• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBONGKAR KUBUR SUGIARTI SISWADI (SEBUAH KAJIAN NEW HISTORICISM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBONGKAR KUBUR SUGIARTI SISWADI (SEBUAH KAJIAN NEW HISTORICISM)"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

(SEBUAH KAJIAN NEW HISTORICISM)

TESIS

Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)

Disusun oleh:

Fairuzul Mumtaz (096322014)

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2014

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Kepada:

Ibu, Bapak, serta mertua Istriku Tikah Kumala

Adik-adikku; Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah Faila Sufa Serta kepada guru-guruku.

(7)

vii

(8)

viii

Adalah rasa syukur yang kali pertama saya dengungkan ketika merampungkan penulisan tesis ini. Alhamdulillah, puji kepada Tuhan YME dan sholawat kepada Nabi Muhammad Saw sebagai madinatul ilmi. Berbagai kemudahan teknis telah saya peroleh dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan serentetan ucapan terima kasih kepada;

Keluarga saya selalu bertanya dan gelisah tentang kelulusan saya. Keluarga di Demak, Bapak H. Mas’ad dan Ibu Hj. As’adah; Keluarga di Cilacap Bapak Puryanto dan Ibu Karmi; Istriku Tikah Kumala; adik-adikku, Fajrul Islam, Faza Dinazad, Farah Faila Sufa, Aji Prasetyo, dan Rafi Mufti Wijaya.

Kepada keluarga besar Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, yang memberi kesempatan bagi saya untuk menempuh studi di dalamnya. Terutama kepada para guru yang bersahabat, Dr. J. Haryatmoko, SJ; Dr. Katrin Bandel; Dr. Celia Lowe, Dr. George J. Aditjondro; Dr. St. Sunardi; Y. Devi Ardhiani, M.Hum; Dr. G. Budi Subanar, SJ; Dr.Ishadi SK; dan Dr. Budiawan. Begitu pula kepada para staff; Mbak Henkie, Mbak Desy, dan Mas Mulyadi yang selalu ramah.

Kepada Mbak Katrin, secara khusus saya sampaikan rasa terima kasih atas kerelaan dan kesabaran dalam membimbing saya, serta memberikan berbagai dorongan, semangat dan masukan.

Kepada keluarga besar Yayasan Indonesia Buku yang menyediakan data dan buku-buku untuk keperluan penulisan tesis ini. Khususnya Muhidin M. Dahlan yang banyak memberikan masukan pada awal penentuan tema.

Kepada teman-teman seangkatan atas diskusi dan gosip-gosipnya; Abed, Agus, Mei, Rino, Probo, Leo, Vita, Iwan, Herlin, Mbak Lulud, Anes, Lusi, Eli, Titus.

Tesis ini merupakan proses pendewasaan saya dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Tentu saja bukan muara, perjalanan panjang masih harus ditempuh. Sebab itu, nama-nama yang saya sebut menjadi unsur penting dalam perjalanan selanjutnya. Terima kasih.

Salam,

(9)

ix

(Sebuah Kajian New Historicism) Oleh: Fairuzul Mumtaz

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji karya-karya Sugiarti Siswadi yang tersebar di media massa dan buku antologi tunggal Sorga Dibumi. Media massa yang dimaksud adalah

Harian Rakjat dan Api Kartini. Kedua media ini sangat berjasa bagi besarnya nama

Sugiarti Siswadi. Untuk menganalisis karya-karya tersebut, penulis menggunakan pendekatan New Historicism. Pendekatan ini memungkinkan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks lain semasanya.

Pendekatan New Historicism memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Asumsi dasar tersebut adalah; 1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain. Sementara data yang digunakan untuk melacak hubungan paralelitas dengan karya-karya Sugiarti Siswadi ada media massa Harian Ra’jat dan Api Kartini serta teks pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, representasi perjuangan kelas yang tertuang dalam karya-karya Sugiarti Siswadi terbagi menjadi empat kelas. Yaitu kelas buruh, kelas petani, massa partai, dan prajurit. Dalam kelas buruh, Sugiarti menampilkan perlawanan buruh dalam hal perbudakan yang tak berprikemanusiaan. Kelas petani memperjuangkan tanah yang menjadi milik mereka dengan gerakan Aksi Sepihak melalui UUPA dan UUPBH. Sementara itu, massa partai dimobilisasi untuk memperkuat struktur partai di tingkat lokal dan nasional. Kader-kader partai dianggap penting karena merupa unsur pembangun partai. Yang terakhir adalah massa prajurit yang bergerak secara fisik dalam dalam perjalanan revolusi di Indonesia. Kedua, paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridologi serupa pada masanya ditemukan dalam beberapa tiga fokus, yaitu landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis. Landreform merupakan isu besar pada masa revolusi, isu ini untuk redistribusi tanah yang merata agar petani mendapatkan bagian tanah sebagai media produksi. Sebagai perempuan, Sugiarti memberi ruang yang lebar kepada isu perempuan. Kesadaran gender sangat nampak dalam karya-karyanya. Kehidupan perempuan tak bisa dilepaskan begitu saja dengan anak, sebab ialah yang telah melahirkan anak. Perempuan dan anak berjalan beriringan dalam karya-karyanya. Sementara partai sebagai medan untuk memperjuangan ideologinya, Sugiarti berperan secara aktif. Ia melahirkan karya-karya yang senapas dengan partainya. Sebab itulah, karyanya Sugiarti kerap menampilkan cita-cita partai yang menginginkan Indonesia menjadi negara sosialis.

(10)

x

(A New Historicism study) By: Fairuzul Mumtaz

Abstract

This research aims to study Sugiarti Siswadi’s works published on the mass media and anthology book titled “Sorga Dibumi”. The medias referred on this thesis are

Harian Ra’jat and Api Kartini. Both of them have significant role for gaining popularity

for Sugiarti Siswadi. To analyse those works, the writer uses New Historicism Approach. This approach enables to track down the parallelism between Sugiarti’s works, the events that occurred at that time, and also her personal view concerning on that matter.

New Historicism Approach has several basic assumptions that unite its initiators and its critics. Those are: 1) every expressive action is strongly related to materially cultural practice; 2) literature and non-literature texts circulate inseperably; 3) there is no any discourse, let it be a fiction or fact, which might gives access to absolute truth and cannot change or express any essence of humanity without other alternatives existed. While the data used to track down the parallelism on Sugiarti’s works are

Harian Ra’jat and Api Kartini and also political speeches by D.N. Aidit and Sukarno.

The results of this research suggests that, first, there are four representations of class struggle on Sugiarti’s works. They consist of labor class, farmer class, political party partisan class, and soldier class. In the labor class, Sugiarti illustrates the labor struggle in terms of inhumane slavery. Farmer class fights for their land by using unilateral movement through UUPA and UUPBH. Meanwhile, political party partisan class is mobilized to strengthen the party structure locally and nationally. Party cadres are considered as an important pillar to build up a party. The last class, the soldier class which physically moves their muscle in the course of Indonesian revolution. Second, the parallelism between Sugiarti’s works with the ideological text on her era are found with three focuses, which are land reform, women and children, and political party and the socialists ideals. Land reform is such a big issue during the revolution, it is kind of movement to redistribute the land evenly to farmer as part of production media. As a woman, Sugiarti provides a big space to discuss women issues. Gender awareness is very apparent in her works. Women’s life cannot be separated easily with the children because women are the one who bear them. Women and children go hand in hand on her works. She takes an active role in the party to struggle for her ideology. Her works match her party ideals perfectly. That is why sometimes her works reflect a hope that Indonesia someday will become a socialist country.

