• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi sediaan krim ekstrak etanolik rimpang temu putih (curcuma zedoaria berg. roscoe) dengan pengujian aktivitasnya sebagai antiinflamasi - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Formulasi sediaan krim ekstrak etanolik rimpang temu putih (curcuma zedoaria berg. roscoe) dengan pengujian aktivitasnya sebagai antiinflamasi - USD Repository"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETANOLIK RIMPANG

AKTIVITASNYA SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memenuhi Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Samuel Meinardus Dwi Prasetyo

NIM : 108114084

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memenuhi Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Samuel Meinardus Dwi Prasetyo

NIM : 108114084

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

FORMULASI SEDIAAN KRIM EKSTRAK ETANOLIK RIMPANG TEMU PUTIH (Curcuma zedoariaBerg. Roscoe) DENGAN PENGUJIAN

(3)
(4)

iii

(5)
(6)
(7)

vi

PRAKATA

Puji Syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya yang selalu membimbing penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Formulasi Sediaan Krim

Ekstrak Etanolik Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria Berg. Roscoe)Dengan

Pengujian Aktivitasnya Sebagai Antiinflamasi” sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas Farmasi, Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pada kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan ungkapan

terimakasih kepada :

1. Bapak, ibu dan kakak penulisatas doa dan kasih sayangnya kepada penulis

yang senantiasa menyertai penulis selama menyusun skripsi.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan

bimbingan dan pengajaran kepada penulis .

3. Ibu Christofori Maria Ratna Rini Nastiti, M. Pharm., Apt. selaku Kaprodi

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, sekaligus dosen pembimbing

yang selalu memberikan arahan, bimbingan, masukan, semangat serta

motivasi semenjak pembuatan proposal hingga selesainya penelitian skripsi

ini.

4. Bapak Ipang Djunarko M.Sc., Apt. sebagai dosen penguji yang telah berkenan

memberikan saran dan masukan demi kebaikan skripsi ini.

5. Bapak Yohanes Dwiatmaka M.Si. sebagai dosen penguji yang telah berkenan

(8)

vii

6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

mengajar dan membimbing penulis selama perkuliahan.

7. Segenap laboran dan karyawan, Bapak Musrifin, Bapak Heru, Bapak

Wagiran, Bapak Parjiman, dan Mas Darto yang telah membantu selama

penelitian berlangsung.

8. Teman-teman skripsi senasib sepenanggungan Tomas, Lulu, Odilia, Wulan,

Angga, Anis dan Dian.

9. Teman-teman angkatan 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

yang juga memberikan banyak pengalaman selama masa perkuliahan penulis.

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan doa, bantuan, dan dukungan selama penelitian skripsi.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan mengingat keterbatasan kemampuan, pengetahuan serta pengalaman

yang dimiliki.Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan

oleh penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 23 Juli 2014

(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

INTISARI ... xiv

(10)

ix

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20

B. Variabel Penelitian ... 20

C. Definisi Operasional ... 21

D. Bahan ... 22

A. Hasil Uji Standarisasi Ekstrak Temu Putih ... 30

B. Hasil Uji Organoleptis ... 31

C. Hasil Uji pH ... 33

(11)

x

E. Hasil Uji Stabilitas Krim Temu Putih ... 34

F. Uji Aktivitas Antiinflamasi Krim Temu Putih ... 35

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

A. Kesimpulan ... 40

B. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

LAMPIRAN ... 44

(12)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. FormulaSediaan Krim Temu Putih Dalam 25 g Sediaan ... 23

Tabel II. Uji Organoleptis Sediaan Krim Temu Putih ... 32

Tabel III. Uji pH Sediaan KrimTemu Putih ... 33

Tabel IV. Uji Viskositas Sediaan Krim Temu Putih ... 34

Tabel V. Pergeseran Viskositas Sediaan Krim Temu Putih ... 34

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Rimpang Temu Putih (Curcumazedoaria) ... 11

Gambar 2. Struktur Kurkumin, Demetoksikurkumin, Bisdemetoksikurkumin 13

Gambar 3. Mekanisme Kurkumin Menghambat Inflamasi ... 14

Gambar 4. Mekanisme Karagenan Menyebabkan Edema ... 17

Gambar 5. Grafik % Inhibition Sediaan Krim Temu Putih Basis o/w ... 38

Gambar 6. Grafik % Inhibition Sediaan Krim Temu Putih Basis Biocream® 38

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Penetapan Kadar Air Menggunakan Metode Gravimetri... 44

Lampiran 2. Penetapan Kada Kurkumin Dengan Metode KLT Densitometri 46 Lampiran 3. Uji Statistik Jam ke-1 ... 48

Lampiran 4. Uji Statistik Jam ke-2 ... 51

Lampiran 5 Uji Statistik Jam ke-3 ... 54

Lampiran 6 Uji Statistik Jam ke-4 ... 57

Lampiran 7 Sediaan Krim Temu Putih Pada Hari ke-2 ... 60

Lampiran 8 Sediaan Krim Temu Putih Pada Hari ke-28 ... 61

Lampiran 9 Uji sifat fisis ... 65

(15)

xiv

INTISARI

Penggunaan obat antiinflamasi dari bahan alam sedang dikembangkan untuk mencegah efek samping pada saluran gastrointestinal. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi ekstrak kental temu putih ke dalam sediaan krim dengan basis o/w dan basis biocream, serta mengamati pengaruhpenetration

enhancerberupa peppermint oil 0,5% terhadap peningkatan aktivitas

antiinflamasi.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni dengan metodeinduksi karagenan sebagai agen inflamasi pada telapak kaki tikus betina galur Wistar secara subplantar. Edema diukur dengan alat pengukur berupa jangka sorong. Konsentrasi ekstrak yang digunakan dalam formulasi sediaan krim adalah 7% dengan kontrol negatif menggunakan basis krim dan kontrol positif menggunakan Voltaren® emulgel. Pemberian krim dilakukan 1 jam sebelum injeksi karagenan secara topikal.Analisis data menggunakan ANOVA dengan taraf kepercayaan 95% pada program R dengan versi 3.0.1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan krim temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Roscoe) memiliki stabilitas yang baik selama penyimpanan 28 hari untuk formula F3, F6, dan F7. Seluruh sediaan krim temu putih menunjukkan aktivitas inflamasi selama 4 jam setelah injeksi karagenan 1%, tetapi tidak sekuat Voltaren® emulgel.

