• Tidak ada hasil yang ditemukan

V I S I. Majalah Ilmiah Universitas HKBP Nommensen STT NO. 1541/SK/DITJEN PPG/STT/1990. Volume 24 Nomor 2 Juni 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V I S I. Majalah Ilmiah Universitas HKBP Nommensen STT NO. 1541/SK/DITJEN PPG/STT/1990. Volume 24 Nomor 2 Juni 2016"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

V I S I

Volume 24 Nomor 2 Juni 2016

Penyederhanan Partai Politik

Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia Januari Sihotang

Pengalihan Risiko Gugatan Konsumen

Melalui Mekanisme Asuransi Tanggung Jawab Produk Debora

Analisa Pengaruh Perubahan Jumlah Lilitan dan Tegangan Terhadap Efisiensi Konsumsi Energi Listrik Pada

Model Pemanas Induksi Elektromagnet Golfrid Gultomt1), Libianko Sianturi2)

Penerapan Metode Field Trip Terhadap Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa

Roselyn Nainggolan1), Farisda Siahaan2)

Realization of Politeness Strategies In Sending Short Messages Service (SMS) By The Fifth Semester Students of English Department of

HKBP Nommensen University Srisofian Sianturi

Hubungan Manajemen Mutu Pendidikan dengan Keberhasilan Pelayanan Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

Marto Silalahi

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Untuk Meningkatkan Self Efficacy (Kepercayaan Diri Siswa)

Rick Hunter Simanungkalit

Pengaruh Komitmen Kerja dan Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Kinerja Lurah serta Pengaruhnya Terhadap Perencanan Wilayah di Kota Binjai

Abdi Sugiarto

Hubungan Antara Orientasi Profesional Terhadap Konflik Peran dengan Partisipasi Anggaran Sebagai Variabel Moderating

(Studi Empiris di Rumah Sakit Swasta di Sumatera Utara) Jadongan Sijabat

Majalah Ilmiah

(2)

Universitas HKBP Nommensen

Izin Penerbitan dari Departemen Penerangan Republik Indonesia STT No. 1541/SK/DITJEN PPG/STT/1990 7 Pebruari 1990 Penerbit: Penasehat: Pembina: Ketua Pengarah: Ketua Penyunting: Anggota Penyunting: Lay out: Tata Usaha: Universitas HKBP Nomensen Ketua BPH Yayasan Rektor Pembantu Rektor I Pembantu Rektor IV

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Prof.Dr.Monang Sitorus, M.Si Prof.Dr. Monang Sitorus, M.Si Ir. Rosnawyta Simanjuntak, MP Dr. Richard Napitupulu, ST.,MT Dr. Jadongan Sijabat, SE.,M.Si Junita Batubara, S.Sn.,M.Sn.,PhD Prof. Dr. Hasan Sitorus, MS Dr. Budiman Sinaga, SH.,MH Dr. Sondang Manik, M.Hum Alida Simanjuntak, S.Pd Ronauli Panjaitan, A.Md

Alamat Redaksi:

Majalah Ilmiah “VISI” Universitas HKBP Nommensen

Jalan Sutomo No.4A Medan 20234 Sumatera Utara – Medan

Majalah ini diterbitkan tiga kali setahun: Pebruari, Juni dan Oktober Biaya langganan satu tahun untuk wilayah Indonesia

Rp 30.000 dan US$ 5 untuk pelanggan luar negeri (tidak termasuk ongkos kirim) Biaya langganan dikirim dengan pos wesel, yang ditujukan kepada Pimimpin Redaksi

Petunjuk penulisan naskah dicantumkan pada halaman dalam Sampul belakang majalah ini

(3)

V I S I

_____________________________________________________________ Volume 24 Nomor 2 Juni 2016 ____________________________________________________________________________________________ Januari Sihotang Debora Golfrid Gultom Libianko Sianturi Roselyn Nainggolan Farisda Siahaan Srisofian Sianturi Marto Silalahi Rick Hunter Simanungkalit Abdi Sugiarto Jadongan Sijabat

Penyederhanan Partai Politik

Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia

Pengalihan Risiko Gugatan Konsumen Melalui Mekanisme Asuransi Tanggung Jawab Produk Analisa Pengaruh Perubahan Jumlah Lilitan dan Tegangan Terhadap Efisiensi Konsumsi Energi Listrik Pada Model Pemanas Induksi Elektromagnet

Penerapan Metode Field Trip Terhadap Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa

Realization of Politeness Strategies In Sending Short Messages Service (SMS) By The Fifth Semester Students of English Department of HKBP Nommensen University

Hubungan Manajemen Mutu Pendidikan dengan Keberhasilan Pelayanan Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Untuk Meningkatkan Self Efficacy (Kepercayaan Diri Siswa)

Pengaruh Komitmen Kerja dan Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Kinerja Lurah serta Pengaruhnya Terhadap Perencanan Wilayah di Kota Binjai

Hubungan Antara Orientasi Profesional Terhadap Konflik Peran dengan Partisipasi Anggaran Sebagai Variabel Moderating

(Studi Empiris di Rumah Sakit Swasta di Sumatera Utara) 2540-2558 2559-2573 2574-2585 2586-2605 2606-2615 2616-2635 2636-2652 2653-2667 2668-2684

Majalah Ilmiah

(4)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh kasih dan ridhoNya majalah ilmiah Universitas HKBP Nommensen “VISI” Volume 24, Nomor 2, Juni

2016 dapat terbit.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Saudara yang telah mengirimkan artikel untuk dimuat di majalah ini. Dalam rangka pengembangan kualitas tulisan dan penerbitan serta terjalinnya komunikasi dalam pertukaran informasi ilmiah, kami akan senang hati apabila Saudara berkenan memberikan masukan dan mengirimkan tulisannya untuk dimuat pada edisi selanjutnya.

Akhirnya, kami berharap semoga tulisan-tulisan yang dimuat pada edisi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Pro Deo et Patria

(5)

Majalah Ilmiah “Visi”, UHN adalah salah satu sarana/media bagi ilmuan dalam

menyebarluaskan ilmu pengetahuan, baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri maupun untuk kepentingan pembangunan secara umum. Redaksi mengundang ilmuan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk berperan serta dalam mengisi majalah ini.

