BAB III
ANALISIS PARADIGMA PENERIMAAN DEMOKRASI PKS DAN HTI
3.1. Paradigma Penerimaan Demokrasi Partai Keadilan Sejahtera
3.1.1 Kedaulatan Dalam Paradigma PKS
Kedaulatan rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, dan menempatkan
kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Ajaran kedaulatan rakyat sebagai ajaran yang terakhir
dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan tempat yang baik, karena ajaran
kedaulatan rakyat dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran kedaulatan yang
lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat atau berkuasa, maka segala aturan dan kekuasaan yang
dijalankan oleh negara tidak boleh bertentangan dengan kehendak rakyat.
Partai Keadilan Sejahtera, sebagai partai yang berasaskan Islam meletakkan kedaulatan tertinggi ada pada tangan Allah berbeda dengan konsep demokrasi yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagaimana yang dinyatakan Ustad Kasman Siregar dalam wawancara :
“Dalam konsep demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat, kalau di dalam konsep PKS kedaulatan itu ada ditangan Allah SWT karena kita bekerja untuk Allah, berjuang karena Allah dan yang menilai juga Allah begitulah PKS memahami arti kedaulatan…”
Walaupun secara pemahaman kedaulatan versi PKS berbeda dengan konsep kedaulatan yang ada di demokrasi, tidak serta merta kemudian PKS menjadi anti terhadap demokrasi. PKS tetap berjuang dalam sistem tersebut dan berusaha memberikan perubahan dengan menawarkan ide-ide islam dalam upaya memcahkan masalah-masalah kerakyatan.. Sebagaimana yang dinyatakan Ustad Abdur Rahim Siregar dalam wawancara :
itu tentunya ada sebuah sistem yang harus dijalankan, dimana dalam sistem dan mekanisme demokrasi yang kedaulatan berada di tangan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu PKS mencoba menyesuaikan dan mencari kesamaan didalamnya. Sebagai alat perjuangan dan sarana dakwah tentunya program dan visi yang ditawarkan PKS haruslah bersifat kerakyatan namun tidak keluar daripada koridor islam itu sendiri. Melalui penyesuaian dan kesamaan itulah yang kemudian muncul sebuah gagasan melalui jargon PKS hari ini yang sama-sama kita ketahui dengan nama Berkhidmat untuk rakyat.”
Partai Keadilan Sejahtera menyatakan bahwa mereka tidak mempermasalahkan
demokrasi dalam konteks bernegara, hal ini dibuktikan dengan keikusertaan PKS dalam
kontestasi pemilu sejak pertama kali Partai ini terbentuk yang masih bernama Partai Keadilan
(PK). Sebagaimana Ustad Ikrimah Hamidy dalam wawancara :
“PKS tidak mempermasalahkan keberadaan demokrasi dalam mekanisme berbangsa dan bernegara. Karena PKS turut serta dalam dinamika politik berdemokrasi yang ada sejak tahun 1999, lewat jalur pemilu, dulu namanya Partai Keadilan. Disaat yang sama, PKS bekerja memperbaiki pemahaman dan moral masyarakat agar dalam memberikan pilihan politiknya bertujuan memperbaiki. Kondisi sosial politik bangsa agar lebih berlandaskan nilai-nilai islam. Nah, apabila dalam dinamika demokrasi ternyata ide PKS belum diterima sehingga kedaulatan itu dipegang oleh partai yang bernuansa ideology lain, maka PKS menerima kenyataan tersebut dan tetap menjadi penyeimbang bagi pemegang kedaulatan.”
Menurut Partai Keadilan Sejahtera, kata-kata rakyat selama ini telah dibajak oleh
kelompok yang berpaham sosialis atau Marxis melalui pembentukan partai-partai berbaju
kerakyatan yaitu Partai Rakyat Demokratik tahun 1996. Namun pamornya redup karena pada
pemilu 1999, gagal memenuhi ambang batas suara. Tampilan baju kerakyatan itu memang
garang di jalanan, meskipu elite pendiridan pemimpinnya sesungguhnya berwatak borjuis
sebuah istilah yang menunjuk kepada kelas menengah yang berlawanan kepentingan dengan
rakyat kebanyakan.
Jika kita membuka kamus bahasa Arab “Al Mu’jam al Wasith” kita akan temukan
kata ra’a (ra-ain-alif) sebagai akar dari kata rakyat yang artinya menjaga dan memelihara.
Dari kata dasar dari ra’a muncul pula istilah ra’iyatuh, yakni manusia pada umumnya yang
bersumber konsep rakyat yang kita dengar sehari-hari dan tanpa permisi dibajak oleh kaum
kiri.76
Oleh karena itu sudah sepantasnya umat islam merebut kembali konsep kedaulatan
rakyat yang telah lama hilang, lalu tanpa sadar kita anggap asing. Rakyat seperti mutiara yang
hilang dari kaum muslimin. Konsep rakyat tidak perlu dipertentangkan, malah sepatutnya
disandingkan dengan istilah umat yang lebih akrab di telinga kita. Bila rakyat merujuk pada
status vertical, yakni warga yang diperintah oleh seorang pemimpin (leader) atau penguasa
(ruler), maka umat menggambarkan status horizontal, yakni warga yang diikat oleh
keyakinan dan cita-cita bersama. Umat juga perlu pemimpin untuk mengarahkan perjalanan
hidupnya tapi lebih bernuansa egaliter.
77
Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang
mainstream digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa
pemerintahannya itu baik dan legitimate. Jika mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir
tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu
sendiri. Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang
tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem
pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih
berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di
tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka 3.1.2 Sistem Demokrasi Dalam Paradigma PKS
76
Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, Bandung : Harakatuna Publishing, 2005, Hal. 4
77
menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan
mengatasnamakan demokrasi.
Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya,
namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila
kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam.
Beberapa diantaranya ialah : Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi
meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya
sama sekali tidak ada dalam syariat Islam. Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat
yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro, memberi suara dalam pemilu
sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon, termasuk adanya pembatasan masa
jabatan penguasa. Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil
rakyat.
Partai Keadilan Sejahtera menganggap demokrasi sebagai peluang dakwah atau
sarana dakwah sehingga perlu dibentuk yang namanya payung dakwah melalui partai politik.
Sebagaimana Ustad Kasman Siregar dalam wawancara :
“Di dunia sekarang Demokrasi merupakan alat untuk menunjukkan eksistensi negara dalam dunia internasional. Kalau PKS tidak ikut demokrasi PKS akan cepat dibredel. Pada dasarnya Partai Keadilan Sejahtera adalah Partai dakwah maka dibentuk untuk pula payung payung dakwah supaya dakwah ini jalan terus. Dalam usul fiqh yang dalam bahas Indonesianya “mencari yang paling rendah mudharotnya” kalau kita anti demokrasi maka besar mudharotnya, cepat islam di depak…”
Lebih lanjut, dengan ikut dalam sistem demokrasi selain tidak mudah dibredel potensi
untuk mengakomodir kepentingan umat dan dakwah mealui metode tarbiyah lebih besar jika
dibandingkan dengan memilih tidak masuk kedalam sistem. Sebagaimana Ustad Kasman
Siregar dalam wawancara :
terakomodir. Dalam berdakwah PKS juga memiliki metode tarbiyah bagaimana islam ini dapat menjadi rahmatan lil alamin tentunya tidak dengan serta merta memaksakan suatu sistem kepada masyarakat. tentu semuanya harus melalui proses tarbiyah. Dan proses tarbiyah itulah yang sedang PKS jalani agar masyarakat paham mengapa kita harus berislam.”
