• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membuka Ruang Partisipasi Bagi Kelompok Anak dan Kaum Muda Dalam Proses Pembangunan Perdamaian di Aceh"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

IV. PERENCANAAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA A. MENGAPA DI ACEH?

Transisi merupakan sebuah perjalanan menghidupi kekinian dan menyambut masa depan tetapi dengan membawa masa lalu. Berdasarkan ontologis-politis, transisi adalah perjuangan menyambut harapan akan tatanan sosial yang lebih demokratis dan humanistik seiring dengan upaya menegasikan kembalinya otoritarianisme. Pada titik ini diperlukan redefinisi peran negara sebagai institusi tatanan politik menuju demokrasi dan berkeadilan (Eddie Riyadi Terre , 2003: 3). Titik awal masa transisi di Aceh ditandai dengan dihasilkan MoU antara GAM dengan pemerintah Republik Indonesia. MoU menjadi landasan etik dan legal sebagai wujud dari itikad baik kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun. MoU Helsinski menjadi modalitas awal untuk mengantarkan rakyat Aceh menuju terciptanya perdamaian dan demokratisasi. Artinya momentum ini sangat krusial karena mengarahkan pada situasi yang paradoksal, Aceh pada arah yang benar atau yang salah. Dengan kata lain, Aceh memasuki masa transisi yang genting dan penting.

Menurut pandangan Tony Addison (2009:112), pada umumnya, masyarakat yang tengah menjalani masa transisi menghadapi beraneka ragam tujuan. Tony Addison mengidentifikasi terdapat 5 (lima) tujuan yang diharapkan terjadi, yakni:

1. Keadilan Transisi (Transitional Justice)

Meminta pertanggungjawaban pelaku pelanggaran hak asasi manusia dan pengakuan korban melalui tuntutan pidana, pengakuan kebenaran, dan reformasi institusional;

2. Keadilan Distributif (Distributive Justice)

Pada tingkat minimal menghapus kemiskinan yang absolut. Masyarakat dapat menetapkan pada diri mereka sendiri tujuan yang lebih luas dalam mengupayakan pengurangan ketidakadilan; 3. Kemakmuran (Prosperity)

Peningkatan tingkat pengeluaran dan pendapatan masyarakat (pertumbuhan ekonomi), skala tersebut bergantung pada seberapa jauh dampak ekonomi dari masa otoriterianisme dan/atau masa konflik;

(3)

4. Partisipasi (Participation)

Gejala yang paling sering terlihat terjadinya demokratisasi dan kembalinya demokratisasi setelah era politik yang otoriter;

5. Perdamaian (Peace)

Berakhirnya eskalasi kekerasan atau menurunnya intensitas kekerasan sangat bergantung pada asal muasal (sumber konflik) dan cara penanganannya.

Masa transisi Aceh mendapatkan pengakuan secara yuridis dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 229 yang menjadi landasan hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh menandai Aceh dalam situasi transisi. UU ini merupakan hasil elaborasi lebih lanjut beberapa substansi Perjanjian Helsinki (MoU). Beberapa hal yang diatur dalam MoU Helsinki relevan apabila dikerangkai melalui keadilan transisi berdasarkan pandangan Ross Clarke, Galuh Wandita, & Samsidar (2008: 14) terkait dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Amnesti;

2. Demobilisasi/Pelucutan Senjata; 3. Reintegrasi;

4. Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; 5. Penegakan Hukum.

Dalam konteks ini, secara definitif demokratisasi merupakan suatu masa transisi suatu rezim politik dari suatu rezim yang autoritarian menuju sistem pemerintahan yang demokratis atau transisi dari sistem politik semi autoritarian menuju sistem yang politik yang demokratis (http:// en.wikipedia.org/wiki/Democratization). Laurenz Ennser (2007) membagi tahap masa transisi pada menjadi 3 tahap yakni liberalisasi – demokratisasi – konsolidasi. Bahkan menurutnya ketiga tahap ini sebagai hukum besi demokratisasi (iron law of democratization).