(11)

xi

Halaman

LEMBAR JUDUL ……… i

LEMBAR PERSETUJUAN ……….. ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii

PERNYATAAN ……….. iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA………….

v

PERSEMBAHAN ………. vi

MOTTO ……… vii

KATA PENGANTAR ……… viii

ABSTRAK ………. ix ABSTRACT ……… x DAFTAR ISI ……….. xi BAB I. PENDAHULUAN ………. 1 A. Latar Belakang ……….. 1 B. Rumusan Masalah ……….. 7 C. Tujuan Penelitian ……….. 7 D. Manfaat Penelitian ……… 8 E. Tinjauan Pustaka ……….. 8 F. Kerangka Teori ……….. 11 G. Metodologi Penelitian ……… 18 H. Sistematika Penyajian ………. 18

BAB II. SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH ………. 20

A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965 ………... 21

B. Lekra dan Perjuangan Kelas ………. 39

C. Lekra dan Literatur Anak ………. 45

D. Pengarang Perempuan Lekra ……….. 51

E. Tentang Sugiarti Siswadi ……… 54

BAB III. REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS DALAM KARYA-KARYA SUGIARTI SISWADI ……… 62

A. Perjuangan Buruh: Melawan Perbudakan ……….. 64

B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH ……….. 78

C. Perjuangan Massa Partai: Kisah-kisah Propaganda ……… 99

D. Perjuangan Prajurit: Kerja Revolusi ……….. 116

BAB IV. MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI DENGAN TEKS-TEKS BERIDELOGI SERUPA……….. 129

A. Landreform ……….. 130

B. Perempuan dan Anak ……….. 142

C. Partai dan Cita-cita Sosialis ……….. 160

(12)

xii

BAB V. PENUTUP ………. 173

A. Kesimpulan ……….. 173

B. Saran ……….. 175

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra dinilai sebagai hasil kebudayaan manusia. Keterkaitan antara karya sastra, kebudayaan dan manusia yang (terus) memproduksi kebudayaan sekaligus direproduksi oleh kebudayaan adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Apa dan bagaimanapun bentuknya, sebuah karya sastra selalu merepresentasikan manusia baik di dalam ide, gagasan, nilai maupun historisitasnya. Sastra dan kesusastraan menjadi kompleks karena langsung bersentuhan dengan manusia dan ekspresinya dalam segala macam aspek kehidupannya, mulai dari kenyataannya yang fisikal, humanistik sampai yang paling sublim dan transendental, dalam caranya yang paling sederhana sampai yang paling rumit dan estetik.

Dengan demikian, sastra memiliki ikatan ruang dan batin yang cukup erat dengan sejarah dan masyarakat, sehingga sastra mendapatkan nyawa dari keduanya. Hal inilah yang mula-mula dipandang oleh pendiri New Historicism, bahwa teks dan sosial historis sama-sama menghasilkan dampak sosial pada saat yang sama. Dalam perspektif ini, sastra turut serta ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya.1

1

Lihat artikel Melani Budianta, Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam

(14)

Ketika karya sastra mengacu pada sejarah atau realita sehari-sehari, hal itu bukanlah sebagai latar belakang belaka. Ia memiliki misinya tersendiri. Dalam konteks ini, karya sastra mencoba menawarkan atau menyusun sejarah dalam versinya sendiri. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Budianta yang mengatakan bahwa,

―Dalam pandangan New Historicism, ―kenyataan sejarah‖ tidak lagi tunggal dan absolut, melainkan terdiri dari berbagai macam kisi yang penuh kontradiksi, keterputusan, pluralitas, dan keragaman. Dengan demikian, antara teks sastra dengan sejarah memiliki tali intertekstualitas (baik fiksi maupun faktual) yang diproduksi dalam kurun yang sama maupun berbeda.‖2

Melalui pandangan di atas, dapat dilihat bagaimana susah payah penulis dalam menghasilkan produk kebudayaan. Konteks sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya akan terlacak, sehingga sebuah karya menjadi lebih kaya. Misalnya dapat dilihat bagaimana pertarungan kuasa dan ideologi ketika sebuah karya mula-mula dilahirkan.

Karya-karya yang dilingkupi pertarungan kuasa dan ideologi dapat ditemukan pada masa-masa kelam sebuah bangsa. Tak terkecuali Indonesia, masa kelam itu terjadi pada saat penjajahan Belanda dan Jepang. Pada waktu itu, Bangsa Indonesia mengalami keterpurukan dari berbagai sisi. Namun demikian, keterpurukan itu menjadi pengalaman besar yang mampu melahirkan karya-karya yang besar pula, yang kelak mewakili zamannya. Oleh karena itu, selayaknya, generasi ke depan tidak boleh melupakannya. Segalanya perjuangan di atas tinta musti pula diabadikan.

(15)

Pengalaman buruk sejarah Bangsa Indonesia, di bawah penjajahan Belanda dan Jepang kemudian melahirkan sebuah pemberontakan besar-besaran. Pemberontakan itu diawali pada 12 November 1926. Meski akhirnya gagal dengan berbagai sebab, pemberontakan yang mulanya dijadwalkan pada 12 Juni 1926 menjadi titik letup utama atas pemberontakan selanjutnya.3

Perjuangan yang dipelopori oleh PKI itu diabadikan dalam Kumpulan

Cerpen dan Puisi Gelora 26 (Ultimus, 2010).4 Buku tersebut berisi 6 cerita pendek

dan 10 puisi ditulis oleh 15 pengarang, 2 perempuan selebihnya laki-laki. Juga tak kalah menarik, sebuah lagu tercipta untuk menandai peristiwa tersebut. Para penulis dalam buku tersebut tentu tak memiliki keterlibatan secara langsung ketika konfrontasi itu terjadi. Rata-rata para penulis baru lahir beberapa tahun setelah peristuwa berlangsung, yakni lahir pada tahun 1930an. Meski berjarak, mampu membangkitkan semangat zaman di saat peristiwa itu terjadi. Dari keseluruhan isi buku, penulis tertarik dengan cerpen berjudul Sukaesih karya Sugiarti Siswadi.

Cerita itu berkisah tentang perlawanan Haji Hasan yang menolak menyerahkan hasil kerja kerasnya pada Belanda dan berujung dengan kematian. Seorang perempuan yang menyaksikan peristiwa tersebut merasa tergugah dan memilih jalan masuk dalam organisasi-organisasi kiri serta terlibat dalam pemberontakan 12 November 1926. Ia keluar masuk penjara dan berakhir di Digul. Keberadaan cerpen ini menambah lagi satu referensi tentang Digul dari perspektif sastra.

3 Pengantar Asep Samboja dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus.

Hal vii

4

Sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Pembaharuan, Jakarta tahun 1961. Lihat Pamusuk Eneste, Bibliografi Sastra Indonesia, diterbitkan oleh Indonesia Tera, Magelang tahun 2001. Hal 7.

(16)

Dari cerpen tersebut, penulis kemudian melacak karya-karya dengan pengarang yang sama. Alhasil, ditemukan 6 cerpen dalam kumpulan cerpen Sorga

Dibumi (Lekra, 1960), 9 cerpen5 dan 3 puisi di Harian Rakjat, serta 1 cerpen dan

2 puisi di Majalah Api Kartini.6 Seluruh karyanya memiliki ciri karya-karya Lekra

yang bersifat ―reportase‖ atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah, dan mengusung patriotisme, perjuangan kelas, penegasan sikap partai dan lain sebagainya.7 Imajinasi, keindahan bahasa dan kemampuan

Sugiarti Siswadi dalam merekam peristiwa dan tokoh memberikan ruh pada laku sejarah yang didokumentasikannya.

Buku berjudul Sorga Dibumi merupakan buku tipis dengan jumlah halaman 42 saja. Penerbitan buku tipis semacam ini mengingatkan orang pada awal berdirinya PKI. Buku menjadi alat propaganda dan pengkaderan partai, terutama teori-teori untuk menopang jiwa partai. Poestaka Ketjil Marxis adalah nama untuk penerbitan ini. Kerja penerbit ini adalah melahirkan buku-buku berukuran mungil, 10,5 x 14 cm, tipis, tidak lebih dari 100 hlm, berisi teori dan panduan, dan disebar hingga kader terbawah partai. Aksi buku kecil ini pernah pula mendapat reaksi dari Front Anti Komunis yang berpusat di Bandung yang menerbitkan buku kecil sejumlah 32 halaman. Buku ini hanya beberapa halaman yang berisi tentang PKI membela negara asing, selebihnya mengatakan bahwa

5

Hanya 6 yang berhasil dihimpun karena data koran tidak lengkap atau robek. Lihat juga di

Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965, disusun oleh

Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.

6 Satu puisi menggunakan nama samaran, satu lagi dengan nama asli. 7

Lihat Lekra tak Membakar Buku. Disusun oleh Muhidin M Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.

(17)

negara kapitalis itu demokratis, rakyatnya makmur, sementara negara sosialis tidak demokratis, rakyatnya sengsara.

