TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK
PENGHASILAN (PPh) DAN PAJAK DAERAH BAGI PENGUSAHA KAKI
LIMA DI BIDANG KULINER BERDASARKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Fitri Juliandari
1187010
Pelaku usaha yang memiliki penghasilan selayaknya dikenai kewajiban pembayaran pajak. Pajak merupakan sumber pendapatan baik untuk negara maupun untuk daerah. Di tingkat pusat, terdapat Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan seorang wajib pajak. Saat ini, perkembangan usaha kaki lima di bidang kuliner khususnya di kota Bandung berkembang dengan pesat. Para pelaku usaha belum menyadari kewajiban pembayaran pajak. Di sisi lain, kota Bandung telah memberlakukan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah yang menetapkan kewajiban pembayaran pajak daerah bagi berbagai sektor usaha. Penelitian ini akan mengkaji apakah PKL sektor kuliner di Kota Bandung dapat dikenai kewajiban pembayaran pajak baik PPh maupun pajak daerah.
Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitan hukum normatif. Sedangkan teknik analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif yaitu: melalui pemaparan dan uraian berdasarkan kaidah-kaidah silogisme hukum, interpretasi dan konstruksi hukum yang berlaku.
Pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak dapat dikenai kewajiban membayar PPh, dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Sampai saat ini ketentuan NPWPD dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah belum dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima (penjual makanan). Ketentuan tersebut seharusnya dapat dikenakan terhadap pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan di atas nominal tertentu. Dasar pemikirannya adalah bahwa objek yang diperdagangkan sama dengan objek pelayanan restoran. Yang dapat dikenakan kewajiban pembayaran pajak daerah.
JUDICIAL ANALYSIS TOWARDS THE OBLIGATION TO PAY LOCAL
TAX AND INCOME TAX FOR STREET VENDORS
ENTREPRENEURSHIP IN THE CULINARY FIELD BASED ON
REGULATION IN INDONESIA’S
Fitri Juliandari
1187010
Entrepreneurs who have income is righteously to be subjected to tax payment obligations. Taxes are a good source of revenue for the State as well as the local government. At the central level, there is income tax which is imposed upon a person who has income and is subjected to the obligation to pay the tax. Currently, the business development of street vendors in the culinary field, especially in the city of Bandung is growing rapidly. The businesses have not been aware of he obligation to pay taxes.On the other hand, the city of Bandung has imposed Bandung Regional Regulation Number 20 Year 2011 on Local Tax which sets the obligation to pay local tax for various business sectors. This research will examine whether culinary street vendor in Bandung can be subjected to both income tax obligation as well as local tax obligation.
The method that will be used by the researcher in this research is normative legal research. While the analysis technique that will be used upon the obtained data will be juridicial qualitative which is: through exposure and description based on syllogism rules of law, as well as interpretation and construction of law applicated.
Street vendors which have income above the exemption (PTKP) cannot be liable to pay income tax based on the legal basis of Government Regulation No.46 Year 2013. Until now NPWPD provisions in Bandung Regional Regulation No.20 Year 2011 on Regional Taxes cannot belevied against the business of street vendors (food vendors). Such provisions should be imposed on vendors who have income above a certain nominal. The rationale is that the object that is traded is the same with the object of restaurant service.Which may be subject to local tax payment obligations
Halaman
LEMBAR JUDUL ………..………...
PERNYATAAN KEASLIAN ………...………
LEMBAR PENGESAHAN ……….…...………..
LEMBAR PERSETUJUAN REVISI...
PERSETUJUAN PANITIA SIDANG ………..