Terkait dengan proses demokratisasi, Samuel P. Huntington (1995) menyatakan bahwa transisi demokrasi yang terjadi pada suatu rezim dapat menuju pada 3 kondisi, yaitu : (i) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (ii) dibangunnya sebuah rezim demokratis; dan (iii) pengkonsolidasian rezim demokratis. Pandangan serupa juga diberikan oleh Alfred Stepan (1993) yang menyebutkan transisi demokrasi dari rezim otoriter terdapat 3 model, yakni: (i) penjajahan dari luar dan peperangan internal; (ii) tranformasi internal dari elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; dan (iii) kekuatan internal kelompok oposisi yang menumbangkan kekuasaan otoriter yang berkuasa.

(4)

Selanjutnya untuk memperkuat pandapatnya, Alfred Stepan mengutip pandangan Vladimir Gelman yang membagi transisi demokrasi terbagi menjadi 5 tahap, yakni: berakhirnya rezim masa lalu – pergantian – ketidakpastian – pembangunan rezim baru – institusionalisasi rezim baru. Berdasarkan perspektif keadilan transisional tersebut di atas, situasi Aceh pasca MoU Helsinki dapat dikategorikan sebagai masa transisi di mana masyarakat Aceh secara kolektif terlepas dari masa konflik bersenjata dan pemerintahan militeristik, melalui penetapan status Daerah Operasi Militer (DOM), menuju kedamaian dan pemerintahan yang demokratis dengan pemberian otonomi khusus. Tujuan ini diharapkan dapat terwujud melalui pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimandatkan dalam MoU dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Situasi di Aceh yang tengah menuju transisi dapat dikerangkai dengan pandangan Ruti G. Teitel (2003) mengenai keadilan transisional. Ruti G. Teitel menyatakan bahwa keadilan transisional (transitional justice) merupakan suatu konsep keadilan yang diletakkan pada suatu perubahan politik yang ditandai dengan tanggapan hukum untuk mengkonfrontasikan tindakan salah yang telah dilakukan oleh rezim yang represif.

Sedangkan menurut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa keadilan transisional sebagai:

Suatu rentang waktu yang penuh dengan penuh proses dan mekanisme yang terkait dengan upaya masyarakat untuk berdamai dengan warisan skala besar pelanggaran masa lalu dalam rangka memastikan terdapatnya akuntabilitas, melayani keadilan, dan mencapai rekonsiliasi. Hal ini dapat mencakup peradilan dan mekanisme non-yudisial dengan tingkat yang berbeda, keterlibatan internasional serta penuntutan individu, reparasi, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, pemeriksaan dan pemecatan, atau kombinasi daripadanya.

Dengan demikian, melekat pada definisi transisi adalah mekanisme dan proses-proses yang hanya bersifat sementara, dirancang untuk menyediakan jembatan dari masa kini ke masa depan - dari perang untuk perdamaian, dari pelanggaran hak menuju perlindungan hak asasi manusia, dari kediktatoran ke demokrasi. Artinya tujuan keadilan transisional adalah mempromosikan perdamaian, mencapai rekonsiliasi, penguatan aturan hukum, dan meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Di samping itu, keadilan transisional bertujuan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara; memperbaiki hubungan antara individu-individu, antara negara-negara di kawasan atau dengan

(5)

masyarakat internasional. atau bahkan mencoba untuk menutup sebuah bagian di masa lalu (Alison Smith, 2010: 34). Dalam penanganan pasca konflik, kendati anak-anak dan kaum muda merupakan kelompok yang paling terkena dampak sosial, ekonomi, politik, serta psikologis konflik dan warisan pelanggaran HAM masa lalu. Mekanisme keadilan transisional, termasuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, reformasi kelembagaan dan reparasi, secara historis masih terbatas dalam memberikan perhatian pada pengalaman anak-anak dan kaum muda [International Center for Transitional Justice (ICTJ), 2009].

