INDEKS def-tDAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universita Padjadjaran
NUNI PRASTIKA ATMANDA 160110070047
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
SKRIPSI
NUNI PRASTIKA ATMANDA 160110070047
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
JUDUL : INDEKS def-t DAN DMF-T PADA SISWA TUNARUNGU DI SLB B NEGERI CICENDO BANDUNG
PENYUSUN : NUNI PRASTIKA ATMANDA
NPM : 160110070047
Bandung, Juni 2011 Menyetujui :
Pembimbing Utama
Dra. Cucu Zubaedah, M. Kes NIP. 19621205 198910 2 001
Pembimbing Pendamping
"
(
iv
Indeks def-t dan DMF-T pada Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung- Nuni Prastika Atmanda- 160110070047
ABSTRAK
Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam berbicara, sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Sebagian besar penderita cacat tunarungu mepunyai kebersihan mulut yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Populasi yang diteliti adalah siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung sebanyak 89 siswa. Sampel diambil dengan teknik total sampling. Data hasil penelitian dikategorikan berdasarkan kategori karies menurut WHO.
Hasil penelitian menunjukkan indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 3,04 dan indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 2,13.
Simpulan dari penelitian adalah indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung termasuk kategori sedang dan indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung termasuk kategori rendah.
v
Children with hearing impairment are children who have complete or partial loss of the ability to hear, and they usually have problem in speaking. Oral hygiene in most of people with physical and mental disability are worse than in normal people. The goal of this research is to get the information about def-t and DMF-T index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung.
The study is descriptive with survey method. Population inspected were 89 students with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung. Sample was taken by total sampling technique. The result from this study categorized based on WHO caries category.
The study showed that def-t index in student with hearing impairment in SLB B Cicendo Bandung was 3.04 and index DMF-T was 2.13.
The conclusion of this study is def-t index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung is categorized moderate and DMF-T index in student with hearing impairment in SLB B Negeri Cicendo Bandung is categorized low.
vi
Kata Pengantar
Puji dan syukur kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Indeks DMF-T dan def-t pada Siswa Tunarungu di SLB B Cicendo Bandung” dalam melengkapi tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan program Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Eky. S. Soeria Soemantri, drg., Sp. Ortho, selaku dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.
2. Dra. Cucu Zubaedah, M. Kes sebagai dosen pembimbing utama yang telah meluangkan waktu, membimbing dan mengarahkan penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Drg. Riana Wardani, M. S sebagai dosen pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar, staf akademik, dan staf perpustakaan FKG Unpad yang telah banyak membantu penulis selama berkuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padajadjaran.
6. Kepala sekolah dan guru-guru SLB B Negeri Cicendo Bandung yang telah bersedia dan membantu penulis hingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
7. Sahabat-sahabatku Fatimah, Diana, Indri, Dica, Uchi, Dina (partner skripsiku), kelompok klinik VI A, serta rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran angkatan 2007, yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
8. Mamah, Bapak, Nenek, Ega dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa selama pendidikan.
9. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.
Akhir kata, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang kedokteran gigi khususnya dan masyarakat pada umumnya.
viii
1.4 Kegunaan Penelitian... 4
1.5 Kerangka Pemikiran ... 4
1.6 Metode Penelitian... 6
ix
2.1.2 Klasifikasi Karies ... 8
2.1.3 Gambaran Klinis Karies ... 10
2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Karies Gigi ... 11
2.1.4.1Faktor Agen atau Mikroorganisme ... 11
2.1.4.2Substrat ... 12
2.1.4.3Faktor Tuan Rumah... 13
2.1.4.4Waktu ... 13
2.1.5 Proses Terjadinya Karies... 14
2.1.6 Pengukuran Karies Gigi ... 16
2.1.6.1 Indeks DMF ... 16
2.1.6.2 Indeks Tooth Caries – WHO ... 18
2.1.6.3 Indeks Significant Caries (SiC Index) ... 19
2.2 Tunarungu ... 20
2.2.1 Definisi Tunarungu ... 20
2.2.2 Klasifikasi Tunarungu ... 21
2.2.2.1 Berdasarkan Tingkat Kehilangan Pendengaran ... 21
2.2.2.2 Berdasarkan Saat Terjadinya Kehilangan Pendengaran ... 22
2.2.2.3 Berdasarkan Tempat Kerusakan Pendengaran ... 23
x
2.2.3 Karakteristik Tunarungu dalam Aspek Sosial Emosional . 24
2.2.4 Karakteristik dalam Aspek Fisik dan Kesehatan ... 25
2.2.5 Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa 26
2.3 Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 27
2.3.1 Visi dan Misi ... 27
2.3.1.1Visi ... 26
2.3.1.2Misi ... 27
2.3.2 Sarana dan Prasarana SLB B Negeri Cicendo Bandung .... 28
2.3.3 Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 28
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 30
3.2 Populasi dan Sampel ... 30
3.3 Variabel Penelitian ... 31
3.4 Definisi Operasional Variabel ... 31
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 33
3.6 Alat dan Bahan ... 33
3.7 Analisis dan Penyajian Data ... 33
3.8 Prosedur Penelitian... 34
xi BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1Simpulan ... 46
5.2Saran ... 46
DAFTAR PUSTAKA ... 48
GLOSARIUM ... 51
RIWAYAT AKADEMIK PENULIS ... 52
xii
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
2.1 Kode Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO ... 19
2.2 Jumlah Siswa di SLB B Cicendo Bandung ... 28
4.1 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan. ... 36
4.2 Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 37
4.3 Data DMF-T Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 38
4.4 Data def-t Pada Siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 38
4.5 Data DMF-T pada siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 39
4.6 Data DMF-T Pada Siswa SMPLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung... 39
4.7 Data DMF-T Pada Siswa SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung. . 40
4.8 Indeks def-t dan DMF-T Pada Siswa SLB B Negeri Cicendo Bandung. . 41
4.9 Indeks def-t dan DMF-T pada siswa laki-laki dan perempuan di SLB B Negeri Cicendo Bandung ... 41
xiii
xiv
DAFTAR DIAGRAM
No. Diagram Halaman
xv
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Surat Permohonan Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Gigi 53
2. Surat Pemberitahuan dari BPKBPM Kota Bandung 54
3. Surat Izin dari Dinas Pendidikan Kota Bandung 55
4. Surat Keterangan dari Dinas Kesehatan Kota Bandung 56
5. Surat Keterangan dari SLB Negeri Cicendo Bandung 57
6. Surat Persetujuan Penelitian 58
7. Formulir Pemeriksaan Gigi dan Mulut 59
1 1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan
pembangunan kesehatan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender,
nondiskriminatif serta norma-norma agama. Oleh sebab itu sudah sewajarnya bila
hasil dari pembangunan kesehatan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia, sehingga terdapat peningkatan kesejahteraan lahir maupun batin dan
peningkatan derajat kesehatan secara merata (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menyebutkan
bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk
menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomi dan bermartabat
(Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan
atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari
2
Orang yang memiliki masalah pendengaran selalu disalah tanggap dengan
seorang yang normal karena kecacatan mereka tidak terlihat, seperti pada mereka
yang memiliki masalah penglihatan dan cacat mental. Mereka juga kurang mendapat
simpati seperti halnya mereka yang mempunyai masalah penglihatan (Muhammad,
2008).
Tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan
mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang
mendengar. Orang tuli adalah orang yang kehilangan kemampuan mendengar
sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai
ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang
dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui
pendengaran (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010). Perilaku orang-orang yang
mengalami tunarungu dengan segala keterbatasan yang dimilikinya tentunya
memerlukan pelayanan kesehatan yang cukup memadai untuk menjaga kesehatan gigi
dan mulutnya.
Tunarungu adalah salah satu jenis cacat yang cukup banyak terdapat di
Indonesia. Berdasarkan data dari GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan
Tunarungu Indonesia) bahwa jumlah penyandang cacat adalah 6% dari jumlah
penduduk Indonesia dan sebanyak 2, 9 juta atau sekitar 1,25 % dari total keseluruhan
Dalam ilmu kedokteran gigi, perawatan penderita cacat disadari masih dalam
tahap awal, dan perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan kesehatan gigi dan
mulutnya. Sebagian besar individu penderita cacat mempunyai kebersihan mulut
yang lebih buruk dibandingkan dengan individu normal, yang disebabkan diet
makanan yang buruk dan kurangnya pemeliharaan di rumah, sehingga banyak gigi
yang rusak dan berlubang (Maulani, 2005).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa tertarik melakukan
suatu penelitian untuk mengetahui indeks def-t (decayed, indicated for extraction,
filled teeth) untuk gigi sulung, dan indeks DMF-T (decayed, missing, filled teeth)
untuk gigi tetap pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang pemilihan masalah tersebut, maka identifikasi
masalah adalah:
Berapa indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo
Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian untuk mengetahui data dan informasi mengenai status
kesehatan gigi dan mulut pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk medapatkan indeks def-t dan DMF-T pada
4
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan informasi mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa
tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
2. Untuk dapat dijadikan dasar bagi penelitian lebih lanjut bagi lembaga lainnya di
dalam upaya pembinaan kesehatan gigi dan mulut pada orang-orang cacat.
3. Membantu penulis dalam meningkatkan keterampilan melakukan penelitian dan
dalam menulis suatu karya ilmiah yang merupakan bagian dari tahapan persiapan
dalam pengabdian kepada masyarakat kelak.
1.5 Kerangka Pemikiran
Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009). Pelayanan
kesehatan juga mencakup pelayanan kesehatan pada penderita cacat.
Penderita cacat, yaitu penderita yang mengalami hambatan rohani dan atau
jasmani, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dalam menjalankan
fungsi sosialnya. Penderita cacat di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan
cacat netra, cacat tubuh, cacat mental, dan cacat rungu wicara (Maulani, 2005).
Anak tunarungu adalah anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran
baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya memiliki hambatan dalam
berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara (Kementrian Kesehatan RI,
memperoleh informasi, di antaranya informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut.
Selain itu juga mereka sulit untuk menyampaikan apa yang mereka pikirkan.
Orang yang tunarungu biasanya memiliki kebiasaan bernafas melalui mulut
(Anonimous, 2010). Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat menyebabkan
xerostomia. Xerostomia merupakan kekeringan pada mulut akibat disfungsi kelenjar
saliva. Mulut kering dapat meningkatkan terjadinya kerusakan gigi, karena
berkurangnya saliva merupakan faktor predisposisi pada penambahan insiden karies,
penyakit periodontal, dan infeksi oral, terutama kandidosis (Fox, 2008).
Status karies seseorang dapat diukur dengan indeks karies agar penilaian yang
diberikan pemeriksa sama atau seragam. Ada beberapa indeks karies yang biasa
digunakan seperti indeks DMF yang diperkenalkan oleh Klein H, Palmer CE,
Knutson JW dan indeks WHO, namun belakangan ini diperkenalkan indeks
Significant Caries (SiC) untuk melengkapi indeks WHO sebelumnya (Pintauli dan
Hamada, 2008).
Indeks DMF digunakan untuk mengukur pengalaman seseorang terhadap
karies gigi. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan pada gigi (DMF-T) dan
permukaan gigi (DMF-S). Sedangkan def-t dan def-s (decayed, indicated for
extraction, filled surface) digunakan untuk gigi sulung (Burt and Eklund, 2005).
Penelitian ini dilakukan pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo
Bandung dengan melihat keadaan giginya untuk melihat gigi yang karies, ditambal
dengan tambalan tetap, diindikasikan untuk dicabut pada gigi slulung atau dicabut
6
- Dalam pendengaran
- Dalam berbicara
- Bernafas melalui mulut
- Peningkatan Infeksi Periodontal
- Peningkatan terhadap risiko karies
Cacat tubuh Cacat rungu wicara Cacat mental
Kondisi Oral
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei.
1.7 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap siswa tunarungu dari TKLB, SDLB,
SMPLB dan SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung pada bulan Maret 2011 dan
8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karies Gigi
2.1.1 Definisi Karies
Karies berasal dari bahasa latin yaitu caries yang berarti pembusukan. Karies gigi merupakan suatu destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme (Pine and Harris, 2007).
Karies didefinisikan sebagai destruksi yang terlokalisir pada jaringan gigi karena fermentasi karbohidrat oleh bakteri (Samaranayake, 2006).
Karies adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang dimulai dengan demineralisasi komponen anorganik gigi, kemudian terjadi destruksi komponen organik, yang akan menyebabkan terbentuknya kavitas (Hiremath, 2007).
2.1.2 Klasifikasi Karies
Pada tahun 1908, GV Black mempublikasikan klasifikasi karies berdasarkan lokasinya pada gigi (Fejerskov and Kidd, 2003):
Kelas 1: lesi terletak pada pit dan fisur pada bagian gigi manapun.
Kelas 2: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi premolar dan molar.
Kelas 4: lesi terletak pada permukaan proksimal gigi incisivus dan caninus yang
memerlukan pembuangan dan restorasi pada sudut incisal.
Kelas 5: lesi terletak pada 1/3 gingival pada permukaan labial, buccal atau lingual.
Berdasarkan letak lesinya, lesi karies dibedakan menjadi (Samaranayake,
2006):
1. Karies pada pit dan fisur (terdapat pada gigi molar, premolar, dan permukaan
lingual gigi incisivus rahang atas).
2. Karies pada permukaan yang licin (terdapat pada permukaan aproximal, sedikit di
bawah titik kontak).
3. Karies pada permukaan akar (terdapat pada sementum atau dentin).
4. Karies rekuren (berhubungan dengan restorasi yang sudah ada).
G. J.Mount dan W. R. Hume memperkenalkan klasifikasi lesi karies yang
baru, yaitu berdasarkan letak (site) dan ukuran (size). Klasifikasi ini dirancang untuk
mempermudah identifikasi lesi dan untuk menjelaskan kompleksitas karena
perbesaran lesi.
Lesi karies berdasarkan letaknya dibedakan menjadi:
Site 1 : pit, fisur dan defek enamel pada bagian oklusal pada gigi posterior atau
permukaan halus lainnya seperti cingulum pada gigi anterior.
Site 2 : enamel pada bagian aproximal. Dalam hal ini, area yang berkontak dengan
gigi tetangga.
10
Karies dapat menjadi penyakit yang progresif,sehingga dapat dilihat ukuran
untuk restorasi dan perluasan lesinya. Oleh karena itu, lesi karies dapat dibedakan
menjadi 5 ukuran (size), yaitu :
Size 1 : kavitas permukaan yang minimal,sedikit melibatkan dentin yang mampu
memperbaiki diri dengan remineralisasi itu sendiri.
