ANALISIS REALISME DALAM NOVEL HUÓZHE KARYA YÚHUÁ
《活着》余华小说现实主义分析
“HUÓZHE” YÚHUÁ XIǍOSHUŌ XIÀNSHÍ ZHǓYÌ FĒNXĪ
SKRIPSI
OLEH:
MASNI SRI AYU SIMANJUNTAK NIM 130710030
PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Analisis Realisme dalam Novel Huózhe Karya Yu Hua”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik/ciri-ciri realisme yang terdapat pada novel Huózhe Karya Yu Hua. Novel ini berbicara tentang kehidupan seseorang yang bernama Fugui dan novel ini juga dilatarbelakangi realitas kehidupan pada masa Revolusi di Cina sekitar tahun 1940 sampai dengan tahun 1970. Penelitian ini menggunakan Teori Korespondensi dan Teori Koherensi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah kata-kata, frase, kalimat dan wacana yang terdapat dalam novel Huózhe Karya Yu Hua. Sumber data penelitian ini adalah Novel Huózhe Karya Yu Hua. Hasil penelitian ini menunjukkan ada 5 (lima) karakteristik/ciri-ciri realisme yang tergambar pada novel Huózhe karya Yu Hua, yaitu menampilkan kebenaran dalam kehidupan, menampilkan karakter/tokoh melalui gambaran yang tepat, kelas sangat penting, kritik sosial, dan bahasa yang jelas.
Kata kunci : Analisis Realisme, Novel, Novel Huózhe Karya Yu Hua
ABSTRACT
This research is titled "Analysis of Realism in Huózhe's Yu Hua Novel". This research aims to describe the characteristics / characteristics of realism found in Huózhe Karya Yu Hua's novel. This novel talks about the life of someone named Fugui and this novel was also motivated by the realities of life during the Revolution in China around 1940 until 1970. This research used Correspondence Theory and Coherence Theory. The research method used in this study is a qualitative descriptive method. The data of this study are the words, phrases, sentences and discourses contained in Huózhe Karya Yu Hua's novels. The source of this research data is the Huózhe Novel by Yu Hua. The results of this study show that there are 5 (five) characteristics / realism characteristics depicted in Hu Hua's novel by Yu Hua, namely displaying truth in life, displaying characters / figures through precise images, very important classes, social criticism, and clear language .
Keywords: Analysis of Realism, Novel, Huózhe's Yu Hua Novel
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas kasih dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“Analisis Realisme Dalam Novel Huozhe Karya Yuhua”. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana dari Progrm Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, bimbingan, dan doa kepada penulis. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis dengan segenap hati ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada :
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Mhd. Pujiono, M. Hum., Ph. D, selaku Ketua Program Studi Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Niza Ayuningtias, S.S., MTCSOL, selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu kepada saya selama menulis skripsi ini.
4. Ibu Dr. Martha Pardede, M.S, selaku Dosen pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan dan kritikan yang membangun kepada saya selama berlangsungnya proses penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya khususnya Program Studi Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada penulis selama di perkuliahan.
6. Keluarga penulis yang sangat luar biasa, orangtua tercinta Ayahanda J.
Simanjuntak dan ibunda L. Sihombing, M.Th yang telah mendidik penulis dari kecil, mencintai dan mendoakan penulis dengan sepenuh dan setulus hati.
7. Saudari penulis Sartika Dewi Gustina Simanjuntak, M.Pdk, Irayani Miranda Simanjuntak dan Viarenza Ikayura Simanjuntak yang selalu memberi semangat, serta mendoakan.
8. Sahabat yang selalu memberi saran dan motivasi kepada penulis, Sahabat terbaik yang selalu mendengar suka duka dan canda tawa penulis, Ledy Hawila Sembiring Br Colia, Sari Silitonga, Lisbeth Febriani Siallagan, Jenny Chyntia, M. Ikhwan Ritonga, Ling Ling Pertiwi, M. Amri Pranata, yang memberi semangat, mendoakan dan selalu mengingatkan penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
9. Seluruh teman-teman sastra cina 2013 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, teman yang memberikan warna-warni selama perkuliahan. Semoga kita tetap kompak dan sukses. Jiayou!
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi yang saya sajikan ini sangat jauh dari sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun skripsi ini.
Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu. Demikianlah ucapan terimakasih ini saya sampaikan, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu meberikan rahmat-Nya kepada kita semua.
Dan penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 21 Mei 2019 Penulis
Masni Sri Ayu Simanjuntak NIM. 130710030
DAFTAR ISI
ABSTRAK……….. i
PRAKATA………. iii
DAFTAR ISI……….. vi
BAB IPENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Batasan Masalah……….………..…………..… 5
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6
1.5.2 Manfaat Praktis ... 7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Konsep... 8
2.1.1 Realisme ... 8
2.1.2 Novel ... 15
2.1.3 Latar Belakang Sejarah ... 16
2.2 Landasan Teori ... 28
2.2.1 Teori Korespondensi ... 29
2.2.2 Teori Koherensi ... 30
2.3 Tinjauan Pustaka ... 31
BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 33
3.1 Metode Penelitian... 33
3.2 Data dan Sumber Data ... 34
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 34
3.4 Teknik Analisis Data ... 35
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN... 37
4.1 Karakteristik/Ciri-Ciri Realisme yang Terdapat dalam Novel Huózhe Karya Yu Hua………...………… 37
4.1.1Menampilkan kebenaran dalam kehidupan……….……… 37
4.1.2 Menampilkan karakter/tokoh melalui gambaran yang tepat……… 47
4.1.2.1 Fugui………...………. 48
4.1.2.2 Jiazhen……… 51
4.1.2.3 Ayah Fugui………...……… 54
4.1.2.4 Ibu Fugui……….. 55
4.1.2.5 Fengxia……… 56
4.1.2.6 Youqing………...…………...………... 57
4.1.2.7 Erxi………...………. 57
4.1.2.8 Long Er………..……….. 58
4.1.3 Kelas sangat penting………...……… 59
4.1.4 Kritik sosial……… 62
4.1.5 Bahasa yang jelas……….. 65
BAB VSIMPULAN DAN SARAN ... 67
5.1 Simpulan………...………..………... 67
5.2 Saran………..……… 68
DAFTAR PUSTAKA………. 70
LAMPIRAN……… 72
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra merupakan cerminan dari kondisi masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya.Karya sastra pada umumnya merupakan karya seni yang merupakan ekspresi pengarang tentang hasil refleksinya terhadap kehidupan yang bermediumkan bahasa. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Karya sastra sebagai karya seni tidak akan terlepas dari pengaruh aliran yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut. Aliran sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll). Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dengan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Realisme merupakan salah satu aliran dalam karya sastra. Kasim (1999: 13) menyebutkan bahwa realisme mulai dikenal luas pada abad ke 19 sebagai suatu reaksi terhadap aliran romantisme. Romantisme menekankan pada ungkapan perasaan
sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya dan menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan sesempurna-sempurnanya untuk mewujudkan pemikirannya, sedangkan aliran realisme melukiskan suatu objek seperti apa adanya.Aliran realisme mengutamakan realitas kehidupan. Apa yang diungkapkan para pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah terjadi, bukan imajinatifbelaka.
Stanton (2007) menyatakan bahwa realisme mengungkapkan kembali secara tepat dan benar kenyataan-kenyataan dalam kehidupan manusia. Realisme mendeskripsikan kenyataan secara realitas dan konkret.Pengarang realisme mendapatkan gambaran yang sebenarnya dari kehidupan manusia dan mengungkapkannya dalam karya-karya sastra memakai metode induktif dan bersifat observatif. Pengarang akan mengetahui berbagai sikap dan tindak tanduk manusia di sekelilingnya, perisiwa-peristiwa yang terjadi dan alam di sekitarnya yang kemudian diramu sehingga tercipta dalam karya sastra.