Seharusnya kelompok anak dan kaum muda tidak hanya memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dalam prosedur administrasi serta peradilan yang mempengaruhi mereka, tetapi juga mereka diberikan fasilitas untuk mengekspresikan pandangan dan pengalaman unik mereka sehingga dapat berkontribusi bagi upaya proses-proses rekonstruksi nasional. Sementara itu, ukuran pasti dampak dari penggunaan proses dan mekanisme keadilan transisional pada kehidupan anak-anak juga sering kali belum tersedia. Pada wilayah ini, apabila penggunaan mekanisme keadilan transisional tanpa melibatkan anak-anak maka negara tidak hanya gagal mematuhi Konvensi Hak Anak (KHA) tetapi juga berkompromi atas hasil dari proses yang tidak melibatkan anak-anak dan kaum muda (Graça Machel, 2010: x).

Sering kali keadilan transisional hanya difokuskan terutama pada pelanggaran hak sipil dan politik seperti pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan dan ancaman lain terhadap keamanan pribadi. Padahal sebenarnya, konflik bersenjata dan kekerasan politik membahayakan dan mengancam penikmatan semua hak-hak anak. Dalam konteks ini, KHA telah menempatkan hak ekonomi, sosial serta budaya, termasuk hak setiap anak atas standar hidup yang memadai secara fisik, mental, spiritual, moral, dan pengembangan sosial, setara dengan hak sipil dan hak politik. Selama konflik bersenjata, jutaan anak-anak memang menjadi korban pelanggaran hak sipil dan politik, namun demikian, jumlah anak yang harus mengalami berpindah-pindah tempat tinggal karena harus mengungsi, kelaparan, penyakit, dan kurangnya pendidikan di negara-negara yang terkena dampak perang jauh lebih besar. Dalam analisis mengenai dampak konflik bersenjata terhadap anak-anak negara-negara Afrika ditemukan bahwa jumlah terbesar anak-anak yang kehilangan nyawa justru akibat terjadinya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kematian anak-anak disebabkan oleh kurangnya akses perawatan kesehatan, gizi, air bersih, dan fasilitas sanitasi, perumahan yang layak, serta ketidakadilan ekonomi dan kekerasan struktural. Lebih jauh, konflik bersenjata juga memiliki dampak serius terhadap anak-anak yang selamat dari kekerasan konflik, mereka tumbuh

(6)

dan berkembang dalam kemiskinan, menderita kekurangan gizi, dan kurangnya akses pendidikan dan perawatan kesehatan. Oleh karenanya, selama upaya rekonstruksi pasca-konflik semestinya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak tidak hanya difokuskan pada perlindungan hak diranah hak sipil dan politik semata, akan tetapi juga ditujukan bagi pembangunan kembali akses-akses perawatan kesehatan, perlindungan sistem pendidikan, reformasi kelembagaan, termasuk sektor keamanan dan keadilan (Saudamini Siegrist, 2010: 6).

Keadilan transisional dan proses pembangunan perdamaian memberikan suatu rentang mekanisme untuk mempertemukan kejahatan masa lalu dan membuka jalan bagi pembangunan masyarakat yang damai dan berkeadilan. Dalam hal ini, Jonathan Sisson dari KOFF-Swisspeace, sebagaimana dikutip oleh Sylvia Servaes dan Nicole Birtsch (2008:3) memaparkan kerangka kerja konseptual dari keadilan transisional yang menempatkan korban dan pelaku sebagai pusatnya. Menurutnya, setiap mekanisme keadilan transisional mengambil tekanan yang berbeda berdasarkan pada 2 kategori, yaitu:

1. Mekanisme yang ditujukan bagi korban dengan penekanan pada hak untuk mengetahui (right to know) dan hak mendapatkan reparasi (right to reparation); dan

2. Mekanisme yang difokuskan pada pelaku dengan kewajiban memberikan hak atas keadilan (right to justice), misal melalui pengadilan, dan jaminan tidak berulang kembali (guarantee of non recurrence).

Kedua mekanisme yang diungkapkan oleh Jonathan Sisson secara visualisasi dapat dilihat pada ragaan di bawah ini.

