• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima PUSKESMAS di Kabupaten Sleman periode Desember 2013 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima PUSKESMAS di Kabupaten Sleman periode Desember 2013 - USD Repository"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI DAN EVALUASI INTERAKSI FARMAKOKINETIK RESEP RACIKAN PADA LIMA PUSKESMAS DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE

DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

I Dewa Ayu Dwi Komaladewi

108114026

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PREVALENSI DAN EVALUASI INTERAKSI FARMAKOKINETIK RESEP RACIKAN PADA LIMA PUSKESMAS DI KABUPATEN SLEMAN

PERIODE DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

I Dewa Ayu Dwi Komaladewi

108114026

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Tuhan tidak akan memb

erikan cobaan melebihi batas

kemampuan umatnya”

Sebuah karya kecil kupersembahkan kepada :

Ida Shang Hyang Widhi Wasa

sebagai wujud rasa syukurku

Ibu Budhiari dan Ajunk Kawiyasa

, sebagai wujud baktiku,

Kakakku

Satya

dan

Sinta

Adikku, sebagai tanda sayangku,

Joseph Singgih Dwilaksono

yang selalu menghadirkan hujan dan

pelangi dalam hidupku

Semua teman Farmasi USD 2010 dan almamater tercinta

(7)

vi

PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Ide Shang Hyang

Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi dan

Evaluasi Interaksi Farmakokinetik Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut

membantu, memberikan dukungan, bimbingan, kritik, dan saran selama proses

penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., PhD. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma sekaligus selaku Dosen Pembimbing dan Dosen

Penguji yang telah banyak memberi bimbingan, arahan, dan masukan dalam

penyusunan skripsi ini sehingga dapat menjadi lebih baik.

2. Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., Apt., M.Sc. selaku Dosen Penguji yang

telah memberikan masukan yang berarti terhadap skripsi ini.

3. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan masukan yang berarti terhadap skripsi ini.

4. Kepala Puskesmas Depok I serta Asisten Apoteker Puskesmas Depok I : Ibu

(8)

vii

5. Kepala Puskesmas Mlati II serta Apoteker Puskesmas Mlati II : Ibu Chrisna

Wardani yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.

6. Kepala Puskesmas Tempel I serta Asisten Apoteker Puskesmas Tempel I :

Ibu Ilmi Jazmiati yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.

7. Kepala Puskesmas Seyegan serta Asisten Apoteker Puskesmas Seyegan : Ibu

Noer Hidayati yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.

8. Kepala Puskesmas Kalasan serta Apoteker Puskesmas Kalasan : Nur Djanah

Alboneh yang memberikan bantuan selama penyusunan skripsi.

9. Rekan-rekan tim skripsi : Harris Kristanto Setiadi, Lenny Aftalina Letlora,

Lelo Susilo, Vera Juniarta dan Septi Martiani Pertiwi atas segala kerjasama,

bantuan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.

10. Sahabat-sahabatku : Harris, Ayu, Yosri, Ci Puji, Rotua, Vivo, Gita, Sugi,

Hans, Intan, Lenny, Lelo dan Vera atas motivasi, kebersamaan dan

persahabatannya.

11. Seluruh dosen dan teman-teman FSM A 2010, FKK A 10 serta seluruh

angkatan 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

12. Semua pihak yang penulis tidak dapat menyebutkan satu-persatu yang telah

ikut membantu selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi

informasi bagi pembaca.

(9)
(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

(11)

x

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A.Pengertian Resep ... 7

1. Definisi resep ... 7

2. Resep racikan dan manfaat resep racikan ... 8

3. Kombinasi obat ... 8

B.Pola Resep Racikan ... 9

C.Interaksi Obat ... 11

1. Definisi interaksi obat ... 11

2. Dampak klinis interaksi obat ... 11

3. Interaksi farmakokinetik ... 12

D.Keterangan Empiris ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN ... 21

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

B.Variabel Penelitian ... 21

J. Keterbatasan Penelitian ... 32

(12)

xi

A.Prevalensi Resep Racikan ... 33

B.Pola Peresepan Racikan ... 35

C.Interaksi Farmakokinetik Resep Racikan ... 42

D.Pendapat Apoteker dan Asisten Apoteker ... 44

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

A.Kesimpulan ... 48

B.Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

LAMPIRAN ... 53

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 11

Tabel II. Pemetaan Puskesmas Berdasarkan Kecamatan ... 27

Tabel III. Kelas Terapi dan Jenis Obat Resep Racikan ... 35

Tabel IV. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Dua

Komposisi Racikan . ... 37

Tabel V. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Tiga

Komposisi Racikan . ... 38

Tabel VI. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Empat

Komposisi Racikan . ... 38

Tabel VII.Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Dua

Komposisi Racikan dan Non Racikan . ... 39

Tabel VIII.Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Tiga

Komposisi Racikan dan Non Racikan . ... 39

Tabel IX. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian Empat

Komposisi Racikan dan Non Racikan . ... 40

Tabel X. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian

Racikan Tunggal dan Racikan Campuran . ... 40

Tabel XI. Persentase Komposisi Resep Racikan …………... 43

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Persentase Resep Racikan dan Non Racikan pada Lima

Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013 ... 33

Gambar 2. Persentase Masing-Masing Resep Racikan dan Non Racikan

pada Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember

2013 ... 34

Gambar 3. Penggunaan Komposisi Resep Racikan disertai Non Racikan

pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Isian Permohonan Ijin Pra Penelitian ... 54

Lampiran 2. Surat Rekomendasi Kantor Kesatuan Bangsa ... 55

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian dari BAPPEDA ... 56

Lampiran 4. Sura Permohonan Informasi Data Dinas Kesehatan ... 58

Lampiran 5. Informed Consent Puskesmas Seyegan ... 59

Lampiran 6. Informed Consent Puskesmas Mlati II ... 60

Lampiran 7. Informed Consent Puskesmas Depok I ... 61

Lampiran 8. Informed Consent Puskesmas Tempel I ... 62

Lampiran 9. Informed Consent Puskesmas Kalasan ... 63

Lampiran 10.Resep Racikan Puskesmas Seyegan ... 64

Lampiran 11.Resep Racikan Puskesmas Mlati II ... 67

Lampiran 12.Resep Racikan Puskesmas Depok I ... 72

Lampiran 13.Resep Racikan Puskesmas Tempel I ... 77

Lampiran 14.Resep Racikan Puskesmas Kalasan ... 81

Lampiran 15.Persentase Komposisi Resep Racikan ... 85

Lampiran 16.Wawancara Puskesmas Seyegan ... 90

Lampiran 17.Wawancara Puskesmas Mlati II ... 91

Lampiran 18.Wawancara Puskesmas Depok I ... 92

Lampiran 19.Wawancara Puskesmas Tempel I ... 93

Lampiran 20.Wawancara Puskesmas Kalasan ... 94

(16)

xv

INTISARI

Obat racikan merupakan bentuk sediaan kefarmasian yang dibuat dengan cara mencampurkan, menggabungkan, atau mengubah bentuk obat untuk disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Menurut beberapa ahli, obat racikan dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Hal inilah yang menjadi dasar tujuan untuk mengetahui prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013.

Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat deskriptif cross sectional. Jenis data yang digunakan bersifat retrospektif, pemilihan sampel menggunakan metode cluster random.