KATA PENGANTAR …..………...……….. i
ABSTRAK ………. ii
DAFTAR ISI……….………..………..…….. v
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang Masalah ………...……... 1
B. Rumusan Permasalahan ………..………. 8
C. Tujuan Penelitian ………. 9
D. Kegunaan Penulisan ……… 9
E. Kerangka Pemikiran ………...……. 11
F. Metode Penelitian ……… 15
G. Sistematika Penulisan ………... 20
BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA………...………….……… 22 A. Pengertian dan Azas Hukum Pajak……….………...……….. 22
B. Jenis-Jenis Pajak yang dikenal di Indonesia……….……… 31
Yang Diperoleh Dari Kegiatan Perdagangan ………...……
E. Sistem Pemungutan Pajak………..….. 48
BAB III TINJAUAN TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA
BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK
DAERAH………. 50
A. Pajak Daerah Sebagai Bagian Dari Perwujudan Otonomi Daerah….. 50
B. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Pajak Daerah……… 60
C. Pelaksanaan Kewajiban Perpajakan oleh Pedagang Makanan di Kota
Bandung………...…… 68
BAB IV ANALISIS TERHADAP KEWAJIBAN PEMBAYARAN
PAJAK PENGHASILAN (PPh) DAN PAJAK DAERAH BAGI
PENGUSAHA KAKI LIMA DI BIDANG KULINER BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA………... 71
A. Analisis Pengenaan Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan
(PPh) Bagi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia……….. 71
B. Analisis Pengenaan Kewajiban Pembayaran Pajak Restoran dalam
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
Pajak Daerah terhadap Pedagang Kaki Lima di Bidang Kuliner……. 85
BAB V PENUTUP ………. 99
DAFTAR PUSTAKA ………...…………. 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan didirikannya sebuah negara adalah untuk
memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat
rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga Negara Republik
Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat mempunyai tujuan dalam
menjalankan pemerintahannya. Pembangunan di segala bidang dilakukan
untuk membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Alinea IV,
yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan tugas
pemerintahan dan pembangunan senantiasa negara memiliki kewajiban
menentukan kebijaksanaan di bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) agar stabilitas pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tetap
dapat dipertahankan tanpa adanya bantuan dari luar negeri, artinya besarnya
pengeluaran total tidak boleh melebihi besarnya pendapatan total (surplus).
Oleh karena itu negara memerlukan beberapa unsur pendukung, salah satunya
seperti pajak. Pajak sampai dengan saat ini dianggap sebagai sumber utama
pendapatan negara yang digunakan pemerintah untuk membiayai pengeluaran
rutin seperti pengeluaran untuk belanja pegawai, pengeluaran untuk belanja
barang dan anggaran untuk pembiayaan operasional negara.
Berdasarkan kewenangan lembaga pemungutnya pajak dibedakan
menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara,
contohnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), PPh, PPN, PPnBM dan Bea
Materai, sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah untuk membiayai rumah tangga daerah, contohnya Pajak Reklame dan
Pajak Hiburan.
Pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak salah satu nya
adalah Pajak Penghasilan (PPh), dimana pajak ini dikenakan kepada orang
atau sekumpulan orang yang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan, dinamakan wajib pajak.
Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
menyatakan :
“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan”
Wajib pajak yang dikenai pajak disebut subjek pajak. Pengertian
“Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai
potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk
dikenakan PPh.” 1
Adapun pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan
dengan penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
di luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk dikonsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.
Selanjutnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan menyebutkan subjek Pajak Penghasilan antara lain :
1. Pasal 21
“wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan atau jasa“.
2. Pasal 14
“wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas”.
3. Pasal 23
“subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri”.
Sumber pajak penghasilan tersebut sangat penting untuk menjalankan
kegiatan dari masing-masing tingkat pemerintahan, karena tanpa adanya
penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan
berjalan secara maksimal. Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan
1
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, akan tetapi daerah diberikan kewenangan
untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, penyelenggaraan otonomi
daerah didasarkan pada Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah
untuk mengatur dan mengelola daerah masing-masing. Sebagai administrator
penuh, masing-masing daerah harus bertindak efektif dan efisien agar
pengelolaan daerahnya lebih terfokus dan mencapai sasaran yang telah
ditentukan. Pemerintah daerah harus mulai mencari sumber lain yang ada di
wilayahnya untuk diandalkan sebagai tulang punggung Pendapatan Asli
daerah (PAD).
Untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam
pembelanjaan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal di
dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk
diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah sejak lama
menjadi salah satu unsur Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang utama.
tinggi peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur keuangan
daerah, begitu pula sebaliknya.
Dalam Pasal 285 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa :
1) Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
(1) pajak daerah;
(2) retribusi daerah;
(3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
(4) lain-lain PAD yang sah;
b. Pendapatan transfer, dan
c. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi :
a. transfer Pemerintah Pusat terdiri atas:
1. dana perimbangan;
2. dana otonomi khusus;
3. dana keistimewaan; dan
4. dana Desa.
b. transfer antar-Daerah terdiri atas:
1. pendapatan bagi hasil; dan
2. bantuan keuangan
Lebih lanjut dalam Pasal 286 dijelaskan bahwa :
(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan. dengan
Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.