Size 2 : melibatkan dentin yang cukup banyak. Biasanya pada lesi ini, diperlukan preparasi kavitas menyisakan enamel dan didukung oleh dentin dengan cukup
baik dan masih mampu menahan beban oklusi yang normal. Struktur gigi
yang tersisa cukup kuat untuk mendukung restorasi.
Size 3 : lesi sudah cukup besar. Struktur gigi yang tersisa cukup lemah. Karies sudah melibatkan cusp atau permukaan incisal, atau sudah tidak mampu menahan
beban oklusi. Biasanya kavitas perlu diperbesar sehingga restorasi dapat
dibuat untuk mendukung struktur gigi yang tersisa.
Size 4 : karies yang luas atau hilangnya beberapa struktur gigi. Contoh, hilangnya
semua cusp gigi atau permukaan insisal (Mount and Hume, 1998).
2.1.3 Gambaran Klinis Karies Gigi
Lesi awal karies berupa lesi yang berbatas jelas, berwarna putih seperti kapur,
dan permukaan email tertembus. Lesi ini dapat sembuh atau mengalami
remineralisasi, dan oleh sebab itu pada tahap ini masih bersifat reversible. Meskipun
lesi tersebut tidak ditangani, kavitas akan meluas ke dentin dan dapat menyebabkan
kerusakan pulpa (Samaranayake, 2006).
2.1.4 Faktor –Faktor Penyebab Karies Gigi
Karies dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu adanya beberapa
faktor yang menjadi penyebab terbentuknya karies. Ada tiga faktor utama yang
memegang peranan yaitu faktor host atau tuan rumah, agen atau mikroorganisme,
substrat atau diet dan ditambah faktor waktu, yang digambarkan sebagai tiga
lingkaran yang bertumpang-tindih (Pintauli dan Hamada, 2008).
Gambar 2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Karies (Dentosca, 2010)
2.1.4.1 Faktor agen atau mikroorganisme
Bakteri kariogenik memiliki tiga sifat yang menyebabkannya berperan dalam
12
tersebut mampu memproduksi asam (acidogenic) dan bakteri dapat bertahan hidup
dan berfungsi di dalam lingkungan yang asam (aciduric) (Pinkham, 2005).
Streptococcus mutans (S. mutans dan S. sobrinus) merupakan kelompok utama bakteri yang terlibat dalam awal terjadinya demineralisasi email. Fermentasi
karbohidrat yang terus menerus menyebabkan pertumbuhan Streptococcus mutans yang cepat, dan meningkatnya produksi asam organik, peningkatan matriks
polisakarida ekstraseluler dan suatu perubahan relatif pada komponen mikroflora
yang dapat meningkatkan risiko karies gigi (Pinkham, 2005).
Setelah terbentuk lubang pada email, lactobacilli memegang peranan yang
sangat penting. Pada proses karies, saat pH pada plak mulai menurun di bawah level
kritis (sekitar 5,5), asam yang dihasilkan mulai menyebabkan demineralisasi email
(Cameron and Widmer, 2008).
2.1.4.2 Substrat
Faktor substrat atau diet dapat mempengaruhi pembentukan plak karena
membantu perkembangbiakan dan kolonisasi mikroorganisme yang ada pada
permukaan email (Pintauli dan Hamada, 2008).
Bakteri menggunakan hasil fermentasi karbohidrat untuk energi dan produk
akhir glikolisis pada metabolisme bakteri adalah asam. Sukrosa merupakan
2.1.4.3 Faktor Tuan Rumah
Dalam terjadinya proses karies, kualitas struktur gigi dan saliva merupakan
faktor tuan rumah utama yang perlu diperhatikan (Cameron and Widmer, 2008). Pit
dan fisur pada gigi posterior sangat rentan terhadap karies karena sisa-sisa makanan
mudah menumpuk di daerah tersebut terutama pit dan fisur yang dalam. Selain itu,
permukaan gigi yang kasar juga dapat menyebabkan plak mudah melekat dan
membantu perkembangan karies gigi. Email merupakan jaringan tubuh dengan
susunan kimia kompleks yang mengandung 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat,
fluor), air 1% dan bahan organik 2%. Kepadatan kristal email sangat menentukan
kelarutan email. Semakin banyak email mengandung mineral, maka kristal email
semakin padat dan email akan semakin resisten. Gigi susu lebih mudah terserang
karies daripada gigi tetap (Pintauli dan Hamada, 2008).
Pertahanan utama alami terhadap karies adalah saliva. Saliva tidak hanya
menghilangkan sisa makanan dan menetralkan asam yang dihasilkan oleh plak, tetapi
juga memiliki efek buffer terhadap pH pada saliva dan plak (Wellburry, 2005).
2.1.4.4 Waktu
Asam dapat menyebabkan hancurnya kristal email sehingga dapat
menyebabkan kerusakan pada permukaan email. Hal ini dapat terjadi beberapa bulan
sampai tahunan tergantung dari intensitas dan frekuensi konsumsi asam. Hal ini
menunjukkan bahwa di dalam mulut (karena mulut mengandung beberapa bakteri
14
itu seorang individu tidak pernah terbebas dari karies. Proses demineralisasi dan
remineralisasi email secara konstan merupakan suatu siklus antara hilangnya dan
diperolehnya mineral. Karies terjadi jika keseimbangan antara demineralisasi dan
remineralisasi terganggu, sehingga demineralisasi lebih besar daripada remineralisasi.
Hasil jangka panjang dari siklus ini ditentukan oleh:
1. Komposisi dan jumlah plak.
2. Konsumsi gula (frekuensi dan waktu).
3. Paparan fluoride.
4. Aliran dan kualitas saliva.
5. Kualitas email.
6. Respon imun (Cameron and Widmer, 2008).
2.1.5 Proses Terjadinya Karies Gigi
Hampir semua penelitian mengenai proses karies gigi merupakan teori
kemoparasitik yang dikemukakan oleh W. D Miller pada tahun 1980. Saat ini lebih
umum dikenal dengan teori acidogenic of caries aetiology (Welburry, 2005).
Pola utama proses karies adalah:
1. Fermentasi karbohidrat menjadi asam organik oleh mikroorganisme yang terdapat
pada plak gigi
2. Produksi asam yang dapat menurunkan pH pada permukaan email di bawah level
3. Saat karbohidrat sudah tidak terdapat lagi pada plak, pH di dalam plak akan
meningkat karena adanya difusi asam yang keluar dan dapat terjadi pula
metabolisme dan netralisasi pada plak, sehingga dapat terjadi remineralisasi email
4. Peningkatan karies gigi hanya terjadi saat proses demineralisasi lebih besar
daripada remineralisasi (Welburry, 2005).
Demineralisasi pada email gigi merupakan suatu proses kimia. Pelarutan
hidroksiapatit secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ca10(PO4)6(OH)2 + 10 H+ 10 Ca2 + 6H(PO4)3- + 2H2O
Hidroksiapatit ion hydrogen calcium hidrogen fosfat air
Demineralisasi email merupakan kehilangan mineral pada email karena
aktivitas asam yang dapat menyebabkan karies gigi atau erosi. Karies gigi terutama
disebabkan oleh asam asetat dan asam laktat yang berdifusi melalui plak dan masuk
ke dalam pori-pori email diantara enamel rods sebagai ion netral, dimana asam asetat
dan asam laktat mengalami disosiasi dan menurunkan pH cairan yang mengelilingi
kristal email. Pada saat pertama kali terpisah, proton melarutkan permukaan kristal
hidroksiapatit, pelarutan ini tergantung dari derajat kejenuhan apatit dan konsentrasi
ion kalsium dan fosfat di dalam cairan inter-rod meningkat (Cameron and Widmer,
2008).
