• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

EVALUASI PELAKSANAAN

PROGRAM WAJIB BELAJAR

PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(3)

ii

Kata Pengantar

Laporan Evaluasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun merupakan salah satu dari serangkaian kajian yang dilakukan di lingkup Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan pada tahun 2008. Dengan penyesuaian dan penyempurnaan laporan itu disusun kembali pada tahun 2009.

Program Wajardikdas 9 Tahun sebagai titik berat kajian merupakan upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Selain faktor output seperti jumlah guru dan jumlah sekolah, keberhasilan pembangunan pendidikan dasar dipengaruhi pula oleh karakteristik sosial ekonomi penduduk. Untuk itu, upaya lebih keras lagi perlu dilakukan agar rumah tangga penduduk miskin dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan baik. Diharapkan laporan kajian ini dapat memberikan masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan di masa yang akan datang.

Kami sangat mengharap masukan, saran, dan kritik yang membangun apabila masih terdapat kekurangan pada kajian ini. Terima kasih dan penghargaan kami ucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu dalam penyusunan kajian ini.

Jakarta, Desember 2009 Plt. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan

(4)

iii

Daftar Isi

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Daftar Gambar v

Daftar Tabel vii

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Ruang Lingkup 3

1.3. Tujuan Evaluasi 3

BAB II. SEKILAS TENTANG PROGRAM

WAJARDIKDAS 9 TAHUN 4

2.1. Tujuan Wajib Belajar 4

2.2. Pelaksanaan Wajib Belajar 5

2.3. Analisis Determinan Wajardikdas 7 2.4. Landasan Hukum Program Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun 12

2.5. Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun 14

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 23

3.1. Analisa Kuantitatif 23

3.2. Analisis Kualititatif 29

3.3. Data 30

BAB IV. HASIL REGRESI : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APK DAN APM 33

4.1. Nasional 33 4.2. Sumatera 37 4.3. Jawa 41 4.4. Bali, NTB dan NTT 45 4.5. Kalimantan 48 4.6. Sulawesi 51

(5)

iv

4.7. Papua dan Maluku 53

BAB V. ANALISIS DAN PEMBAHASAN:

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM

WAJARDIKDAS 9 TAHUN (2005-2007) 57

5.1. Outcome Program Wajardikdas 57 Angka Partisipasi Kasar (APK) 58 Angka Partisipasi Murni (APM) 61

5.2. Faktor-Faktor yang Signifikan Mempengaruhi

Capaian APK dan APM 65

5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto 65

5.2.2. Akses Air Bersih 66

5.2.3. Rasio Murid Sekolah 69

5.2.4. Tingkat Kemiskinan 71

5.2.5. Angka Melek Huruf 72

5.2.6. Dana Alokasi Umum (DAU) 74 5.2.7. Dana Alokasi Khusus (DAK) 80

5.2.8. Rasio Murid Guru 85

BAB VI. KESIMPULAN 95

Daftar Pustaka 98

(6)

v

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara

Kabupaten dengan Kota 17

Gambar 2.2. APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar

2007 18

Gambar 2.3. APK dan APM Tingkat Sekolah

Menengah Pertama 2007 19

Gambar 2.4. Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007 20 Gambar 2.5. APK SD dan SMP menurut Klasifikasi

Daerah 22

Gambar 5.1. APK SD/MI Tahun 2006 59

Gambar 5.2. APK SMP/MTs Tahun 2006 60

Gambar 5.3. APM SD/MI Tahun 2006 62

Gambar 5.4. APM SMP/MTs Tahun 2006 63 Gambar 5.5. Produk Domestik Regional Bruto

Tahun 2006 66

Gambar 5.6. Akses Air Bersih Tahun 2006 68 Gambar 5.7. Rasio Murid Sekolah SD/MI Tahun

2006 69

Gambar 5.8. Rasio Murid Sekolah SMP/MTs

Tahun 2006 70

Gambar 5.9. Tingkat Kemiskinan Tahun 2006 72 Gambar 5.10 Angka Melek Huruf Rata-Rata

(7)

vi

Gambar 5.11. Perkembangan Alokasi Anggaran

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Departemen Pendidikan Nasional 75

Gambar 5.12. Kontribusi DAU terhadap Total P Penerimaan APBD Kabupaten/Kota 76 Gambar 5.13. Persentase DAU Rata-Rata 2004-2006 77 Gambar 5.14. Komposisi Dana Alokasi Khusus (DAK)

2004-2007 81

Gambar 5.15. Persentase DAK Rata-Rata Tahun

2004-2006 82

Gambar 5.16. Rasio Murid Guru 86

Gambar 5.17. Rasio Siswa per Guru Tahun 2001/2002-2005/2006 88 Gambar 5.18. Kepala Sekolah dan Guru menurut

Tingkat Pendidikan Tahun 2006 89 Gambar 5.19. Persentase Guru SD dan SMP

yang Layak Mengajar Tahun 2007 91 Gambar 5.20. Persentase Guru yang Lulus Sertifikasi

(8)

vii

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional 2005-2009 16

Tabel 3.1. Pemilihan Sampel 32

Tabel 4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Nasional 34

Tabel 4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SD/MI Nasional 35

Tabel 4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SMP/MTs Nasional 36

Tabel 4.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Nasional 37

Tabel 4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Sumatera 38

Tabel 4.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SD/MI Sumatera 39

Tabel 4.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SMP/MTs Sumatera 40

Tabel 4.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Sumatera 41

Tabel 4.9. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Jawa 42

Tabel 4.10.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

(9)

viii

Tabel 4.11.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SMP/MTs Jawa 44

Tabel 4.12.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Jawa 45

Tabel 4.13.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Bali, NTB dan NTT 46

Tabel 4.14.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SD/MI Bali, NTB dan NTT 46

Tabel 4.15.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SMP/MTs Bali, NTB dan NTT 47

Tabel 4.16.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Bali, NTB dan NTT 48

Tabel 4.17.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Kalimantan 49

Tabel 4.18.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SD/MI Kalimantan 49

Tabel 4.19.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SMP/MTs Kalimantan 50

Tabel 4.20.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Kalimantan 50

Tabel 4.21.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Sulawesi 51

Tabel 4.22.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SD/MI Sulawesi 52

Tabel 4.23.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

(10)

ix

Tabel 4.24.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Sulawesi 53

Tabel 4.25.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SD/MI Papua dan Maluku 54

Tabel 4.26.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SD/MI Papua dan Maluku 54

Tabel 4.27.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK

SMP/MTs Papua dan Maluku 55

Tabel 4.28.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM

SMP/MTs Papua dan Maluku 56

Tabel 5.1. Variabel Bebas yang Mempengaruhi APK

dan APM 58

Tabel 5.2. DAU Tahun 2004-2007 78

Tabel 5.3. DAK Tahun 2004-2006 83

Tabel 5.4. Persentase Kelayakan Mengajar Kepala Sekolah dan Guru menurut Jenjang Pendidikan Tahun 2006 90

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi pembangunan bangsa. Ketika di Asia Timur muncul negara-negara industri baru, banyak ahli menyatakan keberhasilan pembangunan negara-negara tersebut karena didukung oleh tersedianya penduduk yang terdidik dalam jumlah yang memadai. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional mereka. Sumber Daya Manusia bermutu yang merupakan produk pendidikan adalah merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara. Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam pembangunan manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi.

Pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan nasional di Indonesia dalam kurun waktu 2004–2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan

(12)

2

keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial.

Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (Education for All Declaration) pada konferensi UNESCO, di Thailand (1990) merupakan komitmen bersama dalam menyediakan pendidikan dasar yang bermutu dan non diskriminatif. Realisasi deklarasi tersebut juga sekaligus merupakan upaya untuk memenuhi Hak Pendidikan (sesuai pasal 26 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia : “Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus Cuma-Cuma, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan dasar diperlukan untuk menjaga perdamaian”.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjamin hak atas “pendidikan dasar” bagi warga negara Indonesia yang berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Target penuntasan Wajar disesuaikan dari 2003/2004 menjadi 2008/2009. Untuk mengetahui pencapaian hasil kerja atau output berdasarkan alokasi biaya atau input yang ditetapkan terkait dengan program Wajardikdas 9 Tahun, maka evaluasi pelaksanaan program tersebut sangat penting untuk dilakukan.

