, maka notaris dapat dikenakan sanksi, melalui tahapan-tahapan atau prosedur yang telah ditentukan. Prosedur pemanggilan Notaris atas Pelanggaran Kode Etik Jabatan:

82R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 38. 83Ibid, hal 30.

(23)

1. Tahap Pengajuan Laporan, Menurut Pasal 21 PERMENKUMHAM Nomor : M. 02. 08. 10 Tahun 2004:

a. Pihak yang merasa dirugikan mengajukan laporan pelanggaran kode etik dapat ditujukan kepada MPD, MPW, MPP.

b. Jika laporan atas pelanggaran kode etk dilaporkan ke MPW atau MPP, maka MPW atau MPP akan meneruskan kepada MPD.

c. Laporan harus disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.84

2. Tahap Pemanggilan, Menurut Pasal 22 PERMENKUMHAM Nomor : Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004:

a. Ketua Majelis Pemeriksa melakukan pemanggilan terhadap pelapor dan terlapor.

b. Pemanggilan dilakukan dengan surat oleh sekretaris dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum sidang.

c. Dalam keadaan mendesak pemanggilan dapat dilakukan dengan faksmile dan selanjutnya dapat disusul dengan surat pemanggilan.

d. Dalam hal terlapor setelah dipanggil secara sah dan patut, tetapi tidak hadir, maka akan dilakukan pemanggilan kedua.

84Pasal 21 Permenkumham Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004, mengatur mekanisme penerimaan laporan atas pengaduan Pelapor terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran di dalam melakukan fungsi jabatannya.

(24)

e. Dalam hal terlapor dipanggil secara sah dan patut yang kedua kali namun tetap tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan dan putusan diucapkan tanpa kehadiran terlapor.

f. Dalam hal pelapor setelah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan kedua, dan apabila pelapor tetap tidak hadir, maka Majelis Pemeriksa menyatakan laporan gugur dan tidak dapat diajukan kembali.85

3. Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Daerah, Menurut Pasal 23 PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004 :

a. Pemeriksaan dilakukan oleh MPD dan tertutup untuk umum.

b. Pemeriksaan dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah laporan diterima.

c. MPD harus sudah menyelesaikan pemeriksaan dan menyampaikan hasil pemeriksaan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak laporan diterima.

d. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam berkas acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh ketua dan sekertaris.

e. Surat pengantar pengiriman berita acara pemeriksaan yang dikirimkan kepada MPW ditembuskan kepada pelapor, terlapor, MPP, dan pengurus daerah INI.

85Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 22 Permenkumham Nomor : M. 02. 08. 10 Tahun 2004 , selain dapat dipanggil melalui panggilan resmi, maka notaris yang terlapor dalam keadaan mendesak dapat dipanggil melalui facsimile.

(25)

f. Pada sidang pertama yang ditentukan pelapor dan terlapor hadir, lalu MPD melakukan pemeriksaan dengan membacakan laporan dan mendengar keterangan pelapor.

g. Dalam pemeriksaan, terlapor diberi kesempatan yang cukup untuk menyempaikan tanggapan.

h. Pelapor dan terlapor dapat mengajukan bukti-bukti untuk mendukung dali-dalil yang diajukan.

4. Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa wilayah, Menurut Pasal 26 PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004:

a. MPW memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah.

b. MPW mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan MPD dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.

c. MPW berwenang memanggil terlapor dan pelapor untuk didengar keterangannya.

d. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.

e. Putusan harus memuta alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan dan ditandatangani oleh ketua, anggota, dan sekertaris MPW.

(26)

f. Dalam hal laporan tidak dapat dibuktikan, maka MPW mengucapkan putusan yang megnyatakan laporan ditolak dan terlapor direhabilitasi namanya.

g. Dalam hal laporan dapat dibuktikan, maka terlapor dijatuhi sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.

h. Salinan putusan MPW disampaikan kepada Menteri, pelapor, terlapor, Majelis Pengawas Daerah, dan Pengurus Pusat INI, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

5. Tahap Pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa wilayah, Menurut Pasal 29 PERMENKUMHAM Nomor : M.02.08.10 Tahun 2004:

a. MPP memeriksa permohonan banding atas Putusan MPW.

b. Dalam hal dali yang diajukan pada memori banding dianggap cukup beralasan oleh MPP, maka putusan MPW dibatalkan.

c. Dalam hal dalil yang diajukan pada memori banding dianggap tidak beralsan oleh MPP, maka putusan MPW dikuatkan.

d. MPP dapat mengambil putusan sendiri berdasarkan kebiksanaan dan keadilan.

e. MPP mulai melakukan pemeriksaan terhadp berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lam 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.