(16)

xv

ABSTRACT

The use of natural antiinflammatory drugs had been developed recently to anticipate adverse effects on the gastrointestinal tract. This study aim to formulate a extract of zedoary into cream preparation with o/w base and biocream base, and to investigatethe effect of penetration enhancers i.e 0.5%peppermintoil to increase antiinflammatory activity

This study was experimental, observing the antiinflamatory effect of the ethanolic extract of zedoary creams, by using carrageenan induced hind paw edema method. The paw edema was induced the subplantar injection and edema thickness measured with a vernier caliper. The concentration of the extract used in the preparation of the cream formulation was 7 % with a negative control using a cream base and a positive control using Voltaren ® emulgel. Analysis of data using ANOVA with confident level 95% in R 3.0.1 program.

The results showed that the ethanolic extract of zedoary creams has good stability during storage of 28 days for F3, F6 and F7. All of creamsshowed anti- inflammatory activity but not stronger than Voltaren® emulgel while4 hour after injection of carrageenan 1% .

(17)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kulit merupakan bagian terluar dari tubuh yang berhubungan langsung

dengan lingkungan, hal ini membuat kulit mudah terkena zat-zat asing yang

berbahaya seperti zat kimia, zat mikrobiologik, radiasi panas dan elektromagnetik

serta trauma fisik. Inflamasi merupakan respon biologis perlindungan diri

organisme untuk menghilangkan rangsangan penyebab luka yang dapat

disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Inflamasi terjadi karena adanya pelepasan

mediator kimiawi dari jaringan yang mengalami kerusakan (Mycek, 2001).

Jaringan yang mengalami kerusakan akan melepaskan inflammatory mediators

seperti bradikinin, histamin, prostaglandin, dan sitokin. Prostaglandin merupakan

mediator penting dalam proses inflamasi dan terjadiya rasa nyeri. Prostaglandin

disintesis dengan adanya enzim siklooksigenase (Kidd, 2001).

Telah banyak obat-obat antiinflamasi yang beredar. Kebanyakan obat

antiinflamasi yg beredar merupakan golongan nonsteroid (AINS). Obat AINS

memiliki mekanisme antiinflamasi dengan cara menghambat enzim

siklooksigenase untuk mencegah tersintesisinya prostaglandin (Gunawan, 2005).

Diklofenak merupakan salah satu obat antiinflamasi golongn nonsteroid yang

(18)

dilofenak dan obat AINS lainnya secara oral memiliki efek samping yang serius

pada saluran gastrointestinal (Moody,2010).

Pengobatan inflamasi secara topikal saat lebih dipilih karena pengobatan

secara topikal dapat menghindari terjadinya efek samping seperti halnya yang

terjadi pada penggunaan obat inflamasi secara oral (Schuelert, Russell, dan

McDougall, 2011). Selain itu keuntungan dari penggunaan obat inflamasi secara

topikal dibandingkan dengan oral, yaitu tidak melewati hepatic first pass

metabolism, mudah penggunaannya, mengurangi terjadinya fluktuasi level obat

dalam tubuh, dapat mencapai efikasi dengan penggunaan dosis kecil, mudah

untuk penghentian pengobatan jika dikehendaki, lebih site-spesific, meningkatkan

kepatuhan penggunaan (Moody,2010).

Pengobatan dengan menggunakan obat tradisional pada saat ini

merupakan pilihan alternatif bagi masyarakat karena khasiat dari obat tradisional

tidak kalah baiknya dengan obat-obatan sintetik. Banyak tanaman herbal yang

secara empiris berpotensi sebagai obat herbal antiinflamasi, salah satunya adalah

temu putih (Curcuma zedoaria). Berbagai manfaat dapat ditemukan dari seluruh

bagian tanaman temu putih terutama bagian rimpangnya. Temu putih memiliki

kandungan minyak atsiri berupa zingiberen, 1,8 sineol, D-kampora, D-kampen,

Dborneol, α pinen, kurkumol, zederon, kurkumeneol, kurkulon, furanodienon,

isofuranodienon. Kandungan kurkuminoid yang terdapat di temu putih berupa

kurkumin, dismetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin (Badan Pengawas Obat

(19)

karena kurkumin aktif dalam menghambat peradangan (Kaushik dan

Jalalpure, 2011).

Tumor necrosis factor alpha (TNFα), interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan IL-8

merupakan pro-inflammatory cytokines yang memiliki peran penting dalam proses

terjadinya inflamasi (Kidd, 2001). TNFα dan interleukin-1 (IL-1) banyak terdapat

di dalam jaringan epidermis. Pada saat jaringan kulit mengalami luka, TNFα dan

interleukin-1 (IL-1) dilepaskan dari jaringan epidermis dan memacu aktivasi

NF-kB. Aktivasi NF-kB menyebabkan terjadinya proses transkripsi gen

mediator-mediator inflamasi (Robert and Kupper, 1999). Salah satu mekanisme aktivitas

antiinflamasi kurkumin yaitu dengan cara menghambat kerja TNFα dan

interleukin-1 (IL-1). Penghambatan kerja TNFα dan interleukin-1 (IL-1)

menyebabkan proses transkripsi gen mediator-mediator inflamasi tidak terjadi

sehingga proses inflamasi terhambat (Chainani-Wu, 2003). Menurut Jurenka

(2009), menyatakan bahwa kurkumin dapat juga menghambat proses inflamasi

dengan cara menghambat metabolisme asam arakidonat melalui jalur

siklooksigenae dan jalur lipooksigenase.

Pemilihan formulasi untuk sediaan topikal perlu diperhatikan karena

memperantarai zat aktif masuk ke dalam jaringan kulit. Menurut Sandhu et.al

(2012),interaksi zat aktif, sistem pembawa dan karakteristik kulit mempengaruhi

permeasi dan bioavaibilitas suatu obat. Sediaan krim adalah sediaan semisolid

dengan sistem emulsi yang diaplikasikan pada kulit. Pelepasan zat aktif pada krim

dengan basis o/w lebih mudah dibandingkan dengan basis w/o (Sandhu et al,

(20)

krimo/w lebih mudah menyebar rata dan mudah dibersihkan. Biocream®®

merupakan sistem emulsi yang stabil dengan distribusi minyak dan air yang

merata (ambifilik) yang membuat Biocream®® memiliki sifat emulsi minyak

dalam air dan emulsi air dalam minyak. Biocream®® dapat dicampur dengan air,

zat-zat yang larut dalam air, minyak maupun zat-zat yang larut dalam minyak

tanpa mengganggu stabilitasnya.