Prevalensi resep racikan pada lima puskesmas adalah sebanyak 4,8% dari 643 resep racikan. Jenis obat yang sering diresepkan adalah klorpeniramin maleat sebanyak 145 (33%) dengan kelas terapi antihistamin. Pasien pengguna racikan adalah anak-anak dengan kisaran umur 2 bulan - 9 tahun. Kombinasi resep racikan yang paling sering diresepkan adalah klorpeniramin maleat dan salbutamol sebanyak 26 (15%) dengan 2 kombinasi obat. Bentuk sediaan racikan yang paling sering digunakan adalah pulveres sebanyak 169 (96%) dengan rute pemberian oral. Tidak ditemukan interaksi farmakokinetik yang terjadi. Apoteker dan asisten apoteker berpendapat bahwa penggunaan obat racikan masih dapat digunakan. Permasalahan interaksi obat pada resep racikan dapat diminimalkan dengan adanya komunikasi antara apoteker dengan dokter mengenai komposisi campuran obat pada resep racikan.

Kesimpulan penelitian ini adalah prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman sebanyak 4,8% dan tidak ditemukannya interaksi farmakokinetik pada kombinasi resep racikan periode Desember 2013.

(17)

xvi

ABSTRACT

Compounded drug is a pharmaceutical dosage form that made by

“combines, mixes, or alters ingredients to create a medication tailored to the needs

of an individual patients” in response to a prescription from a health care provider.

According to some experts, personalized medicine may cause some problems because of drug concoction made by mixing several drugs into the composition of pharmaceutical dosage forms. This is the basic aim to determine the prevalence and evaluation of pharmacokinetic interactions compounded prescription at five health centers in Sleman regency period in December 2013.

This study includes the design of non-experimental research is a descriptive cross sectional study. Based on the type of data used, this study is retrospective, sample selection in this study using cluster random.

Prevalence of compounded prescription at five health centers is 4,8% of the 643 total compounded prescription. Types of drug are often prescribed as 145

chlorpheniramin maleate (33%) with class antihistamine therapy. Patients concoction users are children with the age range of 2 months - 9 years. The combination of compounded prescription is the most commonly prescribed

clorpheniramin maleate and salbutamol were 26 (15%) with 2 drug combinations. Concoction dosage forms are most often used is pulveres were 169 (96%) with oral route. Found no pharmacokinetic interactions that occur. Pharmacists and assistant pharmacists argue that the use of personalized medicine can still be used. Problems compounded prescription drug interactions can be minimized in the presence of communication between pharmacists with a doctor about prescribed drug interaction problems was also needed.

The conclusion of this study is the prevalence of compounded prescription at five health centers in Sleman is 4,8% and not finding pharmacokinetic interactions in combination compounded prescription period in December 2013.

(18)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pada awalnya obat racikan merupakan salah satu bentuk sediaan yang

digunakan di seluruh dunia. Obat racikan merupakan bentuk sediaan kefarmasian

yang digunakan untuk memberikan atau menyediakan obat sesuai kondisi dan

kebutuhan pasien. Obat racikan dibuat dengan menggerus atau mencampurkan

sediaan tablet yang biasanya terdiri atas sedikitnya dua macam obat. Bentuk obat

racikan bisa berupa bentuk padat, bentuk cair, bentuk injeksi, atau bentuk larutan

inhalasi (Glassgold, 2013).

Tahun 1930 hingga tahun 1940, sekitar 60% dari keseluruhan obat telah

diracik. Tahun 1970 di luar negeri penggunaan resep racikan hanya 1%, kurang

lebih 30-40 juta resep telah diracik setiap tahunnya (Than, 2009). Studi di Negara

bagian Illinois, Missouri, Kansas dan Iowa, tahun 2005 ditemukan bahwa jumlah

resep racikan yang dibuat sejumlah 2,3% dari keseluruhan resep yang ada

(McPherson, et al., 2006).

Di Indonesia bentuk obat racikan sering diresepkan oleh dokter. Alasan

dokter meresepkan resep racikan adalah: a). dapat menyesuaian dosis pemberian

dengan berat badan anak, b). biaya yang relatif lebih murah, c). dapat menutupi

rasa obat yang tidak enak, d). tidak menimbulkan kekhawatiran pasien bila

komponen obat terlalu banyak (Setiabudy, 2011). Wiedyaningsih (2003),

menemukan bahwa penggunaan resep racikan di apotek-apotek di kotamadya

(19)

oleh Cahyo (2008), ditemukan terdapat sebanyak 78% atau 513 jumlah

penggunaan resep racikan untuk pediatri pada periode Juli 2007 di Rumah Sakit

Bethesda Yogyakarta.

Menurut beberapa ahli, obat racikan dapat menimbulkan beberapa

permasalahan. Salah satu masalah potensial pada obat racikan adalah

kemungkinan terjadinya interaksi antara obat yang diracik dalam satu bentuk

sediaan farmasi. Hal ini disebabkan karena obat racikan dapat dibuat dengan cara

mencampurkan lebih dari satu macam obat menjadi satu bentuk sediaan farmasi.

Interaksi obat dapat terjadi pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi yang dapat mempengaruhi kerja obat di dalam tubuh (Collet and Aulton,

1990). Penelitian yang dilakukan oleh Piliarta, dkk. (2009), di rumah sakit swasta

di Kabupaten Gianyar Bali ditemukan bahwa terjadi sebanyak 21 kejadian atau

sebesar 45,65% angka kejadian interaksi obat dari 96 resep racikan. Berdasarkan

penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dan

melihat potensi terjadinya interaksi pada resep racikan. Hal lain yang juga

mendukung dilakukan penelitian ini yaitu untuk mengetahui prevalensi

penggunaan resep racikan khususnya pada lima pusksmas di Kabupaten Sleman.

Penelitian ini terfokus pada penggunaan resep racikan, meliputi jumlah

resep racikan, pola resep racikan, interaksi farmakokinetik dan wawancara

terhadap apoteker dan asisten apoteker untuk mengetahui pendapat mereka

mengenai penggunaan resep racikan. Puskesmas dipilih sebagai tempat penelitian

ini karena puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan tingkat pertama

(20)

kecamatan pada setiap kabupaten (Sulastomo, 2007). Hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai tambahan informasi terkait prevalensi resep racikan di

Kabupaten Sleman khususnya penggunaan resep racikan pada lima puskesmas di

Kabupaten Sleman periode Desember 2013.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, permasalahan

yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini meliputi :

a. Berapa prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten

Sleman periode Desember 2013?

b. Seperti apakah pola peresepan resep racikan?

c. Adakah interaksi farmakokinetik obat yang terjadi pada resep racikan dan

dengan non racikan?

d. Seperti apakah pendapat dari apoteker dan asisten apoteker terkait

penggunaan resep racikan?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik

resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember

2013 belum pernah dilakukan. Penelitian terkait dengan penggunaan resep

racikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, akan tetapi terdapat

perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain yaitu dalam hal tujuan penelitian,

(21)

Beberapa penelitian yang terkait/tentang penggunaan resep racikan

antara lain :

a. Evaluasi Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit

Bethesda Yogyakarta yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli

2007 (Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Cerna) yang diteliti oleh

Marselin (2008). Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif

evaluatif. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa

penggunaan obat racikan sebesar 78% dan obat bukan racikan sebesar

22% di instalasi farmasi rawat jalan, sedangkan di bangsal anak

penggunaan obat racikan sebesar 52% dan bukan racikan sebesar 48%.