(27)

f. MPP berwenang untuk memanggil pelapor dan terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya.

g. Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling alam 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima dan ditandatangani oleh ketua, anggota dan sekertaris MPP.

h. Putusan MPP disampaikan kepada menteri, dan salinannya disampaikan kepada pelapor, terlapor, MPD, MPW, Pengurus Pusat INI, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

Berdasarkan konsekwensi logis terhadap aturan di atas, maka upaya yang paling lugas dan paling menyeluruh dalam menganalisis konsep hukum dengan istilah-istilah yang terlihat sebagai elemen sederhana berupa perintah (commands) dan kebiasaan (habits) atau perilaku.86

B. Upaya Hukum Administrasi Yang Dilakukan Notaris Terhadap Sanksi Menurut undang No. 2 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Jika upaya hukum notaris yang dijatuhkan sanksi perdata, maka seluruh upaya hukum seperti yang diajarkan oleh Hukum Acara Perdata adalah menjadi upaya hukumnya, maka upaya hukum yang dapat dilakukan oleh notaris terhadap pelanggaran atas pasal-pasal tersebut di paragraf sebelumnya adalah dengan

86 H. L. A Hart, Konsep Hukum (The Concept Of Law), cetakan Ke-Empat (Bandung: Nusamedia, 2011), hal 28.

(28)

melakukan berbagai upaya banding administratsi yang hidup dilingkungan masyarakat notaris dan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris.

Dapat digambarkan secara singkat perihal banding administrasi yang hidup dilingkungan notaris terkait pelanggaran terhadap pasal-pasal yang mana disebutkan oleh pasal 85 UUJN yang mengandung sanksi administratif. Dugaan awal tentang pelanggaran notaris dengan ancaman sanksi administrasi tentu datangnya dari masyarakat kepada MPD.

Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten atau Kota yang mana Ketua dan Wakilnya dipilih dari dan oleh anggota nya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali, MPD dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPD. Menurut Pasal 70 UUJN Majelis Pengawas Daerah salah satunya berwenang Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris.

Kemudian jika laporan masyarakat setelah diperiksa MPD dan mendengarkan pembelaan dari notaris yang bersangkutan, dipandang perlu dijatuhkan sanksi teguran baik lisan maupun tulisan, maka Majelis Pengawas Daerah Notaris juga memiliki menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.87

(29)

Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota provinsi yang mana Ketua dan Wakilnya dipilih dari dan oleh anggota nya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Pengawas Wilayah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali, MPW dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPW. Jika hasil pemeriksaan oleh MPD dipandang perlu diberikan teguran baik lisan maupun tulisan, maka MPW akan memberikan putusannya. Dalam pasal 73 ayat (1) huruf e MPW hanya bisa memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi seperti ini menurut pasal 73 ayat (2) bersifat final. Setelah memeriksa dan mendengarkan pembelaan notaris tersebut namun pelanggaran yang dilakukan dipandang MPW perlu sanksi yang lebih berat berupa pemberhentian sementara, maka MPW dapat mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau pemberhentian dengan tidak hormat.

Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara yang mana Ketua dan Wakilnya dipilih dari dan oleh anggota nya. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Pengawas Pusat adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali, MPP dibantu oleh seorang Sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam rapat MPP.