Buffering calcium dan fosfat pada permukaan email dan pada plak mendorong
16
tipis. Kelanjutan proses ini menghancurkan dukungan lapisan permukaan sehingga
terbentuklah kavitas (Cameron and Widmer, 2008).
2.1.6 Pengukuran Karies Gigi
2.1.6.1 Indeks DMF
Indeks DMF, yang mencatat jumlah gigi tetap yang rusak (decayed), hilang
(missing) dan ditambal (filled) (DMF-T) atau pada permukaan gigi yaitu DMF-S,
pertama kali diperkenalkan oleh Klein dan Palmer dan sampai saat ini masih dipakai
secara luas di seluruh dunia. Untuk gigi sulung karena kesulitan dalam membedakan
apakah gigi dicabut karena karies atau karena tanggal alami, khususnya pada anak
usia lebih dari 5 tahun, digunakan def-t dan df (decayed, filled) (Pine and Harris, 2007).
Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga karena gigi molar tiga biasanya
tidak tumbuh, sudah dicabut atau tidak berfungsi. Indeks ini tidak menggunakan skor,
pada kolom yang tersedia langsung diisi kode D, M, F dan kemudian dijumlahkan
sesuai kode. Rata-rata DMF adalah jumlah seluruh nilai DMF dibagi atas jumlah
orang yang diperiksa (Pintauli dan Hamada, 2008).
Indeks DMF dapat digunakan pada seluruh gigi (disebut dengan DMF-T) atau
pada permukaan gigi (disebut DMF-S).
1. DMF-T
DMF-T adalah jumlah gigi tetap yang mengalami karies, berupa angka yang
1) Semua gigi yang mengalami karies dimasukkan ke dalam kategori D.
2) Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan
dalam kategori D.
3) Gigi dengan tumpatan sementara dimasukkan dalam kategori D.
4) Semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori
M.
5) Gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan
perawatan ortodonti tidak dimasukkan dalam kategori M.
6) Semua gigi dengan tumpatan permanen dimasukkan dalam kategori F.
7) Gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar dimasukkan dalam kategori F.
8) Pencabutan normal selama masa pergantian gigi geligi tidak dimasukkan
dalam kategori M (Pintauli dan Hamada, 2008).
2. DMF-S
DMF-S merupakan suatu pengukuran karies dengan melihat permukaan gigi
yang karies. Kriteria yang digunakan berupa:
1) Permukaan gigi yang diperiksa adalah gigi anterior dengan empat permukaan,
fasial, lingual, distal dan mesial sedangkan gigi posterior dengan lima
permukaan yaitu fasial, lingual, distal, mesial dan oklusal.
18
3) Bila gigi sudah dicabut karena karies, maka pada waktu menghitung
permukaan yang hilang dikurangi satu permukaan sehingga untuk gigi
posterior dihitung 4 permukaan dan 3 permukaan untuk gigi anterior.
4) Kriteria untuk F sama dengan DMF-T (Pintauli dan Hamada, 2008).
3. def-t
def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies dengan menghitung:
1) d (decayed) yaitu gigi sulung yang mengalami karies, dan jika sudah
direstorasi ada karies.
2) e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies yang besar pada gigi sulung
dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan.
3) f (filled) yaitu gigi sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya
karies sekunder (Mishra, 2010).
2.1.6.2 Indeks Tooth Caries – WHO
Kriteria pemeriksaan seperti terlihat pada Tabel 2.1. Cara perhitungannya
adalah dengan menjumlahkan semua DMF atau def. Komponen D meliputi
penjumlahan kode 1 dan 2, komponen M untuk kode 4 pada subjek <30 tahun, dan
kode 4 dan 5 untuk subjek >30 tahun misalnya hilang karena karies atau sebab lain.
Komponen F hanya untuk kode 3. Untuk kode 6 (fisur silen) dan 7 (jembatan,
mahkota khusus atau viner/implan) tidak dimasukkan dalam penghitungan DMFT
Tabel 2.1 Kode Pemeriksaan Karies dengan Indeks WHO
Kode
Gigi Gigi
Sulung Permanen Kondisi/ Status Mahkota Mahkota Akar
Gigi Gigi Gigi cekat atau gigi yang mengalami hipoplasia
enamel yang berat
(Sumber : Oral Health Basic Surveys, 1997)
2.1.6.3 Indeks Significant Caries (SiC Index)
Indeks SiC baru diperkenalkan sekitar tahun 2000. Brathall mengusulkan
indeks SiC digunakan sebagai standar pengukuran statistik epidemiologis yang lebih
ditekankan pada individu yang mempunyai angka karies yang tinggi pada suatu
populasi.
Indeks SiC mudah dihitung, skor SiC diperoleh dari rerata DMFT pada
sepertiga populasi yang mempunyai skor karies paling tinggi. Untuk menghitung
20
1) Mengurutkan individu sesuai dengan skor DMFTnya
2) Memilih sepertiga dari populasi dengan skor karies paling tinggi dan
3) Menghitung DMFT untuk kelompok studi (Pintauli dan Hamada, 2008).
2.2 Tunarungu
2.2.1 Definisi Tunarungu
Istilah tunarungu secara etimologi dari kata tuna dan rungu, tuna artinya
kurang dan rungu artinya pendengaran. Anak tunarungu adalah anak yang memiliki
hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen dan biasanya
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara
(Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).
Menurut WHO ketulian (deafness) merupakan kehilangan kemampuan untuk
mendengar secara total pada satu atau dua telinga. Sedangkan tunarungu (hearing
impairment) mengacu pada kehilangan kemampuan mendengarkan baik sebagian
ataupun seluruhnya (WHO, 2010).
Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak yang
bisa mendengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa
2.2.2 Klasifikasi Tunarungu
2.2.2.1Berdasarkan tingkatan kehilangan pendengaran
1. Ringan (mild)
1) Tingkat kehilangan pendengaran antara 27 hingga 40 dB.
2) Memahami percakapan.
3) Mengalami kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang pelan dan jauh.
4) Memerlukan terapi berbicara.
2. Sedang (moderate)
1) Tingkat kehilangan pendengaran antara 41 hingga 55 dB.
2) Dapat mendengar bunyi pada jarak 1 hingga 1,5 meter darinya.
3) Memahami percakapan.
4) Sulit untuk mengikuti percakapan dalam kelas.
5) Memerlukan alat bantu dengar.
6) Memerlukan terapi berbicara.
3. Menengah Serius (moderate-severe)
1) Tahap kehilangan pendengaran antara 56 hingga 70 dB.
2) Memerlukan alat bantu dengar dan latihan pendengaran.
3) Memerlukan latihan penuturan dan komunikasi.
4) Orang yang ingin berbicara dengan mereka harus berbicara dengan keras.
4. Berat (severe)
22
2) Dapat mendengar bunyi yang keras pada jarak antara 0 hingga 30,5 cm
darinya.