Kulit memiliki barrier yang disebut stratum corneum yang dapat

menghambat permeasi dari zat aktif. Barrier ini sangat selektif terhadap molekul

yang akan masuk ke dalam jaringan kulit. Hanya molekul yang memiliki sifat

fisika-kimia yang spesifik dan sesuai dengan stratum corneum yang dapat

melewati barrier ini. Hal ini membuat penetration enhancer di dalam formulasi

sediaan topikal diperlukanuntuk membantu zat aktif masuk ke dalam jaringan

kulit (Fox, Gerber, Plessis, dan Hamman, 2011). Menurut Fox dkk. (2011),

peppermint oil merupakan salah satu jenis essential oil yang dapat digunakan

sebagai penetration enhancer karena peppermint oil dapat mengubah integritas

(21)

1. Perumusan masalah

a. Apakah ekstrak temu putih dapat dibuat sediaan topikal dan memenuhi

kriteria sebagai sediaan krim dengan basis o/w dan Biocream®?

b. Apakah ekstrak temu putih dapat memberikan aktivitas antiinflamasi dalam

penggunaannya secara topikal dengan bentuk sediaan krim dengan basis o/w

dan Biocream®?

c. Bagaimana pengaruh peppermint oil sebagai penetration enhancer terhadap

peningkatan aktivitas antiinflamasi pada sediaan krim temu putih.

2. Keaslian penelitian

Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai formulasi sediaan krim

ekstrak etanolik rimpang temu putih dengan pengujian aktivitasnya sebagai

antiinflamasi belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang terkait tentang

penelitian ini yaitu:

a. Anti-inflammatory Efficacy Of Curcuma Zedoaria Rosc Root Extracts.

Penelitian dilakukan oleh Kaushik dan Jalalpure (2011). Pada penelitian ini

dilakukan uji aktivitas antiinflamasi ekstrak temu putih menggunakan 3

pelarut yaitu petroleum eter, kloroform, dan etanol yang diberikan secara oral

pada dosis 200 mg/kg dan 400 mg/kg. Metode yang digunakan adalah

carrageenan and histamine induced metode. Pengukuran volume edema

(22)

menggunakan petroleum eter dan kloroform semuanya memiliki aktivitas

antiinflamasi dibandingkan dengan kontrol obat standar (Indometasin 10

mg/kg i.p dan Rumalaya forte 200 mg/kg).

b. Efek ekstrak etanol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) terhadap

pertumbuhan tumor paru fase post inisiasi pada mencit betina diinduksi

Benzo[a]piren.

Penelitian yang dilakukan oleh Murwanti, Meiyanto, Nurrochmad, dan

Kristina (2004). Penelitian ini meneliti kemampuan ekstrak etanol rimpang

temu putih untuk menghambat pertumbuhan tumor paru pada mencit betina.

Hasilnya ekstrak etanol rimpang temu putih mampu menghambat

pertumbuhan tumor paru pada mencit betina yang diinduksi oleh

benzo[a]piren pada dosis 250 mg/kgBB (49,63%), dosis 500 mg/kgBB

(73,33%), dan dosis 750 mg/kgBB (77,78%).

c. Formulation and Evaluation of Curcuminoid Based Herbal Cream.

Penelitian dilakukan oleh Sahu, Jha, dan Dubey (2011). Penelitian ini

melakukan formulasi kosmetik herbal berupa sediaan krim dengan zat aktif

serbuk rimpang kunyit. Kurkumin yang terkandung yaitu sebanyak 3,79 g per

100 g serbuk rimpang kunyit. Bahan yang digunakan dalam formulasi yaitu:

asam stearat, isopropil alkohol, TEA, almond oil, light liquid paraffin oil,

moisturizer conditioner, dan cetyl alcohol. Evaluasi yang dilakukan yaitu tipe

(23)

d. Analgesic and Antimicrobial Activities of Curcuma zedoaria.

Penelitian ini dilakukan oleh Das dan Rahman (2012). Penelitian ini

melakukan uji aktivitas dari daun, batang dan rimpang Curcuma zedoaria.

Ketiga bagian simplisia diekstraksi menggunakan metanol dan eter dengan

metode maserasi. Metode uji analgesik yang dilakukan menggunakan acetic

acid induced writhing effect method. Ekstrak metanol dan eter menunjukkan

efek analgesik. Untuk uji antimikroba dilakukan pada bakteri gram positif dan

gram negatif dan fungi menggunakan metode dilusi. Pada hasil pengujian

didapatkan ekstrak metanol dan eter daun Curcuma zedoiaria memberikan

zona hambat sebesar 10-12 mm pada bakteri gram postif dan negatif dan pada

fungi. Ekstrak eter dan metanol rhizoma, memberikan zona hambat sebesar

11-14 mm pada bakteri gram postif dan negatif dan pada fungi.Untuk ekstrak

batang baik ekstrak metanol dan eter memberikan zona hambat sebesar 7 mm

pada bakteri gram postif dan negatif dan pada fungi.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoretis : penelitian ini dapat memberikan informasi kepada

masyarakat luas dan para farmasis bahwa tanaman temu putih memiliki

khasiat yang dapat digunakan sebagai obat herbal dengan kegunaannya

sebagai antiinflamasi.

b. Manfaat praktis : penelitian ini dapat menghasilkan produk lain sediaan

(24)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Untuk memperoleh formulasi sediaan topikal krim ekstrak temu putih sebagai

obat herbal antiinflamasi.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui apakah ekstrak temu putih dapat dibentuk sediaan krim

dan memenuhi kriteria sebagai suatu sediaan krim dengan basis o/w dan

Biocream®.

b. Untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi ekstrak temu putih dalam

penggunaannya secara topikal dengan bentuk sediaan krim dengan basis

o/w dan Biocream®.

c. Untuk mengetahui apakah peppermint oil dapat digunakan sebagai

penetration enhancer yang dapat membantu meningkatkan aktivitas

(25)

9

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi biologis karena adanya gangguan pada jaringan

tubuh. Gangguan ini dapat terjadi karena adanya infeksi dari patogen, luka,

terpapar kontaminan, dan kerusakan sel (Medzihitov, 2008). Dengan adanya

gangguan pada jaringan, maka terjadi pelepasan mediator kimiawi dari jaringan

yang rusak (Mycek, 2001).