Beranjak dari kesuksesan penerbitan ini, PKI kemudian mendirikan lembaga penerbitan baru bernama Jajasan Pembaruan pada Mei 1951 di Jakarta. Ini adalah sebuah lembaga penerbitan yang menjadi ―mesin ilmiah‖ partai. Rata-rata menerbitkan 1 judul sepekan. Tahun pertama: Rentjana Konstitusi PKI,

Djalan Baru Untuk Republik Indonesia, Pengantar Ekonomi Politik Marxis, Dimitrov Menggugat Fasisme, Tentang Ajaran2 dan Perjuangan Karl Marx,

dan Bintang Merah (Jurnal). Penulis-penulis Indonesia yang pernah diterbitkan karyanya antara lain: Ir. Sukarno, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Mr. Jusuf Adjitorop, Nursuhud, Peris Pardede, J. Piry, Nungtjik. AR, Hutomo Supardan, Joebaar Ajoeb, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, F.L. Risakotta, S. Rukiah Kertapati, Dhalia, Sobron Aidit, Sugiarti Siswadi dan lain-lain.8 Sebagian

besar penulis ini adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yaitu organ yang secara ideologis sejalan dengan PKI.

Setelah empat belas tahun menanamkan ideologinya, Lekra menemui masa panen. Barangkali ini menjadi masa panen paling panjang. Sejak berdirinya tahun 1950 hingga diadakannya Kongres Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) pada tahun 1964, Lekra mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah sehingga kehidupan Lekra menjadi kian makmur. Perjuangan itu menghasilkan kepercayaan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan memberikan ruang

(18)

lebarnya kepada Lekra untuk menghasilkan karya dan mempublikasikannya di koran milik PKI, yiatu Harian Rakjat.

Kepercayaan yang diberikan itu tercermin pada apa yang dikatakan oleh D.N. Aidit,

―bahwa pekerdjaan politik adalah otaknja partai, sedang sastra dan seni adalah hatinja partai. Orang komunis adalah manusia jang mempunjai otak dan hati jang terbaik. Oleh karenanja kaum komunis tidak menarik garis pemisah antara kerdja politik dengan kerdja kebudajaan. Kedua-duanja menjadi bagian dari kehangatan revolusioner sekarang maupun dimasa jang akan datang.‖9

Kepercayaan dan ruang yang lebar itu kemudian dimanfaatkan oleh kader-kader Lekra untuk berkarya lebih giat. Banyak nama-nama baru yang muncul sehingga Lekra juga semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selain itu, Lekra juga memiliki media propaganda sastra.

Bagian Penerbitan Lekra didirikan tahun 1960 di Jakarta. Terbitan pertamanya adalah buku dua fiksi, masing-masing adalah Siti Djamilah karya Joebaar Ajoeb dan Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi. Teranglah, dua penulis ini menjadi penting. Nama Joobar Ajoeb masih sangat sering didengar hingga kini, tapi ke mana nama Sugiarti Siswadi? Apakah pegebluk 65 menguburnya?

Enampuluh hari setelah pembantaian massal 65, buku-buku kecil terbitan PKI dan peranakannya juga ikut dibantai. Dilarang beredar, diberangus oleh pihak yang sama. Tercatat 67 judul buku hilang dalam waktu bersamaan. Juga sebuah upaya pembantaian sejarah.10

9 D.N. Aidit. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. Hal 67. 10

Pelarang Buku; Menutup Jendela Dunia. Pelarang Buku dari Jaman ke Jaman. Dipublikasikan oleh Institute Sejarah Sosial Indonesia, 2010.

(19)

Lima tahun setelah terbit, buku Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi, tepatnya 30 November 1965, menjadi buku terlarang oleh Pembantu Menteri P.D. dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Buku ini kembali dilarang oleh Tim Pelaksana / Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme / Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967.

Dari data tersebut, penulis menganggap pentingnya peranan pengarang wanita Lekra ini. Namanya disejajarkan dengan penulis papan atas Lekra dan masuk dalam kepengurusan pusat Lekra, terpilih pada Kongres Nasional I Lekra, pada tanggal 24-29 Januari 1959 di Solo.11

Dari berbagai pembacaan literatur, penulis tak menemukan ulasan panjang mengenai pengarang perempuan ini beserta karya-karyanya. Seluruhnya seakan bungkam, bahkan teman seperjuangannya. Hanya sesekali namanya disebut sebagai pengarang perempuan. Penelitian ini berupaya membongkar kubur Sugiarti Siswadi melalui karya-karyanya.

B. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang akan dijawab pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti Siswadi?

11

Lihat Lekra tak Membakar Buku susunan oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.

(20)

2. Bagaimana hubungan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks berideologi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada masanya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menggali karya-karya pengarang sastra Indonesia modern yang tenggelam, khususnya Sugiarti Siswadi. Pada tahun 1950-1965 karya-karyanya sering memenuhi media massa. Setelah peristiwa kemanusiaan 1965, namanya tak pernah lagi ke permukaan.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra, khususnya sejarah sastra dan kritik sastra. Bagi sejarah sastra hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan untuk mengungkap perkembangan ideologi dalam kesusteraan Indonesia modern, khususnya sastra Indonesia masa penjajahan. Bagi kritik sastra, penelitian ini diharapkan memberikan model analisis dan penelitian terhadap karya sastra dengan sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu New Historicism.

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan apresiasi sastra, terutama apresiasi terhadap sejarah sastra Indonesia dalam khasanah sastra Indonesia modern. Penelitian ini tidak hanya mengkaji teks sastra saja, melainkan juga kondisi sosial historis yang melingkupinya. Dengan demikian, penelitian juga bermanfaat bagi ilmu sejarah

(21)

untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika masa pergolakan politik 1950-1965.

E. Tinjauan Pustaka

Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, banyak bermunculan penelitian yang mengungkap sisi yang gelap dan digelapkan oleh pemerintahan tersebut. Terutama sekali dalam bidang sastra, kita mengenal sebuah lembaga bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang ideologinya sealiran dengan PKI menjadi tumbal atas kekuasaan sebuah orde. Hal ini tentu saja menggemberikan, karena dapat kembali membuka lubang sastra Indonesia modern yang tertutup selama 30 tahun lebih.

Berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, hingga kini, belum ada peneliti yang secara intens dan mendalam membahas karya-karya pengarang perempuan yang juga pimpinan pusat Lekra bernama Sugiarti Siswadi secara utuh. Sesekali penelitian dilakukan karena hanya nama dan karya Sugiarti Siswadi disebut dalam sebuah buku. Misalnya, dalam buku trilogi Lekra tak

Membakar Buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria

Yuliantri diterbitkan Merakesumba, Yogyakarta, 2008.

Dari buku yang sama, Asep Samboja terinspirasi menulis esai lepas berjudul Cerpen-cerpen Sastrawan Lekra.12 Meski diberi judul demikian, namun

Samboja cenderung mengalisa cerpen-cerpen Sugiarti Siswadi. Pilihan Samboja adalah karena Sugiarti Siswadi merupakan penyumbang cerpen terbanyak dalam

12

Lihat Asep Samboja Menulis; Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus. Terbit tahun 2011. Hal. 230 – 232.

(22)

buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri tersebut.

Samboja berpendapat bahwa seluruh cerpen Sugiarti Siswadi semuanya menggunakan sudut pandang orang ketiga ―ke-dia-an‖. Pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.

Pendapat Samboja ini diperkuat dengan argumentasinya yang mengatakan bahawa sebagai pengarang, Sugiarti berperan layaknya dalang atau pendongeng. Sikap Sugiarti yang demikian dianggap gagal oleh Samboja. Pasalnya, sebagai dalang, Sugiarti tak dapat membedakan karakter suara satu tokoh dengan tokoh lainnya.

Dari sisi penggunaan bahasa, Samboja mengatakan bahwa bahasa yang digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, jika dikaitkan dengan konteks tahun 1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan cenderung santun. Oleh karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks. Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.

Penelitian lain dilakukan oleh Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum (2012), berjudul Prosa Lekra 1950–1965 Studi Tentang Karya Sastra, Sastrawan, dan

Kedudukannya dalam Sejarah Sastra Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Taum

(23)

hidup, jelas terlihat bahwa lingkungan politik, ekonomi, dan sosial-budaya merupakan sebuah lingkungan yang penuh dengan dinamika dan pertarungan kepentingan.

Membaca karya-karya Lekra yang pada masa itu, Taum berpendapat bahwa para pengarang masa itu telah berhasil merepresentasikan zaman pertarungan kepentingan itu terjadi. Suasana pada masa itu tetap terasa jika karya-karya itu dibaca saat ini. Oleh Taum, hal ini kemudian diartikan sebagai sebuah ―keterlibatan‖ antara karya sastra realitas yang melingkupinya pada kisaran 1950-1965. Keterlibatan itu tak hanya berkubang dalam persoalan-persoalan dalam negeri saja, Komunis Indonesia yang memiliki semangat antikolonialisme dan imperialisme ikut terlibat dalam perang dingin, dan mereka berdiri di pihak Timur untuk melawan Barat (AS dan Inggris).

