• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN “BANK GELAP”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN “BANK GELAP”"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN “BANK GELAP”

Oleh:

Hibnu Nugroho

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Abstract

In explanation from Article 18 Constitution Number 18 Year 1998 concerning Banking, it mention that any fund retrieving from society by anyone is an action that need be monitories, this need to done because a lot of funds from the society has been retrieved by those fund retriever. In few last years, we often see may funds retrieving from society that end up with many victims. Mostly, the victims suffer lost of materials. Penalty that gave to the criminal become not important because law in Indonesia that rule about restitution could not be applied maximally. That only wish from the victims are that they will get their money back, but for law enforcer, that the firs action need to be done is to prevent the criminal from escaping., hiding the evidence and prevent anymore victims. Those two opposed interest should not be happen because one purpose of penalty is to keep the balance in society from losing.

Kata Kunci : Bank gelap, korban, ganti rugi

A. Latar Belakang

Pasal 16 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur hal sebagai berikut : setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam ben-tuk simpan pinjam wajib terlebih dahulu mem-peroleh ijin usaha sebagai Bank Umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan meng-himpuan dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

Penjelasan Pasal 16 menyebutkan, bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan ke-giatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang meng-himpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu, dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpan pinjam hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memeproleh ijin usaha sebagai bank umum atau sebagai Bank Per-kreditan rakyat. Namun, dimasyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melaku-kan kegiatan penghimpunan dana dari masya-rakat dalam bentuk simpanan atau semcam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan

asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbank-an berdasarkperbank-an ketentuperbank-an dalam ayat ini. Kegiatan penghimpun dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, diatur dengan undang-undang sendiri.

Beberapa tahun belakangan ini muncul modus operandi baru dalam perkembangan tin-dak pidana yang berhubungan dengan kegiatan pengumpulan dana dari masyarakat. Sebenar-nya tindak pidana yang dilakukan adalah sejenis penipuan dan berkombinasi dengan peng-gelapan, namun modus operandi yang biasa dilakukan adalah ajakan melakukan bisnis se-jenis Multi level marketing (MLM) atau sejenis penyertaan modal masyarakat. Beberapa con-toh kasus yang pernah terjadi antara lain : di daerah Cilacap medio Desmber 2004 yaitu apa yang dilakukan oleh penguasa bengkel dan variasi mobil dengan total kerugian yang di derita oleh para korban diperkirakan mencapai Rp 14 miliar.1 Di Surakarta yang dilakukan oleh CV Medical, Sedangkan yang terjadi di Purba-lingga adalah apa yang dilakukan oleh CV Ber-lian Artha Sejahtera dengan perkiraan jumlah kerugian para korban mencapai Rp 200 miliar .2 Pada tahun 2006 meledak pula kasus serupa ini

1Suara Merdeka, Sabtu 11 Desember 2004.

(2)

di Semarang yaitu Ibist (Interbanking Bisnis Terencana) dan di Salatiga yang dilakukan pengusaha Erni Fashions3.

Bagi para korban hal utama yang diingin-kan adalah sesegera mungkin uang yang di setorkannya dapat kembali utuh, namun demi-kian bagi penegak hukum yang pertama harus dilakukan adalah mencegah si pelaku agar jangan sampai melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mencegah agar tidak timbul korban baru. Kedua kepentingan yang bertolak belakang ini seharusnya tidak terjadi, sebab salah satu tujuan adanya penjatuhan sanksi adalah kembalinya keserasian hubungan dalam masyarakat yang telah terluka akibat timbulnya tindak pidana yang dilakukan si pelaku.

Berdasarkan hal tersebut di atas, tulisan ini akan membahas tentang bagaimanakah per-lindungan hukum yang tepat terhadap korban Bank Gelap dan upaya apakah yang dilakukan oleh penegak hukum untuk dapat mencegah tidak terulangnya kasus serupa.

B. Pembahasan

Dari data penelitian di lapangan dapat diketahui terdapat 18 (delapan belas) saksi korban dari kasus Batramas yang diperiksa dalam kasus tersebut oleh pihak penyidik Polres Banyumas, adapun data secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Dari hasil wawancara dengan Kasat-reskrim Polres Banyumas Widada, S.H., di peroleh keterangan, bahwa pihak penyidik perkara Batramas merasa kesulitan pada waktu akan menyita asset KSP Batramas, karena sebagian besar asset yang masih ada seperti kendaran merupakan barang-barang lising (Sewa Beli) milik dealer kendaraan. Sedangkan benda tidak bergerak yang ada sudah dijamin-kan kepada Pihak III. Keadaan tersebut tentu saja membuat langkah penyidik untuk mensita asset Batramas harus benar-benar teliti dan hati-hati karena berkaitan dengan pihak III. Selain para nasabah.4