Pengarang realisme berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra.
Gustaf Flaubert seorang pengarang realisme Perancis (dalam Kasim, 1999) mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya.
Realitas kehidupan yang digambarkan dalam karya-karya sastra tentu berbeda dengan yang digambarkan dalam karya-karya jurnalistik. Para pengarang realisme tidak menghilangkan sama sekali daya imajinasinya. Penyusunan alur cerita, pemilihan kata-kata, penggunaan perlambang, memerlukan daya kreatif dan imajinatif yang baik agar karya-karya mereka menjadi menarik. Mereka menolak kisah yang bersifat fantasi, pengungkapan emosi dan perasaan yang berlebihan, serta stilistika yang berbunga-bunga. Mereka lebih menekankan pada kesederhanaan dalam cara pengungkapan, sedangkan kejadian-kejadian yang dipersembahkan dapat diterima akal para pembacanya (Kasim, 1999: 12).
Novel yang akan dibahas penulis adalah novel Huózhe karya Yu Hua. Penulis telah membaca novel ini dan penulis menemukan ciri-ciri atau karakteristik realisme tergambar dalam novel ini. Novel Huózhe karya Yu Hua pertama kali terbit pada tahun 1993. Novel ini berbicara tentang kehidupan seseorang. Fugui sebagai karakter utama dalam Huózhe dipilih Yu Hua untuk menjadi seorang narator. Fugui merupakan seorang anak tuan tanah yang kaya raya, tetapi karena kebodohannya, dalam semalam ia menjadi petani miskin yang hanya memiliki sepetak tanah lima mu (0,045 hektar).
Perubahan drastis membuat keluarga Fugui mengalami hentakan luar biasa.
Ayahnya meninggal karena kesedihan akan nasib yang menimpa keluarganya, ibunya wafat karena sakit yang tidak lekas diobati. Anak perempuannya Fengxia bisu karena demam tinggi dan meninggal saat melahirkan cucu pertamanya. Youqing, anak lelakinya wafat karena malpraktik di rumah sakit. Menantunya, Erxi meninggal
tertimpa karung semen. Istrinya meninggal karena sakit menahun dan ketuaan. Cucu lelakinya, Kugen, meninggal karena kelelahan memanen kapas. Fugui menyaksikan satu per satu anggota keluarganya direnggut kematian.
Huózhe merupakan buku tentang Cina. Novel ini berbicara dengan jujur dan
apa adanya akan kegetiran yang telah dialami negara Cina dan masyarakatnya. Kita melihat sekarang Cina sebagai salah satu raksasa dunia, akan tetapi melihat lima puluhan tahun lalu, Cina terpuruk dalam kemiskinan dan kelaparan hebat dengan pembantaian manusia tanpa alasan dan tanpa jeda yang telah menjadi kejadian keseharian.
Novel ini dilatarbelakangi realitas kehidupan pada masa Revolusi di Cina sekitar tahun 1940 sampai dengan tahun 1970. Novel ini menceritakan realitas kehidupan pada saat Jepang menyerah sekitar tahun 1945, pada saat kebijakan reformasi tanah, komune rakyat, kebijakan lompatan besar ke depan sampai ke Revolusi Kebudayaan.Cina mengalami masa suram penuh penderitaan. Kemiskinan, kelaparan, dan kematian menjadi hal biasa pada masa itu. Orang juga rela menukar nyawanya hanya demi mendapatkan semangkuk nasi di jaman itu.Zhou (2006) menyebutkan bahwanovel Huózhe menggambarkan absurditas kehidupan rakyat kelas bawah Cina pada masa Revolusi.Yu Hua dalam novelnya sedari awal mengisahkan realitas kehidupan pada masa itu dengan jujur, polos tanpa sedikit pun dimanis- maniskan, tidak ada yang ditutup-tutupi. Ia berbicara mengenai kekejian yang menimpa Cina.
Yu Hua lahir pada tahun 1960 di Zhe Jiang, Cina. Dia menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pada masa Revolusi Kebudayaan dan bekerja sebagai tukang gigi selama lima tahun, sebelum mulai menulis pada tahun 1983. Karya- karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Belanda, Spanyol, Jepang, Korea, dan Indonesia. Pada tahun 2002 Yu Hua menjadi penulis Cina pertama yang memenangkan penghargaan bergengsi James Joyce Foundation Award. Huózhe mendapat penghargaan bergengsi Premio Grinzane Cavour dari Italia pada tahun 1998.
Novel Huózhe sempat dilarang beredar di Cina karena dalam novel ini Yu Hua mengkritisi kebijakan revolusi kebudayaan Cina yang menjerat leher rakyat miskin pada masa itu. Rakyat terutama dari kelas bawah menderita, kelaparan, dan dihadapkan kematian setiap hari. Novel ini pada akhirnya menjadi laris manis dan diakui sebagai salah satu karya sastra modern yang berpengaruh di Bumi Tirai Bambu. Novel ini juga dijadikan film oleh sutradara Zhang Yi Mou pada tahun 1994.
Film ini juga dilarang beredar dan sebagai hukuman, Zhang Yi Mou dilarang oleh Pemerintah Cina untuk membuat film selama dua tahun.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan melakukan sebuah penelitian mengenai ciri-ciri aliran realisme yang terdapat pada novel Huózhe karya Yu Hua. Oleh karena itu, penulis memilih judul Analisis Realisme dalam Novel Huózhe Karya Yu Hua.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,maka penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik/ciri-ciri realisme yang tergambar pada novel Huózhe karya Yu Hua?
1.3 Batasan Masalah
Untuk menghindari penelitian yang tidak terarah serta pembahasan yang panjang lebar, maka penelitian ini dibatasi pada analisis terhadap karakteristik/ciri- ciri realisme yang tergambar pada novel Huózhe karya Yu Hua.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam skripsi ini yaitu:
1. Untuk mendeskripsikan karakteristik/ciri-ciri realisme yang terdapat pada novel Huózhe karya Yu Hua.
1.5 Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian tentang analisis realisme dalam novel
Huózhekarya Yu Hua adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan informasi mengenai salah satu aliran sastra yang terkandung dalam karya sastra, yaitu realisme.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang novel Huózhe karya Yu Hua, dengan mempelajari isi novel dan menginterpretasikan
konsep-konsep realisme yang terdapat di dalam novel tersebut.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi siapa saja yang mempelajari sastra khususnya bagi mahasiswa/i program studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
1.5.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian tentang analisis realisme dalam novel Huózhekarya Yu Hua adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharakan dapat menambah wawasan khalayak ramai sekaligus sebagai sarana untuk menganalisis novel maupun karya sastra lain, baik dengan aliran sastra yang sama maupun yang berbeda.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan sebagai referensi bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian yang lebih mendalam di masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang diluar Bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Oleh karena itu, adapun konsep penelitian ini adalah mengenai:
2.1.1 Realisme
Secara garis besar realisme dapat diartikan sebagai suatu aliran dalam kesusastraan yang ingin mengungkapkan kembali secara tepat dan benar kenyataan- kenyataan dalam kehidupan manusia.
Dalam arti umum, realisme berarti kepatuhan kepada fakta dan apa yang terjadi, bukan kepada apa yang diharapkan ataupun diinginkan. Realisme dalam arti filsafat yang sempit berarti anggapan bahwa obyek indera kita adalah real atau nyata.
Haryanta (2012: 49) menyatakan bahwa realisme merupakan aliran dalam kesusastraan (seni pada umumnya) yang melukiskan suatu keadaan atau kenyataan secara sesungguhnya.
Para pengarang realisme tidak menghilangkan sama sekali daya imajinasinya.