MPP memiliki wewenang menurut pasal 77 huruf (a) yaitu berupa menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. Sementara MPP juga memiiliki kewenangan yang diatur dalam pasal yang sama huruf (c) untuk

(30)

memberikan sanksi pemberhentian sementara. Karena ini adalah tingkat banding maka MPP melakukan pemeriksaan terhadap berkas perkara ketika di MPW apakah ada hal yang salah dengan berkas tersebut. Namun untuk melakukan pemberhentian tidak hormat MPP hanya bisa mengajukan usulan ke Menteri. Maka keputusan untuk pemberhentian secara tidak hormat terhadap notaris finalnya adalah preogratif menteri.88

Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi administrasi terhadap notaris sesuai dengan kewenangannya. Baik teguran lisan dan teguran tertulis dari Majelis Pengawas Wilayah, dan sanksi pemberhentian sementara jabatannya oleh Majelis Pengawas Pusat.

MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan tertulis, dan sanksi seperti ini bersifat final (Pasal 73 ayat (1) huruf e dan ayat (2) UUJN. MPP hanya dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara saja (pasal 77 huruf c UUJN). Dengan demikian sanksi seperti tersebut merupakan kewenangan MPW dan MPD.

Kewenangan untuk menjatuhkan sanski tertentu hanya ada pada MPW dan MPP berdasarkan UUJN, tapi disisi lain Majelis Pemeriksa (wilayah dan pusat) berwenang juga menjatuhkan sanksi administrasi sebagaimana tersebut di atas. Menurut Pasal 33 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

88http://idehukum. blogspot. co. id/2012/05/upaya-hukum-bagi-notaris-2. html diakses pada tanggal 05 September 2016

(31)

Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, bahwa notaris yang diatuhkan sanksi oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat mengajuhkan banding ke MPP, dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanski bereupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2) Peraturan Meneteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004). Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP untuk diteruskan kepada Menteri (Pasal 35 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).

Pengaturan sanksi administratif ini terjadi disinkronisasi antara pengaturan sanksi administratif yang tercantum dalam UUJN dengan Peraturan Meneteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tersebut dari segi kewenangan, menurut Pasal 73 ayat [1] huruf e dan ayat [2] UUJN kewenangan MPW hanya dapat menjatuhkan sanski teguran lisan dan terguran tertulis, dan sanski seperti ini bersifat final, artinya tidak ada upaya hukum lain dan MPP hanya dapat memberikan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya (Pasal 77 huruf c UUJN), dengan demikian penjatuhan sanksi seperti tersebut di atas hanya ada pada MPW dan MPP, tapi ternyata Pasal 31 ayat [1] dan [2] Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, disebutkan pula bahwa Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) dari hasil pemeriksaan dapat menjatuhkan sanksi berupa:89

89Bentuk-bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris dilihat dari PERMENKUMHAM Nomor : M. 02. 08. 10 Tahun 2004

(32)

a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis;

c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhetian dengan hormat; e. Pemberhetian dengan tidak hormat.

Dengan demikian Majelis Pemeriksa dapat menjatuhkan sanksi yang lebih luas dibandingkan dengan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh MPW dan MPP kepada notaris, sehingga ada 2 (dua) intansi yang dapat menjatuhkan sanksi90 terhadap Notaris, yaitu MPW dan MPP serta Majelis Pemeriksa Wilayah dan Majelis Pemeriksa Pusat. Subtansi Peraturan Meneteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, seperti tersebut di atas tidaklah tepat untuk dilaksanakan, karena mencampuradukan kewenangan MPW dan Majelis Pemeriksa Wilayah serta Majelis Pemeriksa Pusat dalam menajlanakan sanksi, sehingga yang tepat harus dijadikan pedoman adalah aturan hukum yang lebih tinggi yaitu UUJN.

Instansi utama untuk menjatuhkan sanksi terhadap notaris yaitu Majelis Pengawas Notaris, sedangkan tim pemeriksa merupakan bagian internal yang dibuat oleh Majleis Pengawas dengan kewenangan tertentu yang tetap berada dalam kendali Majelis Pengawas. Oleh karena itu Majelis Pemeriksa hanya berwenang untuk

90Yang dimaksud dengan “sanksi” ialah akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan. E. Utrecht di sadur Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Ke-Sebelasas ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983), hal 8.