Inflamasi dibedakan menjadi 2 yaitu inflamasi akut dan inflamasi kronis

(Gard, 2001). Gejala inflamasi yang biasa terjadi adalah rubor, kalor, dolor,

tumor, dan functio laesa (Muschler, 1991). Gejala-gejala ini merupakan akibat

adanya pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, serotonin,

prostaglandin dan kinin. Adanya kerusakan sel, asam arakhidonat dibebaskan

melalui aktivasi fosfolipase A2 dan akan diubah menjadi senyawa mediator

melalui 2 jalur utama yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipooksigenase.

Pada jalur lipooksigenase akan dihasilkan leukotrien yang merupakan

suatu mediator inflamasi, sedangkan pada jalur siklooksigenase, akan dihasilkan

senyawa eukasanoid seperti prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan.

Prostaglandin dibentuk melalui jalur siklooksigenase-2, sedangkan prostasiklin

dan tromboksan dibentuk melalui jalur siklooksigenase-1. Prostaglandin

(26)

prostasiklin dan tromboksan memiliki fungsi untuk melakukan perlindungan pada

lambung dan koagulasi darah (Kawai, 1998).

B. Obat Anti Inflamasi Non Steroid

Obat antiinflamasi non steroid bekerja dengan cara menghambat kerja

enzim siklooksigenase dan mengurangi produksi prostaglandin. Prostaglandin

merupakan derivat dari asam arkidonat yang dihasillkan oleh fosfolipid pada

membran sel. Enzim siklooksigenase memiliki 2 isoform yaitu 1 dan

COX-2. COX-2 merupakan enzim yang diinduksi oleh adanya inflamasi. COX-2

memiliki peran utama dalam pemecahan asam arakidonat menjadi prostaglandin

H2 (PGH2). Prostaglandin dilepaskan pada saat kondisi jaringan rusak dan adanya

inflamasi yang menyebabkan terjadinya rasa sakit (Schuelert dkk., 2011).

Diklofenak merupakan obat antiinflamasi non steroid yang bekerja

dengan menghambat enzim siklooksigenase. Diklofenak tidak selektif dalam

menghambat enzim siklooksigenase, diklofenak dapat menghambat COX-1 dan

COX-2. Padahal yang berperan dalam efek penghilang rasa sakit adalah COX-2.

Adanya penghambatan pada COX-1 memberikan efek samping pada

gastrointestinal (Schuelert dkk., 2011).

Pengembangan obat antiinflamasi non steroid topikal merupakan cara

untuk mencegah adanya efek samping pada gastrointestinal. Obat antiinflamasi

non steroid yang digunakan secara topikal memiliki mekanisme yang sama seperti

penggunaan oral yaitu menghambat sintesis prostaglandin, tetapi untuk obat

antiinflamasi non steroid topikal hanya memberikan efek lokal. Untuk konsentrasi

(27)

sistemik, jumlahnya 17 kali lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan oral

(Schueler dkk., 2011).

C. Temu Putih (Curcuma Zedoaria Berg. Roscoe)

1. Nama daerah

Kunir putih (Jawa), temu putih (Jakarta), koneng tega (Sunda).

2. Deskripsi tanaman

Klasifikasi tanaman temu putih adalah sebagai berikut: (Windono, 2002)

Division : Spermathopyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Jenis : Curcuma zedoaria (Berg) Roscoe

(28)

Tumbuhan berhabitus terna setahun, tinggi dapat mencapai 2 meter,

batang semu berwarna hijau atau cokelat tua, batang sejati berupa rimpang

berkembang sempurna di dalam tanah, beruas-ruas, bercabang-cabang kuat,

berwarna cokelat muda sampai cokelat gelap, bagian dalam berwarna kuning,

jingga dan ada sedikit warna biru kehijauan, berbau aromatik begitu pula pada

umbinya. Setiap batang semu tersusun atas 2-9 helai daun yang berbentuk lonjong

sampai lanset, berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap, panjang

31-84 cm, lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun (termasuk helaian) 43-80 cm.

Buah berambut, panjang 2 cm (BPOM, 2010).

3. Kandungan

Tanaman temu putih memiliki kandungan minyak atsiri berupa

zingiberen, 1,8 sineol, D-kampora, D-kampen, Dborneol, α pinen, kurkumol,

zederon, kurkumeneol, kurkulon, furanodienon, isofuranodienon dan kandungan

kurkuminoid yang terdapat di temu putih berupa kurkumin, dismetoksikurkumin,

bisdesmetoksikurkumin (BPOM, 2010).

4. Efek farmakologi

Menurut Murwanti, Meiyanto, Nurrochmad, dan Kristina (2004), ekstrak

etanol rimpang temu putih mampu menghambat pertumbuhan tumor paru pada

mencit betina yang diinduksi oleh benzo[a]piren pada dosis 250 mg/kgBB

(49,63%), dosis 500 mg/kgBB (73,33%), dan dosis 750 mg/kgBB (77,78%).

Pada penelitian Kaushik dan Jalalpure (2011), menunjukkan bahwa pada

(29)

aktivitas antiinflamasi dengan pemberian secara oral pada dosis 200 mg/kg dan

400 mg/kg

D. Kurkumin

Kurkuminoid merupakan senyawa fenolik yang berasal dari akar

Curcuma spp. (Zingiberaceae). Kurkuminoid ada 3 jenis yaitu kurkumin,

demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Kurkumin merupakan senyawa

lipofilik polifenol yang tidak larut air, tetapi larit di dalam aseton,

dimetilsulfoksida, dan etanol. Kurkumin tidak stabil pada pH basa yang

menyebabkan kurkumin dapat terdegradasi, tetapi pada pH asam, degradasi

kurkumin lebih lama. Kurkumin tidak stabil terhadap cahaya sehingga dalam

penyimpanannya harus dilindungi dari cahaya. Kurkumin memiliki bobot molekul

368,37 dan melting point pada suhu 1830C (Sharma, Gescher, dan Steward, 2005).

(30)

Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi dengan mekanisme

menurunkan aktivitas dari enzim siklooksigenase-2 (COX-2) dan lipooksigenase,

menghambat produksi sitokin, tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin

(IL)-1,-2,-6,-8, dan -12, migration inhibitory protein (MCP) (Jurenka, 2009).