Penyusunan alur cerita (plot), pemilihan kata-kata (diksi), penggunaan perlambang,
memerlukan daya kreatif dan imajinatif yang baik agar karya-karya mereka menjadi menarik. Yang mereka tolak adalah kisah yang bersifat fantasi, pengungkapan emosi dan perasaan yang berlebih-lebihan, serta stilistika yang berbunga-bunga. Mereka lebih menekankan pada kesederhanaan dalam cara pengungkapan, sedangkan kejadian-kejadian yang dipersembahkan dapat diterima akal para pembacanya (Kasim, 1999: 12).
Realisme sebagai suatu aliran yang dikenal luas baru dimulai pada paruh kedua abad ke 19 sebagai reaksi terhadap aliran romantik yang subjektif dan egoistik.
Peranan emosional dan perasaan yang begitu dominan pada aliran romantik dikurangi untuk memberi tempat pada pikiran dan gambaran yang objektif mengenai realitas sosial (Kasim, 1999:13). Adapun tokoh-tokoh atau sastrawan aliran ini ialah Flaubert, Dostoevsky, Dickens, Ibsen dan Tolstoy. Para tokoh dalam aliran ini berpendapat bahwa seni bertujuan untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan objektif, oleh karena itu realisme mementingkan penggambaran yang teliti, seperti cermin yang memantulkan realitas objektif itu di depan audiens, apresian, penikmat dan pembaca (Haryanta, 2012: 51).
Konsep dasar realisme yaitu memandang hidup secara akurat, bukan yang ideal. Hakikat realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Realisme tidak terlepas dari dua teori dasar realisme, yaitu korespondensi dan koherensi. Kedua teori dasar ini merupakan teori yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya (dalam Wicatsono, 2015).
Menurut Richard Chase (1957: 63), ada lima karakteristik realisme. Pertama, menampilkan kebenaran dalam kehidupan. Menampilkan kebenaran dalam kehidupan berarti seorang pengarang realis harus secara akurat mendeskripsikan latar/setting.
Pengarang juga harus menempatkan alur/plot ke akhir yang tepat. Pengarang realis boleh menampilkan alur bersambung. Alur bersambung berarti semua yang terjadi di dalam cerita saling berhubungan dan akan menciptakan jaringan yang membawa cerita ke dalam akhir yang tepat. Akhir yang bahagia ataupun tidak bukanlah masalah.
Akhir harus sederhana, natural, dan jujur.
Dalam menampilkan kebenaran hidup secara jujur, pengarang tidak boleh membiarkan emosinya dituangkan ke dalam cerita. Pengarang realis tidak boleh terlibat secara emosional dalam karyanya. Harold C. Gardiner(dalam Sianipar, 2016:
17) menyebutkan bahwa pengarang realis adalah pengarang yang mengambil datanya dari kehidupan sebenarnya dan mengemas data ke dalam ceritanya, ke dalam karya seninya, dengan sedikit campuran dan pengaruh dari subjektivitasnya, juga ide atau opini yang subjektif.
Koesnosoebroto (1988: 92) menyatakan bahwa kebenaran dalam kehidupan sebenarnya berbeda dengan kebenaran sastra. Kebenaran dalam kehidupan yang sebenarnya sama dengan kenyataan dan kejadian yang benar-benar terjadi di beberapa tempat di dunia. Sebagai contoh, matahari terbit di Timur sebagai sebuah kebenaran umum. Dalam karya sastra, kebenaran seperti ini bisa ditemukan tetapi pengarang akan menambahnya dengan tokoh imajinasi yang tinggal di tempat tertentu. Apa yang dilakukan, dirasakan, reaksi, ataupun keputusan tokoh/karakter
haruas berhubungan dan tergantung pada informasi sebelumnya atau penjelasan tentang mereka dan tempat tinggal dan budaya mereka. Inilah yang disebut kebenaran sastra. Kebenaran jenis ini harus ada dalam karya realistik.
Kedua, menampilkan karakter/tokoh melalui penggambaran yang tepat. Henry James (dalam Sianipar, 2016: 20) mengatakan bahwa pengarang realis harus menulis dari pengalamannya. Karakter/tokoh harus nyata dan bertemu dengan masyarakat dalam kehidupan nyata. Karakter/tokoh ditampilkan dalam karya realisme harus diterima secara rasional dengan masyarakat umum. Mereka harus seperti masyarakat biasa, oleh karena itu, pengarang realis biasanya memilih karakter dari kelas menengah atau kelas bawah. Ini dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupan masyarakat kelas bawah dan menengah adalah gambaran sebenarnya dari masyarakat dalam periode waktu tertentu.
Koesnosoebroto (1988: 97) menyatakan bahwa dalam menampilkan karakter/tokoh yang tepat berarti pengarang harus memenuhi paling sedikit dua syarat utama. Pertama, karakter/tokoh harus konsisten terhadap tingkahlakunya:
karakter/tokoh tidak harus berperilaku satu cara dalam satu peristiwa dan berbeda cara dalam peristiwa yang lain setidaknya ada alasan yang jelas dalam suatu perubahan. Kedua, karakter/tokoh harus secara jelas didorong dalam apapun yang mereka lakukan, terutama saat ada perubahan dalam tingkahlaku mereka: pembaca harus bisa mengerti alasan dari apa yang mereka lakukan.
Aminuddin (dalam Nurgiyantoro, 1995:79-80) menyatakan terdapat dua macam tokoh dalam suatu cerita, yaitu : tokoh utama dan tokoh pembantu.Tokoh
utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita. Tokoh ini merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.Tokoh pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting dalam cerita dan kehadiran tokoh ini hanya sekedar menunjang tokoh utama.
Ketiga, kelas sangat penting; novel memiliki penyajian yang tradisional mengenai perhatian dan cita-cita dari pemberontak kelas menengah. Kelas adalah persetujuan yang besar dalam kesusastraan Realis. Terkadang pengarang realis akan menyelidiki seluk beluk etiket kelas atas, dan terkadang mereka akan memfokuskan pada godaan dan kesengsaraan kelas bawah.
Secara garis besar, masyarakat secara personal atau kelompok mempunyai kedudukan kelas tertentu. Stratifikasi dalam masyarakat akan memudahkan berjalannya sistem masyarakat dan stratifikasi sosial dibutuhkan untuk kerja masyarakat. Pitrim A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai perbedaan atas masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (dalam Soerjono Soekanto, 2005: 228).
Soerjono Soekanto (2005: 237-238) menyebutkan ada empat kriteria yang menonjol sebagai dasar pembentukan kelas sosial. Pertama, ukuran kekayaan.
Kekayaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam kelas sosial yang ada. Orang yang memiliki kekayaan paling banyak, maka ia akan
ditempatkan pada kelas teratas, demikian pula sebaliknya, seseorang yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam kelas rendah. Kedua, ukuran kekuasaan dan wewenang. Seseorang yang mempunyai kekuasaan dan wewenang paling besar akan menempati kelas teratas. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya biasanya dapat menguasai orang yang tidak kaya. Ketiga, ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran- ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati kelas atas. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orangtua ataupun orang-orang yang berperilaku dan berbudi luhur. Keempat, ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati kelas atas.
Keempat adalah kritik sosial. Pengarang realis semuanya mengkritisi kondisi sosial dan politik dunia yang mereka tulis. Pengarang seperti Charles Dickens, Leo Tolstoy,dan Fyodor Doestoevsky menggambarkan ketidaksamaan ekonomi dan sosial di dalam novel mereka sebagai cara untuk meningkatkan kesadaran akan keadaan orang miskin, misalnya, atau tentang ketidaksamaan yang mempengaruhi kaum wanita (dalam Kasim, 1999: 14).
