BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa
2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa
Sejarah mencatat setelah perang dunia ke-2 hingga tahun 1960 merupakan periode munculnya teori-teori komunikasi massa (Morissan, 2010: 231). kemudian pada tahun 1964 menurut Emil Dofivat komunikasi massa telah mencapai publik dunia secara langsung dan serentak. Melalui satelit komunikasi sekarang ini secara teoritis kita akan mampu memperlihatkan satu gambar, memperdengarkan satu suara kepada tiga milyar manusia di seluruh dunia secara simultan. Komunikator hanya tinggal menyambungkan alat pemancar dan jutaan orang tinggal menyetel alat penerima. Teknologi komunikasi mutahir telah menciptakan apa yang disebut “publik dunia”. (Jalaluddin Rahmat, 2007:
186).
Menurut Bitter komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi, sekalipun komunikasi massa itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar dilapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah;
radio siaran dan televisi, keudanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah keduanya disebut sebagai media cetak; seta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop. (Elvinaro Ardianto, dkk, 2014: 3)
Dari uraian diatas Rahmat merangkum definisi-definisi komunikasi massa tersebut menjadi “komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang besar, heterogen, dan anonym melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. (Elvinaro Ardianto, dkk, 2014: 6).
Berdasarkan fungsinya, menurut Jay Black Federick C. Whitney, fungsi komunikasi massa antara lain: 1). To inform (menginormasikan), 2). To entertain (member hiburan), 3.
To persuade (membujuk), 4. Transmission of the culture (transisi/ penerusan budaya).
(Nurudin, 2009: 64).
17
2.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa
Menurut Nurudin (2009:19-31) dalam bukunya Komunikasi Massa, karakteristik dari komunikasi massa ialah:
a. Komunikator dalam komunikasi massa melembaga
Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, tetapi kumpulan orang. Artinya, gabungan antarberbagai macam unsure dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud disini menyerupai sebuah sistem.
Sebagai kita ketahui sistem itu adalah “Sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, symbol, lambing menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.”
b. Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen
Heterogen atau beragam. Artinya, penonton beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, memiliki jabatan yang beragam, memiliki agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.
c. Pesannya bersifat umum
Pesan-pesan dalam komunikasi massa tidak ditunjukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, dengan kata lain pesan- pesannya ditunjukan kepada khalayak yang plural. Oleh karena itu, pesan-pesan yang dikemukakannya pun tidak bersifat khusus. Khusus disini, artiannya pesan memang tidak sengaja untuk golongan tertentu.
d. Komunikasinya belangsung satu arah
Komunikasi hanya satu arah yakni kita tidak bisa langsung memberikan respon kepada komunikatornya (media massa yang bersngkutan). Kalaupun bisa, sifatnya tertunda. Misalnya, kita mengirimkan ketidak setujuan pada berita itu melalui rubric surat pembaca. Jadi, komunikasi yang hanya berjalan satu arah akan member konsekuensi umpan balik (feedback) yang sifatnya tertunda atau tidak langsung (delayed feedback).
e. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan
Dalam komunikasi massa ada keserempakan dalam proses penyebaran pesan- pesannya. Serempak berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut hampir bersamaan.
f. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis
Peralatan teknis merupakan sebuah keniscayaan yang sangat dibutuhkan media massa. Tidak lain agar proses pemancara atau penyebaran pesannya bisa lebih cepat dan serentak kepada khalayak yang tersebar.
g. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper
Gatekeeper atau yang sering disebut penapis informasi/ palang pintu/ penjaga gawang, adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami.
2.1.3 Elemen-Elemen Komunkasi Massa
Dalam oprasionalnya komunikasi massa memerluan proses komponen-komponen atau elemen-elemen sebagai penunjang berhasilnya sebuah pesan bisa disampaikan dan bisa diterima oleh audience atau khalayak. Adapun pengertian komponen (elemen) disini adalah bagian-bagian terpenting dan mutlak harus ada pada satu keseluruhan atau kesatuan dalam komunikasi massa. (Elvinaro Ardianto, dkk, 2014: 27). Diantaranya:
a. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi massa sangat berbeda dengan komunikator dalam bentuk komunikasi yang lain. Komunikator disini meliputi jaringan, stasiun local, direktur, dan staf teknis yang berkaitan dengan sebuah acara televisi. Jadi, komunikator merupakan gabungan dari berbagai individu dalam sebuah lembaga media massa. (Nurudin, 2009: 96). Dengan demikian, komunikator dalam komunikasi massa bukan individu, tetapi kumpulan orang yang bekerja sama satu sama lain. Meskipun ada orang yang dominan, pada akhirnya ia akan terbatasi peranannya oleh aturan kumpulan orang. Kumpulan orang itu bias disebut organisasi, lembaga, institusi, atau jaringan. Jadi, yanga dikerjakan oleh komunikator dalam komunikasi massa itu “ atas nama” lembaga dan bukan atas nama masing-masing individu dalam lembaga tersebut. (Nurudin, 2009: 96).
Syarat menjadi komunikator yang baik Aristoteles menyebut karakter komunikator sebagai ethos. Etos komunikator terdiri goo wiil (maksud yang baik), goog sense (pikiran yang baik), dan good moral character (karakter yang baik).
Ethos tujuannya untuk proses komunikasi itu adalah untuk mengubah rilaku. Namun komunikasi yang bersifat informati pun mengharapkan adanya penambahan pengetahuan dan pemahaman dari komunikannya. Seorang komunikator yang memiliki ethos akan menghasilkan komunikasi yang efektif yaitu komuniukasi yang akan mencapai gal-nya (tujuannya). Komunikator yang tidak memiliki good will mungkin dapat kita kategori sebagai provokator. (Elvinaro Ardianto, dkk, 2014: 33).
b. Isi Pesan
Masing-masing media massa memunyai kebijakan sendiri-sendiri dalam pengelolaan isinya. Sebab, masing-masing media melayani masyarakat yang beragam juga menyangkut individu atau kelompok sosial. Bagi Ray Eldon Hiebert dkk, isi media setidak-tidaknya bias dibagi kedalam lima kategori yakni; 1) berita dan inormasi, 2) analisis dan interpretasi, 3) pendidikan dan sosialisasi, 4) hubungan masyarakan dan persuasi, 5) ikaln dan bentuk penjualan iklan, dan 6) hiburan.
(Nurudin, 2009: 101)
Isi pesan yang disampaikan kepada khalayak ada dua kategori yaitu codes and content. Codes adalah sistem symbol yang digunakan untuk menyampaiakan pesan komunikasi, misalnya: kata-kata, tulisan, foto, musik dan film (moving pictures).
Contens atau isi media merujuk pada makna dari sebuah pesan, bisa berupa informasi mengenai perang Irak atau sebuah lelucon yang dilontarkan seorang comedian.
Misalnya pada media radio kunci utamanya adalah telinga. Selain iprovisasi dalam bentuk kata-kata lisan, codes-nya berbentuk musik, sound effects, dan bunyi lain hasil kreativitas yang dapat menciptakan theater of mind (gambaran yang ada pada diri individu yang tercipta sesuai kerangka rujukan dalam lingkup pengalaman) pendengarannya. (Elvinaro Ardianto, dkk, 2014: 34).
c. Audience
Audience yang dimaksud dalam komunikasi massa sangat beragam, dari jutaan penonton televisi, ribuan pembaca buku, majalah, Koran atau jurnal ilmiah. Masing- masing audience berbeda satu sama lain diantaranya dalam hal berpakaian, berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman, dan orientasi hidupnya. Akan
tetapi, masing-masing individu bias saling mereaksi pesan yang diterimanya.
(Nurudin, 2009: 104-105)
Menurut Hiebert dan kawan-kawan dalam Nurudin (2009: 105-106), audience dalam komunikasi massa setidaknya mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1) Audience berisi cenderung berisi individu-individu yang condong untu berbagi pengalaman dan dipengaruhi oleh hubngan sosial di antara mereka. Individu- individu tersebut memiliki produk media yang mereka gunakan berdasarkan seleksi kesadaran.
2) Audience cenderung besar. Besar disini berarti tersebar ke berbagai wilayah jangkauan sasaran komunikasi massa.
3) Audience cenderung heterogen. Mereka berasal dari berbagai lapisan dan kategori sosial. Beberapa media tertentu mempunyai sasaran, tetapi heterogenitanya juga tetap ada. Majalah yang dikhususkan untuk kalangan dokter, memang sama secara profesi, tetapi setaus sosial, ekonomi, agama, dan umur tetap berbeda satu sama lain.
4) Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain. Bagaimana mungkin audience bias mengenal khalayak televisi yang jumlahnya jutaan.
d. Umpan Balik
Ada dua umpan balik (feedback) dalam komunikasi, yakni umpan balik langsung (immediate feedback) dan tidak langsung (delayed feedback). Umpan balik langsung terjadi jika komunikator dan komunikan berhadapan lagsung atau ada kemungkinan bias berbicara langsung. Misalkan dalam komunikasi antarpersonal yang melibatkan dua orang atau komunikasi kelompok. Didalam komunikasi massa umpan balik biasanya terjadi tidak secara langsung. Artinya, antara komunikator dengan komunikan dalam komunikasi massa tidak terjadi kontak langsung yang memungkinkan mereka mengadakan reaksi langsung satu sama lain. (Nurudin, 2009:
105-109).
e. Gangguan
Dalam komunikasi massa gangguan disini terbagi dua yaitu : Ganggunan Saluran, Gangguan Semantik.
1) Gangguan Saluran
Gangguan dalam saluran komunikasi massa biasanya selalu ada. Didalam media gangguan berupa sesuatu hal, seperti kesalahan cetak, kata yang hilang, atau paragraf yang dihilangkan dari surat kabar. Hal itu juga seperti gambar yang tak jelas di pesawat televise, ganguan gelombang radio, batrai yang sudah melemah, atau langganan majalah yang yang tidak dating.
Gangguan juga bias disebabkan oleh factor luar. Misalnya, sepanjang menonton acara televisi atau membaca Koran ada dua pasang anak yang sedang berkelahi. Suara berisik orang lain atau kendaraan ketika kita sedang membaca.
Gangguan lain misalnya, deringan telpon yang berbunyi secara terus menerus ketika kita sedang melihat televisi. (Nurudin, 2009: 114).
2) Gangguan Semantik
Semantik bias diartikan bias diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempeajari tentang tata kalimat. Oleh karena itu, gangguan semantik berarti ganguan yang berhubungan dengan bahasa. Ganguan semantik lebih rumit, kompleks, dan sering kali muncul. Bias dikatakan, gangguan semantic adalah gangguan dalam proses komunikasi yang diakibatkan oleh pengirim atau penerima pesan itu sendiri. (Nurudin, 2009: 116).
Gangguan semantic sangat terasa sekali dalam media lelektronik.
Misalnya, salah ucap yang dilakukan reorter di lapangan. Termasuk kaka-kata yang diucapkan kadang terlalu cepat. Tak terkecuali perbedaan kultur ikut memengaruhi munculnya gangguan semantik. Misalnya, kata-kata atos dalam bahasa sunda di artikan selesai. Tetapi dalam bahasa Jawa Tengah atau Jawa Timur berarti keras. (Nurudin, 2009: 117-118).
f. Gatekeeper
Istilah gatekeeper ini pertama kali dikendalikan oleh kurt lewin dalam bukunya Human Relation, seorang ahli psikologis dari Australia pada tahun 1947. Kata tersebut mmerupakan sebuah istilah yang berasal dari lapangan psikologis, tetapi kemudian digunakan dalam lapangan komunikasi massa. (Nurudin, 2009: 118).
John T. Bittner mengistilahkan gatekeeper sebagai “ individu-individu atau kelompok orang yang membantu arus informasi dalam sebuah saluran komunikasi (massa)”. Jika diperluas maknanya, yang disebut gatekeeper adalah orang yang berperan penting dalam media massa seperti surat kabar, majalah, televisi, radio,
internet, video tape, compact, disk, dan buku. mereka yang disebut sebagai gatekeeper antara lain reporter, editor berita, bahkan editor film atau orang lain dalam media massa yang ikut menentukan arus informasi yang disebarkan. (Nurudin, 2009: 119).
Dengan kata lain tugas gatekeeper adalah sebagai mana dengan seleksi berita yang dilakukan pembaca menjadi tertarik dan enak untuk membacanya. Oleh karena itu, editor diharapkan bias memilih berita yang benar-benar dibutuhkan pembaca dan yang tidak. Sebab, dengan batasan ruang yang disediakan, tidak mungkin semua berita di siarkan. Dengan dengan demikian, paling tidak gatekeeper mempunyai tiga fungsi sebagai berikut : 1) menyiarkan informasi, 2) untuk membatasi informasi dengan informasi dengan mengeditnya sebelum disebarkan, 3) untuk memperluas kuantitas informasi dengan menambahkan fakta dan pandangan lain, 4) untuk mengintrepretasikan informasi. (Nurudin, 2009: 125).
g. Pengatur
Yang dimaksud pengatur dalam komunikasi masa adalah mereka yang secara tidak langsung ikut memengaruhi proses aliran pesan media massa. Pengaturan ini tidak berasal dari dalam media tersebut, tetapi diluar media massa, kelompok itu bias ikut menentukan kebijakan redaksional. Pengaturan tersebut antara lain pengadilan, pemerintahan, konsumen, organisasi professional, dan keleompok penekan, termasuk nara sumber, dan pengiklanan. Semua itu berfungsi mengatur. Sementara itu, aturan untuk mengatur dapat berisi hukum, aturan, pelarangan, dan tekanan informal yang mengontrol isi media atau struktur yang ada dalam media tersebut. Pengatur bias menutup gedung bioskop, mengahpus isi media, memengarui isi media yang disiarkan, dan mencabut surat izin. Meskipun tidak ada campurtangan langsung dalam media. (Nurudin, 2009: 130-131).
h. Filter
Filter adalah kerangka fikir melalui mana audience menerima pesan . filter ibarata sebuah bingkai kacamata tempat audience bias melihat dunia. Hal ini berati dunia rill yang diterima dalam memori sangat tergantung dalam bingkai tersebut.
(Nurudin, 2009: 134).
Adapun filter dibagi kedalam tiga jenis yaitu : 1) filter psikologis, 2) fiter Fisik, 3) filter budaya (warisan budaya, pendidikan, pengalaman kerja, sejarah
politik). Semua filter tersebut akan memengaruhi kuantitas dan kualitas pesan yang diterima dan respon yang dihasilkan. Sementara itu, audience memiliki perbedaan filter satu sama lain. (Nurudin, 2009: 136).
2.2 Media Baru (New Media)
New media atau media baru disebut juga media digital. Media digital adalah media yang kontennya berbentuk gabungan data, teks, suara, dan berbagai jenis gambar yang disimpan dalam format digital dan disebarluaskan melalui jaringan berbasis kabel optik broadband, satelit dan sistem transmisi gelombang mikro (Flew, 2008: 2-3 dikutip dari Dibyareswari Utami Putri : 16 ).
Lebih lanjut menurut Flew (dalam Dibyareswari : 16), media baru atau bentuk informasi digital sejenis, memiliki lima karakteristik:
1. Manipulable. Informasi digital mudah diubah dan diadaptasi dalam berbagai bentuk, penyimpanan, pengiriman dan penggunaan.
2. Networkable. Informasi digital dapat dibagi dan dipertukarkan secara terus- menerus oleh sejumlah besar pengguna diseluruh dunia.
3. Dense. Informasi digital berukuran besar dapat disimpan di ruang penyimpanan kecil (contohnya USB flash disc) atau penyedia layanan jaringan.
4. Compressible. Ukuran informasi digital yang diperoleh dari jaringan manapun dapat diperkecil melalui proses kompres dan dapat didekompres kembali saat dibutuhkan.
5. Impartial. Informasi digital yang disebarkan melalui jaringan bentuknya sama dengan yang direpresentasikan dan digunakan oleh pemilik atau penciptanya.
Sementara itu, Ron Rice menekankan aspek kapabilitas dua arah penggunaan/pengoperasian komputer dan telekomunikasi dalam mendefinisikan media baru, yang didefinisikannya sebagai teknologi komunikasi yang secara khusus melibatkan kapabilitas komputer (microprocessor ataupun mainframe) yang memungkinkan atau memfasilitasi interaktivitas antarpengguna atau antara pengguna dan informasi8. Lebih konkretnya, Bennet mengkategorikan media baru menjadi internet, telepon genggam, teknologi streaming, wireless networks, dan kapasitas berbagi informasi melalui World
Wide Web (www).21
Rogers menyatakan empat perbedaan lain yang muncul sebagai akibat dari tiga perbedaan fundamental di atas, yaitu: aksesibilitas yang lebih luas bagi individu, saluran alternatif untuk penyebaran dan pemrosesan informasi dengan jangkauan yang lebih lebar, perubahan format atau cara informasi ditampilkan, konten media baru yang lebih informatif dibandingkan hanya hiburan semata22.