Hal itu dibuktikan dengan berpartisipasinya PKS dalam setiap momen Pemilu sejak
pertama partai ini dibentuk sampai dengan sekarang. PKS tidak mempermasalahkan
mekanisme demokrasi dalam kehidupan bernegara sebagaimana Ustad Ikrimah Hamidy
dalam wawancara :
“PKS tidak mempermasalahkan keberadaan demokrasi dalam mekanisme berbangsa dan bernegara. Karena PKS turut serta dalam dinamika politik berdemokrasi yang ada sejak tahun 1999, lewat jalur pemilu, dulu namanya Partai Keadilan. Disaat yang sama, PKS bekerja memperbaiki pemahaman dan moral masyarakat agar dalam memberikan pilihan politiknya bertujuan memperbaiki kondisi sosial politik bangsa agar lebih berlandaskan nilai-nilai islam…”
Sebagai sebuah partai yang menjadikan Islam sebagai asasnya, PKS menunjukan
bahwa pergaulan Islam dan politik dengan demokrasi, tidaklah sehitam yang dituduhkan.
Dengan karakter pemahaman yang khas mengenai peran agama dalam kehidupan --termasuk
didalamnya kehidupan berpolitik-- PKS memandang demokrasi sebagai realitas objektif. PKS
memandang demokrasi sebagai media yang efektif dalam menerapkan idealisme dan
terciptanya sebuah kondisi yang terbaik berdasarkan kehendak dan kepentingan bersama
(general will). Sehingga berbeda dengan tuduhan banyak pihak, demokrasi justru telah menjadi sebuah 'kartu as' bagi kiprah politik partai yang mendapatkan dukungan relatif
meluas di kalangan terpelajar ini.
Pilihan memandang demokrasi sebagai strategi bukanlah sesuatu yang asing,
mengingat pandangan aktivis pergerakan dan juga pemikir muslim seperti Hasan al-Banna
ataupun Mohammad Natsir, yang menyatakan demokrasi tidak mesti dipandang melulu
sebagai sebuah jalan hidup (way of life). Di dalam batasan ini, tidaklah salah jika PKS
hidup. Meski dalam situasi seperti ini kerap memunculkan spekulasi tentang hadirnya sebuah
demokrasi yang tegak tanpa adanya demokrat (democracy without democrats), sebagaimana
dilansir Ghasan Salame (1994). Namun yang pasti, PKS dalam kiprah politiknya telah dengan
sadar mempraktikkan model demokrasi dan hal ini diakui oleh banyak pihak. 78
Partai Keadilan yang semula berasal dari gerakan dakwah Islam, pada era Reformasi
pasca pemerintahan Orde Baru memandang bahwa perjuangan dakwah harus dilanjutkan. Hal
ini merupakan ikhtiyar untuk mewujudkan dakwah Islam dalam tatanan masyarakat yang
masih terbelenggu dalam kemiskinan, belum menikmati kesejahteraan, hingga minimnya
penumbuhan kepribadian Islam. Akhirnya para aktifis dakwah memutuskan untuk membuat
sebuah partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam, untuk mencapai tujuan dakwah
Islam dengan cara yang demokratis. 79
Meski berasas Islam, PKS dalam visi misi maupun di Anggaran Dasarnya tidak
menyebutkan akan mendirikan negara Islam, walaupun bagi PKS relasi Islam dan negara
tidak dapat dipisahkan, pendirian negara Islam merupakan persoalan lain, karena menurut
Hidayat Nurwahid, kata-kata negara Islam bukan sesuatu yang diutamakan, yang lebih utama
menurutnya bagaimana nilai-nilai Islam itu hadir dalam kaidah kehidupan publik, negara
yang dikehendaki PKS adalah negara berkeadilan dan berkesejahteraan (justice and welfare
state).80
Konsep seperti ini mencerminkan sebuah pemikiran Islam modernis Sikap dasar
pemikiran modernisme Islam dalam dunia politik, yaitu; 1. Berhubungan dengan sejauh mana
doktrin Islam di dalam dunia politik. Dalam konteks ini beberapa kalangan membela bahwa
78
06.43 WIB
79
Nasiwan, Geliat Islam dalam Pentas Politik Indonesia Kontemporer,(Kalimantan Barat: Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi Rakyat (LPSER), 2003), hlm. 63.
80
pandangan bahwa Islam merupakam doktrin yang lebih dari sekedar suatu agama pribadi.
Islam merupakan ajaran yang turut mengatur kehidupan sosial dan politik; 2. berkaitan
dengan praktik politik pendahulu (salaf) dalam kehidupan modern. Dalam mensikapi hal ini,
kalangan modernis melakukam penafsiran kondisi yang ada pada masa lampau tersebut,
daripada harus mencontohnya secara in tito. Menurut kalangan modernis, tidak seluruhnya
yang terjadi di masa lalu harus dipraktikkan.81
K.H. Hilmi Aminuddin, seorang pakar dakwah dan penulis buku saku “Siyasat ad
Da’wah dalam Harakah Islamiyah” menjelaskan dalam sebuah ceramahnya bahwa Pemilu biasa diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai intikhab, artinya memilih di antara beberapa
alternatif. Selanjutnya dijelaskan pula dalam istilah lain yang senada, ikhtiyar (memilih dari
segala alternatif yang mungkin diraih). Karena itulah manusia diperintah untuk berikhtiar
sekuat tenaga tanpa kenal lelah untuk mencapai cita-cita yang telah mereka pilih, apa pun
hasilnya nanti. Ada istilah lain yang bersifat khusus, yaitu ishthafa’ (memilih satu-satunya
alternatif yang terbaik). Dalam konteks yang terakhir inilah, Allah Ta’ala memilih
(Innallaha-sthafa) Nabi Muhammad Saw. Sebagai Nabi yang terakhir (Al-Musthafa) dan
Islam sebagai agama pilihan (Din al Musthafa) yang sempurna dan diridhai-Nya.
3.1.3 Pemilihan Umum Dalam Paradigma PKS
82
Dalam penjelasan singkatnya K.H. Hilmi Aminuddin menyatakan bahwa para
pemegang kebijakan dakwah (policy makers) harus menyadari bahwa posisi mereka
merupakan beban (taklif) bukan kemuliaan (tasyrif). Sebab, “penanggung jawab dakwah
81
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 336-337. Mengenai dikotomi paham modernisme dan fundamentalisme dalam praktik politik Islam juga dapat dilihat dalam Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-I Islam (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999).
