PREVALENSI DAN EVALUASI INTERAKSI FARMAKOKINETIK RESEP RACIKAN PADA LIMA PUSKESMAS DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE
DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
I Dewa Ayu Dwi Komaladewi
108114026
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PREVALENSI DAN EVALUASI INTERAKSI FARMAKOKINETIK RESEP RACIKAN PADA LIMA PUSKESMAS DI KABUPATEN SLEMAN
PERIODE DESEMBER 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
I Dewa Ayu Dwi Komaladewi
108114026
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Tuhan tidak akan memb
erikan cobaan melebihi batas
kemampuan umatnya”
Sebuah karya kecil kupersembahkan kepada :
Ida Shang Hyang Widhi Wasa
sebagai wujud rasa syukurku
Ibu Budhiari dan Ajunk Kawiyasa
, sebagai wujud baktiku,
Kakakku
Satya
dan
Sinta
Adikku, sebagai tanda sayangku,
Joseph Singgih Dwilaksono
yang selalu menghadirkan hujan dan
pelangi dalam hidupku
Semua teman Farmasi USD 2010 dan almamater tercinta
vi
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Ide Shang Hyang
Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi dan
Evaluasi Interaksi Farmakokinetik Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
membantu, memberikan dukungan, bimbingan, kritik, dan saran selama proses
penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., PhD. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma sekaligus selaku Dosen Pembimbing dan Dosen
Penguji yang telah banyak memberi bimbingan, arahan, dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini sehingga dapat menjadi lebih baik.
2. Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., Apt., M.Sc. selaku Dosen Penguji yang
telah memberikan masukan yang berarti terhadap skripsi ini.
3. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan yang berarti terhadap skripsi ini.
4. Kepala Puskesmas Depok I serta Asisten Apoteker Puskesmas Depok I : Ibu
vii
5. Kepala Puskesmas Mlati II serta Apoteker Puskesmas Mlati II : Ibu Chrisna
Wardani yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.
6. Kepala Puskesmas Tempel I serta Asisten Apoteker Puskesmas Tempel I :
Ibu Ilmi Jazmiati yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.
7. Kepala Puskesmas Seyegan serta Asisten Apoteker Puskesmas Seyegan : Ibu
Noer Hidayati yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.
8. Kepala Puskesmas Kalasan serta Apoteker Puskesmas Kalasan : Nur Djanah
Alboneh yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.
9. Rekan-rekan tim skripsi : Harris Kristanto Setiadi, Lenny Aftalina Letlora,
Lelo Susilo, Vera Juniarta dan Septi Martiani Pertiwi atas segala kerjasama,
bantuan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.
10. Sahabat-sahabatku : Harris, Ayu, Yosri, Ci Puji, Rotua, Vivo, Gita, Sugi,
Hans, Intan, Lenny, Lelo dan Vera atas motivasi, kebersamaan dan
persahabatannya.
11. Seluruh dosen dan teman-teman FSM A 2010, FKK A 10 serta seluruh
angkatan 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
12. Semua pihak yang penulis tidak dapat menyebutkan satu-persatu yang telah
ikut membantu selama penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi
informasi bagi pembaca.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
x
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A.Pengertian Resep ... 7
1. Definisi resep ... 7
2. Resep racikan dan manfaat resep racikan ... 8
3. Kombinasi obat ... 8
B.Pola Resep Racikan ... 9
C.Interaksi Obat ... 11
1. Definisi interaksi obat ... 11
2. Dampak klinis interaksi obat ... 11
3. Interaksi farmakokinetik ... 12
D.Keterangan Empiris ... 20
BAB III. METODE PENELITIAN ... 21
A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B.Variabel Penelitian ... 21
J. Keterbatasan Penelitian ... 32
xi
A.Prevalensi Resep Racikan ... 33
B.Pola Peresepan Racikan ... 35
C.Interaksi Farmakokinetik Resep Racikan ... 42
D.Pendapat Apoteker dan Asisten Apoteker ... 44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
A.Kesimpulan ... 48
B.Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
LAMPIRAN ... 53
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I. Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 11
Tabel II. Pemetaan Puskesmas Berdasarkan Kecamatan ... 27
Tabel III. Kelas Terapi dan Jenis Obat Resep Racikan ... 35
Tabel IV. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Dua
Komposisi Racikan . ... 37
Tabel V. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Tiga
Komposisi Racikan . ... 38
Tabel VI. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Empat
Komposisi Racikan . ... 38
Tabel VII.Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Dua
Komposisi Racikan dan Non Racikan . ... 39
Tabel VIII.Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Tiga
Komposisi Racikan dan Non Racikan . ... 39
Tabel IX. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Empat
Komposisi Racikan dan Non Racikan . ... 40
Tabel X. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian
Racikan Tunggal dan Racikan Campuran . ... 40
Tabel XI. Persentase Komposisi Resep Racikan …………... 43
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Persentase Resep Racikan dan Non Racikan pada Lima
Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013 ... 33
Gambar 2. Persentase Masing-Masing Resep Racikan dan Non Racikan
pada Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember
2013 ... 34
Gambar 3. Penggunaan Komposisi Resep Racikan disertai Non Racikan
pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Isian Permohonan Ijin Pra Penelitian ... 54
Lampiran 2. Surat Rekomendasi Kantor Kesatuan Bangsa ... 55
Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian dari BAPPEDA ... 56
Lampiran 4. Sura Permohonan Informasi Data Dinas Kesehatan ... 58
Lampiran 5. Informed Consent Puskesmas Seyegan ... 59
Lampiran 6. Informed Consent Puskesmas Mlati II ... 60
Lampiran 7. Informed Consent Puskesmas Depok I ... 61
Lampiran 8. Informed Consent Puskesmas Tempel I ... 62
Lampiran 9. Informed Consent Puskesmas Kalasan ... 63
Lampiran 10.Resep Racikan Puskesmas Seyegan ... 64
Lampiran 11.Resep Racikan Puskesmas Mlati II ... 67
Lampiran 12.Resep Racikan Puskesmas Depok I ... 72
Lampiran 13.Resep Racikan Puskesmas Tempel I ... 77
Lampiran 14.Resep Racikan Puskesmas Kalasan ... 81
Lampiran 15.Persentase Komposisi Resep Racikan ... 85
Lampiran 16.Wawancara Puskesmas Seyegan ... 90
Lampiran 17.Wawancara Puskesmas Mlati II ... 91
Lampiran 18.Wawancara Puskesmas Depok I ... 92
Lampiran 19.Wawancara Puskesmas Tempel I ... 93
Lampiran 20.Wawancara Puskesmas Kalasan ... 94
xv
INTISARI
Obat racikan merupakan bentuk sediaan kefarmasian yang dibuat dengan cara mencampurkan, menggabungkan, atau mengubah bentuk obat untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Menurut beberapa ahli, obat racikan dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Hal inilah yang menjadi dasar tujuan untuk mengetahui prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013.
Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat deskriptif cross sectional. Jenis data yang digunakan bersifat retrospektif, pemilihan sampel menggunakan metode cluster random.
Prevalensi resep racikan pada lima puskesmas adalah sebanyak 4,8% dari 643 resep racikan. Jenis obat yang sering diresepkan adalah klorpeniramin maleat sebanyak 145 (33%) dengan kelas terapi antihistamin. Pasien pengguna racikan adalah anak-anak dengan kisaran umur 2 bulan - 9 tahun. Kombinasi resep racikan yang paling sering diresepkan adalah klorpeniramin maleat dan salbutamol sebanyak 26 (15%) dengan 2 kombinasi obat. Bentuk sediaan racikan yang paling sering digunakan adalah pulveres sebanyak 169 (96%) dengan rute pemberian oral. Tidak ditemukan interaksi farmakokinetik yang terjadi. Apoteker dan asisten apoteker berpendapat bahwa penggunaan obat racikan masih dapat digunakan. Permasalahan interaksi obat pada resep racikan dapat diminimalkan dengan adanya komunikasi antara apoteker dengan dokter mengenai komposisi campuran obat pada resep racikan.
Kesimpulan penelitian ini adalah prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman sebanyak 4,8% dan tidak ditemukannya interaksi farmakokinetik pada kombinasi resep racikan periode Desember 2013.
xvi
ABSTRACT
Compounded drug is a pharmaceutical dosage form that made by
“combines, mixes, or alters ingredients to create a medication tailored to the needs
of an individual patients” in response to a prescription from a health care provider.
According to some experts, personalized medicine may cause some problems because of drug concoction made by mixing several drugs into the composition of pharmaceutical dosage forms. This is the basic aim to determine the prevalence and evaluation of pharmacokinetic interactions compounded prescription at five health centers in Sleman regency period in December 2013.
This study includes the design of non-experimental research is a descriptive cross sectional study. Based on the type of data used, this study is retrospective, sample selection in this study using cluster random.
Prevalence of compounded prescription at five health centers is 4,8% of the 643 total compounded prescription. Types of drug are often prescribed as 145
chlorpheniramin maleate (33%) with class antihistamine therapy. Patients concoction users are children with the age range of 2 months - 9 years. The combination of compounded prescription is the most commonly prescribed
clorpheniramin maleate and salbutamol were 26 (15%) with 2 drug combinations. Concoction dosage forms are most often used is pulveres were 169 (96%) with oral route. Found no pharmacokinetic interactions that occur. Pharmacists and assistant pharmacists argue that the use of personalized medicine can still be used. Problems compounded prescription drug interactions can be minimized in the presence of communication between pharmacists with a doctor about prescribed drug interaction problems was also needed.
The conclusion of this study is the prevalence of compounded prescription at five health centers in Sleman is 4,8% and not finding pharmacokinetic interactions in combination compounded prescription period in December 2013.
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Pada awalnya obat racikan merupakan salah satu bentuk sediaan yang
digunakan di seluruh dunia. Obat racikan merupakan bentuk sediaan kefarmasian
yang digunakan untuk memberikan atau menyediakan obat sesuai kondisi dan
kebutuhan pasien. Obat racikan dibuat dengan menggerus atau mencampurkan
sediaan tablet yang biasanya terdiri atas sedikitnya dua macam obat. Bentuk obat
racikan bisa berupa bentuk padat, bentuk cair, bentuk injeksi, atau bentuk larutan
inhalasi (Glassgold, 2013).
Tahun 1930 hingga tahun 1940, sekitar 60% dari keseluruhan obat telah
diracik. Tahun 1970 di luar negeri penggunaan resep racikan hanya 1%, kurang
lebih 30-40 juta resep telah diracik setiap tahunnya (Than, 2009). Studi di Negara
bagian Illinois, Missouri, Kansas dan Iowa, tahun 2005 ditemukan bahwa jumlah
resep racikan yang dibuat sejumlah 2,3% dari keseluruhan resep yang ada
(McPherson, et al., 2006).
Di Indonesia bentuk obat racikan sering diresepkan oleh dokter. Alasan
dokter meresepkan resep racikan adalah: a). dapat menyesuaian dosis pemberian
dengan berat badan anak, b). biaya yang relatif lebih murah, c). dapat menutupi
rasa obat yang tidak enak, d). tidak menimbulkan kekhawatiran pasien bila
komponen obat terlalu banyak (Setiabudy, 2011). Wiedyaningsih (2003),
menemukan bahwa penggunaan resep racikan di apotek-apotek di kotamadya
oleh Cahyo (2008), ditemukan terdapat sebanyak 78% atau 513 jumlah
penggunaan resep racikan untuk pediatri pada periode Juli 2007 di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta.
Menurut beberapa ahli, obat racikan dapat menimbulkan beberapa
permasalahan. Salah satu masalah potensial pada obat racikan adalah
kemungkinan terjadinya interaksi antara obat yang diracik dalam satu bentuk
sediaan farmasi. Hal ini disebabkan karena obat racikan dapat dibuat dengan cara
mencampurkan lebih dari satu macam obat menjadi satu bentuk sediaan farmasi.
Interaksi obat dapat terjadi pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi yang dapat mempengaruhi kerja obat di dalam tubuh (Collet and Aulton,
1990). Penelitian yang dilakukan oleh Piliarta, dkk. (2009), di rumah sakit swasta
di Kabupaten Gianyar Bali ditemukan bahwa terjadi sebanyak 21 kejadian atau
sebesar 45,65% angka kejadian interaksi obat dari 96 resep racikan. Berdasarkan
penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dan
melihat potensi terjadinya interaksi pada resep racikan. Hal lain yang juga
mendukung dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui prevalensi
penggunaan resep racikan khususnya pada lima pusksmas di Kabupaten Sleman.
Penelitian ini terfokus pada penggunaan resep racikan, meliputi jumlah
resep racikan, pola resep racikan, interaksi farmakokinetik dan wawancara
terhadap apoteker dan asisten apoteker untuk mengetahui pendapat mereka
mengenai penggunaan resep racikan. Puskesmas dipilih sebagai tempat penelitian
ini karena puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama
kecamatan pada setiap kabupaten (Sulastomo, 2007). Hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai tambahan informasi terkait prevalensi resep racikan di
Kabupaten Sleman khususnya penggunaan resep racikan pada lima puskesmas di
Kabupaten Sleman periode Desember 2013.
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, permasalahan
yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini meliputi :
a. Berapa prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten
Sleman periode Desember 2013?
b. Seperti apakah pola peresepan resep racikan?
c. Adakah interaksi farmakokinetik obat yang terjadi pada resep racikan dan
dengan non racikan?
d. Seperti apakah pendapat dari apoteker dan asisten apoteker terkait
penggunaan resep racikan?