(13)

3

1.2. Ruang Lingkup

Evaluasi Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan

Dasar 9 Tahun ini akan fokus pada evaluasi outcomes yang

berkaitan dengan:

1. Pengaruh faktor input dan faktor output SD/MI dan SMP/MTs terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs).

2. Pengaruh faktor eksternal dan karakteristik wilayah terhadap outcomes Wajardikdas (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs).

1.3. Tujuan Evaluasi

Secara khusus, tujuan dari evaluasi ini adalah untuk; (1) Mengidentifikasi faktor input dan output yang mempengaruhi outcomes program Wajardikdas 9 tahun (APK dan APM tingkat SD/MI dan SMP/MTs); (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program Wajardikdas, yang berkaitan dengan faktor input dan faktor output program Wajardikdas.

(14)

4

BAB II

SEKILAS TENTANG PROGRAM

WAJARDIKDAS 9 TAHUN

Wajib Belajar telah menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 70-an. Sejak dikeluarkan Inpres No 10 pada tahun 1973, Pemerintah secara terencana meningkatkan pembangunan sarana pendidikan dasar. Pada tahun 1983, Pemerintah Indonesia mencanangkan program Wajib Belajar 6 Tahun untuk anak usia 7-12 tahun secara nasional. Sejalan dengan kesuksesan Program Wajib Belajar 6 Tahun, sejak bulan Mei tahun 1994, Pemerintah Indonesia melanjutkan program Wajib Belajar dengan Wajib Belajar 9 Tahun. Kelanjutan Program Wajib Belajar 9 Tahun ini dipicu oleh beberapa faktor sebagai berikut; (1) Lebih dari 50 persen angkatan kerja hanya berpendidikan SD atau kurang; (2) Program wajib belajar 9 tahun akan meningkatkan kualitas SDM dan dapat memberi nilai tambah pula pada pertumbuhan ekonomi; (3) Semakin tinggi pendidikan akan semakin besar partisipasi dan kontribusinya di sektor-sektor yang produktif; (4) Dengan peningkatan program Wajib Belajar 6 Tahun menjadi Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan kematangan dan keterampilan siswa; dan (5) Peningkatan Wajib Belajar 9 Tahun akan meningkatkan umur kerja minimum dari 10 sampai 15 tahun (Syarif, 1994).

2.1. Tujuan Wajib Belajar

Program Wajib Belajar 9 Tahun didasari konsep “pendidikan dasar untuk semua” (universal basic education), yang pada hakekatnya berarti penyediaan akses terhadap pendidikan yang sama untuk semua

(15)

5

anak. Hal ini sesuai dengan kaedah-kaedah yang tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia, tentang Hak Anak, dan tentang Hak dan Kewajiban Pendidikan Anak (Prayitno, 2000). Melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun diharapkan dapat mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang perlu dimiliki semua warga negara sebagai bekal untuk dapat hidup dengan layak di masyarakat dan dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi baik ke lembaga pendidikan sekolah ataupun luar sekolah. Dengan wajib belajar, mereka akan dapat menjalani hidup dan menghadapi kehidupan dalam masyarakat. Di samping itu, menurut May (1998) wajib belajar adalah merangsang aspirasi pendidikan anak yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja penduduk secara nasional. Oleh karena itu, target penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun bukan semata-mata untuk mencapai target angka partisipasi secara maksimal, namun perhatian yang sama ditujukan juga untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar yang sekarang ini masih jauh dari standar nasional. Agar sasaran tersebut terwujud secara optimal perlu diupayakan adanya kesinambungan penyelenggaraan pendidikan SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan sederajat berkenaan dengan berbagai komponen pendidikan yang mendukung.

2.2. Pelaksanaan Wajib Belajar

Pelaksanaan program Wajib Belajar 9 Tahun di Indonesia memiliki empat ciri utama, yaitu; 1) dilakukan tidak melalui paksaan tetapi bersifat himbauan, 2) tidak memiliki sanksi hukum tetapi menekankan tanggung jawab moral dari orang tua untuk menyekolahkan anaknya, 3) tidak memiliki undang-undang khusus dalam implementasi program, 4) keberhasilan dan kegagalan program diukur dari peningkatan partisipasi bersekolah anak usia 6-15 tahun. Menurut Ibrahim (1992) pelaksanaan Wajib Belajar 9 Tahun dilakukan melalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Melalui jalur sekolah meliputi program 6 tahun di SD dan program 3 tahun di SLTP. Untuk

(16)

6

tingkat SD diberlakukan pada SD regular, SD Kecil, SD Pamong, SD terpadu, MI, Pondok Pesantren, SDLT, dan kelompok belajar Paket A. Sedangkan untuk tingkatan SLTP dilaksanakan SLTP Reguler, SLTP Kecil, SLTP Terbuka dan SLTP-LB dan kelompok belajar Paket B.

Sejak mulai diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2000, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pemerintahan di daerah, termasuk pengelolaan pendidikan (PP No.25 tahun 2000). Dengan kebijakan otonomi daerah ini terbuka kesempatan bagi para ahli, praktisi, dan pengamat pendidikan untuk bersama-sama memberdayakan pendidikan secara menyeluruh, termasuk Wajib Belajar 9 Tahun. Otonomi pendidikan merupakan salah satu kesempatan yang sangat baik bagi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah masing-masing yang merupakan tolok ukur kualitas sumber daya manusia. Ada keberagaman daerah dalam menyikapi diberlakukannya otonomi pendidikan. Di satu pihak ada daerah yang optimis, dan di pihak lain ada yang pesimis. Daerah yang merasa pesimis disebabkan oleh realitas kondisi daerahnya, khususnya kemampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan yang berbeda-beda (Suyanto, 2001). Di samping itu muncul pula “kepanikan” bagi daerah dalam menyediakan dana alokasi umum (DAU) untuk menggaji guru dan pegawai yang didaerahkan. Di lain pihak, daerah yang optimis, yaitu daerah yang mampu membuat rencana anggaran untuk meningkatkan penyelenggaraan pendidikan di daerahnya.

Namun demikian, apapun sikap daerah segala kendala yang muncul dalam penyelenggaraan Wajib Belajar 9 Tahun harus ditangani secara otonom oleh daerah masing-masing. Diyakini atau tidak, pendidikan dasar 9 tahun merupakan wahana yang paling efektif untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dan peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun berat dan sulitnya permasalahan yang ada pada awalnya, dengan adanya

(17)

7

kebijakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan akan dapat dikelola dengan lebih murah dan lebih cepat. Desentralisasi pendidikan dapat mengembangkan kreativitas siswa, guru, kepala sekolah, dan masyarakat. Untuk itu perlu diberlakukan manajemen berbasis sekolah (school based management) dengan tujuan agar sekolah dapat mengelola proses belajar mengajar dengan lebih baik sehingga dapat meningkatkan pembelajaran siswa. Artinya, manajemen berbasis sekolah harus mampu melaksanakan perbaikan proses belajar mengajar di kelas (classroom change) agar membuahkan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupan siswa (Zais, 1976).