Laporan penelitian tersebut dibagi dalam lima bab. Pada Bab IV, Taum membahas tentang karya sastra, sastrawan, dan kedudukannya dalam sejarah sastra Indonesia. Sastrawan yang disebut adalah lima orang sastrawan Lekra, yakni Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sukanta, Sugiarti Siswadi, dan Pramoedya Ananta Toer. Dapat disimpulkan bahwa penelitian Taum lebih cenderung ke arah mengungkap ideologi lembaga (Lekra) dan bagaimana keterlibatan sastra dan pengarang dalam mendokumentasikan laku sejarah.

F. Kerangka Teori

Bersifat lentur membuat sastra terus mengalami perkembangan baik dalam karya, teori maupun kritik sastra. Dalam perkembangan tersebut, terjadi

(24)

pergeseran orientasi teori dan kritik sastra, yang bermula dari mimetik, pragmatik hingga ekspresif. Pengaruh pergeseran ini memuncak pada paruh abad ke-20. Pergeseran ini berlangsung secara terus-menerus saling melengkapi dan saling menentang selama beberapa abad. Dalam setiap pergeserakan tidak berlebihan jika kemudian dimaknai sebagai periodesasi teori sastra.

Pada perkembangan selanjutnya, sastra lebih lentur dalam berhadapan dengan berbagai teori-teori multiinterdisipliner. Ia masuk dalam teori-teori yang seebenarnya bukan pada wilayahya. Hanya karena sifat lenturnya itulah, sastra dapat diterima dan menerima berbagai kemungkinan tersebut.

Pertengahan abad ke-20, orientasi teori dan kritik sastra berbalik arah. Sastra menjadi suatu bidang yang otonom. Kondisi seperti ini menguntungkan bagi sastra karena ia mampu menempatkan diri di posisi mana saja dalam berbagai konteks. Hal ini dapat disikapi bukan sebagai suatu kemunduran, melainkan sebagai perkembangan dari pergeseran-pergeseran sehingga menghasilkan pengetahuan yang relatif baru atau paling tidak merupakan perkembangan dari yang sebelumnya telah ada. Lihat saja teori-teoti yang berjamur setelah strukturalisme. Silih berganti dan menampilkan dinamika yang menarik hingga awal abad 21. Yang berhasil menjadi tren tentu saja teori yang mutakhir. Namun kemutakhiran ini tidak serta-merta bebarengan di seluruh dunia, melainkan mengalami perpindahan tempat terlebih dahulu dan tentu saja interpretasinya pun menjadi beragam. Akan tetapi, dari seluruh teori-teori yang bermunculan, kecenderungan orientasi kritik berada pada teori yang melihat kaitan sastra dengan konteks (sosial/politik/ekonomi) yang yang mendasarinya.

(25)

Dari deskripsi singkat di atas, secara umum teori sastra mengikuti dua kecenderungan. Pertama, mengacu pada konsep-konsep strukturalisme. Pendekatan ini memiliki kecenderungan tekstual yang merespon dan mendobrak teori-teori objektif seperti new criticism, formalisme, strukturalisme. Teori-teori sejalan dengan teori dekonstruksi dan psikoanalisis Lacan. Kedua, mengacu pada kemutakhiran. Kelompok kedua ini tentu saja lebih luas dan menjadi tidak terbatas. Dalam pendekatan ini, sastra disejajarkan posisinya dalam berbagai dinamika budaya, sosial, ekonomi dan politik. Teori-teori kemutakhiran ini dapat dilihat neomarxis, teori postkolonial, new historiscism dan kajian budaya.

Dari sekian teori yang berkembang, salah satu teori yang menarik untuk dibicarakan dalam konteks penelitian ini adalah teori New Historicism, teori sastra yang memandang sejajar antara karya sastra dan sejarah. Teori ini akan digunakan untuk membedah karya-karya Sugiarti Siswadi.

Penelitian ini membutuhkan kajian yang luas daripada sekadar mengkaji teks yang menjadi objek penelitian saja. Apa yang digambarkan dalam teks-teks sastra karya Sugiarti Siswadi, yang akan menjadi objek penelitian, merupakan rekam jejak pada zamannya. Sehingga segala peristiwa yang melingkupinya sangat memberikan sumbangsih dalam kelahiran karya-karya penulis perempuan ini. Selain itu, pada masa revolusi, sastra merupakan salah satu jalur yang digunakan untuk mengukuhkan dan menyebarkan ideologi tertentu. Oleh karena itu, kajian yang dianggap paling tepat untuk penelitian ini adalah New Historicism (selanjutnya disingkat NH).

(26)

NH yang menganggap penting masa lalu ini, mula-mula diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt pada 1982 ketika memberikan pengantar edisi jurnal

Genre. Menurut Budianta, NH dimaksudkan untuk menawarkan perspektif baru

dalam kajian Renaissance. NH menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya.13

Dengan deskripsi di atas, NH merupakan kritik sastra yang sangat heterogen. Sebab itulah, menurut Veeser (seperti dikutip dari Taum), NH tidak dapat diberikan batasan baku. Meski demikian, NH memiliki asumsi dasar yang mengikat para penggagas maupun pengritiknya. Taum merangkum asumsi dasar tersebut menjadi beberapa bagian. Yaitu;

1) bahwa setiap tindakan ekspresif terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material; 2) bahwa teks-teks sastra dan nonsastra beredar tidak terpisah; 3) bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang memberikan akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah maupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan tanpa alternatif lain.14

Peter Barry, dengan sederhana mendefinisikan NH,

“is that it is a method based on the parallel reading of the literary and nonliterary texts, usually of the same historycal periode. That is to say, New Historicism refuses (at least ostensibly) to „privilege‟ the literary texts: instead of a literary „foreground‟ and a historical 'background' it envisages and practises a mode of study in which literary and nonliterary texts are given equal weight and constantly inform or interrogate each other.”15

13

Ibid. Melani Budianta. Hal. 2.

14 Dikutip dari Yosep Yapi Taum dalam ringkasan disertasinya berjudul Representasi Tragedi

1965: Kajian New Historicism Atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra tahun 1966-1998. FIB UGM.

2013. Hal. 2.

15

Lihat dalam subbab New Historicism and Cultural Materialism dalam bukunya Beginning

(27)

Menurut Taum,16 kritik NH menekankan sastra sebagaai produk zaman,

tempat, dan lingkungan penciptaannya, dan bukan sebagai sebuah karya genius yang terisolasi. Hal ini senada dengan pandangan Foucault yang mengatakan bahwa segala bentuk teks, termasuk diskursus akademis suatu zamannya, muncul di bawah model teoritis zamannya. Sastra tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari sejarah, sehingga terapung di udara seperti sebuah entitas yang terasing dan terpisah.17 Greenblatt sebagai pencetus teori ini juga memperkuatkan

pandangan di atas dalam The Touch of the Real.18 Ia menegaskan bahwa dunia

yang digambarkan dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif, melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal (single realm) ini. Dalam kajian jaringan-jaringan tersebut, NH menekankan dimensi politis-ideologis produk-produk budaya.

Sebuah produk budaya, dari sisi politik dan ideologi, tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Dalam hal ini, Budianta melihat bahwa kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan yang dilontarkan Michel Foucault. Foucault tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang negatif, melainkan suatu yang selalu menyelimuti setiap tindakan manusia satu dengan yang lainnya, demikian pula dalam penggunanan bahasa.19

Karya sastra, melalui bahasa sebagai mediumnya menghadirkan relasi kuasa dengan sendirinya, meski tanpa disadari oleh penulisnya. Relasi kuasa

16

. Ibid. Yosep Yapi Taum Hal. 3.

17 Michel Foucault dalam Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Diterbitkan

oleh Jalasutra. 2011. Hal 85. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3.

18 The Touch of the Real dalam The Greenblatt Readers dieditori oleh Michael Payne. USA:

Blackwell Publishing. Hal. 32. Lihat pula dalam ringkasan disertasi Yosep Yapi Taum, hal. 3.

(28)

tersebut diwujudkan dalam bentuk wacana. Oleh sebab itu, karya sastra dapat bertindak lentur di dua posisi dalam wacana, mengukuhkan atau mendobrak. Posisi penulis sangat menentukan dalam hal ini.