Mahfud (1997:47) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kritik sosial adalah suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu
masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman. Kritik sosial juga dapat diartikan dengan penilaian keadaaan masyarakat pada suatu saat (Mahfud, 1997:11). Dengan kata lain dapat dikatakan, kritik sosial sebagai tindakan adalah membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secaa cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat.
Soerjono Soekanto (2005, 398-399) mengklasifikasikan kritik sosial menjadi sembilan aspek, meliputi politik, ekonomi, kebiasaan, pendidikan, keluarga, moral, gender, agama, dan teknologi. Pembagian ini didasarkan pada pembagian lembaga- lembaga kemasyarakatan yang meliputi: politik, moral, pendidikan, agama, rumah tangga, ekonomi dan kebiasaan. Aspek-aspek ini kemudian dikembangkan lagi menjadi sembilan aspek dengan membagi aspek kebiasaan menjadi dua, yaitu aspek kebudayaan dan aspek gender, karena gender dan budaya merupakan aspek yang sama-sama berakar pada kebiasaan masyarakat. Aspek ekonomi dikembangkan menjadi dua, yakni ekonomi dan teknologi. Sebab teknologi terlahir seiring dengan perkembangan ekonomi dan industri. Masalah-masalah yang ada sebenarnya adalah bagian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan yang muncul karena ketidakstabilan kondisi baik itu individu maupun kelompok.
Terakhir adalah bahasa yang jelas. Sianipar (2016: 26) menyatakan bahwa satu inovasi besar dalam kesusastraan Realis adalah menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas. Pengarang realis mencocokkan gaya mereka ke subjek mereka:
kebanyakan dari mereka menulis tentang orang biasa, mereka menggunakan bahasa
biasa. Menulis dalam bahasa yang menggunakan cara berbicara orang biasa terhadap orang lain adalah revolusioner pada pertengahan abad ke 19, ketika Realisme benar- benar berjalan. Sebelumnya, Bahasa kesusastraan sering dianggap tinggi.
Dari pembahasan di atas kita dapat melihat ada limaciri-ciri atau karakteristik karya sastra realisme, yaitu sebagai berikut:
1. Menampilkan kebenaran dalam kehidupan
2. Menampilkan karakter/tokoh melalui gambaran yang tepat 3. Kelas sangat penting
4. Kritik sosial 5. Bahasa yang jelas
2.1.2 Novel
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan. Konsentrasi kehidupan tersebut dituangkan dalam bangunan cerita yang terdiri dari tema, penokohan, alur cerita, latar, maupun gaya bahasa pengarang dalam menuliskan cerita. Kesemua unsur tersebut memiliki hubungan fungsional dalam membangun cerita sehingga menghasilkan pemaknaan yang utuh terhadap karya. Karya sastra seperti novel maupun cerpen mengungkapkan permasalahan manusia, yakni segala hal persoalan hidup dan kehidupan.
Sudjiman (1984) menyatakan bahwanovel merupakan prosa rekaan yang panjang dengan menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa
dan latar secara tersusun. Nurgiantoro (1995) menyatakan bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajiner.
2.1.3 Latar Belakang Sejarah
Novel Huózhe menceritakan tentang kisah hidup Fu Gui selama Revolusi Cina sekitar tahun 1940 sampai dengan tahun 1970. Penulis menggunakan buku yang berjudul “Garis Besar Sejarah China Era Mao” oleh Ririn Darini, M.Hum sebagai referensi dalam menyajikan latar belakang sejarah. Buku ini menjelaskan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa Revolusi di Cina.
Townsend (1997: 124) menyatakan bahwa kehidupan politik di China merupakan produk dari masa revolusi yang panjang yang berlangsung paling tidak dari tahun 1911 sampai tahun 1949 dan meliputi tiga perombakan sistem politik secara kekerasan. Revolusi pertama terjadi pada tahun 1911, menggantikan sistem kekaisaran yang telah berlangsung selama ribuan tahun dengan sistem pemerintahan republik. Revolusi kedua terjadi pada tahun 1928, ketika Kuomintang (KMT) berhasil membentuk dan menguasai pemerintahan baru menggantikan pemerintahan
“panglima perang” (warlord) yang terpecah-pecah dalam masa permulaan pemerintahan Republik China dengan sistem dominasi satu partai yang terorganisir
dan terpusat. Revolusi ketiga terjadi pada tahun 1949 dengan berdirinya Republik Rakyat China di bawah kekuasaan Partai Komunis China.
Revolusi 1949
Setelah perang China – Jepang berakhir pada tahun 1945 dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, pertikaian antara PKC dengan Kuomintang kembali memanas. Setelah kekalahan Jepang, pemerintah Republik China segera menginstruksikan kepada segenap jajarannya untuk mengambil alih kedudukan tentara Jepang di seluruh pelosok wilayah China. Sementara Zhu Te, Panglima Angkatan Bersenjata PKC mengeluarkan perintah agar sebagian Tentara Merah memasuki Manchuria dan menuntut pada pemerintah China supaya perlucutan senjata terhadap bekas tentara pendudukan tentara Jepang di daerah yang dikuasai Partai komunis supaya dilakukan unsur Partai Komunis.
Meski awalnya banyak mengalami kekalahan tetapi Tentara Merah semakin dapat memperluas pengaruhnya di daerah pedesaan, melalui politik land reform dari PKC. Tanah-tanah milik tuan tanah diambil dan menghadiahkan tanah-tanah garapan tersebut kepada kaum tani penggarap. Tentara Merah yang menguasai wilayah China Utara segera mengarahkan sasarannya ke sebelah selatan Sungai Yang Tze.
Selanjutnya mereka merebut Nanking, ibu kota pemerintah Nasionalis China.
Akibatnya pemerintah Nasionalis China terpaksa harus memindahkan ibu kotanya ke Kanton. Selanjutnya Hangou, Shanghai dan Qingdao secara berturut-turut jatuh ke tangan kaum komunis.
Pada tanggal 14 Oktober Kanton berhasil dikuasai Tentara Merah, sehingga pemerintah nasionalis terpaksa pindah ke Chongqing. Namun pada tanggal 28 November 1949 Chongqing juga jatuh ke tangan Tentara Merah. Selanjutnya Propinsi Yunnan dan Hainan berhasil dikuasai komunis, sehingga pemerintah nasionalis tidak memiliki wilayah lagi di China daratan. Pemerintahan Chiang Kai Shek melarikan diri ke Taipei yang terletak di Pulau Formosa (Taiwan).
Ketika Mao Tse Tung memproklamirkan negara Republik Rakyat China pada tanggal 1 Oktober 1949, perekonomian China berada pada keadaan yang buruk.
Perang China – Jepang dan perang saudara menimbulkan inflasi mencapai 85.000%.
Oleh sebab itu selama beberapa tahun pertama kaum komunis memusatkan perhatian pada perbaikan pabrik-pabrik, produksi, dan fasilitas-fasilitas transportasi serta mengendalikan inflasi dan pengeluaranpengeluaran pemerintah.
Setelah komunis berkuasa pada tahun 1949, maka diadakan kebijakan ekonomi nasional yang didasarkan pada pembaruan agraria. Pemerintah melakukan redistribusi kekayaan dan pendapatan dari kaum kaya ke kaum miskin dan menghapuskan kelas penguasa sebelumnya. Dengan melaksanakan redistribusi aset- aset pedesaan, land reform yang dijalankan di China sebenarnya bukan hanya telah mematahkan dominasi kelas tuan tanah dan mengalihkan kekuasaan pada petani miskin dan menengah saja, tetapi dengan sendirinya telah meningkatkan tingkat konsumsi dari kebanyakan petani dan meningkatkan tabungan desa yang layak bagi investasi.