82
muncul karena dipilih (isthafa) dengan suatu kriteria yang bersumber dari Kitabullah dan
sunnah rasul.83
“Dalam konsep PKS sendiri ada sistem Syuro’ namanya. Syuro itu bahasa demokrasi dalam perspektif PKS namun yang membedakan dalam sistem Demokrasi yang
Dikutipnya kisah pelantikan Thalut sebagai komanda perang Bani Israil
sepeninggal Nabi Musa, yang merupakan pilihan Allah semata walaupun para elite (mala’)
Bani Israil tidak menyukainya.
Partai Keadilan Sejahtera memaknai Pemilu sebagai ajang kompetisi ide dan
pengaruh kepada masyarakat. sebagaimana Ustad Ikrimah Hamidy dalam wawancara :
“Pemilu bagi PKS adalah ajang kompetisi ide dan pengaruh kepada masyarakat. sejauh mana partai mampu mempengaruhi masyarakat melalui ide-ide yang ditawarkannya. Oleh karena itu PKS mengukur pemilu sebagai tolak ukur kemampuan PKS dalam menyebarluaskan dakwah ditengah masyarakat. karenanya PKS selalu bersemboyan, politik adalah bagian dakwah dan dakwah adalah panglima dalam beraktivitas, artinya banyak kegiatan PKS ditengah-tengah masyarakat, bukan hanya melulu politik melalui pemilu atau pilkada.”
Banyak pintu-pintu yang dapat digunakan untuk memperjuangkan islam, dan PKS
menjadikan pemilu sebagai sarana untuk memasifkan dakwah ketengah-tengah masyarakat
sebagaimana Ustad Abdur Rahim Siregar dalam wawancara :
“Dalam perjuangan dakwah tentunya banyak pintu-pintu yang bisa kita pilih dan masuki sebagai pintu dan alat bagi perjuangan kita. Dan PKS memilih jalan politik sebagai bagian dari Dakwah PKS. Kenapa? Karena PKS melihat politik itu berbicara tentang pengaruh, kewenangan dan ketika PKS turut serta dalam pemilu dakwah ini akan semakin kompleks melalui pengaruh dan kewenangan yang ada. Ide ide kerakyatan yang bernuansa islam akan lebih mudah disampaikan, dibuat melalui lembaga legislatif atau DPR yang kemudian DPR ini adalah output daripada pemilu. Melalui politik tentunya dakwah akan lebih massif ketimbang kita memilih berjuang diluar daripada sistem yang ada sekarang…”
Dalam Internal PKS mengenal istilah syuro dalam mekanisme pengambilan
keputusan. Berbeda dengan pemilu yang berlandaskan dengan suara mayoritas, syuro lebih
mengutamakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran walaupun sedikit
pendukungnya. Sebagaimana Ustad Kasman Siregar dalam wawancara :
83
dilihat adalah suara terbanyak, sedangkan dalam sistem syuro adalah suara yang paling dekat dengan kebenaran. Dan tidak serta merta suara terbanyak itu paling dekat kebenaran atau paling bagus, bisa jadi suara yang sedikit paling kecil kemungkarannya dan paling besar manfaatnya…”
Selain itu dikenal juga istilah Majelis Syuro dalam Partai Keadilan Sejahtera sebagai
wadah tertinggi pengambil keputusam tertinggi di partai termasuk dalam suksesi
kepemimpinan di internal partai sendiri. Sebagaimana Ustad Kasman Siregar dalam
wawancara :
“…Di dalam PKS itu ada istilah Majelis Syuro atau perwakilan setiap provinsi. Setiap provinsi memiliki perwakilan di majelis syuro tergantung dari berapa jumlah kadernya. Satu kursi di majelis syuro mewakili 400 kader yang ada di daerahnya kalau 400 kebawah kadernya 1 jumlah perwakilannya di majelis syuro. PKS sumut sendiri ada tiga orang di posisi majelis syuro karena kader intinya lebih dari 1000. Perwakilan dari majelis syuro ini merupakan representasi kader di provinsi dan membawa usulan serta aspirasi dari daerah. Dan perwakilan itu di daerah juga dipilih melalui sistem syuro di tingkat daerah.”
Dalam AD/ART PKS, Majelis Syura berfungsi sebagai “Ahlul Halli wal Aqdi”
(Majelis Permusyawaratan) Partai yang dipimpin oleh seorang Ketua. Majelis Syura memiliki
tugas dan wewenang untuk memilih dan menetapkan Ketua Majelis Syuro, Ketua Majelis
Pertimbangan Pusat, Presiden, Sekjen, Bendum Dewan Pengurus Pusat, dan Ketua Syariah
Pusat. Ada beberapa hal yang kemudian membedakan PKS dengan partai konvensional lain
sebagaimana Ustad Kasman Siregar dalam wawancara :
“Perbedaan yang paling utama adalah karena PKS adalah Partai dakwah, kalau berdakwah itu kapan saja sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, seumur hidup kita berdakwah terus, Kalau partai lain dia ada musim-musimnya. PKS punya aktivitas rutin melalui kegiatan-kegiatan pengkaderan, pengajian terjalin koordinasi dan hubungan, pertemuan yang continue sebagai wadah silahturahmi dan saling evaluasi antar sesame kader Partai Keadilan Sejahtera sehingga kantor-kantor PKS selalu ramai dengan kegiatan beda dengan partai-partai lainnya. Itulah yang membedakan PKS dengan partai-partai lainnya termasuk dengan partai islam sendiri”
Selain itu, Ustad Abdur Rahim Siregar mengatakan kader PKS sebagai kader partai
dakwah harus mampu menunjukkan akhlakul karimah dalam seluruh lini kehidupan itulah
“Di dalam AD/ART kita tercantum bahwasanya PKS merupakan partai berasaskan Islam maka dari itu konsekuensinya seluruh kader PKS harus membawa nilai nilai islam itu dalam setiap lini kehidupannya. Termasuk juga ketika berkecimpung di dalam sistem baik itu eksekutif, legislative, dan yudikatif. Nilai nilai apa yang kemudian dibawa oleh kader PKS dalam sistem itu? Nilai-nilai yang dicontohkan rasul seperti ketauladanan, jujur, adil, amanah, bertanggung jawab dan lainnya. Dan dengan nilai-nlai itulah kemudian menjadi dasar bagi setiap kader PKS untuk bertindak dan bersikap. Melalui ikhtiar perbaikan akhlak pribadi kemudian dapat mewarnai dan memberikan warna perbaikan akhlak untuk masyarakat kedepan.”