(33)

menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau dari sesama notaris, melakukan pemeriksaan dan persidangan secara terbuka, dan jika menurut hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa terbukti bahwa notaris yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas dan jabatan notaris, maka kemudian Majelis Pemeriksa melaporkannya kepada Majelis Pengawasan, dan disertai dengan usulan untuk menjatuhkan sanksi-sanksi tertentu. Selanjutnya Majelis Pengawas akan memutuskan sanksi yang dijatuhkan kepada notaris yang bersangkutan. Sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas tersebut, notaris diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan kepada Majelis Pengawas yang menjatuhkan sanksi kepadanya, jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi Majelis Pengawas yang lebih tinggi, dan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara, jika putusan Majelis Pengawas tetap tidak memuaskan notaris yang bersangkutan.

Dalam tataran yang ideal, bahwa seharusnya semua jejang Majelis Pengawas, mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, berupa teguran lisan dan teguran tertulis dan pemberhetian sementara, dan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhetian tidak hormat. Konsekwensi atas bahwa Majelis Pengawas Notaris merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang menjalankan fungsi administrasi Negara, bersesuaian dengan prinsip hukum administrasi Negara yaitu mengatur hunbungan antara Negara91dengan para warga92Negaranya atau mengatur kepentingan umum.93

91Dimaksud pada bagian ini adalah termasuk Majelis Pengawas Notaris selaku pelaksana fungsi tata usaha Negara.

(34)

Semua bentuk sanksi tersebut dan jika tidak puas dapat mengajukan kepada instansi yang lebih tinggi dalam hal ini MPW dan seterusnya ke MPP, jika semua prosedur ini telah dipenuhi tetap tidak memuaskan notaris yang bersangkutan, maka Notaris dapat mengajukan gugatan ke pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat putusan MPP. Hanya dalam hal ini harus ditentukan sepanjang pemeriksaan di pengadilan Tata Usaha Negara berjalan untuk sementara waktu Notaris tidak dapat menjalankan tugasnya selaku notaris sampai ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pengaturan sanksi yang dijatuhkan Majelis Pengawas Notaris tidak ada peluang untuk melakukan upaya hukum seperti tersebut di atas. Jika kesempatan seperti tidak diatur atau tidak ada, maka upaya hukum tersebut dapat ditempuh dengan gugatan langsung ke pengadilan Tata Usaha Negara.

C. Alasan-Alasan Pembenar Bagi Notaris Yang Dapat Dijadikan Dasar Pembelaan

1. Khilaf Dalam Akta Notaris dan Pendapat Ahli sebagai Alasan-Alasan Pembenar Bagi Notaris Yang Dapat Dijadikan Dasar Pembelaan

Suatu persetujuan yang dibuat di hadapan notaris, mempunyai kekuatan otentik, mengingat para pihak yang mengadakannya. Apabila kemudian ternyata bahwa para pihak mengetahui menyadari bahwa persetujuan itu dibuat dengan khekilafan, mudah penyelesaikannya, yakni bersama-sama datang kepada notaris untuk membuat untuk membuat akta pembatalan dan pembetulan. Demikian itu

93Zainul Pelly, Dkk, Beberapa Catatan Hukum Administrasi Negara, (Medan: Fakultas Hukum USU, 1979), hal 7.

(35)

sesuai dengan ketentuan hukum bahwa persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak. Akan tetapi adalah merupakan kesulitan, apabila hanya satu pihak saja yang merasa ada kekhilafan sementara pihak lainnya tidak, oleh karena itu tidak bersedia untuk mengadakan pembatalan-pembetulan.Dalam hal ini timbullah sengketa. Maka satu-satunya jalan adalah satu pihak merasa adanya kekhilafan itu mengajukan tuntutan pengadilan, dan oleh karena itu mohon dibatalkannya persetujuan yang telah dibuatnya. Dalam permohonannya tentu harus disertai dengan alasan yang pantas, harus dapat dimengerti, harus tidak aneh, harus dapat dimaafkan, demikian sebagai diutarakan oleh Wirjono Projodikoro tersebut diatas.94

Notaris tidak mempunyai wewenang untuk menilai ada tidaknya kekhilafan95. Notaris tidak dapat membuat akta pembatalan suatu persetujuan, hanya atas permintaan salah satu pihak aja.96

Beberapa pendapat yang dapat dijadikan dasar bagi notaris untuk dapat melakukan pembelaan atas tuduhan-tuduhan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di dalam membuat akta otentik:

94 Surabaya Post, 6 Agustus 1981, akan tetap kutipan dari Surat Kabar Surabaya Post ini, didapatkan melalui buku A. Kohar, Notaris Dalam Praktak Hukum, (Bandung: Alumni. 1983), hal 58.