Terdapat 5 jenis racikan dengan 209 penggunaan untuk pasien pediatri

yang berpotensi untuk terjadi interaksi obat.

b. Evaluasi Komposisi, Indikasi, Dosis, dan Interaksi Obat Resep Racikan

untuk Pasien Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Juli 2007, yang

diteliti oleh Cahyo (2008). Rancangan penelitian yang digunakan adalah

deskriptif evaluatif. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa

sebanyak 54 kasus yang paling banyak menerima satu jenis racikan,

dengan jenis racikan paling banyak parasetamol dan fenobarbital.

Interaksi obat terjadi sebanyak 24 kasus, obat tanpa indikasi sebanyak 31

kasus, dosis terlalu tinggi sebanyak 2 kasus, dan dosis terlalu rendah

sebanayk 11 kasus.

c. Evaluasi Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit

(22)

(Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Nafas) yang dilakukan oleh

Wibowo (2008). Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif

evaluatif. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa

penggunaan obat racikan sebanyak 54,5% dengan jenis racikan yang

paling sering digunakan adalah parasetamol dan fenobarbital 39,4%.

Penggunaan obat non racikan terdiri dari 8 kelas terapi. Kelas terapi yang

paling banyak digunakan adalah obat saluran cerna 91,9%.

3. Manfaat penelitian

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain :

a) Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya di

puskesmas Kabupaten Sleman mengenai prevalensi, pola, potensial

interaksi farmakokinetik dan pendapat apoteker dan asisten apoteker

terkait penggunaan resep racikan agar tetap meningkatkan mutu dan

kualitas pelayanan.

b) Bagi Calon Peneliti

Sebagai tambahan informasi dan referensi pengembangan

penelitian prevalensi, pola, potensial interaksi farmakokinetik dan

pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan.

c) Bagi Peneliti

Sebagai sarana belajar untuk mengintegrasikan pengetahuan dan

(23)

mengetahui prevalensi, pola, potensial interaksi farmakokinetik dan

pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan

pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan

evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima puskesmas di

Kabupaten Sleman periode Desember 2013.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian adalah untuk melihat hasil penelitian mengenai

masalah berikut:

a. Mengetahui prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten

Sleman periode Desember 2013.

b. Menggambarkan pola peresepan dari resep racikan.

c. Mengetahui terjadinya potensial interaksi farmakokinetik pada resep

racikan dan dengan non racikan.

d. Mengeksplorasi pendapat dari apoteker dan asisten apoteker terkait

(24)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pengertian Resep 1. Definisi Resep

Menurut Kepmenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 resep adalah

permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker

pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada beberapa jenis resep, yaitu:

a. Resep standar (R/. Officinalis)

Yaitu resep yang komposisinya telah dibakukan dan dituangkan ke

dalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Penulisan resep

sesuai dengan buku standar

b. Resep magistrales (R/. Polifarmasi)

Yaitu resep yang sudah dimodifikasi atau diformat oleh dokter (resep

racikan), bisa berupa campuran atau tunggal yang diencerkan dalam

pelayanannya harus diracik terlebih dahulu

c. Resep medicinal

Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten, merek dagang maupun

(25)

d. Resep obat generik

Yaitu penulisan resep obat dengan nama generik dalam bentuk

sediaan dan jumlah tertentu. Dalam pelayanannya bisa atau tidak

mengalami peracikan (Jas, 2009).

Obat diresepkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dengan

mengobati penyakit, mengurangi atau mengeliminasi gejala penyakit,

menghentikan atau memperlambat proses penyakit, atau mencegah penyakit

atau gejala sejak awal kejadian (Hepler and Strand,1990).

2. Resep Racikan dan Manfaat Resep Racikan

Obat racikan disebut juga resep magistrales dibuat dengan

menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet yang biasanya terdiri

atas sedikitnya dua macam obat (Glassgold, 2013). Menurut U.S. Food and

Drug Administration (2007), sediaan racikan diresepkan bermanfaat untuk

pasien yang tidak dapat menelan tablet, sejumlah dosis dapat disesuaikan

terhadap pasiennya, dapat diperuntukkan kepada pasien yang tidak dapat

menerima rasa tidak enak dari obat.

3. Kombinasi Obat

Menurut American Medical Association (AMA) tahun 1994, peresepan

kombinasi obat secara umum perlu memperhatikan beberapa hal, meliputi :

a. Mengandung tidak lebih dari 3 macam obat dengan aksi farmakologis

yang berbeda dan tidak boleh mengandung lebih dari satu macam obat

(26)

b. Setiap komponen aktif terdapat dalam dosis yang efektif dan aman serta

mempunyai efek terapetik.

c. Kombinasi obat dapat diberikan untuk mengobati penyakit yang

kompleks.

d. Kombinasi obat mempunyai nilai terapetik untuk mengatasi gejala sesuatu

dengan tipe dan tingkat keparahannya.

e. Interaksi obat yang merugikan antara komponen sudah diperhitungkan.

B. Pola Resep Racikan

Menurut World Health Organization (2002), pengobatan yang rasional

adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien, dalam dosis yang sesuai dan

periode waktu tertentu, serta dengan biaya serendah mungkin baik bagi pasien

maupun komunitasnya. Pola pengobatan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah di

atas adalah pola pengobatan tidak rasional. Berikut adalah pola resep racikan

yaitu:

a. Jenis obat

Obat ialah suatu bahan yang digunakan dalam menyembuhkan penyakit

atau gejala penyakit. Ada bermacam-macam jenis obat yang dapat digunakan

sebagai obat racikan, kecuali jenis obat bersalut yang tidak dianjurkan

digunakan sebagai komposisi obat racikan. Pemilihan jenis obat biasanya

disesuaikan dengan kebutuhan pasien (Nugroho, 2012). Ada berbagai macam

(27)

satunya yaitu efedrin, parasetamol, salbutamol, dexametason, dll (Depkes RI,

2008).

b. Kelas terapi

Kelas terapi adalah suatu penggolongan obat baik sintesis maupun herbal

berdasarkan fungsinya yang khas dan spesifik dalam efek farmakologi.

Penggolongan obat ini bertujuan agar mempermudah dalam klasifikasi serta

pemahaman dalam hal mekanisme aksi dari obat yang bekerja pada

reseptor-reseptor tubuh guna menghasilkan sebuah efek farmakologi (Nugroho, 2012).

c. Pasien penerima obat racikan

Anak-anak dan lansia merupakan golongan usia yang sangat rentan

terserang penyakit. Dokter sering kali memberikan obat racikan untuk pasien

anak-anak dan lansia karena memudahkan pemberian obat yang sesuai

kebutuhan pasien dan sesuai dengan pelayanan kesehatan (Danish, 1996).

d. Bentuk obat racikan

Bentuk obat racikan dibuat berdasarkan tujuan penggunaan obat

sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasien. Bentuk obat racikan yang biasa

dijumpai antara lain seperti pulvis, pulveres, kapsul, larutan, suspensi, emulsi,

salep, suppositoria, krim dan gel (Syamsuni, 2006).

e. Rute pemberian

Rute pemberian adalah jalur pemberian obat. Jalur pemberian obat

tersebut disesuaikan berdasarkan bentuk sediaan yang digunakan. Obat dapat

diberikan melalui berbagai macam rute pemberian yang dikehendaki pasien.