 Naskah yang dikirim ke redaksi ditulis mengikuti tata cara penulisan ilmiah yang baku secara umum, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dengan spesifikasi: - Ukuran kertas : A4 atau letter

- Ketikan : 2 spasi

- Jumlah halaman : maksimum 24 halaman, dan - Software : Microsoft Words

 Format dan Pedoman Penulisan Judul

Nama Penulis

Abstrak (maksimum ¾ halaman). Memuat tujuan, metode dan kesimpulan hasil penelitian, disertai kata kunci. Abstrak dalam bahasa Inggris bila naskah dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya.

I. Pendahuluan (maks. 4 hal.), memuat latar belakang, masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan hipotesis (bila ada).

II. Metodologi penelitian (maks. 3 hal), memuat tempat dan waktu penelitian, bahan dan alat atau objek penelitian, perlakuan (bila ada) dan metode (mis.: kriteria sampel, uji statistik).

III. Hasil penelitian dan Pembahasan (maks. 12 halaman). Memuat hasil penelitian dan kemukakan secara menarik dan mudah dimengerti, hindari tabel lampiran. Pembahasan memuat interpretasi hasil yang didukung oleh tinjauan pustaka, dan bila perlu pembahasan kelemahan dan kekuatan metode (penelitian) yang digunakan.

IV. Kesimpulan dan saran (maks. 2 halaman). Memuat kesimpulan yang relevan dengan judul dan saran (bila ada) yang relevan dengan penelitian.

Daftar Pustaka (maks. 2 halaman). Memuat daftar pustaka secara alfabetis dan hanya yang dikutip saja, dengan susunan.

Untuk buku: nama belakang. Nama depan (tahun), Judul, kota tempat penerbitan. Penerbit.

Untuk penerbitan periodikal: nama belakang, nama depan, (tahun). Judul tulisan,

Nama Periodikal, Vol. (nomor), nomor halaman.

 Prosedur pengiriman naskah:

- Kirimkan 1 (satu) eksemplar manuskrip naskah, file naskah dalam disket 31/2, serta riwayat hidup penulis ke alamat Redaksi Majalah VISI UHN.

- Naskah belum pernah diterbitkan atau sedang dalam proses penerbitan pada media lain.

- Naskah yang dikrim ke redaksi sepenuhnya menjadi milik redaksi.  Redaksi berwewenang menyunting artikel tanpa mengubah isi dan tujuannya.

(6)

2540 Penyederhanaan Partai Politik

Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia

Oleh:

Januari Sihotang, S.H.,LL.M.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan

ABSTRACT

The purpose of this study is, first, to determine the design of the presidential system in Indonesia; second, to determine the mix of multi-party system and the presidential system in Indonesia and third, to provide recommendations on the simplification of the urgency of political parties in efforts to strengthen the presidential system in Indonesia. This type of research is a normative legal research by basing the research on secondary data. The conclusion of this study are: First, the implementation of the presidential system in Indonesia can not be separated from the characteristics contained in constitution of Indonesia so that it can be concluded that Indonesia adopted a presidential system. Second, the presidential system is implemented in the design of multi-party system in Indonesia has resulted in the emergence of President and Vice President who is supported by a political party that has the support of a minority government in parliament, giving rise cloven (divided government). This happens due to the multi-party system, it is very difficult for a party to obtain a majority in parliament. Such situation causes the inter-party coalition becomes a necessity. However, the coalition built rather that a common interest which is not always the same and not the same platform cause the coalition to be very fragile. And third, the efforts that can be made in the simplification of political parties is as follows: 1) Tightening requirements for establishing a political party; 2) The implementation and improvement of Electoral Threshold; 3) Increased Parliamentary Threshold; 4) Implement the District Electoral System.

(7)

2541

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Penelitian

Secara eksplisit, Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945)1 tidak menentukan sistem kepartaian apa yang dianut Indonesia, karena sistem kepartaian dapat berubah-ubah sesuai dengan dinamika masyarakat. Namun pengaturannya agak berbeda dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945).2 Terutama karena pengaturan tentang HAM sudah lebih terperinci salah satunya dengan adanya jaminan hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3).3

Pembentukan partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi, warga negara bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran, orientasi dan cita-cita yang sama sehingga pikiran dan orientasinya bisa dikonsolidasikan.4 Partai politik juga menjadi wahana bagi setiap warga negara untuk memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Urgenitas partai politik di negara demokrasi tak lepas dari fungsi-fungsi yang dimilikinya. Menurut Miriam Budiardjo5, di negara demokrasi seperti Indonesia, terdapat beberpa fungsi partai politik, yaitu:

1. Sebagai sarana komunikasi politik. 2. Sebagai sarana sosialisasi politik. 3. Sebagai sarana rekrutmen politik.

4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).

1UUD 1945 yang dimaksud dalam hal ini adalah UUD 1945 sebelum perubahan. 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum

dasar di Indonesia. Lihat Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

3Janedjri M Gaffar, Konsolidasi Sistem Pemilu, Harian Seputar Indonesia, Senin,

28 November 2011.

4Ibid, hlm 403. 5Ibid, hlm. 405-410.

(8)

2542

Sistem multipartai menjadi suatu keniscayaan dan tidak dapat terhindarkan dalam setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia. Setidaknya ada beberapa faktor penyebabnya, yakni:6

1. Pluralitas masyarakat Indonesia. 2. Sejarah dan budaya politis 3. Desain sistem pemilihan umum.7

Di sisi lain, setelah perubahan, Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia menganut desain sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, Presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga pusat kekuasaan negara. Artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan (chief of executive), tetapi juga kepala negara (chief of state). Namun dalam kenyataannya, sistem presidensial produk perubahan UUD 1945 juga sulit diimplementasikan. Faktor penyebabnya adalah sistem presidensial dipasangkan di atas struktur politik multipartai. Sebuah pasangan dan kondisi yang tidak lazim di negara-negara yang menganut sistem presidensial.8

Berbagai studi menunjukkan, paduan sistem presidensial dengan multipartai memang problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. 9 Terbukti, tiga presiden yang pernah dan sedang berkuasa di Indonesia10 mengalami berbagai hambatan. Di tengah sistem multipartai, koalisi yang sesungguhnya tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Partai koalisi seringkali berdiri di

6 Hanta Yuda AR, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke

Kompromi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 27-30.

