• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morbus Hansen Karya Tulis Ilmiah Morbus Hansen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Morbus Hansen Karya Tulis Ilmiah Morbus Hansen"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PENYAKIT MENULAR MORBUS HANSEN (Memenuhi Tugas Komunitas IV)

Dosen Pembimbing: Ns. Mirnawati S.Kep

Disusun Oleh Kelompok 5 :

1. Noveldi Pitna 143010036 2. Nelma Jayanty 143010012 3. Beatrex N. Soumokil 143010039 4. Winda Sari 201231000025

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS PATRIA ARTHA MAKASSSAR

(2)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Esa karena atas Rahmat dan Karunia-Nyalah kami selaku penulis makalah yang berjudul “ Penyakit Menular Morbus Hansen “ yang mana makalah ini sebagai salah satu tugas Matakuliah Keperawatan Komunitas IV, Alhamdullilah dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Maka dengan terselesaikannya makalah ini, maka kami selaku penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebanyak – banyaknya kepada :

1. Ns. Mirnawati S.Kep selaku dosen Matakuliah Keperawatan Komunitas IV

2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya

membangun sehingga dapat dipergunakan untuk membantu perbaikan mendatang dan atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum . Wr. Wb

Makassar , 17 Januari 2016

(3)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan Penulisan...2

1.4 Manfaat Penulisan...2

BAB II T2INJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi kusta...3

2.2 Etiologi ...3

2.3 Klasifikasi dan Kriteria Kusta……...4

2.4 Manifestasi Klinik...5

2.5 Cara Penularan Kusta...6

2.6 Pemeriksaan Klinis Kusta...7

2.7 Penatalaksanaan Kusta………..9

2.8 Masalah-masalah dalam masyarakat akibat penyakit kusta ………..12

2.9 Program-program kesehatan untuk penderita kusta………12

2.10 Konsep pencegahan penyakit kusta……….17

2.11. Kelompok Berisiko………..19

(4)

BAB 3 PENUTUP

(5)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.

Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu 10 terakhir data jumlah penderita lepra di Indonesia tidak mengalami penurunan. Sekitar 17 ribu penderita lepra baru ditemukan di seluruh Indonesia. Jumlah penderita lepra di Indonesia nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil. Jumlah penderita lepra yang masih tinggi diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus Jawa Timur merupakan wilayah dengan jumlah penyandang kusta terbanyak di Indonesia, Jawa Timur menjadi daerah endemis penyakit kusta. Penyebaran penderita dan penyakit ini berada di 12 wilayah yakni Jember, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan, Sampang, Sumenep, Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Tuban dan Lamongan.

Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Disamping cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat terhadap kusta, rasa takut yang berlebihan atau leprophobia akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita kusta.

(6)

rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial ekonomi dan permasyarakatan dari bekas penderita kusta. Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

.

1.2.Rumusan Masalah

Bagaimana konsep dan penanggulangan dari penyakit tropis kusta?

1.3.Tujuan

Tujuan Umum

Menjelaskan konsep dan penanggulangan penyakit kusta. Tujuan Khusus

1. Menjelaskan definisi kusta. 2. Menjelaskan penyebab kusta. 3. Menjelaskan klasifikasi kusta.

4. Menjelaskan tanda gejala penyakit kusta. 5. Menjelaskan cara penularan kusta. 6. Menjelaskan pemeriksaan klinis kusta. 7. Menjelaskan penatalaksanaan kusta.

8. Menjelaskan masalah-masalah dalam masyarakat akibat penyakit kusta. 9. Menjelaskan program-program kesehatan untuk penderita kusta.

10.Menjelaskan konsep pencegahan penyakit kusta

11.Menjelaskan peran perawat komunitas dalam menangani kusta.

1.4.Manfaat

1. Bagi Mahasiswa

Menambah pengetahuan mahasiswa tentang definisi, etiologi, masalah kesehatan, serta program dan kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit kusta.

2. Bagi Masyarakat

(7)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kusta

Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan biasanya mempengaruhi kulit serta saraf tepi, namun memiliki berbagai macam manifestasi klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit yang menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American Heritage-Dictionary of the English language).

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.(Pusdatin,2015)

2.2. Penyebab Kusta

Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta ( mycobacterium leprae), yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA).