E. Ekstraksi

Ekstraksi tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika

sejumlah bahan padata atau bahan cair dari tanaman obat menggunakan pelarut

yang sesuai. Sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat disebut

ekstrak. Ekstrak kental adalah ekstrak yang didapatkan dari ekstrak cair yang

duapkan larutan penyarinya secara hati-hati. Ekstrak kental mengandung

bermacam-macam konsentrasi sisa kelembaban (Agoes, 2009).

(31)

Dalam pembuatan ekstrak untuk keperluan farmasis, perlu diperhatikan

beberapa hal yang penting yaitu : 1) jumlah simplisia yang akan diekstraksi; 2)

derajat kehalusan simplisia; 3) jenis pelarut; 4) suhu; 5) lama waktu penyarian;

dan 6) metode dan proses ekstraksi (Agoes, 2009).

F. Maserasi

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam simplisia dalam pelarut dengan beberapa kali pengocokan

atau pengadukan pada temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif

akan larut, dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di

dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar.

(Depkes RI, 1986).

Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada kesetimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan

yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakuakn pengulangan

penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan

seterusnya. Keuntungan penyarian dengan cara maserasi adalah cara pengerjaan

dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. (Depkes RI,

(32)

G. Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini

secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai

konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak

dalam air (Depkes RI, 1995). Emulsi merupakan sediaan yang mengandung dua

zat yang tidak tercampur, biasanya air dan minyak yang nantinya akan terdispersi

menjadi butiran-butiran kecil dalam cairan lain. Emulgator merupakan komponen

yang penting agar memperoleh emulsi yang stabil. Emulgator bekerja dengan

membentuk lapisan di sekeliling butiran-butiran tetesan yang terdispersi dan

lapisan in berfungsi untuk mencegah terjadinyas koalesen dan terpisahnya dua

komponen tersebut (Anief, 2000).

Krim terdiri dari obat terlarut tersuspensi dalam basis krim air larut atau

hilang dan dapat berupa :

a. Air dalam minyak (w/o)

b. Minyak dalam air (o/w) (Allen, 2002).

H. Peppermint Oil

Peppermint oil diperoleh dari daun Mentha piperita L. dan M. Arvensis

var. piperascens dengan metode destilasi. Senyawa yang terkandung di dalam

peppermint oil yaitu limonene, cineole, menthone, methofuran, isomenthone,

(33)

Menurut Fox dkk. (2011) peppermint oil dapat digunakan untuk

mengurangi rasa sakit, mengontrol nafsu makan, menstimulasi fungsi sistem

pencernaan, antiinflamasi, antitumor, antivirus, antibakteri, dan antiparasit.

I. Karagenan

Karagenan merupakan poligalaktan sulfat dengan 15-40% ester-sulfat.

Karagenan digunakan secara luas sebagai bahan induksi edema pada telapak aki

tikus untuk menlihat aktivitas antiinflamasi. Adanya injeksi karagenan pada

telapak kaki akan menyebabkan produksi mediator inflamasi seperti histamin,

bradikin, dan serotonin (Bartosikova, 2013).

(34)

J. Landasan Teori

Inflamasi adalah reaksi biologis karena adanya gangguan pada jaringan

tubuh. Gangguan ini dapat terjadi karena adanya infeksi dari patogen, luka,

terpapar kontaminan, dan kerusakan sel (Medzihitov, 2008). Salah satu

mekanisme karagenan yang dapat menyebabkan terjadinya edema pada kulit

yaitu dengan emmacu pelepasan interleukin dan TNF α. Jaringan epidermis kulit

merupakan sumber penyimpanan TNFα dan interleukin-1 (IL-1), sehingga saat

kulit diinduksi dengan karagenan, maka TNFα dan interleukin-1 (IL-1) akan

dilepaskan dari jaringan epidermis. TNFα dan interleukin-1 (IL-1) memacu

aktivasi NF-kB. Aktivasi NF-kB menyebabkan terjadinya proses transkripsi gen

mediator-mediator inflamasi yang berkaitan erat dengan kerja dari

siklooksigenase-2 dan iNOS yang menyebabkan terjadinya edema (Robert and

Kupper, 1999)

Temu putih mengandung minyak atsiri berupa zingiberen, 1,8 sineol,

D-kampora, D-kampen, Dborneol, α pinen, kurkumol, zederon, kurkumeneol,

kurkulon, furanodienon, isofuranodienon dan kandungan kurkuminoid yang

terdapat di temu putih berupa kurkumin, dismetoksikurkumin,

bisdesmetoksikurkumin. Kurkumin memiliki aktivitas antiinflamasi dengan

mekanisme menurunkan aktivitas dari enzim siklooksigenase-2 (COX-2) dan

lipooksigenase, menghambat produksi sitokin, tumor necrosis factor-alpha

(TNF-α), interleukin (IL)-1,-2,-6,-8, dan -12, migration inhibitory protein (MCP)

(35)

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini

secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai

konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak

dalam air (Depkes RI, 1995). Dalam formulasi sediaan topikal perlu diperhatikan

kemampuan penetrasi zat aktif untuk masuk ke dalam jaringan kulit karena kulit

memiliki barrier yang kompleks. Untuk membantu penetrasi zat aktif masuk ke

dalam jaringan kulit diperlukan adanya penambahan penetration enhancer.

Peppermint oil merupakan salah satu essential oil yang dapat digunakan sebagai

penetration enhancer. Peppermint oil dapat memberikan efek pada integritas

kulit sehingga membantu zat aktif masuk ke dalam jaringa kulit. Peppermint oil

dapat digunakan sebagai penetration enhancer dalam konsentrasi minimal sebesar

0,1% (Fox dkk., 2011).

K. Hipotesis

1. Ekstrak temu putih dapat dibuat dalam bentuk sediaan krim dengan basis o/w

dan Biocream® yang berkualitas

2. Sediaan krim temu putih dapat memberikan aktivitas antiinflamasi

3. Peppermint oil dapat digunakan sebagai penetration enhancer yang mampu

(36)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Uji aktivitas dan formulasi sediaan krim ekstrak temu putih sebagai

antiinlfamasi ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan

acak pola searah.