95Khekilafan yang dimaksud disini adalah sebuah kelalaian atas persetujuan kehendak atau materi, substansi yang diperjanjikan seperti adanya kekurangan bagian yang diperjanjikan atau adanya materi perjanjian yang senyatanya tidak perlu untuk diperjanjikan akan tetapi tetap dituangkan pada akta oleh para pihak yang membuat akta di hadapan notaris. Khelilafan ini bukan unsur kesengajaan, sehingga senyatanya tidak ada sebuah unsure penipuan atau upaya untuk merugikan antara para pihak yang terikat perjanjian yang dibuat dihadapan notaris. Kenyataan ini bila terjadi, senyatanya bukan sebuah unsur kesalahan pada notaris, dan notaris pun tidak dapat dipersalahkan

(36)

1. Ridwan Susilo : tidak benarnya sebuah perjanjian dibuat notaris, karena kliennya berbohong atau menipu, bukan tanggung jawab notaris.

2. GHSL Tobing : hakim tidak perlu memanggil notaris menjadi saksi. Sebab dalam membuat akta, notaris hanya memriksa formalnya saja, tidak materinya. 3. A. Pitlo dalam buku pembuktian dan daluwarsa :

a. Bukan tugas notaris untuk menyelidiki apakah keterangan yang dituliskan oleh kliennya di dalam akta sesuai dengan kebenaran.

b. Apabila notaris membuat kesalahan, maka untuk para pihak sama saja dengan membuat akta di bawah tangan.

Pada akhirnya dengan uraian di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan singkat “notaris menjadi saksi saja mengundang banyak pendapat, apalagi notaris menjadi tertuduh/terdakwa memalsukan akta (padahal minutanya ada) ”.97

2. Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan oleh Notaris

Seorang notaris dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh koridor-koridor aturan. Pembatasan ini dilakukannya. Tanpa adanya pembatasan, seseorang cendrung akan bertindak sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah membatasi wialayah kerja seorang notaris. Undang-undang tentang jabatan notaris juga sudah mengatur bahwa seseorang notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah kerja di Yogyakarta tidak dapat membuka praktik atau membuat akta autentik di wilayah Jakarta (batas yuridiksi notaris adalah provinsi).98

97Surabaya Post, Sabtu, 20 Agutus 1983, akan tetap kutipan dari Surat Kabar Surabaya Post ini, didapatkan melalui buku A. Kohar, Notaris Berkomunikasi, (Bandung: Alumni, 1984), hal 148.

98Ira Koesoemawati dan Yunirman Rija, Ke Notaris, Mengenal Profesi Notaris, Memahami

Praktik Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting Yang Diurus Notaris, Tips Agar Tidak Tertipu Notaris, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009), hal 46-47.

(37)

Bukan hanya anak sekolah saja yang dihukum karena membolos. Notaris pun akan dikenai sanksi jika meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari kerja tanpa alasan yang sah. Seorang notaris tidak dapat seenaknya mengambil waktu untuk rehat karena tugas yang didelegasikan Negara pada dirinya menuntut untuk senantiasa siap melayani mereka yang butuh pembuatan atau penetapan autentik tentang berbagai hal.99

Dapat dibayangkan jika seorang notaris tiba-tiba tidak ada di tempat maka banyak yang akan dirugikan. Jika memang seorang notaris ingin rehat sejenak dari kegiatan kenotariatan di wilayah itu maka ia wajib mengajukan izin cuti kepada Negara. Lebih dari itu, jika di tempat tersebut tidak ada notaris lagi yang bertugas maka dirinya wajib menunjuk seorang notaris pengganti. Notaris penggati ini haruslah yang memiliki pengetahuann hukum yang mumpuni dan pengalaman di dunia kenotariatan.