7 Rumusan kecenderungan sistem pemilihan terhadap sistem kepartaian secara

sederhana dapat disimpulkan bahwa sistem distrik dalam pemilihan akan kondusif menciptakan sistem dua partai, sedangkan sistem proporsional akan kondusif menciptakan sistem banyak partai (multipartai).

8Hanta Yuda AR, Kerentanan Presidensial-Multipartai, Harian Kompas, Senin, 28

Juli 2010.

9Ibid

10 Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarno Puteri

(9)

2543

‘dua kaki’.11 Artinya, beberapa partai yang sebenarnya bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah justru ikut menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak populer dan pro publik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan publik demi perolehan suara di pemilu berikutnya.

Paling tidak, ada empat fakta politik paling aktual pada masa pemerintahan saat ini yang menjadi potret kerentanan multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulit untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment.

Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik di Indonesia menjadi sesuatu hal yang mutlak dilakukan. Penyederhanaan partai politik tersebut tentu harus dilakukan secara perlahan dan ‘alami’ agar tidak bertentangan dengan hak untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana yang telah diatur oleh UUD NRI Tahun 1945.

1.2. Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah implementasi sistem presidensial di Indonesia?

2. Bagaimanakah perpaduan sistem multipartai dan sistem presidensial di Indonesia?

3. Bagaimanakah urgensi penyederhanaan partai politik dalam uapaya penguatan sistem presidensial di Indonesia?

II. Tinjauan Pustaka

2.1. Partai Politik dan Sistem Kepartaian

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai berperan sebagai penghubung antara proses pemerintahan dan warga negara.12 Partai politik juga merupakan satu wadah yang mengakomodasi hak kebebasan berserikat dan berkumpul.

11Januari Sihotang, Setgab yang Gagap, Harian Suara Karya, 14 Januari 2010. 12Jimly Asshiddiqie, 2006, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, hlm. 52.

(10)

2544

Banyak sarjana yang mendefenisikan partai politik. Carl J Friedrich menulis sebagai berikut:

Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil .13

Senada dengan pengertian tersebut, Miriam Budiardjo mendefenisikan partai politik sebagai:

Suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –(biasanya) dengan cara konstitusional-untuk melaksanakan programnya.14

Sedangkan defenisi paling operasional menurut Riswandha Imawan adalah defenisi yang diberikan Giovanni Sartori yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok politik apapun yang dikenali lewat label resmi yang ada saat pemilihan umum, dan mampu menempatkan wakil-wakilnya pada jabatan publik melalui pemilihan umum15.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

13 Friedrich, 1967, Constitutional Government and Democracy: Theorie and Practice in Europe and America, edisi ke 5, , Weltham Mass; Blasidell Publishing Company

, hlm. 419. Sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 404.

14Miriam Budiardjo, Ibid.

15 Riswandha Imawan, 2001, Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 3.

(11)

2545

Menurut Riswandha Imawan, terdapat beberapa fungsi partai politik yang paling mendasar16, yakni:

1. Melaksanakan fungsi input dari sistem politik. 2. Membuat dan engontrol aktivitas pemerintahan. 3. Regulator konflik masyarakat.

Namun, pelaksanaan fungsi partai politik akan berbeda di masing-masing negara. Pelaksanaan fungsi ini akan sangat banyak tergantung kepada sejarah kelahiran sebuah partai politik dan kondisi perpolitikan di negara tersebut. Sehingga fungsi partai politik di negara demokrasi dan otoriter akan sangat berbeda.17

Pelaksanaan fungsi partai politik itu sendiri akan sangat tergantung dengan sistem kepartaian yang dianut suatu negara. Duverger membagi sistem kepartaian ke dalam tiga bagian18, yakni:

1. Sistem partai-tunggal dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam satu negara maupun untuk partai yang memiliki kedudukan dominan di antara partai yang lain. 2. Sistem dwi-partai diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa

partai yang berhasil memenangkan tempat dua teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.

3. Sistem multi-partai merupakan sistem kepartaian yang memiliki banyak partai, namun tak ada partai yang benar-benar dominan.

2.2. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara.19Pendapat ini juga tak jauh berbeda dengan Jimly Asshiddiqie yang mengemukakan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.20

16Riswandha Imawan, Op.cit, hlm.3. 17Miriam Budiardjo, Op.cit, hlm. 405. 18Lihat Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 415-420.

19 Mahfud MD, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press,

Yogyakarta, hlm. 83.

20 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 311,

(12)

2546

Ada 3 (tiga) jenis sistem pemerintahan, yakni:21 1. Sistem Presidensial

Terdapat beberapa ciri pokok sistem presidensial22, yakni kepala pemerintahan adalah presiden yang sekaligus juga sebagai kepala negara. Presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Presiden memegang kendali pemerintahan. Ia adalah kepala lembaga eksekutif yang menunjuk mmenteri-menteri yang akan duduk di dalam kabinet. menteri-menteri adalah para pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden. Oleh karena presiden juga adalah kepala negara, ia memegang kekuasaan simbolis tersebut.23Kedudukan presiden dan parlemen adalah sama-sama kuat karena presiden dan parlemen memiliki legitimasi yang kuat melalui pemilihan umum yang terpisah.24

Arend Lijphart mengemukakan beberapa kelebihan sistem presidennsial25, yaitu stabilitas pemerintahan, demokrasi yang lebih besar dan pemerintahan yang lebih terbatas. Sedangkan kekurangan sistem presidennsial adalah munculnya kemandegan (deadlock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal dan pemmerintahan yang kurang inklusif.

2. Sistem Parlementer

Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri yang diangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidak dipegang oleh perdana menteri, namun oleh seorang presiden atau tergantung masing-masing negara. Misalnya, di Inggris, kepala negara dipimpin oleh Ratu, di Malaysia oleh Yang Dipertuan

21 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.25.

22 Maswadi Rauf, dkk, 2009, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal,

Pustaka pelajar, Yogyakarta, hlm. 30-34.

23 Di dalam sistem presidensial, kekuasaan seorang presiden meliputi kekuasaan

politik nyata dan kekuasaan politik simbolis yang mencerminkan kewenangan yang diberikan oleh negara.