Gambar .Mycobacterium Leprae

(8)

salah satu penyebab masa tunas lama yaitu rata-rata 2–5 tahun. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27°-30°C.

2.3. Klasifikasi dan Kriteria Kusta

Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :

a. Tipe PB (Pausi basiler). b. Tipe MB (Multi basiler).

Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada criteria seperti tabel dibawah ini. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh criteria.

Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB (Depkes RI-Buku pedoman pemberantasan kusta, 2007)

Kelainan kulit dan hasil

pemeriksaan bakteriologis PB MB

1. Bercak (makula)

a. Jumlah 1-5 Banyak

b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil

c. Distribusi Unilateral atau

bilateral asimetris Bilateral, simetris d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

e. Batas Tegas Kurang tegas

f. Kehilangan rasa

pada bercak Selalu ada dan jelas

Biasanya tidak jelas, jika

(9)

(hidung tersumbat

1. Punched out lession **

2. Madarosis 3. Ginekomastia 4. Hidung pelana 5. Suara sengau

4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada

5. Penebalan syaraf 6. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris

terjadi dini

Terjadi pada stadium lanjut

7. Apusan BTA negatif BTA positif

2.4. Tanda dan Gejala

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal signs” pada badan yaitu :

1. Kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/ mati rasa yang jelas.

2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot tangan, kaki, atau muka.

3. Adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif).

Gambar . Lesi kulit pada paha

(10)

kasus dicurigai (suspek) dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai diagnose dapat ditegakkan kusta atau penyakit lain.

2.5. Cara Penularan

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpandapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit (Depkes RI, 2007). Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :

1. Faktor Sumber Penularan.

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.

2. Faktor Kuman Kusta.

Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

3. Faktor Daya Tahan Tubuh.

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut :

Dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 2 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.

2.6 Pemeriksaan Klinis A. Pemeriksaan kulit

1. Persiapan a. Tempat.

Tempat pemeriksaan harus cukup terang, sebaiknya diluar rumah tidak boleh langsung dibawah sinar matahari.

(11)

Pemeriksaan diadakan pada siang hari (menggunakan penerangan sinar matahari).

c. Yang diperiksa :

Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya tentang cara pemeriksaan. Anak-anak cukup memakai celana pendek, sedangkan orang dewasa (laki-laki dan wanita) memakai kain sarung tanpa baju.

2. Pelaksanaan pemeriksaan :

Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari : a. Pemeriksaan pandang,

b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan c. Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.

a. Pemeriksaan Pandang. Tahap pemeriksaan.

1) Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.

2) Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah, kemudian tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).

3) Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.

4) Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan dimulai lagi dari :

(12)

setiap penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelan pelan dan periksa pada jarak kira-kira ½ meter.

b. Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit.

Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anaesthesi.

c. Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.

Pemeriksaan syaraf : Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis magnus, n.ularis, n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior. Petugas harus mencatat apakah syaraf tersebut nyeri tekan atau tidak dan menebal atau tidak. Ia harus memperhatikan raut muka penderita apakah ia kesakitan atau tidak pada waktu syaraf diraba.

d. Bila hasil pemeriksaan memenuhi kriteria penyakit kusta maka catatlah kelainan-kelainan yang ditemukan pada kartu penderita, sesuai tandatanda, jumlahnya, besarnya, dan letaknya.

2.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

(13)

ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO ( 1995) sebagai berikut:

1. Tipe PB

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas. b. DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah.

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB

Obat & Dosis MDT

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a. Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.

b. Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.

(14)

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

Dosis untuk anak :

Klofazimin: Umur di bawah 10 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/2 kali/minggu

Umur 11-14 tahun : bulanan 100 mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu DDS : 1 - 2 mg/kg berat badan

Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan

Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Obat & Dosis MDT

Klofazimin 300 mg/bln (diawasi petugas)dan dilanjutkan

(15)

diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

3.8 Putus Obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

3.9 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasan Penyakit Kusta Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:

a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6 sampai 9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan laboratorium.

c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas kusta.

3.10 Masa Pengamatan.

Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif : a) Tipe PB selama 2 tahun.

b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. 7. Hilang/Out of Control (OOC)

Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.

a. Relaps (kambuh)

Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau RFT.

(16)

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.