2.3. Analisis Determinan Wajardikdas

Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajardikdas 9 Tahun) dapat dilihat dari beberapa indikator capaian. Indikator utamanya adalah pencapaian APK SD/MI dan SMP/MTs. Beberapa indikator pendidikan dasar digunakan untuk menggambarkan kondisi dan tingkat pencapaian pembangunan pendidikan dasar yang dilakukan pemerintah bersama orangtua dan masyarakat yang

berkaitan dengan aspek perluasan

dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan,

relevansi, efesiensi dan efektivitas pengelolaan. Beberapa

indikator tersebut antara lain:

 Angka Partisipasi, dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Jika angka APK lebih besar dari APM, hal ini menunjukkan adanya anak di luar kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/MI. Mereka adalah anak yang berusia di bawah 7 tahun dan diatas 12 Tahun. Sesuai dengan prioritas program Wajardikdas 9 tahun, adanya anak-anak berumur kurang dari 7 tahun tetapi sudah bersekolah di jenjang SD/MI dapat terjadi karena Sekolah tersebut masih dapat

(18)

8

menampung siswa. Di sisi lain, adanya anak-anak usia di atas 12 tahun yang masih bersekolah pada jenjang SD/MI dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu (1) anak-anak tersebut terlambat masuk SD atau mereka masuk diatas usia 7 tahun, d an (2) adanya anak-anak yang mengulang kelas, sehingga mereka baru dapat menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) pada usia di atas 12 tahun. Selain itu, APK maupun APM juga dapat dilihat berdasarkan gender sehingga dapat diketahui keseimbangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki. Hal yang sama terkait dengan APK dan APM juga terjadi untuk jenjang SMP/MTs.

 Angka Putus Sekolah. Jika ditemukan masih adanya anak yang putus sekolah pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor sosial ekonomi seperti membantu orang tuanya dalam mencari nafkah. Jika jumlah ini cukup tinggi maka akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap angka putus sekolah. Untuk itu perlu ditangani secara lebih serius, dengan mengefektifkan sejumlah lembaga pendidikan alternatif, sehingga tidak berdampak hilangnya akses anak usia 7-15 tahun terhadap lembaga-lembaga pendidikan dasar.

 Angka melanjutkan Lulusan SD/MI ke jenjang SMP/MTs. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar para lulusan SD/MI dapat melanjutkan ke SMP sesuai dengan program Wajardikdas 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah.  Rasio siswa per sekolah pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs

yang menunjukkan kepadatan sekolah. Rasio siswa per sekolah berkaitan erat dengan rasio siswa per kelas, dimana standar ideal siswa per kelas adalah 32 siswa.

 Rasio siswa per guru. Semakin besar rasio siswa per guru ini menunjukkan adanya kekurangan guru pada jenjang tersebut.  Rasio kelas per ruang kelas. Semakin besar nilainya

(19)

9

satu kelas. Besarnya rasio tersebut mengindikasikan masih perlunya ruang kelas tambahan. Dalam hal ini diharapkan ruang kelas sama dengan jumlah kelas, sehingga tidak ada ruang kelas yang digunakan lebih dari sekali.

 Tingkat kelayakan guru. Angka ini menunjukkan persentase guru yang layak mengajar pada jenjang SD/MI dan SMP/MTs.  Mutu guru. Kinerja sekolah dapat terlihat dari mutu guru yang

ditunjukkan dengan kesesuaian ijasah guru dengan bidang studi yang diajarkan.

 Tingkat Pelayanan Sekolah, yang menunjukkah terjadinya pemerataan dan keberhasilan program Wajib Belajar Sekolah Dasar sembilan tahun.

 Tingkat kesulitan sekolah. Dari angka ini dapat diketahui ada tidaknya hubungan antara angka partisipasi dengan keadaan daerah. Misalnya APK cukup tinggi di daerah yang secara geografis tidak mendukung (terpencil). Hal ini menunjukkan minat anak untuk bersekolah di daerah tersebut cukup tinggi.

Jika dikaitkan dengan kinerja dari program pendidikan nasional secara umum, berbagai indikator tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga prioritas kebijakan pendidikan sebagai berikut ini.

Mutu dan Relevansi Pendidikan

Terkait dengan mutu dan relevansi pendidikan, beberapa indikator keberhasilan pendidikan perlu dimonitor. Mutu pendidikan dapat diukur dari seberapa efektif pengelolaan sistem pendidikan dapat memberikan efek terhadap prestasi belajar siswa secara optimal. Yang paling tepat untuk mengukur mutu pendidikan sebenarnya adalah hasil evaluasi ujian akhir yang diukur melalui Ujian Akhir Nasional, namun kegiatan monitoring yang dilakukan ini tidak secara langsung mengukur output pendidikan dalam pengertian prestasi belajar siswa secara

(20)

10

akademis. Sedangkan yang dimaksud dengan relevansi pendidikan adalah, kesesuaian hasil-hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang, misalnya penghasilan lulusan, keterampilan lulusan, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan sebagainya.

Beberapa indikator mutu dan relevansi pendidikan yang dapat dipantau oleh sistem ini antara lain sebagai berikut: (1) Peningkatan persentase lulusan terhadap jumlah murid tingkat akhir yang mengikuti ujian, (2) Pendayagunaan sarana-prasarana belajar yang lebih optimal di sekolah-sekolah (seperti buku pelajaran, perpustakaan, alat pelajaran, media pendidikan, dan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar, (3) Peningkatan kualitas guru yang diukur dari rata-rata tingkat pendidikan guru dan jumlah penataran yang diikuti, dan (4) Persentase siswa pendidikan pra sekolah terhadap jumlah penduduk usia pra sekolah.

Indikator Pemerataan dan Perluasan

Pemerataan dan perluasan pendidikan sebaiknya bukan hanya diukur dari seberapa banyak jumlah sarana-prasarana belajar tetapi juga menyangkut persebaran sarana-prasarana pendidikan antarsekolah dan antardaerah. Hal ini akan menyangkut prinsip keadilan dalam pendidikan bagi setiap anak-anak dimanapun untuk memperoleh akses terhadap sarana pendidikan yang sama. Pemerataan dan perluasan pendidikan juga akan berkaitan dengan tingkat partisipasi pendidikan bagi semua anak usia sekolah dalam satuan-satuan pendidikan yang ada. Partisipasi pendidikan itu merupakan indikator pendidikan yang digunakan oleh semua negara, sehingga dapat dibandingkan antardaerah dan bahkan antar negara.

Beberapa indikator pemerataan dan perluasan pendidikan yang dapat dipantau adalah sebagai berikut: (1) Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK), yaitu persentase jumlah murid pada suatu

(21)

11

satuan pendidikan terhadap jumlah penduduk usia yang berkaitan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (2) Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu persentase jumlah murid pada usia sekolah tertentu terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada suatu satuan pendidikan yang bersangkutan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (3) Angka Partisipasi Sekolah (APS) yaitu jumlah siswa pada kelompok usia tertentu yang merepresentasikan beberapa satuan pendidikan, baik secara agregat maupun menurut karakteristik siswa, (4) Jumlah penerima beasiswa pada suatu satuan pendidikan atau suatu daerah tertentu, dengan tanpa membedakan beberapa variabel karakteristik siswa seperti: jenis kelamin, daerah, status sosial-ekonomi, dan sejenisnya, dan (5) Kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan pada setiap satuan pendidikan, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.

Indikator Manajemen Pendidikan

Sampai saat ini masalah paling mendasar dalam sistem pendidikan nasional adalah efisiensi manajemen pendidikan. Oleh karena itu berbagai ukuran efisiensi dan optimasi dalam manajemen pendidikan perlu dipantau dan dievaluasi secara terus-menerus dan dalam waktu yang teratur. Beberapa indikator manajemen pendidikan yang dapat dipantau secara terus-menerus adalah sebagai berikut:

1. Besarnya (kenaikan) anggaran pendidikan (sekolah dan daerah otonom) yang diperoleh dari sumber-sumber pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat termasuk sumber lain seperti dunia usaha;

2. Kemampuan pengadaan sarana-prasarana pendidikan di sekolah yang diperoleh dari masyarakat;

3. Kemampuan pengadaan sumberdaya manusia (guru dan tenaga kependidikan) yang diperoleh dari sumber masyarakat;

(22)

12

4. Perubahan dalam tingkat efisiensi pendayagunaan tenaga guru di sekolah yang diukur dengan tingkat “turn-over”;

5. Penurunan persentase mengulang kelas rata-rata pada suatu satuan pendidikan tertentu;

6. Penurunan persentase putus sekolah rata-rata pada suatu satuan pendidikan; serta

7. Peningkatan angka melanjutkan sekolah (transition rate) dari suatu sekolah ke sekolah pada jenjang pendidikan berikutnya.