3 Suara Merdeka, Jumat 24 November 2006.

4 Wawancara dengan Kasat Reskrim Polres Banyumas,

Widada, SH per 31 Oktober 2006

Dari hasil wawancara dengan responden dari Kejaksaan Negeri Purwokerto, dapat di ketahui bahwa pada umumnya responden ter-tarik bergabung dengan KSP (Koperasi Simpan Pinjam) Batramas karena adanya janji-janji pengelola akan diberikan bunga simpanan yang lebih tinggi dari bank yang resmi. Promosi ada-nya bunga yang tinggi pada umumada-nya telah sempat dinikmati oleh para korban pada tahap-awal modal ditanam, sehingga mereka percaya. Adapun jenis-jenis simpanan yang di kelola KSP Batramas adalah sebagai berikut: 1. Simpanan berjangka terdiri dari :

a. Sijakop (Simpanan Berjangka Koperasi) dengan bunga 1,02

b. Sikamas (Simpanan Berjangka Koperasi) dengan bunga 1,17

c. Mitra Mas (Mitra Batramas) dengan bunga 1,7

d. Sibawa (Simpanan Masa Depan Siswa) dengan bunga 3,2

e. Siraya (simpanan Hari Raya) dengan bunga 4,24

2. Simpanan Reguler SIBRATA (Simpanan Batramas) dengan bunga 1,02

3. SIMAPAN (Simpanan Masa Depan Karyawan) dengan bunga 2,5

Persamaan dan perbedaan dari masing-masing jenis simpanan tersebut adalah bahwa semua simpanan tersebut sama-sama merupa-kan simpanan yang dikelola KSP Batramas, sedangakan perbedaannya adalah:

- Simpaan berjangka hanya dapat diabil dengan jatuh tempo tertentu

- Simpanan Reguler Sibrata dapat diambil sewaktu-waktu.

- Simpanan karyawan dapat diambil setelah 5 tahun.

(3)

sem-Sumber : Data penyidik per 10 Maret 2006.

bilan ribu tiga ratus tiga puluh dua rupiah).

Dalam kasus-kasus semacam ini kunci penting untuk dapat mengumpulkan asset pihak yang berbuat curang (tersangka) adalah pihak penyidik dan para korban sendiri, penyidik dan korban harus selalu berkoordinasi, korban de-ngan cepat melaporkan adanya dugaan tindak pidana kemudian penyidik dengan cepat ber-gerak, sehingga bisa memperkecil kemungkinan dipindahtangankannya asset pada pihak lain.5

Dari hasil wawancara dengan Advokat yang mendamping para korban KSP Batramas diperoleh data sebagai berikut.6 Para korban

5 Wawancara dengan Narasumber JPU Kejari Purwokerto

Agus H, SH & Sukirno, SH, per 5 November 2007 6 Wawancara dengan Narasumber Advokat dari LBH Perisai

Kebenaran per 10 November 2007

KSP Batramas pada umum-nya tertarik menjadi nasabah maupun calon anggota karena per-syaratannya mudah dan ringan, yaitu untuk membuka rekening pertama kali minimal hanya Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah) dan untuk mena-bung selnajutnya minimal juga Rp. 1.000,00 (seribu rupiah). Sedangkan bagi calon pemin-jam persyaratannya adalah harus sudah mem-punyai simpanan di KSP Batramas minimal sebanyak 2dari jumlah yang akan dipinjam.

Terhadap perlindungan hukum yang di harapkan oleh para korban memang hingga saat ini belum dirasakan maksimal, namun demikian para korban berusaha mengajukan gugatan secara keperdataan dengan alas hak wanpres-tasi atau ingkar janji. Jalur ini ditempuh me-ngingat apabila mengajukan upaya ganti rugi Tabel

Daftar Nama Para Korban “Bank Gelap” Batramas

No Nama Alamat Pekerjaan

1 Iin Nurhidayati, SE Diah Kristanti Putut Tobing Hardiansyah, SE Ana R. K, SE

Herlin N, Amd Nurulita, SE Dr. T.W Basuki Sarta

V.Bambang P, SE Abdillah Effendi Edy Prayitno, S.Ip Syaeful M.Arifin Umi Rohmathul, SP Diah Puji A, SE Danil Gunawan Tursinah

Rilla Sasyanthi Putri

Ds.Banjarsari Wetan Sumbang RT02/02 Teluk RT 05/02 Purwokerto Selatan Teluk RT 01/05 Purwokerto Selatan Karangkemiri RT 02/04 Kec. Karanglewas RT 01/02 Selakanda Kec.Sumpiuh RT 02/02 Karanglewas Lor Pwt. Barat RT 01/01 Ds.Dewek Kalimanah Pbg