Leah dan Sonia membedakan karakteristik media baru dari media lama dari empat aspek23, yaitu:
1 Recombinant. Media baru merupakan hasil „kombinasi‟ secara kontinyu antara teknologi yang sudah ada dengan inovasi baru, dalam sebuah jaringan teknis dan institusional yang saling terhubung satu sama lain. Tidak seperti media massa yang pada akhir abad ke-20 telah terdiferensiasi dengan stabil ke dalam beberapa saluran atau bentuk (karena kelangkaan spektrum serta pendirian standar teknis dan formal), bentuk dan macam media baru terus bercabang, berekombinan, serta berkembang.
2 networked. Komunikasi dalam media massa bersifat hierarkhis, satu arah (one- way), dan tersentralisasi (one to many), sementara dalam media baru komunikasi bersifat terdesentralisasi dan dua arah (two-way). Pengguna media baru saling terhubung dan dapat menjadi pengirim maupun penerima pesan, atau keduanya sekaligus.
3 Ubiquitous. Media baru mempengaruhi setiap orang dalam masyarakat di mana media tersebut digunakan, meskipun tidak setiap orang dalam masyarakat itu menggunakannya. Sementara teknologi media massa biasanya digunakan bersama, teknologi media baru didesain sebagai alat/aksesori personal yang menyediakan akses ke berbagai konten yang bersifat perseorangan atau layanan komunikasi, di mana pun pengguna, layanan, ataupun sumber daya berada.
21http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=
67233&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-286548-chapter1 diunduh 21 Juli 2016
22 Everett M. Rogers. 1986. Communication Technology: The New Media in Society . New York: The Free Press. Hal. 4-5 dikutif adari BAB I PENDAHULUAN. Pdf
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=
67233&ftyp=potongan&potongan=S1-2014-286548-chapter1 diunduh 21 Juli 2016
23 Ibid. Leah Lievrouw dan Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media: Social Shaping and Social Consequences of ICTs. London: Sage Publications Ltd. Hal. 4-7 dikutif dari BAB I PENDAHULUAN.Pdf
4 Interactive. Media baru mengakomodasi penggunanya dalam aspek selektivitas dan jangkauan, di mana pengguna media baru dapat memilih sumber informasi mereka dan berinteraksi dengan pengguna lainnya. Memang pengguna media massa juga dapat menerima dan mempertahankan informasi secara selektif, namun media baru juga memberi penggunanya sarana untuk membentuk, mencari, serta berbagi konten secara selektif, dan untuk berinteraksi dengan individu dan grup lainnya, dalam skala lebih besar secara lebih praktis dibanding dengan media massa tradisional.
Selain itu, untuk bisa disebut sebagai new media, menurut Lievrouw & Livingstone, (2006 dalam Dibyareswari Utami Putri : 17) sebuah medium harus memiliki 4C dan tiga elemen dasar, yaitu :
1. Computing and Information Technology: Untuk bisa disebut new media, sebuah medium (media massa) setidaknya harus memiliki unsur information, communication, dan technology di dalam tubuhnya. Tidak bisa hanya salah satunya saja.
2. Communication Network: Sebuah new media harus memiliki kemampuan untuk membentuk sebuah jaringan komunikasi antar penggunannya.
3. Digitized Media and Content: Yang tergolong relevan untuk disebut sebagai new media saat ini adalah apabila media massa tersebut mampu menyajikan sebuah medium dan konten yang sifatnya digital.
4. Convergence: New media harus mampu berintegrasi dengan media-media lain (baik tradisional maupun modern) karena inti dari konvergensi adalah integrasi antara media yang satu dengan media yang lain..
Sementara menurut McQuail (1987: 17-18) media baru memiliki ciri-ciri utama yang membedakannya dengan "media lama" yaitu:
1. Desentralisasi, pengadaan dan pemilihan berita tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemasok komunikasi.
2. Kemampuan tinggi, pengantaran melalui kabel dan satelit mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya.
3. Komunikasi timbal-balik (inter-activity), penerima dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan penerima lainnya secara langsung.
4. Kelenturan (fleksibilitas) bentuk, isi dan penggunaan.
Secara umum, media baru tidak saja telah menjembatani perbedaan pada beberapa media, tetapi juga perbedaan antara batasan kegiatan komunikasi pribadi dengan batasan kegiatan komunikasi publik. Bahan dan kegunaan media semacam itu dapat dipakai secara bergantian untuk kepentingan pribadi dan publik.
2.3 Cyber sebagai Media (Media Online)
Dalam sejarah perkembangan media massa telah memperlihatkan bahwa teknologi baru tidak pernah menghilangkan teknologi lamanya melainkan menggabungkannya.
Radio tidak menggantikan surat kabar, begitupun televisi meski dapat melemahkan radio namun tidak secara total mengeliminasinya. Demikian pula bahwa jurnalisme online mungkin tidak akan bisa menggantikan sepenuhnya media-media lama, melainkan meningkatkan intensitasnya dengan menggabungkan fungsi-fungsi dari teknologi internet dengan media-media sebelumnya.
Teori konvergensi menyatakan bahwa berbagai perkembangan bentuk media massa menerus merentang dari sejak awal siklus penemuannya. Setiap model terbaru tersebut cenderung merupakan perpanjangan atau evolusi dari model-model terdahulu. Dalam konteks ini, internet bukanlah suatu pengecualian (Septian Santana K. 2005 : 135).
Media online merupakan pemanfaatan media saluran komunikasi dengan menggunakan fasilitas perangkat internet. Media ini memiliki kekhasan tersendiri yang terletak pada keharusan memiliki jaringan teknologi informasi dengan menggunakan perangkat komputer serta pengetahuan tentang program komputer untuk mengakses berita atau informasi.
Secara umum media online dapat diartikan sebagai sebuah informasi yang dapat diakses dimana dan kapan saja selama ada jaringan internet. Karena itu, pengakses internet dapat mengakses informasi di kantor, di rumah, di kamar, bahkan di dalam kendaraan sekalipun. Karena itu indah suryawati (2011:114) mengatakan dalam pelaksanaan jurnalisnya reporter atau wartawan dapat mengirimkan atau bahkan langsung menyajikan laporan jurnalistiknya mereka dengan cepat melalui media online.
Internet adalah medium terbaru yang mengkonvergensikan seluruh karakteristik dari bentuk-bentuk terdahulu. Karena itu apa yang wan daa berubah bukanlah
substansinya, melainkan metode-metode produksi dan perangkatnya ( dikutip dari Hilf, 2000 dalam Septian Santana K. 2005 : 135).
Sebuah keunggulan dari media online dari media lainnya terletak pada informasinya yang cepat dan memiliki penyajian berita yang mudah dan sederhana, menyajikan informasi dan berita pada saat peristiwa berlangsung yang membuat berita tersebut realtime . Selain itu, media online dapat diakses dimana dan kapan saja sejauh didukung dengan fasilitas teknologi internet.
Media online biasa difungsikan sebagai perpustakaan dunia yang dapat diakses melalui satu pintu yang namanya world widw word (www). Media online bias menjadi penyedia media informasi suarat kabar (electronic newspaper), program film, televise, buku baru, serta lagu-lagu, mulai dari yang bernuansa klasik hingga kontemporer. (Suryawati, 2011:48).
Demikian pula fasilitas yang ada pada internet memberikan kualitas pada informasi dan berita yang dimuat. Seperti fasilitas hyperlink24 yang dapat menghubungkan dari situs ke situs lainnya sebagai referensi terhadap berita yang dimuat selain itu juga untuk memudahkan pengguna (pembaca) dalam mencari atau memperoleh informasi lainnya.
Rafaeli dan Newhagen (dalam Santana K : 2005 137-138) mengidentifikasi lima perbedaan utama yang ada di jurnalisme online dan media massa tradisional : 1) kemampuan internet untuk mengkombinasikan sejumlah media. 2) kurangnya tirani penulis atas pembaca. 3) tidak seorang pun dapat mengendalikan perhataian khalayak. 4) internet dapat membuat proses komunikas berlangsung sinambung, dan 5) interaktifitas web.
Unsur online tersebut yang membuat media online berbeda dengan media konvensional lainnya. Karena itu, media online tidak dikategorikan dalam media massa cetak atau elektronik melainkan sebagai media massa baru (new media) atau media modern (Suryawati : 2011:114).
