• Tidak ada hasil yang ditemukan

83269101 Indeks Def t Dan DMF T Pada Siswa Tunarungu Di SLB B Negeri Cicendo Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "83269101 Indeks Def t Dan DMF T Pada Siswa Tunarungu Di SLB B Negeri Cicendo Bandung"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

INDEKS def-tDAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada Fakultas Kedokteran Gigi

Universita Padjadjaran

NUNI PRASTIKA ATMANDA 160110070047

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

(2)

SKRIPSI

NUNI PRASTIKA ATMANDA 160110070047

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

(3)

JUDUL : INDEKS def-t DAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG

PENYUSUN : NUNI PRASTIKA ATMANDA

NPM : 160110070047

Bandung, Juni 2011 Menyetujui :

Pembimbing Utama

Dra. Cucu Zubaedah, M. Kes NIP. 19621205 198910 2 001

Pembimbing Pendamping

(4)

"

(

(5)

iv

Indeks def-t dan DMF-T pada Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung- Nuni Prastika Atmanda- 160110070047

ABSTRAK

Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Sebagian besar penderita cacat tunarungu mepunyai kebersihan mulut yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Populasi yang diteliti adalah siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung sebanyak 89 siswa. Sampel diambil dengan teknik total sampling. Data hasil penelitian dikategorikan berdasarkan kategori karies menurut WHO.

Hasil penelitian menunjukkan indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 3,04 dan indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 2,13.

Simpulan dari penelitian adalah indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung termasuk kategori sedang dan indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung termasuk kategori rendah.

(6)

v

Children with hearing impairment are children who have complete or partial loss of the ability to hear, and they usually have problem in speaking. Oral hygiene in most of people with physical and mental disability are worse than in normal people. The goal of this research is to get the information about def-t and DMF-T index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung.

The study is descriptive with survey method. Population inspected were 89 students with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung. Sample was taken by total sampling technique. The result from this study categorized based on WHO caries category.

The study showed that def-t index in student with hearing impairment in SLB B Cicendo Bandung was 3.04 and index DMF-T was 2.13.

The conclusion of this study is def-t index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung is categorized moderate and DMF-T index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung is categorized low.

(7)

vi

Kata Pengantar

Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Indeks DMF-T dan def-t pada Siswa Tunarungu di SLB B Cicendo Bandung” dalam melengkapi tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan program Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Eky. S. Soeria Soemantri, drg., Sp. Ortho, selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.

2. Dra. Cucu Zubaedah, M. Kes sebagai dosen pembimbing utama yang telah meluangkan waktu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Drg. Riana Wardani, M. S sebagai dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

(8)

5. Seluruh staf pengajar, staf akademik, dan staf perpustakaan FKG Unpad yang telah banyak membantu penulis selama berkuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padajadjaran.

6. Kepala sekolah dan guru-guru SLB B Negeri Cicendo Bandung yang telah bersedia dan membantu penulis hingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

7. Sahabat-sahabatku Fatimah, Diana, Indri, Dica, Uchi, Dina (partner skripsiku), kelompok klinik VI A, serta rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran angkatan 2007, yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

8. Mamah, Bapak, Nenek, Ega dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa selama pendidikan.

9. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.

Akhir kata, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang kedokteran gigi khususnya dan masyarakat pada umumnya.

(9)

viii

1.4 Kegunaan Penelitian... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

1.6 Metode Penelitian... 6

(10)

ix

2.1.2 Klasifikasi Karies ... 8

2.1.3 Gambaran Klinis Karies ... 10

2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Karies Gigi ... 11

2.1.4.1Faktor Agen atau Mikroorganisme ... 11

2.1.4.2Substrat ... 12

2.1.4.3Faktor Tuan Rumah... 13

2.1.4.4Waktu ... 13

2.1.5 Proses Terjadinya Karies... 14

2.1.6 Pengukuran Karies Gigi ... 16

2.1.6.1 Indeks DMF ... 16

2.1.6.2 Indeks Tooth Caries – WHO ... 18

2.1.6.3 Indeks Significant Caries (SiC Index) ... 19

2.2 Tunarungu ... 20

2.2.1 Definisi Tunarungu ... 20

2.2.2 Klasifikasi Tunarungu ... 21

2.2.2.1 Berdasarkan Tingkat Kehilangan Pendengaran ... 21

2.2.2.2 Berdasarkan Saat Terjadinya Kehilangan Pendengaran ... 22

2.2.2.3 Berdasarkan Tempat Kerusakan Pendengaran ... 23

(11)

x

2.2.3 Karakteristik Tunarungu dalam Aspek Sosial Emosional . 24

2.2.4 Karakteristik dalam Aspek Fisik dan Kesehatan ... 25

2.2.5 Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa 26

2.3 Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 27

2.3.1 Visi dan Misi ... 27

2.3.1.1Visi ... 26

2.3.1.2Misi ... 27

2.3.2 Sarana dan Prasarana SLB B Negeri Cicendo Bandung .... 28

2.3.3 Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 30

3.2 Populasi dan Sampel ... 30

3.3 Variabel Penelitian ... 31

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 31

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.6 Alat dan Bahan ... 33

3.7 Analisis dan Penyajian Data ... 33

3.8 Prosedur Penelitian... 34

(12)

xi BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan ... 46

5.2Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48

GLOSARIUM ... 51

RIWAYAT AKADEMIK PENULIS ... 52

(13)

xii

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

2.1 Kode Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO ... 19

2.2 Jumlah Siswa di SLB B Cicendo Bandung ... 28

4.1 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan. ... 36

4.2 Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 37

4.3 Data DMF-T Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 38

4.4 Data def-t Pada Siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 38

4.5 Data DMF-T pada siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 39

4.6 Data DMF-T Pada Siswa SMPLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung... 39

4.7 Data DMF-T Pada Siswa SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung. . 40

4.8 Indeks def-t dan DMF-T Pada Siswa SLB B Negeri Cicendo Bandung. . 41

4.9 Indeks def-t dan DMF-T pada siswa laki-laki dan perempuan di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 41

(14)

xiii

(15)

xiv

DAFTAR DIAGRAM

No. Diagram Halaman

(16)

xv

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Gigi 53

2. Surat Pemberitahuan dari BPKBPM Kota Bandung 54

3. Surat Izin dari Dinas Pendidikan Kota Bandung 55

4. Surat Keterangan dari Dinas Kesehatan Kota Bandung 56

5. Surat Keterangan dari SLB Negeri Cicendo Bandung 57

6. Surat Persetujuan Penelitian 58

7. Formulir Pemeriksaan Gigi dan Mulut 59

(18)

1 1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan

pembangunan kesehatan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,

perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender,

nondiskriminatif serta norma-norma agama. Oleh sebab itu sudah sewajarnya bila

hasil dari pembangunan kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat

Indonesia, sehingga terdapat peningkatan kesejahteraan lahir maupun batin dan

peningkatan derajat kesehatan secara merata (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan

bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk

menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomi dan bermartabat

(Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan

atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan

baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari

(19)

2

Orang yang memiliki masalah pendengaran selalu disalah tanggap dengan

seorang yang normal karena kecacatan mereka tidak terlihat, seperti pada mereka

yang memiliki masalah penglihatan dan cacat mental. Mereka juga kurang mendapat

simpati seperti halnya mereka yang mempunyai masalah penglihatan (Muhammad,

2008).

Tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan

mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang

mendengar. Orang tuli adalah orang yang kehilangan kemampuan mendengar

sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai

ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang

dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui

pendengaran (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Perilaku orang-orang yang

mengalami tunarungu dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tentunya

memerlukan pelayanan kesehatan yang cukup memadai untuk menjaga kesehatan gigi

dan mulutnya.

Tunarungu adalah salah satu jenis cacat yang cukup banyak terdapat di

Indonesia. Berdasarkan data dari GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan

Tunarungu Indonesia) bahwa jumlah penyandang cacat adalah 6% dari jumlah

penduduk Indonesia dan sebanyak 2, 9 juta atau sekitar 1,25 % dari total keseluruhan

(20)

Dalam ilmu kedokteran gigi, perawatan penderita cacat disadari masih dalam

tahap awal, dan perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan kesehatan gigi dan

mulutnya. Sebagian besar individu penderita cacat mempunyai kebersihan mulut

yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal, yang disebabkan diet

makanan yang buruk dan kurangnya pemeliharaan di rumah, sehingga banyak gigi

yang rusak dan berlubang (Maulani, 2005).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa tertarik melakukan

suatu penelitian untuk mengetahui indeks def-t (decayed, indicated for extraction,

filled teeth) untuk gigi sulung, dan indeks DMF-T (decayed, missing, filled teeth)

untuk gigi tetap pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang pemilihan masalah tersebut, maka identifikasi

masalah adalah:

Berapa indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo

Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penelitian untuk mengetahui data dan informasi mengenai status

kesehatan gigi dan mulut pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk medapatkan indeks def-t dan DMF-T pada

(21)

4

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa

tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.

2. Untuk dapat dijadikan dasar bagi penelitian lebih lanjut bagi lembaga lainnya di

dalam upaya pembinaan kesehatan gigi dan mulut pada orang-orang cacat.

3. Membantu penulis dalam meningkatkan keterampilan melakukan penelitian dan

dalam menulis suatu karya ilmiah yang merupakan bagian dari tahapan persiapan

dalam pengabdian kepada masyarakat kelak.

1.5 Kerangka Pemikiran

Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang

aman, bermutu dan terjangkau (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009). Pelayanan

kesehatan juga mencakup pelayanan kesehatan pada penderita cacat.

Penderita cacat, yaitu penderita yang mengalami hambatan rohani dan atau

jasmani, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dalam menjalankan

fungsi sosialnya. Penderita cacat di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan

cacat netra, cacat tubuh, cacat mental, dan cacat rungu wicara (Maulani, 2005).

Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran

baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam

berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara (Kementrian Kesehatan RI,

(22)

memperoleh informasi, di antaranya informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut.

Selain itu juga mereka sulit untuk menyampaikan apa yang mereka pikirkan.

Orang yang tunarungu biasanya memiliki kebiasaan bernafas melalui mulut

(Anonimous, 2010). Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat menyebabkan

xerostomia. Xerostomia merupakan kekeringan pada mulut akibat disfungsi kelenjar

saliva. Mulut kering dapat meningkatkan terjadinya kerusakan gigi, karena

berkurangnya saliva merupakan faktor predisposisi pada penambahan insiden karies,

penyakit periodontal, dan infeksi oral, terutama kandidosis (Fox, 2008).

Status karies seseorang dapat diukur dengan indeks karies agar penilaian yang

diberikan pemeriksa sama atau seragam. Ada beberapa indeks karies yang biasa

digunakan seperti indeks DMF yang diperkenalkan oleh Klein H, Palmer CE,

Knutson JW dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks

Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya (Pintauli dan

Hamada, 2008).

Indeks DMF digunakan untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap

karies gigi. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi (DMF-T) dan

permukaan gigi (DMF-S). Sedangkan def-t dan def-s (decayed, indicated for

extraction, filled surface) digunakan untuk gigi sulung (Burt and Eklund, 2005).

Penelitian ini dilakukan pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo

Bandung dengan melihat keadaan giginya untuk melihat gigi yang karies, ditambal

dengan tambalan tetap, diindikasikan untuk dicabut pada gigi slulung atau dicabut

(23)

6

- Dalam pendengaran

- Dalam berbicara

- Bernafas melalui mulut

- Peningkatan Infeksi Periodontal

- Peningkatan terhadap risiko karies

Cacat tubuh Cacat rungu wicara Cacat mental

Kondisi Oral

(24)

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei.

1.7 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap siswa tunarungu dari TKLB, SDLB,

SMPLB dan SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung pada bulan Maret 2011 dan

(25)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karies Gigi

2.1.1 Definisi Karies

Karies berasal dari bahasa latin yaitu caries yang berarti pembusukan. Karies gigi merupakan suatu destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme (Pine and Harris, 2007).

Karies didefinisikan sebagai destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi karena fermentasi karbohidrat oleh bakteri (Samaranayake, 2006).

Karies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang dimulai dengan demineralisasi komponen anorganik gigi, kemudian terjadi destruksi komponen organik, yang akan menyebabkan terbentuknya kavitas (Hiremath, 2007).

2.1.2 Klasifikasi Karies

Pada tahun 1908, GV Black mempublikasikan klasifikasi karies berdasarkan lokasinya pada gigi (Fejerskov and Kidd, 2003):

Kelas 1: lesi terletak pada pit dan fisur pada bagian gigi manapun.

Kelas 2: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi premolar dan molar.

(26)

Kelas 4: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi incisivus dan caninus yang

memerlukan pembuangan dan restorasi pada sudut incisal.

Kelas 5: lesi terletak pada 1/3 gingival pada permukaan labial, buccal atau lingual.

Berdasarkan letak lesinya, lesi karies dibedakan menjadi (Samaranayake,

2006):

1. Karies pada pit dan fisur (terdapat pada gigi molar, premolar, dan permukaan

lingual gigi incisivus rahang atas).

2. Karies pada permukaan yang licin (terdapat pada permukaan aproximal, sedikit di

bawah titik kontak).

3. Karies pada permukaan akar (terdapat pada sementum atau dentin).

4. Karies rekuren (berhubungan dengan restorasi yang sudah ada).

G. J.Mount dan W. R. Hume memperkenalkan klasifikasi lesi karies yang

baru, yaitu berdasarkan letak (site) dan ukuran (size). Klasifikasi ini dirancang untuk

mempermudah identifikasi lesi dan untuk menjelaskan kompleksitas karena

perbesaran lesi.

Lesi karies berdasarkan letaknya dibedakan menjadi:

Site 1 : pit, fisur dan defek enamel pada bagian oklusal pada gigi posterior atau

permukaan halus lainnya seperti cingulum pada gigi anterior.

Site 2 : enamel pada bagian aproximal. Dalam hal ini, area yang berkontak dengan

gigi tetangga.

(27)

10

Karies dapat menjadi penyakit yang progresif,sehingga dapat dilihat ukuran

untuk restorasi dan perluasan lesinya. Oleh karena itu, lesi karies dapat dibedakan

menjadi 5 ukuran (size), yaitu :

Size 1 : kavitas permukaan yang minimal,sedikit melibatkan dentin yang mampu

memperbaiki diri dengan remineralisasi itu sendiri.