RT 03/13 Ds. Pagelarang Kec. Kemranjen Banyumas

Jln Wiryaatmaja V/21 Purwokerto

Jl.Ringintirto Nomor 59 Bancarkembar Purwokerto

RT 01/06 Ds. Menganti Rawalo Bms Jl.Veteran No 53 Purwokerto Jl. Raya Kober No. 154 Purwokerto

RT 02/02 Karanglewas Lor Purwokerto Barat Ds. Srengseng RT 04/01 Kec. Pagerbarang Tegal

RT 03/01 Ds. Dawuhan Kulon Kedungbanteng Bms

Jl Beruang Raya No.4 Gayamsari Semarang RT 03/01 Ds. Dawuhan Kulon Kedungbanteng Banyumas

RT 05/02 Ds. Bandingan Bawang Banjarnegara RT 02/02 Ds. Banjarsari Gombong Kebumen RT 02/07 Ds. Kutosari Gringsing Kebumen RT 02/2 Ds Padasugih Brebes

Jl.Perintis Kemerdekaan Ruko 30 Pwt RT 02/02 Karanglewas Lor Pwt Barat

(4)

yang digabungkan dengan tuntutan pidana se-bagaimana diatur dalam ketentuan KUHAP pro-sedurnya sulit dilaksanakan di dalam praktek.

Dari responden pejabat Dinas Perindus-trian, perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas, diperoleh data sebagai berikut. 7 KSP Batramas (Koperasi simpan pinjam Bhakti Putra Banyumas) berdiri berdasarkan Akta pen-dirian Koperasi yang telah didaftarkan dalam daftar umum pada tanggal 21 September 2004 dengan Nomor: 130/BH/K.11.IX/2004 yang di tandatangani Kepala Dinas Perindustrian, per-dagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas dan bergerak dibidang simpan pinjam dengan wilayah kerja se-Kabupaten Banyumas. Perkem-bangan selanjutnya pihak Dinas tidak me-ngetahui ketika KSP Batramas telah menyalah-gunakan ijin tersebut termasuk merubah susu-nan kepengurusan. Karena hal ini dipandang sudah bukan lagi menjadi kewenangan dari dinas, dan semata-mata sudah menjadi kewe-nangan KSP sendiri.

Dari hasil wawancara dengan pejabat Bank Indonesia diperoleh data sebagai berikut.8 Secara umum pihak Bank Indonesia tidak per-nah mengenal maupun mensosialisasikan istilah “Bank Gelap”. Pengertian Bank hanya satu yaitu sebagaimana tercantum dalam undang-undang perbankan yaitu UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Berdasarkan keten-tuan Pasal 16 dimana dalam ketenketen-tuan pasal tersebut ditegaskan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat ada yang dilakukan oleh lem-baga selain lemlem-baga perbankan atau perkredit-an masyarakat yaitu sebagaimperkredit-ana dilakukperkredit-an oleh kantor pos, dana pensiun atau perusahaan asuransi. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan. Sehingga Bank Indonesia tidak mempunyai hu-bungan apapun dengan kegiatan semcam ini.

Bank Indonesia sendiri secara periodik te-lah sering melakukan kegiatan berupa pendidik-an kepada masyarakat baik diminta maupun tidak dalam upaya mensosialisasikan materi

Ke-7 Wawancara dengan Ikhsan Kabid Koperasi Kab.

Banyumas, per 6 November 2007

8 Wawancara dengan Mochtari Kepala BI Purwokerto, per

12 November 2007

Bank Sentral-an. Dalam setiap penyuluhan maupun kegiatan-kegiatan lainnya pihak bank selalu memberikan gambaran tentang seberapa bunga bank yang “normal dan sehat”. Sehingga diharapkan masyarakat bisa memahami lem-baga yang lem-bagaimana yang bisa masuk selem-bagai katagori bank dan mana yang tidak beserta segenap resiko yang menyertainya.

1. Perlindungan Hukum Yang Tepat Terhadap Korban “Bank Gelap”

Korban dalam Declaration Of Basic Prin-ciple Of Justice For Victims Of Crime and Abuse Of Powerdinyatakan sebagai berikut : a. “Victims” means person who individually or

collectively, have sufferd harm, including physical or mental injury, emotional suf-fering, economic loss or omissions that are violation or criminal laws operative within member state, including those laws proser-cribing abuse of power.

b. A person may be considered as victims, un-der this declaration, regardless of whether perpetrator is identified. Apprehanded, prosecuted or convited and regardllse and victim. The term of familial relationship betwen the perpetrotor and the victim the “victims” also includes, where appropiate, the immediate family or dependents of direct victim and person who have suffered harm interverning to assist victims in distress or prevent victization.

c. The provisions contaired here in shall be applicable to all, without distinction of any kind, sund as race, colours, sex,age, language, religion, nationality, political or other opinion, cultural beliefs or practices, proverty, birbt or family status, ethnic or social origin and disability.9

Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa yang diamaksud dengan “kor-ban” adalah seseorang baik sendiri maupun bersama-sama menderita kerugian, termasuk luka fisik maupun mental, penderitaan

emosio-9 Angkasa, 2004, Kedudukan Korban Dalam Sistem

(5)

nal, kerugian ekonomi ataupun hak-hak dasar-nya, yang disebabkan karena perbuatan me-langgar hukum pidana pada suatu negara baik sengaja maupun karena kelalaian.