(2) Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau
dengan sebutan lain di luar yang telah ditetapkan undang-undang.
(3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a angka 3 dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 huruf a angka 4 ditetapkan dengan Perda berpedoman pada peraturan perudang-undangan.
Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
pembangunan di daerah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat di Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka
diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, yang merupakan ketentuan-ketentuan pokok yang
memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan
pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan untuk
menjamin penerapan prosedur umum perpajakan Daerah dan retribusi Daerah.
Adapun jenis pajak yang menjadi wewenang pemerintah daerah
Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Kabupaten/Kota)
terdiri atas :
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;
9. Pajak Sarang Burung Walet;
10.Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Di dalam kegiatan ekonomi masyarakat, dikenal bentuk usaha
informal berupa Pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima merupakan salah
satu unit usaha yang sering dikategorikan pedagang/pengusaha kecil dengan
modal yang relatif minim serta jam usaha yang tidak terbatas. Padahal
di era saat ini hampir tidak termasuk kategori pedagang kecil, karena hampir
rata-rata memiliki omzet penghasilan dalam per-hari relatif besar di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).Berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, Penghasilan dari Usaha yang
Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
dengan peredaran bruto (omzet) sebesar Rp.4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak
dikenakan PPh dengan tarif 1% dari omzet.2
Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 mengatur:
(3) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di tingkat
pusat dan daerah nampak bahwa pedagang kaki lima dikecualikan dari
kewajiban bayar pajak Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini
mengakibatkan, banyaknya pelaku usaha atau pedagang kaki lima yang
tidak membayar pajak, meskipun pada kenyataannya pendapatannya yang
diperoleh cukup tinggi, sehingga Negara kehilangan pendapatan.3
2
Yang dimaksud dengan omzet adalah jumlah uang hasil penjualan barang (dagangan) tertentu selama suatu masa jual (peredaran bruto) ditetapkan bagi wajib pajak yang melakukan usaha perdagangan. Dalam hal ini tidak dilakukan penghitungan atau dasar pengasilan netto(penghasilan
bersih).http://kbbi.web.id/omzet
3
Uraian di atas merupakan pengaturan PPh yang berlaku nasional.
Terkait dengan prinsip otonomi daerah, daerah berhak mencari potensi PAD
melalui berbagai sektor sampai dengan saat ini pedagang kaki lima hanya
membayar retribusi. Di kota Bandung telah berlaku Peraturan Daerah Nomor
20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang memperkenalkan Nomor Pokok
Wajib Pajak Daerah (NPWPD) yaitu : “nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan usaha Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban Perpajakan Daerah”.
Berdasarkan fakta bahwa Pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan tinggi
tidak membayar PPh, penulis bermaksud mengkaji apakah terhadap pedagang
kaki lima tersebut dapat dikenakan kewajiban membayar pajak (baik pajak pusat
maupun pajak daerah) sehingga berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa
tertarik untuk membuat penulisan hukum dan membahasnya dalam bentuk tulisan
dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Pembayaran Pajak
Penghasilan (PPh) Dan Pajak Daerah Bagi Pengusaha Kaki Lima Di Bidang
Kuliner Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas,
maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat
dikenai kewajiban membayar PPh?
2. Apakah kewajiban pembayaran pajak restoran sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 Tentang pajak
daerah dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima di bidang
kuliner yang memiliki penghasilan di atas PTKP?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi permasalahan sebagaimana dikemukakan di
atas, maka tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, apakah terhadap pedagang usaha kaki lima di
bidang usaha kuliner yang memiliki penghasilan diatas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat dikenai kewajiban membayar PPh
2. Untuk mengetahui dan mengkaji kewajiban pembayaran pajak restoran
sebagaimana diatur dalam peraturan daerah kota Bandung Nomor 20
Tahun 2011 Tentang pajak daerah dapat diterapkan terhadap pedagang
usaha kaki lima di bidang usaha kuliner yang memiliki penghasilan di
atas PTKP
D. Kegunaan Penulisan
Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak
terpisahkan, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
a. Dari segi teoritis akademis, penulisan ini diharapkan berguna
bagi pengembangan teori ilmu hukum, penajaman dan
aktualisasi ilmu hukum pajak khususnya tentang pajak apa yang
dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima yang
memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP).