“当我回到家乡,在小村庄里,土地改革开始了。我有你的五块地,那正 是我从龙耳租来的五块地。运气不好的那个人要长得多。作为一个地主,
他一获释就生活了不到四年。共产党没收了所有的资产和土地,分配给所 有以前的农场工人。”(活着,1993:79)
“Saat aku pulang itu, di dusun mulai digerakkan reformasi tanah. Aku kebagian tanah lima mu, tepatnya itu tanah lima mu yang aku sewa dari Long Er. Yang dapat sial justru si Long Er. Sebagai tuan tanah, sempat hidup di atas angina tidak sampai empat tahun, begitu Pembebasan dia langsung habis. Partai Komunis menyita semua harta dan sawahnya, dibagi-bagikan kepada semua bekas buruh taninya.” (Huo Zhe, 1993: 79)
Kebijakan landreform di China berlandaskan pada peraturan 28 Juni 1950 mengenai hukum penertiban tanah. Pada saat itu penduduk China dibagi menjadi tuan tanah (pemilik banyak tanah tetapi tidak menggarapnya sendiri), petani kaya (pemilik tanah/ lintah darat), petani menengah (pemilik tanah yang menggarapnya sendiri), dan petani miskin. Pembaruan agraria di Cina merupakan proses yang unik, karena dilakukan melalui upaya trial and error dan tidak mencontoh model pembaruan agraria di negara lain.
Dalam pelaksanaan landreform para target dipaksa dikumpulkan di depan massa aksi yang bersenjatakan kepalan tinju, clurit, pedang, parang, dan benda-benda tajam lainnya. Setelah itu para massa aksi diinstruksikan untuk menyerbu tuan tanah tersebut dengan kebrutalan yang tidak dapat diungkapkan. Partai sendiripun tidak serta merta melarang aksi tersebut bahkan cenderung mendukung penuh apa yang dilakukan oleh kader-kader komunis China. Partai juga menilai bahwa kekejaman
yang dilakukan oleh kadernya adalah bentuk pembalasan dendam atas apa yang mereka alamai ketika menjadi buruh.
Partai juga akan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi program landreform. Bagi kader yang tidak melakukan kekerasan maka akan dianggap sebagai
penghalang cita-cita partai dan harus segera disingkirkan. Hampir seluruh daerah yang mempunyai kader komunis Mao diinstruksikan untuk melakukan kekerasan terhadap tuan tanah dan lintah darat. Kekerasan fisik yang kejam dan bengis berlangsung di daerah-daerah yang dikuasai pasukan merah. Hampir di setiap daerah pembantaian terlihat mayat berjejer yang digantung di bawah pohon dengan tali yang menjalar dari pergelangan dengan tali yang terikat. Meskipun menurut teori dan secara prinsip Komunis menentang penyiksaan, tetapi para pejabatnya diperintahkan untuk tidak campur tangan bila para petani ingin melampiaskan kemarahan mereka dengan tindakan balas dendam yang kejam.
Komune Rakyat
Pada tahun 1958 diumumkan berdirinya Komune Rakyat (renmin gongshe), yaitu wadah kolektivitas produksi pertanian dengan skala besar. Seluruh China dikelompokkan menjadi unit-unit baru, masing-masing terdiri atas 2000 – 20.000 rumah tangga. Dengan sistem ini rakyat menjadi lebih mudah dikendalikan karena petani harus hidup dalam suatu sistem yang diorganisir dan tidak dibiarkan berinisiatif sendiri.
Komune rakyat menjalankan beberapa fungsi penting (I. Wibowo, 2000: 139).
Pertama, komune menyelenggarakan administrasi di tingkat pedesaan, meliputi administrasi kelahiran, kematian, perkawinan. Kedua, komune juga merupakan unit produksi. Negara memobilisasikan petani untuk menghasilkan bahan makanan untuk penduduk kota dan bahan baku untuk industri di kota. Negara memaksa petani untuk menyerahkan tanah, alat-alat pertanian, dan hewan kepada komune. Petani diberi petunjuk tentang cara-cara mengolah tanah dan diperintahkan untuk menanam lebih rapat dalam kampanye susul menyusul. Ketiga, komune merupakan unit yang menyelenggarakan pendidikan dan kesehatan. Banyaknya fungsi yang dijalankan, komune merupakan sebuah organisasi besar dan kompleks yang mengatur hampir semua segi kehidupan warga komune. Komune menjadi pemerintah lokal yang multifungsi.
Petani yang menjadi anggota komune memperoleh jaminan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Di dalam komune terdapat istilah “lima garansi”
(wu baohu). Lima garansi merupakan sokongan dari komune untuk orang-orang tua yang tidak mempunyai anak yang dapat menyokong hidup mereka. Kelima sokongan itu meliputi: makanan, pakaian, pengobatan, rumah, dan biaya penguburan.Rezim komunis juga melarang orang makan di rumah. Setiap petani harus makan di kantin komune.
“在食堂吃饭。”队长挥手说。(活着,1993:96)
“Makan di kantin,” kata Ketua Regu, sambil melambaikan tangan. (Huo Zhe, 1993: 96)
Warga komune harus tetap tinggal di komune masing-masing artinya setiap orang harus mendaftarkan tempat tinggalnya. Untuk kepentingan ini maka dikeluarkan system “kartu tanda identitas‟ atau hukou. Hanya mereka yang terdaftar sebagai penduduk mendapat jatah makanan. Mereka berada di bawah pengawasan kader-kader yang dikoordinir oleh Komite Partai dan partai cabang. Tujuannya agar petani menghasilkan surplus pertanian untuk mendukung industrialisasi.
Pada masa lompatan jauh ke depan petani kehilangan hak atas sawahnya.
Sawah dikerjakan bersama menurut rencana yang ditetapkan dari pusat. Petani bekerja tetapi tidak mempunyai kontrol atas hasil kerjanya. Komunelah yang menetapkan besarnya konsumsi mereka dan surplus hasil pertanian dikirimkan ke kota.
Slogan Lompatan Besar ke Depan adalah “berjalan di atas 2 kaki‟ dan
“kemandirian pembangunan bersama industri dan pertanian” mencerminkan penerapan teknologi ganda: teknologi modern dan tradisional. Untuk mengembangkan industri baja tersebut Mao tidak mempekerjakan tenaga ahli, tetapi Mao memutuskan untuk menggerakkan seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam gerakan lompatan jauh ke depan. Para ahli yang mencoba berbicara dengan akal sehat dihukum mati. Dalam program ini Mao mengesampingkan rasionalitas. Pabrik baja dan industri terkait seperti tambang batu bara diperintahkan bekerja habis-habisan untuk untuk memperbesar produksi. Pabrik-pabrik tersebut tidak mampu mencapai
target seperti yang ditetapkan Mao, sehingga Mao memerintahkan untuk membangun tanur rakyat.
Rakyat dipaksa untuk menyerahkan semua benda logam yang mereka miliki, seperti alat-alat pertanian, alat masak-memasak, pegangan pintu, tempat tidur besi, dan sebagainya, untuk dicairkan dan dilelehkan. Gunung-gunung digunduli, pohon- pohon ditebang untuk dijadikan kayu bakar. Bagi setiap unit diberikan kuota produksi baja, akibatnya masyarakat banyak menghentikan kegiatan rutin mereka selama berbulan-bulan hanya untuk memenuhi kuota.