24Oleh karena memiliki legitimasi dan kedudukan yang sama kuat, maka presiden

tidak bertanggung jawab terhadap parlemen. Namun, presiden juga tidak boleh membubarkan parlemen, sebaliknya parlemen tidak boleh menjatuhkan presiden, kecuali karena alasan pelanggaran hukum berat yang harus memerlukan proses hukum terlebih dahulu.

25 Arend Lijphart, 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial (Sebuah Terjemahan), Cetakan Pertama, Oxford University Press,London, hlm. 13-18.

(13)

2547

Agung dan Australia oleh seorang Gubernur Jenderal yang masih berada di bawah pengaruh Ratu Inggris.26

Sistem parlementer ini sering juga disebut sistem eksekutif parlementer, sistem kabinet, atau sistem Inggris karena sistem ini berasal dari Inggris.27 Penggunaan istilah sistem eksekutif parlementer atau sistem kabinet hanya ingin menunjukkan bahwa kekuasaan eksekutif dalam sistem parlementer berada di tangan kabinet, bukan di presiden.28 Perdana menteri dengan dewan menteri maupun kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan kepala negara tidak boleh diganggu gugat.

3. Sistem Semi-Presidensial.

Duverger menyatakan bahwa sistem pemerintahan semi-presidensial bukan merupakan syntesis dari sistem parlementer dan sistem presidensial.29 Tetapi merupakan alternation di antara tahapan-tahapan dalam sistem presidensial dan sistem parlementer. Pendapat Duverger berbeda dengan pendapat Sartory yang menyatakan bahwa sistem semi-presidensial sungguh-sungguh merupakan sistem pemerintahan campuran.30

III. Metode Penelitian

3.1. Lokasi/ Tempat Penelitian

Lokasi /tempat penelitian dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas HKBP Nommensen serta di dunia maya melalui penelusuran literatur melalui internet.

26Denny Indrayana, Op.cit, hlm. 192-193.

27 Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata

Aksara, Jakarta, hlm. 63.

28Ibid, hlm. 64. 29Ibid, hlm. 44.

30Pendapat Sartory ini kemudian dikuatkan dalam Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas, Jakarta, hlm. 193-194

yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan semi-presidensial ala Perancis pada masa republik kelima dapat dikelompokkan sebagai sistem pemerintahan campuran (hibrid) dengan menggabbungkan beberapa elemen sistem pemerintahan presidensil dan parlementer. Dimana peran kepala negara dijalankan oleh Presiden dan peran kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri. Presiden dalam hal ini tidak hanya melaksanakan tugas-tugas seremonial yang simbolik seperti dalam sistem parlementer. Hal itu karena Presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung.

(14)

2548 3.2. Bahan Penelitian

Dalam penelitian ini bahan penelitian yang digunakan meliputi: a. Bahan hukum primer; bahan hukum primer adalah bahan-bahan

hukum yang bersifat mengikat, yaitu berupa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Undnag-Undnag Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (serta perubahannya jika sudah disahkan), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan sebagainya.

b. Bahan hukum sekunder; bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Buku-buku yang berkaitan dengan tema sistem pemerintahan, sistem kepartaian dan lembaga kepresidenan, baik cetak maupun elektronik.

2) Majalah, jurnal, artikel-artikel ilmiah, baik dari surat kabar maupun internet yang relevan dengan penelitian.

c. Bahan hukum tertier; bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa: Kamus Umum, Kamus Bahasa Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris-Indonesia.

3.3. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan mendasarkan penelitian pada data sekunder yakni data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan kamus-kamus hukum.

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1. Implementasi Sistem Presidensial di Indonesia

Di Indonesia, sistem hubungan antar cabang kekuasaan negara dapat dilihat secara eksplisit di dalam konstitusi, mulai dari UUD 1945 hingga UUD NRI Tahun 1945.

4.1.1. UUD 1945

Pembahasan mengenai sistem pemerintahan merupakan salah satu topik yang menjadi perhatian utama pada masa Sidang Badan Penyelidik

(15)

2549

Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mulai 28 Mei-1 Juni 1945. Dalam pembahasan itu, anggota BPUPKI cenderung menolak sistem parlementer, namun tidak secara eksplisit pula menerima sistem pemerintahan presidensial.31 Anggota BPUPKI lebih sepakat membentuk sistem pemerintahan sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat Soepomo yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang akan dibentuk hendaknya sebuah pemerintahan yang kuat dan stabil, dimana kabinet adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, tetapi sepenuhnya tunduk kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keinginan membentuk ‘sistem pemerintahan sendiri’ itulah yang kemudian menyebabkan muncul perdebatan terhadap sistem pemerintahan Indonesia setelah UUD 1945 dibentuk.

Secara umum, ada 2 (dua) bagian besar pendapat tentang sistem pemerintahan di Indonesia:

a. Sistem Presidensial

Pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia menggunakan sistem presidensial dapat dilihat dari beberapa ciri yakni:

1) Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan 2) Adanya kepastian masa jabatan Presiden yaitu lima tahun 3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR

4) Presiden tidak dapat membubarkan DPR b. Sistem Campuran

Sedangkan pihak-pihak yang berpendapat bahwa Indonesia menggunakan sistem campuran memiliki alasan bahwa sistem pemerintahan Indonesia tersebut memiliki ciri-ciri atau karakter sistem parlementer maupun sistem presidensial. Ciri-ciri sistem presidensial adalah sebagaimana dijelaskan dalam poin (b) sebelumnya, sedangkan ciri-ciri sistem parlementer dapat dilihat dalam mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Penulis sendiri sesungguhnya lebih sepakat bahwa pada masa UUD 1945, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan campuran walaupun lebih didominasi ciri-ciri sistem presidensial. Namun, tak bisa dipungkiri juga bahwa sistem pemerintahan Indonesia pada masa UUD 1945 juga tidak

(16)

2550

dapat dikatakan sepenuhnya sistem pemerintahan presidensial karena tidak memiliki salah satu ciri-ciri pokok dalam sistem presidensial, yakni pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pada masa UUD ini, Presiden justru dipilih oleh MPR dan Presiden juga sekaligus sebagai mandataris MPR dimana hal ini merupakan ciri-ciri sistem parlementer.