Selain sumbangan Foucault, NH juga mendapat disokong oleh Clifford Geertz dalam esainya Thick Description yang tersusun dalam buku The

Interpretation of Cultures (1973).20 Geertz (via Greenbalt) mengatakan, NH

“is sorting out the structures of signification – what Ryle called established codes, a somewhat misleading expression, for it makes the enterprise sound too much like that of the cipher clerk when it is much more like that of the literary critic – and determining their social ground and import.”21

Metode Geertz merupakan metode etnografi. Ia menggunakan metode ini untuk membongkar berbagai makna yang tersembunyi dalam praktik budaya secara rinci. Geertz,22 memandang perilaku manusia atas tindakan dalam praktik

budaya dapat dipandang sebagai sesuatu yang simbolik. Oleh sebab itu, ia menginterpretasi metode antropologi seperti membedah karya sastra.

Lebih lanjut, Budianta menjelaskan bahwa dalam kajiannya,

NH menyandingkan teks sastra kanon, dengan teks yang marjinal, atau dengan berbagai praksis budaya yang mempunyai keterkaitan dalam suatu titik tertentu dalam sejarah—secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, NH cenderung memilih—nyaris secara random—hal-hal yang tampak remeh temeh dan tersisihkan dari sejarah— dan menyandingkannya dengan teks sastra yang dimaknai, untuk menunjukkan bagaimana ideologi beroperasi.23

Teks-teks yang diremehkan dan tersingkir ini pulalah yang dibaca secara paralel dengan karya-karya Sugiarti Siswadi. Teks-teks yang dimaksud tidak

20 Ibid. Michael Payne. 21 Ibid.

22

Ibid. Melani Budianta. Hal. 5.

(29)

hanya teks sastra saja, melainkan lebih luas cakupannya. Akan tetapi, karena banyaknya teks yang beredar pada masa Sugiarti berkarya, penting kiranya diadakan pembatasan terhadap teks yang dimaksud. Pembatasan ini bertujuan agar pembahasan terhadap karya-karya Sugiarti lebih mendalam.

Peneliti memilih pemberitaan di dua media massa, Harian Rakjat dan Api

Kartini sebagai teks nonsastra yang disandingkan dengan karya-karya Sugiarti.

Kedua media massa ini difungsikan untuk melihat konteks peristiwa apa saja yang terjadi sesuai dengan karya yang dibahas. Dengan demikian akan jelas bagaimana sudut pandang Sugiarti Siswadi dalam menyikapi suatu peristiwa tertentu.

Selain itu, untuk mengetahui ideologi Sugiarti ditampilkan pula pidato politik D.N. Aidit sebagai pimpinan PKI. Pemikiran-pemikiran Aidit teraplikasi dalam prinsip-prinsip Lekra yang menjadi referat dalam Konfernas Seni dan Sastra Revoluioner I. Meski peristiwa tersebut terbuka untuk umum (tidak hanya anggota Lekra saja), namun referat Aidit itu mencerminkan sikap dan tindakan Lekra. Untuk itu, sangat tepat untuk melihat kecenderungan ideologi Sugiarti Siswadi. Untuk lebih memperkaya pembahasan, ditambahkan pula pidato politik lainnya dari Sukarno. Sebab dalam beberapa pidato, Aidit kerap pula mengutip pidato Sukarno.

G. Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan adalah pembacaan paralel (parallel reading) antara teks-teks sastra karya Sugiarti Siswadi dan teks-teks nonsastra pada masa revolusi di Indonesia, dilengkapi dengan latar belakang dan manifestasi perilaku serta pandangan pengarang pada masanya, dari tahun 1950 hingga 1965.

(30)

Teks-teks nonsastra yang dijadikan sebagai sumber primer adalah berupa berita atau artikel di koran serta pidato-pidato politik. Banyaknya teks-teks yang ada, diperlukan pembatasan agar pembahasan lebih mendalam dan tearah. Batasan dilakukan hanya pada teks media massa Harian Rakjat dan Api Kartini serta teks-teks politik D.N. Aidit dan Sukarno. Sumber skunder berupa majalah, hasil penelitian, narasi dan memoir yang berbentuk buku, peraturan hukum, keputusan politik, catatan lembaga, film, maupun informasi di dunia maya (internet) yang berkaintan dengan teks-teks sastra Sugiarti Siswadi.

Data yang diperoleh adalah data kualitatif. Data tersebut dapat berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri keadaan, dari segala sesuatu dan segala sesuatu lainnya; bisa berupa benda-benda fisik, pola-pola perilaku, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bahkan bisa berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.24

H. Sistematika Penyajian

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan, meliputi a) latar belakang; b) rumusan masalah; c) tujuan peneleitian; d) manfaat penelitian; e) tinjauan pustaka f) kerangka teori; g) metode penelitian; h) sistematika penyajian.

BAB II merupakan pembahasan tentang Lekra dan bagaimana peran aktif Sugiarti Siswadi dalam organisasi tersebut.

24

Lihat dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya-Sebuah Pandangan. Diterbitkan oleh UGM Press 2009. Hal. 18.

(31)

BAB III merupakan pembahasan mengenai representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti Siswadi.

BAB IV merupakan pembahasan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan teks-teks beridelogi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada masanya.

BAB V merupakan bagian penutup memuat penutup, terdiri dari simpulan dan saran. Bagian akhir pada penelitian ini dipaparkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

(32)

20 BAB II

SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH

Menjadari bahwa Rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra…1

Tidak banyak pengarang perempuan dalam tubuh Lekra. Oleh karena itu, kehadirannya diperlu mendapat perhatian, meski Lekra sendiri tak pernah membedakan jenis kelamin dalam proses kreatif. Produktivitas dalam berkarya menjadi titik dispilin yang organisasi ini. Kedisiplinan inilah yang menjadikan Lekra mampu bertahan pada zamannya dan hanya tumbang oleh kekuasaan politik. Hanya yang aktif berkaryalah yang layak menduduki posisi penting dalam tubuh Lekra.

Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana polemik yang terjadi dalam suasana perpolitikan di indonesia pada tahun 1950 – 1965. Melalui deskripsi ini, maka tampak jelas peran pengarang Lekra dalam menghadapi situasi politik, perseteruan kebudayaan dengan Manikebu, serta ideologi apa yang dipatuhi oleh para anggotanya.

Bentuk-bentuk ideologi itulah yang kemudian dipegang oleh Sugiarti Siswadi untuk menampilkan perjuangan kelas bawah dalam karya-karyanya. Secara lebih detail, bab ini juga akan menggali potongan-potongan informasi tentang Sugiarti Siswadi serta beragam aktivitasnya dalam Lekra. Informasi tersebut disusun menjadi biografi singkat.

1

Konggres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berlangsung di Solo mengesahkan Mukadimah dan Peraturan Dasar Lekra pada 27 Januari 1959.

(33)

Sebagai pengarang perempuan dan menduduki posisi sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra, keberadaan Sugiarti tidak bisa diremehkan. Ia turut memberikan pemikiran-pemikirannya baik dalam bentuk karya maupun pidato politik. Bab ini juga akan melihat posisi Sugiarti bersama dengan pengarang perempuan lainnya. Hal ini untuk mengetahui peran Sugiarti sehingga ia layak diangkat dalam penelitian ini.

A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965

Kisaran tahun 1950 hingga 1965 merupakan tahun terjadinya peperangan besar dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Peperangan itu akan menentukan nasib sastrawan dan seniman akan kecenderungannya pada kelompok tertentu. Revolusioner atau kontrarevolusioner. Diganyang atau mengganyang. Keadaan demikian tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh percaturan politik pada masa itu. Politik menjadikan sastra dan seni sebagai alat propaganda dan untuk menarik simpatisan massa terhadap partai, sementara sebaliknya, sastra dan seni mendapatkan nafas atas uluran tangan sebuah partai. Maka merupakan keniscayaan jika keduanya menjadi partner yang ideal. Di sisi lain, kelompok tertentu dengan ideologi berbeda terus mengupayakan proses kreatifnya agar dapat bernapas dan mampu merebut pengaruh massa. Terjadilah polemik sastra. Dua kelompok beseberangan tersebut adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu).

Dari peperangan kebudayaan itu lahirlah beberapa istilah sebagai jargon atas perjuangan mereka, ―Politik sebagai Panglima‖, ―Seni untuk Rakyat‖, ―Realisme Sosial‖, ―Seni untuk Seni‖, ―Humanisme Universal‖. Keseluruhan dari

(34)

jargon tersebut dijelaskan pada masing-masing sikap yang dirangkum dalam Mukadimah Lekra dan dan Manifes Kebudayaan.