“几天过去了,谁会想到厨房里的平底锅竟然变成了人民公社呢?他说他 们需要融化钢铁。”活着,1993:95)
“Siapa sangka, hanya lewat beberapa hari saja, bahkan wajan di dapur pun sudah jadi Komune Rakyat? Katanya mereka butuh untuk melebur besi dan baja.” Huo Zhe, 1993:95)
Kegiatan pertanian dilaksanakan bersama-sama secara serentak, pertanian perorangan dilarang, penduduk ditempatkan dalam kelompok-kelompok besar beranggotakan ribuan orang dan dipaksa bertani dengan disiplin militer. Pada tahun 1958 diadakan perlombaan antar kelompok pertanian di seluruh China, yang berpenghasilan terbesar dianggap sebagai komunis teladan. Akibatnya setiap kelompok bersumpah untuk menhasilkan panen melebihi hasil ketetapan, dan pada panen berikutnya mereka mengumumkan penghasilan yang lebih. Padahal angka ini sebenarnya angka-angka palsu. Akibat perhitungan palsu tersebut maka Partai Komunis beranggapan bahwa persediaan gandum dan beras telah melebihi batas, sehingga ke depanChina harus mengedepankan mata pencaharian lainnya. Puluhan
juta petani dikerahkan untuk pembangunan prasarana, jam kerja pabrik dilipatgandakan, bahkan mesin tidak boleh dimatikan meski hanya untuk perawatan.
Petani harus bekerja lebih keras dan jauh lebih lama dari sebelumnya. Mao mengerahkan tenaga dalam jumlah yang sangat besar untuk membangun jaringan irigasi yang meliputi bendungan, waduk, dan kanal. Dalam waktu empat tahun sejak 1958 diperkirakan hampir seratus juta petani diperintahkan meninggalkan pekerjaan di tanah pertanian untuk bekerja dalam proyek-proyek itu. Proyek-proyek besar tersebut dikerjakan dengan peralatan yang seadanya, sehingga dalam pembangunannya banyak proyek yang berhenti di tengah jalan.Pembangunan tersebut juga memakan korban para petani dalam jumlah yang besar. Padahal para petani tersebut merupakan tenaga kerja yang memproduksi bahan pangan dalam jumlah besar di desa-desa. Lompatan jauh ke depan mengakibatkan salah satu bencana ekonomi yang direncanakan yang terbesar pada abad ke-20.
Revolusi Kebudayaan (Cultural Revolution)
Revolusi Kebudayaan merupakan periode paling penting dalam politik China setelah tahun 1949. Revolusi ini merupakan kampanye yang paling besar. Revolusi kebudayaan merupakan gerakan politik nasional yang diorganisir dan dipimpin oleh sekelompok elite politik di bawah pimpinan Mao Tse-tung. Revolusi tersebut berusaha menguji semua pejabat, khususnya para pejabat tinggi, memperbarui dan membersihkan mereka yang tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Mao. Dalam pandangan Mao banyak pemimpin menjadi borjuis dan korup. Jadi revolusi
kebudayaan dipandang sebagai kampanye pembetulan dan sebagai kampanye massa untuk perjuangan kelas dalam menyelesaikan kontradiksi antara kaum proletar dan borjuis. Artinya kebudayaan disini tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan.
Setelah mundurnya Mao dari kursi kepresidenan China setelah kegagalannya dalam program lompatan besar ke depan, Mao masih tetap merupakan pemimpin tertinggi yang diagung-agungkan oleh rakyat. Namun yang menjalankan pemerintahan adalah dari kaum pragmatis di bawah Liu Shaoqi. Revolusi Kebudayaan dilancarkan pada tahun 1966 oleh Mao Tse Tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat presiden Liu Shaoqi dan kliknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme.
Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping melihat bahwa kegagalan Lompatan Jauh ke Depan menunjukkan bahwa sosialisme orthodox yang dipegang Mao tidak lagi bisa dipertahankan, oleh karena itu perlu adanya revisionisme seperti yang dilakukan Uni Soviet. Gagasan ini sangat ditentang oleh Mao karena bertentangan dengan ide Mao dan tentu akan berpengaruh pada legitimasi Mao. Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan anti kapitalisme. Revolusi kebudayaan memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap partai komunis dan Mao Tse Tung. Oleh karena itu unsur-unsur revisionis harus dihilangkan dan dibersihkan dalam PKC. Tradisi dan budaya harus dihilangkan, seperti ajaran Konfusianisme dan adat lama lainnya.
Langkah organisasional Mao selama masa revolusi ini adalah dengan membentuk rantai komando pribadi yang beroperasi di luar mesin partai, meskipun
secara resmi menyatakan berada di bawah politbiro dan komite pusat.PKC tidak dapat dijadikan sumber legitimasi karena terdapat kubu Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping. Mao memobilisasi militer, kaum intelektual radikal dan para pelajar. Mao juga menguasai media khususnya Koran paling berpengaruh “harian rakyat”. Pada bulan Juni membuat serangkaian editorial yang menganjurkan rakyat untuk menegakkan kekuasaan mutlak ketua Mao, menyapu bersih semua setan, sapi, iblis, ular (musuh kelas) dan mendesak rakyat agar mengikuti Mao dan bergabung dalam Revolusi Kebudayaan yang sangat luas dan belum pernah ada sebelumnya.
James R Townsend (1997:186, dalam Darini, 2010), membagi Revolusi Kebudayaan dalam empat tahap. Mobilisasi tahap pertama dalam Revolusi Kebudayaan berlangsung dari tahun 1965 sampai bulan Juni 1966. Dalam periode ini kepemimpinan pusat saling bertikai dalam masalah bagaimana menanggapi tuntutan Mao akibat berkembangnya pengaruh kaum revisionis. Kritik terbuka dilancarkan terhadap sejumlah kecil intelektual dan propagandis partai yang telah menyebarkan tulisan-tulisan anti Maois dalam tahun 1961 – 1962. Selama bulan Juni dan Juli 1966, Revolusi Kebudayaan meluas menjadi suatu gerakan massa terbuka untuk menelanjangi semua “penguasa borjuis”, khususnya dalam lembaga-lembaga pendidikan dan propaganda.
Tahap kedua adalah serangan terbuka yang dilancarkan oleh kelompok Pengawal Merah yang berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan November 1966.
Revolusi Kebudayaan dikawal oleh Pengawal Merah yang didirikan oleh mahasiswa dan pelajar pada tahun 1966. Pengawal Merah menjadi ujung tombak Revolusi
Kebudayaan dan didukung oleh Tentara Pembebasan Rakyat. Dengan dukungan kekuasaan resmi tersebut dan ditutupnya kegiatan sekolah-sekolah, organisasi- organisasi Pengawal Merah berkembang biak, membawa berjuta-juta pemuda turun ke jalan berdemonstrasi mendukung ketua Mao Tse Tung, mengutuk dan meneror mereka yang digolongkan sebagai lawan-lawannya, dan menghancurkan berbagai lambang kebudayaan “borjuis‟ atau reaksioner. Akan tetapi walaupun aksi-aksi mereka mengarah kepada ketaatan yang hampir fanatik terhadap Mao, mereka tidak dapat menyingkirkan lawan-lawan Mao dari kekuasaan.
Puncak Revolusi Kebudayaan terjadi pada tahun 1967. Antara tahun 1966- 1967 negara mengalami keadaan kacau balau oleh tindakan Pengawal Merah yang secara bebas menyerang apapun juga. Targetnya adalah pejabat-pejabat rendah dan menengah serta kader-kader partai. Mereka mengecam siapapun yang berada dalam posisi pimpinan. Kecaman-kecaman sering berubah menjadi sanksi atau hukuman.
Korban berjatuhan karena hukuman maupun bunh diri. Misalnya dosen atau petingi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi, dokter ahli dimutasi menjadi petugas kebersihan WC, atau birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat.
Dalam pelaksanaannya Pengawal Merah membuat kekacauan di masyarakat dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dibubarkan oleh Mao Tse-tung.
“两个红卫兵来抓队长的胳膊。队长伸长脖子大喊:“我不想去城里!女 士们先生们,帮帮我。我不想进城,进城就像进棺材一样。”(活着,
1993:177)
“Dua orang Pengawal Merah datang mencengkeram lengan Ketua Regu.