2.4. Landasan Hukum Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun

Seluruh kebijakan pendidikan yang telah diambil tidak terlepas dari reformasi kerangka hukum bidang pendidikan yang diawali dengan amandemen UUD RI (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia) 1945 pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Melalui amandemen ini, bangsa Indonesia menetapkan bahwa pendidikan tidak lagi hanya sekedar hak warga negara sebagaimana termaktub dalam UUD RI 1945 sebelum amandemen, melainkan lebih dari itu, juga merupakan hak azasi manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib pula membiayainya. Dalam sejarah perjalanan UUD 1945 yang telah mengalami 4 (empat) kali amandemen, hanya bidang pendidikan saja yang ditetapkan alokasi anggarannya sebesar 20 persen dari anggaran dalam APBN dan APBD. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah bertekad untuk memajukan dunia pendidikan, terutama pendidikan dasar.

Perubahan sangat mendasar dalam pengelolaan di bidang pendidikan terjadi setelah dilakukan amandemen kedua dan keempat. Amandemen kedua pada tahun 2000 memasukkan BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya memuat Pasal 28 C ayat 1

(23)

13

mengenai pendidikan sebagai hak azasi manusia. Sedangkan amandemen keempat pada tahun 2002 memasukkan BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, yang di dalamnya memuat Pasal 31 yang khusus mengatur secara mendasar masalah pendidikan. Pasal 31 ayat 1 menetapkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara, yang tentu saja konsisten dengan pasal 28 C ayat 1. Ayat 2 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat 3 mengamanatkan Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan mengusahakan serta menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Untuk menjamin terlaksananya semua hal itu ayat 4 mengamanatkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD, serta ayat 5 mengamanatkan Pemerintah memajukan teknologi.

Satu tahun kemudian, amanat reformasi dalam amandemen UUD RI 1945 tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tiga tahun kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan selanjutnya pada tahun 2007 dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pada tingkat operasional, selanjutnya amanat UU No. 20 Tahun 2003 dan UU No. 14 Tahun 2005 dijabarkan dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan pada tingkat yang lebih teknis pada berbagai Peraturan Menteri (Permen). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari hal tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat). Selain itu yang penting adalah: (a) Kewajiban bagi orangtua

(24)

14

untuk memberikan pendidikan dasar bagi anaknya (pasal 7 ayat 2), (b) Kewajiban bagi masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 9), dan (c) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1).

Pada tahun 1994 pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, dan pada tahun 2006 tekad tersebut diperkuat dengan diterbitkan Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menyatakan bahwa Pendidikan termasuk dalam urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Berdasarkan PP tersebut maka Pendidikan termasuk urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar.

2.5. Outcome Program Wajardikdas 9 Tahun

Keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 tahun dapat dilihat dari outcomes nya, yaitu APM SD/MI dan APK SMP/MTs. APM SD/MI mengalami peningkatan antara periode tahun 2004-2007, walaupun tidak terlalu signifikan. Sedangkan, APK SMP/MTs mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada periode tahun 2005-2007.

Arah kebijakan nasional secara umum sejalan dengan arah kebijakan desentralisasi. Dalam Rencana Strategis Departemen

(25)

15

Pendidikan Nasional 2005-2009 salah satu pilarnya adalah pemerataan akses pendidikan. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial, ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 Depdiknas melaksanakan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, yaitu dengan mempertahankan APM-SD/MI pada tingkat 95 persen, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 98 persen serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5 persen.

Dari target di atas, tampak bahwa kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan difokuskan pada pendidikan dasar dan menengah. Hal ini erat kaitannya dengan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan desentralisasi pemerintahan. Di satu sisi Wajardikdas 9 tahun bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan pendidikan dasar sehingga semua anak usia 7-15 tahun setidaknya memperoleh pendidikan sampai sekolah menengah pertama atau sederajat. Sedangkan desentralisasi pendidikan ditujukan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah.

Oleh karena itu dalam konteks desentralisasi, pemerataan dan perluasan akses pendidikan ditujukan pula untuk mengurangi kesenjangan akses pendidikan antar daerah. Pemerintah menargetkan penurunan disparitas APK pendidikan dasar dan menengah antara kota dan kabupaten secara signifikan. Hal ini tercermin dari Indikator kunci dan target kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Untuk tingkat pendidikan dasar misalnya, Depdiknas menargetkan penurunan disparitas APK antara kabupaten dan kota dari 2,49 persen di tahun 2004 menjadi 2 persen di tahun 2009. Sementara itu, untuk tingkat pendidikan menengah pertama ditargetkan penurunan disparitas APK

(26)

16

antara kabupaten dan kota dari 25,14 persen di tahun 2004 menjadi 13 persen di tahun 2009.

Tabel 2.1.

Indikator Kunci dan Target Kebijakan Pendidikan Nasional 2005-2009

Pemerataan Akses

Pendidikan 2004 2005 2006 2007 2008 2009

1. Disparitas APK PAUD antara kabupaten-kota 16,94 16,94 15,54 14,04 12,54 11,04 2. Disparitas APK SD/MI/SDLB antara kabupaten-kota 2,49 2,49 2,40 2,30 2,15 2,00 3. Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB antara kabupaten-kota 25,14 25,14 23,00 19,00 16,00 13,00 4. Disparitas APK SMA/MA/SMK/ SMALB antara kabupaten-kota 33,13 33,13 31,00 29,00 27,00 25,00 5. Disparitas gender APK di

jenjang pendidikan Menengah

6,16 6,07 5,98 5,89 5,80 5,71 6. Disparitas gender APK di

jenjang pendidikan tinggi

9,90 9,62 9,33 9,05 8,76 8,48 7. Disparitas gender persentase

buta aksara

7,32 6,59 5,86 5,13 4,40 3,65 Smber: Renstra Depdiknas 2005-2009.

Secara umum pencapaian target (realisasi) penurunan disparitas APK antara Kabupaten dengan Kota baik pada tingkat SD dan sederajat maupun SMP dan sederajat menunjukkan pencapaian-pencapain yang positif. Pada tingkat SD, disparitas APK Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 2,49 persen pada tahun 2004 menjadi 2,4 persen di tahun 2007. Sementara itu pada tingkat SMP disparitas APK Kabupaten dengan Kota mengalami penurunan dari 25,1 persen di tahun

(27)

17

2004 menjadi 23 persen di tahun 2007. Namun beberapa permasalahan masih menjadi kendala dalam mengoptimalkan pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun ini.

Gambar 2.1.

Target dan Realisasi Disparitas APK Sekolah Dasar dan SMP Antara Kabupaten dengan Kota

19,0% 23,0% 25,1% 25,1% 23,4% 23,0% 25,1% 25,1% 2,49% 2,49% 2,40% 2,30% 2,49% 2,49% 2,43% 2,40% 10% 12% 14% 16% 18% 20% 22% 24% 26% 28% 2004 2005 2006 2007 Disparitas APK SD 2,0% 2,1% 2,2% 2,3% 2,4% 2,5% 2,6% 2,7% 2,8% 2,9% 3,0% Disparitas APK SMP

Target SMP Realisasi SMP Target SD Realisasi SD

Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah, Depdiknas, 2007, diolah.

Pada tingkat SD dan sederajat misalnya, tahun 2007 ditargetkan disparitas APK Kabupaten dengan Kota sebesar 2,3 persen namun realisasinya masih mencapai 2,4 persen. Sementara itu disparitas Kabupaten dengan Kota tingkat SMP dan sederajat yang ditargetkan mencapai 19 persen pada tahun 2007, realisasinya sebesar 23 persen. Selain itu pula, terdapat kecenderungan semakin besarnya rentang antara target dengan realisasi disparitas APK antara Kabupaten dengan Kota sepanjang 2005-2007 baik di tingkat SD maupun SMP (Gambar 2.1.).