2. Keaslian penelitian
Penelitian mengenai prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik
resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember
2013 belum pernah dilakukan. Penelitian terkait dengan penggunaan resep
racikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, akan tetapi terdapat
perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain yaitu dalam hal tujuan penelitian,
Beberapa penelitian yang terkait/tentang penggunaan resep racikan
antara lain :
a. Evaluasi Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli
2007 (Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Cerna) yang diteliti oleh
Marselin (2008). Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif
evaluatif. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan obat racikan sebesar 78% dan obat bukan racikan sebesar
22% di instalasi farmasi rawat jalan, sedangkan di bangsal anak
penggunaan obat racikan sebesar 52% dan bukan racikan sebesar 48%.
Terdapat 5 jenis racikan dengan 209 penggunaan untuk pasien pediatri
yang berpotensi untuk terjadi interaksi obat.
b. Evaluasi Komposisi, Indikasi, Dosis, dan Interaksi Obat Resep Racikan
untuk Pasien Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Juli 2007, yang
diteliti oleh Cahyo (2008). Rancangan penelitian yang digunakan adalah
deskriptif evaluatif. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa
sebanyak 54 kasus yang paling banyak menerima satu jenis racikan,
dengan jenis racikan paling banyak parasetamol dan fenobarbital.
Interaksi obat terjadi sebanyak 24 kasus, obat tanpa indikasi sebanyak 31
kasus, dosis terlalu tinggi sebanyak 2 kasus, dan dosis terlalu rendah
sebanayk 11 kasus.
c. Evaluasi Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit
(Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Nafas) yang dilakukan oleh
Wibowo (2008). Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif
evaluatif. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan obat racikan sebanyak 54,5% dengan jenis racikan yang
paling sering digunakan adalah parasetamol dan fenobarbital 39,4%.
Penggunaan obat non racikan terdiri dari 8 kelas terapi. Kelas terapi yang
paling banyak digunakan adalah obat saluran cerna 91,9%.
3. Manfaat penelitian
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain :
a) Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya di
puskesmas Kabupaten Sleman mengenai prevalensi, pola, potensial
interaksi farmakokinetik dan pendapat apoteker dan asisten apoteker
terkait penggunaan resep racikan agar tetap meningkatkan mutu dan
kualitas pelayanan.
b) Bagi Calon Peneliti
Sebagai tambahan informasi dan referensi pengembangan
penelitian prevalensi, pola, potensial interaksi farmakokinetik dan
pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan.
c) Bagi Peneliti
Sebagai sarana belajar untuk mengintegrasikan pengetahuan dan
mengetahui prevalensi, pola, potensial interaksi farmakokinetik dan
pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan
pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan
evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima puskesmas di
Kabupaten Sleman periode Desember 2013.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian adalah untuk melihat hasil penelitian mengenai
masalah berikut:
a. Mengetahui prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten
Sleman periode Desember 2013.
b. Menggambarkan pola peresepan dari resep racikan.
c. Mengetahui terjadinya potensial interaksi farmakokinetik pada resep
racikan dan dengan non racikan.
d. Mengeksplorasi pendapat dari apoteker dan asisten apoteker terkait
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Pengertian Resep 1. Definisi Resep
Menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 resep adalah
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada beberapa jenis resep, yaitu:
a. Resep standar (R/. Officinalis)
Yaitu resep yang komposisinya telah dibakukan dan dituangkan ke
dalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Penulisan resep
sesuai dengan buku standar
b. Resep magistrales (R/. Polifarmasi)
Yaitu resep yang sudah dimodifikasi atau diformat oleh dokter (resep
racikan), bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam
pelayanannya harus diracik terlebih dahulu
c. Resep medicinal
Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek dagang maupun
d. Resep obat generik
Yaitu penulisan resep obat dengan nama generik dalam bentuk
sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak
mengalami peracikan (Jas, 2009).
Obat diresepkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dengan
mengobati penyakit, mengurangi atau mengeliminasi gejala penyakit,
menghentikan atau memperlambat proses penyakit, atau mencegah penyakit
atau gejala sejak awal kejadian (Hepler and Strand,1990).
2. Resep Racikan dan Manfaat Resep Racikan
Obat racikan disebut juga resep magistrales dibuat dengan
menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet yang biasanya terdiri
atas sedikitnya dua macam obat (Glassgold, 2013). Menurut U.S. Food and
Drug Administration (2007), sediaan racikan diresepkan bermanfaat untuk
pasien yang tidak dapat menelan tablet, sejumlah dosis dapat disesuaikan
terhadap pasiennya, dapat diperuntukkan kepada pasien yang tidak dapat
menerima rasa tidak enak dari obat.
3. Kombinasi Obat
Menurut American Medical Association (AMA) tahun 1994, peresepan
kombinasi obat secara umum perlu memperhatikan beberapa hal, meliputi :
a. Mengandung tidak lebih dari 3 macam obat dengan aksi farmakologis
yang berbeda dan tidak boleh mengandung lebih dari satu macam obat
b. Setiap komponen aktif terdapat dalam dosis yang efektif dan aman serta
mempunyai efek terapetik.
c. Kombinasi obat dapat diberikan untuk mengobati penyakit yang
kompleks.
d. Kombinasi obat mempunyai nilai terapetik untuk mengatasi gejala sesuatu
dengan tipe dan tingkat keparahannya.
e. Interaksi obat yang merugikan antara komponen sudah diperhitungkan.
B. Pola Resep Racikan
Menurut World Health Organization (2002), pengobatan yang rasional
adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan
periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien
maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di
atas adalah pola pengobatan tidak rasional. Berikut adalah pola resep racikan
yaitu:
a. Jenis obat
Obat ialah suatu bahan yang digunakan dalam menyembuhkan penyakit
atau gejala penyakit. Ada bermacam-macam jenis obat yang dapat digunakan
sebagai obat racikan, kecuali jenis obat bersalut yang tidak dianjurkan
digunakan sebagai komposisi obat racikan. Pemilihan jenis obat biasanya
disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Nugroho, 2012). Ada berbagai macam
satunya yaitu efedrin, parasetamol, salbutamol, dexametason, dll (Depkes RI,
2008).
b. Kelas terapi
Kelas terapi adalah suatu penggolongan obat baik sintesis maupun herbal
berdasarkan fungsinya yang khas dan spesifik dalam efek farmakologi.