4.1.2. UUD NRI Tahun 1945

Salah satu fokus utama dalam perubahan UUD 1945 adalah penataan kembali sistem pemerintahan. Jika dalam UUD 1945 masih belum ada kesepakatan mengenai sistem pemerintahan, maka dalam perubahan UUD 1945 sudah disepakati bahwa sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia adalah sistem pemerintahan Presidensial. Oleh karena itu, dalam perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) dilakukan upaya-upaya pemurnian (purifikasi) sistem presidensial melalui beberapa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni:

a. Mengubah mekanisme pemilihan Presiden/Wakil Presiden b. Membatasi periodesasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden c. Memperjelas mekanisme pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden d. Larangan Presiden untuk membubarkan DPR

e. Menata ulang kelembagaan MPR

4.2. Perpaduan Sistem Multipartai dan Sistem Presidensial di Indonesia

Dalam sistem multipartai, koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam bagian latar belakang penelitian ini, dalam sistem multipartai akan sangat susah muncul partai mayoritas di parlemen. Dengan demikian, untuk mendukung pemerintahan, partai pendukung pemerintah harus berkoalisi dengan partai lain dengan menjadikan kursi kabinet dan jabtan-jabatan strategis lainnya sebagai alat tawar-menawar. Praktik inilah yang terjadi di Indonesia, setidaknya sejak tahun 2004 setelah Presiden/Wakil Presiden dipilih secara langsung melalui pemilihan umum.

Pada Pemilihan Umum 2004, 2009 dan 2014, pemilihan umum di Indonesia selalu diikuti oleh banyak partai. Pada Pemilihan Umum 2004 diikuti oleh 24 partai politik, Pemilihan Umum 2009 diikuti 44 partai politik dan Pemilihan Umum 2014 cenderung menurun dengan diikuti 12 partai

(17)

2551

politik. Pada pemilihan umum 2004, pasangan Presiden/Wakil Presiden terpilih justru bukan dari partai pemenang pemilu. Pasangan SBY-JK justru didukung Partai Demokrat yang hanya mendapatkan 7 persen suara. Kondisi ini mengharuskan Partai Demokrat berkoalisi dengan partai lain, termasuk dengan partai pemenang pemilu saat itu, yakni Partai Golkar. Hal ini menyebabkan munculnya ‘matahari kembar’ dalam pemerintahan. Jusuf Kalla yang merasa didukung oleh partai terbesar seringkali overlapping dari posisinya sebagai Wakil Presiden. Padahal, Partai Golkar bukan partai pendukung utama Presiden/Wakil Presiden karena Partai ini justru bergabung setelah pasangan SBY-JK memenangkan Pemilu Presiden.

Pada Pemiu 2009, kondisinya lebih baik. Pasangan SBY-Boediono didukung oleh Partai Demokrat yang merupakan partai pemennag Pemilu pada saat itu dengan raihan suara sekitar 20,1 persen. Kendati demikian, partai ini tetap saja tidak menjadi mayoritas di parlemen sehingga mengharuskan koalisi dengan partai politik lain.

Kerentanan bangunan sistem presidensial dalam bingkai sistem multipartai sangat nyata dalam Pemilu 2014. Pemilihan umum tersebut benar-benar menghasilkan pemerintahan terbelah (divided government). Makna pemerintahan terbelah adalah kondisi ketika terjadi perbedaan dominasi antara partai atau gabungan partai politik penguasa (the rulling party) dengan partai yang mendominasi legislatif.

4.3. Urgensi Penyederhanaan Partai Politik dalam Uapaya

Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia

Untuk menyederhanakan partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara dengan catatan tidak boleh melarang pembentukan partai politik baru atau memberi keistimewaan kepada partai politik tertentu. Kesempatan pembentukan partai politik harus tetap dibuka sebagai manifestasi kebebasan berserikat dan berkumpul. Selain itu,hal yang harus diperhatikan dalam proses penyederhanaan partai politik adalah jangan sampai menimbulkan penindasan atau pengingkaran terhadap hak-hak minoritas.

Agar penyederhanaan partai politik tidak dianggap sebagai upaya untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul, menghindari suara rakyat yang terbuang, serta mempermudah proses pengambilan keputusan kenegaraan, maka penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara dan secara bertahap. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penyederhanaan partai politik adalah sebagai berikut:

(18)

2552 1. Memperketat syarat pendirian partai politik

Untuk menjadi partai politik, tentu partai politik tersebut harus berbadan hukum dengan cara didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM. Untuk mendapatkan status badan hukum, partai politik yang akan didaftarkan harus memiliki kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;32serta harus memiliki kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum.

2. Pemberlakuan dan peningkatan Electoral Threshold

Electoral threshold adalah ambang batas ataupun persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik untuk dapat mengikuti atau menjadi peserta pemilihan umum. Pemberlakuan Electoral trheshold ini menjadi sangat penting agar partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum adalah partai yang benar-benar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Memang, Undang-Undang sudah mengatur mengenai pemberlakuan electoral trheshold yakni dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sebagai berikut:33

a. Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.

b. Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

1) berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;

2) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

3) memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

4) memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;

32Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. 33Lihat Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

(19)

2553

5) menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

6) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; 7) mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan

pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

8) mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan

9) menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

3. Peningkatan Parliamentary Threshold

Parliamentary Threshol dapat dipahami sebagai ambang batas suara sah secara nasional yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk memperoleh kursi di parlemen. Menurut Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.34

Sedangkan bagi Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan. Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak

34Lihat Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(20)

2554

memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.35

Namun demikian, Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah diubah seiring dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 208 sepanjang frasa “secara nasional” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Kemudian Mahkamah Konstitusi juga menyatakan penjelasan Pasal 208 sepanjang frasa” jumlah suara sah secara nasional adalah hasil penghitungan untuk suara DPR” UUNomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: Yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.36

Hemat penulis, syarat 3,5 persen Parliamentary Threshol masih belum ideal di dalam upaya menciptakan sistem multipartai sederhana. Oleh karena itu, jika memang pembentuk Undang-Undang memiliki kesepahaman dalam memperbaiki desain sistem presidensial, maka harus ada keberanian untuk meningkatkan Parliamentary Threshol. Parliamentary Threshol jangan lagi menjadi alat tawar-menawar antara partai politik besar, menengah dan kecil. Jika angka Parliamentary Threshol hanya pada tataran 4-5 persen, maka penulis yakin tidak akan mampu secara signifikan mengurang jumlah partai politik. Hemat penulis, angka Parliamentary Threshol 10 persen merupakan angka ideal di dalam menciptakan sistem multipartai sederhana.