(28)

18

Gambar 2.2.

APK dan APM Tingkat Sekolah Dasar 2007

R i a u B a l i NTT NAD Sumut Sumbar Kepri Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim NTB Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Banten Babel Gorontalo 90 91 92 93 94 95 96 97 98 105 110 115 120 125 APK SD A PM S D Indonesia: 94,90 Indonesia: 115,51 Papua barat 107,3;87,51

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

Belum optimalnya pemerataan akses pendidikan 9 tahun khususnya dalam kerangka desentralisasi pendididikan dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, masih terdapat provinsi-provinsi dengan akses pendidikan di bawah rata-rata nasional. Hal ini terlihat dari sebaran pencapaian APK dan APM baik di tingkat SD maupun tingkat SMP. Gambar di atas merupakan analisis kuadran untuk capaian APK-APM tahun 2007 tingkat Sekolah Dasar. Sumbu X dan Y dibentuk oleh nilai rata-rata nasional APK dan APM. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa banyak provinsi yang telah memiliki APK tingkat SD di atas rata-rata nasional, walaupun dari sisi APM masih berapa di bawah tingkat nasional (kuadran II). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Gorontalo, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Namun masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki APM dan APK di bawah rata-rata nasional (Kuadran III). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Papua, Sulawesi Barat, Riau, Bengkulu dan Sumatra Utara. Sementara itu provinsi-provinsi seperti Jawa Timur,

I

II III

(29)

19

Jawa Tengah, Bali dan Jawa Barat; memiliki APM dan APK di atas rata-rata nasional (Kuadran I).

Sementara itu untuk APK-APM tingkat SMP menunjukkan kondisi yang sedikit berbeda (Gambar 2.3). Pemetaan dengan analisis kuadran untuk APK-APM SMP tahun 2007 menunjukkan 2 kecenderungan umum. Pertama, provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di bawah rata-rata nasional (kuadran III). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya adalah Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan NTT. Kedua, provinsi-provinsi yang memiliki APK-APM di atas rata-rata nasional (Kuadran I). Provinsi-provinsi dimaksud diantaranya Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Riau dan Sumatra Utara. Hanya sedikit provinsi yang berada di kuadran II atau IV. Secara umum dapat dikatakan masih cukup besar kesenjangan APK-APM di tingkat SMP, apalagi jika dibandingkan dengan pencapaian APK-APM di tingkat Sekolah Dasar.

Gambar 2.3.

APK dan APM Tingkat Sekolah Menengah Pertama 2007

NTT NAD Sumut Sumbar Riau Kepri Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jabar Jateng Jatim NTB Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sulbar Sultra Maluku Malut Papua Papua Barat Babel Gorontalo 55 58 61 64 67 70 73 76 79 60 65 70 75 80 85 90 95 100 APK SMP APM S M P Indonesia: 71,60 Indonesia: 85,15 DKI Jakarta (105,69; 88,48) DI Yogyakarta (106,62; 87,68) Banten (50,77; 57,15)

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

III

IV I

(30)

20

Gambar 2.4.

Disparitas APK dan APM Antara Kabupaten-Kota Dalam Provinsi 2007

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

Disparitas APK SD/MI Kabupaten - Kota 2007 20,0719,77 18,87 18,0817,97 17,8913,51 13,20 13,0812,56 11,6711,24 9,689,38 8,368,25 7,056,33 5,76 5,764,97 3,933,51 3,36 3,303,23 2,422,41 1,751,28 0,17 22,95 6,08 -20 40 60 BengkuluSumbar DIY Bali Sulteng GorontaloKaltim Sulut KalbarNTB KalselKepri DKI JakartaPapua SultengJatim Jabar MalukuNAD IndonesiaSumut Kalteng Papua BaratNTT BabelSulsel Sumsel LampungBanten Jambi JatengRiau Malut Disparitas APK SMP/MTs Kabupaten - Kota 2007 51,6 45,3 34,1 33,3 33,1 32,8 32,2 32,1 32,0 30,8 30,4 30,1 29,4 28,7 28,3 27,1 25,7 25,6 23,5 23,5 23,2 22,8 22,6 22,6 18,4 17,9 13,7 12,1 11,6 11,0 8,6 1,3 23,9 - 20 40 60 Kalteng NTT Kalbar Sumbar Sulteng Papua Papua Barat Banten Gorontalo Babel DIY Sumut Bengkulu Jabar DKI Jakarta Maluku NAD Kalsel Indonesia Sumsel Kepri Jateng Kaltim Bali Lampung Sultra Jatim Sulsel NTB Jambi Riau Sulut Malut

(31)

21

Kedua, masih banyaknya provinsi dengan disparitas antara kota yang lebih tinggi dibandingkan disparitas kabupaten-kota secara nasional. Dari Gambar 2.4. ini tampak bahwa masih banyak provinsi-provinsi dengan APK yang berada di bawah rata-rata nasional. Untuk APK SD misalnya dengan disparitas antara kabupaten-kota di tingkat nasional sebesar 6,08 persen (tahun 2007), provinsi-provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara memiliki disparitas di atas tingkat nasional. Bahkan Propinsi seperti Bengkulu dan Sumatera Barat memeliki disparitas antara kota dan kabupaten hingga di atas 20 persen. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh disparitas APM baik di tingkat SD maupun tingkat SMP.

Ketiga, masih tingginya disparitas antara kabupaten dengan kota untuk tingkat pendidikan SD dengan SMP. Secara nasional disparitas APM kabupaten-kota mencapai 2,2 persen untuk tingkat SD dan mencapai 20,06 persen untuk SMP. Demikian juga untuk masing-masing provinsi, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah memiliki disparitas kabupaten-kota untuk APK SMP masing-masing sebesar 45,3 persen dan 51,6 persen serta 36,22 persen dan 40,14 persen untuk APM. Kedua provinsi ini menunjukkan disparitas kabupaten-kota yang terbesar diantara provinsi lainnya.

Keempat, kesenjangan akses pendidikan juga masih terjadi antar daerah-daerah seperti misalnya kota-kabupaten, Jawa-Luar Jawa, Daerah Tertinggal-Non Daerah Tertinggal maupun Daerah Otonom Baru-Non Daerah Otonom Baru. Gambar 2.5. menunjukkan kesenjangan antar daerah dimaksud. Secara umum, daerah kota menunjukkan akses pendidikan yang lebih baik dibandingkan kabupaten. Sementara itu, daerah-daerah tertinggal memiliki akses relatif rendah dibandingkan daerah lainnya. Satu hal yang menarik dalam hal pencapaian APK baik SD maupun SMP ini ditunjukkan bahwa daerah otonom baru (DOB) menunjukkan rata-rata APK yang

(32)

22

lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya (bukan DOB). Dari sini dapat pula dikataan bahwa pemekaran daerah memiliki dampak yang positif paling tidak dalam pemerataan akses pendidikan dasar 9 tahun.

Gambar 2.5.

APK SD dan SMP menurut Klasifikasi Daerah

Sumber: Departemen Pendidikan Nasional, 2007, diolah.

APK SD 121,8 Kota 119,4 119,5 119,5 113,47 113,97 113,73 Kabupaten 113,49 Jawa 118,5 115,1 114,9 114,7 Luar Jawa 114,0 115,1 114,9 114,7 110 112 114 116 118 120 122 124 2004 2005 2006 2007 APK SD DOB 115,94 115,46 115,29 115,12 Non DOB 113,61 114,38 114,14 113,90 DT 112,06 113,84 113,58 113,32 Non DT 117,77 116,17 116,02 115,88 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 2004 2005 2006 2007 APK SMP 101,8 107,5 103,8 Kota 119,4 Kabupaten 113,49 77,67 81,59 83,08 88,9 93,2 96,8 Jawa 118,5 76,3 79,5 83,4 Luar Jawa 114,0 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 2004 2005 2006 2007 APK SMP DOB 89,92 89,84 86,28 82,04 Non DOB 80,69 80,90 76,37 74,31 DT 78,51 77,40 72,93 70,48 Non DT 93,90 94,84 91,46 86,90 65 70 75 80 85 90 95 100 2004 2005 2006 2007

(33)

23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Analisa Kuantitatif

Untuk dapat mengetahui dampak input dan output Wajardikdas terhadap outcome, maka digunakan Metode Panel Data Analysis. Sebagaimana metode ekonometrika lainnya, metode analisa data panel ini dapat digunakan untuk menguji atau memperkirakan dampak dari perubahan satu faktor terhadap outcome yang diharapkan (misalnya: Angka Partisipasi Sekolah). Kelebihan estimasi menggunakan data panel adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan kumpulan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, memperbaiki degree of freedom, lebih efisien dan menurunkan colinearity antar variabel (Baltagi, 2001:6).