Rangkap jabatan merupakan hal yang dilarang bagi seorang notaris. Rangkap jabatan tertentu untuk dilakukan. Entah sebagai PNS, sebagai petinggi perusahan Negara atau swasta, sebagai pejabat Negara, sebagai PPAT di luar wilayah yuridiksinya, apalagi juga berperan sebagai advokat. Seorang notaris harus bertindak professional. Profesionalitas tersebut tidak akan tercapai jika terjadi rangkap jabatan dapat membuat si notaris dalam menjalankan tugasnya tidak bertindak netral. Ia akan fokus dalam melayani masyarakat dan akan lebih mendahulukan kepentingan pribadi atau kepentingan yang mengutungkan si notaris terlebih dahulu. Negara sudah

(38)

mengakat notaris sebagai pejabat umum Negara dan mendelegasikan kepercayaan serta tugas yang cukup penting. Sudah sepantasnyalah seorang notaris menjalankan tanggung jawab itu dengan kesungguhan hati dan tidak “selingkuh” dengan melakukan rangkap jabatan.100

Notaris sebagai salah satu “pendekar” hukum tentu sangat fasih tentang peraturan hukum yang berlaku di negeri ini. Oleh karena itu seorang “pendekar” hukum juga pasti mengerti risiko jika melakukan pelanggaran hukum. Sewaktu menjalankan tugas ataupun dalam kehidupan sehari-hari, seorang notaris harus menjalaninya sesuai dengan koridor hukum di Indonesia. Pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku akan mencemari kehormatan dan martabat jabatan notaris yang akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap para notaris. Pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di negeri ini, terutama pelanggaran norma hukum dapat terkena hukuman.101

Banyak lagi peraturan-peraturan yang menyebutkan apa yang harus dilakukan oleh notaris dalam menjalankan jabatannya dalam membuat akta, dan apa hukumannya bila dilanggar ini dapat dibaca dalam PJN, antara lain sebagai berikut: 1. Notaris harus mempunyai tempat tinggal dan kantor ditempat kedudukkan

notaris, notaris tidak boleh tanpa cuti, berada diluar daerah jabatannnya lebih dari tiga kali dua puluh empat jam, hal ini melanggar ketentuan, dan dapat dipecat. (Pasal 6 PJN). Ketentuan ini terang dan nyata harus disampaikan notaris di dalam

100Ibid, hal 47-48. 101Ibid, hal 48.

(39)

aktanya juga, yang tertuang di dalam komparisi contoh bahasa aktanya seperti “pada hari ini datang kehadapan saya………Notaris di Medan”, kata notaris di Medan ini, mencerminkan sebuah kepastian akan kedudukan pasti dari letak kantor notaris berada dalam menjalankan profesi notaris tersebut.

2. Notaris tidak boleh menolak membuat akta, jika telah mendapat surat dari hakim untuk itu tetap menolaknya, maka ancamannya dapat dipecat. (Pasal 7 PJN). Ketentuan ini tergambar di dalam bahasa akta yang jelas berbunyai “datang kehadapan saya…….”

3. Notaris membuat akta diluar daerahnya, sanksinya akta itu hanya bernilai akta dibawah tangan, kehilangan otensitasnya. (Pasal 9). Menurut ketentuan Peraturan Jabatan Notaris, bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentiknya. Akta yang dibuat diluar wilayah jabatannya adalah tidak sah.102Ketentuan ini tertuang dalam bahasa akta di akhir akta (kaki akta) yang tertulis contoh “bahwa akta ini dilangsungkan di Medan dengan beberapa perubahan ……….”

4. Notaris yang menjalankan jabatannya mengadakan persekutuan, diancam akan kehilangan jabatannya. (Pasal 12). Maksudnya notaris tidak pernah bersama-sama dengan rekan sejawat seperti advokat yang mendirikan kantor secara bersama-sama, hal ini tampak pada bahasa akta “bahwa pada hari ….. pukul….. datang kehadapan saya Notaris…….” Nama Notaris secara jelas dan sendiri, dari

102

(40)

hal tersebut notaris tidak melakukan persekutuan di dalam menjalankan tugas profesi jabatannya.