3) Mungkin hanya dapat membedakan sebagian dari bunyi saja.
4) Memiliki masalah dalam berbicara.
5) Membutuhkan pendidikan khusus, alat bantu dengar dan latihan berbicara dan
komunikasi.
5. Sangat Berat (profound)
1) Tingkat kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB.
2) Sulit untuk mendengar bunyi, walaupun keras.
3) Memerlukan alat bantu pendengaran dan terapi berbicara (Muhammad, 2008).
2.2.2.2Berdasarkan Saat Terjadinya Kehilangan Pendengaran
1. Tunarungu Bawaan
1) Sakit semasa hamil terutama oleh virus seperti rubella, demam glandular, dan
salesma.
2) Semasa hamil sang ibu mengonsumsi obat ataupun bahan kimia seperti kuanin
dan streptomycin.
3) Sang ibu menderita toksemia pada masa akhir kehamilan.
4) Sering hamil.
2. Tunarungu Setelah Lahir
1) Anak mengidap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus seperti
2) Kecelakaan yang mencederai bagian telinga.
3) Menangkap bunyi yang terlalu keras dalam jangka waktu lama (Muhammad,
2008).
2.2.2.3Berdasarkan Tempat Kerusakan Pendengaran
1. Kehilangan pendengaran konduktif atau bagian penerimaan.
Kecacatan ini terjadi akibat dari kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah,
yang mengurangi intensitas bunyi yang sampai ke telinga dalam. Bunyi yang
masuk melalui saluran auditoris ke gendang telinga akan menyebabkan tiga
tulang kecil dalam telinga tengah bergetar dan mengantar bunyi ke telinga dalam
mungkin terganggu akibat kotoran telinga atau penyebab lainnya. Gendang
telinga yang pecah, luka atau berlubang juga menghalangi bergetarnya tiga tulang
kecil yang menyebabkan terjadinya ketulian. Ketulian jenis ini dapat dibantu
dengan alat bantu pendengaran.
2. Kehilangan pendengaran sensoris-neural atau bagian penangkap bunyi.
Kecacatan ini terjadi akibat kerusakan pada telinga dalam atau saraf auditoris
yang membawa impuls ke otak. Kehilangan pendengaran pada jenis ini tak dapat
24
2.2.2.4Berdasarkan Taraf Penguasaan Bahasa
1. Tuli Prabahasa
Anak-anak yang kehilangan pendengarannya sebelum berbicara dan berbahasa,
yang menyebabkan masalah dalam pembelajaran.
2. Tuli Purnabahasa
Kehilangan pendengaran setelah dapat berbicara dan berbahasa (Muhammad,
2008).
Diagram 2.2 Klasifikasi Ketunarunguan (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010)
2.2.3 Karakteristik Tunarungu Dalam Aspek Sosial Emosional
Uden (1971) dan Meadow (1980) dalam Bunawan dan Yuwati (2000)
mengemukakan beberapa ciri atau sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu
1. Sifat egosentris yang lebih besar dari pada anak mendengar. Sifat ini membuat
mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain serta
kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya terhadap orang lain.
2. Memiliki sifat impulsif, yaitu tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan
yang hati-hati dan jelas serta tanpa mengantisipasi akibat yang mungkin timbul
akibat perbuatannya.
3. Sifat kaku (rigidity), menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang dunia
dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
4. Sifat lekas marah dan mudah tersinggung.
5. Perasaan ragu-ragu dan khawatir (Kementrian Pendidikan Nasional, 2010).
2.2.4 Karakteristik Dalam Aspek Fisik dan Kesehatan
Pada umumnya aspek fisik anak tunarungu tidak banyak mengalami
hambatan. Namun pada sebagian tunarungu ada yang mengalami gangguan
keseimbangan sehingga cara berjalannya kaku dan agak membungkuk.
Gerakan mata anak tunarungu lebih cepat, hal ini memnunjukkan bahwa ia
ingin menangkap atau mengetahui keadaan lingkungan sekitarnya. Gerakan
tangannya sangat lincah, hal tersebut tampak ketika ia mengadakan komunikasi
dengan menggunakan bahasa isyarat dengan sesama tunarungu. Pernapasannya
pendek karena tidak terlatih melalui kegiatan berbicara.
Dalam aspek kesehatan, secara umum tampaknya sama dengan anak lain
26
anak tunarungu penting untuk memeriksakan kesehatan telinganya secara periodik
agar terhindar dari hal-hal yang dapat memperburuk ketunarunguannya (Iskandar,
2010).
2.2.5 Dampak Ketunarunguan Terhadap Kemampuan Berbahasa
Ketunarunguan yang berarti tidak memiliki kemampuan mendengar, tentunya
akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh pendidikan bagi
penderitanya. Dari semua kendala yang ada, maka dampak paling besar pada
ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa(Uden, 1977 dan Meadow, 1980
dalam Bunawan dan Yuwati, 2000). Adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan
orang beranggapan bahwa ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak
berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan
adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam
Nugroho, 2004).
Proses pendidikan di semua lembaga pendidikan, termasuk SLB tunarungu
bertopang pada kemampuan berbahasa peserta didiknya. Dapat dikatakan bahwa
dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran baik dalam
bentuk lisan, tulisan maupun isyarat. Apabila anak mengerjakan tugas yang menuntut
daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa
akan membawa anak didik belajar berfikir runtut dan logis (Kementrian Pendidikan
2.3 Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung
2.3.1 Visi dan Misi
2.3.1.1 Visi
SLB B Negeri Cicendo Bandung sebagai sekolah unggulan dalam
menghasilkan peserta didik yang kompeten berkomunikasi memiliki kecakapan
hidup, peduli terhadap lingkungan dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.3.1.2 Misi
1. Memfasilitasi berbagai program dan jalur pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan dunia pendidikan.
2. Menjadi lembaga yang memiliki fasilitas memadai untuk menyelenggarakan
pendidikan.
3. Memiliki tenaga pendidik dan kependidikan yang kompeten dan professional.
4. Menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif dan
menyenangkan.
5. Melaksanakan pembelajaran yang berbasis pada komunikasi total.
6. Mempersiapkan peserta didik yang terampil berkomunikasi dan memiliki
berbagai keterampilan vokasional.
7. Menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif, nyaman dan tertib.
28
2.3.2 Sarana dan Prasarana SLB B Negeri Cicendo Bandung
Sebagaimana sekolah lainnya yang memiliki sarana dan prasaran, begitupun
SLB B Negeri Cicendo Bandung memiliki sarana dan prasarana yang menunjang
kegiatan belajar mengajar.
2.3.3 Siswa Tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Data siswa yang bersekolah di SLB B Negeri Cicendo Bandung sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Jumlah Siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung
No. Jenjang Jenis Kelamin Jumlah
Tingkatan sekolah di SLB B Cicendo Bandung ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. TKLB/ TKKh: Tunarungu Tingkat Rendah ditekankan pada pengembangan
kemampuan senso-motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya
2. SDLB/ SDKh: Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan
sensomotorik, keterampilan berkomunikasi, kemudian pengembangan kemampuan
dasar di bidang akademik dan keterampilan sosial.
3. SLTPLB/ SMPKh: Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan
berkomunikasi dan keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan
keterampilan mengaplikasikan kemampuan dasar di bidang akademik dalam
pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan keterampilan sosial dan
dasar-dasar keterampilan vokasional.