Size 2 : melibatkan dentin yang cukup banyak. Biasanya pada lesi ini, diperlukan preparasi kavitas menyisakan enamel dan didukung oleh dentin dengan cukup

baik dan masih mampu menahan beban oklusi yang normal. Struktur gigi

yang tersisa cukup kuat untuk mendukung restorasi.

Size 3 : lesi sudah cukup besar. Struktur gigi yang tersisa cukup lemah. Karies sudah melibatkan cusp atau permukaan incisal, atau sudah tidak mampu menahan

beban oklusi. Biasanya kavitas perlu diperbesar sehingga restorasi dapat

dibuat untuk mendukung struktur gigi yang tersisa.

Size 4 : karies yang luas atau hilangnya beberapa struktur gigi. Contoh, hilangnya

semua cusp gigi atau permukaan insisal (Mount and Hume, 1998).

2.1.3 Gambaran Klinis Karies Gigi

Lesi awal karies berupa lesi yang berbatas jelas, berwarna putih seperti kapur,

dan permukaan email tertembus. Lesi ini dapat sembuh atau mengalami

remineralisasi, dan oleh sebab itu pada tahap ini masih bersifat reversible. Meskipun

(28)

lesi tersebut tidak ditangani, kavitas akan meluas ke dentin dan dapat menyebabkan

kerusakan pulpa (Samaranayake, 2006).

2.1.4 Faktor –Faktor Penyebab Karies Gigi

Karies dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa

faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada tiga faktor utama yang

memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme,

substrat atau diet dan ditambah faktor waktu, yang digambarkan sebagai tiga

lingkaran yang bertumpang-tindih (Pintauli dan Hamada, 2008).

Gambar 2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Karies (Dentosca, 2010)

2.1.4.1 Faktor agen atau mikroorganisme

Bakteri kariogenik memiliki tiga sifat yang menyebabkannya berperan dalam

(29)

12

tersebut mampu memproduksi asam (acidogenic) dan bakteri dapat bertahan hidup

dan berfungsi di dalam lingkungan yang asam (aciduric) (Pinkham, 2005).

Streptococcus mutans (S. mutans dan S. sobrinus) merupakan kelompok utama bakteri yang terlibat dalam awal terjadinya demineralisasi email. Fermentasi

karbohidrat yang terus menerus menyebabkan pertumbuhan Streptococcus mutans yang cepat, dan meningkatnya produksi asam organik, peningkatan matriks

polisakarida ekstraseluler dan suatu perubahan relatif pada komponen mikroflora

yang dapat meningkatkan risiko karies gigi (Pinkham, 2005).

Setelah terbentuk lubang pada email, lactobacilli memegang peranan yang

sangat penting. Pada proses karies, saat pH pada plak mulai menurun di bawah level

kritis (sekitar 5,5), asam yang dihasilkan mulai menyebabkan demineralisasi email

(Cameron and Widmer, 2008).

2.1.4.2 Substrat

Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena

membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada

permukaan email (Pintauli dan Hamada, 2008).

Bakteri menggunakan hasil fermentasi karbohidrat untuk energi dan produk

akhir glikolisis pada metabolisme bakteri adalah asam. Sukrosa merupakan

(30)

2.1.4.3 Faktor Tuan Rumah

Dalam terjadinya proses karies, kualitas struktur gigi dan saliva merupakan

faktor tuan rumah utama yang perlu diperhatikan (Cameron and Widmer, 2008). Pit

dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan

mudah menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Selain itu,

permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan

membantu perkembangan karies gigi. Email merupakan jaringan tubuh dengan

susunan kimia kompleks yang mengandung 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat,

fluor), air 1% dan bahan organik 2%. Kepadatan kristal email sangat menentukan

kelarutan email. Semakin banyak email mengandung mineral, maka kristal email

semakin padat dan email akan semakin resisten. Gigi susu lebih mudah terserang

karies daripada gigi tetap (Pintauli dan Hamada, 2008).

Pertahanan utama alami terhadap karies adalah saliva. Saliva tidak hanya

menghilangkan sisa makanan dan menetralkan asam yang dihasilkan oleh plak, tetapi

juga memiliki efek buffer terhadap pH pada saliva dan plak (Wellburry, 2005).

2.1.4.4 Waktu

Asam dapat menyebabkan hancurnya kristal email sehingga dapat

menyebabkan kerusakan pada permukaan email. Hal ini dapat terjadi beberapa bulan

sampai tahunan tergantung dari intensitas dan frekuensi konsumsi asam. Hal ini

menunjukkan bahwa di dalam mulut (karena mulut mengandung beberapa bakteri

(31)

14

itu seorang individu tidak pernah terbebas dari karies. Proses demineralisasi dan

remineralisasi email secara konstan merupakan suatu siklus antara hilangnya dan

diperolehnya mineral. Karies terjadi jika keseimbangan antara demineralisasi dan

remineralisasi terganggu, sehingga demineralisasi lebih besar daripada remineralisasi.

Hasil jangka panjang dari siklus ini ditentukan oleh:

1. Komposisi dan jumlah plak.

2. Konsumsi gula (frekuensi dan waktu).

3. Paparan fluoride.

4. Aliran dan kualitas saliva.

5. Kualitas email.

6. Respon imun (Cameron and Widmer, 2008).

2.1.5 Proses Terjadinya Karies Gigi

Hampir semua penelitian mengenai proses karies gigi merupakan teori

kemoparasitik yang dikemukakan oleh W. D Miller pada tahun 1980. Saat ini lebih

umum dikenal dengan teori acidogenic of caries aetiology (Welburry, 2005).

Pola utama proses karies adalah:

1. Fermentasi karbohidrat menjadi asam organik oleh mikroorganisme yang terdapat

pada plak gigi

2. Produksi asam yang dapat menurunkan pH pada permukaan email di bawah level

(32)

3. Saat karbohidrat sudah tidak terdapat lagi pada plak, pH di dalam plak akan

meningkat karena adanya difusi asam yang keluar dan dapat terjadi pula

metabolisme dan netralisasi pada plak, sehingga dapat terjadi remineralisasi email

4. Peningkatan karies gigi hanya terjadi saat proses demineralisasi lebih besar

daripada remineralisasi (Welburry, 2005).

Demineralisasi pada email gigi merupakan suatu proses kimia. Pelarutan

hidroksiapatit secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ca10(PO4)6(OH)2 + 10 H+ 10 Ca2 + 6H(PO4)3- + 2H2O

Hidroksiapatit ion hydrogen calcium hidrogen fosfat air

Demineralisasi email merupakan kehilangan mineral pada email karena

aktivitas asam yang dapat menyebabkan karies gigi atau erosi. Karies gigi terutama

disebabkan oleh asam asetat dan asam laktat yang berdifusi melalui plak dan masuk

ke dalam pori-pori email diantara enamel rods sebagai ion netral, dimana asam asetat

dan asam laktat mengalami disosiasi dan menurunkan pH cairan yang mengelilingi

kristal email. Pada saat pertama kali terpisah, proton melarutkan permukaan kristal

hidroksiapatit, pelarutan ini tergantung dari derajat kejenuhan apatit dan konsentrasi

ion kalsium dan fosfat di dalam cairan inter-rod meningkat (Cameron and Widmer,

2008).