Dari sekian banyak fasilitas yang ada di internet, kebanyakan para jurnalis menggunakan fasilitias web untuk mempublikasikan laporan jurnalistiknya, karena dengan manggunakan web menyediakan isi yang sangat beragam kepada khalayak sasarannya dengan cara yang paling mudah. Beberapa strategi yang dialakukan penyelenggara media online dalam pemanfaatan web ialah dengan mengkalsifikasikan berita menjadi kanal-
24 teks atau gambar untuk menuju suatu alamat atau halaman tertentu.
kanal25 tertentu. Meskipun begitu tidak berarti bahwa tidak ada fasilitas lain di internet yang dapat digunakan utnuk menyelenggarakan jurnalistik online. Pada kenyataannya sekarang ini, beberapa penyelenggara jurnalistik online menggunakan fasilitas media social untuk mempublikasikan hasil laporannya. Fasilitas yang digunakannya dapat berupa facebook, instagram, BBM dan lain sebagainya. Dengan menggunakan fasilitas facebok, penyelenggara jurnalistik online bisa segera mendapatkan feedback khalayak menyangkut berita yang di tampilkan pada saat itu (Suryawati : 2011: 114-115).
Berbeda dengan perantara media konvensional, penyelenggara jurnalistik tidak bisa mendapatkan feedback langsung dari khalayaknya. Karena penggunaan media konvensial sifat komunikasinya satu arah (linear), sehingga feedback nya pun bersifat tertunda.
Misalnya surat kabar butuh waktu keesokan harinya untuk mengetahui feedback kahalayaknya. Sedangkan produser TV maupun sutradara film butuh waktu lama untuk mengetahui feedback kahalayaknya (Suryawati : 2011: 115).
2.4 Kode Etik Jurnalistik 2.4.1 Etika Jurnalistik
Secara sempit etika jurnalistik merupakan sebuah aturan atau norma yang yang menjadi pengangan bagi para jurnalis dalam mencari, mengolah, hingga penyusunan data menjadi sebuah berita.
Menurut Syarifudin Yunus mendifinsikan etika jurnalistik sebagai berikut :
Etika jurnalsistik dapat diartikan sebagai system nilai atau norma yang menjadi acuan insan pers dalam menjalankan tugas dan fungsi jurnalistik. Etika jurnalistik merupakan aturan main yang disepakati dan dijunjung tinggi insan pers, baik secara individu atau lembaga. Substansi dari keberadaan etika jurnalistik adalah
“menegakkan kebenaran” dalam praktik dan pelaksanaan tugas jurnalistik (Yunus 2010 : 106).
Kode etik merupakan seprangkat norma yang disepakati oleh organisasi profesi sebagia acuan moral bagi perilaku anggotanya. Begitu juga dengan kode etik kewartawanan. Ia berisi seperangkat norma umum dari profesi jurnalis untuk memenuhi khittah semangat dasar jurnalisme, yaitu “menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri” (Bill Kovach & Tom Rosenstiel : 2006 : 12, dikutip dari AJI Jakarta : 2014 : 59)
25 Konten-konten berita yang ada di web (situs media online) sesuai dengan klasifikasi beritanya seperti, pendidikan, olahraga, kulner dan lain sebagainya.
Karena itu, para insan pers harus benar-benar memhami dan mengimplementasikan dari arti penting etika jurnalistik, meski etika tersebut dibuat oleh insan pers sendiri. Meski begitu, semangat yang harus dikedepanakan dalam implemetasi etika jurnalistik ialah untuk memastikan insan pers dan media massa tetap dapat memenuhi fungsi sosialnya disamping fungsi informatifnya.
Berita yang disampaikan kepada masyarakat melalui media massa harus dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, sebab salah satu tujuan media massa adalah untuk mendukung pembangunan kehidupan sosial masyarakat. Dari hal tersebutlah etika jurnalistik memegang peran penting dalam proses jurnalistik. Dengan adanya kebebasan pers sering kali diartikan sebagai kebebasan yang tanpa batas bagi insan pers dan media massa dalam menjalankan tugasnya. Tetapi kebebasan pers harus dimaknai sebagai sebagai independesi insan pers dan media massa dalam melakukan dan proses jurnalistik demi penayajian fakta/berita yang akurat tanpa tekanan dan keberpihakan dari pihak manapun (AJI Jakarta : 2014).
Profesionalisme wartawan dan objektivitas media massa merupakan landasan moral yang harus dipegang dalam menjalankan tugas jurnalistik (Yunus:2010:106). Pada pasal 1 Kode Etik jurnalistik dijelaskan bahwa “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. (PWI Perwakilan Cirebon : 2014 : 104)”. Pada dasarnya etika jurnalistik mencakup aspek pencarian berita, pengolahan data, dan penyusunan berita
Beberapa aturan main jurnalistik yang terkait dengan penegakkan etika antara lain dituangkan dalam UUD No. 40 tahun 1999 tentang pers, kode etik jurnalistik, Kode Etik Wartawan Indonesia –PWI, keberadaan dan fungsi Dewan Pers.
Di Indonesia, referensi awal soal kode etik merujuk pada Kode Etik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Di masa Orde Baru (1966-1998), kode etik inilah yang menjadi rujukan resmi karena pemerintah hanya mengakui PWI yang lahir pada 9 Februari 1946 sebagai satusatunya tempat berhimpun wartawan Indonesia. Monopoli itu baru berakhir setelah surat keputusan menteri penerangan yang mengakui PWI sebagai wadah tunggal organisasi wartawan dicabut pada tahun 199926.
26 Mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya, Mei 1998, diikuti diikuti oleh pencabutan sejumlah regulasi lama yang dianggap represif terhadap pers. Di antara regulasi terkait pers yang dicabut pada masa pemerintahan BJ Habibie adalah Surat Keputusan Menteri Penerangan tahun 1984 yang mengatur soal Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Di masa Orde Baru, instrumen SIUPP ini menjadi alat kontrol yang sangat efektif untuk merepresi dan mengintervensi pers. Regulasi lainnya yang dicabut adalah keputusan menteri penerangan yang mengakui PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan. Dikutip dari AJI. Perilaku Jurnalis. 2014. Jakart : AJI. Hal. 59
Sebagai dampak dari kebijakan tersebut, semakin menjamurnya organisasi wartawan di Indonesia, ada sekitar 24 organisasi wartawan yang mengaku eksis di tahun 1999.
Semakin banyaknya organisasi wartawan tersebut semakin beragam pula kode etik yang dipakai para wartawan Indonesia. Karena sebagian organisasi mempunyai kode etik tersendiri untuk mengatur anggotanya. Beberapa organsasi yang mempunyai kode etik tersendiri seperti halnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) (AJI:2012:60)
Seiring perkembangan organisasi wartawan dari tahun ketahun, banyak organisasi yang membutuhkan adanya kode etik yang menjadi rujukan bagi semua organisasi. Dewan Pers sebagai organisasi untuk menjaga pers diberi mandat oleh UU No. 40 Tentang Pers untuk membuat kode etik untuk wartawan, yang kemudian inilah yang menghasilkan lahirnya Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang disahkan oleh Dewan Pers pada rapat koordinasi di Bandung pada tanggal 5-7 Agustus 199927. Kemudian kode etik tersebut direvisi pada tahun 2006. Sehingga namanya diubah menjadi Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) pada 14 Maret 2006.
Secara prinsip Kode Etik Wartawan Indonesia dan Kode Etik Jurnalistik memuat kaidah normatif yang sama. Kode Etik Jurnalistik, jika dikategorisasi, membagi soal etika jurnalistik ke dalam empat kluster besar, yaitu: kaidah etika umum, kaidah dalam peliputan, kaidah dalam publikasi karya, dan kaidah dalam menangani komplain public (PWI:2014).
Berbeda dengan Kode Etik Wartawan Indonesia, Kode Etik Jurnalistik memiliki preambul yang memuat spirit utama dari keberadaan kode etik. Preambul itu menegaskan bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, serta dipayungi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Dalam kalimat pembuka pada Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI) menyiratkan secara jelas mengenai soal dasar dari “kemerdekaan Pers” yakni sebagai “Sebagai sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.”
27 Diratifikasi oleh 24 organisasi wartawan pada rapat koordinasi pada tanggal 5-7 Agustus 1999. Lihat AJI, Pedoman Perilaku Jurnalis, 2012 hal 60
Dari hal diatas, sebagai upaya untuk mencapai preambul diatas AJI (61: 2012) mengatakan :
Jurnalis perlu menyadari adanya “kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat dan norma-norma agama” dan “bersedia dikontrol oleh masyarakat” dalam menjalankan profesinya. Meyakini besarnya tanggung jawab di pundak jurnalis itulah, “Wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.”