3.11 Masalah Kesehatan Stigma masyarakat

Karena pengertian masyarakat yang keliru tentang penyakit kusta, berkembang pendapat yang keliru tanpa pembuktian. Untuk itu kekeliruan tersebut harus diluruskan. Tidak benar bahwa kusta adalah penyakit keturunan atau karena guna-guna. Tidak benar juga disebutkan kusta terjadi karena berhubungan seks saat menstruasi atau salah makan. Harus ditegaskan pada masyarakat bahwa kusta tidak menular dan dapat disembuhkan.

Kesulitan dalam pemberantasan kusta, baik dalam pengobatan, pencegahan dan penanganan kecacatan disebabkan masih besarnya stigma masyarakat terhadap penderita kusta sehingga mereka menyembunyikan diri atau dikucilkan. Sebagian besar penderita adalah dari golongan ekonomi lemah. Dengan adanya kecacatan itu, akan memperburuk kondisi ekonominya, kehilangan lapangan pekerjaan, kehilangan kesempatan kerja, kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.

3.12 Program Kesehatan

(17)

(Perdoski), Netherland Leprosy Relief (NLR), tim penggerak PKK Pusat, Perhimpunan Mandiri Kusta (Permata).

Program pemerintah : a. Tujuan :

1. Tujuan Jangka Panjang : Eradikasi Kusta di Indonesia

2. Tujuan Jangka Menengah : Menurunkan angka kesakitan kusta. 3. Tujuan Jangka Pendek :

a. Penemuan Penderita (Case Finding)

Penemuan penderita sedini mungkin sehingga propinsi cacat tingkat dua diantara penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.

b. Implementasi MDT.

Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar di daerah pengembangan sehingga mancakup 100% penderita terdaftar dan penderita baru.

c. Pembinaan pengobatan (“Case Holding”).

Agar semua penderita PB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan, dan semua penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 18 bulan.

d. Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftaf sehingga tidak akan terjadi cacat baru.

e. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.

Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia.

f. Pengawasan sesudah RFT.

Memberikan motifasi kepada semua penderita agar dating memeriksakan dirinya setiap 3 bulan setelah selesai masa pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB. h. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan program.

b. Kebijaksanaan

(18)

3. Regimen MDT mengikuti rekomendasi WHO.

4. Program P2 Kusta diintegrasikan kedalam sistem pelayanan kesehatan dan rujukan.

c. Strategi

1. MDT dilaksanakan secara intensif dan extensif. 2. Meningkatkan peran serta organisasi swasta.

3. Meningkatkan peran serta lintas sektor dan kerjasama program.

4.Meningkatkan kemampuan serta ketrampilan petugas yang bertanggung jawab.

d. Kegiatan Pemberantasan Kusta 1. Penemuan penderita.

a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)

Penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum pernah berobat kusta yang datang sendiri atau atas saran orang lain ke Puskesmas/ sarana kesehatan lainnya. Penderita ini biasanya sudah dalam stadium lanjut.

Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya :

1. Tidak mengerti tanda dini kusta. 2. Malu datang ke Puskesmas.

3. Adanya Puskesmas yang belum siap.

4. Tidak tahu bahwa ada obat tersedian cuma-cuma di Puskesmas. 5. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu

jauh.

b. Penemuan penderita secara aktif

Penemuan penderita secara aktif dapat dilaksanakan dalam beberapa kegiatan:

1. Pemeriksaan kontak serumah (survai kontak). a. Tujuan :

1). Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan belum berobat (index case).

(19)

b. Sasaran :

Pemeriksaan ditujukan pada semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita.

c. Frekwensi pemeriksaan :

Pemeriksaan dilaksanakan minimal 1 tahun sekali dimulai pada saat anggota keluarga dinyatakan sakit Kusta pertama kali dan perhatian khusus ditujukan pada kontak tipe MB.

d. Pelaksanaan :

1). Membawa kartu kuning (kartu penderita), dari penderita yang sudah dicatat dan membawa kartu penderita kosong,alat-alat untuk pemeriksaan serta obat MDT.

2). Mendatangi rumah penderita dan memeriksa semua anggota keluarga penderita yang tercatat dalam kolom yang tersedia pada kartu kuning.

3). Bila ditemukan penderita baru dari pemeriksaan itu maka dibutlah kartu baru dan dicatat sebagai penderita baru, kemudian diberikan obat MDT dosis pertama.