b. Penulisan ini sebagai referensi untuk mengetahui dan mengkaji
kewajiban pembayaran pajak restoran sebagaimana diatur dalam
peraturan daerah kota Bandung Nomor 20 Tahun 2014 Tentang
Pajak Daerah dapat diterapkan terhadap pedagang usaha kaki
lima yang memiliki penghasilan di atas PTKP.
c. Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi
penulis khususnya dan mahasiswa fakultas hukum pada
umumnya tentang hukum pajak khususnya tentang pajak apa
yang dapat dikenakan terhadap pedagang usaha kaki lima yang
memiliki penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak
2. Kegunaan Praktis
a. Secara praktis, penulis berharap penulisan ini dapat
memberikan masukan yang berarti bagi penulis secara pribadi
sebab penelitian ini bermanfaat dalam menambah keterampilan
guna melakukan penulisan hukum.
b. Bagi masyarakat diharapkan bermanfaat sebagai masukan
konstruktif dalam membentuk budaya tertib dan adil sesuai
aturan hukum, lalu secara bersama-sama meninggalkan
kecurangan yang selama ini banyak terjadi dalam praktik seperti
contohnya pedagang kaki lima yang berpenghasilan tinggi tetapi
tidak membayar pajak.
c. Bagi pemerintah khususnya pemerintah pusat ataupun
pemerintah kota dalam bidang pajak agar dapat melakukan
perubahan paradigma dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
sesuai dengan perubahan dinamika yang terjadi dalam
memenuhi keadilan masyarakat. Sehingga dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya secara professional, manusiawi dan
berkeadilan.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam negara hukum modern tugas pokok negara tidak saja
terletak pada pelaksanaan hukum, tetapi juga mencapai keadilan sosial
hukum, negara Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan
tumpah darah Indonesia. Selain itu adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum. ). Untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran itu sendiri,
maka negara tidak hanya berdiam diri atau sebatas mengawasi rakyatnya
atau hal itu biasanya disebut sebagai negara sebagai penjaga malam
(nachtwachterstaat). Dalam rangka memenuhi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, negara dibenarkan untuk melakukan intervensi
apapun demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran rakyatnya, hal ini
biasanya dikenal dengan welfare state atau negara kesejahteraan..4
Sehubungan dengan hal tersebut, terkandung makna bahwa negara atau
pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban yang mutlak untuk
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat tersebut, pajak berperan sangat sentral dalam
memenuhi kebutuhan anggaran untuk itu.
“Pembangunan hukum merupakan suatu proses perubahan yang
dinamis yang dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses yang
tidak pernah selesai karena setiap kemajuan akan menuntut
perubahan-perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah”.5
Dengan kata lain bahwa hukum harus mampu memimpin kehidupan
masyarakat yang sedang berkembang ke arah moderinisasi. Terlebih lagi
dalam hal pembangunan hukum, hukum harus mampu menampung semua
4Tri Widodo W Utomo, “Memahami Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)”, 2013,
(http://triwidodowutomo.blogspot.com/2013/07/memahami-konsep-negara-kesejahteraan.html), diunduh pada 15 April 2015.
5 Soenaryati Hartono, Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional,
kebutuhan pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
berdasarkan tingkat kemajuan dalam segala bidang kehidupan. Berkaitan
dengan Peranan Hukum dalam Pembangunan, Mochtar Kusumaatmadja,
mengemukakan pendapatnya bahwa: “Hukum tidak hanya semata-mata
menciptakan ketertiban dalam masyarakat, akan tetapi berperan pula
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Yang mengatakan konsepsi ini
pemikiran dari Mochtar tersebut sejalan dengan konsepsi dari Roscoe
Pound “law as a tool of social engineering” 6
Bangsa Indonesia sebagai Negara hukum maka dalam segala
tindakannya juga harus berdasarkan atas aturan hukum termasuk bidang
perpajakan. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak dari
masyarakat karena pemungutan pajak yang tidak didasari hukum adalah
perampokan. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan Negara harus diatur dengan undang-undang,
merupakan landasan yuridis konstitusional bagi Negara untuk memungut
pajak.