(28)

enteral (oral, sublingual, rektal), parenteral (intra vaskular, IM, SC), lain-lain

(inhalasi, intranasal, intratekal, topikal, transdermal) (Syamsuni, 2006).

C. Interaksi Obat 1. Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang

diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih

berubah. Efek yang terjadi bisa meningkatkan atau mengurangi aktifitas

sehingga menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Interaksi

bisa terjadi karena pencampuran obat satu dengan obat yang lainnya, obat

dengan makanan, obat dengan herbal, obat dengan mikronutrien, dan obat

injeksi dengan kandungan infus (Laurence, 1997).

2. Dampak klinis interaksi obat

Interaksi obat dapat mempengaruhi kondisi klinis pasien. Dampak klinis

ini dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi dari interaksi obat

yang ditimbulkan. Tingkat keparahan akibat interaksi obat tersebut dapat

dilihat pada table I.

Tabel I. Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Tatro, 2001).

Tingkat Skala Interaksi Obat Tingkat

Signifikan Keparahan Laporan/Bukti 1 Berat (major) Terbukti 2 Sedang (moderat) Terbukti 3 Ringan (minor) Terbukti 4 Berat/Sedang

(major/moderat) Mungkin terjadi 5 Ringan (minnor) Mungkin terjadi

(29)

Derajat keparahan akibat interaksi obat diklasifikasikan menjadi tiga

tingkat keparahan, yaitu ringan/minor, sedang/moderate, dan berat/major.

1. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor apabila interaksi

terjadi tetapi tidak mempengaruhi tujuan terapi secara signifikan, akibat

dari interaksi obat tidak diketahui dan tidak membutuhkan terapi tambahan

(Tatro, 2001).

2. Keparahan moderate

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari

bahaya potensial terjadi pada pasien. Potensial bahaya yang terjadi

tergantung dari kondisi klinis pasien. Kondisi klinis pasien mempengaruhi

efek interaksi obat sehingga mempengaruhi proses penyembuhan, mulai

dari membutuhkan terapi tambahan, rawat inap di rumah sakit, sampai

memperlama proses penyembuhan (Tatro, 2001).

3. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika potensi yang

dapat menimbulkan kerusakan organ permanen sampai menyebabkan

kematian pada pasien tinggi (Tatro, 2001).

3. Interaksi Farmokokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah perubahan farmakokinetik suatu obat

karena adanya interaksi dengan obat lain di dalam tubuh. Interaksi

farmakokinetik dapat terjadi akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada

(30)

Interaksi yang terjadi antara lain dapat mengubah salah satu kerja dari

komposisi obat yang dicampur, meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi

efektifitas obat atau menyebabkan efek samping yang tidak terduga. Interaksi

farmakokinetik dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok :

a. Mempengaruhi absorpsi

Obat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran

cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi

selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui

transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi

secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar

tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif

terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion

dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi

obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat

dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati

membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan

tidak dapat berdifusi (Harkness and Richard, 1989).

Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan

lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek.

(31)

1. Efek perubahan pH

Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid,

akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut

dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian percepatan

disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi,

suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa

obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran

cerna, sehingga mengurangi absorpsi. Berkurangnya keasaman lambung

oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam

sehingga meningkatkan bioavailabilitas (Harkness and Richard, 1989).

Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam

untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak

memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik,

penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol)

(Harkness and Richard, 1989).

2. Pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat dan adsorpsi

Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin,

enoksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan

sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+,

Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan

penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas

dan efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini

(32)

interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan

antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon

(Harkness and Richard, 1989).

3. Perubahan mortilitas gastrointestinal

Kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil,

obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat

mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat

pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol

(asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya

(Baxter and Karen, 2008).

4. Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein

transporter obat. Transporter obat yang terkarakteristik paling baik

adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan

obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat

mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Baxter and Karen, 2008).

b. Mempengaruhi distribusi

Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke

tempat kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh

dan atau reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada

berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak

mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat

(33)

jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi tempat untuk

obat-obat larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat-obat. Obat-obat-obat yang sangat

larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturate

(Harkness and Richard, 1989).

Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein

darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas

untuk berikatan dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB :

plasma protein binding) dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan

persen obat yang terikat. Obat yang terikat albumin secara farmakologi

tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat, biasa disebut fraksi bebas,

aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang terikat protein

digunakan bersama-sama, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang

sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan

dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam

darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain,

akan terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi melewati

berbagai jaringan. Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas

atau bentuk aktif akan lebih tinggi. Obat-obat yang cenderung berinteraksi

pada proses distribusi adalah obat-obat yang :

a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)

b. terikat pada jaringan

c. mempunyai volume distribusi yang kecil

(34)

e. mempunyai rentang terapetik yang sempit

f. mempunyai onset aksi yang cepat

g. digunakan secara intravena.

Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat

lain dari ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon,

sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid (Harkness and Richard, 1989).

c. Mempengaruhi metabolisme

Obat akan melewati membran plasma menuju reseptor dalam bentuk

larut lemak untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh. Metabolisme

dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air

yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal.

Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan

II. Metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. Oleh

enzim mikrosomal hati yang berada di endotelium, menghasilkan

metabolit obat yang lebih larut dalam air. Metabolisme fase II, obat

bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat,

dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air.

Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fase metabolisme di atas

hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat

yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada

(35)

Berikut adalah beberapa interaksi akibat gangguan metabolisme antara

lain:

1. Peningkatan metabolisme

Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang

terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital

meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas

antikoagulannya. Peningkatan dosis warfarin perlu dilakukan pada

kasus ini, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis warfarin

harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai

alternatif dapat digunakan sedatif selain barbiturate, misalnya golongan

benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme

obat-obat lain seperti hormon steroid (Harkness and Richard, 1989).

2. Penghambatan metabolisme

Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan

dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang

dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat

melalui penghambatan enzim kasantin oksidase, yang memetabolisme

beberapa obat yang potensial toksik seperti merkaptopurin dan

azatioprin. Penghambatan kasantin oksidase dapat secara bermakna

meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama

alopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga

(36)

d. Mempengaruhi ekskresi ginjal

Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi

lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri

renal, mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul

kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa

obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti

protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati

bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat

memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel

tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi)

untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi

aktif tubuli ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal

(Harkness and Richard, 1989).

1. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa

3-7,5) sebagai besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang

tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus sehingga akan tetap dalam

urin dan akan dikeluarkan dari tubuh. Dengan demikian, perubahan pH

yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi,

meningkatkan hilangnya obat (Baxter and Karen, 2008).

2. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal

Obat yang bekerja pada sistem transport aktif yang sama di tubulus

(37)

probenesid mengurangi ekskresi penisilin. probenesid menghambat

sekresi ginjal akibat meningkatnya protein transporter pada ginjal

(Baxter and Karen, 2008).