4. SMALB/ SMAKh: Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan
berkomunikasi, keterampilan menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik
yang mengerucut pada pengembangan kemampuan vokasional yang berguna
sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup kemungkinan
mempersiapkan siswa dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
30 BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode survei. Survei
deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di masyarakat (Notoatmodjo, 2010).
1.2 Populasi dan Sampel
2. Berada di tempat saat penelitian.
Berdasarkan kriteria populasi di atas, maka sampel diambil secara total sampling.
Jumlah seluruh siswa di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah 114 siswa.
Siswa yang masuk ke dalam kritera populasi sejumlah 89 siswa, terdiri dari siswa
TKLB berjumlah 27 orang, SDLB berjumlah 39 orang, SMPLB berjumlah 11 orang,
3.3 Variabel Penelitian 1. def-t
2. DMF-T
3.4 Definisi Operasional Variabel 1. def-t
def-t adalah jumlah gigi sulung yang mengalami karies dengan menghitung:
d (decayed) yaitu gigi sulung yang mengalami karies. Karies yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ketika sonde tersangkut pada pit dan fissure permukaan buccal, oklusal dan lingual. Karies sekunder yang terjadi pada gigi dengan tumpatan permanen dan gigi dengan tumpatan sementara juga termasuk dalam kategori ini. e (indicated for extraction) yaitu terdapat karies yang besar pada gigi sulung dan diindikasikan untuk dilakukan pencabutan.
f (filled) yaitu gigi sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa adanya karies sekunder.
2. DMF-T
32
D (decayed) yaitu semua gigi tetap yang mengalami karies. Karies yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ketika sonde tersangkut pada pit dan fissure permukaan buccal, oklusal dan lingual. Karies sekunder yang terjadi pada gigi tetap dengan tumpatan permanen dan gigi dengan tumpatan sementara juga termasuk kategori ini. M (missing) yaitu semua gigi yang hilang atau dicabut karena karies dimasukkan dalam kategori missing, tetapi gigi yang hilang akibat penyakit periodontal, dicabut untuk kebutuhan perawatan ortodonti, dan pencabutan normal selama pergantian gigi geligi tidak dimasukkan dalam kategori ini.
F (filled) yaitu semua gigi dengan tumpatan permanen dan gigi yang sedang dalam perawatan saluran akar juga dimasukkan dalam kategori ini.
WHO memberikan kategori dalam perhitungan DMF-T dan def-t berupa derajat interval
sebagai berikut (Pine and Harris, 2007) :
1. Sangat rendah : 0,0 – 1,1
2. Rendah : 1,2 – 2,6
3. Moderat : 2,7 – 4,4
4. Tinggi : 4,5 – 6,5
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara memeriksa langsung keadaan mulut objek penelitian, untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
3.6 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Baki
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Alkohol 70%
2. Kapas
3.7 Analisis dan Penyajian Data
34
Analisis univariat biasa juga disebut analisis deskriptif atau statistik deskriptif yang bertujuan menggambarkan kondisi fenomena yang dikaji (Cahyono, 2007).
Data yang diperoleh dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Alat statistik yang digunakan adalah rata-rata dan persentase.
3.8 Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:
1. Objek penelitian diminta untuk mengisi informed consent yang dibimbing oleh guru atau peneliti.
2. Peneliti mencatat identitas objek penelitian selengkapnya dalam formulir status. 3. Objek penelitian duduk pada kursi dan diinstruksikan untuk membuka mulut. 4. Dilakukan pemeriksaan def-t pada gigi sulung dan pemeriksaan DMF-T pada gigi
35
4.1 Karakteristik Responden
Hasil penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu di
SLB B Negeri Cicendo Bandung, dilakukan pada 89 siswa yang terdiri dari siswa
TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret dan
April 2011.
Objek penelitian berusia 4 sampai 20 tahun, terdiri dari 49 siswa laki-laki dan
40 siswa perempuan. Jumlah objek penelitian pada siswa TKLB adalah 27 orang
(30%) dengan rentang usia 5 sampai 11 tahun, siswa SDLB adalah 39 orang (44%)
dengan rentang usia 8 sampai 14 tahun, siswa SMPLB 11 orang (12%) dengan
rentang usia12 sampai 18 tahun, siswa SMALB 12 orang (14%) dengan rentang usia
17 sampai 20 tahun. Data diperoleh dari hasil pemeriksaan klinis. Data yang
diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Dalam melakukan pemeriksaan
klinis, seluruh objek penelitian dapat bekerja sama dengan sangat baik. Hal tersebut
tidak terlepas dari bantuan guru-guru di SLB B Negeri Cicendo Bandung yang
36
Tabel 4.1 Distribusi Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Tingkat Jumlah
penelitian lebih banyak siswa laki-laki daripada siswa perempuan.
4.2 Hasil Penelitian
Data yang diperoleh disusun secara lengkap dan sistematis, kemudian
dilakukan analisis untuk mengetahui indeks def-t dan DMF-T pada siswa tunarungu
di SLB B Negeri Cicendo Bandung.
Tabel 4.2 Data def-t Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen Jenis Kelamin Jumlah
L P
(decayed) lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan dibandingkan siswa laki-laki.
Sedangkan gigi yang diindikasikan untuk dilakukan pencabutan (indicated for
extraction) lebih banyak dimiliki oleh siswa laki-laki dibandingkan siswa
perempuan. Pada siswa TKLB tidak ada gigi sulung yang ditambal (filled). Secara
keseluruhan jumlah def-t pada siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki.
Indeks def-t pada siswa TKLB di SLB B Cicendo adalah 6,11, berdasarkan kriteria
38
Tabel 4.3 Data DMF-T Pada Siswa TKLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen Jenis Kelamin Jumlah
L P
lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan daripada siswa laki-laki. Tidak ada gigi
permanen karies yang ditambal dan dicabut. Secara keseluruhan jumlah DMF-T pada
siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki. Indeks DMF-T pada siswa
TKLB di SLB B Cicendo adalah 0,70, berdasarkan kriteria WHO, termasuk kategori
rendah.
Tabel 4.4 Data def-t Pada Siswa SDLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen Jenis Kelamin Jumlah
L P
sulung yang karies lebih banyak dimiliki oleh siswa perempuan, sedangkan gigi yang
Tidak ada gigi sulung karies yang ditambal. Secara keseluruhan jumlah gigi def-t
pada siswa perempuan lebih besar dibandingkan pada siswa laki-laki. Indeks def-t
pada siswa SDLB di SLB B Cicendo adalah 2,72, berdasarkan kriteria WHO
termasuk kategori sedang.
Tabel 4.5 Data DMF-T pada siswa SDLB di SLB Negeri Cicendo Bandung
Komponen Jenis Kelamin Jumlah
L P
Indeks DMF-T pada siswa SDLB di SLB B Cicendo adalah 1,69, berdasarkan kriteria
WHO, termasuk kategori sedang.
Tabel 4.6 Data DMF-T Pada Siswa SMPLB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen Jenis Kelamin Jumlah
L P
D 17 13 30
M 0 0 0
F 0 0 0
40
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pada siswa SMPLB, jumlah gigi yang
karies lebih besar pada siswa laki-laki daripada perempuan. Tidak ada gigi karies
yang ditambal dan tidak ada gigi karies yang dicabut. Indeks DMF-T pada siswa
SMPLB di SLB B Cicendo adalah 3,27, berdasarkan kriteria WHO, termasuk
kategori sedang.