Dalam pandangan PKS partisipasi dalam ranah politik merupakan hal yang sangat
penting. Hilmi Aminuddin pernah mengungkapkan tujuan utama pengembangan partisipasi
umat adalah untuk memberikan perlindungan (mindhallah siyasah) bagi segenap aktivitas
dakwah. Selain itu diuraikan pula perlu adanya penyebaran kader umat (intisyariyah),
perluasan jangkauan pengaruh (tawsyi’iyah), memanfaatkan potensi (thaqah), dan peluang
(furhsah) yang tersedia, eksperimentasi dalam praktek kenegaraan (tajribah fi idarat ad dawlah), serta memperkuat dukungan public dan finansial (taqwiyahfi ad da’mi wa at tamwil). Partisipasi bukan hanya mengejar kepentingan pragmatis, apalagi sekedar mengekor
kekuasaan yang mapan.84
84
Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, Bandung : Harakatuna Publishing, 2005, Hal. 64
Pemahaman yang jernih tentang partisipasi ini seharusnya diperhatikan terutama oleh
kaum du’at (penggerak dakwah) yang terjun ke kancah politik praktis. Mungkin ada di antara
mereka yang menjadi fungsionaris partai, anggota parlemen, atau bahkan dipercaya
memimpin lembaga eksekutif. Jangan sampai mereka larut dalam pusaran kekuasaan, lalu
menghirup polutan yang telah bercampur dengan udara bersih. Jika itu terjadi, mereka akan
mengalami stress akibat benturan keyakinan dan kenyataan yang berbeda, bahkan mungkin
3.1.4 Negara Hukum Dalam Paradigma PKS
Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam
menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan yang satu
sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan
dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada
sisi yang lain negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu
negara bukanlah manusia, tetapi hukum. hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan
penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum tidak dimaksudkan
hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan keadilan bagi semua orang sehingga negara hukum yang dikembangkan bukan
absolute rechtsstaat, tetapi demcratische rechtsstaat.85
85
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstiusi, Jakarta, 2008, hal. 532.
Menurut PKS, negara hukum adalah negara yang menjadikan hukum dalam mengatur
tata kehidupan masyarakat. Untuk itu PKS tentu berjuang agar hukum islam dapat diterima
masyarakat Indonesia sebagaimana Ustad Ikrimah Hamidy dalam wawancara :
“Negara hukum adalah negara yang menjadikan hukum dalam mengatur tata kehidupan masyarakat. PKS tentu berjuang agar hukum-hukum islam dapat diterima oleh masyarakat dengan baik, karena PKS meyakini hukum islam bermanfaat bagi semua orang untuk menciptakan kedamaian dan keamanan sosial. Namun PKS juga menyadari bahwa hukum tersebut berkembang sesuai dengan zaman dan kondisi. Oleh karena itu, bagi PKS, hukum islam juga akan berkembang, khususnya terkait dengan kondisi kekinian.”
Lebih lanjut Ustad Abdur Rahim Siregar dalam wawancara menganggap ada peluang
untuk hukum Islam di adopsi dalam hukum Indonesia apabila hukum yang ada di Indonesia
“Berbicara mengenai hukum tentunya kita di Indonesia kita bersepakat bahwa landasan konstitusi kita berbangsa dan bernegara itu ada di UUD 45 yang kemudian penjabarannya ada di Undang-Undang. Sedangkan Islam sendiri menjadikan Al-Quran dan As-sunah sebagai sumber daripada segala sumber hukum. Hukum kita banyak mengadopsi hukum hukum yang dibuat oleh belanda dan kemudia sesuai dengan perkembangan zaman hukum itu pasti ada yang tidak sesuai dan tidak tepat bagi kondisi masyarakat kita pada masa itu maka kemudian dibutuhkan lah yang namanya amandemen. Nah melalui amandemen itulah yang kemudian menjadi peluang buat kita untuk menawarkan ide dan solusi dari islam tadi. Dan harapannya nanti hukm di Indonesia bukanlah hukum yang tebang pilih yang tajam kebawah namun tumpul keatas. Dan hukum dijalankan dengan seadil-adilnya dan tidak boleh diintervensi oleh penguasa.”
Namun yang harus dipahami, dalam pandangan PKS hukum Islam itu tidak serta
merta diterapkan sebagaimana wawancara dengan Ustad Kasman Siregar :
“… Namun yang harus kita pahami, dalam perspektif PKS hukum islam itu tidak serta merta kita terapkan. Contoh dimasa Umar ada yang mencuri tidak dipotong tangannya. Karena alasannya rupanya dia miskin, tidak makan. Ada tahapan tahapan dalam menerapkan hukum islam seperti Allah menurunkan ayat tentang haramnya mengkonsumsi Khamar ada sampai empat kali tahapan dalam hal itu. Begitulah islam semuanya ada tahapan untuk menjadikan islam itu rahmatan lil alamin.”
Ada tahapan yang mesti dilewati dalam penerapan hukum Islam menurut pandangan
PKS. Tahapan-tahapan itu tentunya harus melalui pembentukan keluarga-keluarga Islam, lalu
muncullah masyarakat yang islami yang sadar kebutuhannya akan hukum islam. Jadi hukum
islam diterapkan di Indonesia tentunya harus melalui kesadaran dan kehendak dari
masyarakat bukan konstitusi atau kekuasaan negara yang mengharuskan hukum islam itu
diterapkan seperti halnya di Aceh.
3.2 Paradigma Penerimaan Demokrasi Hizbut Tahrir Indonesia
3.2.1 Kedaulatan Dalam Paradigma HTI
Kedaulatan rakyat yang berarti rakyat yang berkuasa. Rakyat suatu negara adalah
kumpulan manusia yang mempunyai persamaan antara lain persamaan asal usul, persamaan
kepentingan atau kebutuhan, persamaan pikiran atau maksud.86
Konsep kedaulatan rakyat yang berarti rakyat yang mempunyai kedaulatan atau
kekuasaan, yang berarti konsep kekuasaan rakyat atau kedaulatan yang demikian tidak
bersifat mutlak. Menurut Masdar F.Mas’udi: Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan
(sovereignty) untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat terbatas (muqayyad), relatif (nisby) dan ada yang tak terbatas (ghair muqayaad) atau mutlak (absout). Kedaulatan absolut adalah kedaulatan atas semua kedaulatan yang tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain.
Kedaulatan absolut hanya milik Allah SWT, untuk mengatur alam semesta melalui hukum
alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral yang
diilhamkan kepada setiap nurani (qalb) manusia atau diwahyukan melalui para nabi dan
rasul-Nya, sedangkan dalam negara sebagai bangunan sosial dan proyek peradaban yang
direkayasa oleh manusia dalam wilayah tertentu yang berdaulat adalah manusia secara
kolektif sebagai khalifah-Nya.
Rakyat yang berkumpul dan
hidup bersama merasa perlu memilih pemimpin atau wakilnya mereka secara bersama untuk
menentukan kehidupan mereka bersama, sehingga dilaksanakanlah pemilihan.