Kedudukan korban selama ini masih se-ring terabaikan, perhatian umumnya lebih di arahkan kepada seberapa berat pelaku tindak pidana mendapat ganjaran berupa pidana yang dianggap setimpal. Padahal pada tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan masa-lah harta benda seperti pada kasus-kasus “bank gelap” permasalahan tidak begitu saja menjadi selesai setelah ditangkap dan dipidananya si pelaku, sebab para korban justru lebih me-nginginkan pelaku tidak dipidana asal saja harta benda yang mereka tanamkan serahkan pada si pelaku bisa kembali.

Dalam prespektif viktimologi dikenal ada-nya restitusi dan kompensasi. Restitusi ber-kaitan dengan perbaikan atau restorasi perbaik-an atas kerugiperbaik-an fisik, moral maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas serangan pelaku tindak pidana (penjahat). Restitusi merupakan indikasi pertanggungja-waban pelaku tindak pidana. Restitusi merupa-kan suatu tindamerupa-kan restitutif teradap pelaku tindak pidana yang berkarakter pidana dan menggambarkan suatu tujuan koreksional da-lam kasus pidana.

Kompensasi berkaitan dengan keseim-bangan korban akibat dari perbuatan jahat. Karena perbuatan jahat tersebut merugikan korban, oleh karena itu dapat disebut kom-pensasi atas kerugian fisik, moral maupun harta benda yang diderita korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi juga merupakan suatu indikasi pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang ber-karakter perdata. Dengan demikian tergambar suatu tujuan non pidana dalam kasus pidana.10

Dalam ketentuan Pasal 1 butir 22 KUHAP mengatur pengertian ganti kerugian adalah sebagai berikut :

hak seorang untuk mendapat pemenuhan atau tuntuntannya berupa imbalan se-jumlah uang karena ditangkap, ditahan,

10Ibid

dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut ca-ra yang diatur dalam undang-undang ini.

Para pakar hukum pidana dan kriminologi ternyata sebagian besar mengakui bahwa masa-lah kejahatan tentu tidak lepas dari hubung-annya dengan korban, namun apabila mereka dihadapkan pada penyelesaian kejahatan masih mementingkan ada penjahatnya saja.

Saparovic dalam Disertasi Iswanto menye-butkan jenis-jenis korban menjadi korban in-dividual, kolektif, abstrak dan korban pada diri sendiri. Korban kolektif misalnya korban kelompok sosial, korban suku bangsa, korban dari suatu keyakinan, korban rasial, korban golongan minoritas dan lain-lainnya. Korban abstrak misalnya korban kejahatan dan pelang-garan terhadap ketertiban umum, seperti me-ngendarai motor dalam keadaan mabuk karena pengaruh alkohol. Korban pada diri sendiri misalnya korban homoseksual, pemadat dan narkotika.11

Dari hasil wawancara dengan advokat pendamping para korban, apabila dihubungkan dengan pendapat di atas maka dikatagorikan sebagai korban individual namun karena jumlahnya sangat banyak dapat pula masuk dalam katagori korban kolektif. Alasan lainnya adalah bahwa para korban KSP Batramas pada awalnya masuk menjadi anggota memang secara individu namun karena adanya iming-iming fasilitas dan pemberian bunga yang menggiurkan pada umumnya mereka kemudian mengajak teman-teman maupun kerebatnya untuk bersama-sama menanamkan modal di KSP tersebut, tidak mengherankan dalam waktu yang relatif singkat anggota yang terkumpul mencapai 23.000 anggota.

Selanjutnya Separovic dalam disertasi Is-wanto membagi korban berdasarkan tingkat peranannya dari korban yang sama sekali tidak

11Iswanto, 2002, RestitusiKorban Mati Atau Luka Berat

(6)

berperan sampai korban yang berperan paling kuat terdiri atas:12

a. Non participacing victim, who feel a denial or repuision toward the crime and the criminal and who do not participate in the origin of the crime committed against them; b. b. Latent or predisposed victims, who have

cartain character predispositions

c. For being victimized by certain kinds of offenses,

d. Participating victims, who by their passivity or other similar attitude make their own victimizations possible or easier, and

e. False victims who are not victims at all or who victimize themselves.