Penggolongan obat ini bertujuan agar mempermudah dalam klasifikasi serta
pemahaman dalam hal mekanisme aksi dari obat yang bekerja pada
reseptor-reseptor tubuh guna menghasilkan sebuah efek farmakologi (Nugroho, 2012).
c. Pasien penerima obat racikan
Anak-anak dan lansia merupakan golongan usia yang sangat rentan
terserang penyakit. Dokter sering kali memberikan obat racikan untuk pasien
anak-anak dan lansia karena memudahkan pemberian obat yang sesuai
kebutuhan pasien dan sesuai dengan pelayanan kesehatan (Danish, 1996).
d. Bentuk obat racikan
Bentuk obat racikan dibuat berdasarkan tujuan penggunaan obat
sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasien. Bentuk obat racikan yang biasa
dijumpai antara lain seperti pulvis, pulveres, kapsul, larutan, suspensi, emulsi,
salep, suppositoria, krim dan gel (Syamsuni, 2006).
e. Rute pemberian
Rute pemberian adalah jalur pemberian obat. Jalur pemberian obat
tersebut disesuaikan berdasarkan bentuk sediaan yang digunakan. Obat dapat
diberikan melalui berbagai macam rute pemberian yang dikehendaki pasien.
enteral (oral, sublingual, rektal), parenteral (intra vaskular, IM, SC), lain-lain
(inhalasi, intranasal, intratekal, topikal, transdermal) (Syamsuni, 2006).
C. Interaksi Obat 1. Definisi Interaksi Obat
Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang
diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih
berubah. Efek yang terjadi bisa meningkatkan atau mengurangi aktifitas
sehingga menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Interaksi
bisa terjadi karena pencampuran obat satu dengan obat yang lainnya, obat
dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan obat
injeksi dengan kandungan infus (Laurence, 1997).
2. Dampak klinis interaksi obat
Interaksi obat dapat mempengaruhi kondisi klinis pasien. Dampak klinis
ini dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi dari interaksi obat
yang ditimbulkan. Tingkat keparahan akibat interaksi obat tersebut dapat
dilihat pada table I.
Tabel I. Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Tatro, 2001).
Tingkat Skala Interaksi Obat Tingkat
Signifikan Keparahan Laporan/Bukti 1 Berat (major) Terbukti 2 Sedang (moderat) Terbukti 3 Ringan (minor) Terbukti 4 Berat/Sedang
(major/moderat) Mungkin terjadi 5 Ringan (minnor) Mungkin terjadi
Derajat keparahan akibat interaksi obat diklasifikasikan menjadi tiga
tingkat keparahan, yaitu ringan/minor, sedang/moderate, dan berat/major.
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor apabila interaksi
terjadi tetapi tidak mempengaruhi tujuan terapi secara signifikan, akibat
dari interaksi obat tidak diketahui dan tidak membutuhkan terapi tambahan
(Tatro, 2001).
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari
bahaya potensial terjadi pada pasien. Potensial bahaya yang terjadi
tergantung dari kondisi klinis pasien. Kondisi klinis pasien mempengaruhi
efek interaksi obat sehingga mempengaruhi proses penyembuhan, mulai
dari membutuhkan terapi tambahan, rawat inap di rumah sakit, sampai
memperlama proses penyembuhan (Tatro, 2001).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika potensi yang
dapat menimbulkan kerusakan organ permanen sampai menyebabkan
kematian pada pasien tinggi (Tatro, 2001).
3. Interaksi Farmokokinetik
Interaksi farmakokinetik adalah perubahan farmakokinetik suatu obat
karena adanya interaksi dengan obat lain di dalam tubuh. Interaksi
farmakokinetik dapat terjadi akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada
Interaksi yang terjadi antara lain dapat mengubah salah satu kerja dari
komposisi obat yang dicampur, meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi
efektifitas obat atau menyebabkan efek samping yang tidak terduga. Interaksi
farmakokinetik dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok :
a. Mempengaruhi absorpsi
Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran
cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi
selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui
transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi
secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar
tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif
terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion
dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi
obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat
dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati
membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan
tidak dapat berdifusi (Harkness and Richard, 1989).
Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan
lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek.
1. Efek perubahan pH
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid,
akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut
dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian percepatan
disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi,
suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa
obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran
cerna, sehingga mengurangi absorpsi. Berkurangnya keasaman lambung
oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam
sehingga meningkatkan bioavailabilitas (Harkness and Richard, 1989).
Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam
untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak
memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik,
penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol)
(Harkness and Richard, 1989).
2. Pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat dan adsorpsi
Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin,
enoksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan
sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+,
Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan
penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas
dan efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini
interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan
antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon
(Harkness and Richard, 1989).
3. Perubahan mortilitas gastrointestinal
Kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,
obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat
mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat
pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol
(asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya
(Baxter and Karen, 2008).
4. Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein
transporter obat. Transporter obat yang terkarakteristik paling baik
adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan
obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat
mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Baxter and Karen, 2008).
b. Mempengaruhi distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke
tempat kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh
dan atau reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada
berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak
mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat
jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi tempat untuk
obat-obat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat-obat. Obat-obat-obat yang sangat
larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturate
(Harkness and Richard, 1989).
Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein
darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas
untuk berikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB :
plasma protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan
persen obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi
tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas,
aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang terikat protein
digunakan bersama-sama, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang
sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan
dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam
darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain,
akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi melewati
berbagai jaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas
atau bentuk aktif akan lebih tinggi. Obat-obat yang cenderung berinteraksi
pada proses distribusi adalah obat-obat yang :
a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)
b. terikat pada jaringan
c. mempunyai volume distribusi yang kecil
e. mempunyai rentang terapetik yang sempit
f. mempunyai onset aksi yang cepat
g. digunakan secara intravena.
Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat
lain dari ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon,
sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid (Harkness and Richard, 1989).
c. Mempengaruhi metabolisme
Obat akan melewati membran plasma menuju reseptor dalam bentuk
larut lemak untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh. Metabolisme
dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air
yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal.
Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan
II. Metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. Oleh
enzim mikrosomal hati yang berada di endotelium, menghasilkan
metabolit obat yang lebih larut dalam air. Metabolisme fase II, obat
bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat,
dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air.
Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fase metabolisme di atas
hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat
yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada
Berikut adalah beberapa interaksi akibat gangguan metabolisme antara
lain:
1. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang
terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital
meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas
antikoagulannya. Peningkatan dosis warfarin perlu dilakukan pada
kasus ini, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin
harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai
alternatif dapat digunakan sedatif selain barbiturate, misalnya golongan
benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme
obat-obat lain seperti hormon steroid (Harkness and Richard, 1989).
2. Penghambatan metabolisme
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan
dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang
dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat
melalui penghambatan enzim kasantin oksidase, yang memetabolisme
beberapa obat yang potensial toksik seperti merkaptopurin dan
azatioprin. Penghambatan kasantin oksidase dapat secara bermakna
meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama
alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga
d. Mempengaruhi ekskresi ginjal
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi
lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri
renal, mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul
kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa
obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti
protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati
bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat
memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel
tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi)
untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi
aktif tubuli ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal
(Harkness and Richard, 1989).
1. Perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa
3-7,5) sebagai besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang
tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus sehingga akan tetap dalam
urin dan akan dikeluarkan dari tubuh. Dengan demikian, perubahan pH
yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi,
meningkatkan hilangnya obat (Baxter and Karen, 2008).
2. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
Obat yang bekerja pada sistem transport aktif yang sama di tubulus
probenesid mengurangi ekskresi penisilin. probenesid menghambat
sekresi ginjal akibat meningkatnya protein transporter pada ginjal
(Baxter and Karen, 2008).
3. Perubahan aliran darah ginjal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, maka
ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Baxter and Karen,
2008).
D. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang prevalensi
dari resep racikan, pola dari resep racikan, interaksi farmakokinetik, dan pendapat
apoteker dan asisten apoteker terhadap penggunaan resep racikan pada lima
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep
racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013
termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat
deskriptif cross sectional.
Penelitian ini disebut penelitian non ekperimental karena hanya
melakukan pengamatan terhadap sejumlah ciri (variabel) yang ada pada objek
penelitian tanpa adanya manipulasi atau intervensi dari peneliti. Penelitian ini juga
termasuk penelitian deskriptif karena pada penelitian ini menggambarkan kejadian
atau fenomena yang terjadi tanpa menganalisis bagaimana dan mengapa
fenomena tersebut terjadi. Rancangan penelitian cross sectional karena hanya
melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu.
Berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini bersifat retrospektif karena
data yang digunakan diambil berdasarkan data terdahulu/lampau (Saryono, 2011).
B. Variabel Penelitian
1. Prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode
Desember 2013
2. Pola peresepan resep racikan
3. Interaksi farmakokinetik resep racikan
C. Definisi Operasional
1. Resep racikan adalah permintaan (R/) yang berisikan nama obat, dimana obat
tersebut akan dibuat dengan cara merubah bentuk sediaan semula menjadi
bentuk sediaan farmasi yang lain (misal: tablet dirubah bentuk sediaannya
menjadi serbuk) yang disiapkan/diracik di instalasi/bagian obat pada lima
puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013. Contoh resep
racikan:
2. Resep non racikan adalah permintaan (R/) yang berisikan nama obat, dimana
obat tersebut tidak dibuat dengan cara merubah bentuk sediaan semula
menjadi bentuk sediaan farmasi yang lain. Contoh resep non racikan :
R/ Parasetamol 500 mg No.X
S 3.d.d. Tab. I
3. Racikan campuran adalah racikan dengan komposisi dua obat atau lebih.
Racikan tunggal adalah racikan dengan komposisi hanya satu obat.
4. Lembar resep adalah catatan yang berisikan identitas pasien berupa nama,
umur dan permintaan obat yang ditulis oleh dokter. Dalam satu lembar resep
dapat berisi resep racikan dan resep non racikan, misalnya dalam satu lembar
resep untuk pasien A terdapat 3 peresepan (R/1; R/2; R/3), dimana R/1
merupakan resep racikan tunggal dan R/2 merupakan resep racikan campuran,
lembar resep sebanyak 2 permintaan, dan jumlah total permintaan pada satu
lembar resep adalah 3 permintaan.
5. Prevalensi resep racikan adalah jumlah resep racikan bulan Desember 2013
(racikan tunggal dan racikan campuran) dibagi dengan total jumlah resep
bulan Desember 2013 (resep racikan dan non racikan) dikali seratus persen.
6. Pola resep racikan yang dimaksudkan adalah gambaran penggunaan obat
racikan meliputi jenis obat (misal: vitamin, parasetamol, chlorpheniramin
maleat, glyceryl guaiacolate, salbutamol, dll.); kelas terapi (misal: obat
saluran nafas, antihistamin, mempengaruhi nutrisi, obat penurun demam,
antibiotik, kortikosteroid, obat saluran cerna, dan lain-lain); pasien pengguna
(misal: anak-anak, dewasa); kombinasi racikan (misal: 2 komposisi obat, 3
komposisi obat, 4 komposisi obat, dan lain-lain); bentuk sediaan (misal:
pulvis, pulveres, kapsul, larutan, suspensi, emulsi, salep, suppositoria, krim
dan gel); dan rute pemberian seperti enteral (misal: oral, sublingual, rektal),
parenteral (misal: intra vaskular, IM, SC), lain-lain (misal: inhalasi, intranasal,
intratekal, topikal, transdermal). Kategori jenis obat dan kelas terapi
diidentifikasi dengan menggunakan bantuan pustaka acuan dari Depkes RI
(2008), dan Lacy et al. (2006).
7. Interaksi obat adalah reaksi antara obat dengan obat lainnya di dalam tubuh
maupun yang dapat mempengaruhi kerja obat jika digunakan bersamaan pada
pengobatan dalam bentuk racikan dan non racikan. Interaksi yang dievaluasi
pustaka acuan yang ditulis oleh Tatro (2007), Stockley (2010), Zucchero et
al. (2002), dan Drug Interaction Checker.
8. Pendapat apoteker dan asisten apoteker terhadap resep racikan adalah hal yang
diinginkan apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan,
dideskripsikan berdasarkan hasil wawancara terhadap apoteker dan asisten
apoteker yang bertugas pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman.
D. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lima puskesmas yang berada di wilayah
Kabupaten Sleman yaitu di Puskesmas Seyegan, Mlati II, Depok I, Tempel I dan
Kalasan. Tempat pengambilan data dilakukan di gedung pertemuan/aula yang
terdapat pada tiap-tiap puskesmas. Pengambilan data di Puskesmas Seyegan
dilakukan pada pukul 09.00- 12.30 dan 09.00-13.00 WIB selama dua hari pada
tanggal 21- 22 Januari 2014. Pengambilan data di Puskesmas Mlati II dilakukan
pada pukul 10.00-13.30 WIB, 09.00-11.00 WIB dan 09.00-12.00 WIB selama tiga
hari pada tanggal 24-26 Januari 2014. Pengambilan data di Puskesmas Depok I
dilakukan pada pukul 09.00-13.00 WIB, 10.00-12.30 WIB dan 10.30-12.30 WIB
selama tiga hari pada tanggal 28-30 Januari 2014. Pengambilan data di Puskesmas
Tempel I dilakukan pada pukul 09.00-11.30 WIB dan 10.00-12.30 WIB selama
dua hari pada tanggal 1-2 Februari 2014. Pengambilan data di Puskesmas Kalasan
dilakukan pada pukul 09.00-12.30 WIB dan 08.30-13.00 WIB selama dua hari
pada tanggal 5-6 Februari 2014. Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu pada
E. Obyek Dan Subyek Penelitian
Objek pada penelitian ini adalah resep racikan pada periode Desember
2013 yang diperoleh dari lima puskesmas di Kabupaten Sleman. Resep racikan
yang digunakan sebagai objek penelitian untuk mengetahui prevalensi
penggunaan resep racikan sebanyak 643 resep racikan dari 13.416 jumlah resep
yang diterima bulan Desember 2013.