3. Perubahan aliran darah ginjal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh vasodilator

prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, maka

ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Baxter and Karen,

2008).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang prevalensi

dari resep racikan, pola dari resep racikan, interaksi farmakokinetik, dan pendapat

apoteker dan asisten apoteker terhadap penggunaan resep racikan pada lima

(38)

21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep

racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013

termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat

deskriptif cross sectional.

Penelitian ini disebut penelitian non ekperimental karena hanya

melakukan pengamatan terhadap sejumlah ciri (variabel) yang ada pada objek

penelitian tanpa adanya manipulasi atau intervensi dari peneliti. Penelitian ini juga

termasuk penelitian deskriptif karena pada penelitian ini menggambarkan kejadian

atau fenomena yang terjadi tanpa menganalisis bagaimana dan mengapa

fenomena tersebut terjadi. Rancangan penelitian cross sectional karena hanya

melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat tertentu.

Berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini bersifat retrospektif karena

data yang digunakan diambil berdasarkan data terdahulu/lampau (Saryono, 2011).

B. Variabel Penelitian

1. Prevalensi resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode

Desember 2013

2. Pola peresepan resep racikan

3. Interaksi farmakokinetik resep racikan

(39)

C. Definisi Operasional

1. Resep racikan adalah permintaan (R/) yang berisikan nama obat, dimana obat

tersebut akan dibuat dengan cara merubah bentuk sediaan semula menjadi

bentuk sediaan farmasi yang lain (misal: tablet dirubah bentuk sediaannya

menjadi serbuk) yang disiapkan/diracik di instalasi/bagian obat pada lima

puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013. Contoh resep

racikan:

2. Resep non racikan adalah permintaan (R/) yang berisikan nama obat, dimana

obat tersebut tidak dibuat dengan cara merubah bentuk sediaan semula

menjadi bentuk sediaan farmasi yang lain. Contoh resep non racikan :

R/ Parasetamol 500 mg No.X

S 3.d.d. Tab. I

3. Racikan campuran adalah racikan dengan komposisi dua obat atau lebih.

Racikan tunggal adalah racikan dengan komposisi hanya satu obat.

4. Lembar resep adalah catatan yang berisikan identitas pasien berupa nama,

umur dan permintaan obat yang ditulis oleh dokter. Dalam satu lembar resep

dapat berisi resep racikan dan resep non racikan, misalnya dalam satu lembar

resep untuk pasien A terdapat 3 peresepan (R/1; R/2; R/3), dimana R/1

merupakan resep racikan tunggal dan R/2 merupakan resep racikan campuran,

(40)

lembar resep sebanyak 2 permintaan, dan jumlah total permintaan pada satu

lembar resep adalah 3 permintaan.

5. Prevalensi resep racikan adalah jumlah resep racikan bulan Desember 2013

(racikan tunggal dan racikan campuran) dibagi dengan total jumlah resep

bulan Desember 2013 (resep racikan dan non racikan) dikali seratus persen.

6. Pola resep racikan yang dimaksudkan adalah gambaran penggunaan obat

racikan meliputi jenis obat (misal: vitamin, parasetamol, chlorpheniramin

maleat, glyceryl guaiacolate, salbutamol, dll.); kelas terapi (misal: obat

saluran nafas, antihistamin, mempengaruhi nutrisi, obat penurun demam,

antibiotik, kortikosteroid, obat saluran cerna, dan lain-lain); pasien pengguna

(misal: anak-anak, dewasa); kombinasi racikan (misal: 2 komposisi obat, 3

komposisi obat, 4 komposisi obat, dan lain-lain); bentuk sediaan (misal:

pulvis, pulveres, kapsul, larutan, suspensi, emulsi, salep, suppositoria, krim

dan gel); dan rute pemberian seperti enteral (misal: oral, sublingual, rektal),

parenteral (misal: intra vaskular, IM, SC), lain-lain (misal: inhalasi, intranasal,

intratekal, topikal, transdermal). Kategori jenis obat dan kelas terapi

diidentifikasi dengan menggunakan bantuan pustaka acuan dari Depkes RI

(2008), dan Lacy et al. (2006).

7. Interaksi obat adalah reaksi antara obat dengan obat lainnya di dalam tubuh

maupun yang dapat mempengaruhi kerja obat jika digunakan bersamaan pada

pengobatan dalam bentuk racikan dan non racikan. Interaksi yang dievaluasi

(41)

pustaka acuan yang ditulis oleh Tatro (2007), Stockley (2010), Zucchero et

al. (2002), dan Drug Interaction Checker.

8. Pendapat apoteker dan asisten apoteker terhadap resep racikan adalah hal yang

diinginkan apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan,

dideskripsikan berdasarkan hasil wawancara terhadap apoteker dan asisten

apoteker yang bertugas pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada lima puskesmas yang berada di wilayah

Kabupaten Sleman yaitu di Puskesmas Seyegan, Mlati II, Depok I, Tempel I dan

Kalasan. Tempat pengambilan data dilakukan di gedung pertemuan/aula yang

terdapat pada tiap-tiap puskesmas. Pengambilan data di Puskesmas Seyegan

dilakukan pada pukul 09.00- 12.30 dan 09.00-13.00 WIB selama dua hari pada

tanggal 21- 22 Januari 2014. Pengambilan data di Puskesmas Mlati II dilakukan

pada pukul 10.00-13.30 WIB, 09.00-11.00 WIB dan 09.00-12.00 WIB selama tiga

hari pada tanggal 24-26 Januari 2014. Pengambilan data di Puskesmas Depok I

dilakukan pada pukul 09.00-13.00 WIB, 10.00-12.30 WIB dan 10.30-12.30 WIB

selama tiga hari pada tanggal 28-30 Januari 2014. Pengambilan data di Puskesmas

Tempel I dilakukan pada pukul 09.00-11.30 WIB dan 10.00-12.30 WIB selama

dua hari pada tanggal 1-2 Februari 2014. Pengambilan data di Puskesmas Kalasan

dilakukan pada pukul 09.00-12.30 WIB dan 08.30-13.00 WIB selama dua hari

pada tanggal 5-6 Februari 2014. Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu pada

(42)

E. Obyek Dan Subyek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah resep racikan pada periode Desember

2013 yang diperoleh dari lima puskesmas di Kabupaten Sleman. Resep racikan

yang digunakan sebagai objek penelitian untuk mengetahui prevalensi

penggunaan resep racikan sebanyak 643 resep racikan dari 13.416 jumlah resep

yang diterima bulan Desember 2013.

Subyek untuk wawancara terstruktur adalah apoteker maupun asisten

apoteker yang menangani resep racikan dan subyek besedia terlibat dalam proses

wawancara terstruktur. Subyek pada penelitian ini sejumlah 5 orang, terdiri dari 2

orang apoteker, dan 3 orang asisten apoteker.

F. Metode Pengambilan Data

1. Prevalensi resep racikan, pola resep racikan dan interaksi farmakokinetik

resep racikan diperoleh dengan menghitung keseluruhan resep dan mencatat

resep racikan yang terdapat pada lembar resep pasien.