Dengan kata lain, Kode Etik Jurnalistik mencoba memandu jurnalis agar bisa menjalankan profesi sesuai khittah, untuk memenuhi kebutuhan publik atas informasi, serta menjaga integritas dari kemungkinan penyalahgunaan profesi.
Perlu diingat bahwa media massa mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini public melalui pmebritaan yang disajikannya. Dari pengaruh tersebut bisa berdampak psitif dan juga dapat berdampak negative tergantung dari berita yang disampaikan. Karena itu berita yang disampaikan haruslah informasi yang benar sesuai dengan fakta yang ada dan tidak ada keberpihakan dari pihak manapun. Jika etika jurnalistik tersebut diabaikan maka konsekuensi yang akan diterima oleh insan pers dan media massa yang bersangkutan akan berakibat hilangnya kepercayaan dari masyarakat.
2.4.2 Kode Etik dalam Pedoman Perilaku Jurnalis
Kode etik jurnalistik berisi prinsip umum yang harus dipatuhi wartawan. Adapun pedoman perilaku memuat aturan yang lebih operasional. Karena itu, kode etik biasanya lebih ringkas, seperti terlihat pada Kode Etik Jurnalistik. Meski kode etik dan pedoman perilaku berbeda dalam karakter, tapi tujuannya sama: memberi panduan bagi jurnalis agar bekerja sesuai etika profesi.
Dibawah ini memberikan gambaran bagaimana sejumlah prinsip umum dalam kode etik dijabarkan lebih operasional dalam pedoman perilaku. Rujukannya, di samping kode etik dan pedoman perilaku jurnalis di Indonesia, juga pedoman perilaku wartawan dari perusahaan media manca Negara (AJI : 2012 : 97).
Dalam melaksanakan praktik jurnalis, wartawan dituntut untuk mengimplikasikan prinsip-prinsip prilaku jurnalis, hal ini untuk menjaga profesionalisme kerja wartawan.
Berikut ini AJI dalam bukunya “Pedoman Perilaku Jurnalis” memaparkan prinsip-prinsip perilaku seorang jurnalis sebagai berikut :
1. Prinsip Independensi
Independensi mensyaratkan jurnalis terbebas dari tekanan/pengaruh apapun di luar kepentingan publik dan hati nurani si jurnalis ketika mencari dan menyampaikan informasi kepada publik.
Independensi adalah salah satu prinsip penting dalam jurnalisme, termasuk dalam Kode Etik Jurnalistik. Sikap ini sangat mempengaruhi jurnalis dan karya yang dihasilkannya, selain faktor skill-nya. Kode Etik Jurnalistik mengatur sangat ringkas soal bagaimana jurnalis harus bersikap independen.
Sesuai dengan pasal 1 Kode Etik Jurnalistik berbunyi “Wartawan Indonesia bersikap independen.” Penjelasannya, “Independen berarti waratawan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.”
Ancaman terhadap indepedensi jurnalis tidak hanya datang dari luar media seperti, politisi, kelompok kepentingan dan pejabat pemerintah, namun ancaman juga bisa datang pemilik media dan relasinya. Terlebih lagi ketika sejumlah pemilik media juga terjun ke dunia politik dan punya jejaring bisnis di luar sektor media.
Beberapa sikap independen yang bisa di tunjukkan atau disikapi oleh para jurnalis diantaranya (AJI:2012:5-6)
a. Jurnalis menghindari pengaruh pihak luar redaksi dalam menentukan topik, angle, narasumber, dan isi berita.
b. Jurnalis menghindari campur tangan pemilik terhadap isi fakta yang akan dimuatnya dalam berita
c. Jurnalis menghindari pengaruh marketing/iklan dalam menentukan topik, angle, narasumber dan isi berita
d. Jurnalis tidak diperbolehkan mencari iklan atau merangkap jabatan di bagian bisnis
e. Jurnalis menghindari hubungan sosial yang terlalu akrab dengan nara sumber atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi narasumber, kecuali untuk hubungan sosial yang lazim (seperti menghadiri undangan resepsi, melayat, dan semacamnya)
f. Jurnalis tidak boleh meliput kegiatan bisnis, politik, sosial dan budaya yang dia jalankan.
g. Jurnalis tidak boleh menjadi pengurus partai politik
h. Jurnalis tidak boleh meliput organisasi tempat dia menjadi anggota (kecuali kegiatan organisasi profesi dan serikat pekerja tidak bertentangan dengan semangat jurnalisme)
2. Prinsip Imparsialitas
Seorang jurnalis harus bersikap imparsial yaitu sebuah sikap tidak memihak dalam artian netral. Sikap imparsialitas dapat ditunjukkan dengan sikap sebagai berikut (AJI:2012:5-6)
a. Dalam membuat berita, jurnalis tidak boleh memihak pada salah satu subyek (baik itu dalam konflik politik, hukum, ekonomi dan sosial)
b. Laporan berita yang bersifat faktual tidak boleh dibubuhi opini pribadi jurnalis
c. Jurnalis menghindari penggunaan bahasa yang bernuansa opini (misalnya sesuatu “baik”, “buruk”, “jahat”, “gagal”, “cantik”, dan “bodoh”)
d. Jurnalis menghindari jargon atau gaya bahasa yang mengaburkan arti sebenarnya , seperti eufimisme dan sarkasme.
e. Jurnalis tidak memberi labeli/stigma terhadap subyek berita. Misalnya: istilah
“kafir” untuk non-muslim, istilah “fundamentalis”, atau “gerakan pengacau keamanan”.
f. Jurnalis menghindari favoristisme pada salah satu tokoh, organisasi, artis, kelompok bola yang dia liput
g. Jurnalis tidak boleh menggunakan predikat yang bernuansa kultus individu seperti “habib”, “ustad”, “tokoh idola”, “artis kesayangan”, “pejuang”, dan sebutan-sebutan lainnya.
h. Untuk menghindari bias, jurnalis menggunakan istilah-istilah yang obyektif (terukur/dapat diverifikasi): berapa kira-kira tingginya seseorang, bukan menyebutnya dengan “jangkung” atau “cebol”.
i. Jurnalis menghindari pemilihan angle dan penggunaan istilah yang menimbulkan prasangka, baik itu suku agama, ras dan sebagainya. Misalnya:
pria sipit, pria keriting, negro, dan sebagainya.
3. Prinsip Fairness
Prinsip fairness merupakan prinsip adil dalam hal ini bisa dairtikan juga sebagai keberimbangan data dalam proses jurnalistik. Prinsip fairness dapat ditujukkan dengan sikap sebagai berikut AJI (2012:6-7)
a. Jurnalis harus mewawancarai semua pihak yang berkonflik/bersaing jika meliput suatu masalah yang terkait konflik/persaingan di segala bidang (politik, hukum, bisnis, sosial)
b. Jurnalis memberi kesempatan kepada subyek berita yang dituduh untuk memberi tanggapan atau klarifikasi atas berita yang memojokkan dia.
c. Harus ada minimal tiga upaya sungguh-sungguh” untuk mewawancarai pihak yang dituduh atau dirugikan dalam suatu berita. Upaya itu meliputi, menghubunginya melalui telepon, pesan pendek, mentiondi twitter, mengonfirmasinya secara langsung di rumahnya.
d. Balancedalam sebuah pemberitaan tidak harus dikutip sama panjangnya, namun yang utama adalah fakta-fakta dan opini yang substansial sudah dimasukkan. Dalam hal tidak ada konflik/persaingan, asas keseimbangan tetap
diperlukan dengan cara memberikan ruang untuk pandangan alternatif yang bisa berasal dari pengamat
e. Liputan harus proporsional, tidak melebih-lebihkan hal-hal yang tidak relevan atau di luar isu pokok, dan tidak mengecilkan hal-hal yang penting untuk kepentingan publik. Menyebutkan narasumber dengan identitas SARA termasuk hal yang tidak relevan dan kerap bisa .
f. Setiap fakta harus ditempatkan dalam konteks yang benar
g. Jurnalis dilarang melakukan plagiarisme, termasuk praktik yang selama ini dikenal sebagai kloning. Jika mengutip atau mengambil bahan dari sumber lain, ia harus menyebut sumbernya secara jelas.