87
Ketidakmutlakan kedaulatan yang dimiliki rakyat dimanifestasikan dalam kehidupan
sosial dan bermasyarakat yang berkelompok. Kelompok masyarakat yang banyak tersebut
kemudian berdaulat untuk memilih pemimpin atau wakilnya yang duduk di pemerintahan
untuk menyampaikan aspirasinya. Di sini kepentingan orang seorang tidak dapat didahulukan
tetapi kepentingan masyarakat yang lebih didahulukan. Dengan demikian, apabila ada yang
menyatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka bukanlah suara rakyat adalah
suara Tuhan, karena rakyat atau umat bukanlah Tuhan, sedangkan Tuhan adalah Maha
86
Kasman Singodimejo, Masalah Kedaulatan, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, cet. Pertama, Hal. 39
87
Pencipta termasuk menciptakan manusia, kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat atau umat
bersifat relatif, Tuhanlah yang Maha Berdaulat.
Hizbut Tahrir Indonesia pada dasarnya memilki asas yang sama dengan PKS sebagai
partai yang berasaskan islam. sebagai partai ekstra parlementer, yang berjuang diluar
kekuasaan, HTI membedakan antara kedaulatan dan kekuasaan. Sebagaimana Ustad Aswir
Ibnu Aziz dalam wawancara :
“Kedaulatan dalam perspektif HTI sumber hukumnya berada di tangan Allah SWT. Ini kemudian yang membedakan kedaulatan dalam konteks demokrasi dengan kedaulatan dalam pandangan HTI. Dalam demokrasi, kedaulatan ada ditangan rakyat, sedangkan dalam islam tidak bisa seperti itu. Rakyat dalam perspektif HTI merupakan sumber kekuasaan, rakyatlah memiliki hak (berbai’at) terhadap kepala negara (khalifah), maka dari itu rakyat berhak mengoreksi dan bisa menurunkan nya kalau bertentangan dengan syariat islam…”
Lebih lanjut, dalam daulah khilafah Ustad Aswir Ibnu Aziz menjelaskan bagaimana
kedudukan dan kriteria pemimpin yang wajib diikuti oleh rakyatnya :
“…Pemimpin dalam perspektif HTI bukanlah pemimpin seperti di negara teokrasi yang menjadikan pemimpin sebagai wakil tuhan di muka bumi sehingga pemimpin tidak boleh dikritik jika berbuat salah. Pemimpin yang berbuat benarlah yang sesuai dengan panduan Al-Quran dan Hadis itulah yang wajib diikuti dalam pandangan HTI.”
Dalam konsep khilafah, kedaulatan dibedakan menjadi dua yakni kedaulatan dalam
arti kekuasaan (Sultan) yang oleh syari’at diserahkan kepada umat Islam dengan kedaulatan
dalam pengertian pembuatan undang-undang (Tasyri’) yang mutlak milik Tuhan. Demikian,
HTI menolak kedaulatan rakyat dalam pengertian demokrasi yang memberikan hak tidak
terbatas kepada rakyat untuk memegang kekuasaan, sekaligus menentukan undang-undang. 88
Sebagai satu kelompok yang gencar mengkampanyekan ide berdirinya khilafah
Islamiyah di Indonesia, HTI cenderung menolak kedaulatan rakyat yang merupakan dasar
dari demokrasi. Hal ini sesuai dengan pemikirannya yang formal tentang Islam yang
88
memandang doktrin agama dalam wajahnya yang legalistik dan formalistik. Implikasinya
menjadi satu pandangan yang literal. Menurut mereka, demokrasi di pandang bertentangan
dengan Islam karena demokrasi mensyaratkan kedaulatan rakyat sebagai penguasa dan rakyat
memiliki kewenangan dalam menetapkan aturan syarak. Sementara bagi HTI di samping
Islam mengakui kedaulatan manusia untuk membaiat “penguasa”, manusia sebagai hamba
dengan berbagai cara sekalipun tidak dapat mengabaikan kedaulatan Tuhan untuk
menentukan hukum syarak. 89
Khilafah Islamiyah dan demokrasi sampai saat ini masih menjadi tema yang
diperdebatkan khususnya oleh kelompok Islam di Indonesia. Perdebatan mengenai khilafah
Islamiyah sebagai alternatif demokrasi dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dalam
Islam. Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bagian dari kelompok
fundamentalis Islam menyatakan bahwa khilafah islamiyah dan demokrasi merupakan
diskursus yang berbeda dan tidak bisa dikolaborasikan. Khilafah Islamiyah sendiri dijadikan
konsep yang ditawarkan oleh HT untuk menegakkan kembali hukum syariat atas realitas
kehidupan agar umat Islam terbebas dari ide, sistem perundang-undangan serta hukum kufur
yang datangnya dari Barat khususnya paham demokrasi. 3.2.2 Sistem Demokrasi Dalam Paradigma HTI
90
“HTI menolak keberadaan demokrasi. Ada dua alasan mengapa HTI menolak demokrasi, Alasan pertama, sistem demokrasi merupakan sistem yang tidak sesuai dengan Islam, sehingga tidak mungkin Hizbut Tahrir sebagai gerakan Islam masuk dalam sistem yang bertentangan dengan Islam. Pertentangan demokrasi dengan Islam Secara tegas ada dua alasan Hizbut Tahrir Indonesia menolak sistem demokrasi,
sebagaimana ustad Aswir Ibnu Aziz dalam wawancara :
89
Saifullah dkk, Mengenal Hizbut Tahrir Partai Politik Islam Ideologis . (Bogor: PT. Thariqul Izzah, 2002). Hlm 70.
90
terletak pada keyakinan siapa yang berhak membuat atau melegalisasi hukum. Dalam sistem demokrasi, salah satu tugas parlemen adalah legislasi hukum yang sebagian besar tidak berdasarkan syariah Islam. Dan dalam pandangan Hizbut Tahrir, melegislasi hukum tidak berdasarkan syariah Islam adalah keharaman. Landasan keharamannya sangat jelas. Dalam Alquran ada ayat-ayat yang menegaskan wajibnya berhukum dengan hukum Islam, misal dalam surat Al Maidah ayat 44 yang menyebutkan bahwa barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka bisa dihukumi sebagai orang kafir, dalam ayat 45 disebut sebagai orang fasik dan dalam ayat 47 disebut sebagai orang dzalim. Alasan kedua, berdasarkan pengalaman yang ada menunjukkan bahwa perjuangan Islam melalui demokrasi bukanlah jalan yang tepat. Shiddiq mencontohkan beberapa negeri-negeri Muslim yang pernah mengalami fakta tersebut. Misalnya di Palestina, gerakan Islam Hamas menang dalam pemilu tetapi kemudian diboikot. Di Aljazair ada partai FIS yang memenangkan pemilu juga kemudian dibatalkan hasil pemilunya. Di Turki ada partai Refah pimpinan Erbakan memenangkan pemilu tapi kemudian hasil pemilu dibatalkan dan partai Refah dibubarkan. Dan kejadian di Mesir ketika terpilih presiden Mursi yang kemudian dikudeta oleh militer yang dipimpin As Sisi. Ini menunjukkan fakta-fakta sejarah yang bisa kita ambil pelajaran bahwa jalan demokrasi bukan jalan yang tepat dan memang sifat dasar demokrasi itu tidak cocok dengan Islam.”