Tujuan hukum salah satunya adalah untuk mencapai keadilan
termasuk tentunya hukum pajak, baik asas-asas dan kaidah yang terdapat
dalam rumusan peraturan perundang-undangan, pengenaannya dan
pembagian beban yang harus dipikul oleh Wajib Pajak. Mengingat bahwa
keadilan merupakan pengertian yang subjektif, maka diperlukan tolak ukur
untuk mengartikan keadilan dalam bidang perpajakan, maka asas keadilan
menurut hukum pajak ditentukan dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu harus memenuhi asas-asas sebagai berikut:
1. Asas Equality atau persamaan, yaitu orang yang berada dalam keadaan
yang sama harus dibebani dengan pajak yang sama (pajak subjektif)
dan barang yang berada dalam keadaan yang sama harus dikenakan
pajak yang sama (pajak objektif).
2. Asas Equality/billijkheid/kepatutan, yaitu keadilan yang bersifat
khusus yang diterapkan pada suatu kasus tertentu, Misal, jika
seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil dalam masalah
perpajakan, maka dapat mengajukan perlindungan hukum ke Komisi
Ombudsman Nasional untuk menghapuskan atau menurunkan pajak
yang telah dikenakan padanya.
3. Asas sesuai daya pikul, yaitu kesamaan dalam daya pikul bagi Wajib
Pajak, dengan kata lain beban pajak harus sama atau seimbang dengan
daya pikul.
4. Asas non-diskriminasi yaitu, suatu hukum tertentu harus diterapkan
dalam kasus-kasus yang sama atau dalam kasus yang sama harus
diberlakukan perlakuan hukum yang sama dengan tidak
membeda-bedakan golongan, agama, politik, ras, strafikasi sosial.7
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, cita
desentralisasi senantiasa menjadi bagian dalam praktik pemerintahan
7 Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung: Refika
Negara. Pasal 18 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
ditegaskan bahwa pemerintah terdiri atas pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang, langkah-langkah
penting sudah dilakukan oleh Pemerintah, seperti halnya berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan
daerah. Melalui undang-undang tersebut bangsa Indonesia
menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam sistem administrasi
pemerintahannya.8
Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Daerah diberikan kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah. Dengan demikian pungutan daerah itu meliputi pajak
daerah dan retribusi daerah.
F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Peter Mahmud Marzuki merumuskan bahwa penelitian hukum sebagai
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi.9 Metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah menggunakan metode yuridis normatif. Yaitu penelitian yang
8
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,Jakarta:Gramedia, 2007, hlm. 7.
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.10
2. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul penelitian dan rumusan masalah, maka
penelitian yang dilakukan termasuk dalam penelitian hukum normatif,
yang dilakukan dengan cara menelaah data-data sekunder. Penelitian
normatif ini termasuk penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitan yang
dilakukan dengan penelusuran asas-asas hukum kemudian di proses
terhadap aturan yang ada dan diuji dengan prinsip-prinsip hukum umum.
Penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan juga adalah
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder berkala.11
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in
books)atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang diaanggap pantas.12
10 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi,
Malang:Bayumedia Publishing, 2007, hlm.295.
11 Soerjono Soekanto dan Sri mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hlm. 13.
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
3. Sifat Penelitian
Penelitian tentang “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Pembayaran
(PPh) Pajak Penghasilan Daerah Bagi Pengusaha Kaki Lima di Bidang
Kuliner Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”.
merupakan suatu penelitian dengan menggunakan penelitian yang
bersifat Preskriptif. Penelitian hukum bertujuan memberikan preskripsi
mengenai apa yang seharusnya. Peter Mahmud menyatakan
“Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan
esensial dari penelitian tersebut dilakukan. Berpegang kepada
karakteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsiyang
diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan
mungkin untuk diterapkan”.13
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan-bahan hukum
Menurut Johnny Ibrahim sebagai berikut, antara lain:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU/Peraturan
Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda). Bahan
hukum primer ini mencakup peraturan perundangan antara lain,
1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan,
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha
Mikro Kecil dan Menengah,
3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013,
5) Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011
Tentang Pajak Daerah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri atas
buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang
berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil
simposium terhadap undang-undang yang terkait dengan pajak
penghasilan dan pajak daerah.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum.14
5. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data melalui:
a. Penelitian Kepustakaan (library research)
14
Penelitian kepustakaan (library research) adalah suatu penelitian
yang dilakukan untuk mempelajari, mengkaji dan menganalisis
data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan
tersier.
b. Penelitian lapangan (field research)
Penelitian lapangan (field research) ini dimaksudkan untuk
mendapat data primer, tetapi diperlukan hanya untuk menunjang
dan melengkapi data sekunder dalam data kepustakaan. Dalam hal
ini untuk mengetahui kewajiban perpajakan bagi pedagang kaki
lima, yang dilakukan dengan mengadakan wawancara dengan
pihak-pihak terkait.
6. Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut:
a. Studi dokumen, yaitu melakukan penelitian terhadap data sekunder
untuk mendapatkan landasan teori dan memperoleh informasi
dalam bentuk formal dan data melalui naskah resmi yang ada.
b. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab untuk memperoleh data
primer secara langsung dengan responden yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti yang terdiri dari pedagang kaki lima.
7. Metode Analisis Data
Sesuai dengan metode pendekatan yang diterapkan, maka data
yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara yuridis kualitatif
matematika atau tabel kuantitatif, tetapi melalui pemaparan dan uraian
berdasarkan kaidah-kaidah silogisme hukum, interpretasi dan
konstruksi hukum yang berlaku. Analisis tersebut, meliputi:
a. Peraturan Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lainnya, dengan
memperhatikan hierarki Perundang-undangan maka ketentuan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
lebih tinggi.
b. Kepastian hukum, artinya peraturan yang diteliti betul-betul
dilaksanakan dengan didukung oleh penguasa dan para penegak
hukum.
G. Sistematika Penulisan.
Penulisan skripsi ini akan disusun sebagaimana sistematika berikut ini :
BAB I : PENDAHULUAN,
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang
mengenai permasalahan yang terjadi sehingga mengangkat
permasalahan tersebut, perumusan masalah, tujuan serta manfaat
hasil penulisan yang ingin dicapai melalui penulisan ini, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika
BAB II : TINJAUAN UMUM SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA
Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan mengenai teori-teori
yang berkaitan dengan hukum Pajak sebagaimana diatur serta
usaha mikro dan menengah dan aturan PPh sebagai pajak pusat.
BAB III : TINJAUAN TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA
BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK
DAERAH
Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan mengenai substansi
pengaturan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun
2011 Tentang Pajak Daerah dikaitkan dengan keberadaan
pedagang kaki lima sebagai bentuk usaha.
BAB IV : ANALISIS TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEWAJIBAN
PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) DAN
PAJAK DAERAH BAGI PENGUSAHA KAKI LIMA DI
BIDANG KULINER BERDASARKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Dalam sub bab ini penulis akan menguraikan mengenai Analisis
Pengenaan Kewajiban Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Daerah Bagi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia dan Analisis Penerapan
Ketentuan kewajiban pembayaran pajak restoran sebagaimana
2011 Tentang Pajak Daerah terhadap Kewajiban Perpajakan
Pedagang Usaha Kaki Lima
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN,
Dalam bab ini berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh
dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang
ada. Kemudian saran menurut penulis dari hasil penulisan untuk
kebaikan hukum di Indonesia khususnya terhadap peraturan pajak
101 Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
terhadap pedagang kaki lima yang memiliki penghasilan diatas nominal
tertentu tidak dapat dikenai kewajiban membayar PPh, dengan dasar hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Pajak
Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, yang dalam Pasal 2 ayat (3)
menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya : a. menggunakan
sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat
untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau
berjualan, tidak termasuk sebagai Wajib Pajak.
2. Kewajiban pembayaran pajak daerah dalam hal ini, peraturan pemerintah
tersebut harus dikaji kembali agar dapat menyesuaikan dengan
perkembangan masa. Dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20
pedagang usaha kaki lima (penjual makanan) yang memiliki penghasilan di
atas Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Dasar pemikirannya adalah
bahwa objek yang diperdagangkan sama dengan objek pelayanan restoran.
Atas dasar penafsiran teleologis (sosiologis), pemungutan pajak dapat
dilakukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh pemberlakuan
Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Tujuan
tersebut tercantum dalam bagian konsiderans butir b yaitu:
“bahwa pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Daerah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di Daerah.”