Untuk peran korban dalam keikutsertaan timbulnya kejahatan sendiri, para korban KSB Batramas masuk dalam katagori Participating Victims, karena mereka secara sadar ikut menanamkan modal di koperasi tersebut, pada-hal seharusnya mereka sadar bahwa tingginya keuntungan yang dijanjikan pengelola sebenar-nya sudah tidak masuk akal sehat. Hal ini se-suai dengan pendapat dari pemerhati masalah pasar keuangan Muh Zamroni menyatakan:

“banyaknya nasabah yang menjadi korban penipuan dan penggelapan oleh lembaga keuangan, menunjukan karekater masya-rakat yang masih menyukai jalan pintas mendapat keuntungan, tanpa mereka me-neliti secara cermat sebelum menanam-kan modal, sehingga sekalipun kasus se-rupa sudah berulang kali terjadi masya-rakat tidak juga menjadi jera”.

Gosita dalam disertasi Iswanto menyebut-kan bahwa korban memiliki hak-hak yaitu: a. mendapatkan restitusi atas penderitaannya

sesuai dengan kemampuan si pembuat kor-ban, taraf keterlibatan atau peran si korban dalam terjadinya kejahatan, dilekuensi, pe-nyimpangan dan sebagainya.

b. Korban berhak menolak restitusi demi keuntungan pembuat kejahatan.

c. Korban berhak mendapatkan restitusi untuk ahli warisnya, bilamana korban meninggal dunia karena kejahatan tersebut.

12Ibid,hlm. 70

d. Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.

e. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya.

f. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pembuat kejahatan, apabila melapor dan menjadi saksi.

g. Korban berhak menolak menjadi saksi, apabila hal ini mengancam dirinya.

h. Korban berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum

Perihal hak-hak yang sebenarnya dapat diperoleh para korban sebagaimana tersebut di atas menurut keterangan Advokat para Korban KSP Batramas pada kenyataannya tidak dapat diterima, masing-masing korban harus berjuang menyelesaikan kerugian yang menimpanya dan hingga saat ini masih belum tuntas ter-selesaikan.

Dari keterangan Advokat para korban, pihak penyidik dan Jaksa Penuntut umum dapat diketahui bahwa Direktur Utama KSP Batramas memang telah dijatuhi pidana namun demikian asset Batramas yang masih dapat diselamatkan tidak sebanding dengan banyaknya jumlah korban Batramas. Para korban masih harus ber-usaha melakukan upaya hukum lain berupa pengajuan gugatan keperdataan dengan maksud dapat meletakan sita jaminan pada asset KSP Batramas yang sampai saat ini masih dalam sitaan negara untuk kasus pidananya.

Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah atas banding yang diajukan oleh Terdakwa dan Jaksa Penuntut umum, di dalam salah satu pertimbangannya secara mengejutkan Pengadil-an Tinggi Jawa Tengah justru menilai apa yPengadil-ang yang dilakukan terdakwa bukan sepenuhnya kesalahan terdakwa, secara jelas tertulis sebagai berikut :

(7)

waktu Januari 2006, pada saat kantor Batramas kacau balau sehingga akibat terjadinya rush dan amuk masa yang terprovokasi, ini semua mengakibatkan Batramas jadi mengalami kesulitan ke-uangan . . . “13

Putusan tersebut menyiratkan bahwa ter-jadinya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa terjadi akibat :

a. Situasi ekonomi yang tidak stabil di Indo-nesia,

b. Perusahaan Koperasi Simpan Pinjam yang dikelola terdakwa mengalami “rush” sampai dua kali akibat masa yang terprovokasi.

Walaupun secara keseluruhan pertim-bangan tersebut di atas tidak mengubah jenis tindak pidana yang dilakukan terdakwa yaitu “Bersama-sama melakukan kegiatan menghim-pun dana dari masyarakat dalam bentuk sim-panan wajib tanpa ijin dari Bank Indonesia”, namun pendapat Majelis hakim Tinggi yang memeriksa dan memutus perkara tersebut me-nunjukkan bahwa para nasabah juga bersalah karena terprovokasi sehingga melakukan tin-dakan penarikan dana besar-besaran. Sehingga dapat dikatakan hakim dalam memutuskan per-kara ini berpendapat korban (nasabah) juga berperan dalam timbulnya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Atau sebagaimana telah disebutkan di atas para korban masuk dalam katagori “Participating victims, who by their passivity or other similar attitude make their own victimizations possible or easier”.

Hingga saat ini sekalipun modus tindak pidana seperti yang terjadi pada KSP Batramas terus terjadi dan jumlah kerugian juga semakin banyak, dari sisi pandang yuridis ternyata be-lum mampu memberikan perlindungan maksi-mal pada para korban. Sekalipun pelaku telah dijatuhi pidana namun secara umum para kor-ban lebih menghendaki apabila kerugian yang mereka derita bisa dibayarkan kembali oleh pelaku.