Subyek untuk wawancara terstruktur adalah apoteker maupun asisten
apoteker yang menangani resep racikan dan subyek besedia terlibat dalam proses
wawancara terstruktur. Subyek pada penelitian ini sejumlah 5 orang, terdiri dari 2
orang apoteker, dan 3 orang asisten apoteker.
F. Metode Pengambilan Data
1. Prevalensi resep racikan, pola resep racikan dan interaksi farmakokinetik
resep racikan diperoleh dengan menghitung keseluruhan resep dan mencatat
resep racikan yang terdapat pada lembar resep pasien.
2. Pendapat dari apoteker maupun asisten apoteker terkait penggunaan resep
racikan diperoleh dengan wawancara terstruktur.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen pada penelitian ini adalah pustaka yang ditulis oleh Tatro
(2007), Stockley (2010), dan Zucchero et al. (2002), Drug Interaction Checker,
digunakan sebagai acuan untuk evaluasi interaksi farmakokinetik. Pustaka yang
terkait kategori jenis obat dan kelas terapi pada gambaran pola resep racikan.
Lembar observasi yang didapat dari observasi yang dilakukan di Dinas Kesehatan
dan hasil wawancara yang digunakan sebagai intrumen. Serta dilampirkan inform
consent sebagai lembar persetujuan kesediaan apoteker dan asisten apoteker untuk
diwawancarai.
H. Tata Cara Penelitian
Ada enam tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, diantaranya
yaitu tahap observasi awal, tahap pemilihan lokasi, tahap perijinan, orientasi,
tahap pengambilan data dan tahap pengolahan data.
1. Observasi awal
Tahap ini dimulai dengan pembuatan proposal. Pada tahap ini juga
dilakukan kunjungan langsung ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman
Yogyakarta untuk mengetahui jumlah puskesmas yang ada di Kabupaten
Sleman dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh ijin
penelitian.
2. Pemilihan lokasi
Pemilihan puskesmas dilakukan menggunakan metode cluster random.
Pengelompokan populasi ditentukan berdasarkan letak geografis kecamatan
yang ada di Kabupaten Sleman. Hasil dari pengelompokan populasi
berdasarkan letak geografis akan dikelompokkan menjadi beberapa gugus.
Gugus yang dimaksud adalah jumlah puskesmas dari masing-masing
sebanyak 25 puskesmas yang tersebar di masing-masing kecamatan. Hasil dari
klaster ini dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Pemetaan Puskesmas Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Sleman.
Total 17 Kecamatan 25 Puskesmas
Jumlah gugus yang didapat kemudian dihitung secara proporsional
menggunakan proporsi 20% sehingga didapatkan 1 puskesmas yang dipilih
secara random sederhana dari masing-masing subpopulasi. Teknik random
sederhana dilakukan untuk memilih lokasi pengambilan data, sehingga dari
masing-masing subpopulasi didapat dipilih 1 puskesmas. Berdasarkan hasil
random sederhana yang dilakukan, didapatkan sebanyak 5 puskesmas sebagai
lokasi pengambilan data yaitu Puskesmas Seyegan, Mlati II, Depok I, Tempel
3. Permohonan ijin
Pada penelitian ini permohonan ijin diperoleh dengan mengajukan surat
pengantar yang diberikan oleh Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma disertai proposal penelitian dan fotokopi kartu mahasiswa yang
ditujukan ke Kepala Kantor Kesatuan Bangsa (KesBang) untuk memperoleh
surat rekomendasi permohonan ijin penelitian. Surat rekomendasi yang
diperoleh dari KesBang nantinya akan ditujukan kepada Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman untuk
diproses sehingga surat ijin penelitian dapat dikeluarkan. BAPPEDA nantinya
akan mengeluarkan surat tembusan ijin penelitian yang ditujukan kepada
Bupati Sleman, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Sleman, Kabid. Sosisal Budaya
BAPPEDA Kab. Sleman, Camat Tempel, Camat Seyegan, Camat Depok,
Camat Kalasan, Camat Mlati, Kepala UPT Puskesmas Tempel I, Kepala UPT
Puskesmas Seyegan, Kepala UPT Puskesmas Depok I, Kepala UPT
Puskesmas Kalasan, Kepala UPT Puskesmas Mlati II, dan Dekan Fak.
Farmasi USD Yogyakarta.
4. Orientasi
Pada tahap ini dilakukan orientasi ke lima puskesmas yang bersangkutan
untuk menyesuaian teknis pengambilan data yang sesuai agar tidak
mengganggu aktivitas pelayanan di masing-masing puskesmas yang dituju.
5. Pengambilan data
Pada proses ini, objek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria inklusi.
yang dituliskan oleh dokter untuk pasien pada bulan Desember 2013. Pada
tahap ini dilakukan pencatatan semua resep yang berisi obat racikan meliputi
nama obat, jumlah penggunaan obat, aturan pakai obat, bentuk sediaan, umur
dan diagnosis pasien. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data kuantitatif
mengenai prevalensi penggunaan resep racikan dan mengetahui gambaran
pola resep racikan, dan juga mendapatkan data interaksi farmakokinetik obat
dari resep racikan yang dilakukan secara evaluatif pada resep racikan. Hal lain
yang juga dilakukan adalah melakukan wawancara terhadap apoteker dan
asisten apoteker terkait pendapat mereka mengenai penggunaan resep racikan
dengan cara merekam suara menggunakan perekam suara. Data yang
diperoleh melalui wawancara merupakan data kualitatif.
6. Pengolahan data
Pada tahap ini dilakukan sampling pengambilan obyek penelitian untuk
memperoleh data terkait gambaran pola resep racikan dan evaluasi interaksi
farmakokinetik resep racikan. Hal ini dilakukan karena jumlah objek yang
diperoleh cukup besar sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dalam
penelitian. Penghitungan sampling obyek penelitian diperoleh dengan cara
menghitung jumlah sampel minimal sampling yang dapat digunakan. Data
penggunaan resep racian periode Desember 2013 pada lima puskesmas
didapatkan sebanyak 643 resep, terdiri dari 81 resep racikan tunggal dan 562
resep racikan campuran. Untuk mengetahui jumlah sampel minimal pada
penelitian ini dilakukan dengan perhitungan menggunakan rumus sebagai
( ) ( ) ( )
((Lemeshow and David, 1997)
Keterangan :
n = jumlah minimal resep racikan campuran yang diperlukan
α = derajad kepercayaan
p = proporsi penggunaan resep racikan campuran
q = 1-p (proporsi penggunaan resep racikan tunggal)
d = limiting dari error atau presisi absolut (0,05)
Jika ditetapkan α = 0,05 atau Z1-α/2 = 1,96 atau Z21--α/2 = 1,9622 atau
dibulatkan mejadi 4, maka rumus untuk besar N yang diketahui menjadi :
Rumus perhitungan sampel pada penelitian ini dapat dilakukan karena
besar atau jumlah populasi untuk perhitungan sampel pada penelitian
diketahui (Lemeshow and David, 1997).