2. Pendapat dari apoteker maupun asisten apoteker terkait penggunaan resep

racikan diperoleh dengan wawancara terstruktur.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen pada penelitian ini adalah pustaka yang ditulis oleh Tatro

(2007), Stockley (2010), dan Zucchero et al. (2002), Drug Interaction Checker,

digunakan sebagai acuan untuk evaluasi interaksi farmakokinetik. Pustaka yang

(43)

terkait kategori jenis obat dan kelas terapi pada gambaran pola resep racikan.

Lembar observasi yang didapat dari observasi yang dilakukan di Dinas Kesehatan

dan hasil wawancara yang digunakan sebagai intrumen. Serta dilampirkan inform

consent sebagai lembar persetujuan kesediaan apoteker dan asisten apoteker untuk

diwawancarai.

H. Tata Cara Penelitian

Ada enam tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini, diantaranya

yaitu tahap observasi awal, tahap pemilihan lokasi, tahap perijinan, orientasi,

tahap pengambilan data dan tahap pengolahan data.

1. Observasi awal

Tahap ini dimulai dengan pembuatan proposal. Pada tahap ini juga

dilakukan kunjungan langsung ke Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman

Yogyakarta untuk mengetahui jumlah puskesmas yang ada di Kabupaten

Sleman dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh ijin

penelitian.

2. Pemilihan lokasi

Pemilihan puskesmas dilakukan menggunakan metode cluster random.

Pengelompokan populasi ditentukan berdasarkan letak geografis kecamatan

yang ada di Kabupaten Sleman. Hasil dari pengelompokan populasi

berdasarkan letak geografis akan dikelompokkan menjadi beberapa gugus.

Gugus yang dimaksud adalah jumlah puskesmas dari masing-masing

(44)

sebanyak 25 puskesmas yang tersebar di masing-masing kecamatan. Hasil dari

klaster ini dapat dilihat pada Tabel II.

Tabel II. Pemetaan Puskesmas Berdasarkan Kecamatan Kabupaten Sleman.

Total 17 Kecamatan 25 Puskesmas

Jumlah gugus yang didapat kemudian dihitung secara proporsional

menggunakan proporsi 20% sehingga didapatkan 1 puskesmas yang dipilih

secara random sederhana dari masing-masing subpopulasi. Teknik random

sederhana dilakukan untuk memilih lokasi pengambilan data, sehingga dari

masing-masing subpopulasi didapat dipilih 1 puskesmas. Berdasarkan hasil

random sederhana yang dilakukan, didapatkan sebanyak 5 puskesmas sebagai

lokasi pengambilan data yaitu Puskesmas Seyegan, Mlati II, Depok I, Tempel

(45)

3. Permohonan ijin

Pada penelitian ini permohonan ijin diperoleh dengan mengajukan surat

pengantar yang diberikan oleh Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma disertai proposal penelitian dan fotokopi kartu mahasiswa yang

ditujukan ke Kepala Kantor Kesatuan Bangsa (KesBang) untuk memperoleh

surat rekomendasi permohonan ijin penelitian. Surat rekomendasi yang

diperoleh dari KesBang nantinya akan ditujukan kepada Kepala Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman untuk

diproses sehingga surat ijin penelitian dapat dikeluarkan. BAPPEDA nantinya

akan mengeluarkan surat tembusan ijin penelitian yang ditujukan kepada

Bupati Sleman, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Sleman, Kabid. Sosisal Budaya

BAPPEDA Kab. Sleman, Camat Tempel, Camat Seyegan, Camat Depok,

Camat Kalasan, Camat Mlati, Kepala UPT Puskesmas Tempel I, Kepala UPT

Puskesmas Seyegan, Kepala UPT Puskesmas Depok I, Kepala UPT

Puskesmas Kalasan, Kepala UPT Puskesmas Mlati II, dan Dekan Fak.

Farmasi USD Yogyakarta.

4. Orientasi

Pada tahap ini dilakukan orientasi ke lima puskesmas yang bersangkutan

untuk menyesuaian teknis pengambilan data yang sesuai agar tidak

mengganggu aktivitas pelayanan di masing-masing puskesmas yang dituju.

5. Pengambilan data

Pada proses ini, objek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria inklusi.

(46)

yang dituliskan oleh dokter untuk pasien pada bulan Desember 2013. Pada

tahap ini dilakukan pencatatan semua resep yang berisi obat racikan meliputi

nama obat, jumlah penggunaan obat, aturan pakai obat, bentuk sediaan, umur

dan diagnosis pasien. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data kuantitatif

mengenai prevalensi penggunaan resep racikan dan mengetahui gambaran

pola resep racikan, dan juga mendapatkan data interaksi farmakokinetik obat

dari resep racikan yang dilakukan secara evaluatif pada resep racikan. Hal lain

yang juga dilakukan adalah melakukan wawancara terhadap apoteker dan

asisten apoteker terkait pendapat mereka mengenai penggunaan resep racikan

dengan cara merekam suara menggunakan perekam suara. Data yang

diperoleh melalui wawancara merupakan data kualitatif.

6. Pengolahan data

Pada tahap ini dilakukan sampling pengambilan obyek penelitian untuk

memperoleh data terkait gambaran pola resep racikan dan evaluasi interaksi

farmakokinetik resep racikan. Hal ini dilakukan karena jumlah objek yang

diperoleh cukup besar sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dalam

penelitian. Penghitungan sampling obyek penelitian diperoleh dengan cara

menghitung jumlah sampel minimal sampling yang dapat digunakan. Data

penggunaan resep racian periode Desember 2013 pada lima puskesmas

didapatkan sebanyak 643 resep, terdiri dari 81 resep racikan tunggal dan 562

resep racikan campuran. Untuk mengetahui jumlah sampel minimal pada

penelitian ini dilakukan dengan perhitungan menggunakan rumus sebagai

(47)

( ) ( ) ( )

((Lemeshow and David, 1997)

Keterangan :

n = jumlah minimal resep racikan campuran yang diperlukan

α = derajad kepercayaan

p = proporsi penggunaan resep racikan campuran

q = 1-p (proporsi penggunaan resep racikan tunggal)

d = limiting dari error atau presisi absolut (0,05)

Jika ditetapkan α = 0,05 atau Z1-α/2 = 1,96 atau Z21--α/2 = 1,9622 atau

dibulatkan mejadi 4, maka rumus untuk besar N yang diketahui menjadi :

Rumus perhitungan sampel pada penelitian ini dapat dilakukan karena

besar atau jumlah populasi untuk perhitungan sampel pada penelitian

diketahui (Lemeshow and David, 1997).

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, jumlah minimal resep racikan

campuran yang didapatkan adalah sebanyak 176 resep. Mengingat jumlah

resep racikan campuran pada lima puskesmas memiliki jumlah yang

bervariasi, sehingga dilakukan perhitungan secara proporsional random

sampling untuk memperoleh sampel yang proporsional dengan jumlah resep

(48)

racikan campuran di masing-masing puskesmas. Sampel yang digunakan

sebagai data di Puskesmas Seyegan sebanyak 26 resep, di Puskesmas Mlati II

sebanyak 42 resep, di Puskesmas Depok I sebanyak 44 resep, di Puskesmas

Tempel I sebanyak 32 resep dan di Puskesmas Kalasan sebanyak 32 resep.

Pemilihan resep dilakukan menggunakan metode random sampling sederhana.

I. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menghitung

prevalensi resep racikan, penggambarkan pola resep racikan, mengevaluasi

interaksi farmakokinetik, serta mewawancarai apoteker maupun asisten apoteker

terkait penggunaan resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman.

1. Prevalensi resep racikan periode Desember 2013

Perhitungan prevalensi resep racikan dilakukan dengan membagi jumlah

resep racikan (racikan campuran dan racikan tunggal) yang di resepkan oleh

dokter bulan Desember 2013 dengan jumlah resep non racikan dan racikan

(racikan campuran dan racikan tunggal) pada bulan Deasember 2013 dikali

seratus persen. Dengan rumus :

prevalensi resep racikan ( ) 2 x 100%

Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan persentase/prevalensi dari

resep racikan yang digunakan pada periode satu bulan yaitu bulan Desember

(49)

2. Pola resepan racikan

Data pola peresepan didapat dengan menghitung dan mengklompokkan

masing-masing pola yang terdapat dalam lembar resep raikan berdasarkan

jenis obat yang digunkan, kelas terapi, pasien penerima obat racikan,

kombinasi obat racikan, jenis bentuk sediaan dan rute pemberian obat racikan.

3. Interaksi farmakokinetik resep racikan

Interaksi farmakokinetk dari kombinasi obat pada lembar resep racikan

dievaluasi dengan menggunakan pustaka acuan yang ditulis oleh Tatro (2007),

Stockley (2010),Zucchero et al. (2002) dan Drug Interaction Checker.

4. Wawancara apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan resep racikan

Pendapat yang diberikan oleh apoteker maupun asisten apoteker

mengenai penggunaan resep racikan dikumpulkan dalam suatu lembar yang

berisikan kumpulan pendapat dari hasil wawancara yang dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis tematik.

J. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dari penelitian ini yaitu terbatasnya informasi mengenai

data demografi penduduk yang berfungsi untuk melegkapi data penerima resep

racikan pada puskesmas-puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember

(50)

33 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bagian. Bagian pertama

menguraikan tentang prevalensi penggunaan resep racikan pada lima puskesmas

di Kabupaten Sleman periode Desember 2013. Bagian kedua menguraikan tentang

gambaran pola resep racikan. Bagian ketiga menjelaskan evaluasi interaksi

farmakokinetik obat pada resep racikan berdasarkan referensi acuan, dan bagian

keempat menguraikan pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan

resep racikan.

A. Prevalensi Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013

Selama periode Desember 2013 di lima puskesmas Kabupaten Sleman

terdapat sebanyak 13.416 jumlah resep (R/) yang diberikan kepada pasien. Jumlah

resep tersebut terdiri dari 12.773 penggunaan resep non racikan dan 643

penggunaan resep racikan.

Gambar 1. Persentase Resep Racikan dan Non Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013

95,2% 4,8%

(51)

Gambar 2. Persentase Masing-Masing Resep Racikan dan Non Racikan pada lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013

Berdasarkan Gambar 1 persentase penggunaan resep racikan total pada

lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013 sebesar 4,8%.

Jumlah ini lebih rendah persentasenya dibandingkan dengan penggunaan resep

obat non racikan yaitu sebanyak 95,2%.

Berdasarkan Gambar 2 penggunaan resep racikan yang paling banyak

yaitu pada Puskesmas Tempel dengan persentase sebanyak 7,8% dibandingkan

dengan penggunaan resep racikan pada puskesmas lain. Berdasarkan prevalensi

penggunaan resep racikan dapat dikatakan bahwa penggunaan obat dengan resep

non racikan lebih banyak digunakan dibandingkan dengan penggunaan resep

racikan. Menurut penelitian yang dilakukan McPherson et al. (2006), di Amerika

Serikat tahun 2005, penggunaan resep racikan di negara tersebut sejumlah 2,3%

dari keseluruhan resep yang ada, hal ini menunjukkan resep racikan masih

digunakan, tetapi penggunaannya dalam jumlah yang rendah. Berdasarkan

penelitian tersebut memperkuat bahwa penggunaan resep racikan masih

digunakan, namun digunakan dalam jumlah yang rendah.

Kalasan Depok I Seyegan Mlati II Tempel I

96,3% 94,2% 96,1% 96,1% 92,2%

3,7% 5,8% 3,9% 3,9% 7,8%

(52)

B. Pola Peresepan Racikan

Resep racikan yang digunakan pada lima puskesmas di Kabupaten

Sleman memiliki berbagai macam kombinasi obat yang disesuaikan dengan

kebutuhan pasien. Gambaran pola resep racikan pada lima puskesmas di

Kabupaten Sleman dapat diketahui dengan melihat jenis obat yang digunakan,

pasien pengguna resep racikan, kelas terapi, kombinasi resep racikan, jenis bentuk

sediaan dan rute pemberian obat racikan. Berikut adalah gambaran pola resep

racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut:

Tabel III. Kelas Terapi dan Jenis Obat Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman Periode Desember 2013

No. Kelas Terapi Obat Jenis Obat Jumlah Persen

Antagonis dopamin Metoklopramid 2 0,5%

Obat Mempengaruhi Nutrisi

1 Glukokortikioid Dexamethason

Prednison

14 3

3% 0,7%

2 Glukokortikoid topikal Bethametazone 1 0,2%

Obat Sauran Nafas

1 Antagonis adrenoseptor Salbutamol 46 10%

2 Dekongenstan Epedrin 5 1%

3 Antitusif non-narkotik Dextromethorpan 3 0,7%

4 Ekspektoran Gliseril Guaiakolate 65 15%

Obat Anti Alergi

1 Antihistamin H1 antagonis

Klorpeniramin Maleat 145 33%

Obat Penurun Demam

1 Analgesik non-opioid Parasetamol 70 16%

(53)

a. Jenis obat

Jenis obat yang sering diresepkan pada resep racikan adalah

klorpeniramin maleat sebanyak 145 (33%) dari total resep racikan pada

periode Desember 2013 (Tabel III). Wiedyaningsih (2003), dalam

penelitiannya yang dilakukan di apotek kotamadya Yogyakarta menemukan

bahwa obat yang paling sering ditambahkan pada resep racikan adalah

klorpeniramin maleat. Klorpeniramin maleat merupakan obat golongan

antihistamin H1 antagonis yang biasanya diberikan untuk mengatasi

gangguan yang disebabkan karena adanya alergen (Depkes RI, 2008).

b. Pasien pengguna resep racikan

Resep racikan pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode

Desember 2013 diresepkan untuk pasien anak-anak. Rentang umur pasien

anak-anak penerima obat dengan pemberian resep racikan berkisar antara 2

bulan sampai dengan 9 tahun. Penelitian yang dilakukan Wibowo (2008),

rentang umur anak-anak yang menerima resep racikan antara 0 bulan sampai

dengan 5,8 tahun di instalasi rawat jalan Rumah Sakit Bethesda periode Juli

2007. Berdasarkan dua data tersebut memperkuat bahwa penggunaan resep

racikan memang digunakan untuk pasien anak-anak.

c. Kelas terapi

Obat yang sering diresepkan adalah obat dengan kelas terapi sebagai

obat anti alergi (33%), obat saluran nafas (26,7%), obat penurun demam

(16%), dan obat mempengaruhi nutrisi (14,2%). Obat dengan kelas terapi

(54)

infeksi pada saluran penafasan. Infeksi saluran pernafasan merupakan suatu

penyakit yang sering terjadi pada semua golongan umur terutama pada balita

dan anak. Infeksi saluran pernafasan merupakan infeksi yang menyerang salah

satu bagian atau lebih dari saluran pernafasan, mulai hidung, telinga tengah,

faring (tenggorokan), laring (kotak suara), bronki, bronkioli hingga alveoli

(Djaja, et al., 2001).Berdasarkan hal-hal tersebut memperkuat bahwa kelima

kelas terapi tersebut memang diresepkan dokter untuk pengobatan pada

anak-anak dengan gangguan infeksi saluran pernafasan.