B. Variabel Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul “Formulasi Sediaan Krim Ekstrak

Etanolik Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria Berg. Roscoe) Dengan

Pengujian Aktivitasnya Sebagai Antiinflamasi” terdapat dua variabel, yaitu:

1. Variabel utama

Variabel utama dalam penelitian ini meliputi:

a. Variabel bebas : basis krim (basis o/w dan basis Biocream®) dan

konsentrasi peppermint oil.

b. Variabel tergantung : tebal edema kaki pada tikus (mm) dan sifat fisik

(37)

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

1) Subjek uji : tikus betina galur Wistar

2) Umur subjek uji : 2 bulan

3) Berat badan subjek uji : 120-180 gram

4) Keadaan subjek uji : sehat

5) Proses pembuatan sediaan krim : suhu pemanasan

b. Variabel pengacau tak terkendali : suhu ruangan dan kelembaban

udara.

C. Definisi Operasional

1. Krim temu putih adalah sediaan krim yang mengandung ekstrak temu putih

sebagai zat aktif yang diindikasikan untuk antiinflamasi dengan formulasi

yang tercantum dalam penelitian ini.

2. Ekstrak temu putih adalah ekstrak kental rimpang temu putih yang diekstraksi

menggunakan penyari etanol 70% dengan prosedur ekstraksi yang sesuai

dalam penelitian ini.

3. Kontrol positif adalah pembanding yang digunakan dalam uji aktivitas

(38)

4. % inhibition adalah nilai presentase kemampuan menghambat pembengkakan

edema pada telapak kaki tikus.

5. Aktivitas antiinflamasi adalah kemampuan suatu senyawa untuk menghambat

pembengkakan pada kaki tikus yang ditunjukkan dengan nilai % inhibition.

D. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah temu putih (BPTO),

etanol 70% (Bratachem), karagenan (Merck), paraffin liquidum (Bratachem),

asam stearat (Bratachem), NaCl, TEA, aquadest, aerosil, peppermint oil

(Laboratorium FTS-Solid Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma), tween 80

(Bratachem), span 80 (Bratachem), aerosil, Biocream® (Merck) dan hewan uji

tikus galur Wistar (Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma), Voltaren® emulgel (NOVARTIS).

E. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas (Beaker

glass, pengaduk, Erlenmeyer, gelas ukur dan labu ukur merk Pyrek), rotary

evaporator (Buchi Labortechnik AG CH-9230), jangka sorong Digital Caliper

Wipro, mixer, spuit, waterbath(Memmert), termometer, indikator pH universal,

neraca analitik (Mettler Toledo GB 3002), viscotester VT-04 (Rion™ Japan), alat

uji daya sebar (modifikasi USD), mortir, stamper, cawan porselen dan perangkat

(39)

F. Formula

1. Formula krim ekstrak temu putih

Nama F2 : Basis krim o/w dengan ekstrak temu putih 7%

F3 : Basis krim o/w dengan ekstrak temu putih 7% dan peppermint oil 0,5%

F4 : Biocream®

F5 : Biocream®dengan peppermint oil

F6 : Biocream® dengan ekstrak temu putih 7%

F7 : Biocream® dengan ekstrak temu putih 7% dan peppermint oil 0,5%

(40)

G. Tata Cara Penenlitian

1. Pembuatan serbuk temu putih

Dimasukkan sejumlah simplisia rimpang temu putih ke dalam alat

penyerbukan. Setelah selesai, hasil penyerbukan diayak dengan pengayak

nomor 20. Hasil pengayakan dimasukkan ke dalam wadah tertutup dan

disimpan di tempat yang kering dan dihindarkan dari sinar matahari.

2. Pembuatan ekstrak temu putih

Ditimbang serbuk simplisia temu putih sebanyak 20 gram, lalu dimasukkan ke

dalam maserator. Sebanyak 200 ml etanol 70% ditambahkan sebagai penyari.

Maserasi dilakukan dengan menggunakan alat orbital shaker selama 1x24 jam.

Setelah 24 jam, dilakukan penyaringan dengan menggunakan alat corong

Buchner dan pompa vacuum serta kertas saring untuk memisahkan ekstrak cair

dengan ampas serbuk simplisianya. Ekstrak cair yang sudah diambil kemudian

dimasukkan ke rotary evaporator untuk dilakukan proses penguapan penyari

pada suhu 600C. Hasil dari rotary evaporator kembali diuapkan menggunakan

waterbath pada suhu 70oC. Selanjutnya dilakukan penyimpanan di dalam oven

pada suhu 40o C tiap 24 jam, hingga didapatkan bobot tetap.

3. Standarisasi ekstrak temu putih

a. Penetapan kadar kurkumin dengan metode KLT-densitometri

Ekstrak temu putih ditimbang dengan seksama dan dilarutkan

(41)

takar. Evaporasikan, dan add hingga 500 µl. Spoting sampel sebanyak 10

µl pada plate silika gel 60 F254 dengan microsyringe, sertakan regresi

standar kurkumin sintesa. Masukkan plate ke dalam chamber yang telah

berisi jenuh fase gerak kloroform-metanol (98-2). Elusikan hingga batas,

diangkat dan dianginkan. Densito spot kurkumin pada panjang gelombang

425 nm dan hitung kadar kurkumin.

b. Penetapan kadar air dengan metode gravimetri

Timbang krus kosong (A) dan timbang sampel homogen, masukkan di

dalam krus porselen (B). Panaskan di dalam oven pada suhu 1050C selama

3 jam hingga berat konstan. Eksikator dimasukkan dan ditimbang (C).

Kadar air dihitung dengan rumus :

4. Formulasi krim

a. Basis krim o/w

Pembuatan basis krim untuk formula F0 dan F1 dengan cara fase minyak

(paraffin liquidum, asam stearat, cetil alkohol, tween 80 dan span 80) dan

fase air (aerosil, TEA, dan aquadest) masing-masing dipanaskan diatas

waterbath pada suhu 60o-70o C sampai melebur. Fase air dan fase minyak

dicampur bersamaan menggunakan mikser selama 5 menit. Untuk F1,

peppermint oil dicampurkan setelah sediaan dingin dan dicampur

(42)

b. Krim ekstrak temu putih

1) Basis krim o/w: Pembuatan krim untuk formula F2 dan F3 dengan

cara fase minyak (paraffin liquidum, asam stearat, cetil alkohol,

tween 80 dan span 80) dan fase air (ekstrak temu putih, aerosil,

TEA, dan aquadest) masing-masing dipanaskan diatas waterbath

pada suhu 60o - 70o C sampai melebur. Fase air dan fase minyak

dicampurkan bersamaan menggunakan mikser selama 5 menit.