2. Memungkinkan menganalisa beberapa isu penting dalam perekonomian yang tidak dapat diterangkan dengan analisa time series atau cross section (Hsiao, 1989: 2).

3. Menghitung tingkat keberagaman karakteristik individu yang lebih tinggi dibandingkan dengan analisa time series (Baltagi, 2001:6).

4. Memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pemodelan perbedaan perilaku dibandingkan dengan analisa cross section (Greene, 1997:615).

5. Mampu menerangkan lebih baik dalam dynamic adjustment (Baltagi, 2001:6).

Adapun model dasar yang digunakan dalam evaluasi ini adalah Model Bank Dunia 2007 mengenai investasi pendidikan. Model ini mengangkat masalah Investasi dalam Pendidikan di Indonesia dengan

(34)

24

menggunakan satu model dasar yang meneliti sisi penawaran dan permintaan sebagai penentu (determinat) dari outcomes pendidikan. Spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut:

i

i E E S GDRP Po R A Sc D K L

R 1 12 23 4 5 6 7 8 9 10 11 

Dimana:

= Kabupaten/ kota = 1…N R = Net Enrollment Rates

E1 = Log dari pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk dalam usia sekolah (Total pengeluaran pendidikan per jumlah penduduk usia 7-18 Tahun).

E2 = Log dari rata-rata belanja pemerintah kabupaten/kota (per populasi penduduk usia sekolah) dari 2001-2003. S = Belanja untuk gaji tenaga pendidikan terhadap total

belanja pendidikan (rasio belanja pegawai terhadap toal belanja pendidikan).

GDRP = Log PDRB per kapita. Po = Poverty Head Count

R = Remote Area (Jarak rata-rata geometrik dari desa terhadap kabupaten terdekat)

A = Akses jalan (% desa dengan akses jalan paving) Sc = Jumlah sekolah SD dan SMP tiap KM2

D = Bencana, variabel yang mengindikasi apakah daerah merupakan daerah pasca bencana selama 1 tahun yang lalu.

K = Dummy untuk kabupaten/ kota (urban /rural)

L = Persentase penduduk dalam usia sekolah yang bekerja Berdasarkan model investasi pendidikan Bank Dunia tersebut, maka dilakukan pengembangan model dan modifikasi model tanpa meninggalkan esensinya dengan mempertimbangkan data yang dimiliki. Pengembangan model dalam kajian ini bertujuan untuk menganalisis dampak sejumlah faktor terhadap outcomes Wajardikdas 9 Tahun.

(35)

25

Salah satu outcomes utama dalam pelaksanaan program Wajardikdas 9 Tahun adalah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat sekolah dasar dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk sekolah menengah pertama. Faktor pertama yang digunakan adalah faktor output dalam pendidikan yang dikombinasikan dengan faktor eksternal dan faktor karakteristik wilayah. Dalam kajian ini akan disajikan hasil dari APK dan APM baik untuk SD maupun SMP.

Adapun Persamaan Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar dapat dituliskan sebagai berikut:

Dalam spesifikasi ini, simbol-simbol didefinisikan sebagai berikut:

APSDMI = Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah

APSSMMTs = Angka Partisipasi Murni dan Angka Partsipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah Rycko = Rasio Produk Domestik Regional Bruto

Terhadap Rata-Rata Nasional POV = Tingkat Kemiskinan

AIRA = Akses Air Bersih RLF = Jumlah Angkatan Kerja

(36)

26

LITER = Angka Melek Huruf

STAT = Dummy untuk kabupaten/kota

DT = Dummy untuk daerah Indonesia

Tertinggal

JAWA = Dummy untuk daerah yang berada di Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa

RDAU = Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap APBD

RDAK = Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD

RPAD = Rasio Pendapatan Asli Daerah Terhadap APBD

MGSDMI = Rasio Murid Guru SD/MI (Murid/Guru SD/MI)

DTSDMI = Rasio Murid Sekolah SD/MI (Murid/Sekolah SD/MI)

MGSMTS = Rasio Murid Guru SMP/MTs

(Murid/Guru SMP/MTs)

DTSMTS = Rasio Murid Sekolah SMP/MTs (Murid/Sekolah SMP/MTs)

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian outcome dari Program Wajardikdas 9 Tahun, yaitu faktor input dan output program serta faktor eksternal seperti karakteristik sosial ekonomi suatu daerah. Yang termasuk faktor input antara lain alokasi Dana Alokasi Khusus untuk Pendidikan, Rasio Dana Alokasi Umum Terhadap APBD, Rasio Dana Alokasi Khusus Terhadap APBD, dana BOS (BOS tunai dan BOS Buku). Dalam hal ini, tercapainya outcome program Wajardikdas dipengaruhi oleh besarnya dana dan

(37)

pembiayaan-27

pembiayaan yang dialokasikan untuk program tersebut. Dengan hipotesis bahwa terdapat hubungan positif antara besarnya dana yang dialokasikan dengan pencapaian APK dan APM.

Sedangkan, output Wajardikdas antara lain unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), perpustakaan dan rehabilitasi prasarana dan sarana SD/MI/SDLB/Paket A dan SMP/MTs/SMPLB, dan guru. Melalui perbaikan ruang kelas, maka akan meningkatkan daya tampung siswa secara maksimal. Demikian halnya dengan rehabilitasi gedung sekolah, dengan demikian dapat meningkatkan daya tampung secara maksimal dan memperlancar proses pembelajaran. Pembangunan USB-RKB dapat mendekatkan lembaga pendidikan dengan tempat tinggal siswa serta dapat menambah daya tampung. Pembangunan perpustakaan dan laboratorium akan meningkatkan mutu dan proses pembelajaran. Berkaitan dengan guru, maka yang harus diperhatikan adalah peningkatan ketersediaan guru yang akan memperlancar proses pembelajaran, serta peningkatan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru, sehingga guru dapat mengajar secara profesional sesuai dengan kompetensinya.

Dalam model ini faktor output yang digunakan antara lain Rasio Murid Guru SD/MI, Rasio Murid Sekolah SD/MI (daya tampung sekolah SD/MI), Rasio Murid Guru SMP/MTs dan Rasio Murid Sekolah SMP/MTs (daya tampung sekolah SMP/MTs). Dengan hipotesis terdapat hubungan yang negatif antara Rasio Murid guru SD/MI dan SMP/MTS terhadap APK dan APM SD/MI dan SMP/MTs. Semakin banyak guru yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM. Sedangkan hubungan antara rasio murid sekolah dengan APK dan APM diharapkan positif. Artinya semakin banyak sekolah yang tersedia akan meningkatkan APK dan APM.

Sedangkan untuk faktor eksternal, antara lain angka melek huruf, tingkat kemiskinan, pendapatan masyarakat, jumlah angkatan kerja, serta akses terhadap fasilitas umum. Tingkat kemiskinan diharapkan

(38)

28

mempunyai hubungan negatif terhadap besarnya APK dan APM. Sedangkan, angka melek huruf diharapkan mempunyai hubungan positif terhadap APK dan APM. Dengan argumentasi bahwa ketika angka melek huruf meningkat (mencerminkan tingkat pendidikan masyarakat) maka hal ini akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan. Tingkat pendapatan masyarakat dan akses terhadap fasilitas umum mempunyai hubungan yang positif terhadap APK dan APM. Dengan semakin terpenuhinya akses fasilitas umum, maka akan memudahkan siswa untuk menjangkau sekolah. Tingkat pendapatan masyarakat yang juga dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat, juga akan mempengaruhi orangtua dan anak untuk melanjutkan sekolah.