4). Memberikan penyuluhan kepada penderita dan semua anggota keluarga.

5). Hasil pemeriksaan kontak dicatat pada “ Pencatatan Hasil Penemuan Penderita ”

2. Pemeriksaan anak sekolah SD/Taman Kanak-kanak atau sederajat disebut survei sekolah.

a. Tujuan :

1). Mendapatkan kasus baru secara dini.

2). Memberikan penyuluhan kepada murid dan guru. b. Sasaran :

1). Semua anak SD dan sederajat. 2). Taman Kanak-kanak.

c. Frekuensi pemeriksaan

(20)

Untuk melakukan survei sekolah ini perlu dibina kerjasama dengan UKS dan guru-guru sekolah. Perlu diberikan penyuluhan kesehatan terlebih dahulu kepada murid-murid bertempat di lapangan upacara atau didalam suatu ruangan yang cukup besar bila mungkin.Sesudah pemeriksaan murid-murud kelas demi kelas, mulai dari kelas 1 dan akhirnya kelas 6, maka diadakan penyuluhan kesehatan kepada guru-guru bertempat di Kantor guru atau ruangan lainnya. Pada pemeriksaan murid tersebut, bila ada yang dicurigai kusta, dirujuk ke Puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jumlah anak yang diperiksa dan penderita baru diketemukan dicatat pada buku “Pencatatan Harian Penemuan Penderita”

3. “Chase Survey”

Maksud dari survei ini adalah mencari penderta baru dalam suatu lingkup kecil misalnya Desa atau kelurahan sambil membina partisipasi masyarakat.

a. Tujuan :

1). Mencari penderita baru dalam lingkup kecil. 2). Membina partisipasi masyarakat.

b. Sasaran : Desa/Kelurahan, atau unit yang lebih kecil seperti dusun.

c. Frekwensi : 1 x setahun. d. Pelaksanaan :

1). Persiapan.

Pimpinan Puskesmas “chusus survey” dengan Kepala Desa atau memberitahukan dengan mengirim surat melalui Camat untuk menentukan tanggal pelaksanaannya, sebaiknya diadakan bersama dengan pertemuan bulanan desa, atau kegiatan lain.

2). Pelaksanaan.

(21)

Bila ditemukan penderita baru dibuatkan kartu dan diberi pengobatan serta penyuluhan kesehatan yang lebih dalam terhadap penyakitnya. Kartu penderita diisi dengan lengkap. Bilamana dari suspek yang tercatat belum dapat diperiksa, maka nama suspek tersebut dicatat oleh petugas kesehatan dan direncanakan akan diperiksa Puskesmas.

4. Survai Khusus. a. Survai Fokus :

Dilakukan pada suatu lingkup kecil misalnya suatu RT, dimana proporsi penderita baru MB minimal 60% dan dijumpai penderita usia muda cukup tinggi.

Caranya :

Terlebih dahulu didaftarkan nama penduduk RT menurut keluarga mulai dari kepala keluarga dan kemudian diperiksa rumah demi rumah yang alpa dicari untuk diperiksa. Survai Fokus ini dilakukan satu kali saja kalau perlu diulang di tahun-tahun kemudian.

b. Random Sample Survay (Survay Prevalensi).

Survai ini dilakukan sesuai perancanaan danpetunjuk dari Pusat sesudah diadakan “set-up” secara statistik oleh ahli statistik WHO atau yang ditunjuk Depkes. Survei ini dilaksanakan dengan timyang tetap dan dipimpin oleh seorang yang telah berpengalaman di bidang kusta.

2.10 Konsep Pencegahan Penyakit KustaPencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a.Penyuluhan kesehatan

(22)

belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006).

b.Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2006).

Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : a) Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

Pencegahan tertier

a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.

(23)

mengalami gangguan fungsi saraf. b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi :

Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.

Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.

Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan.

 Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

2.

11 Kelompok berisiko

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.

(24)

Peran perawat sebagai care giver dilakukan dengan memberikan pelayanan kepada penderita kusta dan keluarga dalam bentuk promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Salah satu bentuk kegiatannya adalah dengan mencegah terjadinya kecacatan akibat penyakit kusta dan mengadakan penyuluhan-penyuluhan untuk menekan endemis penyakit kusta.