(7)

Rekonsiliasi Negara berdasarkan hukum Tidak memberikan Impunitas Transformasi Konflik KoRbaN PelaKu Hak untuk

Hak atas pemulihan Jaminan tidak berulang kembali Hak atas • Komisi Kebenaran • Komisi Penyelidikan • Dokumentasi • Materi-materi Pendidikan • Ekshumasi • Pengadilan Internasional • Pengadilan campuran dan domestik • Perlindungan saksi • Pelucutan senjata, Demobilisasi, Reintegrasi mengetahui pemulihan • Rehabilitasi, Kompensasi, Restitusi • Permintaan maaf aparat • Memperingati kembali • Reformasi Institusional • Lustrasi

Gambar 16: Skema Keadilan Transisional menurut Jonathan Sisson (Sumber: Sylvia Servaes dan Nicole Birtsch, 2008)

Proses politik dan hukum mekanisme keadilan transisional di atas tentu berdampak pada setiap individu masyarakat, termasuk kelompok anak, utamanya apabila mereka menjadi korban pelanggaran HAM di masa lalu Namun demikian, setiap terjadi proses pemeliharaan perdamaian, rekonsiliasi, dan restrukturisasi dalam rentang masa transisi di suatu negara, negara justru mengabaikan kebutuhan spesifik anak-anak dan tidak mendorong anak-anak untuk terlibat dalam proses-proses tersebut. Oleh karenanya, partisipasi korban di dalam proses transisi tersebut menjadi niscaya (conditio sina quanon), mengingat setiap anak memiliki pengalaman dan penerimaan yang berbeda akibat konflik bersenjata. Meskipun demikian, setiap terjadi proses pemeliharaan perdamaian, rekonsiliasi, dan restrukturisasi dalam rentang masa transisi di suatu negara, negara justru mengabaikan kebutuhan spesifik anak-anak dan tidak mendorong anak-anak untuk terlibat dalam proses-proses tersebut (Rachel Harvey, tanpa tahun: 65-66).

(8)

Satu pertanyaan yang bersifat mendasar adalah mengapa isu yang difokuskan pada hak-hak anak dalam proses keadilan transisional begitu terbatas. Padahal anak-anak lebih menderita dampak dari kejahatan atau pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Dalam konteks ini, apakah anak-anak secara khusus ditargetkan atau tidak sebagai elemen masyarakat yang berhak memperoleh keadilan. Apakah anak-anak memiliki hak untuk berpartisipasi terkait dengan proses dan mekanisme keadilan transisional yang tengah dibangun yang mempengaruhi kehidupan mereka? Apakah anak-anak juga berhak untuk mendapatkan ganti rugi untuk kesalahan yang dilakukan terhadap mereka? Pertanyaan mendasar ini sudah semestinya mendapatkan jawaban karena anak-anak sesungguhnya merupakan elemen masyarakat yang juga berhak mendapatkan akses mengawal proses transisi sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Oleh karena itu, mereka memiliki penting peran dalam proses ini. Pertanyaan tentang mengapa keadilan transisional harus memiliki dimensi khusus bagi anak-anak karena salah satu tujuan keadilan transisional adalah membuat negara sebagai tempat yang lebih baik untuk generasi mendatang.

Terkait dengan hal tersebut pada titik ini perspektif hak anak perlu dijalin dalam proses dan mekanisme pencarian bentuk keadilan transisional untuk memastikan bahwa proses pencarian bentuk keadilan transisional memberikan fokus pada hak-hak dan isu-isu anak-anak. Untuk tujuan ini, ada kebutuhan yang jelas untuk konsultasi dengan anak-anak dan pemangku kepentingan lain untuk menentukan tujuan dan aspirasi mereka dan untuk memastikan bahwa proses dan mekanisme yang ada responsif terhadap anak-anak (Alison Smith, 2010: 46-47).