Dalam pandangan HTI, berbagai krisis kehidupan terjadi akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh tindakan menyimpang manusia. Selama ini, telah terbukti bahwa dengan
ideologi yang tidak berasaskan Islam, penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
menimbulkan banyak kemaksiatan. Dalam sistem sekuler misalnya, Islam hanya ditempatkan
dalam urusan individu dengan Tuhannya. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan,
agama ditinggalkan. Maka, di tengah sistem sekularistik kemudian lahir berbagai bentuk
tatanan yang jauh dari nilai Islam seperti tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik
yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik,
sikap beragama yang sinkretik serta sistem pendidikan yang matrealistik.91
Melihat fenomena seperti ini, HTI sebagai gerakan fundamental mengharapkan
terciptanya negara Islam karena syariat Islam dianggap telah mengatur segala urusan tanpa
kecuali. Mulai dari hubungan manusia dengan penciptanya dalam konteks aqidah dan ibadah
semisal shalat, puasa, zakat, haji sampai dengan jihad. Begitu pula hubungan manusia dengan
dirinya sendiri seperti dalam urusan pakaian, makanan, serta akhlak. Selain itu, syariat Islam
91
juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya seperti dalam urusan pemerintahan,
ekonomi, sosial, pendidikan, maupun politik luar negeri. Secara konseptual, semua telah di
atur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya. Dengan ungkapan lain, syariat Islam sesungguhnya
meliputi keyakinan spiritual (Aqidah Ruhiyah) dan ideologi politik (Aqidah siyasiyah)
sehingga organisasi ini mencita-citakan satu perkumpulan masyarakat dan negara yang
Islami. Seluruh kegiatan kehidupannya di atur sesuai dengan hukum syariat di bawah
naungan daulah Islamiyah dalam bentuk khilafah Islamiyah.92
Proses demokratisasi yang ada di Indonesia dapat dilihat dari bagaimana pemilihan
kepemimpinan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Wujudnya
adalah pemilihan umum (untuk memilih presiden dan wakil presiden) dan pemilihan kepala
daerah untuk memilih paket pasangan gubernur wakil gubernur, bupati/walikota—wakil
bupati/walikota. Dalam melihat perubahan pemilihan pemimpin ini, HTI bersifat
meremehkan (underestimate) dan memberikan vonis bahwa sistem apapun yang dipakai akan
melahirkan politisi korup. Ini terlihat pada berita berjudul “Model Pemilu Apapun Dalam
Demokrasi Pasti Menyengsarakan Masyarakat”, 22 September 2014. Artikel ini banyak
menunjukkan sikap HTI terkait dengan polemik antara pemilihan kepala daerah secara
langsung dan kepala daerah yang dipilih melalui dewan perwakilan rakyat yang pada
September 2014 menjadi perdebatan publik. Menurut HTI, kedua model ini sama-sama
menghasilkan politisi korup. Di dalamnya tetap akan ada praktik perselingkuhan antara 3.2.3 Pemilihan Umum Dalam Paradigma HTI
92
penguasa dan pengusaha. Akhir paragraf dibuatlah pernyataan (statement) “sistem pemilu
dalam demokrasi pasti menghasilkan politisi korup”.93
HTI mengungkapkan sisi baik dari praktik pemilihan dalam sistem Islam. Islam
mensyaratkan dua hal dalam kepemimpinan, yakni terpilihnya pribadi yang sholih dan
diterapkannya sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan yang akan menjamin
kesejahteraan dan terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok per individu masyarakat. Dalam
sistem Islam, orang-orang yang terkategori koruptor, preman, perampok, komprador tidak
ada celah sedikit pun untuk hanya sekedar mendaftar, apalagi terpilih menjadi penguasa.
Sudah tertutup sejak awal oleh syariat Islam. Setiap penguasa wajib menerapkan syariat
Islam dalam bingkai khilafah yang sudah terbukti selama 14 abad mampu menyejahterakan
umat manusia.94
Partai Politik merupakan bagian penting dalam daulah khilafah, sama halnya dengan majelis
ummah yang berisi orang-orang dalam partai politik dan dipilih oleh umat sebagai kontrol
terhadap khilafah yang menjalankan pemerintahan. Sebagaimana Ustad Aswir Ibnu Aziz
dalam wawancara :
Meskipun menolak adanya pemilihan umum, namun HTI tidak menafikan pentingnya
keberadaan sebuah Partai Politik dalam sebuah Daulah Khilaf yang memiliki fungsi untuk
mengurus dan menampung aspirasi rakyat sebagaimana Ustad Aswir Ibnu Aziz dalam
wawancara :
“Pemilu identik dengan yang namanya Partai Politik, dalam sistem yang dibangun HTI Partai Politik adalah salah satu instrument penting dalam pemerintahan di negara khilafah sebagai penopang untuk stabilitas pemerintahan. Partai Politik merupakan jembatan menuju kursi pemerintahan sebagai sarana memperjuangkan aspirasi ummat. Partai politik dalam konteks HTI ini tentunya Partai Politik dalam konteks yang beraqidah islam bukan partai politik yang berideologi lain selain islam…”
93 Karman, Frame Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sebagai Kelompok Fundamentalis Dalam Wacana Demokrasi Di
Media Online, dalam Jurnal Litbang Kominfo Volume 6 No. 1 Juli 2015, Hal 45
94
“… Dalam persepektif HTI juga ada yang dinamakan dengan Majelis Ummah yang dipilih melalui independen dan bisa juga mewakili parpol. Karena majelis ummah mewakili ummah akan lebih ideal bila anggotanya dipilih melalui pemilu bukan melalui penunjukkan atau pengangkatan. Non muslim yang tinggal di negara islam juga berhak dipilih menjadi anggota termasuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman pemerintahan terhadap mereka. Majelis ummah mewakili ummat baik muslim maupun non muslim dalam kontrol dan koreksi terhadap pejabat pemerintahan. Wewenang majelis ummah hanya menyampaikan aspirasi ummat saja bukan untuk membuat aturan sebagaimana dengan demokrasi.”