Selain itu, juga terdapat beberapa faktor karakteristik daerah yang dapat mempengaruhi pencapaian APK dan APM. Antara lain Kabupaten/Kota, Daerah Tertinggal, dan keberadaan daerah di Pulau Jawa/Luar Pulau Jawa. Faktor karakteristik daerah digunakan sebagai variabel dummy. Dengan manggunakan beberapa variabel dummy tersebut diharapkan dapat diketahui apakah karekteristik tertentu dari suatu daerah akan mempengaruhi capaian APK dan APM. Sebagai hipotesis sementara daerah kota akan mempunyai tingkat capaian yang lebih tinggi daripada kabupaten. Hal ini dimungkinkan karena beberapa indikator input dan output daerah kota lebih baik daripada kabupaten. Demikian juga halnya jika daerah tersebut bukan merupakan daerah tertinggal (dilihat dari besarnya desa tertinggal di daerah tersebut). Hal yang sama juga terjadi untuk daerah di luar dan di Pulau Jawa. Dapat diduga bahwa daerah di Jawa capaiannya lebih baik daripada daerah di luar Jawa.

Terdapat beberapa penelitian yang mendukung adanya hubungan antara tingkat pendidikan dan pendapatan yang menjadi salah satu alasan bahwa capaian APK dan APM di daerah dipengaruhi oleh

(39)

29

pendapatan yang diproksi dengan PDRB. Penelitian tersebut diantaranya pernah dilakukan oleh Schultz (1960), Becker (1964) dan Mincer (1974). Ketiganya menyimpulkan bahwa hubungan antara rata-rata tingkat pendidikan dengan pendapatan (diperimbangkan juga faktor distribusinya) mempunyai hubungan positif. Selain itu, Bils dan Klenow (2000) melakukan penelitan yang menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat korelasi antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, dimana semakin tinggi tingkat pertumbuhan akan menyebabkan pendidikan yang semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi sabagai variabel bebas dan tingkat pendidikan sebagai variabel terikatnya, bukan sebaliknya.

3.2. Analisis Kualititatif

Dari hasil analisis kuantitatif akan diperoleh gambaran secara umum evaluasi kegiatan-kegiatan program Wajardikdas. Sebagai satu hasil desk studi, hasil analisis kuantitatif ini perlu diverifikasi di lapangan melalui diskusi dengan narasumber baik stakeholder di daerah maupun tim teknis di tingkat pusat. Di samping itu, juga digunakan analisis kualitatif untuk merumuskan berbagai bahan masukan mengenai pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkategorisasi dan meng-interpretasikan secara komprehensif hasil studi yang dilakukan. Miles, dalam Moleong (2000) juga mengungkapkan studi kualititatif dilakukan beberapa tahap kegiatan analisis yakni :

1. Metode Identifikasi.

Kegiatan ini dilakukan setelah semua informasi dan data terkumpul yang didasarkan atas beberapa fokus studi di atas. Identifikasi ini secara sederhana dilakukan berdasarkan poin-poin penting dan hal-hal yang menarik maupun kesamaan informasi maupun pandangan narasumber.

(40)

30 2. Metode Kategorisasi

Yaitu pengelompokkan data berdasarkan hasil identifikasi yang disandingkan dalam sebuah matriks yang didasarkan pada fokus studi serta sumber informasi. Kategorisasi juga dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka kerja logis.

3. Metode Interpretasi/penafsiran

Yang dilakukan setelah pengaitan hubungan antar data. Interpretasi juga dilakukan dengan disertai teori-teori yang relevan. Sesuai kaidah penelitian kualitatif, melalui metode analisis yang dipilih, tim peneliti dapat membuat interpretasi dan dapat mempunyai kekuatan argumentasi didasarkan data yang diperoleh dari lapangan.

3.3. Data

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam studi ini bersumber dari berbagai publikasi instansi dan lembaga terkait. Untuk data-data yang berkait dengan komponen kegiatan program Wajardikdas 9 tahun seperti output Guru, ruang kelas, sekolah dan lainnya; digunakan data sekunder yang bersumber dari Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu data yang berkaitan dengan kerangka makro, perencanaan dan anggaran digunakan data sekunder yang bersumber dari Bappenas dan Departemen Keuangan. Data sekunder pendukung lainnya yang berkaitan dengan kependudukan dan kewilayahan digunakan data yang bersumber data BPS.

Selain itu juga untuk mendukung analisis dengan data sekunder di atas, digunakan data dan informasi yang bersifat primer yang bersumber

(41)

31

dari stakeholder pendidikan dasar baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Data dan informasi yang bersifat primer ini dikumpulkan melalui indepth interview dan FGD yang dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Deskripsi mengenai mekanisme indepth interview dan FGD dijabarkan lebih lanjut pada bagian lain laporan ini.

Pengumpulan Data dan Sampling

Evaluasi ini menggunakan data sekunder dari dokumen-dokumen pemerintah, seperti RPJM, RKP, Renstra, laporan-laporan resmi dari Depdiknas untuk analisa kuantitatif. Selain data sekunder, evaluasi ini akan menggunakan data primer untuk mempertajam analisa kualitatif. Provinsi dipilih berdasarkan kriteria besarnya Angka Partisipasi Murni (APM) SD-SMP setara dan Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah. Berdasarkan kriteria dan pertimbangan tersebut di atas, empat provinsi terpilih adalah Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Sumatera Selatan. Jawa Timur mewakili daerah dalam kelompok normatif tinggi, atinya baik APM maupun anggaran Dikdasmen 2006 berada di atas rata-rata nasional. Kalimantan Selatan mewaliki daerah normatif rendah, yaitu daerah yang mempunyai APM di atas rata-rata nasional sedangkan anggaran Dikdasmen pada tahun 2006 berada di bawah rata-rata nasional. Provinsi Riau mewakili daerah pada kelompok anomali positif, artinya APM berada di bawah rata-rata nasional, sedangkan anggaran Dikdasmen pada tahun 2006 berada di atas rata-rata nasional. Sumatera Selatan mewakili kelompok anomali negatif, yaitu baik APM maupun anggaran Dikdasmen 2006 berada di bawah rata-rata nasional. Di setiap provinsi dilakukan in-depth interview dan Focus Group Interview (FGI) terhadap stakeholder yang terkait dengan program Wajardikdas 9 Tahun untuk verifikasi hasil analisa serta untuk mengetahui persepsi program Wajardikdas di empat provinsi tersebut.

(42)

32

Tabel 3.1. Pemilihan Sampel No. Sampling Based Normatif

Tinggi Normatif Rendah Anomali Positif Anomali Negatif 1 APK-Anggaran

Dikdasmen Jabar Sulteng Sumbar

Jawa Timur 2 APM-Anggaran

Dikdasmen 2006 Jatim Kalsel Riau Sumsel

3 APM-APK DIY Papua Riau Gorontalo

4 APK-PDRB per

Kapita Kep. Riau NTT DIY Papua 5 APM-PDRB per

(43)

33

BAB IV

HASIL REGRESI:

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

APK DAN APM

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan model panel data

dari 440 kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2004-2006, maka

dihasilkan persamaan regresi sebagai berikut:

4.1. Nasional

Hasil regresi menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Murni SD/MI, Angka Partisipasi Kasar SD/MI dan Angka Partisipasi Kasar SMP/MTs dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto, akses air bersih, angka melek huruf, rasio murid sekolah, rasio murid guru dan kemiskinan. Terlihat di sini bahwa APM SD/MI, APK SD/MI dan APK SMP/MTs tidak hanya dipengaruhi oleh sisi penawaran dari sektor pendidikan, tapi juga dari sektor permintaan. Semakin banyak guru dan sekolah akan meningkatkan APM SD/MI, APK SD/MI dan APK SMP/MTs.