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, jumlah minimal resep racikan
campuran yang didapatkan adalah sebanyak 176 resep. Mengingat jumlah
resep racikan campuran pada lima puskesmas memiliki jumlah yang
bervariasi, sehingga dilakukan perhitungan secara proporsional random
sampling untuk memperoleh sampel yang proporsional dengan jumlah resep
racikan campuran di masing-masing puskesmas. Sampel yang digunakan
sebagai data di Puskesmas Seyegan sebanyak 26 resep, di Puskesmas Mlati II
sebanyak 42 resep, di Puskesmas Depok I sebanyak 44 resep, di Puskesmas
Tempel I sebanyak 32 resep dan di Puskesmas Kalasan sebanyak 32 resep.
Pemilihan resep dilakukan menggunakan metode random sampling sederhana.
I. Tata Cara Analisis Hasil
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menghitung
prevalensi resep racikan, penggambarkan pola resep racikan, mengevaluasi
interaksi farmakokinetik, serta mewawancarai apoteker maupun asisten apoteker
terkait penggunaan resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman.
1. Prevalensi resep racikan periode Desember 2013
Perhitungan prevalensi resep racikan dilakukan dengan membagi jumlah
resep racikan (racikan campuran dan racikan tunggal) yang di resepkan oleh
dokter bulan Desember 2013 dengan jumlah resep non racikan dan racikan
(racikan campuran dan racikan tunggal) pada bulan Deasember 2013 dikali
seratus persen. Dengan rumus :
prevalensi resep racikan ( ) 2 x 100%
Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan persentase/prevalensi dari
resep racikan yang digunakan pada periode satu bulan yaitu bulan Desember
2. Pola resepan racikan
Data pola peresepan didapat dengan menghitung dan mengklompokkan
masing-masing pola yang terdapat dalam lembar resep raikan berdasarkan
jenis obat yang digunkan, kelas terapi, pasien penerima obat racikan,
kombinasi obat racikan, jenis bentuk sediaan dan rute pemberian obat racikan.
3. Interaksi farmakokinetik resep racikan
Interaksi farmakokinetk dari kombinasi obat pada lembar resep racikan
dievaluasi dengan menggunakan pustaka acuan yang ditulis oleh Tatro (2007),
Stockley (2010),Zucchero et al. (2002) dan Drug Interaction Checker.
4. Wawancara apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan
Pendapat yang diberikan oleh apoteker maupun asisten apoteker
mengenai penggunaan resep racikan dikumpulkan dalam suatu lembar yang
berisikan kumpulan pendapat dari hasil wawancara yang dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis tematik.
J. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dari penelitian ini yaitu terbatasnya informasi mengenai
data demografi penduduk yang berfungsi untuk melegkapi data penerima resep
racikan pada puskesmas-puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember
33 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bagian. Bagian pertama
menguraikan tentang prevalensi penggunaan resep racikan pada lima puskesmas
di Kabupaten Sleman periode Desember 2013. Bagian kedua menguraikan tentang
gambaran pola resep racikan. Bagian ketiga menjelaskan evaluasi interaksi
farmakokinetik obat pada resep racikan berdasarkan referensi acuan, dan bagian
keempat menguraikan pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan
resep racikan.
A. Prevalensi Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013
Selama periode Desember 2013 di lima puskesmas Kabupaten Sleman
terdapat sebanyak 13.416 jumlah resep (R/) yang diberikan kepada pasien. Jumlah
resep tersebut terdiri dari 12.773 penggunaan resep non racikan dan 643
penggunaan resep racikan.
Gambar 1. Persentase Resep Racikan dan Non Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013
95,2% 4,8%
Gambar 2. Persentase Masing-Masing Resep Racikan dan Non Racikan pada lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013
Berdasarkan Gambar 1 persentase penggunaan resep racikan total pada
lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013 sebesar 4,8%.
Jumlah ini lebih rendah persentasenya dibandingkan dengan penggunaan resep
obat non racikan yaitu sebanyak 95,2%.
Berdasarkan Gambar 2 penggunaan resep racikan yang paling banyak
yaitu pada Puskesmas Tempel dengan persentase sebanyak 7,8% dibandingkan
dengan penggunaan resep racikan pada puskesmas lain. Berdasarkan prevalensi
penggunaan resep racikan dapat dikatakan bahwa penggunaan obat dengan resep
non racikan lebih banyak digunakan dibandingkan dengan penggunaan resep
racikan. Menurut penelitian yang dilakukan McPherson et al. (2006), di Amerika
Serikat tahun 2005, penggunaan resep racikan di negara tersebut sejumlah 2,3%
dari keseluruhan resep yang ada, hal ini menunjukkan resep racikan masih
digunakan, tetapi penggunaannya dalam jumlah yang rendah. Berdasarkan
penelitian tersebut memperkuat bahwa penggunaan resep racikan masih
digunakan, namun digunakan dalam jumlah yang rendah.
Kalasan Depok I Seyegan Mlati II Tempel I
96,3% 94,2% 96,1% 96,1% 92,2%
3,7% 5,8% 3,9% 3,9% 7,8%
B. Pola Peresepan Racikan
Resep racikan yang digunakan pada lima puskesmas di Kabupaten
Sleman memiliki berbagai macam kombinasi obat yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien. Gambaran pola resep racikan pada lima puskesmas di
Kabupaten Sleman dapat diketahui dengan melihat jenis obat yang digunakan,
pasien pengguna resep racikan, kelas terapi, kombinasi resep racikan, jenis bentuk
sediaan dan rute pemberian obat racikan. Berikut adalah gambaran pola resep
racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut:
Tabel III. Kelas Terapi dan Jenis Obat Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013
No. Kelas Terapi Obat Jenis Obat Jumlah Persen
Antagonis dopamin Metoklopramid 2 0,5%
Obat Mempengaruhi Nutrisi
1 Glukokortikioid Dexamethason
Prednison
14 3
3% 0,7%
2 Glukokortikoid topikal Bethametazone 1 0,2%
Obat Sauran Nafas
1 Antagonis adrenoseptor Salbutamol 46 10%
2 Dekongenstan Epedrin 5 1%
3 Antitusif non-narkotik Dextromethorpan 3 0,7%
4 Ekspektoran Gliseril Guaiakolate 65 15%
Obat Anti Alergi
1 Antihistamin H1 antagonis
Klorpeniramin Maleat 145 33%
Obat Penurun Demam
1 Analgesik non-opioid Parasetamol 70 16%
a. Jenis obat
Jenis obat yang sering diresepkan pada resep racikan adalah
klorpeniramin maleat sebanyak 145 (33%) dari total resep racikan pada
periode Desember 2013 (Tabel III). Wiedyaningsih (2003), dalam
penelitiannya yang dilakukan di apotek kotamadya Yogyakarta menemukan
bahwa obat yang paling sering ditambahkan pada resep racikan adalah
klorpeniramin maleat. Klorpeniramin maleat merupakan obat golongan
antihistamin H1 antagonis yang biasanya diberikan untuk mengatasi
gangguan yang disebabkan karena adanya alergen (Depkes RI, 2008).