Tujuan keadilan transisional, seperti yang diungkapkan dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB, adalah untuk memungkinkan masyarakat yang telah terkoyak oleh kekejaman pelanggaran HAM masa lalu memulihkan kemanusiaan mereka dan memberdayakan individu baik sebagai korban, saksi dan pelaku, dan dapat menceritakan pengalaman mereka serta setuju pada ukuran keadilan untuk menginformasikan masa depan mereka. Pada akhirnya, keadilan transisional berupaya untuk mengakhiri berulangnya kembali pelanggaran HAM di masa yang akan datang dan mewujudkan masyarakat yang aman, adil, dan damai. Artinya keadilan transisional mengacu pada sejumlah mekanisme atau proses yang dipergunakan untuk memastikan adanya tanggung jawab, memberikan keadilan, dan mewujudkan rekonsiliasi, khususnya ketika terjadinya kekerasan secara masif dan penyalahgunaan kekuasaan yang meluas di masa lalu. Melekat pada definisi ini transisional sifatnya sementara yang dirancang untuk menjembatani masa lalu dan masa kini, dari perang menjadi damai, dari pelanggaran HAM menuju perlindungan terhadap HAM, dari pemerintahan yang diktator menjadi demokratis.

(9)

Dalam konteks ini, terdapat konsensus bahwa keadilan transisional penting bagi kelompok anak karena mereka adalah anggota penting masyarakat. Setiap anak akan mengalami transisi menjadi orang-orang dewasa di masa depan nanti dan sudah dipastikan mereka yang akan mewarisi hasil transisi tersebut. Selain itu, secara demografis di banyak negara, anak-anak dan kaum muda jauh melebihi jumlah orang dewasa, maka dari itu mereka juga sudah dipastikan membutuhkan keadilan transisional agar pada suatu saat nanti anak-anak dan kaum muda menikmati tatanan yang damai, melindungi HAM, dan demokratis. Sudah dipastikan apapun kebijakan yang diambil oleh para politisi berdampak pada anak-anak karena mereka secara psikologis menggantungkan kehidupannya pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Dengan demikian, apabila kebijakan yang ditetapkan menutup akses bagi orang dewasa yang dilekati identitas tertentu tempat anak-anak bergantung untuk menikmati hak asasinya maka dampaknya akan dirasakan oleh anak-anak. Artinya setiap terjadi pelanggaran HAM akibat ditetapkannya suatu kebijakan maka sudah dapat dipastikan terjadi pula pelanggaran hak asasi anak.

Pendekatan keadilan transisional perlu disesuaikan untuk memenuhi situasi tertentu tetapi ini tidak berarti bahwa keadilan transisional sama untuk semua. Terdapat prinsip-prinsip dasar yang mengatur bagaimana keadilan itu harus diberikan, termasuk prinsip-prinsip yang berkaitan dengan keterlibatan dan partisipasi kelompok anak dan kaum muda selama masa transisi. Kelompok anak merupakan bagian dari komponen konstituen transisi keadilan sehingga para pembuat kebijakan dan para pembuat keputusan perlu merenungkan bagaimana mekanisme baru atau yang ada dapat secara efektif dan aman melibatkan kelompok anak dan kaum muda berdasarkan kepentingan terbaik mereka. Untuk itu, merancang mekanisme dan proses keadilan transisional berperspektif hak anak adalah salah satu cara utama yang digunakan untuk memenuhi harapan, aspirasi, dan hak-hak mereka selama dan setelah transisi. Oleh karenanya apabila perspektif anak-anak tidak diintegrasikan dalam proses dan mekanisme keadilan transisional maka kebutuhan anak-anak yang bersifat khusus dapat terkesampingkan (Alison Smith, 2010: 34-47).