Buffering calcium dan fosfat pada permukaan email dan pada plak mendorong

(33)

16

tipis. Kelanjutan proses ini menghancurkan dukungan lapisan permukaan sehingga

terbentuklah kavitas (Cameron and Widmer, 2008).

2.1.6 Pengukuran Karies Gigi

2.1.6.1 Indeks DMF

Indeks DMF, yang mencatat jumlah gigi tetap yang rusak (decayed), hilang

(missing) dan ditambal (filled) (DMF-T) atau pada permukaan gigi yaitu DMF-S,

pertama kali diperkenalkan oleh Klein dan Palmer dan sampai saat ini masih dipakai

secara luas di seluruh dunia. Untuk gigi sulung karena kesulitan dalam membedakan

apakah gigi dicabut karena karies atau karena tanggal alami, khususnya pada anak

usia lebih dari 5 tahun, digunakan def-t dan df (decayed, filled) (Pine and Harris, 2007).

Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena gigi molar tiga biasanya

tidak tumbuh, sudah dicabut atau tidak berfungsi. Indeks ini tidak menggunakan skor,

pada kolom yang tersedia langsung diisi kode D, M, F dan kemudian dijumlahkan

sesuai kode. Rata-rata DMF adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi atas jumlah

orang yang diperiksa (Pintauli dan Hamada, 2008).

Indeks DMF dapat digunakan pada seluruh gigi (disebut dengan DMF-T) atau

pada permukaan gigi (disebut DMF-S).

1. DMF-T

DMF-T adalah jumlah gigi tetap yang mengalami karies, berupa angka yang

(34)

1) Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori D.

2) Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan

dalam kategori D.

3) Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D.

4) Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori

M.

5) Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan

perawatan ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M.

6) Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F.

7) Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F.

8) Pencabutan normal selama masa pergantian gigi geligi tidak dimasukkan

dalam kategori M (Pintauli dan Hamada, 2008).

2. DMF-S

DMF-S merupakan suatu pengukuran karies dengan melihat permukaan gigi

yang karies. Kriteria yang digunakan berupa:

1) Permukaan gigi yang diperiksa adalah gigi anterior dengan empat permukaan,

fasial, lingual, distal dan mesial sedangkan gigi posterior dengan lima

permukaan yaitu fasial, lingual, distal, mesial dan oklusal.

(35)

18

3) Bila gigi sudah dicabut karena karies, maka pada waktu menghitung

permukaan yang hilang dikurangi satu permukaan sehingga untuk gigi

posterior dihitung 4 permukaan dan 3 permukaan untuk gigi anterior.

4) Kriteria untuk F sama dengan DMF-T (Pintauli dan Hamada, 2008).

3. def-t

def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies dengan menghitung:

1) d (decayed) yaitu gigi sulung yang mengalami karies, dan jika sudah

direstorasi ada karies.

2) e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies yang besar pada gigi sulung

dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan.

3) f (filled) yaitu gigi sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya

karies sekunder (Mishra, 2010).

2.1.6.2 Indeks Tooth Caries – WHO

Kriteria pemeriksaan seperti terlihat pada Tabel 2.1. Cara perhitungannya

adalah dengan menjumlahkan semua DMF atau def. Komponen D meliputi

penjumlahan kode 1 dan 2, komponen M untuk kode 4 pada subjek <30 tahun, dan

kode 4 dan 5 untuk subjek >30 tahun misalnya hilang karena karies atau sebab lain.

Komponen F hanya untuk kode 3. Untuk kode 6 (fisur silen) dan 7 (jembatan,

mahkota khusus atau viner/implan) tidak dimasukkan dalam penghitungan DMFT

(36)

Tabel 2.1 Kode Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO

Kode

Gigi Gigi

Sulung Permanen Kondisi/ Status Mahkota Mahkota Akar

Gigi Gigi Gigi cekat atau gigi yang mengalami hipoplasia

enamel yang berat

(Sumber : Oral Health Basic Surveys, 1997)

2.1.6.3 Indeks Significant Caries (SiC Index)

Indeks SiC baru diperkenalkan sekitar tahun 2000. Brathall mengusulkan

indeks SiC digunakan sebagai standar pengukuran statistik epidemiologis yang lebih

ditekankan pada individu yang mempunyai angka karies yang tinggi pada suatu

populasi.

Indeks SiC mudah dihitung, skor SiC diperoleh dari rerata DMFT pada

sepertiga populasi yang mempunyai skor karies paling tinggi. Untuk menghitung

(37)

20

1) Mengurutkan individu sesuai dengan skor DMFTnya

2) Memilih sepertiga dari populasi dengan skor karies paling tinggi dan

3) Menghitung DMFT untuk kelompok studi (Pintauli dan Hamada, 2008).

2.2 Tunarungu

2.2.1 Definisi Tunarungu

Istilah tunarungu secara etimologi dari kata tuna dan rungu, tuna artinya

kurang dan rungu artinya pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang memiliki

hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya

memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara

(Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).

Menurut WHO ketulian (deafness) merupakan kehilangan kemampuan untuk

mendengar secara total pada satu atau dua telinga. Sedangkan tunarungu (hearing

impairment) mengacu pada kehilangan kemampuan mendengarkan baik sebagian

ataupun seluruhnya (WHO, 2010).

Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak yang

bisa mendengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa

(38)

2.2.2 Klasifikasi Tunarungu

2.2.2.1Berdasarkan tingkatan kehilangan pendengaran

1. Ringan (mild)

1) Tingkat kehilangan pendengaran antara 27 hingga 40 dB.

2) Memahami percakapan.

3) Mengalami kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang pelan dan jauh.

4) Memerlukan terapi berbicara.

2. Sedang (moderate)

1) Tingkat kehilangan pendengaran antara 41 hingga 55 dB.

2) Dapat mendengar bunyi pada jarak 1 hingga 1,5 meter darinya.

3) Memahami percakapan.

4) Sulit untuk mengikuti percakapan dalam kelas.

5) Memerlukan alat bantu dengar.

6) Memerlukan terapi berbicara.

3. Menengah Serius (moderate-severe)

1) Tahap kehilangan pendengaran antara 56 hingga 70 dB.

2) Memerlukan alat bantu dengar dan latihan pendengaran.

3) Memerlukan latihan penuturan dan komunikasi.

4) Orang yang ingin berbicara dengan mereka harus berbicara dengan keras.

4. Berat (severe)

(39)

22

2) Dapat mendengar bunyi yang keras pada jarak antara 0 hingga 30,5 cm

darinya.

3) Mungkin hanya dapat membedakan sebagian dari bunyi saja.

4) Memiliki masalah dalam berbicara.

5) Membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar dan latihan berbicara dan

komunikasi.

5. Sangat Berat (profound)

1) Tingkat kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB.

2) Sulit untuk mendengar bunyi, walaupun keras.

3) Memerlukan alat bantu pendengaran dan terapi berbicara (Muhammad, 2008).