h. Jurnalis harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat, bila perlu disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Hak jawab dan hak koreksi diberikan secara proporsional.
i. Bila peliputan yang dilakukan dengan cara khusus, misalnya menggunakan hidden cameramelakukan rekonstruksi atas sebuah peristiwa, atau cara lain untuk liputan investigasi, jurnalis harus memberikan penjelasan dalam pemberitaannya
4. Prinsip tidak beritikad buruk
Tidak beritikad buruk adalah salah satu pedoman penting yang harus diperhatikan jurnalis dalam menjalankan profesinya. Sikap itu antara lain bisa ditunjukkan sebagai berikut (AJI :2012:7-8)
a. Jurnalis tidak boleh memberitakan hal-hal yang tidak jelas sumbernya
b. Jurnalis tidak boleh memberitakan hal-hal yang belum diverifikasi kebenarannya
c. Jurnalis tidak boleh memberitakan hal-hal yang diketahuinya tidak terjadi/tidak ada, atau mengarang, atau menambah dan mengurangi fakta d. Jurnalis tidak boleh menuduh seseorang melakukan sesuatu yang tidak ia
lakukan tanpa didukung fakta dan sumber yang jelas
e. Jurnalis tidak boleh berniat menjatuhkan seseorang atau lembaga dengan terus-menerus memberitakan secara negatif orang atau lembaga tersebut tanpa didukung fakta dan sumber yang jelas.
5. Prinsip Akurasi
Akurasi merupakan salah satu rukun dasar kerja jurnalistik. Untuk menjaga akurasi, jurnalis harus memverifikasi semua informasi awal, menguji silang informasi dengan sumber lain, dan melakukan riset latar belakang/konteks informasi tersebut (AJI:2012:8)
Prinsip akurasi tak hanya menuntut setiap infomasi itu jelas sumbernya (faktualitas), tapi juga menuntut kebenaran (truth) informasi tersebut secara
substansi. Sebisa mungkin, jurnalis seharusnya mendapatkan informasi dari tangan pertama dengan berada langsung di lokasi kejadian, atau bila itu tak mungkin, dengan mewawancarai orang yang berada di lokasi kejadian (pelaku, korban, atau saksi mata). Verifikasi meliputi pengecekan atau klarifikasi, pengujian, pembuktian, dan konfirmasi.
Akurasi juga menuntut penyajian fakta dan informasi sesuai dengan konteksnya. Jika menyangkut isu kontroversial, perlu dipastikan bahwa fakta dan opini yang relevan telah dipertimbangkan. Jika yang dilaporkan rawan gugatan, reporter dan dewan editor harus membayangkan bagaimana bisa mem pertanggungjawabkan laporan mereka di pengadilan. (AJI : 2012 : 9)
6. Pemberian Uang, Fasilitas, dan Penyalahgunaan Profesi.
Mengenai penyalahgunaan profesi telah diatur dalam kode Etik Jurnalistik pasal 6 yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.“ dalam penafsiarannya dijelaskan :” Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. (AJI:2012:100)
Istilah suap dalam Kode Etik Jurnalistik masih membuka peluang atas perbedaan tafsir. Dengan redaksional seperti itu, terbuka ruang untuk interpretasi bahwa pemberian yang bukan suap diperbolehkan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menentukan itu suap atau tidak? Salah satu cara mengujinya adalah dengan bertanya kepada diri sendiri dan memberi jawaban yang jujur,
“Apakah jika Anda bukan wartawan akan mendapatkan pemberian itu?” Jika jawabannya “tidak”, maka ada unsur suap di dalamnya
Secara lebih jelas mengenai suap dapat dijelaskan dalam pedoman perilaku sebagai berikut :
a. Jurnalis tidak diperbolehkan menerima pemberian uang dari sumber berita dalam bentuk apapun (tunai, cek, giro, transfer melalui bank, atau berbentuk asuransi) terkait dengan pekerjaannya. Pengembalian bisa dilakukan secara langsung atau melalui sekretaris redaksi kepada narasumber yang bersangkutan.
b. Jurnalis tidak menerima pemberian dari sumber berita berupa barang atau sesuatu yang senilai barang, di atas Rp 100 ribu. Pemberian dengan nilai di atas jumlah tersebut tidak boleh diterima. Kalau pun tak bisa dikembalikan
pada saat itu juga, bisa dilakukan melalui sekretaris redaksi kepada sang pemberi
c. Jurnalis sebisa mungkin yang membayar biaya ketika menjamu sumber berita (termasuk para pejabat pemerintah) untuk meliput mereka. Dalam beberapa situasi tertentu, menerima jamuan makan atau minum mungkin tak terhindarkan. Sebagai contoh, jurnalis tidak perlu menolak setiap undangan wawancara dari seorang eksekutif dalam jamuan makan siang di ruang makan pribadi korporasi, di mana tak mungkin reporter tersebut dapat membayar makanannya. Singkatnya, jurnalis harus menyarankan pertemuan untuk wawancara di tempat di mana perusahaan dapat membayarnya.
d. Jurnalis tidak menerima uang transportasi dan penginapan gratis atau diskon, kecuali dalam keadaan terdesak. Di antaranya adalah ekspedisi militer atau ekspedisi ilmiah dan perjalanan lain yang apabila dilakukan pengaturan secara pribadi malah tidak praktis. Misalnya, mengikuti penerbangan dengan pesawat milik perusahaan tertentu di mana seorang eksekutif yang ingin diwawancarai terbang di dalam pesawat itu juga. Jurnalis harus berkonsultasi dengan atasannya ketika menghadapi keadaan tertentu seperti ini.
e. Jurnalis dilarang menerima hadiah, tiket, diskon, penggantian biaya atau insentif lain dari seseorang atau perusahaan atau organisasi yang diberitakan atau mungkin diberitakan. Pengecualian dapat diberikan untuk suvenir dengan nilai nominal tak lebih dari Rp 100 ribu atau kurang dari itu. Jurnalis harus menyadari bahwa diskon besar dapat menciptakan kesan keberpihakan, terutama oleh mereka yang meliput perusahaan atau industri yang menawarkan diskon tersebut.
f. Jurnalis dapat menerima hadiah atau diskon yang itu tersedia untuk masyarakat umum. Ia juga dibolehkan menerima diskon dari perusahaan tempatnya bekerja atau menerima tiket masuk gratis atau pelayanan lain yang memang diperuntukkan bagi karyawan perusahaan media itu.
g. Untuk mengurangi dan menghindari potensi konflik kepentingan, jurnalis yang meliput isu ekonomi/bisnis diwajibkan melaporkan secara tertulis kepada atasan/lembaga medianya seluruh kepemilikan saham dan surat berharga lainnya sebelum memulai penugasannya. Laporan diperbarui setiap ada perubahan kepemilikan saham/surat berharga yang perlu dilaporkan.
Jurnalis juga diharapkan melaporkan kepada atasan kalau ada penugasan yang mempunyai potensi konflik kepentingan dengan kegiatan investasi yang dilakukan oleh sanak keluarga/kerabatnya.
h. Mereka yang dikenakan wajib lapor adalah reporter lapangan serta seluruh jajaran redaktur bisnis/ekonomi/keuangan, dan juga jurnalis lepas/kontributor, penulis tajuk dan kolumnis, serta redaktur lain yang menangani berita/peliputan ekonomi/keuangan (misalnya redaktur halaman depan dan redaktur halaman opini). Berdasarkan laporan tersebut, redaksi tidak memberikan penugasan kepada jurnalis yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Penugasan diberikan kepada jurnalis lain, atau jurnalis yang bersangkutan dipindahkan ke bidang lain.
i. Khusus bagi jurnalis yang sehari-harinya meliput kegiatan bursa efek, dilarang melakukan perdagangan saham yang sama dalam kurun waktu tiga bulan. Hal ini untuk menghindari kesan adanya permainan spekulasi atau
adanya penggunaan informasi oleh jurnalis yang tidak dimiliki oleh publik.
Peraturan ini berlaku bagi reporter lapangan dan jajaran redaksi bisnis/keuangan, penulis tajuk/kolumnis dan mereka yang terlibat dalam pembuatan/penyajian berita. Lembaga media mempersiapkan peralihan kepemilikan saham mereka yang terkena peraturan ini, agar mereka tidak dirugikan ketika melepas atau mengalihkan kepemilikan sahamnya.