(10)

Masa transisi di Aceh merupakan konteks kehidupan seluruh anak-anak Aceh. Artinya situasi politik tersebut menjadi pengalaman anak-anak yang akan membentuk karakter mereka di masa yang akan datang. Studi pendekatan ekologi dan pengaruhnya terhadap anak dilakukan oleh Bronfenbrener dan Garbarino. Hasil studi Bronfenbrenner dan Garbarino mengungkapkan bahwa pendekatan yang melihat lingkungan-lingkungan dengan aktor dan relasi antar aktor tersebut berpengaruh terhadap kehidupan anak-anak (Vachel W. Miller dan Friedrich W. Affolter, 2002). Melihat keterkaitan antara anak dengan lingkungan sekitar sesuai dengan pendekatan ekologis di atas maka dalam rangka menjamin perdamaian yang berkelanjutan, terciptanya keamanan, dan pembangunan suatu negara maka keterlibatan anak-anak dalam proses pembangunan perdamaian signifikan dilakukan. Mengingat keterlibatan tersebut terkait dengan permasalahan korban, kesaksian, dan pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu. Oleh karena itu, program kemanusiaan dan pembangunan, proses perdamaian, perjanjian perdamaian, dan proses pemeliharaan perdamaian harus menjadikan anak-anak sebagai titik perhatian serta lebih ditujukan bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana dimandatkan oleh KHA (Rachel Harvey, tanpa tahun: 65).

Di Aceh dalam mewujudkan keadilan transisional, mekanisme yang dipilih melalui pembentukan 2 mekanisme yaitu: (i) pembentukan KKR dan (ii) pengadilan HAM. Pembentukan KKR Aceh merupakan mandat MoU Helsinki sebagaimana tercantum pada angka 2.3 yaitu:

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi kebenaran dan rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

Mandat MoU pembentukan KKR tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 229 ayat (2) menetapkan bahwa:

KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional.

Selain memandatkan pembentukan KKR Aceh, MoU Helsinski juga memandatkan dibentuknya Pengadilan HAM. Mandat ini kemudian kembali dipertegas melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Pasal 228. Meskipun demikian, proses keadilan transisional sebagai upaya rekonsiliasi dan pemeliharaan perdamaian yang berkelanjutan di Aceh seperti halnya dengan upaya serupa di belahan dunia yang lain keterlibatan anak dalam proses tersebut masih sangat terbatas. Melihat

(11)

masih minimalnya keterlibatan anak dalam proses dan mekanisme keadilan transisional maka upaya untuk menyediakan ruang serta akses partisipasi bagi kelompok anak dan kaum muda untuk menyuarakan aspirasi politiknya sudah seharusnya diakomodasi.

Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun 2018 yang dibuat oleh kelompok anak dan kaum muda untuk mengkonstruksikan masa depan Aceh pada 2018 dapat diletakkan sebagai bagian integral proses transisi Aceh menuju perdamaian yang berkelanjutan, berkeadilan, dan demokratis. Dalam hal ini skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengembangan kebijakan dan transformasi konflik di berbagai tingkat baik negara, pemerintah, daerah, dan masyarakat sipil.

Perencanaan skenario termasuk sebagai bagian dari 5 elemen inti sistem transformasi konflik menurut pembagian yang diungkapkan oleh Oliver Wils, et. al. (2006: 31) dari Berghof Foundation for Peace. Menurut pandangan mereka 5 elemen inti sistem transformasi konflik terdiri dari:

1. Sistem analisis konflik dan pemantauan konflik (systemic conflict analysis and conflict monitoring) ;

2. Intervensi sistemik perencanaan strategis (strategic planning of systemic interventions);

3. Perjanjian dengan pemangku kepentingan kunci (engagement with key stakeholders);

4. Mobilisasi pelaku perubahan perdamaian (mobilisation of agents of peaceful change);

5. Menciptakan dalam imajinasi solusi yang berkelanjutan (creativity in the imagination of sustainable solutions).

Oliver Wils, et. al. (2006: 31) selanjutnya mengatakan bahwa 2 elemen pertama yakni, (i) analisis konflik sistemik dan pemantauan konflik; dan (ii) intervensi sistemik perencanaan strategis terkait dengan aspek metodologis analisis serta perencanaan intervensi. Sementara 3 elemen inti yang lainnya diarahkan bagi semua intervensi pihak ketiga, yakni:

1. Proses dan dimensi hubungan: bagaimana dan atas dasar apa kita bekerja dengan aktor konflik ? (Keterlibatan dengan pemangku kepentingan kunci);

2. Kelompok sasaran tindakan kita (mobilisasi agen perubahan perdamaian);

3. Pengelolaan konstruktif substantif permasalahan dan permasalahan itu sendiri (kreativitas dalam imajinasi solusi yang berkelanjutan).