Mukadimah Lekra pertama kali dikeluarkan pada 17 Agustus 1950 dan sekaligus dinobatkan sebagai hari lahirannya. Dalam Mukadimah tersebut, terlihat jelas bahwa Lekra condong ke arah kiri dengan makmum terhadap ideologi yang diusung oleh Marxis serta Lenin dan menjadikan rakyat sebagai tujuan dalam berkarya. Tak heran, karena pendiri dan penyusun naskah awal Mukadimah tersebut adalah pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Darta dan Njoto. Empat pendiri Lekra ini memperbolehkan siapa saja, baik seniman, sastrawan, pekerja kebudayaan, buruh dan tani untuk terlibat di dalamnya dan menjalankan misi bersama.

Pemikiran dasar Lekra adalah memerdekaan rakyat dengan mengupayakan penuh hak-hak rakyat seperti pendidikan, berekspresi dan hidup yang layak. Lekra khawatir merosotnya kesadaran rakyat atas gerakan revolusi yang dianggap belum rampung. Bagi Lekra, revolusi yang memperjuangankan rakyat adalah sebuah keharusan. Jika revolusi menemui jalannya yang melenceng, korban yang paling sengsara adalah rakyat. Dengan demikian, beban revolusi bukan saja ada di pundak pemimpin revolusi, melainkan seluruh massa rakyat pekerja, sastrawan dan seniman serta pekerja kebudayaan.

Sebagai lembaga kebudayaan, Lekra menggunakan mengusahakan segala jalur untuk menggerakkan roda revolusi. Begitu pula bidang sastra dan seni. Bukan sembarang sastra dan seni, melainkan yang mampu mendekat dan berdekatan dengan rakyat. Sebab itulah, ditulis jelas dalam Mukadimah,

(35)

Tugas daripada Rakjat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaja bisa mengetjap kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh segolongan kejtil lapisan atasdan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan ketjil itu. Rakjat Indonesia harus berdjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu dan industri.

Sembilan tahun kemudian, sikap ini dimatangkan pada revisi Mukadimah dalam Konggres Lekra di Solo tahun 1959.

Bahwa rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya bisa dilakukan oleh Rakjat… Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada rakjat, adalah satu2nja jalan bagi seniman2, sardjana2, maupun pekerdja kebudajaan lainnya, untuk mencapai hasil2 jang tahan udji dan tahan waktu.

Atas dasar di atas, Lekra membagi tugasnya dalam beberapa lembaga kreatif, yaitu 1) Lembaga Senirupa Indonesia (Lesrupa), 2) Lembaga Film Indonesia (LFI), 3) Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), 4) Lembaga Senidrama Indonesia (LSDI), 5) Lembaga Musik Indonesia (LMI), dan 6) Lembaga Senitari Indonesia. Keselurahan hasil kerja sastrawan dan seniman serta pekerja budaya lainnya didedikasikan sepenuhnya untuk rakyat. Sebab itulah, Lekra kemudian menelurkan konsep 1-5-1. Konsep ini merupakan simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan oleh Lekra yang merupakan ―jangkar tengah‖ sekaligus rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Konsep ini kemudian disebut sebagai asas kombinasi, yaitu (1) Politik adalah panglima; (5.1) Meluas

dan Meninggi, (5.2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, (5.3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner, (5.4) Kreativitas individual dan kearifan massa, (5.5) Realisme sosial dan romantik revolusioner; (1) Turun ke bawah. (Yuliantri

(36)

Asas kombinasi di atas merupakan upaya untuk mengembangkan tradisi riset dalam tubuh Lekra. D.N. Aidit dalam pidato di Solo mengatakan bahwa ―hanja dengan mengembangkan semangat riset dengan metode ‗tiga sama‘ (sama kerdja, sama makan dan sama tinggal dengan kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin) akan mendjamin suksesnja pembinaan sastra dan seni jang bersifat nasional, demokratis dan ilmiah… Djuga hanja dengan riset dan melakukan integrasi secara langsung di tengah2 massa akan mendjamin karja jang mendalam realistik, revolusioner, artistik, berkepribadian dan universil.‖2

Dalam pidato itu, D.N. Aidit juga menjabarkan tentang konsep kerja Lekra tersebut.3 Politik adalah Panglima, merupakan integrasi antara kerja politik dan

kecakapan artistik. Dalam hal ini, upaya untuk memperjuangan rakyat melalui politik tidak mengesampingkan mutu artistik dari sebuah karya sastra dan seni. Dengan demikian, ada dua garis besar yang harus ditempuh kreator. Pertama, garis vertikal. Garis ini menuntut sastrawan dan seniman untuk mengetahui dan meguasai politik partai. Kedua, garis horizontal. Garis ini mengupayakan agar sastra dan seni menjadi ―sendjata jang ampuh di tangan rakjat‖.4

Letak pentingnya Politik adalah Panglima adalah untuk memberikan perlawanan terhadap musuh-musuh yang kontrarevolusiner. Aidit menegaskan, ―Kita tidak akan mengerti apa arti hakekat Manikebuisme dilapangan sastra dan

2

Lihat hal 53 dalam buku D.N. Aidit Tentang Sastra dan Seni. Diterbitkan di Jakarta oleh Jajasan Pembaruan tahun 1964. Buku ini terbitkan sebagai pegangan; tiga bahan pokok dalam pergerakan sastra dan seni Lekra, yaitu Dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional mengabdi pada

buruh, tani dan pradjurit dan Kibarkan tinggi-tinggi pandji pertempuran dIbidang sastra dan seni revolusioner! Serta Hayo, bersama-sama Bung Karno kita binsa kebudayaan jang berkepribadian nasional!

3 Penjelasan mengenai konsep kerja 1-5-1 diterangkan dalam Resolusi KSSR I setelah diadakan

pengkajian dan diskusi terhadap pidato D.N. Aidit sebagai referet. Lihat Harian Rakjat, 4 September 1964.

(37)

seni tanpa mengerti kebangkrutan politik kaum sosialis kanan dan Masjumi serta kaum kontra-revolusioner lainnja. Kita akan menghadapi kesulitan mendjebol kebudajaan imperialis AS tanpa mengetahui hakekat politik gangster dan badjaklaut imperialisme AS dan politik klas buruh terhadap kepala imperialis jang paling djahat itu. Membongkar kebudajaan feodal jang menjebarkan kemaksiatan, ketahajulan, dll hanja mungkin berhasil djika kita mengenal hakekat hubungan agrarian didesa dan tahu politik PKI untuk membebaskan kaun tani.‖5

Selanjutnya, Aidit mendefinisikan Politik adalah Panglima dalam kerja kreatif Lekra ―…berarti mendjadikan untuk memimpin pemikiran kreatif dan pembajangan kreatif mengenai masalah2 seperti perdjuangan untuk kemerdekaan penuh dengan melikwidasi imperialisme, perdjuangan kaum tani untuk pelaksanaan UUPA dan UUPBH setjara konsekwen untuk menudju perubahan agrarian jang radikal, garis politik partai untuk mengkonsolidasikan front persatuan nasional dan lain2nja.‖6

Meluas dan Meninggi. Prinsip ini menuntun kepekaan sastrawan dan

seniman Lekra terhadap massa dan artistik. Meluas berarti karya-karya yang dilahirkan mampu menjangkau massa, bahkan yang tak mengenyam pendidikan sekalipun. Hal ini mengharuskan bahwa hasil kreasi yang dilakukan sastrawan dan seniman dilakukan secara sadar untuk mendorong dan memobilsasi massa dalam bentuk yang tepat. Meninggi memiliki titik tumpu pada mutu karya secara artistik serta cara publikasi karya yang tepat. Keduanya harus berjalan bersamaan.

5

Ibid. Hal 53 – 54.

(38)

Aidit menegaskan bahwa ―Meluas dan meninggi adalah dua hal jang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua2nja diperlukan oleh praktek revolusioner… Kedua2nja diabdikan kepada perdjuangan revolusioner, kepada massa rakjat pekerdja. Oleh karena itu, kita harus tetap berpegang teguh pada pendirian atas dasar massa untuk massa, serta meninggi djuga atas dasar massa dan untuk massa.‖7

Secara lebih jauh, Aidit menggambarkan bagaimana luasnya wilayah Indonesia dan terdiri dari beragam budaya. Seluruhnya harus dalam jangkauan sastrawan dan seniman revolusioner. Ia kemudian menyarankan, ―meluas‖ dengan mendirikan sanggar-sanggar seni serbaguna di berbagai daerah. Bahkan, jika perlu ―satu desa satu sanggar‖.