Untuk formula F3, penambahan peppermint oil dilakukan di akhir

setelah suhu pencampuran dingin. Pencampuran menggunakan

mikser selama 2 menit.

2) Basis Biocream®: Pembuatan krim untuk formula F6 dan F7

dilakukan dengan mencampurkan Biocream® dengan ekstrak temu

putih dan dilakukan pencampuran menggunakan bantuan alat mikser

selama 5 menit. Untuk F7 ditambahkan peppermint oil, dimikser

selama 5 menit.

5. Uji sifat fisis krim dan stabilitas krim

a. Uji orgnoleptis. Dilihat warna dan bau dari krim yang terbentuk. Uji

homogenitas dilakukan dengan cara menimbang 1 g sediaan krim pada

gelas objek dan ditutup dengan gelas objek lainnya. Kemudian diletakkan

(43)

sediaan. Pengujian dilakukan pada hari ke-2 dan ke-28 setelah pembuatan

sediaan krim.

b. Uji pH. Pengecekan pH krim menggunakan indikator pH universal.

Pengujian dilakukan pada hari ke-2 dan ke-28 setelah pembuatan sediaan

krim.

c. Uji daya sebar. Ditimbang 1 g krim dan diletakkan ditengah kaca bundar,

kemudian timbang kaca penutup dan diletakkan di atas massa krim.

Dibiarkan selama 1 menit kemudian diukur diameter krim yang menyebar

dengan mengambil panjang diameter rata-rata dari 4 sisi. Ditambahkan 50

g beban tambahan dan didiamkan selama 1 menit kemudian diukur

diameter reratanya. Dilanjutkan sebanyak 3 kali dengan menambah beban

tambahan 50 g kemudian dihitung luas lingkaran yang didapatkan.

Pengujian dilakukan pada hari ke-2 dan ke-28 setelah pembuatan sediaan

krim.

d. Uji viskositas. Sebanyak 20 gram krim dimasukkan perlahan-lahan ke

dalam wadah dan dipasang pada viscotester. Dilihat nilai viskositas yang

ada pada alat setelah jarum penunjuk stabil. Pengujian dilakukan pada hari

ke-2 dan ke-28 setelah pembuatan sediaan krim. Dari data uji viskositas

pada hari ke-2 dan ke-28 dihitung % pergeseran viskositas dengan

menggunakan rumus:

%

(44)

6. Uji aktivitas antiinflamasi sediaan krim temu putih

a. Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tikus betina, galur

Swiss, usia 2-3 bulan, dengan berat badan 120-180 gram. Tikus

dipuasakan 1 hari sebelum penggunaaannya. Disiapkan 6 tikus untuk tiap

kontrol (F0 dan F4) dan perlakuan (F1, F2, F3, F5, F6, F7, dan Voltaren®

emulgel).

b. Pembuatan larutan NaCl 0,9%

Ditimbang 0,225 g NaCl, larutkan dengan aquadest di dalam labu takar 25

ml.

c. Pembuatan suspensi karagenan 1%

Ditimbang 0,1 g karagenan, larutkan dengan larutan NaCl 0,9% di dalam

labu takar 10 ml.

d. Uji Aktivitas antiinflamasi dengan metode carrageenan-induced rat paw

edema (Kharat et.al (2010)).

Masing-masing kaki tikus dioleskan dengan formula yang sesuai dengan

kelompoknya sebanyak 0,25 g dengan cara dioleskan sebanyak 20 kali.

Setelah 1 jam pemberian formula, 0,1 ml suspensi karagenan 1% diberikan

secara subplantar di masing-masing telapak kaki tikus. Volume

(45)

setelah pemberian suspensi karagenan 1%. % inhibition dihitung dengan

menggunakan rumus:

% inhibition =

H. Analisis Hasil

Data penelitian yang berupa % inhibition dari tiap formula diuji

normalitasnya menggunakan metode Shapiro.test. Jika didapatkan semua data

terdistribusi normal, maka dilanjutkan pada uji Levene.test untuk melihat

homogenitas. Selanjutnya data % inhibition dari tiap formula dibandingkan

menggunakan metode ANOVA yang dilanjutkan dengan uji TukeeyHSD dan uji

one tail independent T.test untuk melihat perbedaan dari tiap-tiap formula. Jika

data tidak terdistribusi normal pada uji Shapiro.test, maka uji selanjutnya adalah

membandingkan data antar formula dengan uji Wilcoxon.test. Semua uji analisis

di atas dilakukan dengan menggunakan bantuan program statistik R dengan taraf

(46)

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formulasi sediaan topikal

krim temu putih sebagai obat antiinflamasi. Simplisia rimpang temu putih yang

digunakan dalam penelitian ini telah dilakukan determinasi oleh Balai Besar

Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Obat Dan Obat Tradisional

Tawangmangu dengan hasil yang menunjukkan bahwa simplisia yang digunakan

benar merupakan simplisia rimpang temu putih dengan kadar air 9 % (Lampiran

10). Ekstrak temu putih yang digunakan sebagai zat aktif dibuat dalam bentuk

sediaan krim. Penggunaan sediaan krim memberikan keuntungan karena memiliki

2 fase yaitu fase minyak dan fase air, sehingga ekstrak temu putih dapat

diformulasikan dan dijaga kompatibilitas dan stabilitasnya di dalam sediaan krim.