5. Notaris harus bersumpah merahasiakannya. Melanggar dapat dituntut pidana penjara paling lama 9 bulan. (Pasal 17 PJN, Pasal 322 KUHP) dan dapat dituntut pidana penjara paling lama 9 bulan. Ketentuan pasal ini tergambar pada bagian akhir akta atau kaki akta. “dimana akta ini dibuat berdasarkan sumpah jabatan….”103.

6. Notaris setelah menerima jabatannya, dalam tempo satu bulan harus mengirimkan antara lain tanda tangan, parap, cap kepada instansi lainnya. Pelanggaran dikenakan denda Rp. 50,00.

7. Kuasa di bawah tangan, harus dilekatkan pada minuta akta. Melanggar kena denda Rp. 25.00. dan sebagainya, dan sebagainya.104Keterangan tentang kuasa ini harus diterangkan dalam komparisi penerima kuasa sebagai berikut; “Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak berdasarkan surat kuasa dibawah tangan tertanggal 2-2-2012 (dua Pebruari duaribu duabelas, surat tersebut bermaterai cukup selalu dilekatkan (dijahitkan) pada minuta akta ini, kuasa dari-dan sebagai demikian untuk dan atas nama...”.

3. Indikator Terjadinya Pelanggaran

Banyak hal yang mempengaruhi terjadinya sebuah pelanggaran. Yaitu karena kelalaian atas sebuah tanggung jawab, hal tersebut biasanya yang paling sering

103Senyatanya setiap akta yang dibuat dihadapan notaris, haruslah dibuat berdasarkan sumpah jabatan notaris, yaitu merahasiakan akta tersebut. Ketentuan ini merupakan sumpah jabatan noatris yang harus dipegang teguh oleh setiap notaris yang mejalankan tugas dan jabatannya.

(41)

terjadi. Selain itu, dapat juga dikarenakan tidak adanya sanksi yang tegas dan banyak keberpihakan kepada jabatan Notaris.

Majelis Pengawas Notaris (MPN) sebagai suatu badan yang dipercaya untuk mengawasi Notaris dalam berperilaku, dinilai kurang memberikan tindakan yang tegas agar Notaris jera atau takut untuk melakukan pelanggaran yang telah diatur oleh peraturan yang ada, hal tersebut dapat menjadi salah satu indikator terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris.

Notaris dalam menjalankan jabatannya, di sana tidak ada pihak yang mengawasi secara langsung. Misalnya, saat penandatanganan akta, angota MPN tidak ada ditempat untuk menyaksikan apakah Notaris telah melaksanakan apa yang diatur oleh undang-undang, seperti membacakan akta, menyaksikan penandatanganan, dan lain sebagainya.105

Hal tersebut baru akan terungkap, jika ada pihak yang dirugikan melaporkan kepada pihak yang berwenang, apabila tidak ada pihak yang melaporkan dugaan pelanggaran atas akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan, maka walaupun telah terjadi sebuah pelanggaran, Notaris tersebut tidak mendapat sebuah sanksi. Apakah, tidak semua pelanggaran yang dilakukan Notaris dapat diberikan sanksi? Apabila jawabannya adalah ya, maka hal tersebut yang menjadi salah satu indikator Notaris melakukan pelanggaran, karena hanya pelanggaran yang diketahui dan dimintakan sebuah pertanggungjawaban atas kinerja Notaris saja yang dapat

105Shinta Marina, Optimalisasi Kinerja Notaris, Tesis (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal 30.

(42)

dikenakan sanksi. Apabila para pihak dalam akta tidak memperdulikan hal tersebut, dan MPN tahu telah terjadi sebuah pelanggaran, Notaris tersebut tetap tidak diberikan sanksi. Padahal peraturan dibuat untuk ditaati, dan diadakannya sanksi untuk membuat Notaris tidak melakukan pelanggaran.106

Adanya indikator-indikator yang telah disebutkan di atas yang membuat pelanggaran terus terjadi, apabila adanya kerjasama yang kuat antara MPN dan Notaris, maka maksud dan tujuan dari Undang-undang dapat tercapai dengan baik.107 Di lain pihak, peraturan yang ada tidak dapat dijadikan senjata bagi masyarakat untuk menjatuhkan profesi Notaris. Apabila adanya suatu laporan dari masyarakat yang menganggap telah terjadinya suatu pelanggaran yang dilakukan Notaris, MPN sebagai badan pengawas, juga sebagai badan pemeriksa, memeriksa apakah benar laporan masyarakat tersebut telah terjadi.