b. Pasien pengguna resep racikan
Resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode
Desember 2013 diresepkan untuk pasien anak-anak. Rentang umur pasien
anak-anak penerima obat dengan pemberian resep racikan berkisar antara 2
bulan sampai dengan 9 tahun. Penelitian yang dilakukan Wibowo (2008),
rentang umur anak-anak yang menerima resep racikan antara 0 bulan sampai
dengan 5,8 tahun di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda periode Juli
2007. Berdasarkan dua data tersebut memperkuat bahwa penggunaan resep
racikan memang digunakan untuk pasien anak-anak.
c. Kelas terapi
Obat yang sering diresepkan adalah obat dengan kelas terapi sebagai
obat anti alergi (33%), obat saluran nafas (26,7%), obat penurun demam
(16%), dan obat mempengaruhi nutrisi (14,2%). Obat dengan kelas terapi
infeksi pada saluran penafasan. Infeksi saluran pernafasan merupakan suatu
penyakit yang sering terjadi pada semua golongan umur terutama pada balita
dan anak. Infeksi saluran pernafasan merupakan infeksi yang menyerang salah
satu bagian atau lebih dari saluran pernafasan, mulai hidung, telinga tengah,
faring (tenggorokan), laring (kotak suara), bronki, bronkioli hingga alveoli
(Djaja, et al., 2001).Berdasarkan hal-hal tersebut memperkuat bahwa kelima
kelas terapi tersebut memang diresepkan dokter untuk pengobatan pada
anak-anak dengan gangguan infeksi saluran pernafasan.
Tabel IV, V, VI, VII, VIII, IX dan X menunjukkan komposisi, bentuk
sediaan, rute pemberian dan jumlah penggunaan dari resep racikan pada lima
puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013.
Tabel IV. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Dua Komposisi (Zat Aktif)
Racikan Periode Desember 2013
1 Parasetamol+Klorpeniramin Maleat Pulveres Oral 6
2 Parasetamol+Gliseril Guaiakolat Pulveres Oral 1
3 Parasetamol+Dexamethason Pulveres Oral 2
4 Klorpeniramin Maleat+Amoxcillin Pulveres Oral 1
5 Klorpeniramin Maleat+Gliseril Guaiakolat Pulveres Oral 17
6 Klorpeniramin Maleat+Salbutamol Pulveres Oral 26
7 Klorpeniramin Maleat+Vitamin C Pulveres Oral 5
8 Klorpeniramin Maleat+Prednison Pulveres Oral 1
9 Klorpeniramin Maleat+Vitamin B complex Pulveres Oral 2
10 Klorpeniramin Maleat+Efedrin Pulveres Oral 1
11 Klorpeniramin Maleat+Dexamethason Pulveres Oral 4
12 Gliseril Guaiakolat+Salbutamol Pulveres Oral 2
13 Gliseril Guaiakolat+Dexamethason Pulveres Oral 3
14 Gliseril Guaiakolat+Efedrin Pulveres Oral 2
15 Vitamin B6+Ranitidin Pulveres Oral 1
16 Vitamin B6+Dextromethorphan Pulveres Oral 1
17 Vitamin C+Dexamethason Pulveres Oral 1
18 Vitamin C+Ranitidin Pulveres Oral 1
19 Bethametazon+Bacitrasin Salep Topikal 1
20 Amoxcillin syr+Amoxcillin+Klorpeniramin Maleat Larutan Oral 3
Tabel V. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Tiga Komposisi (Zat Aktif)
Racikan Periode Desember 2013
1 Parasetamol+Vitamin C+Klorpeniramin Maleat Pulveres Oral 4
2 Parasetamol+Gliseril Guaiakolat+ Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 8
3 Parasetamol+VitaminC+Dexamethason Pulveres Oral 1
4 Parasetamol+Vitamin C+Gliseril Guaiakolat Pulveres Oral 1
5 Parasetamol+Salbutamol+
8 Gliseril Guaiakolat+ Vitamin B complex+ Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 2
9 Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 2
10 Gliseril Guaiakolat+ Vitamin C Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 9
11 Gliseril Guaiakolat+ Vitamin B6 Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 2
12 Gliseril Guaiakolat+Vitamin C+Salbutamol Pulveres Oral 1
13 Gliseril Guaiakolat+ Dexamethason Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 1
14 Gliseril Guaiakolat+ Efedrin Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 1
15 Klorpeniramin Maleat+ Salbutamol+Vitamin C Pulveres Oral 1
16 Klorpeniramin Maleat+ Vitamin C Vitamin B complex
Pulveres Oral 3
17 Antasida+Vitamin B6+Metoklorpramid Pulveres Oral 1
Tabel VI. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Empat Komposisi (Zat Aktif)
Racikan Periode Desember 2013
2 Parasetamol+ VitaminC+
Klorpeniramin Maleat+Dexamethason
Pulveres Oral 1
Tabel VII. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Dua Komposisi (Zat Aktif)
Racikan dan Komposisi Non Racikan Periode Desember 2013
No. Komposisi
1 Amoxcillin syr Klorpeniramin Maleat+ Parasetamol
Pulveres Oral 3
2 Amoxcillin syr Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol
Pulveres Oral 1
3 Amoxcillin syr Gliseril Guaiakolat+ Parasetamol
Pulveres Oral 1
4 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Vitamin C
Pulveres Oral 1
5 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Salbutamol
Pulveres Oral 2
6 Parasetamol syr Vitamin B6+ Metklorpramid
Pulveres Oral 1
7 Parasetamol syr Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol
Pulveres Oral 4
8 Parasetamol syr Gliseril Guaiakolat+ Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 4
9 Parasetamol tab Klorpeniramin Maleat+ Vitamin C
Pulveres Oral 1
10 Parasetamol tab Gliseril Guaiakolat+ Klorpeniramin Maleat
Tabel VIII. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Tiga Komposisi (Zat Aktif)
Racikan dan Komposisi Non Racikan Periode Desember 2013
No. Komposisi
1 Amoxcillin syr Parasetamol+Gliseril Guaiakolat +Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 3
2 Amoxcillin syr Parasetamol+Vitamin C Klorpeniramin Maleat
Pulveres Oral 1
3 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Salbutamol+Vitamin C
Pulveres Oral 1
4 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Vitamin B complex+Vitamin C
Pulveres Oral 1
5 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol
Pulveres Oral 1