(12)

Perencanaan skenario merupakan strategi dasar dari perencanaan strategis. Perencanaan skenario terkait dengan analisis konflik sistematik yang menyediakan proyeksi untuk membangun masa depan dengan perspektif yang beragam. Hasil dari perencanaan skenario potensial untuk didialogkan dengan para pemangku kepentingan. Langkah-langkah strategis diperlukan untuk mengupayankan skenario yang diinginkan dapat direalisasikan. Di samping itu, perencanaan skenario dapat dipergunakan sebagai piranti untuk melakukan analisis kontekstualitas transformasi konflik sebagaimana diungkapkan oleh Simon Fisher & Lada Zimina (2009:21).

Kotak 11: Lima elemen utama transformasi konflik sistemik

Analisis Konflik Sistemik dan Pemantauan Konflik Perencanaan Strategis dari Intervensi Sistemik Pelibatan Pemangku Kepentingan Kunci Mobilisasi Agen Perubahahan Perdamaian Kreativitas Dalam Membangun Imajinasi Suatu Solusi yang Berkelanjutan

Lima Elemen Utama Transformasi Konflik yang Sistemik

Sumber: Oliver Wils, et. al. (2006)

B. MENGAPA OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA?

Pasca konflik, perhatian utama cenderung hanya tertuju pada siapa yang disebut sebagai korban generasi pertama yang telah menjadi korban selama hidup mereka. Namun demikian anak-anak dan cucu-cucu mereka akan selalu membawa konsekuensi dari apa yang terjadi dan yang mungkin mereka rasakan manakala mereka menjadi seperti korban karena harus merasakan luka yang mendalam dan duka cita. Generasi kedua, terutama, cenderung akan membawa jejak pengalaman masa lalu menuju masa kedewasaan. Hal ini merupakan warisan permasalahan yang dapat mengancam masa depan suatu masyarakat (David Bloomfield, Teresa Barnes, & Luc Huyse, 2003: 55). Dengan demikian,dalam konteks pengembangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai salah model mekanisme keadilan transisi juga harus melibatkan anak dalam proses

Gambar

Gambar 16: Skema Keadilan Transisional menurut Jonathan Sisson  (Sumber: Sylvia Servaes dan  Nicole Birtsch, 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Di bagian barat dari kepulauan Indonesia, orang Austro-Melanesoid yang merupakan nenek moyang dari orang Wajak tersebut, mempunyai suatu kebudayaan yang sama

Adapun variabel-variabel akuntansi yang digunakan adalah dividend payout, asset size, earnings variability, total asset turn over, dan asset growth, dengan tujuan untuk

Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti lainnya yang ingin mengkaji lebih mendalam pada fokus yang lain untuk memperkaya

PERTAMA BERKALA KHUSUS. NKK NK3 NP I NP

perpindahan peserta didik dari sekolah di luar lingkungan SKPD atau sekolah yang tidak diselenggarakan dan tidak dibina oleh Pemerintah Indonesia ke sekolah dalam

Kegiatan  assurance  merupakan  penilaian  objektif  yang  dilakukan  auditor  internal  atas  bukti  untuk  memberikan  pendapat  independen  mengenai  tata 

Namun demikian sistem ini memiliki sisi buruknya yaitu dengan diberikannya ambang batas tertentu bagi calon anggota parlemen yang akan duduk, maka bagi partai yang secara

Jadual 5 menyatakan bahawa dalam dunia teknologi kini, komputer telah digunakan sebagai medium untuk melakukan kerosakan dengan skala yang lebih besar termasuklah