Dalam Daulah Khilafah, wakil rakyat yang menjadi anggota Majelis Umat dipilih
oleh umat, bukan ditunjuk atau ditetapkan oleh Khalifah. Akan tetapi, sebagaimana Khalifah,
mereka tidak berhak menetapkan hukum, karena kedaulatan tidak berada di tangan mereka,
tetapi di tangan syariah. Majelis Umat berwenang mengontrol kebijakan Khalifah dengan
ketat dalam mengatur urusan rakyat. Di sisi lain, Khalifah berhak mendatangi Majelis Umat
untuk bemusyawarah atau meminta pendapat berkaitan dengan pengaturan urusan umat.95
Mengenai keanggotan Majelis Umat, warga negara non-Muslim bisa menjadi anggota
Majelis Umat untuk melakukan pengaduan (syakwa) jika ada penyimpangan dalam
penerapan syariah Islam atau kedzaliman terhadap diri mereka. Akan tetapi, anggota Majelis
Umat yang non- Muslim itu tidak berhak menyampaikan pendapat mereka tentang syariah
yang ditetapkan oleh Khalifah, karena mereka tidak meyakini akidah Islam dan sudut
pandang Islam yang menjadi dasar penerapan syariah.96
Islam memberikan hak kepada umat untuk memilih Khalifah yang dikehendakinya
untuk mengurus kehidupan mereka. Melalui bai’at, calon khalifah yang menang dalam
pemilihan, sah menjadi Khalifah. Maka, tidak boleh ada paksaan dalam pemilihan Khalifah.
Pemilihan harus berlangsung atas dasar prinsip ridha wa ikhtiyar (kerelaan dan kebebasan
memilih), sebagaimana umat Islam di masa lalu telah memberikan bai’at kepada keempat
95
Hizbut Tahrir Indonesia, 2009, Manifesto HTI Untuk Indonesia, Hal. 17
96
Khulafa’ur Rasyidin secara sukarela. Bai’at kepada Khalifah diberikan umat dengan syarat
Khalifah yang terpilih akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.97
Mengenai mekanisme pengangkatan khalifah, HTI mengacu pada contoh yang
dilakukan para sahabat dengan mengajak serta kaum muslimin mendiskusikan para kandidat
dari mereka yang pantas mengemban jabatan khalifah, kemudian nama kandidat disodorkan
kepada seluruh kaum muslim untuk dipilih dan yang terpilih wajib di baiat oleh seluruh umat
Islam termasuk pihak yang tidak terpilih. Sedangkan dalam pemberhentian khalifah, HTI
menetapkan mekanisme yang bersandar kepada persyaratan seorang khalifah dengan dalih
mubah dan wajib diberhentikan. Bila seorang khalifah dinyatakan murtad, gila, menjadi
tawanan musuh, fasik, berganti jenis kelamin menjadi wanita atau waria, tidak mampu
melakukan tugas karena cacat atau sakit, dan tidak mampu secara mandiri memutuskan
kebijakan negara yang sesuai dengan syariat, maka ia wajib diajukan kepada mahkamah
mazalim untuk diputuskan. Jika terbukti, maka ia wajib dilepaskan dari jabatannya.98
HTI memiliki konsep yang paling jelas di antara gerakan penegak syariah
Islam lainnya. Menurut Ismail Yusanto, syariah Islam adalah perundang-undangan yang
diturunkan Allah Swt. melalui Rasulullah Muhammad Saw. untuk seluruh umat manusia
baik menyangkut ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian maupun muamalah
(pemerintahan, ekonomi, pendidikan, peradilan, dll) guna meraih kehidupan di dunia maupun
di akhirat. Jadi, syariah menurut HTI mencakup semua aspek kehidupan. HTI membedakan
antara hukum privat dan hukum publik. Hukum privat adalah hukum yang mengatur 3.2.4 Negara Hukum Dalam Paradigma HTI
97 Ibid, Hal. 15
98
perbuatan individu yang tidak ada hubungannya dengan individu lainnya, seperti hukum yang
mengatur persoalan ibadah, minuman, makanan dan akidah. Sedangkan hukum publik adalah
hukum yang mengatur perbuatan manusia yang ada hubungannya dengan manusia
lainnya seperti hukum-hukum pidana (‘uqubat) dan hukum-hukum muamalah yang
mencakup sistem ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, dan pemerintahan. 99
Dengan diterapkannya syariat akan memperkecil peluang penyelewangan hukum
terutama penyelewengan oleh kaum yang berkuasa seperti korupsi politik. Korupsi politik Dalam pandangan HTI, negara hukum merupakan negara yang berlandaskan dengan
syariat islam dan sumber dari segala sumber hukumnya harus berpedoman pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah sebagaimana Ustad Aswir Ibnu Aziz dalam wawancara :
“Negara hukum menurut HTI adalah negara yang berlandaskan dengan syariat. Dimana sumber dari segala sumber hukum yang ada berasal dari Al-Quran dan As-Sunah bukan berasal dari UUD 45, UU dan segala macamnya. Negara yang berlandaskan dengan syariat akan melindungi seluruh hak-hak masyarakat baik muslim dan non-muslim. Dengan penerapan syariat islam atau hukum islam misalkan saja hukuman potong tangan bagi orang yang mencuri, hukuman itu tentu akan memberikan efek jera yang lebih kepada orang yang ingin mencuri jika dibandingkan dengan hukuman buatan manusia melalui KUHP dan KUHAP. Sehingga dari peristiwa itu kemananan, ketertiban di dalam negara akan lebih aman dan stabil karena setiap manusia takut untuk berbuat jahat…”
Walaupun negara berlandaskan dengan syariah islam, bagi warga non islam setiap
hak-haknya tetap dilindungi. Sebagaimana Ustad Aswir Ibnu Aziz dalam wawancara :
“… Bagi non-muslim hak-haknya seperti jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian wajib militer dan keamanannya dilindungi dengan mereka membayar pajak dua kali lipat kepada pemerintah apabila mereka tidak mau masuk islam. Dan hasil pajak itu merupakan sumber dari pemasukan negara yang kegunaannya ditujukan untuk kesejahteraan umat persis seperti pada masa Rasulullah menjadi pemimpin di madinah. Menurut pemikiran Hizbut Tahrir kondisi kaum muslimin saat ini hidup di darul kufur (wilayah orang-orang kafir) karena mereka menerapkan hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah swt maka keadaan mereka serupa dengan makkah ketika Rasulullah Muhammad saw diutus untuk menyampaikan risalah Islam.”
99
senantiasa muncul dalam masyarakat sekuler, lebih-lebih di negara yang menerapkan sistem
demokrasi, tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu bentuk korupsi politik yang paling
menonjol adalah dengan memperjual-belikan pasal-pasal dalam undang-undang atau
keputusan politik lain seperti penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran. Dengan
hak untuk membuat hukum perundang-undangan yang dimilikinya, anggota lembaga
legislatif bisa melakukan negosiasi kepada pihak-pihak tertentu, baik di dalam maupun di
luar negeri untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka.
Atau mengatur besaran anggaran dan person tertentu dalam jabatan publik yang sesuai
dengan kepentingan mereka. Untuk melakukan itu semua, anggota legislatif akan
mendapatkan bayaran sejumlah uang. Tertangkapnya sejumlah anggota DPR dalam kasus
suap menunjukkan bahwa praktek seperti itu memang berlangsung secara nyata. Karena itu,
uang ratusan juta bahkan milyaran rupiah yang dibelanjakan agar bisa menjadi anggota
parlemen dianggap sebagai sebuah investasi yang pantas. Dengan cara inilah orang-orang
yang bermental korup justru yang paling banyak terjaring masuk ke parlemen. Tak
mengherankan, jika lembaga perwakilan rakyat itu lebih menjadi wadah untuk mengamankan
kepentingan individu yang korup, bukan lembaga untuk mengurusi kepentingan rakyat.