Tinggi Mutu Ideologi, Tinggi Mutu Artistik. Lekra berpandangan bahwa

tidak ada seni yang berdiri secara independen. Bahkan tak hanya seni. Semuanya serba berpihak. Keberpihakan Lekra adalah kepada rakyat. Ideologi kerakyatan itulah yang menjadi tolak ukur aktivitas kebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu ideologi dalam berkarya. Mutu ideologi diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya.8

Bagi Aidit, ―Karja2 jang mutu ideologi dan mutu artistiknja tinggi hanja akan disambut baik oleh massa djika karja2 itu didukung oleh ideologi dan moral jang tinggi dari pentjipta-pentjiptanja.‖9

7 Ibid. Hal 55.

8

Lekra Tak Membakar Buku. Hal 28.

(39)

Tradisi dan Kekinian Revolusioner menuntut sastrawan dan seniman untuk

jauh lebih mengerti tentang tradisi rakyat yang sebenarnya dan tradisi feodal atau tradisi yang terpengaruh feodal. Mengetahui tradisi ini akan lebih mudah memudahkan untuk melihat persoalan kelas di masyarakat. Mula-mula, pemetaan ini harus dilakukan oleh pekerja budaya untuk kemudian dapat memadukan antara ―warisan dan pembaruan‖.

Pembaruan tidak asal saja dilakukan. Aidit menyarankan untuk berhati-hati, sebab pecinta tradisi bukanlah kelompok yang mudah diusik. ―… Sekali lagi harus selalu diingat: djangan gegabah memperbarui sesuatu jang lama jang disenangi massa. Sikap gegabah adalah bukan sikap sungguh2 jang harus mendjadi sikap seorang revolusioner dalam melakukan pembaruan. Memperbarui bukan asal memperbarui, tetapi justru harus dengan meneruskan tradisi dan bukan mengahantjurkannja.‖10

Kreativitas Individual dan Kearifan Massa. Lekra selalu mendorong

warganya agar terus memproduksi karya-karya bermutu sebagai upaya meningkatan kreativitas. Selain itu, sebagai manusia yang berdampingan dalam kehidupan sosial sastrawan dan seniman revolusioner harus menjunjung tinggi kearifan massa. Sebab bagi Aidit, ―Sepandjang sejarah Rakjat adalah pentjipta agung, oleh karena itu mengabaikan kearifan massa hakekatnja sama artinja dengan mengingkari rakjat.‖11

Prinsip ini menekankan adanya kerja sama antara

10

Ibid. Hal 58.

(40)

pekerja budaya dengan massa rakyat pekerja, ―bekerdja kolektif dan menghargai pendapat kolektif‖.12

Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner. Realisme sosial adalah

realism yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme sosial adalah militansi ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Bukan saja pada kapitalisme, melainkan juga bagaimana mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme internasional.13 Realisme sosial menjawab tuntutan zaman, bahwa apa yang sudah

tidak lagi sesuai dengan masa kini perlu dirombak atau diperbarui dan bahkan menghadirkan sesuatu yang baru. Ia bergerak terus-menerus dan memperlihatkan kontradiksi-kontradiksi yang bekerja dalam masyarakat.

Sebenarnya, Aidit tidak begitu sepakat dengan prinsip ini. Dalam pidatonya di Solo, ia menganggap akan lebih tepat jika diganti dengan realisme revolusioner dan romantik revolusioner. Menurutnya, realisme rovelusioner berarti ―berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenjataan. Setjara fundamentalis sikap revolusioner berarti selalu berfihak kepada jang baru dan sedang tumbuh untuk kehidupan lebih madju, lebih baik dan lebih indah…‖14

Sementara dalam romantisme revolusioner, Aidit menggambarkan sebagai ―suatu angan2 revolusioner jang berdiri tegak diatas dasar kenjataan2 tentang kontradiksi2 dalam kehidupan. Kita harus menggambarkan kehidupan tidak secara naturalis seperti potret, melainkan kegairahan revolusioner, kaja dan penuh tjita2…‖15

12 Ibid.

13 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 30. 14

Ibid. Hal 59 – 60.

(41)

Turun ke bawah atau biasa disingkat turba menjadi metode paling ampuh

dalam melaksakan azas ―Politik adalah Panglima‖ dan 5 pedoman penciptaan. Metode turba sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari kehidupan rakyat secara langsung. Metode ini dijabarkan dalam ―tiga sama‖, yaitu bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. ―Tiga sama‖ adalah uasaha untuk menjaga solidaritas dan kolektivitas antara pekerja budaya dan rakyat dalam sebuah kerja bersama.16

Dengan demikian, sastrawan dan seniman Lekra tak semata berkarya dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data, turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra dan seni sebagai pisau.

Dalam melaksanakan prinsip 1-5-1 di atas, sastrawan dan seniman Lekra tidak turun ke bawah dengan tangan kosong. Mereka harus membekali diri dengan senjata. D.N. Aidit, menjelaskan bawah,

―Turba seperti sudah saja katakan dimuka harus dengan sendjata Marxisme-Leninisme, sebab tanpa itu sama halnja dengan meraba-raba dalam gelap dan seperti seorang buta mentjari djarum di padang rumput, pati tidak akan mendapat apa jang ditjari.‖17

Dengan bekal senjata tersebut, seniman dan sastrawan yang turba diharapkan mampu menyerap dan melihat kontradiksi-kontradiksi sehingga dapat melihat persoalan rakyat dengan sudut pandang yang tepat. Dengan demikian,

16

Lekra Tak Membakar Buku. Hal 32.

(42)

karya-karya yang dihasilkan akan benar-benar mampu mengangkat persoalan rakyat ke permukaan dan memiliki tinggi mutu. Maka dengan gencarnya, Aidit selalu meneriakkan bahwa penting Marxisme-Leninisme. Ia kemudian memunculkan jargon ―tahu marxis dan kenal keadaan‖. Ia berpendapat bahwa, ―Filsafat, ekonomi politik dan Sosialisme Marxis-Lenin mengadjarkan kita untuk bertitiktolak dari kenyataan objektif dan melihat segala sesuatu dalam perkembangannya, menunjukkan kepada kita tentang sumber2 dari eksploitasi atas

manusia oleh manusia dan tentang perdjuangan klas sebagai lokomotif perkembangan masyarakat.‖18

Arief Budiman19 (dalam Samboja20) mengatakan bahwa sejak

didengungkannya ―politik adalah panglima‖ oleh Lekra, pengertian sastra yang baik dan indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami oleh rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat mereka.

Sejak kelahirannya, Lekra tumbuh dengan subur, bahkan mendominasi. Sebagai organisasi besar berhaluan kiri, Lekra banyak tak disukai. Lekra pun dianggap lawan oleh Manifes Kebudayaan (Manikebu). Namun, perseteruan dua kubu tersebut justru menjadikan iklim sastra Indonesia semakin panas. Dengan suasana yang cenderung panas itu, bahasa polemis sangat lazim digunakan oleh kedua kubu, misalnya melalui ―ganyang‖, ―kontrarevolusioner‖, dan lain

18 Ibid.

19 Arif Budiman. 2006. Kebebasan, Negara dan Pembangunan. Jakarta: Alvabet dan Freedom

Institute.

(43)

sebagainya. Perdebatan di antara dua kelompok ini terasa sebagai debat politik dalam kebudayaan, di mana telah terjadi saling tuding. Keduanya berupaya untuk saling serang ganyang.

Serangan terhadap Manikebu ditampilkan Harian Rakjat dalam upaya mendukung Lekra, ―… HR berdiri didepan dalam mengganjang musuh2

nasional dilapangan kebudajaan, dalam mengganjang musang2 berbulu ajam jang

bersembunji misalnya dalam klik Manifes Kebudajaan. Dengan demikian ia menerangi djalan2 perjuangan pekerdja kebudajaan Rakyat Lekra.‖21

Upaya Lekra dalam mendesak Manikebu juga terus digalakkan. Hal ini terlihat dalam Seminar Pengadjaran Sastra yang dilangsungkan pada 5 – 8 September 1964. Seminar dengan tema ―Menegakkan Manipoli dibidang pengadjaran sastra‖ sudah langsung mengancam pihak yang besebrangan dengan ideologi manipol, yaitu Manikebu. Lebih jelas lagi, seminar tersebut menghasilkan sebuah dokumen penting untuk melihat bagaimana Lestra menyusun dan melihat raut dunia pengajaran sastra. Dokumen itu berkepala: ―Tegakkan Manipol dibidang Pengadjaran Sastra, madju terus mengganjang Manikebu‖.