Andi Mattalata menyatakan bahwa haki-kat dari suatu kejahatan harus juga dilihat sebagai sesuatu yang merugikan pihak lain,

13 Putusan Pengadilan Tinggi Jateng No. 317/Pid/2006/

PT.Smg a.n. Dian Radita BBA Dirut KSP Batramas

yaitu yang disebut sebagai korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan dari si korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya.14

Memperhatikan kepentingan korban da-lam penjatuhan pidana, bukan sekedar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekedar per-timbangan logika, tetapi juga untuk kepenting-an pelaku kejahatkepenting-an itu sendiri. Si pelaku ykepenting-ang telah berbuat baik kepada korbannya, akan lebih mudah pembinaannya, karena dengan demikian pelaku telah merasa berbuat secara konkrit untuk menghilangkan noda yang di akibatkan oleh kejahatannya. Penjatuhan ksi berupa kewajiban untuk memberikan san-tunan kepada korban, akan mengembangkan tanggungjawab pelaku karena pelaksanaannya dibutuhkan peran aktif dari pelaku. Peran yang lebih aktif dari pelaku akan memudahkan dia untuk menghayati akibat dari perbuatannya, dibandingkan dengan pembinaan dalam Lem-baga Pemasyarakatan tempat terpidana biasa persikap pasif.

Dilihat dari sudut pandang masyarakat, penjatuhan pidana tersebut memberikan kesan bahwa si pelaku bukan saja telah dijatuhi pidana, tetapi juga telah membayar hutangnya dalam bentuk perbuatan baik terhadap korban. Pandangan ini lebih memudahkan masyarakat untuk menerima kembali keberadaan pelaku itu ditengah-tengah lingkungan masyarakat. Sikap masyarakat ini pada akhirnya akan memupuk dan mengembalik kepercayaan diri si pelaku si pelaku sebagai suatu syarat dalam menempuh jalan hidup yang lebih baik.

Masalah perlindungan hukum bagi korban tindak pidana berupa pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan di dalam konteks hubungan pelaku dan korban menurut Romli Atmasasmita merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi teanggungjawab pelaku sebagai warga masyarakat. Melalui proses resosialisasi dimaksudkan dan diharapkan tertanam rasa

14Andi Mattalata dan JE Sahetapy, 1987, Victimologi

Sebuah Bunga Rampai.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 42

(8)

tanggungjawab sosial dalam diri si pelaku, se-hingga nilai ganti rugi dalam hal ini tidak terletak pada manfaat bagi korban, namun berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku kejahatan atas “hutangnya” (akibat perbuatannya) kepada korban.

2. Upaya Yang Dilakukan Oleh Penegak Hu-kum Untuk Dapat Mencegah Tidak Ter-ulangnya Kasus Serupa

Dalam fungsinya sebagai perlindungan ke-pentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak di capai. Tujuan pokok hukum adalah mencipta-kan tatanan masyarakat yang tertib, men-ciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan ter-lindungi. Dalam mencapai tujuan itu, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan didalam masyarakat, membagi we-wenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Maraknya kasus-kasus tindak pidana peng-himpunan dana dari masyarakat oleh per-seorangan ataupun lembaga-lembaga yang tidak resmi seharusnya mulai mendapat per-hatian yang lebih seksama dari para penegak hukum secara menyeluruh, sebab semakin hari korban yang berjatuhan semakin banyak dengan kerugian yang harus ditanggung para korban juga tidak sedikit. Sedangkan ketentuan per-undangan yang ada dirasa masih sangat tidak berpihak pada para korban.

Hubungan antara pelaku dan korban dipandang sebagai hubungan interaksi antar individu yang bergerak dari hubungan intra-personal ke arah hubungan transintra-personal. Tidak mungkin perilaku korban dikaji secara mandiri, tetapi harus dilihat secara bulat dari aspek kejahatan dan korban.

Hubungan pelaku dan korban ternyata ti-dak sederhana adanya tetapi membentuk hubungan yang sistematik, saling berinterakasi diantaranya dan terjadi alam komunitas yang lebih luas, bisa dimulai dari hubungan antar individu, keluarga atau yang lebih kompleks

lagi yaitu antar komponen yang ada dalam masyarakat sebagai kesatuan. Hubungan ter-sebut juga bisa membentuk hubunga kausal yang lebih luas, yaitu apabila kesatuan individu yang terlibat di dalamnya tidak hanya me-libatkan satu atau dua manusia, tetapi ter-hadap banyak pihak, yang jika hal ini terjadi tentunya akan membuat hubungan tersebut menjadi lebih rumit.