Tabel IV, V, VI, VII, VIII, IX dan X menunjukkan komposisi, bentuk

sediaan, rute pemberian dan jumlah penggunaan dari resep racikan pada lima

puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013.

Tabel IV. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Dua Komposisi (Zat Aktif)

Racikan Periode Desember 2013

1 Parasetamol+Klorpeniramin Maleat Pulveres Oral 6

2 Parasetamol+Gliseril Guaiakolat Pulveres Oral 1

3 Parasetamol+Dexamethason Pulveres Oral 2

4 Klorpeniramin Maleat+Amoxcillin Pulveres Oral 1

5 Klorpeniramin Maleat+Gliseril Guaiakolat Pulveres Oral 17

6 Klorpeniramin Maleat+Salbutamol Pulveres Oral 26

7 Klorpeniramin Maleat+Vitamin C Pulveres Oral 5

8 Klorpeniramin Maleat+Prednison Pulveres Oral 1

9 Klorpeniramin Maleat+Vitamin B complex Pulveres Oral 2

10 Klorpeniramin Maleat+Efedrin Pulveres Oral 1

11 Klorpeniramin Maleat+Dexamethason Pulveres Oral 4

12 Gliseril Guaiakolat+Salbutamol Pulveres Oral 2

13 Gliseril Guaiakolat+Dexamethason Pulveres Oral 3

14 Gliseril Guaiakolat+Efedrin Pulveres Oral 2

15 Vitamin B6+Ranitidin Pulveres Oral 1

16 Vitamin B6+Dextromethorphan Pulveres Oral 1

17 Vitamin C+Dexamethason Pulveres Oral 1

18 Vitamin C+Ranitidin Pulveres Oral 1

19 Bethametazon+Bacitrasin Salep Topikal 1

20 Amoxcillin syr+Amoxcillin+Klorpeniramin Maleat Larutan Oral 3

(55)

Tabel V. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Tiga Komposisi (Zat Aktif)

Racikan Periode Desember 2013

1 Parasetamol+Vitamin C+Klorpeniramin Maleat Pulveres Oral 4

2 Parasetamol+Gliseril Guaiakolat+ Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 8

3 Parasetamol+VitaminC+Dexamethason Pulveres Oral 1

4 Parasetamol+Vitamin C+Gliseril Guaiakolat Pulveres Oral 1

5 Parasetamol+Salbutamol+

8 Gliseril Guaiakolat+ Vitamin B complex+ Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 2

9 Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 2

10 Gliseril Guaiakolat+ Vitamin C Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 9

11 Gliseril Guaiakolat+ Vitamin B6 Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 2

12 Gliseril Guaiakolat+Vitamin C+Salbutamol Pulveres Oral 1

13 Gliseril Guaiakolat+ Dexamethason Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 1

14 Gliseril Guaiakolat+ Efedrin Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 1

15 Klorpeniramin Maleat+ Salbutamol+Vitamin C Pulveres Oral 1

16 Klorpeniramin Maleat+ Vitamin C Vitamin B complex

Pulveres Oral 3

17 Antasida+Vitamin B6+Metoklorpramid Pulveres Oral 1

Tabel VI. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Empat Komposisi (Zat Aktif)

Racikan Periode Desember 2013

2 Parasetamol+ VitaminC+

Klorpeniramin Maleat+Dexamethason

Pulveres Oral 1

(56)

Tabel VII. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Dua Komposisi (Zat Aktif)

Racikan dan Komposisi Non Racikan Periode Desember 2013

No. Komposisi

1 Amoxcillin syr Klorpeniramin Maleat+ Parasetamol

Pulveres Oral 3

2 Amoxcillin syr Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol

Pulveres Oral 1

3 Amoxcillin syr Gliseril Guaiakolat+ Parasetamol

Pulveres Oral 1

4 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Vitamin C

Pulveres Oral 1

5 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Salbutamol

Pulveres Oral 2

6 Parasetamol syr Vitamin B6+ Metklorpramid

Pulveres Oral 1

7 Parasetamol syr Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol

Pulveres Oral 4

8 Parasetamol syr Gliseril Guaiakolat+ Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 4

9 Parasetamol tab Klorpeniramin Maleat+ Vitamin C

Pulveres Oral 1

10 Parasetamol tab Gliseril Guaiakolat+ Klorpeniramin Maleat

Tabel VIII. Komposisi, Bentuk Sediaan dan Rute Pemberian pada Lima Puskesmas Kabupaten Sleman yang menerima Tiga Komposisi (Zat Aktif)

Racikan dan Komposisi Non Racikan Periode Desember 2013

No. Komposisi

1 Amoxcillin syr Parasetamol+Gliseril Guaiakolat +Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 3

2 Amoxcillin syr Parasetamol+Vitamin C Klorpeniramin Maleat

Pulveres Oral 1

3 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Salbutamol+Vitamin C

Pulveres Oral 1

4 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Vitamin B complex+Vitamin C

Pulveres Oral 1

5 Parasetamol syr Klorpeniramin Maleat+ Gliseril Guaiakolat+ Salbutamol

Pulveres Oral 1

Gambar

Gambar 3. Penggunaan Komposisi Resep Racikan disertai Non Racikan
Tabel I. Tingkat Keparahan Interaksi Obat (Tatro, 2001).
Tabel II. Pemetaan Puskesmas Berdasarkan Kecamatan
gambaran pola resep racikan. Bagian ketiga menjelaskan evaluasi interaksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data serangan organisme perusak kayu pada berbagai komponen bangunan, kelas umur bangunan, kerusakan bangunan per wilayah pengamatan dan nilai kerugian ekonomi

Puji dan Syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Indikator

Mikrokontroler merupakan keseluruhan sistem komputer yang dikemas menjadi sebuah chip di mana di dalamnya sudah terdapat Mikroprosesor, I/O, Memori bahkan ADC,

10.Fotokopi surat keterangan telah melakukan Praktek Kerja Nyata di PT Indra Karya Cabang I Malang. 11.Surat Keterangan Kerja sebagai Staf Administrasi dan Umum di Atlantic

Alhamdulillahhirobbil„alamin, puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan rahmat-Nya yang berlimpah, serta memberikan

Berdasarkan data hasil post test kemampuan membuktikan konsep Aljabar Abstrak yang dianalisis dengan menggunakan Independent Samples T Test melalui software SPSS

Corporate Social Responsibility terhadap profitabilitas) dan yang kedua adalah analisis regresi dengan variabel intervening yang dilakukan dengan tujuan untuk

Penerimaan Peserta Didik Baru Online pada Sekolah Menengah Pertama Negeri, Sekolah Menengah atas Negeri dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Tahun Ajaran 2016/2017 Kota