106Ibid 107Ibid, hal 31.

(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Majelis Pengawas Notaris merupakan Jabatan Tata Usaha Negara yang mendapatkan kewenangan yang bersumber dari adanya delegasi kewenangan dari Menteri Hukum dan Ham RI serta perintah Undang-Undang Jabatan Notaris untuk melaksanakan pengawasan terhadap para notaris, selain itu bahwa Majelis Pengawas Notaris melaksanakan fungsi pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana fungsi pelayanan tersebut adalah fungsi administrasi pemerintahan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

2. Keputusan Majelis Pengawas Notaris dikatakan sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara dikarenakan Majelis Pengawas Notaris merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan tugas Menteri Hukum dan HAM RI berdasarkan fungsi delegasi untuk menjalankan fungsi perintah dan fungsi pelayanan yang didasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga putusan Majelis Pengawas Notaris mempunyai unsur Tindakan hukum publik, bersifat sepihak, konkret, dan individual. Dengan keadaan demikian sudah pasti bahwa putusan Majelis Pengawas Notaris dalam pemberian sanksi bagi notaris, merupakan objek bagian sengketa Tata Usaha Negara.

(44)

3. Upaya hukum administrasi yang dilakukan notaris terhadap sanksi menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dapat melakukan upaya hukum banding adminitrasi terlebih dahulu, atau dapat langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, hal ini dapat terjadi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris dan diputuskan dengan sanksi langsung, atau dapat melakukan upaya banding adminitrasi.

B. Saran

1. Kedudukan MPN dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penjatuhan sanksi kepada notaris hendaknya lebih memperhatikan peraturan-peraturan yang ada agar setiap kebijakan ataupun keputusan yang dikeluarkan dapat diterima oleh notaris.

2. Disarankan adanya penyuluhan kepada MPN bahwa mereka adalah Badan/ Pejabat TUN, yang mana jika mengeluarkan keputusan, maka keputusan tersebut merupakan keputusan TUN. Penyuluhan ini penting dikarenakan oleh adanya anggota MPN yang tidak mengetahui bahwa mereka adalah Badan/ Pejabat TUN dan juga karena adanya anggota MPN yang tidak berasal dari notaris.

3. Disarankan notaris dapat menggunakan haknya apabila dikenakan sanksi administrasi oleh Majelis Pengawas Notaris dalam hal upaya hukum banding adminitrasi ke Majelis Pengawas Pusat, apabila putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Wilayah merugikan notaris, dan atau putusan Majelis

(45)

Pengawas Wilayah Notaris yang tidak memerlukan upaya banding administrasi dapat langsung digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara untuk dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, apabila putusan Majelis Pengawas Notaris tersebut sangat merugikan notaris.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, kajian ini juga memperincikan jenis-jenis salah laku yang dilakukan oleh beberapa peniaga atas talian dan kaedah promosi yang dilaksanakan sama ada

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa 1) Penambahan berbagai jenis starter yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kandungan protein

Perkembangan Pemikiran mengenai kualitas Ceramah, Presen tasi dan Diskusi bab perkembang- an Pemikiran me- ngenai kualitas  Makalah  Kesempa tan tanya jawab

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya tulis ilmiah yang berjudul “ Penerapan

Dengan demikian konsentrasi merupakan kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatian terahadap sesuatu objek ( yang.. dipilih ) dan mempertahankan perhatian dalam

Protein yang cukup akan mampu melakukan fungsinya untuk proses pertumbuhan Menurut Arsenault and Brown 9 , ada beberapa kemungkinan penyebab kurangnya jumlah

Oleh karena itu dibutuhkan suatu data warehouse dimana data terintegrasi dengan baik sehingga kegiatan analisis dapat dilakukan secara tepat oleh pihak eksekutif.. Adapun metodologi