Ketua Regu menjulurkan leher dan berteriak, “Aku tidak mau ke kota!
Saudara-saudara sedusun, tolong aku. Aku tidak mau ke kota, masuk ke kota sama dengan masuk peti mati.” (Huo Zhe, 1993: 177)
Tahap ketiga berlangsungnya Revolusi Kebudayaan adalah perebutan kekuasaan yang berlangsung dari bulan Desember 1966 sampai bulan September 1968. Gerakan tersebut meluas sampai ke daerah pedalaman, perusahaan-perusahaan, dan pemerintahan serta partai. Kelompok “pemberontak revolusioner‟ baru umumnya berasal dari masyarakat pekerja, dan dengan demikian merupakan organisasi- organisasi massa yang lebih luas daripada para pengawal Merah yang terdiri dari kaum mahasiswa dan pelajar.
Gagasan tentang “perebutan kekuasaan” dari bawah merupakan serangan langsung terhadap wewenang dan organisasi partai lokal. Golongan Maois di Peking menganggap pergolakan di daerah-daerah ini sebagai suatu keharusan dan memang dikehendaki, tetapi mereka dengan cepat membatasi gerakan ini.
Tahap keempat atau terakhir adalah tahap konsolidasi, kepemimpinan China menyatakan kemenangan nominal dari Revolusi Kebudayaan, tetapi mengakui pula bahwa pembangunan kembali partai dan ekonomi serta struktur politik yang stabil masih harus dicapai.
Revolusi kebudayaan tidak memberi kemenangan yang mutlak kepada golongan Maois. Kepemimpinan yang muncul pada akhir kampanye masih merupakan suatu koalisi campuran dari kepentingan-kepentingan yang berbeda.
Revolusi Kebudayaan mengakibatkan kira-kira separuh dari elit politik sebelum tahun
1966 dipecat atau diturunkan jabatannya. Dengan diangkatnya sejumlah besar pimpinan politik baru pada jabatan-jabatan yang lebih tinggi, periode Revolusi Kebudayaan jelas merupakan suatu periode mobilitas besar-besaran.
2.2 Landasan Teori
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yakni mendeskripsikan karakteristik/ciri-ciri realisme dalam novel To Live karya Yu Hua, penulis menggunakan dua teori dasar tentang realisme, yakni teori korespondensi dan teori koherensi.
2.2.1 Teori Korespondensi
Korespondensi adalah teori untuk menguji kebenaran yang menekankan kesetiaan kepada realitas objek. Kattsoff (2004: 86) berpendapat bahwa: “kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau apa yang merupakan fakta-faktanya”. Kebenaran dalam teori ini bersifat objektif, yakni kebenaran yang terlepas dari kenyataan subjek (Wicatsono, 2015).
Adapun kriteria kebenaran dari teori ini adalah kebenaran itu diukur dari kesesuaian dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual.
Teori ini kadang disebut The Accordance Theory of Truth. Teori inimenjelaskan bahwa suatu kebenaran atau sesuatu keadaan benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek
yang ditujuatau dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Sebagai contoh, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga berada di kota Yogyakarta sekarang ini. Ini adalah sebuah pernyataan, dan apabila Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga berada di Yogyakarta, berarti pernyataan tersebut benar, sehingga pernyataan tersebut merupakan suatu kebenaran.
Berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran dinilai dengan perbandingan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan. K. Roger, seorang penganut realisme kritis Amerika (dalam Wicatsono, 2015), menyatakan bahwa:
“keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat dalam objeknya”.
2.2.2 Teori Koherensi
Surajiyo (2008: 98) menyatakan bahwa koherensi merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Suatu keputusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang lebih dulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevan.Teori ini sering disebut The Consistense Theory of Truth.
Teori koherensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah terlebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya. Kattsoff (2004:
101) berpendapat bahwa berdasarkan teori ini, suatu pernyataan dikategorikan benar
apabila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis.
Wicatsono (2015) menyebutkan bahwa teori koherensi ini tidak bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori koherensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi.
Teori koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
2.1 Tinjauan Pustaka
Penulis mengambil bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan analisis realisme dalam novel Huózhe karya Yu Hua:
Dame Diarnita Sianipar (2016) dalam skripsi yang berjudul “An Analysis Of Middlemarch As A Realistic Novel” membahas tentang pemahaman karakteristik realisme dalam suatu novel. Skripsi ini memberikan kontribusi berupa pemahaman mengenai karaketristik realisme.
Jessica Wicatsono (2015) dalam skripsi yang berjudul “Analisis Unsur Realisme dalam beberapa Puisi Karya Penyair Dufu” membahas tentang unsur realisme dan ciri khas penulisan dalam beberapa puisi karya penyair Dufu. Skripsi ini
memberikan kontribusi akan pemahaman mengenai aliran realisme dan teori dasar realisme yaitu teori korespondensi dan teori koherensi.
Ririn Darini, M.Hum (2014) dalam buku yang berjudul “Garis Besar Sejarah China Era Mao” membahas tentang sejarah Cina mulai dari Revolusi 1911 sampai Revolusi 1949 dan kebijakan-kebijakan dalam bidang sosial ekonomi, bidang sosial politik, serta kehidupan sosial budaya di Cina. Buku ini memberikan kontribusi akan pemahaman dan penjelasan mengenai sejarah Cina terutama pada saat Revolusi 1949 serta buku ini sangat relevan dengan latar belakang sejarah novel yang penulis teliti.
周东升(2016) dalam skripsi yang berjudul 余华小说创作风格研究:兼论余 华作品中的表现主义元素(Analisis Gaya Penulisan Novel Yu Hua: Dan Faktor Ekspresionisme Dalam Novel Yu Hua) membahas tentang gaya penulisan novel Yu Hua dan faktor ekpresionisme dalam novel Yu Hua. Salah satu novel yang diteliti penulis adalah novel Huózhe. Penelitian ini menjelaskan mengenai gaya penulisan Yu Hua. Yu Hua menulis novelnya secara rinci dan mengutamakan realitas. Yu Hua dalam novelnya Huózheberusaha menunjukkan realitas, menyalin atau menggambarkan kebenaran hidup. Skripsi ini memberikan kontribusi berupa pemahaman mengenai gaya penulisan Yu Hua yang mengutamakan realitas, dimana hal itu merupakan ciri dari realisme.
Drs. Razali Kasim, M.A (1999) dalam buku yang berjudul “Aliran-Aliran Sastra (Realisme, Naturalisme, Simbolisme, dan Dadaisme/Surrealisme) membahas
tentang aliran-aliran dalam sebuah karya sastra. Buku ini memberikan kontribusi akan pemahaman mengenai aliran karya sastra terutama aliran realisme secara mendalam.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Fuad Hasan dan Koentjaraningrat (1994: 26) berpendapat bahwa metode berarti cara kerja memahami sebuah proyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan, dipilih dengan mengembangkan kesesuaian obyek studi. Metode merupakan kerangka kerja untuk melakukan tindakan atau penelitian, atau juga merupakan suatu kerangka berfikir dalam menyusun gagasan yang beraturan , terarah, dan relevan dengan maksud dan tujuan. Sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan untuk menyelidiki suatu obyek demi menemukan jawaban atas beberapa permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu dengan mencari fakta dengan teliti dengan berdasar pada kaidah tertentu. Jadi metode penelitian merupakan suatu kegiatan menyelidiki atau mengkaji sesuatu dengan teliti dan teratur dengan cara menyusun gagasan dan kerangka kerja yang terarah guna memecahkan suatu permasalahan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah penggambaran secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan berupa rangkaian angka, melainkan berupa ungkapan bahasa atau wacana (apapun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis (Wibowo, 2011:43).