35Lihat Pasal 209 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(21)

2555

4. Menerapkan Sistem Pemilu Distrik

Selain upaya-upaya yang telah dijelaskan sebelumnya, jika bangsa ini ingin benar-benar mengurangi jumlah partai politik, maka cara yang paling ampuh, alami namun sedikit ekstrim adalah dengan melakukan perubahan sistem pemilihan umum. Harus diakui, bahwa dengan sistem pemilihan umum proporsional yang digunakan saat ini, maka peluang bagi partai politik menengah dan kecil untuk mendapatkan kursi di parlemen. Untuk mendapatkan kursi, tidak harus menjadi partai pemenang di Daerah pemilihan, tetapi harapan memperoleh kursi masih ada dalam perhitungan sisa suara.

Hal tersebut berbeda dengan sistem pemilihan umum distrik. Dalam sistem distrik, calon legislatif yang mendapatkan kursi harus menempati nomor urut pertama perolehan suara di Daerah pemilihan (Distrik). Dengan demikian, peluang untuk mendapatkan kursi parlemen hanya ada jika partai politik dan calon legislatif tersebut benar-benar merupakan figur yang dikenal dan paling mendapat dukungan masyarakat. Tentu, hal ini dapat terjadi di partai politik besar. Implikasinya, sebelum mendirikan partai politik atau sebelum mencalonkan diri menjadi calon legislatif, harus dipikirkan matang-matang. Tidak ada lagi istilah coba-cba seperti yang sering dilakukan politisi-politisi selama ini. Dengan demikian, sistem ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan dapat mengubah psikologi masyarakat dan berpotensi besar mengurangi jumlah partai politik di Indonesia.

V. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Implementasi sistem presidensial di Indonesia tidak terlepas dari

pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945. Kendati tidak terdapat satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, namun dari ciri-ciri yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat disimpulkan bahwa Indonesia menerapkan sistem presidensial.

2. Sistem presidensial yang diimplementasikan dalam desain sistem kepartaian multipartai di Indonesia telah mengakibatkan munculnya Presiden dan Wakil Presiden yang didukung oleh partai politik yang memiliki dukungan minoritas di parlemen sehingga menimbulkan pemerintahan terbelah (divided government). Hal ini terjadi karena

(22)

2556

dengan sistem multipartai, sangat berat bagi suatu partai untuk mendapatkan suara mayoritas di parlemen. Keadaan yang demikian menyebabkan koalisi antar partai menjadi sebuah keniscayaan. Namun, koalisi yang dibangun lebih kepada karena kesamaan kepentingan yang tidak selalu sama dan bukan atas platform yang sama menyebabkan koalisi menjadi sangat rapuh. Dengan demikian, walaupun Presiden dan Wakil Presiden didukung koalisi yang mayoritas di parlemen, tidak menjadi jaminan hubungan parlemen dan Presiden mulus dan kebijakannya berjalan dengan baik.

3. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam penyederhanaan partai politik adalah sebagai berikut:

a. Memperketat syarat pendirian partai politik

b. Pemberlakuan dan peningkatan Electoral Threshold c. Peningkatan Parliamentary Threshold

d. Menerapkan Sistem Pemilu Distrik

VI. Saran-saran

Adapun saran-saran penulis adalah sebagai berikut:

1. Upaya mewujudkan sistem multipartai sederhana yang dapat mendukung sistem presidensialisme hanya dapat dilakukan jika ada kesepahaman dan komitmen bersama di dalam perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan terkait. Oleh karena itu, ke depan, pembentukan Undang-Undang Pemilihan Umum yang mengatur mengenai syarat-syarat pendirian partai politik, electoral threshold maupun parliamentary threshold tidak dilaksanakan berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok.

2. Penyederhanaan partai politik hendaknya dipahami semua pihak sebagai suatu upaya untuk menciptakan sistem presidensial yang berkontribusi positif dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, bukan untuk menghambat kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

Daftar Pustaka

Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas, Jakarta.

(23)

2557

Hanta Yuda AR, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke Kompromi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta.

Mahfud MD, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta.

Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung.

Maswadi Rauf, dkk, 2009, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keempat,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Pradjoto, 1983, Kebebasan Berserikat di Indonesia, Sinar harapan, Jakarta. Riswandha Imawan, 2001, Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di

Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Riswanda Imawan, 2004, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2013.

Januari Sihotang, 2014, Mendesain Pemilu Nasional Serentak dalam Rangka Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia, makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Hukum tata Negara dan Penganugerahan Muhammad Yamin Award, Sawahlunto, 2 Juni 2014.

M Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia, Thesis, Universitas Diponegoro, Semarang.

(24)

2558

S.E.M. Nirahua, 2009, Sistem Multipartai dalam Pemilihan Umum di Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume II Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Patimura, Ambon.

Gun Gun Heryanto, Menata Ulang Sistem Presidensialisme, Harian Seputar Indonesia, 25 November 2010.

Hanta Yuda AR, Kerentanan Presidensial-Multipartai, Harian Kompas, Senin, 28 Juli 2010.

Janedjri M Gaffar, Konsolidasi Sistem Pemilu, Harian Seputar Indonesia, Senin, 28 November 2011.

Januari Sihotang, Setgab yang Gagap, Harian Suara Karya, 14 Januari 2010. Valina Singka Subekti, Komplikasi Sistem Presidensial, Harian Seputar

(25)

2559 BIOGRAFI PENULIS

Januari Sihotang, S.H., LL.M., lahir di Pulau Samosir, 1 Januari 1984.

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (S.H) dari Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan (2008). Kemudian melanjutkan pendidikan di Klaster Kenegaraan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (MIH-UGM) dan mendapatkan gelar Master of Laws (LL.M) sebagai lulusan terbaik dengan predikat cum-laude (2012).