Keberadaan Manikebu mula-mula tak begitu merisaukan kelompok Lekra. Namun ternyata pendukung Manikebu berkembang semakin besar. Hal ini ditandai dengan Manikebu menyelenggarakan Konperensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Aula Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 1 - 7 Maret 1964 sebagai upaya untuk menggalang dukungan. Hasilnya, Angkatan

21 Harian Rakjat, 31 Januari 1964.

(44)

Darat menjadi pendukung nomor wahid.22 Konferensi itu kemudian melahirkan

Persatuan Karyawan Pengarang se-Indonesia (PKPI). (Penjelasan Manifes). Pada saat bersamaan Pimpinan Pusat Lekra mengadakan sidang di sekretariatnya. Hal ini dianggap Manikebu sebagai upaya membayang-bayangi konferensi yang diadakannya dan dilakukan secara sistematis untuk penjegalan yang bersifat politis terhadap mereka.23

Dengan posisi Lekra yang cukup kuat, Manikebu menolak adanya subordinasi kebudayaan, menentang konsep realisme sosial dan "politik sebagai panglima". Bagi Manikebu, konsep tersebut membuat manusia harus mengabdi kepada politik dan hanya akan menghasilkan karya-karya yang bermuatan propaganda semata.

Asas hukum yang dipegang kuat oleh Lestra adalah seruan Presiden Sukarno dalam amanat TAVIP untuk terus mengganyang Manikebu karena kontrarevolusi. Manikebu dikubur oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964 sebagai puncak perdebatan budaya kedua kelompok tersebut.24 Menurut Presiden

Sukarno, Manikebu dilarang karena sudah ada Manifesto Politik yang juga harus ditaati sebagai haluan politik kebudayaan negara. Oleh karena itu, keberadaan Manikebu dianggap sengaja dibentuk untuk menandingi Manifesto Politik atau

22 Alexander Supartono. 2000. Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 –

1965. Skripsi STF Driyakarya, Jakarta. Dokumen ini diperoleh penulis dalam versi ebook atas

nama Edi Cahyono. Hal 33.

23

Lihat dalam Hasil Penjelidikan Team Reseach Manifes Kebudajaan.

(45)

leboh dikenal dengan Manipol. Selain itu, Manikebu dianggap melemahkan revolusi karena menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.25

Penguburan Manikebu menjadi satu kemenangan bagi Lekra. Aidit mengatakan bahwa, ―… Pelarangan terhadap Manikebu adalah salah satu bukti tentang kemenangan garis ‗seni untuk Rakjat‘ sebagai kekuatan front kebudajaan revolusioner.‖26

Akan tetapi, kemenangan itu hanya sementara saja.

Keith Foulcher27 memandang Manikebu dalam posisi yang benar-benar

politis, yaitu sebagai upaya pamer kekuasaan oleh Angkatan Darat (AD) yang anti-PKI dan gerakan kiri lainnya. Dukungan AD diselimuti dengan kain tebal sehingga tak nampak dari berbagai sisi. Tapi toh tetap tercium juga baunya. Foulcher menunjukkan hal ini dengan menyebut konseptor utama Manikebu, yaitu Wiratmo Soekito, orang yang secara sukarela bekerja pada badan intelijen militer.

Dalam perseteruan ini, Manikebu menurukan tim research guna mempelajari serangan-serangan musuh yang mereka sebut sebagai kaum reaksi dan Manifes-phobi.28 Dalam laporan itu, Manikebu memaparkan berbagai

tudingan yang dilakukan oleh Lekra terhadap mereka yang sudah dianalisa sedemikian rupa.

Sejak kelahirannya, Manikebu sudah mengemban misi permusuhan. Mereka menempatkan diri dalam lingkaran manusia suci atau bahkan malaikat, yang harus memusnahkan iblis dalam jiwa manusia kotor dari kelompok yang

25 Lihat dalam "Duduk Soalnya manifes Kebudayaan". Tulisan H.B. Jassin 26 April 1966. Tidak

Dipublikasikan. Dapat dijumpai di Pusat Dokumentasi HB Jassin.

26

Aidit, 1964. Hal 62.

27 Dalam bukunya Social Commitment in Literature and the Art: the Indonesian “Institute of

People Culture” 1950 – 1960. Terbit tahun 1986 di Victoria, Monash University Press. Lihat juga

dalam Alexander Supartono. Hal. 16.

28

Lihat Hasil Penjelidikan Team Research Manifes Kebudajaan: Manife-phobi, motif dan

(46)

beseberangan. Oleh sebab itu, dalam Pendjelasan Manifes Kebudajaan, mereka sudah menyerang terlebih dahulu.

Dalam penjelasan pertama mengenai Pantjasila sebagai Falsafah Kebudajaan, Manikebu sudah merumuskan Pancasila alat untuk menyerang lawannya. Terutama sekali serangan pada Lekra yang berafiliasi kepada PKI, dalam bahasa Manikebu disebut ―propaganda‖, dalam artian kebudayaan sebagai alat propaganda. Hal ini dianggap sebagai ―pemerkosaan‖.

Demikian umpamanja dibidang pentjiptaan karja2 kesenian dimana orang lebih mementingkan aspek propagandanja daripada aspek keseniannja, adalah tjontoh dari pelaksanaan sembojan The End justifes the Means— apabila orang mengemukakan apa jang bukan kesusasteraan sebagai kesusasteraan, apa jang bukan kesenian sebagai kesenian, apa jang bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan dsb.

Perkosaan seperti itu bukanlah tjara insanijah, melainkan cara alamiah… Adapun bahaja bagi kebudajaan jang paling mengantjam datangnja dari wilajahnya sendiri, tetapi jang terang ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam ketjenderungan2 fetisj29 sebagai kesenderungan non-kreatif… Kesenian kreatif berlawanan dengan kesenian fetisj.30

Pada penjelasan kedua mengenai Manifes Kebudayaan dijabarkan tentang keyakinan Manikebu terhadap humanisme universal yang mererka dan anut. Manikebu meyakini bahwa ―kebudajaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional tetapi djuga menghajati nilai2 universal, bukan semata-mata temporal tetapi djuga mengajati nilai2 eternal.‖31 Selanjutnya, dengan tegas Manikebu

mengibarkan bendera permusuhan. Siapakah musuh mereka? Inilah penjelasannya:

29 Tentang fetisj akan dibahas pada sikap politik Manikebu dalam Pendjelasan Manifes

Kebudajaan.

30

Pendjelasan Manifes Kebudajaan. 1963. Hal 1 – 2.

(47)

Musuh kami bukanlah manusia, karena kami adalah anak manusia. Musuh kami adalah unsur2 jang membelenggu manusia, akan karenanya kami ingin membebaskan manusia dari rantai2 belenggu. Dalam perlawanan kami, terhadap musuh2 kami itu kami berpegang teguh pada pendirian dan pengertian bahwa sedjahat-djahatnja manusia namun ia tetap memantjarkan sinar-tjahaja Ilahi, sehingga konsekwensi kami ialah bahwa kami harus menjelamatkan sinar-tjahaja Ilahi tersebut.32

Dari kutipan di atas, secara politis dapat dilihat bahwa Manikebu dilahirkan bukan untuk menciptakan kebudayaan, tetapi sengaja untuk melawan ideologi kebudayaan yang sudah ada, yaitu Lekra. Dengan kemudian, bisa sangat dimaklumi jika Foulcher menempatkan Manikebu dalam wilayah yang sangat politis.

Dengan penyataan di atas, maka karya-karya yang dihasilkan pun tercerabut dari ideologi kerakyatan. Mengarang sebatas imajinasi dan menempatkan sastra sebagai suatu karya yang agung. Ketika karya menjadi agung, maka penciptanya pun lebih agung, merasa sebagai malaikat suci yang turun ke dunia dengan misi menyelamatkan jiwa manusia.

Sikap ini mendapat tanggapan keras dari D.N. Aidit33, bahwa Manikebu

bukan hanya kelompok yang tidak melawan kebudayaan imperialis, tetapi merasa bangga jika berhasil menjiplak atau meniru kebudayaan tersebut. Hal ini dianggap Aidit sebagai kemerosotan moral dan ideologi. Menanggapi kesucian diri kelompok Manikebu, Aidit mengatakan:

Dengan bantuan sastrawan2 dan seniman2 sewaannja didalamnegeri, antara lain mereka jang berkerumun disekitar Manikebu, Amerika Serikat menjebarkan ideologi reaksioner dibidang sastra dan seni, dengan etiket jang berganti2 dan bendera jang berubah-ubah, tetapi isinja tetap jang itu2 djuga. Mereka sebarkan teori humanisme universal, jang mengadjarkan

32

Ibid. Hal 3

33

Referensi

Dokumen terkait