2.2.2.2Berdasarkan Saat Terjadinya Kehilangan Pendengaran

1. Tunarungu Bawaan

1) Sakit semasa hamil terutama oleh virus seperti rubella, demam glandular, dan

salesma.

2) Semasa hamil sang ibu mengonsumsi obat ataupun bahan kimia seperti kuanin

dan streptomycin.

3) Sang ibu menderita toksemia pada masa akhir kehamilan.

4) Sering hamil.

2. Tunarungu Setelah Lahir

1) Anak mengidap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus seperti

(40)

2) Kecelakaan yang mencederai bagian telinga.

3) Menangkap bunyi yang terlalu keras dalam jangka waktu lama (Muhammad,

2008).

2.2.2.3Berdasarkan Tempat Kerusakan Pendengaran

1. Kehilangan pendengaran konduktif atau bagian penerimaan.

Kecacatan ini terjadi akibat dari kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah,

yang mengurangi intensitas bunyi yang sampai ke telinga dalam. Bunyi yang

masuk melalui saluran auditoris ke gendang telinga akan menyebabkan tiga

tulang kecil dalam telinga tengah bergetar dan mengantar bunyi ke telinga dalam

mungkin terganggu akibat kotoran telinga atau penyebab lainnya. Gendang

telinga yang pecah, luka atau berlubang juga menghalangi bergetarnya tiga tulang

kecil yang menyebabkan terjadinya ketulian. Ketulian jenis ini dapat dibantu

dengan alat bantu pendengaran.

2. Kehilangan pendengaran sensoris-neural atau bagian penangkap bunyi.

Kecacatan ini terjadi akibat kerusakan pada telinga dalam atau saraf auditoris

yang membawa impuls ke otak. Kehilangan pendengaran pada jenis ini tak dapat

(41)

24

2.2.2.4Berdasarkan Taraf Penguasaan Bahasa

1. Tuli Prabahasa

Anak-anak yang kehilangan pendengarannya sebelum berbicara dan berbahasa,

yang menyebabkan masalah dalam pembelajaran.

2. Tuli Purnabahasa

Kehilangan pendengaran setelah dapat berbicara dan berbahasa (Muhammad,

2008).

Diagram 2.2 Klasifikasi Ketunarunguan (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010)

2.2.3 Karakteristik Tunarungu Dalam Aspek Sosial Emosional

Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan Yuwati (2000)

mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu

(42)

1. Sifat egosentris yang lebih besar dari pada anak mendengar. Sifat ini membuat

mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta

kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain.

2. Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan

yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul

akibat perbuatannya.

3. Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia

dan tugas-tugas dalam kesehariannya.

4. Sifat lekas marah dan mudah tersinggung.

5. Perasaan ragu-ragu dan khawatir (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).

2.2.4 Karakteristik Dalam Aspek Fisik dan Kesehatan

Pada umumnya aspek fisik anak tunarungu tidak banyak mengalami

hambatan. Namun pada sebagian tunarungu ada yang mengalami gangguan

keseimbangan sehingga cara berjalannya kaku dan agak membungkuk.

Gerakan mata anak tunarungu lebih cepat, hal ini memnunjukkan bahwa ia

ingin menangkap atau mengetahui keadaan lingkungan sekitarnya. Gerakan

tangannya sangat lincah, hal tersebut tampak ketika ia mengadakan komunikasi

dengan menggunakan bahasa isyarat dengan sesama tunarungu. Pernapasannya

pendek karena tidak terlatih melalui kegiatan berbicara.

Dalam aspek kesehatan, secara umum tampaknya sama dengan anak lain

(43)

26

anak tunarungu penting untuk memeriksakan kesehatan telinganya secara periodik

agar terhindar dari hal-hal yang dapat memperburuk ketunarunguannya (Iskandar,

2010).

2.2.5 Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa

Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan mendengar, tentunya

akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi

penderitanya. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada

ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa(Uden, 1977 dan Meadow, 1980

dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan

orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak

berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan

adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam

Nugroho, 2004).

Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu

bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa

dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam

bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut

daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa

akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis (Kementrian Pendidikan

(44)

2.3 Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung

2.3.1 Visi dan Misi

2.3.1.1 Visi

SLB B Negeri Cicendo Bandung sebagai sekolah unggulan dalam

menghasilkan peserta didik yang kompeten berkomunikasi memiliki kecakapan

hidup, peduli terhadap lingkungan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2.3.1.2 Misi

1. Memfasilitasi berbagai program dan jalur pendidikan yang sesuai dengan

perkembangan dunia pendidikan.

2. Menjadi lembaga yang memiliki fasilitas memadai untuk menyelenggarakan

pendidikan.

3. Memiliki tenaga pendidik dan kependidikan yang kompeten dan professional.

4. Menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan

menyenangkan.

5. Melaksanakan pembelajaran yang berbasis pada komunikasi total.

6. Mempersiapkan peserta didik yang terampil berkomunikasi dan memiliki

berbagai keterampilan vokasional.

7. Menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif, nyaman dan tertib.

(45)

28

2.3.2 Sarana dan Prasarana SLB B Negeri Cicendo Bandung

Sebagaimana sekolah lainnya yang memiliki sarana dan prasaran, begitupun

SLB B Negeri Cicendo Bandung memiliki sarana dan prasarana yang menunjang

kegiatan belajar mengajar.

2.3.3 Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Data siswa yang bersekolah di SLB B Negeri Cicendo Bandung sebagai

berikut:

Tabel 2.2 Jumlah Siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung

No. Jenjang Jenis Kelamin Jumlah

Tingkatan sekolah di SLB B Cicendo Bandung ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. TKLB/ TKKh: Tunarungu Tingkat Rendah ditekankan pada pengembangan

kemampuan senso-motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya

(46)

2. SDLB/ SDKh: Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan

sensomotorik, keterampilan berkomunikasi, kemudian pengembangan kemampuan

dasar di bidang akademik dan keterampilan sosial.

3. SLTPLB/ SMPKh: Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan

berkomunikasi dan keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan

keterampilan mengaplikasikan kemampuan dasar di bidang akademik dalam

pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan keterampilan sosial dan

dasar-dasar keterampilan vokasional.

4. SMALB/ SMAKh: Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan

berkomunikasi, keterampilan menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik

yang mengerucut pada pengembangan kemampuan vokasional yang berguna

sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup kemungkinan

mempersiapkan siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih

(47)

30 BAB III

METODE PENELITIAN

1.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survei. Survei

deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau

menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

1.2 Populasi dan Sampel

2. Berada di tempat saat penelitian.

Berdasarkan kriteria populasi di atas, maka sampel diambil secara total sampling.

Jumlah seluruh siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 114 siswa.

Siswa yang masuk ke dalam kritera populasi sejumlah 89 siswa, terdiri dari siswa

TKLB berjumlah 27 orang, SDLB berjumlah 39 orang, SMPLB berjumlah 11 orang,

(48)

3.3 Variabel Penelitian 1. def-t

2. DMF-T

3.4 Definisi Operasional Variabel 1. def-t

def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies dengan menghitung:

d (decayed) yaitu gigi sulung yang mengalami karies. Karies yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ketika sonde tersangkut pada pit dan fissure permukaan buccal, oklusal dan lingual. Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dan gigi dengan tumpatan sementara juga termasuk dalam kategori ini. e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies yang besar pada gigi sulung dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan.

f (filled) yaitu gigi sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya karies sekunder.