Tabel 4.7 Data DMF-T Pada Siswa SMALB di SLB B Negeri Cicendo Bandung
Komponen Jenis Kelamin Jumlah
L P
D 32 34 66
M 0 0 0
F 3 0 3
Total 35 34 69
Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa seperti halnya pada siswa SMPLB, jumlah
gigi yang karies pada siswa laki-laki di SMALB lebih besar daripada siswa
perempuan. Tidak ada gigi yang dicabut karena karies dan terdapat tiga gigi yang
ditambal yaitu pada salah seorang siswa laki-laki. Indeks DMF-T pada siswa SMALB
Tabel 4.8 Indeks def-t dan DMF-T Pada Siswa SLB B Negeri Cicendo Bandung
Tingkat Indeks Jumlah Total
Pendidikan def-t DMF-T def-t DMF-T
Dari tabel 4.9 dapat dilihat bahwa indeks def-t dan indeks DMF-T pada siswa
42
Secara keseluruhan, nilai indeks def-t dan indeks DMF-T pada siswa di SLB
B Negeri Cicendo Bandung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.10 Indeks def-t dan DMF-T pada siswa SLB B Negeri Cicendo
Indeks
def-t DMF-T
SLB B Cicendo 3,04 2,13
Indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung adalah
3,04. Indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Cicendo tergolong sedang,
berdasarkan standar karies menurut WHO. Sedangkan indeks DMF-T adalah 2,13.
Indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung tergolong
rendah berdasarkan standar karies menurut WHO.
4.3. Pembahasan
Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB
B Negeri Cicendo Bandung adalah 3,04, dan indeks DMF-T adalah 2,13. Berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rao, et al pada anak cacat fisik dan mental
pada tahun 2001 di Karnataka India, yang menunjukkan bahwa indeks def-t pada
anak tunarungu adalah 2,26, dan indeks DMF-T adalah 2,48. Perbedaan ini dapat
disebabkan diantaranya karena perbedaan pengetahuan mengenai kesehatan gigi,
tingkat sosial ekonomi, fasilitas kesehatan yang tersedia dan juga biaya kesehatan.
anak-anak yang mengalami cacat fisik usia 5-15 tahun di Davangere India menunjukkan
bahwa indeks def-t pada anak tunarungu adalah 0,36, dan indeks DMF-T adalah 0,87.
Perbedaan tersebut yang utama disebabkan oleh pola makan, yaitu karena sebagian
anak tunarungu di Davangere India merupakan anak vegetarian.
Indeks DMF-T pada siswa SMALB paling tinggi dibandingkan siswa TKLB,
SDLB dan SMPLB yaitu sebesar 5,75, berdasarkan standar WHO indeks DMF-T di
SMALB Cicendo tergolong tinggi. Objek penelitian di SMALB berusia 17 sampai 20
tahun. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Pintauli dan Hamada pada tahun 2008
yang menyatakan bahwa menurut penelitian epidemiologis terjadi peningkatan
prevalensi karies sejalan dengan bertambahnya usia. Burt dan Eklund juga
menyatakan hal yang sama bahwa rata-rata skor DMF-T meningkat, sejalan dengan
bertambahnya usia.
Hasil penelitian indeks def-t dan DMF-T di SLB B Negeri Cicendo Bandung,
terdapat perbedaan indeks def-t dan DMF-T pada laki-laki dan perempuan. Indeks
def-t dan indeks DMF-T pada siswa perempuan di SLB B Negeri Cicendo Bandung
lebih tinggi daripada siswa laki-laki. Menurut Pintauli dan Hamada, jenis kelamin
merupakan salah satu faktor terjadinya karies. Jenis kelamin merupakan salah satu
faktor demografi, karena adanya perbedaan budaya, di antaranya adalah perbedaan
kebiasaan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Selama masa
kanak-kanak dan remaja, wanita menunjukkan nilai DMF-T yang lebih tinggi
daripada pria. Menurut Burt dan Eklund, ketika dilakukan penelitian pada anak-anak,
44
laki-laki. Sedangkan pada orang dewasa perbedaan ini mungkin disebabkan karena
perawatan terhadap gigi yang karies. Laki-laki lebih banyak memiliki gigi karies
yang tidak ditambal daripada perempuan, sedangkan perempuan lebih banyak
memiliki restorasi pada giginya.
Dari hasil penelitian di SLB B Negeri Cicendo Bandung menunjukkan bahwa
dari 89 siswa, hanya 6 siswa yang bebas karies. Sama halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hannah Ayukawa, et al pada tahun 2007 mengenai kesehatan gigi
pada orang tunarungu di Nunavik, Canada, bahwa anak tunarungu memiliki
kesehatan gigi yang buruk. Anak yang bebas karies pada usia 6 tahun sebesar 2,9%,
usia 12 tahun sebesar 6,7%, dan usia 16 tahun sebesar 0,7%. Hasil penelitian pada
siswa tunarungu di SLB B Cicendo sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hannah Ayukawa, et al di Nunavik Canada, bahwa hampir semua siswa tunarungu
memiliki gigi yang karies.
Pada tabel 4.2 sampai 4.7 dapat dilihat bahwa rata-rata gigi yang karies pada
siswa perempuan lebih besar daripada siswa laki-laki. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Ferraro dan Vieira, bahwa rata-rata karies pada perempuan lebih
besar daripada laki-laki. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan komposisi
dan laju aliran saliva, hormon, kebiasaan makan, variasi genetik, dan peran sosial
dalam masyarakat.
Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 4.2 sampai 4.7 diketahui bahwa
jumlah gigi yang karies paling besar pada gigi sulung dan pada gigi permanen
ditambal. Pada gigi sulung tidak ada gigi karies yang ditambal dan pada gigi
permanen hanya satu orang yang ditemukan ada gigi yang ditambal. Hal ini
menunjukkan bahwa masih kurangnya perhatian orang tua siswa tunarungu di SLB B
Cicendo untuk membawa anaknya berobat ke dokter gigi. Mereka juga masih kurang
mengetahui tentang kesehatan gigi dan mulutnya, karena tidak adanya program
UKGS di sekolah dan juga karena jarang diadakan penyuluhan mengenai kesehatan
gigi dan mulut.
Penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T juga pernah dilakukan di SLB B
Cicendo Bandung oleh Tati Hartati pada tahun 1989, dan diperoleh hasil bahwa
indeks def-t sebesar 1,4 dan indeks DMF-T sebesar 2,86. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh penulis pada tahun 2011 menunjukkan bahwa indeks def-t di SLB B
Negeri Cicendo Bandung adalah 3,23 dan indeks DMF-T adalah 2,03. Indeks def-t di
masa sekarang lebih tinggi daripada indeks def-t pada tahun 1989. Peningkatan
indeks def-t ini disebabkan karena lebih beragamnya makanan yang dikonsumsi oleh
siswa anak-anak, sehingga indeks def-t mereka pada tahun 2011 lebih tinggi daripada
indeks def-t pada tahun 1989. Sedangkan indeks DMF-T di masa sekarang lebih
rendah daripada tahun 1989, sehingga menunjukkan bahwa tingkat kesehatan gigi dan
mulut mereka meningkat. Peningkatan kesehatan gigi dan mulut ini disebabkan
karena sudah semakin banyak informasi mengenai kesehatan gigi dan mulut yang
dapat diperoleh, seperti penyuluhan, dan juga informasi melaui media cetak dan
46 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai indeks def-t dan DMF-T pada siswa
tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Indeks def-t pada siswa tunarungu di SLB B Cicendo termasuk kategori sedang.