Sekalipun ketentuan perundangan menyi-ratkan adanya perlindungan terhadap korban khususnya dalam hal aturan mengenai pem-berian ganti kerugian namun di dalam praktik-nya hampir tidak pernah menjadi pilihan korban. Hal ini juga terjadi pada para korban KSP Batramas sebagaimana disampaikan oleh Advokat para korban sebagai berikut:

“Terhadap perlindungan hukum yang di harapkan oleh para korban memang hing-ga saat ini belum dirasakan maksimal, namun demikian para korban berusaha mengajukan gugatan secara keperdataan dengan alas hak wanprestasi atau ingkar janji. Jalur ini ditempuh mengingat apa-bila mengajukan upaya ganti rugi yang digabungkan dengan tuntutan pidana se-bagaimana diatur dalam ketentuan KU-HAP prosedurnya sulit dilaksanakan di dalam praktek. . . .”

Penegak hukum hingga saat ini tidak bisa berbuat banyak untuk dapat mencegah tidak terulangnya kasus serupa. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh penyidik Polres Banyumas dan JPU pada Kejari Purwokerto dapat diketahui bahwa Upaya-upaya yang dilakukan oleh pene-gak hukum khususnya pihak penyidik dan kejak-saan terhadap kasus yang sudah terjadi adalah beusaha secara cepat dan optimal mencegah agar asset tersangka tidak sampai berpidah pada pihak ketiga yang akan berakibat para korban tidak dapat meminta pertangungjawab-an secara keperdatapertangungjawab-an pada terspertangungjawab-angka atas hak-haknya.

(9)

untuk melakukan perbuatan serupa dilain waktu. Akan tetapi pada kenyataannya belum bisa mencegah atau mengurangi maraknya kasus serupa.

Pencegahan paling efektif seharusnya lebih tepat dilakukan oleh instnasi pemberi ijin yaitu Dinas Perindustrian, perdagangan dan Koperasi . Dinas ini menjadi sangat vital peran dan tranggungjawabnya, tidak hanya cukup memberi ijin pendirian tetapi tidak pernah melakukan pengawasan secara peridik. Peran dan kewenangannyanya seharusnya bisa diper-luas, sebagaimana Bank Indonesia melakukan peran pengawasan terhadap bank-bank yang telah diberi ijin operasi. Sebab selama ini dari responden pejabat Dinas Perindustrian, per-dagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas, diperoleh data sebagai berikut :15

KSP Batramas (Koperasi simpan pinjam Bhakti Putra Banyumas) berdiri berdasarkan Akta pendirian Koperasi yang telah didaftarkan dalam daftar umum pada tanggal 21 September 2004 dengan Nomor: 130/BH/K.11.IX/2004 yang ditandatangani Kepala Dinas Perindustrian, perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas dan bergerak dibidang simpan pinjam dengan wilayah kerja se-Kabupaten Banyumas. Perkem-bangan selanjutnya pihak Dinas tidak me-ngetahui ketika KSP Batramas telah menyalah-gunakan ijin tersebut termasuk merubah susu-nan kepengurusan. Karena hal ini dipandang sudah bukan lagi menjadi kewenangan dari dinas, dan semata-mata sudah menjadi kewe-nangan KSP sendiri.

Sedangkan dari hasil wawancara dengan pejabat Bank Indonesia diperoleh data sebagai berikut.16 Secara umum pihak Bank Indonesia tidak pernah mengenal maupun mensosialisasi-kan istilah “Bank Gelap”. Pengertian Bank ha-nya satu yaitu sebagaimana tercantum dalam undang-undang perbankan yaitu UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 dimana dalam ketentuan pasal tersebut ditegaskan kegiatan

menghim-15 Wawancara dengan Ikhsan Kabid Koperasi Kab.

Banyu-mas, per 6 November 2007

16 Wawancara dengan Mochtari Kepala BI Purwokerto, per

12 November 2007

pun dana dari masyarakat ada yang dilakukan oleh lembaga selain lembaga perbankan atau perkreditan masyarakat yaitu sebagaimana dilakukan oleh kantor pos, dana pensiun atau perusahaan asuransi. Kegiatan-kegiatan ter-sebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan. Sehingga Bank Indonesia tidak mempunyai hubungan apapun dengan kegiatan semacam ini.

Bank Indonesia sendiri secara periodik telah sering melakukan kegiatan berupa pendidikan kepada masyarakat baik diminta maupun tidak dalam upaya mensosialisasikan materi Ke-Bank Sentral-an. Dalam setiap pe-nyuluhan maupun kegiatan-kegiatan lainnya pihak bank selalu memberikan gambaran tentang seberapa bunga bank yang “normal dan sehat”. Sehingga diharapkan masyarakat bisa memahami lembaga yang bagaimana yang bisa masuk sebagai katagori bank dan mana yang tidak beserta segenap resiko yang menyertai-nya.