2. Advokat

Peran perawat sebagai advokat adalah dengan memberikan perlindungan kepada penderita kusta dan keluarga. Contoh pelaksanaan peran advokat adalah memastikan bahwa penderita kusta mendapatkan obat sesuai dengan jadwal dan jenis pengobatannya.

3. Edukator

(25)

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tumbuh lainnya.Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta, yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1–8 mic, lebar 0,2–0,5 mic biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA). Penyakit kusta diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe pausi basiler (PB), dan multi basiler (MB).

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah tergantung dari beberapa faktor antara lain faktor sumber penularan, faktor kuman kusta, dan faktor daya tahan tubuh.

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat kelainan kulit/lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang jelas, kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot tangan, kaki, atau muka, dan adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif).

Pemerintah Indonesia telah membuat program dan kebijakan untuk mengatasi penyebaran kusta dimasyarakat. Program-program tersebut terdiri dari berbagai kegiatan, kegiatan tersebut diantaranya adalah penemuan penderita, pemberian obat, pembinaan pengobatan, penyuluhan kesehatan serta pencatatan dan pelaporan

4.2 Saran

1. Makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam rangka meningkatkan program pemerintah dalam usaha pemberantasan penderita kusta sehingga penyakit kusta dapat dibasmi secara tuntas.

2. Makalah ini dapat digunakan sebagai masukan untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya pemberantasan penyakit kusta. 3. Perawat semakin memaksimalkan perannya untuk membantu upaya

(26)

Daftar Pustaka

Anonim.2009. Penatalaksanaan kusta di Indonesia. Disitasi dari

https://pramareola14.wordpress.com/2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-di indonesia/. Diakses pada 17 Januari 20167 jam 13.40 wita.

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta.

Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Jakarta.

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.

Yayan, M. 2011. Askep Klien dengan Penyakit Kusta. Disitasi dari

http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-klien-dengan-penyakit-kusta.html. Diakses pada 17 Januari 2016 jam 14.05 wita.

_____, http://www.kabarmadura.com/jumlah-penderita-kusta-di-jatim-tertinggi.html. diakses tanggal 17 Januari 2016 pukul 19.42 wita.

_____, http://us.surabaya.detik.com/read/2011/02/02/102259/1558723/466/30-persen-penderita-kusta-didominasi-warga-jatim?881104465. diakses tanggal 17 januari 2016 pukul 19.25 wita

_____,http://hanyaberita.com/penderita-lepra-di-indonesia-terbesar-ke-3-di-dunia/ 1936/. diakses tanggal 17 oktober 2016 pukul 20.02 wita.

_____,http://koran.republika.co.id/berita/35129/

(27)

Gambar

Tabel 1.1 Kriteria untuk tipe PB dan MB  (Depkes RI-Buku pedoman
Gambar . Lesi kulit pada paha
Tabel 1. Obat dan dosis regimen MDT-PB
Tabel 2. Obat dan dosis regimen MDT-MB

Referensi

Dokumen terkait

Pokyčių, ku- rie vyksta pereinant nuo vienos techninės- ekonominės paradigmos prie kitos (t.y. nuo vienos Kondratjevo bangos prie kitos), esmę bene tiksliausiai galima

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa variabel demografis yang terdiri dari industri, ukuran perusahaan, dan lokasi, dan variabel bauran pemasaran yang terdiri dari produk,

Independen pada penelitian ini adalah LnTA ( Size Bank ), KreditTA (Kredit dalam Total Aset), DPKTA (Dana Pihak Ketiga dalam Total Aset), TETA (Total Ekuitas dalam Total Aset), IEPO

Sesuai dengan data yang diperoleh di dua lembaga pendidikan, SDIT Al-Amin dan SDIT Babussalam, Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

telah YAHWEH ucapkan mengenai kamu hai bani Israel: Mengenai semua kaum yang telah Aku pimpin keluar dari negeri Mesir, dengan mengatakan:!. 2 Hanya kamu yang telah Aku kenal

Cooperative Learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu mahasiswa dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya dengan mengaplikasikan suatu pemb- elajaran untuk

Dalam Galatia 1:16-17 disebutkan bahwa “berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaat pun aku tidak

Hasil uji selanjutnya adalah identifikasi aksesibilitas infrastruktur antara tipologi perumahan utara dan selatan Metropolitan Bandung Raya sebagaimana ditunjukkan