2. DMF-T

(49)

32

D (decayed) yaitu semua gigi tetap yang mengalami karies. Karies yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ketika sonde tersangkut pada pit dan fissure permukaan buccal, oklusal dan lingual. Karies sekunder yang terjadi pada gigi tetap dengan tumpatan permanen dan gigi dengan tumpatan sementara juga termasuk kategori ini. M (missing) yaitu semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori missing, tetapi gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan ortodonti, dan pencabutan normal selama pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam kategori ini.

F (filled) yaitu semua gigi dengan tumpatan permanen dan gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar juga dimasukkan dalam kategori ini.

WHO memberikan kategori dalam perhitungan DMF-T dan def-t berupa derajat interval

sebagai berikut (Pine and Harris, 2007) :

1. Sangat rendah : 0,0 – 1,1

2. Rendah : 1,2 – 2,6

3. Moderat : 2,7 – 4,4

4. Tinggi : 4,5 – 6,5

(50)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara memeriksa langsung keadaan mulut objek penelitian, untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.

3.6 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Baki

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Alkohol 70%

2. Kapas

3.7 Analisis dan Penyajian Data

(51)

34

Analisis univariat biasa juga disebut analisis deskriptif atau statistik deskriptif yang bertujuan menggambarkan kondisi fenomena yang dikaji (Cahyono, 2007).

Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Alat statistik yang digunakan adalah rata-rata dan persentase.

3.8 Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

1. Objek penelitian diminta untuk mengisi informed consent yang dibimbing oleh guru atau peneliti.

2. Peneliti mencatat identitas objek penelitian selengkapnya dalam formulir status. 3. Objek penelitian duduk pada kursi dan diinstruksikan untuk membuka mulut. 4. Dilakukan pemeriksaan def-t pada gigi sulung dan pemeriksaan DMF-T pada gigi

(52)

35

4.1 Karakteristik Responden

Hasil penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di

SLB B Negeri Cicendo Bandung, dilakukan pada 89 siswa yang terdiri dari siswa

TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret dan

April 2011.

Objek penelitian berusia 4 sampai 20 tahun, terdiri dari 49 siswa laki-laki dan

40 siswa perempuan. Jumlah objek penelitian pada siswa TKLB adalah 27 orang

(30%) dengan rentang usia 5 sampai 11 tahun, siswa SDLB adalah 39 orang (44%)

dengan rentang usia 8 sampai 14 tahun, siswa SMPLB 11 orang (12%) dengan

rentang usia12 sampai 18 tahun, siswa SMALB 12 orang (14%) dengan rentang usia

17 sampai 20 tahun. Data diperoleh dari hasil pemeriksaan klinis. Data yang

diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Dalam melakukan pemeriksaan

klinis, seluruh objek penelitian dapat bekerja sama dengan sangat baik. Hal tersebut

tidak terlepas dari bantuan guru-guru di SLB B Negeri Cicendo Bandung yang

(53)

36

Tabel 4.1 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Tingkat Jumlah

penelitian lebih banyak siswa laki-laki daripada siswa perempuan.

(54)

4.2 Hasil Penelitian

Data yang diperoleh disusun secara lengkap dan sistematis, kemudian

dilakukan analisis untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu

di SLB B Negeri Cicendo Bandung.

Tabel 4.2 Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Komponen Jenis Kelamin Jumlah

L P

(decayed) lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan dibandingkan siswa laki-laki.

Sedangkan gigi yang diindikasikan untuk dilakukan pencabutan (indicated for

extraction) lebih banyak dimiliki oleh siswa laki-laki dibandingkan siswa

perempuan. Pada siswa TKLB tidak ada gigi sulung yang ditambal (filled). Secara

keseluruhan jumlah def-t pada siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki.

Indeks def-t pada siswa TKLB di SLB B Cicendo adalah 6,11, berdasarkan kriteria

(55)

38

Tabel 4.3 Data DMF-T Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Komponen Jenis Kelamin Jumlah

L P

lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan daripada siswa laki-laki. Tidak ada gigi

permanen karies yang ditambal dan dicabut. Secara keseluruhan jumlah DMF-T pada

siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki. Indeks DMF-T pada siswa

TKLB di SLB B Cicendo adalah 0,70, berdasarkan kriteria WHO, termasuk kategori

rendah.

Tabel 4.4 Data def-t Pada Siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Komponen Jenis Kelamin Jumlah

L P

sulung yang karies lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan, sedangkan gigi yang

(56)

Tidak ada gigi sulung karies yang ditambal. Secara keseluruhan jumlah gigi def-t

pada siswa perempuan lebih besar dibandingkan pada siswa laki-laki. Indeks def-t

pada siswa SDLB di SLB B Cicendo adalah 2,72, berdasarkan kriteria WHO

termasuk kategori sedang.

Tabel 4.5 Data DMF-T pada siswa SDLB di SLB Negeri Cicendo Bandung

Komponen Jenis Kelamin Jumlah

L P

Indeks DMF-T pada siswa SDLB di SLB B Cicendo adalah 1,69, berdasarkan kriteria

WHO, termasuk kategori sedang.

Tabel 4.6 Data DMF-T Pada Siswa SMPLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Komponen Jenis Kelamin Jumlah

L P

D 17 13 30

M 0 0 0

F 0 0 0

(57)

40

Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pada siswa SMPLB, jumlah gigi yang

karies lebih besar pada siswa laki-laki daripada perempuan. Tidak ada gigi karies

yang ditambal dan tidak ada gigi karies yang dicabut. Indeks DMF-T pada siswa

SMPLB di SLB B Cicendo adalah 3,27, berdasarkan kriteria WHO, termasuk

kategori sedang.

Tabel 4.7 Data DMF-T Pada Siswa SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung

Komponen Jenis Kelamin Jumlah

L P

D 32 34 66

M 0 0 0

F 3 0 3

Total 35 34 69

Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa seperti halnya pada siswa SMPLB, jumlah

gigi yang karies pada siswa laki-laki di SMALB lebih besar daripada siswa

perempuan. Tidak ada gigi yang dicabut karena karies dan terdapat tiga gigi yang

ditambal yaitu pada salah seorang siswa laki-laki. Indeks DMF-T pada siswa SMALB

(58)

Tabel 4.8 Indeks def-t dan DMF-T Pada Siswa SLB B Negeri Cicendo Bandung

Tingkat Indeks Jumlah Total

Pendidikan def-t DMF-T def-t DMF-T

Dari tabel 4.9 dapat dilihat bahwa indeks def-t dan indeks DMF-T pada siswa

(59)

42

Secara keseluruhan, nilai indeks def-t dan indeks DMF-T pada siswa di SLB

B Negeri Cicendo Bandung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.10 Indeks def-t dan DMF-T pada siswa SLB B Negeri Cicendo

Indeks

def-t DMF-T

SLB B Cicendo 3,04 2,13

Indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah

3,04. Indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Cicendo tergolong sedang,

berdasarkan standar karies menurut WHO. Sedangkan indeks DMF-T adalah 2,13.

Indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung tergolong

rendah berdasarkan standar karies menurut WHO.

4.3. Pembahasan

Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB

B Negeri Cicendo Bandung adalah 3,04, dan indeks DMF-T adalah 2,13. Berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Rao, et al pada anak cacat fisik dan mental

pada tahun 2001 di Karnataka India, yang menunjukkan bahwa indeks def-t pada

anak tunarungu adalah 2,26, dan indeks DMF-T adalah 2,48. Perbedaan ini dapat

disebabkan diantaranya karena perbedaan pengetahuan mengenai kesehatan gigi,

tingkat sosial ekonomi, fasilitas kesehatan yang tersedia dan juga biaya kesehatan.

(60)

anak-anak yang mengalami cacat fisik usia 5-15 tahun di Davangere India menunjukkan

bahwa indeks def-t pada anak tunarungu adalah 0,36, dan indeks DMF-T adalah 0,87.

Perbedaan tersebut yang utama disebabkan oleh pola makan, yaitu karena sebagian

anak tunarungu di Davangere India merupakan anak vegetarian.

Indeks DMF-T pada siswa SMALB paling tinggi dibandingkan siswa TKLB,

SDLB dan SMPLB yaitu sebesar 5,75, berdasarkan standar WHO indeks DMF-T di

SMALB Cicendo tergolong tinggi. Objek penelitian di SMALB berusia 17 sampai 20

tahun. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Pintauli dan Hamada pada tahun 2008

yang menyatakan bahwa menurut penelitian epidemiologis terjadi peningkatan

prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya usia. Burt dan Eklund juga

menyatakan hal yang sama bahwa rata-rata skor DMF-T meningkat, sejalan dengan

bertambahnya usia.

Hasil penelitian indeks def-t dan DMF-T di SLB B Negeri Cicendo Bandung,

terdapat perbedaan indeks def-t dan DMF-T pada laki-laki dan perempuan. Indeks

def-t dan indeks DMF-T pada siswa perempuan di SLB B Negeri Cicendo Bandung

lebih tinggi daripada siswa laki-laki. Menurut Pintauli dan Hamada, jenis kelamin

merupakan salah satu faktor terjadinya karies. Jenis kelamin merupakan salah satu

faktor demografi, karena adanya perbedaan budaya, di antaranya adalah perbedaan

kebiasaan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Selama masa

kanak-kanak dan remaja, wanita menunjukkan nilai DMF-T yang lebih tinggi

daripada pria. Menurut Burt dan Eklund, ketika dilakukan penelitian pada anak-anak,

(61)

44

laki-laki. Sedangkan pada orang dewasa perbedaan ini mungkin disebabkan karena

perawatan terhadap gigi yang karies. Laki-laki lebih banyak memiliki gigi karies

yang tidak ditambal daripada perempuan, sedangkan perempuan lebih banyak

memiliki restorasi pada giginya.

Dari hasil penelitian di SLB B Negeri Cicendo Bandung menunjukkan bahwa

dari 89 siswa, hanya 6 siswa yang bebas karies. Sama halnya dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hannah Ayukawa, et al pada tahun 2007 mengenai kesehatan gigi

pada orang tunarungu di Nunavik, Canada, bahwa anak tunarungu memiliki

kesehatan gigi yang buruk. Anak yang bebas karies pada usia 6 tahun sebesar 2,9%,

usia 12 tahun sebesar 6,7%, dan usia 16 tahun sebesar 0,7%. Hasil penelitian pada

siswa tunarungu di SLB B Cicendo sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hannah Ayukawa, et al di Nunavik Canada, bahwa hampir semua siswa tunarungu

memiliki gigi yang karies.

Pada tabel 4.2 sampai 4.7 dapat dilihat bahwa rata-rata gigi yang karies pada

siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki. Hal yang sama juga

dikemukakan oleh Ferraro dan Vieira, bahwa rata-rata karies pada perempuan lebih

besar daripada laki-laki. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan komposisi

dan laju aliran saliva, hormon, kebiasaan makan, variasi genetik, dan peran sosial

dalam masyarakat.

Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 4.2 sampai 4.7 diketahui bahwa

jumlah gigi yang karies paling besar pada gigi sulung dan pada gigi permanen

(62)

ditambal. Pada gigi sulung tidak ada gigi karies yang ditambal dan pada gigi

permanen hanya satu orang yang ditemukan ada gigi yang ditambal. Hal ini

menunjukkan bahwa masih kurangnya perhatian orang tua siswa tunarungu di SLB B

Cicendo untuk membawa anaknya berobat ke dokter gigi. Mereka juga masih kurang

mengetahui tentang kesehatan gigi dan mulutnya, karena tidak adanya program

UKGS di sekolah dan juga karena jarang diadakan penyuluhan mengenai kesehatan

gigi dan mulut.

Penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T juga pernah dilakukan di SLB B

Cicendo Bandung oleh Tati Hartati pada tahun 1989, dan diperoleh hasil bahwa

indeks def-t sebesar 1,4 dan indeks DMF-T sebesar 2,86. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh penulis pada tahun 2011 menunjukkan bahwa indeks def-t di SLB B

Negeri Cicendo Bandung adalah 3,23 dan indeks DMF-T adalah 2,03. Indeks def-t di

masa sekarang lebih tinggi daripada indeks def-t pada tahun 1989. Peningkatan

indeks def-t ini disebabkan karena lebih beragamnya makanan yang dikonsumsi oleh

siswa anak-anak, sehingga indeks def-t mereka pada tahun 2011 lebih tinggi daripada

indeks def-t pada tahun 1989. Sedangkan indeks DMF-T di masa sekarang lebih

rendah daripada tahun 1989, sehingga menunjukkan bahwa tingkat kesehatan gigi dan

mulut mereka meningkat. Peningkatan kesehatan gigi dan mulut ini disebabkan

karena sudah semakin banyak informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut yang

dapat diperoleh, seperti penyuluhan, dan juga informasi melaui media cetak dan

(63)

46 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa

tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Cicendo termasuk kategori sedang.

2. Indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Cicendo termasuk kategori

rendah.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diajukan saran:

1. Perlu diadakan program pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada siswa

tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung. Salah satu program yang dapat

diselenggarakan berupa penyuluhan dari tenaga kesehatan. Selain itu juga perlu

diadakan program UKGS untuk membantu meningkatkan kesehatan gigi dan

mulut.

2. Perlu adanya dukungan dan perhatian khusus dari tenaga kesehatan (dokter gigi

dan perawat gigi), terhadap siswa yang mengalami kecacatan khususnya

tunarungu, sehingga dapat meningkatkan kesehatan gigi dan mulut pada siswa

(64)

3. Perlunya peran orang tua dalam memperhatikan kesehatan gigi dan mulut

anak-anaknya, terutama pada anak yang mengalami keterbatasan, seperti halnya pada

anak tuna rungu.

4. Perlu adanya kerja sama dan koordinasi dari instansi-instansi terkait agar dapat

meningkatkan kesehatan gigi dan mulut siswa penyandang cacat, khusunya

tunarungu.

5. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesehatan gigi dan mulut

(65)

48

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2010. Oral Health Fact Sheet for Dental Professionals. Children with Hearing Impairment. Washington. University of Washington and Washington

State Oral Health Program. Available at.

www.thecentreforpediatricdentistry.com (diakses 26 Februari 2011).