B. Saran
1. Untuk pemerintah / pembentuk undang-undang :
Pemerintah Pusat agar dapat merevisi Pasal 2 ayat (3) Peaturan pemerintah
Nomor 46 tahun 2013 yang mengatur pembebasan kewajiban perpajakan atas
dasar sarana yang dipergunakan untuk berjualan. Diharapkan, tolok ukur
penetapan kewajiban pembayaran pajak, tidak ditentukan berdasarkan sarana
yang dipergunakan untuk berjualan, tetapi atas dasar nominal penghasilan
yang diperoleh wajib pajak.
Universitas Kristen Maranatha
a.Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak
Daerah, dengan memperluas contoh usaha penyedia makanan , bukan hanya
rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa
boga/katering, melainkan termasuk pedagang kaki lima.
b.Pasal 8 ayat (4) Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2011 tentang Pajak
Daerah, yang semula mengatur bahwa restoran yang nilai penjualannya
dibawah Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) per bulan tidak termasuk
objek Pajak Restoran, pengaturan ditambahkan bahwa usaha penyedia
makanan yang nilai penjualannya diatas Rp. 10.000.000,00 (Sepuluh juta
rupiah) merupakan objek pajak restoran, dengan demikian pedagang kaki
lima yang berjualan makanan dengan penjualan per bulan diatas Rp.
10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) dapat dikenakan pajak.
Disamping itu, kepada para akademisi diharapkan untuk melakukan
penelitian-penelitian lebih lanjut terkait dengan kewajiban perpajakan bagi
pelaku usaha yang menjalankan usaha dengan sarana kaki lima.
Penelitian-penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :
Abdul Halim, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Unit
Penerbit dan Percetakan Akademi Managemen Perusahaan
YKPN. 2004.
Agus Sudaryanto,Pengantar Ilmu Hukum Pengertian dan
Perkembangannya di Indonesia, Malang, Setara Press, 2015.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta,
Pusat Studi Hukum UII, 2002.
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika,
2008
Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Pertama, Jakarta, Salemba Empat,
2000.
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi
Daerah, Jakarta, Grasindo, 2007
Indra Bastian, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintahan
Daerah di Indonesia, Jakarta, Salemba Empat
Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press,
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004.
Marihot P.Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Mardiasmo. Perpajakan, Edisi Revisi 2011, Yogyakarta, Penerbit
Andi, 2011.
Mansury, R. Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000.
Jakarta, YP 4, 2002.
Oyok Abuyamin, Perpajakan Pusat dan Daerah, Bandung,
Humaniora, 2012
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kharisma Putra Utama,
Jakarta, 2005.
R, Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung
,Rafika Aditama, 2003.
Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung,
Refika Aditama, 2003.
Siti Resmi, Perpajakan, Teori dan Kasus, Edisi Keempat, Jakarta,
Salemba Empat, 2008.
Soenaryati Hartono, Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju
Suandy Erly, Hukum Pajak, Edisi Tiga, Jakarta, Salemba Empat,
2005.
Sumyar, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Yogyakarta,
Andi Offset, 2004
Syamsudin Haris, Desentralisasi & otonomi Daerah, Jakarta, LIPI
Press, 2005.
Syofrin Syofyan, Dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan
Permasalahannya, Bandung: Refika Aditama, 2004.
Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik Perubahan
Kebijakan 1974-2004, Jakarta, Kencana, 2006
Waluyo, dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Edisi Revisi,
Salemba Empat, Jakarta, 2003.
B. Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau
Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Peraturan Menteri Keuangan nomor 183/PMK.03/2007 tanggal 28
Desember 2007
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2009 tanggal
10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan
Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak
Berjalan Yang Harus Dibayar
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
162/PMK.0ll/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan
Tidak Kena Pajak
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pajak
Daerah
C. Laman :
http://dicilala.blogspot.com/2011/04/usaha-kecil-dan-menengah.html,
http://ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=51, diakses pada
tanggal 28 Maret 2015.
http://seputarpengertian.blogspot.com/2014/03/seputar-pengertian-retribusi-daerah.html, diakses pada tanggal 11 April 2015.
http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=67799, diakses pada tanggal
1 Juni 2015.
http://repository.uin-suska.ac.id/1986/4/BAB%20III.pdf, diakses pada
tanggal 15 Juni 2015, Jam 21.00 WIB.
http://kbbi.web.id/restoran diakses pada tanggal, 30 Juni 2015, Jam
14.05 WIB
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39476/4/Chapter%20I