Mengabdi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen sejak 2012 sampai sekarang. Bidang keahlian penulis adalah dalam bidang ketatanegaraan seperti Hukum Konstitusi, Hukum Kelembagaan Negara, Hukum Otonomi Daerah, Pemilu, Legal Drafting dan Hukum Pajak. Aktif menjadi pembicara di berbagai seminar hukum, meneliti dan menulis. Menjadi juri dan pembimbing dalam berbagai kompetisi debat hukum seperti Unpar Law Fair (2010), Debat Aspirasi Untuk Negeri kerja sama TVONE dan BNI (2013-2014), Debat Publik UNPAB (2014) dan lain-lain.

Sampai saat ini, sudah menulis sekitar 300-an artikel hukum di berbagai majalah dan surat kabar, baik lokal maupun nasional. Peminat sastra dan kajian filsafat. Penulis dapat dihubungi melalui email: januari_sihotang@yahoo.com atau nomor handphone: 085296044787. Saat ini berdomisili di: Jl. Sejahtera Nomor 25 Gaperta Ujung Medan Helvetia, Medan, Sumatera Utara dan alamat kantor di Fakultas Hukum Universitas HKBP Medan Jjl. Sutomo Nomor 4A Medan.

(26)

Pengalihan Risiko Gugatan Konsumen

Melalui Mekanisme Asuransi Tanggung Jawab Produk Debora, SH., MH.

Dosen Fakultas Hukum

Universitas HKBP Nommensen Medan ABSTRACT

Insurance institution becomes important to transfer produceris liability risk for the products he produced for consumers consumption or use, if consumers sujer accident and or loss because of consuming or using such product. In Indonesia, the intention to materialize legal effort of Consumer Protection has existed since 1998 with enactment of Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection. The existing regulations on insurance has not made manufacturers to buy liability insurance for their products, yet a few joint venture insurance companies ojer this type of insurance in the market. To face business law development especially in insurance area which its impact on legal protection for consumers of product in general, at present it is necessary to have a reform and or regulation which certainty will be able to anticmate the development of business, in creating and implementing contracts in insurance business practices. The research method used in this dissertation is normative-qualitative with comparative approach. The analysis of research uses transfer of risk theory. The outcome of the research shows that product liability insurance has an important role in protecting consumers' interest in the current Indonesian society. This product liability insurance provides guarantee for consumers to receive compensation U' the products being used cause injuries/loss, even such compensation is not only for the consumer who uses the product but also for bystanders when the product is being used in mechanism of product liability insurance, producers have to pay premium for products insured which its value shall depend on quantity and type of product, risk level for products insured. The idea of the need for consumer protection through product liability insurance becomes absolute to be accommodated in legislative regulations, up to implementation of risk transfer mechanism in the forms of Risk Retention Group (RRG) or Kelompok Penahan dan Berbagi Risilco (KPBR), namely a group of persons/legal entities which functions as insurance company for its members, the members who also own this company bear the same risk exposure; and Purchasing Group (PG) or Kelompok Pembeli Asuransi (KIM) namely a group of persons/legal entities

(27)

that purchase insurance policy based on the group. These call for comprehensive legal reform, not only in the field of consumer protection law but also insurance law, to be precise through amending the Law Number 2 of 1992 on Insurance Business.

Keywords : Consumer, Regulation, and Government I. Pendahuluan

I.1. Latar Belakang

Prinsip tanggung jawab muntlak dalam hukum perlindungan konsumen (strict product liability) dirasakan penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu pertama, tanggung jawab muntlak merupakan instrumen hukum yang relatif masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua tanggung jawab muntlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering menampakkan kesenjangan atau “gap” antara standar yang diterapkan di Negara yang bersangkutan, yaitu antara kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab muntlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen.

Ketika suatu bangsa memasuki tahap Negara kesejahteraan, tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat. Pada periode ini Negara mulai memperlihatkan antara lain kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup.

Perlindungan terhadap konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industri, karena perkembangan produk-produk industri di satu pihak, pada pihak lain memerlukan perlindungan terhadap konsumen. Kemajuan teknologi dan industri telah pula memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern.

Keberatan produsen atas penerapan prinsip tanggungjawab muntlak didasarkan pada pertimbangan bahwa prinsip tanggung jawab muntlak membuka peluang bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian yang relatif lebih besar. Risiko tersebut dapat saja mengganggu kelangsungan usaha, bahkan dapat berakibat sampai pada penutupan perusahaan karena tidak mampu membayar ganti kerugian konsumen.

(28)

Untuk mengantisipasi kondisi yang paling buruk dalam menghadapi gugatan konsumen, maka salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah melalui asuransi, yang dikenal dengan asuransi tanggung jawab produk (product liability insurance).

Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik yang sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai/negoisasi dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi. Salah satu cara untuk mengatasi resiko tersebut adalah dengan cara mengalihkan risiko (transfer of risk) terhadap pihak lain diluar manusia.1 Pada saat ini pihak lain penerima risiko dan mampu mengelola risiko tersebut adalah perusahaan asuransi.

Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang secara profesional menyediakan diri untuk mengambil alih dan menerima risiko pihak-pihak lain. Dengan pembayaran tertentu, risiko yang menjadi tanggung jawabnya itu kemudian dikelola sedemikian rupa dalam suatu rangkaian kegiatan yang berkelanjutan, sebagai kegiatan perusahaan.2

Perusahaan asuransi merupakan badan hukum yang menerima peralihan risiko dimana terdapat subjek hukum yakni manusia yang berusaha mengurangi risiko atas hidupnya. Di Indonesia, perusahaan asuransi bekerja dengan landasan yuridis yang kuat yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Sejauh ini bentuk badan hukum asuransi tersebut adalah : Perseroan Terbatas (PT), Pesero (BUMN), dan Koperasi.