Sementara partai yang semestinya menjadi sarana perjuangan politik demi kepentingan
rakyat, justru menjadi alat untuk melakukan berbagai tindakan korupsi politik tadi. Walhasil,
jadilah korupsi dilakukan secara bersama-sama. Inilah fenomena “korupsi berjamaah”.100
Dalam Daulah Khilafah, karena hak membuat hukum dan perundang-undangan ada
pada syariah dan proses legislasinya dilakukan dengan ijtihad, maka tidak ada seorang pun,
termasuk anggota Majelis Umat, yang bisa melakukan korupsi politik dengan jalan menjual
belikan pasal-pasal dalam perundang-undangan itu. Dalam Daulah Khilafah, para wakil juga
rakyat tidak bisa memeras Khalifah dengan ancaman mosi tidak percaya atas prasangka
100
semata. Khalifah hanya bisa diberhentikan bila ia menyimpang dari syariah Islam. Dengan
cara inilah, Khilafah akan menghapuskan korupsi politik yang merajalela di dalam sistem
demokrasi. 101
Dalam sistem peradilan sekuler yang berlaku di Indonesia saat ini, presiden, gubernur,
dan para menteri tidak dapat didakwa atas kekeliruan kebijakan mereka, selama kebijakan itu
dianggap berdasarkan undang-undang yang ada. Karena itu, masyarakat tidak dapat
mengajukan mereka ke muka pengadilan meski telah nyata-nyata melakukan sebuah
kebijakan yang keliru, seperti penerbitan “Release and Discharge” oleh presiden untuk
sejumlah penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hanya membayar
kembali utangnya sekian persen sehingga merugikan negara ratusan trilyun rupiah. Kebijakan
itu dianggap benar karena menurut peraturan, Presiden berdasarkan kriteria-kriteria tertentu
yang sudah dibuat lebih dulu, boleh menerbitkan R and D itu. Maka, Presiden tidak dapat
dituntut di muka hakim, kecuali bila ada indikasi korupsi atau suap dalam pengambilan
keputusan tersebut. Ini juga tidak mudah dibuktikan karena biasanya suap atau korupsi
seperti ini dilakukan dengan sangat rapi dan transaksinya dilakukan di luar negeri. Yang bisa
dilakukan oleh masyarakat hanyalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
agar undang-undang atau sebuah peraturan yang dinilai tidak bagus seperti UU Kelistrikan,
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.102
Dalam sistem Islam, tidak ada seorang pun yang tidak bisa diajukan ke muka
pengadilan. Semua bisa, meski ia adalah seorang Khalifah atau pejabat tinggi negara. Qadhi
Madzalim dari Mahkamah Madzalim akan menyidang kasus-kasus yang melibatkan
101
Ibid, Hal. 23
102
penguasa atas kekeliruan kebijakan yang mereka ambil. Qadhi Madzalim juga berhak
menghukum dan memberhentikan penguasa.103
103
Ibid
BAB IV
PENUTUP
4.1Kesimpulan
Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian yang berisikan deskripsi dan
interpretasi dari hasil penelitian serta kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan serta jawaban
dari pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik
pada bagian penutup ini, antara lain:
1. Pada dasarnya Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir Indonesia sama-sama
menjadikan Islam sebagai asas dan landasan dalam perjuangan partainya. Namun
jalan perjuangannya yang dipilih berbeda. PKS memilih jalan dari dalam sistem
demokrasi sedangkan HTI menolak dan memilih berjuang diluar sistem demokrasi.
Bagi PKS demokrasi merupakan sarana dakwah dimana perlu ada payung dakwah
agar dakwah dapat terus berjalan dan dapat terakomodir. Sedangkan HTI menolak
demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan dan menawarkan khilafah islamiyah
sebagai sistem yang ideal. HTI menganggap demokrasi adalah sistem kufur, sistem
buatan manusia karena bukan bersumber kepada syariah. Sistem demokrasi adalah
sistem sekuler yang memisahkan hubungan antara negara dan agama.
2. Dalam konsep kedaulatan PKS dan HTI bersepakat pemegang kedaulatan pada
hakikatnya adalah Tuhan bukan manusia seperti dalam sistem demokrasi. Bagi HTI
Allah lah pemegang kedaulatan tertinggi sedangkan rakyat dimaknai sebagai sumber
kekuasaan. Karena rakyat merupakan sumber kekuasaan, rakyat memliki hak
berbai’at kepada khalifah sehingga rakyat memiliki hak untuk mengoreksi dan
mengkritik pemimpinnya. Sedangkan bagi PKS walaupun kedaulatan bukan ditangan
penyesuaian-penyesuaian dalam menyikapi perbedaan tersebut melalui ide-ide
melalui visi-misi yang bersifat kerakyatan namun tidak keluar daripada hukum islam
itu sendiri. Karena bagi PKS kedaulatan itu adalah sebuah kekuasaan untuk mengatur
hajat hidup orang banyak.
3. Dalam konteks sistem pemilihan HTI menganggap pemilu bukanlah bagian daripada
konsep Islam, namun HTI mengakui keberadaan partai politik sebagai sarana
memperjuangkan aspirasi umat dalam lembaga perwakilan yang dinamakan majelis
ummah. majelis ummah dipilih melalui pemilihan oleh rakyat dan bukan ditunjuk
oleh khalifah. Majelis ummah hanya memiliki fungsi kontrol terhadap khalifah dan
tidak memiliki wewenang untuk membuat hukum atau undang-undang karena dalam
daulah khilafah negara berdasarkan asas syariah. Sedangkan PKS memaknai Pemilu
sebagai ajang kompetisi ide dan pengaruh kepada masyarakat. sejauh mana partai
mampu mempengaruhi masyarakat melalui ide-ide yang ditawarkannya. Oleh karena
itu PKS mengukur pemilu sebagai tolak ukur kemampuan PKS dalam
menyebarluaskan dakwah ditengah masyarakat.
4.2. Saran
1. Bagi Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir tentunya harus senantiasa menjaga
Ukhuwah Islamiyah antara sesama muslim walaupun kemudian ada perbedaan
pandangan tentang bagaimana cara yang ditempuh dalam berjuang menjadikan Islam
rahmatan lil alamin. Tentunya perbedaan pandangan jangan dijadikan jurang pemisah,
melainkan menjadi perekat dalam memperjuangkan kejayaan islam di masa depan.
2. Tentunya sebagai partai yang berasaskan islam, PKS dan HTI harus berkomitmen
dalam mempertahankan dan menjalankan ideologi partainya serta konsisten dalam
perjuangan membela umat baik itu dari dalam sistem maupun dari luar sistem.
Dialog-dialog lintas gerakan islam tentunya menjadi salah satu upaya untuk mengatasi