Ayukawa, H., et al. 2007. Hearing Loss and Dental Health. Institut Natonal de Sante

Publique. Available at.

www.inspq.qc.ca/pdf/publications/659_esi_hearing_loss.pdf. (diakses 26 Februari 2011).

Burt, B.A., and S. A Eklund. 2005. Dentistry, Dental Practice and The Community. 6th ed. Philadelphia. Saunders Company. p 194-195, 239-243.

Cahyono, T. 2007. Analisis Univariat (Aplikasi Statistik Deskriptif). Terdapat di. www.scribd.com/doc/19374558/Statistik-Deskriptif (diakses 20 Februari 2011).

Cameron, A., and Richard. W . 2008. Handbook of Pediatric Dentistry. Toronto. Mosby. p 39-44.

Dentosca. 2011. Proses Karies Gigi. Terdapat di

http://dentosca.wordpress.com/2011/04/14/karies-gigi-pada-anak/ (diakses 5 Juni 2011).

Fejerskov, O. and Edwina. A. M. Kidd. 2003. Dental Caries. The Disease and Its Clinical Management. Denmark. Narayana Press.

Ferraro, M., and Alexander. R. V. 2009. Explaining Gender Differences in Caries: A Multifaktorial Approach to a Multifaktorial Disease. International Journal of Dentistry Volume 2010, Artikel ID 649643, 5 pages doi: 10.1155/2010/649643. Available at www.hindawi.com (diakses 18 Juni 2011).

Fox, P. C. 2008. Xerostomia Recognition and Management. Available at http://www.adha.org/downloads/Acc0208Supplement.pdf. (diakses 20 Juni 2011).

(66)

Hiremath, S. S. 2007. Textbook of Preventive and Community Dentistry. New Delhi: Elsevier. p 300.

Iskandar, Y. 2010. Karakteristik Anak Tunanetra. Bogor. Terdapat di

http://www.scribd.com/doc/28796873/KARAKTERISTIK-ANAK-TUNANETRA (diakses 3 maret 2011).

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.

Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Program Khusus SLB Tunarungu. Jakarta:

Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan. h 6-8, 10-13.

Kote, S. 2005. Prevalence of Dental Caries and Oral Hygiene in Physically

Handicapped Children Attending Various Special Schools Of Davangere District. Rajiv Gandhi University of Health Sciences, Karnataka, Bangalore.

Available at

www.bibliomaster.com/detalles/.../prevalence%20of%20dental%20caries%20 and%20oral%20hygie. (diakses 24 Februari 2011)

Maulani, C. 2005. Kiat Merawat Gigi Anak. Jakarta: PT Elex media. Hal 59-60

Mishra, R. 2010. Dental indices used in pedodontics. Available at

http://www.docstoc.com/docs/25098629/Dental-indices-used-in pedodontics (diakses 18 februari 2011)

Mount, G. J., and W. R. Hume. 1998. A New Cavity Classification. Australian

Dental Journal 1998;43:(3):153-9. Available at

www.ada.org.au/App_CmsLib/.../M28930_v1_632973884475441250.pdf (diakses 21 Juli 201)

Muhammad, J. K.A. 2008. Special Education for Special Children. Jakarta: Mizan

Media Utama. Hal. 55-67

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineke Cipta

Pine, C and Rebecca. H. 2007. Community Oral Health. Berlin: Quintessemce Publishing Co. Ltd. p. 165-167

(67)

50

Pintauli, S., dan Taizo. H. 2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat: pencegahan dan

pemeliharaan. Medan. USU Press. h 12-14

Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung. 2010

Rao, D. B., et al. 2001. Caries Prevalence amongst handicapped children of South Canara district, Karnataka. J Indian Soc Pedo Prev Dent 2001; 19:2:67-73.

Samaranayake, L. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. Hongkong: Elsevier.

p 267

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Wellburry, R., et al. 2005. Pediatric Dentistry. New York: Oxford University Press

Inc. p 109-110

WHO. 2010. Deafness and Hearing Impairment. Available at.

(68)

51

D (decayed) gigi permenen yang karies

def-s decayed, indicated for extraction, filled surface

def-t decayed, indicated for extraction, filled teeth

df decayed, filled teeth

DMF-S decayed, missing, filled surface

DMF-T decayed, missing, filled teeth

e (indicated for extraction) gigi sulung yang karies besar dan diindikasikan untuk

dicabut

f (filled) gigi sulung yang ditambal

F (filled) gigi permanen yang ditambal

GERKATIN Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia

M (missing) gigi yang dicabut karena karies

UU Undang-Undang

pH derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan

tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh

suatu larutan

SLB Sekolah Luar Biasa

(69)

52

RIWAYAT AKADEMIK PENULIS

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Agustus 1989

Tahun 1994-2000, penulis mengikuti pendidikan di SDN Cibiru X

Tahun 2000-2003, penulis mengikuti pendidikan di SMPN 8 Bandung

Tahun 2003-2006, penulis mengikuti pendidikan di SMAN 24 Bandung

Tahun 2007-sekarang, penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi

(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)

58 Lampiran 6

Surat Persetujuan Penelitian

(Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dan risiko penelitian tersebut di bawah ini yang berjudul:

“Indeks DMF-T dan def-t Pada Siswa Tunarungu di SLB B Cicendo Bandung”

Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut di atas sebagai subjek penelitian, dengan catatan apabila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini.

Atas perhatian dan partisipasi saudara, saya ucapkan terima kasih

Bandung, Maret 2011

Peneliti Yang menyetujui

Nuni Prastika (………)

(76)

59

M= missing e= indicated for extraction

(77)
(78)
(79)
(80)

Gambar

Gambar 2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Karies (Dentosca, 2010)
Tabel 2.2 Jumlah Siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Tabel 4.1  Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Tabel 4.2  Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
+5

Referensi

Dokumen terkait

Masalalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas

RIWAYAT HIDUP.. PERANAN ORANG TUA DALAM MENGARAHKAN BAKAT ANAK TUNARUNGU JENJANG SDLB DI SLB NEGERI CICENDO BANDUNG. Penelitian ini mengkaji peranan orang tua dalam

Permasalahan yang akan diungkap dalam penelitian ini yaitu perencanaan program pembelajaran membuat batik cap pada peserta didik tunarungu, pelaksanaan program

Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah tertuju kepada ”Bagaimana pelaksanaan pembelajaran keterampilan tataboga membuat brownies kukus bagi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa indeks DMF-T ibu hamil diwilayah kerja puskesmas Oesapa Kota Kupang sebagian besar berkaries dan

Melalui pantomim mereka mampu mengekspresikan dirinya, karena tidak semua orang-orang normal dapat mengerti arti pesan yang ingin disampaikan oleh anak tunarungu

Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan bagi peneliti, dokter gigi dan guru Sekolah Dasar mengenai hubungan antara pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dengan indeks DMF-T pada

Kuratif terbatas Melakukan fissure sealant, penumpatan dengan bahan GI 2 Angka DMF-T yang menunjukkan adanya gigi permanen yang telah terkena karies gigi yaitu 0,8 Input: Sering