Di mata produsen, asuransi bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi asuransi dimaksudkan untuk mengantisipasi tuntutan ganti kerugian yang timbul dari penggunaan produk yang dihasilkan atau dijual, namun pada sisi lain, asuransi juga merupakan biaya yang berkaitan dengan tanggung jawba produk yang ditanggung oleh perusahaan dalam aktivitas bisnisnya. Dari segi kebutuhan pengalihan risiko, perusahaan asuransi berperan sebagai penanggung atas gugatan yang diajukan oleh konsumen. Lembaga asuransi dimaksudkan pula untuk memenuhi permintaan atau tuntutan masyarakat dalam menciptakan keseimbangan kepentingan konsumen dan produsen, dengan memberikan ruang lingkup jaminan atas risiko tanggung jawab akibat kecelakaan atau kerusakan yang diderita oleh konsumen.

1M.Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum dan Surat Berharga, PT. Alumni,

Bandung, 2003, hlm. 9.

2 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika,

(29)

Oleh karena itulah dipilih judul tulisan ini yaitu PENGALIHAN RISIKO

GUGATAN KONSUMEN MELALUI MEKANISME ASURANSI TANGGUNGJAWAB PRODUK.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa masalah yang timbul yaitu :

1. Bagaimana risiko atau tanggungjawab produsen berdasarkan prinsip tanggung jawab muntlak dapat diakomodasi dalam sistem asuransi. 2. Bagaimana strategi yang digunakan oleh perusahaan asuransi dan

pemerintah dalam menghadapi risiko gugatan konsumen.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 1 angka (2) UUPK menyatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia.

Diantara ketentuan normatif tersebut terdapat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999 diberlakukan 5 Maret 2000, satu tahun setelah diundangkan). UU No.5/1999 memuat dalam Pasal 1 angka (15) suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan tersebut mirip dan garis maknanya diambil alih oleh UUPK.3

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenagalistrik. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi mendefenisikan konsumen itu adalah pelanggan dan

3 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2000,

(30)

pemakai, yaitu pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak. Sedangkan pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa yang tidak berdasarkan kontrak.

Istilah yang dekat dengan konsumen adalah pembeli, pengertian konsumen jelas lebih luas dari pada pembeli. Pakar masalah hukum konsumen di Belanda, Hondius sebagaimana dikutip oleh Tim FH UI dan Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau jasa (uiteindelijk gebruiker van goederenen diesten). Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.4 Dan kita bisa lihat penjelasan Pasal 1 angka 2 dalam UUPK menyatakan di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan/atau jasa menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.5

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihanya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.6

4Tim FH UI dan Depdagri, Rancangan Akademik UUPK, Jakarta, 1992, hlm. 57. 5 Adrian Sutedi, Tanggung Tawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 8.

(31)

2. Hak dan Kewajiban Konsumen

Dalam Pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999 hak dari konsumen adalah sebagai berikut :

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi;

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apa bila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan atau sebagai mana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK adalah :

1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 2) Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

II.2. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha

II.2.1 Pengertian Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka (3) UUPK disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri

(32)

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.7

Dalam penjelasan UUPK Pasal 1 angka (3), yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain.8

Dalam Pasal 1 angka (5) UU No.5/1999 menyatakan Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk adan hukum atau yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indinesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan barbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

II.2.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Adapun hak-hak pelaku usaha yang dimuat dalam Pasal 6 UUPK adalah sebagai berikut :

1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikat tidak baik;

3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;

Adapun kewajiban pelaku usaha yang dimuat dalam Pasal 7 UUPK adalah sebagai berikut :

1) Beriktikat baik dalam melakukan kegiatan usanya.

2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

7 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Ditinjau dari Hukum Acara Perdata serta Implementasinya, Jakarta, Prenada Media Group, 2008, hlm. 385.

(33)

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan dan/atau diperdagangkan;

6) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan Arrest H.R. Di Negera Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.9

II.2.3 Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Seperti diketahui bahwa UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha.

Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka Pasal 8 UUPK menentukan berbagai larangan sebagai berikut:

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etikat barang tersebut.

(34)

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etikat, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya metode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tertentu.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etikat, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu. Penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencamtumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta menariknya dari peredaran.

Pada intinya subtansi Pasal 8 UUPK ini tertuju pada 2 hal, yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan /atau jasa yang dimaksud yaitu barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak

Gambar

Gambar 1. Model pengujian
Tabel 1. Parameter Pengujian
Tabel 2. Data pengukuran pemanas induksi 200 lilitan dengan V = 20 Volt Suhu yang dicapai ( C) Waktu pencapaiansuhu(detik) Daya (Watt) EnergiListrik(Joule) EnergiKalor (Joule) Efisiensi(%) 30 8 249 1992 1924 96.586 35 20 247 4940 4329 87.632 40 46 242 1113
Tabel 4. Data pengukuran pemanas induksi 200 lilitan dengan V = 25 Volt Suhu yang dicapai ( C) Waktu pencapaiansuhu(detik) Daya Rata-Rata(Watt) Energi Listrik(Joule) EnergiKalor (Joule) Efisiensi(%) 30 5 475 2375 1924 81.011 35 15 465 6975 4329 62.065 40 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

PLC ini memiliki bahasa pemrograman yang mudah dipahami dan dapat dioperasikan bila program yang telah dibuat dengan menggunakan software yang sesuai dengan jenis PLC yang

Dalam segi biaya, campuran koagulan PAC-tawas cair 75:25 lebih efisien pada tingkatan kekeruhan tinggi dibandingkan dengan koagulan yang lain. Perlu dilakukan plant test

Detta då den anses vara bäst lämpad för det tidsspann som var ämnat åt arbetet men även då mycket forskning på just haj sker i många andra länder och alltså kan bli svårare

Perlu dilakukan eksplorasi tematik lainnya dalam penciptaan seni dengan memanfaatkan limbah batang kayu cacat, sehingga semakin beragam tema sekaligus produk yang

SUMBERDAYA MANUSIA BEFORE 9 Pembangunan Infrastruktur Berbasis Community Development Transformasi Ekonomi Melalui Penguatan Sektor Perkebunan, Pertanian dan Perikanan Pembangunan

 Mula-mula bunga ini keluar dari ketiak daun yang terletak pada batang utama atau cabang reproduksi.. Tetapi bunga yang keluar dari kedua tempat tersebut biasanya tidak

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan, sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas, pelaku usaha yang bergerak di bidang perbankan dan

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan makna huruf jar yang terdapat pada surat al- kahfi, huruf jar yang berjumlah 20 masing – masing memiliki makna