2.4.3 Rambu-Rambu Peliput Berita
Ketika melakukan wawancara langsung dengan sumber berita, dalam kode etuk jurnalistik ada aturan atau norma dalam menghargai dan melindungi sumber berita. Hal ini telah diatur dalam kode etik jurnalistik pasal 5 ayat 1 yang berbunyi “wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber yang tidak mau disebut namanya dan tidak menyiarkan keterangan-keterangan yang diberikan secara off the record.
1. Off The Record dan On The Record
Secara definisi Off the record adalah informasi atau keterangan yang diberikan sumber berita hanya untuk diketahui wartawan, tidak boleh dicetak atau disebarluaskan dengan cara apapun (Zaenudin, 2011:125).
Informasi off the record biasanya merupakan informasi yangn bersifat rahasia baik menyangkut seseorang ataupun rahasia Negara. Karena jika informasi itu disiarkan oleh pers, dikhawatirkan ada dampak dan resiko besar. Karena itu, sumber berita hanya mengungkapkannya tetapi melarang untuk dikutip sebagai berita.
Karena itu informasi yang disampaikan itu hanya untuk diketahui olehwartawan dan bukan untuk ditulis atau ditayangkan sebagai berita.
Sementara itu on the record adalah semua pernyataan sumber berita boleh langsung dikutip dengan menyertakan nama serta gelar orang yang memberikan keterangan tersebut (Zaenudin, 2011:126). Dapat diartikan semua informasi yang telah diberikan sumber berita itu boleh dikutip apa adanya. Jadi semua berita yang sudah tersiar di media-media baik cetak dan eletronik adalah informasi on the record.
Jika kemudian berita tesebut menjadi masalah, itu merupakan kesalahan dari wartawannya sendiri baik itu dalam hal salah mengutip, dan kurangnya keakuratan data.
2. On Background dan On Deep Background
Selain off the record dan on the record, menyangkut pengakuan dan keterangan dari sumber berita, dikenaljuga dua istilah lain yaitu on background dan on deep background.
Keduanya memiliki perbedaan sendiri, istilah on background dapat diartikan semua pernyataan boleh lagnsung dikutip, tetapi tanpa menyebutkan nama atau gelar orang yang memeberikan keterangan tersebut. Dalam aturannya jenis penyebutannya yang harus digunakan terlebih dahulu, mislanya, pejabat Gedung Putih, juru bicara pemerintah, dan pengacara pemerintah (Zaenudin : 2011:126-127).
Biasanya dalam on background, sumber berita rela memberikan keterangan panjang lebar dan mengizinkan untuk dikutip tetapi biasanya juga meminta wartawan untuk tidak menuliskan nama dan jabatannya.
Zaenudin (2011:127) mencotohkan on background dalam sebuah berita yang dikutipnya,
“Ibu megawati kecewa berat terhadap kekalahan PDIP pada Pemilu 2004.
Bahkan Bu Mega akan mencopot beberapa pengurus PDIP yang diangggap gagal menjalankan mesin politik partai” dalam pemeberitaannya ditulis “kata seorang petinggi PDIP di kediamannya, kemarin.
Pada kalimat tersebut kata petinggi PDIP (dicetak miring) merupakan sebutan bagi sumber berita. Meski wartawan mengetahui namanya namun dalam kalimat tersebut tidak dicantumkan nama lengkap bahkan jabatan si sumber berita, dan hal itu merupakan permintaan dari si sumber berita.
Sedangkan dalam on deep background dapat diartikan bahwa apapun yang dikatakan sumber berita boleh digunakan, tettapi tidak dalam suatu kutipan langsung dan tidak untuk sembarang jenis penyebutan (Zaenudin, 2011:127). Reporter atau wartawan harus menggunakan informasi yang diperolehnya untuk dirinya sendiri, tanpa menyebutkan sumbernya, apakah dari sebuah departemen atau pemerintah.
3. Embargo Berita
Sudah merupakan tugas seorang wartawan untuk sehari-hari mencari atau meliput berita. Namun tidak semua berita atau informasi dapat segera disiarkan oleh wartawan karena adanya ketentuan embargo. Embargo merupakan sebuah istilah
dalm jurnalistik yang berarti tidak boleh disiarkan hingga batas waktu tertentu (Zaenudin, 2011:128).
Misalnya, naskah rancangan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang sudah dibagikan kepada pers belum boleh disiarkan kepada public sebelum presiden membacakannya. Biasanya dalam naskah tersebut tertulis “Embargo”.
Wartawan harus memakluminya dan mematuhinya. Melanggar ketentuan embargo berarti melanggar kode etik jurnalistik. Karena yang memberi ketentuan embargo adalah pihak sumber berita.
2.5 Kompetensi dan Profesionalisme Wartawan
Memang sudah menjadi tugas seorang wartawan untuk melakukan tugas jurnalistik yang meliputi, mengumpulkan, mengolah serta menyajikan fakta yang ditemukan menjadi sebuah informasi dan dipublikasikan melalui media massa. Namun dalam melakukan tugas jurnalistik tersebut seorang wartawan harus mempunyai kompetensi tertentu sehingga profesionalisme wartawan tetap terjaga.
Profesi wartawan adalah profesi yang bukan sekedar mengandalkan keterampilan seorang tukang. Ia adalah profesi yang watak, semangat, dan cara kerjanya berbeda dengan seorang tukang. Oleh karena itu, masyarakat memandang wartawan sebagai professional (Hikmat dan Purnama, 2005:115).
Kompetensi wartawan merupakan kemampuan seorang wartawan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntuan profesionalisme yang dipersyaratkan. Secara luas dapat diartikan kompetensi tersebut mencakup penguasaan keterampilan (skill), didukung dengan pengetahuan (knowledge), dan dilandasai kesadaran (awerness) yang dialakukan dalam melaksanakan tugas dan fungsi jurnalsitik (Dewan Pers:2005:27).
Apa lagi di era informasi ini, wartawan menghadapi tuntutan masyarakat dan perekembangan persoalan sosialyang tumbuh semaki kompleks. Karena itu, untuk menghadapi tuntutan dan persoalan tersebut wartawan harus memiliki serta terus menerus meningkatkan berbagai kompetensi yang diperlukan.
Dalam perumusan kompetensi wartawan terdapat, tedapat sejumlah aspek mendasar yang perlu diperhatikan. Dari hasil wacana yang berkembang, Dewan Pers (2005:28) mengutip dari hasil lokakarya dan diskusi mengenai kompetensi wartawan, secara
mendasar kompetensi tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga kategori kompetensi yaitu :
1. Kesadaran (Awareness) : mencakup kesadaran tentang etika, hukumm dan karir.
2. Pengetahuan (knowledge) : mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.
3. Keterampilan (skill) : mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti komputer, kamera, mesin scanner, faksimili, dan sebagainya.
Dari ketiga kompetensi inilah sebenarnya wartawan di tuntut untuk bekerja secara professional bukan menjadi wartawan amatir. Karena dengan sikap profesionalisme tersebut akan menimbulkan dalam dirinya rasa dan sikap menghormati martabat dan hak- hak orang lain yang diliputnya. Demikian pula tidak secara langsung sikap tersebut mejaga martabatnya sendiri karena dengan sikap terebut ia akan mendapat kepercayaan masyarakat dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan profesional.
Hikmat dan Purnama (2005:115) mengatakan :
Dalam persepsi diri para wartawan sendiri, istilah “Profesional” memilii tiga arti : pertama, professional adalah kebalikan dari amatir; kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; ketiga, norma-norma yang mengatur prilakunya dititik beratkan pada kepetingna khalayak pembaca. Selanjutnya ada dua norma yang dapat diidentifikasikan yaitu : pertama, norma teknis (keharusan menghimpun berita dengna cepat, keterampilan menulis, dan menyunting, dsb.), kedua, norma etis (kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggungjawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya harus tercermin dalam produk tulisannya).
Secara ringkas The Poynter Institute sebuah lembaga kajian media di Amerika, menjelaskan aspek-apek kompetensi wartawan dapat dirumuskan dalam bentuk bagan
“Piramida Kompetensi” (The Poynter Institute dikutip dari Dewan Pers:2005 : 29).