2. Indeks DMF-T pada siswa tunarungu di SLB B Cicendo termasuk kategori
rendah.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diajukan saran:
1. Perlu diadakan program pendidikan kesehatan gigi dan mulut pada siswa
tunarungu di SLB B Negeri Cicendo Bandung. Salah satu program yang dapat
diselenggarakan berupa penyuluhan dari tenaga kesehatan. Selain itu juga perlu
diadakan program UKGS untuk membantu meningkatkan kesehatan gigi dan
mulut.
2. Perlu adanya dukungan dan perhatian khusus dari tenaga kesehatan (dokter gigi
dan perawat gigi), terhadap siswa yang mengalami kecacatan khususnya
tunarungu, sehingga dapat meningkatkan kesehatan gigi dan mulut pada siswa
3. Perlunya peran orang tua dalam memperhatikan kesehatan gigi dan mulut
anak-anaknya, terutama pada anak yang mengalami keterbatasan, seperti halnya pada
anak tuna rungu.
4. Perlu adanya kerja sama dan koordinasi dari instansi-instansi terkait agar dapat
meningkatkan kesehatan gigi dan mulut siswa penyandang cacat, khusunya
tunarungu.
5. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesehatan gigi dan mulut
48
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2010. Oral Health Fact Sheet for Dental Professionals. Children with Hearing Impairment. Washington. University of Washington and Washington
State Oral Health Program. Available at.
www.thecentreforpediatricdentistry.com (diakses 26 Februari 2011).
Ayukawa, H., et al. 2007. Hearing Loss and Dental Health. Institut Natonal de Sante
Publique. Available at.
www.inspq.qc.ca/pdf/publications/659_esi_hearing_loss.pdf. (diakses 26 Februari 2011).
Burt, B.A., and S. A Eklund. 2005. Dentistry, Dental Practice and The Community. 6th ed. Philadelphia. Saunders Company. p 194-195, 239-243.
Cahyono, T. 2007. Analisis Univariat (Aplikasi Statistik Deskriptif). Terdapat di. www.scribd.com/doc/19374558/Statistik-Deskriptif (diakses 20 Februari 2011).
Cameron, A., and Richard. W . 2008. Handbook of Pediatric Dentistry. Toronto. Mosby. p 39-44.
Dentosca. 2011. Proses Karies Gigi. Terdapat di
http://dentosca.wordpress.com/2011/04/14/karies-gigi-pada-anak/ (diakses 5 Juni 2011).
Fejerskov, O. and Edwina. A. M. Kidd. 2003. Dental Caries. The Disease and Its Clinical Management. Denmark. Narayana Press.
Ferraro, M., and Alexander. R. V. 2009. Explaining Gender Differences in Caries: A Multifaktorial Approach to a Multifaktorial Disease. International Journal of Dentistry Volume 2010, Artikel ID 649643, 5 pages doi: 10.1155/2010/649643. Available at www.hindawi.com (diakses 18 Juni 2011).
Fox, P. C. 2008. Xerostomia Recognition and Management. Available at http://www.adha.org/downloads/Acc0208Supplement.pdf. (diakses 20 Juni 2011).
Hiremath, S. S. 2007. Textbook of Preventive and Community Dentistry. New Delhi: Elsevier. p 300.
Iskandar, Y. 2010. Karakteristik Anak Tunanetra. Bogor. Terdapat di
http://www.scribd.com/doc/28796873/KARAKTERISTIK-ANAK-TUNANETRA (diakses 3 maret 2011).
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Program Khusus SLB Tunarungu. Jakarta:
Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan. h 6-8, 10-13.
Kote, S. 2005. Prevalence of Dental Caries and Oral Hygiene in Physically
Handicapped Children Attending Various Special Schools Of Davangere District. Rajiv Gandhi University of Health Sciences, Karnataka, Bangalore.
Available at
www.bibliomaster.com/detalles/.../prevalence%20of%20dental%20caries%20 and%20oral%20hygie. (diakses 24 Februari 2011)
Maulani, C. 2005. Kiat Merawat Gigi Anak. Jakarta: PT Elex media. Hal 59-60
Mishra, R. 2010. Dental indices used in pedodontics. Available at
http://www.docstoc.com/docs/25098629/Dental-indices-used-in pedodontics (diakses 18 februari 2011)
Mount, G. J., and W. R. Hume. 1998. A New Cavity Classification. Australian
Dental Journal 1998;43:(3):153-9. Available at
www.ada.org.au/App_CmsLib/.../M28930_v1_632973884475441250.pdf (diakses 21 Juli 201)
Muhammad, J. K.A. 2008. Special Education for Special Children. Jakarta: Mizan
Media Utama. Hal. 55-67
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineke Cipta
Pine, C and Rebecca. H. 2007. Community Oral Health. Berlin: Quintessemce Publishing Co. Ltd. p. 165-167
50
Pintauli, S., dan Taizo. H. 2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat: pencegahan dan
pemeliharaan. Medan. USU Press. h 12-14
Profil SLB B Negeri Cicendo Bandung. 2010
Rao, D. B., et al. 2001. Caries Prevalence amongst handicapped children of South Canara district, Karnataka. J Indian Soc Pedo Prev Dent 2001; 19:2:67-73.
Samaranayake, L. 2006. Essential Microbiology for Dentistry. Hongkong: Elsevier.
p 267
Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Wellburry, R., et al. 2005. Pediatric Dentistry. New York: Oxford University Press
Inc. p 109-110
WHO. 2010. Deafness and Hearing Impairment. Available at.
51
D (decayed) gigi permenen yang karies
def-s decayed, indicated for extraction, filled surface
def-t decayed, indicated for extraction, filled teeth
df decayed, filled teeth
DMF-S decayed, missing, filled surface
DMF-T decayed, missing, filled teeth
e (indicated for extraction) gigi sulung yang karies besar dan diindikasikan untuk
dicabut
f (filled) gigi sulung yang ditambal
F (filled) gigi permanen yang ditambal
GERKATIN Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia
M (missing) gigi yang dicabut karena karies
UU Undang-Undang
pH derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan
tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh
suatu larutan
SLB Sekolah Luar Biasa
52
RIWAYAT AKADEMIK PENULIS
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 13 Agustus 1989
Tahun 1994-2000, penulis mengikuti pendidikan di SDN Cibiru X
Tahun 2000-2003, penulis mengikuti pendidikan di SMPN 8 Bandung
Tahun 2003-2006, penulis mengikuti pendidikan di SMAN 24 Bandung
Tahun 2007-sekarang, penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi
58 Lampiran 6
Surat Persetujuan Penelitian
(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Alamat :
Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dan risiko penelitian tersebut di bawah ini yang berjudul:
“Indeks DMF-T dan def-t Pada Siswa Tunarungu di SLB B Cicendo Bandung”
Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut di atas sebagai subjek penelitian, dengan catatan apabila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini.
Atas perhatian dan partisipasi saudara, saya ucapkan terima kasih
Bandung, Maret 2011
Peneliti Yang menyetujui
Nuni Prastika (………)
59
M= missing e= indicated for extraction