3.2 Data dan Sumber Data
Data menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan). Data berfungsi sebagai bukti atau petunjuk tentang adanya sesuatu. Adapun data dalam penelitian ini berupa kata-kata, frase, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam novel Huózhe karya Yu Hua.
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data pimer dalam penelitian ini adalah novel Huózhe karya Yu Hua. Novel ini diterbitkan oleh Zhuojia pada tahun 1993.
Novel Huózhe karya Yu Hua ini . pada tahun 2015 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Agustinus Wibowo. Novel ini berjumlah 224 halaman. Sumber data sekunder dalam penelitian ini diambil dari beberapa buku, jurnal, skripsi dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan, penulis mengumpulkan dan menelaah buku, jurnal, dan artikel yang berhubungan dengan unsur aliran realisme dalam kesusastraan serta penulis Yu Hua dan novel realismenya.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan oleh penulis dalam pengumpulan data ialah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan data-data dan informasi yang berkaitan dengan novel Huózhe karya Yu Hua dan unsur aliran realisme dalam kesusastraan.
2. Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan data-data serta informasi yang mendukung analisis penulis.
3. Mengatur dan menyusun data secara sistematis sesuai dengan kerangka penelitian.
3.4 Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah dengan mengunakan teknik deskrptif kualitatif. Analisis kualitatif juga termaksud ke dalam metode deskriptif karena bersifat memaparkan, memberikan, menganalisis, dan menafsirkan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data model Miles
& Huberman. Miles & Huberman (dalam Sugiono, 2012), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah atau data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dengan kata
lain proses reduksi data ini dilakukan oleh peneliti secara terus menerus saat melakukan penelitian untuk menghasilkan data sebanyak mungkin.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah penyusunan informasi yang kompleks ke dalam suatu bentuk yang sistematis, sehingga menjadi lebih selektif dan sederhana serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan data dan pengambilan tindakan. Dengan proses penyajian data ini peneliti telah siap dengan data yang telah disederhanakan dan menghasilkan informasi yang sistematis.
c. Simpulan
Simpulan merupakan tahap akhir dalam proses analisa data. Pada bagian ini peneliti mengutarakan kesimpulan dari data-data yang telah diperoleh dari analisa. Dengan adanya kesimpulan peneliti akan terasa sempurna karena data yang dihasilkan benar-benar valid atau maksimal.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik/Ciri-Ciri Realisme yang Terdapat dalam Novel Huózhe Karya Yu Hua
Realisme adalah salah satu dari aliran sastra yang mengungkapkan kembali secara tepat dan benar kenyataan-kenyataan dalam kehidupan manusia. Realisme mendeskripsikan kenyataan secara realitas dan konkret. Konsep dasar realisme yaitu memandang hidup secara akurat. Pengarang realisme mendapatkan gambaran yang sebenarnya dari kehidupan manusia dan mengungkapkannya dalam karya sastra.
Menurut Richard Chase (dalam Sianipar, 2016), ada lima karakteristik suatu karya tersebut dikatakan sebagai karya yang beraliran Realisme. Lima karakteristik realisme, yaitu menampilkan kebenaran dalam kehidupan, menampilkan karakter/tokoh melalui gambaran yang tepat, kelas sangat penting, kritik sosial dan bahasa yang jelas.
4.1.1 Menampilkan kebenaran dalam kehidupan
Novel ini dilatarbelakangi realitas kehidupan pada masa Revolusi di Cina sekitar tahun 1940 sampai dengan 1970. Novel ini menceritakan realitas kehidupan pada saat Jepang menyerah sekitar tahun 1945, pada saat kebijakan reformasi tanah, komune rakyat, kebijakan lompatan besar ke depan sampai ke Revolusi Kebudayaan.
Setelah perang Cina – Jepang berakhir pada tahun 1945 dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, pertikaian antara PKC dengan Kuomintang kembali memanas. Setelah kekalahan Jepang, pemerintah Republik Cina segera menginstruksikan kepada segenap jajarannya untuk mengambil alih kedudukan tentara Jepang di seluruh pelosok wilayah Cina.
“最活跃的是小日本投降后,国民党军队准备进城,恢复被敌人占领的 地区。”(活着,1993:16)
“Zuì huóyuè de shì xiǎo rìběn tóuxiáng hòu, guómíndǎng jūnduì zhǔnbèi jìn chéng, huīfù bèi dírén zhànlǐng dì dìqū.”(Huózhe,1993:16)
“Yang paling meriah adalah sesudah para Jepang kecil itu menyerah, Tentara Nasionalis siap masuk kota untuk memulihkan daerah yang pernah dikuasai musuh.” (Huózhe, 1993: 16)
Dari kutipan diatas, Yu Hua mengambil datanya dari kehidupan yang sebenarnya dan mengemas data ke dalam ceritanya, yaitu pada saat Jepang menyerah dan Republik Cina, yang saat itu masih dikuasai Kuomintang/Nasionalis, mengambil alih daerah yang pernah dikuasai Jepang.
Meski awalnya banyak mengalami kekalahan tetapi Tentara Merah semakin dapat memperluas pengaruhnya di daerah pedesaan, melalui kebijakan landreform atau kebijakan reformasi tanah dari PKC. Tanah-tanah milik tuan tanah diambil dan menghadiahkan tanah-tanah garapan tersebut kepada kaum tani peggarap. Pemerintah melakukan redistribusi kekayaan dan pendapatan dari kaum kaya ke kaum miskin dan menghapuskan kelas penguasa sebelumnya.
“当我回到家乡,在小村庄里,土地改革开始了。我有五块你的土地,
那正是我从龙耳租来的五块土地。运气不好的那个人要长得多。作为一 个地主,他一获释就在风中生活了不到四年。共产党没收了所有的资产
和土地,分配给所有的前农场工人。”(活着,1993:79)
“Dāng wǒ huí dào jiāxiāng, zài xiǎo cūnzhuāng lǐ, tǔdì gǎigé kāishǐle. Wǒ yǒu wǔ kuài nǐ de tǔdì, nà zhèng shì wǒ cóng lóng ěr zū lái de wǔ kuài tǔdì. Yùnqì bù hǎo dì nàgè rén yào zhǎng dé duō. Zuòwéi yīgè dìzhǔ, tā yī huòshì jiù zài fēng zhōng shēng huó liǎo bù dào sì nián. Gòngchǎndǎng mòshōule suǒyǒu de zīchǎn hé tǔdì, fēnpèi jǐ suǒyǒu de qián nóngchǎng gōngrén.”(Huózhe,1993:79)
“Saat aku pulang itu, di dusun mulai digerakkan reformasi tanah. Aku kebagian tanah lima mu, tepatnya itu tanah lima mu yang aku sewa dari Long Er. Yang dapat sial justru si Long Er. Sebagai tuan tanah, sempat hidup di atas angin tidak sampai empat tahun, begitu Pembebasan dia langsung habis.
Partai Komunis menyita semua harta dan sawahnya, dibagi-bagikan kepada semua bekas buruh taninya.” (Huózhe, 1993: 79)
Dari kutipan diatas, dapat dilihat Yu Hua juga mengambil datanya dari kehidupan sebenarnya dan mengemas data ke dalam ceritanya. Kutipan diatas menjelaskan bagaimana sistem kebijakan reformasi tanah pada saat itu.
Dalam pelaksanaan kebijakan reformasi tanah, partai akan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi kebijakan ini. Kekerasan fisik yang kejam dan bengis berlangsung di daerah-daerah yang dikuasai pasukan merah. Hampir di setiap daerah terjadi pembantaian. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“他还是不想接受自己的命运,反而吓坏了农场工人。如果有农场工人不 受威胁,他就不上班。这么长时间的急诊看起来真是倒霉。人民政府立 即逮捕了他,称他是专横的地主。虽然它已经被带到城里的一个大监狱