Gambar 1.1 : Bagan Piramida Kompetensi Wartawan
1. Kesadaran (awareness)
Kesadaran yang dimaksud ialah kesdaran dimana seorang wartawan dalam melakukan tugas juranlisnya dituntut harus menyadari norma-nomra etika dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan karya jurnalistik sehingga memahami arti profesionalisme. Kesadaran tersebut meliputi kesadaran etika, kesadaran hukum, dan kesadaran karir (Dewan Pers:2005 : 29).
a. Kesadaran Etika
Kesadaran akan etika merupakan hal yang sangat penting sekali karena menyangkut profesi kewartawanan. Dalam hal ini dengan dengan adanya keadaran tersebut mekanisme kinerja wartawan akan selalu mengacu pada kode etik yang berlaku baik itu dari perusahaan persnya maupun kode etik yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Selain itu dengan kesadaran tersebut akan memudahkan wartawan dalam mengetahui kesalahan-kesalahan dan menghindari kesalahan-keslahan tersebut, seperti plagiasi, menerima imbalan, menentukan kelayakan berita, dan menjaga kerahasiaan sumber berita
Karena itu jika kurangnya kesadaran wartawan terhadap etika akan berakibat serius. Dapat diartikan wartawan tersebut mengalami kegagalan
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan terhadap kesalahan dan dapat memunculkan persoalan akibat berita yang tidak akurat dan bias, privasi, tidak menghargai sumber berita dan kerja jurnalistik yang buruk.
Untuk menjaga hal tersebut, maka wartawan harus memiliki beberapa hal berikut ini (Dewan Pers:2005 : 31) :
1) Memiliki integritas, tegas dalam prinsip, kuat dalam nilai-nilai.
Wartawan yang beretika melaksnaakan misinya, memiliki tekad pada standar jurnalistik yang tinggi dan bertanggung jawab.
2) Melayani kepentingan public, memantau mereka yang berkuasa agar bertanggung jawab, menyuaraka mereka yang tidak bersuara.
3) Berani dalam keyakinan dan bersikap independen, mempetanyakan otoritas, dan menghargai perbedaan.
b. Kesadaran Hukum
Selain sadar terhadap etika, wartawan juga dituntut untuk sadar terhadap hukum. Maka dari itu seorang wartawan wajib memahmi UU Pers sebagai landasan hukumnya untuk menjaga kehormatan dan melindungi hak-haknya secara hukum.
Wartawan dituntut untuk memahami ketentuan hukum yang terkait dengan kerja jurnalistik, misalnya UUD 1945 Pasal 28, UU Pers No. 40 Tahun 1999, UU Penyiaran, KUHP dan UU Hak Cipta (Dewan Pers:2005:32). Sementara itu wartawan juga perlu memahami aspek-aspek hukum yang diatur dalam berbagai UU dan pengaruhnya bagi kerja kewartawanan dan keamasyarakatan.
c. Kesadaran Karir
Kesadaran karir ini bertujuan guna memastikan bahwa profesinya menjajikan jenjang karir, kepastian kerja dan kesejahteraan, adanya job deskripsi, hak dan kewajiban dan reward yang jelas. Karena itu bekerja di suatu perusahaan media perlu dilandasi adanya Surat Kesepakatan Kerja Bersama (SKKB) antara perusahaan dan karyawan serta meamahami visi misi perusahaan pers yang tertuang dalam statuta perusahaan.
2. Pengetahuan (knowledge)
Seorang wartawan harus menguasai sejumlah pengetahuan baik itu pnegetahuan umum, pengetahuan khusus atau pengetahuan teknis. Dengan sejumlah
pengetahuan yang dimiliki wartawan, ini akan membantu dalam proses jurnalistik sebagai basis inforasi untuk memerankan fungsi pers sebagia pendidik dan informative. Karena wartawan tanpa pengetahuan yang memadai, hanya akan menghasilkan karya jurnalistik yang dangkal sehingga tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat. Dalam bukunya “Kompetensi Wartawan” Dewan pers (2005) memaparkan pengetahuan yang harus dimiliki seorang wartawan di klasifikasikan mejadi 3 bagian sebagai berikut:
a. Pengetahuan Umum
Kompetensi pengetahuan umum ini mencakup pengetahuan umum dasar, seperti ilmu budaya, ilmu politik, sejarah, sosialdan ekonomi. Kompetensi ini sebagai upaya wartawan untuk mampu mengikuti perkembangan sosialsehingga mampu menyajikan informasi yang layak kepada audiensnya.
Karena itu, sebuah kewajiban bagi para wartawn untuk memperbarui pengetahuannya dengan menggali pengetahuan dari berbagai sumber baik buku atau jurnal ilmiah dan lain sebagainya.
b. Pengetahuan Khusus
Kompetensi pengetahuan khusus diperlukan bagi wartawan yang memilih atau ditugaskan pada liputan isu-isu spesifik. Misalnya bagi wartawan peliput masalah ekonomi perlu kiranya memahami ekonomi makro, keuangan, statistika dan lain sebagainya.
c. Pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi
Sebelum terjun ke lapangan perlu kiranya seorang wartawan mengetahui teori jurnalistik dan komunikasi sebagai bekal dasar dalam proses peliputan dan juga supaya memhami bidang dan wilayah kerjanya. Karena kegiatan jurnalisme tidak sekedar berita dan informasi tetapi didalamnya mencakup juga etika, dan tanggung jawab social.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (dikutip dari Dewan Pers 2005), mengatakan ada sembilan elemen jurnalisme yang patut diketahui wartawan :
Kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran; jurnalisme loyal pada public;
jurnalisme berarti disiplin verifikasi; para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita; selalu bersikap sebagai pemantau kekuasaan; menyediakan forum public untuk mengkritik maupun mendukung warga; berupaya membuat hal yang penting, menarik dan
relevan; menjaga berita agar selalu komprehensif dan proporsional; dan para praktisinya bekerja mengikuti hati nurani.
3. Keterampilan (Skill)
Penguasaan keterampilan mutlak harus dimiliki oleh wartawan, karena mustahil mampu mejalankan tugas sebagai wartawan jika tidak menguasai teknis jurnalistik, seperti teknik menulis, wawancara dan sebagainya. Ketrampilan yang dimaksud ialah keterampilan reportase, keterampilan menggunakan alat, dan keterampilan teknologi informasi (Dewan Pers:2005 : 35).
a. Keterampilan Reportase
Kompetensi reportase mencakup kemapampuan menulis, mewawancara dan melaporkan informasi secara akurat, jelas, bias dipertanggung jawabkan dan layak. Keterampilan menulis meliputi mampu menulis dengan jerlas dalam penggunaan tata bahasa, pemilihan kata, dan tanda baca. Memiliki pembendaharran kata yang luas sehingga mampu paragraf dengan baik.
Sedangkan keterampilan wawancara sangat penting untuk memastikan saling kepemahaman dengan sumber berita. Dengan demikian wartawan diharapkan bias berkomuniksi secara efektif menggunakan bahasa yang baik dan benar.
b. Keterampilan Menggunakan Alat
Keterampilan dalam menggunakan alat merupakan hal penting terutama dalam menggunakan komputer ketika proses penyusunan laporan, bukan hanya mengetik tulisan melainkan untuk menyusun data base ketika menysusun laporan investigasi. Keterampilan ini juga harus didukung dengan kemampuan menggunakan aplikasi multimedia seperti, photoshop, page maker (pembuat layout), dan sebagainya.
Selain itu, wartawan dituntut mampu mengoperasikan foto kamera, video kamera, dan mampu mengoperasikan alat scan dan dapat mengoperasikan alat rekam suara.
c. Keterampilan Teknologi Informasi
Seorang wartawan harus mampu juga dalam hal tekonologi informasi, seperti keterampilan dalam mengakses internet seperti e-mail, mailing list, newsgroup, serta menyusun laporan dalamp format internet apa lagi sekarang adanya media online.
Kompetensi ini harus dimiliki wartawan jika ia ingin tetap kompetitif di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini.disaping itu pula wartawan harus memiliki otentisitasi inforamasi yang tersebar di internet terkait akurasi dan keshahihan informasinya.
2.6 Pedoman Pemberitaan Media Siber
Sebagai pegangan atau norma bagi para juranlis online, Dewan Pers (2012) mengeluarkan Pedoman Media Siber sebagai pegangan dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER28
Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
Media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan Media Siber sebagai berikut:
1. Ruang Lingkup
a. Media Siber adalah segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang- Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.
b. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content) adalah segala isi yang dibuat dan atau dipublikasikan oleh pengguna media siber, antara lain, artikel, gambar, komentar, suara, video dan berbagai bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain.
2. Verifikasi dan keberimbangan berita
a. Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi.
b. Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
c. Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:
1) Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
2) Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
28 http://www.dewanpers.or.id/pedoman/detail/167/pedoman-pemberitaan-media-siber di unduh pada tanggal 1 Agustus 2016 pukul 13.00 WIB