Melihat keadaan tersebut di atas, tidak mengherankan bila tindak pidana semacam ini terus terjadi karena tampak sekali instansi terkait tidak bisa melakukan pendekatan kebijakan yang progresif. Kebikaan progresif sebagaimana yang diharapkan dapat dianut oleh penegah hukum di Indonesia di masa kini adalah, sebagaimana dikemukakan oleh Satjip-to Raharjo, adalah sebagai berikut :

“…penegak hukum yang berpikiran progresif menjadikan dirinya bagian dari masyarakat, akan selalu menanyakan, “Apakah peran yang bisa saya berikan dalam masa reformasi ini ?. Apa yang diinginkan bangsa saya dengan reformasi ini ?. Dengan demikian, ia akan menolak bila dikatakan pekerjaannya itu hanya mengeja UU. Penegak hukum progresif akan selalu meletakkan telinga ke degup jantung rakyatnya”.17

F. Penutup 1. Simpulan

(10)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Bahwa perlindungan hukum yang tepat ter-hadap korban “Bank Gelap” , hingga saat ini masih sangat jauh dari harapan sekalipun KUHAP memberi kemungkinan adanya pe-ngajuan gugatan ganti kerugian pada korban bersamaan dengan pengajuan tuntutan pidana oleh Jaksa Penuntut Umum namun dalam prakteknya tetap dianggap terlalu rumit untuk dapat dijalankan. Jalan lain yang diterapkan justru para korban juga mengajukan gugatan keperdataan agar dapat melakukan sita terhadap asset pelaku. b. Upaya yang dilakukan oleh penegak hukum untuk dapat mencegah tidak terulangnya kasus serupa secara yuridis hanyalah me-nuntut terdakwa dengan hukuman yang berat. Pencegahan yang terpenting justru terletak di tangan Dinas Perindustrian, perdagangan dan Koperasi sebagai instansi pemberi ijin.

2. Saran

Hendaknya masyarakat mem-biasakan diri mengkonsultasikan terhadap masalah-masalah yang tidak dipahami kepada ahlinya, terlebih lagi apabila berhubungan dengan masalah penanaman modal pihak perbankan resmi se-benarnya selalu terbuka untuk memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat.

Daftar Pustaka 1. Buku dan Makalah

Atmasasmita, Romli. 1992. Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana. Ban-dung: Citra Aditya Bakti;

Arif, Barda Nawawi. 1998.Beberapa Aspek Kebi-jakan Penegakan Hukum dan Pengem-bangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti;

Angkasa. 2004.Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana. Disertasi. Semarang: UNDIP;

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Perma-salahan Dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika;

Iswanto. 2002. RestitusiKorban Mati Atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lalu Lintas Jalan. Disertasi. Yogyakarta: UGM;

Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty;

Mattalata, Andi dan JE Sahetapy. 1987. Vict-imologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan;

Marpaung, Leden. 1997.Ganti Kerugian dan Re-habilitasi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada;

Prakoso, Djoko. 1986. Kedudukan Justiabel Di dalam KUHAP.Jakarta : Ghalia Indonesia;

Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masya-rakat.Bandung : Angkasa;

---. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas;

Widjanarko.1995. Hukum dan ketentuan Per-bankan di Indoenesia, Jakarta: PT Pus-taka Utama Grafiti;

Wirassih, Esmi.11 Mei 2002. Penegakan Hukum

dan Peranan Masyarakat Dalam

Penanggulangan Kejahatan Narkoba, Semarang.

2. Surat Kabar

Suara Merdeka, Sabtu 11 Desember 2004.

Suara Merdeka, Rabu 5 januari 2005.

Suara Merdeka, Jumat 24 November 2006.

3. Undang-Undang

UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP

Referensi

Dokumen terkait

Petir yang menerpa kawat tanah saluran transmisi menimbulkan tegangan lebih surja berupa gelombang berjalan yang merambat dari titik sambaran menuju menara transmisi

Dari hasil simulasi tersebut dapat digunakan mengidentifikasi pengaruh elemen ruang luar dan konsep Arsitektur Tradisional Bali terhadap kenyamanan termal pada

Setelah rangkaian sensor force sensitive resistor selesai dirangkai pada arduino maka program di upload pada arduino. Kemudian dipasang pada instrumen pengujian yaitu pada

Serangkaian pendekatan resolusi konflik sebagaimana dikemukakan oleh Boistein (2018) menetapkan beberapa strategi yang digunakan untuk mencegah terjadinya konflik antar

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component

Sebuah kalimat yang dihasilkan oleh sebuah Grammar adalah Ambiguous , jika terdapat lebih dari satu Pohon Sintaks yang dapat membentuk kalimat tersebut.. Sebuah Grammar adalah

Korelasi antara hasil inversi penampang Tahanan Jenis dengan Polarisasi Teriduksi pada lintasan Songgoriti-1 (Gambar 4.10 dan Gambar 4.11) menunjukkan adanya indikasi

We then run a regression of log Q on our independent variables (i.e., board size, the num- ber of board meetings, the proportion of inde- pendent commissioners on the board,