(44)

34

Tabel 4.1. Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi APK SD/MI Nasional Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI

Variabel Koefisien t-Statistik

Rasio Produk Domestik Regional Bruto

terhadap rata-rata nasional 0.076778* 4.110717

Akses Air Bersih 2.711565* 37.45248

Angka Melek Huruf -1.904861* -20.60537 Rasio Murid Guru SD + MI -0.231774*** -1.700838 Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.131564* 3.297393 Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.090350** -2.568953 Tingkat Kemiskinan -0.027549*** -1.666266

Adjusted R-squared 0.901847

Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%

Selain itu, karakteristik sosial ekonomi wilayah juga memegang peranan penting dalam peningkatan APM SD/MI, APK SD/MI dan APK SMP/MTs, seperti akses air bersih dan angka melek huruf. Akses air bersih menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut dan memiliki hubungan yang positif dengan APM SD/MI. Semakin sejahtera masyarakat tersebut, maka semakin besar anggaran rumah tangga yang dapat dialokasikan untuk pendidikan. Selain itu, dengan semakin sejahtera masyarakat tersebut, maka anak-anak tidak perlu membantu orang tuanya untuk mencari nafkah, sehingga mereka dapat bersekolah. Dalam hal ini, dana alokasi khusus memiliki dampak yang positif terhadap APM SD/MI dan APK SMP/MTs.

(45)

35

Tabel 4.2.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Nasional Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI

Variabel Koefisien t-Statistik

Rasio Produk Domestik Regional Bruto

terhadap rata-rata nasional 0.081356* 4.844254

Akses Air Bersih 1.972894* 23.12154

Angka Melek Huruf -1.203693* -10.22201 Rasio Murid Guru SD + MI -0.240565*** -1.707245 Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.131332* 2.936992 Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.090502** -2.019313 Tingkat Kemiskinan -0.027079** -2.342351 Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.016126*** 1.932059

Adjusted R-squared 0.886536

Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%

(46)

36

Tabel 4.3.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SMP/MTs Nasional Variabel Tidak Bebas: APK SMP/MTs

Variabel Koefisien t-Statistik

Rasio Produk Domestik Regional Bruto

terhadap rata-rata nasional 0.078094* 4.685874

Akses Air Bersih 2.360315* 35.24491

Angka Melek Huruf -1.580470* -16.80796 Rasio Murid Guru SMP+MTs -0.244102*** -1.820343 Rasio Murid Sekolah SMP+MTs 0.196896* 7.312505 Rasio Dana Alokasi Umum terhadap

APBD -0.153360* -5.675825

Tingkat Kemiskinan -0.028160*** -1.937160 Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap

APBD 0.016129*** 1.879393

Adjusted R-squared 0.893469

Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%

Lebih lanjut, untuk Angka Partsipasi Murni SMP/MTs dipengaruhi oleh faktor input pembiayaan (dana alokasi umum, dana alokasi khusus), Produk Domestik Regional Bruto dan angka melek huruf. Dengan perkataan lain APM SMP/MTs tidak dipengaruhi factor output SMP/MTS (rasio murid guru SMP/MTs dan rasio murid sekolah SMP/MTs).

(47)

37

Tabel 4.4.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SMP/MTs Nasional Variabel Tidak Bebas: APM SMP/MTs

Variabel Koefisien t-Statistik

Rasio Produk Domestik Regional Bruto terhadap

rata-rata nasional 0.977557* 108.7135

Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.113300** -2.096720 Angka Melek Huruf -0.021072* -5.719985 Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.008336* 4.583468

Adjusted R-squared 0.982429

Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%

4.2. Sumatera

Berdasarkan hasil regresi per pulau, diketahui bahwa APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), akses air bersih, angka melek huruf, rasio murid guru, rasio murid sekolah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, tingkat kemiskinan dan pendapatan asli daerah. Koefisien untuk PDRB, akses air bersih, rasio murid guru, rasio murid sekolah, tingkat kemiskinan dan Dana Alokasi Khusus menunjukkan tanda sesuai yang diharapkan. Semakin tinggi PDRB, akses air bersih, jumlah guru, jumlah sekolah dan Dana Alokasi Khusus di daerah-daerah di Pulau Sumatera akan meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di daerah tersebut.

Lebih lanjut, semakin rendah tingkat kemiskinan di daerah-daerah di Pulau Sumatera akan meningkatkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera. Sedangkan untuk koefisien Dana

(48)

38

Alokasi Umum dan pendapatan asli daerah tidak memberikan tanda sesuai yang diharapkan. Hasil regresi menunjukkan semakin tinggi Dana Alokasi Umum dan pendapatan asli daerah maka akan menurunkan APK SD/MI, APM SD/MI dan APK SMP/MTs di Pulau Sumatera.

Tabel 4.5.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APK SD/MI Sumatera Variabel Tidak Bebas: APK SD/MI

Variabel Koefisien t-Statistik

Rasio Produk Domestik Regional Bruto

terhadap rata-rata nasional 0.098050* 4.029139

Akses Air Bersih 3.516948* 10.87035

Angka Melek Huruf -1.633439* -28.62164 Rasio Murid Guru SD + MI -0.138194** -2.394641 Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.174514* 3.367378 Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.158839* -2.955319 Tingkat Kemiskinan -0.026381* -2.985773 Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.042265* 3.436729 Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.030613** -1.980118 Jumlah Angkatan Kerja -1.008180* -2.669166

Adjusted R-squared 0.898480

Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%

(49)

39

Tabel 4.6.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi APM SD/MI Sumatera Variabel Tidak Bebas: APM SD/MI

Variabel Koefisien t-Statistik

Rasio Produk Domestik Regional Bruto

terhadap rata-rata nasional 0.096854* 4.091205

Akses Air Bersih 2.237844* 6.898597

Angka Melek Huruf -1.061186* -19.02510

Rasio Murid Guru SD + MI -0.146951** -2.601000 Rasio Murid Sekolah SD + MI 0.165003* 3.238149 Rasio Dana Alokasi Umum terhadap APBD -0.147722* -2.701593 Tingkat Kemiskinan -0.027505* -2.947435 Rasio Dana Alokasi Khusus terhadap APBD 0.045034* 3.981653 Rasio Pendapatan Asli Daerah -0.031675** -2.405074

Adjusted R-squared 0.877867

Keterangan: *** signifikan pada derajat kepercayaan 10% ** signifikan pada derajat kepercayaan 5% * signifikan pada derajat kepercayaan 1%

Referensi

Dokumen terkait

a) Faktor jasmaniah yaitu meliputi kondisi jasmani seperti pada umumnya kesehatan segenap badan beserta bagian-bagian atau bebas dari penyakit dan cacat tubuh

Lampiran 22 Angka Partisipasi Murni (APM) dalam bentuk Grafik Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Kabupaten Merauke Tahun

Dari Tabel 1 diatas, industri nasional memiliki potensi dan kemampuan yang cukup besar untuk memasok komponen elektrikal untuk sistem ketenagalistrikan khususnya untuk

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan hasil belajar keterampilan menulis (bahasa Indonesia) pada tema

Dari hasil pengujian penelitian menyatakan bahwa secara bersama-sama terdapat pengaruh signifikan antara motivasi kerja, kepuasan kerja dan keadilan organisasi

Birokrasi Nomor 30 Tahun 2012 tentang pedoman pengusulan, Penetapat, dan Pembinaan Reformasi Birokmsi pada pemerintah Daerah sebagai delegasi langsung dalam menetapkan

• Observasi dapat menangkap seluruh peristiwa ketika peristiwa itu terjadi di dalam situasi yang sesungguhnya • Data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan.. sampai

Sistem berhasil memproses pengolahan data soal sesuai yang diinputkan admin Admin dapat melakukan proses pengolahan data Halam an input data jawaba n Pengujian