A. Hasil Uji Standarisasi Ekstrak Temu Putih

Pada penelitian ini dilakukan 2 uji standarisasi ekstrak temu putih, yaitu

penetapan kadar kurkumin dan penetapan kadar air. Tujuan dilakukan penetapan

kadar kurkumin yaitu untuk mengetahui jumlah kadar kurkumin yang terdapat di

dalam ekstrak temu putih. Kurkumin diduga merupakan salah satu senyawa yang

memberikan aktivitas antiinflamasi di dalam ekstrak temu putih karena kurkumin

telah tebukti memiliki aktivitas antiinflamasi. Dari hasil penetapan kadar

kurkumin dengan menggunakan metode KLT-densitometri didapatkan kadar

(47)

Tujuan penetapan kadar air adalah untuk mengetahui jumlah kandungan

air di dalam ekstrak temu putih. Penetapan kadar air menggunakan metode

gravimetri. Jumlah kandungan air di dalam ekstrak sangat penting diketahui

karena jika kadar air terlalu tinggi, maka akan sangat berpengaruh terhadap

stabilitas ekstrak. Kadar air yang tinggi akan memacu pertumbuhan mikroba dan

mengaktifkan kerja enzim-enzim dari mikroba tersebut. Kadar air yang

didapatkan pada penelitian ini sebesar 24,25% (Lampiran 1). Jumlah tersebut

melebihi batas standar yang ditetapkan menurut BPOM (2004) yang menyebutkan

kadar air untuk ekstrak etanol rimpang temu putih tidak lebih dari 13,5%, tetapi

dalam penelitian ini kadar air sebesar 24,25% belum bisa dipastikan bahwa

seluruhnya merupakan air karena metode yang digunakan adalah gravimetri yang

tidak selektif terhadap air. Ketidakselektifan ini disebabkan karena metode

gravimetri menggunakan pemanasan yang tinggi pada suhu 1050 C, sehingga

semua zat cair yang menguap pada suhu tersebut terhitung sebagai kadar air.

B. Hasil Uji Organoleptis

Formulasi sediaan krim temu putih dibuat dengan menggunakan dua jenis

basis yaitu basis krim o/w dan basis Biocream®. Penggunaan dua basis ini

bertujuan untuk melihat pengaruh basis terhadap pelepasan zat aktif dari ekstrak

temu putih yang dilihat dari aktivitas antiinflamasi.

Sediaan krim yang telah dibuat kemudian dilakukan uji organoleptis yang

meliputi warna, bau dan homogenitas. Uji organoleptis berfungsi sebagai

(48)

Kriteria

2 hari 28 hari

F2 F3 F6 F7 F2 F3 F6 F7

Bau temulawak mint Biocream

® mint temulawak mint

nitas homogen homogen homogen homogen homogen homogen Homogen homogen

F2 : Basis krim o/w + ekstrak temu putih 7%

F3 : Basis krim o/w + ekstrak temu putih 7% + peppermint oil 0,5%

F6 : Biocream® + ekstrak temu putih 7%

F7 : Biocream® + ekstrak temu putih 7% + peppermint oil 0,5%

Dilihat dari tabel II, pada waktu hari ke-2 seluruh formula yang dibuat

homogen. Warna untuk F3, F6, dan F7 sama yaitu cokelat, sedangkan untuk F2

warna yang dihasilkan adalah cokelat muda. Pada kriteria bau, untuk krim temu

putih basis o/w dengan formula F2 memiliki aroma khas seperti temulawak,

sedangkan pada formula F3 memiliki aroma mint. Perbedaan aroma ini

disebabkan karena adanya penambahan peppermint oil pada formula F3 sehingga

aroma dari peppermint oil mengalahkan aroma dari ekstrak temu putih. Pada

sediaan krim temu putih dengan basis Biocream® dengan formula F6 memiliki

aroma khas dari Biocream®, sedangkan pada formula F7 memiliki aroma mint.

Biocream®yang digunakan sebagai basis krim memiliki aroma yang khas

sehingga aroma dari ekstrak temu putih tidak terasa pada formula F6, sedangkan

pada formula F7 adanya penambahan peppermint oil membuat aroma mint lebih

tercium dibandingkan dengan aroma dari Biocream®. Dari hasil keseluruhan uji

organoleptis, diharapkan krim temu putih yang dibuat dapat memenuhi aspek

acceptability.

(49)

C. Hasil Uji pH Krim Temu Putih

Pada pengujian pH sediaan krim temu putih digunakan indikator

universal. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel III.

Formula 2 hari (pH) 28 hari (pH)

sehingga sediaan krim temu putih yang dihasilkan masuk dalam rentang pH kulit.

Hal ini diharapkan agar sediaan krim temu putih yang dibuat tidak mengiritasi

kulit, karena pH sediaan dapat berpotensi menyebabkan iritasi pada kulit.

D. Hasil Uji Viskositas dan Daya Sebar

Pengujian viskositas dan daya sebar dilakukan setelah 48 jam pembuatan

krim. Hal ini bertujuan agar sediaan krim yang dibuat telah berada dalam kondisi

yang stabil karena pengaruh dari proses pembuatan seperti suhu dan pengadukan

telah hilang. Hasil pengujian viskositas dan daya sebar dapat dilihat pada tabel IV.

Dari hasil pada tabel IV dapat dilihat bahwa viskositas setelah 2 hari

penyimpanan, dari seluruh sediaan krim temu putih masuk dalam range viskositas

yang diharapkan yaitu 150-250 d.Pa.s. Pada renge tersebut diharapkan sifat alir

dan daya sebar dari sediaan krim temu putih dapat mempermudah dalam

pemakaiannya. Hasil daya sebar pada F6 dan F7 memiliki luas daya sebar yang

lebih besar dibandingkan F2 dan F3. Hal tersebut dikarenakan viskositas pada F6

(50)

Tabel V. Pergeseran Viskositas (X±SD) Sediaan Krim Temu Putih

dan F7 lebih kecil dibanding F2 dan F3. Semakin kecil viskositas sediaan maka

sediaan yang dihasilkan semakin encer.

Formula Viskositas (d.Pa.s) Daya sebar (cm2) F2 240±10 12,13±0,40 F3 226,7±15.3 14,27±0,81 F6 163,3±15.3 17,83±1,12 F7 156,7±15,3 19,87±1,22

E. Hasil Uji Stabillitas Krim Temu Putih

Uji stabilitas sediaan krim temu putih dilihat dari pergeseran viskositas,

uji organoleptis dan uji pH. Hasil pergeseran viskositas dapat dilihat dari tabel V.

Formula Viskositas 2 hari penyimpanan (d.Pa.s)

Berdasarkan pada tabel V, masing-masing formula mengalami perubahan

viskositas dan pergeseran viskositas. Syarat % pergeseran viskositas yang

diperbolehkan, yaitu tidak lebih besar dari 10%. Pada formula F3, F6, dan F7

memiliki pergeseran viskositas yang memenuhi syarat % pergeseran viskositas

yang diperbolehkan, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk ketiga formula

tersebut stabil dalam penyimpanan selama 28 hari. Untuk pergeseran viskositas

pada formula F2 melebihi syarat % pergeseran viskositas yang diperbolehkan,

sehingga dapat dikatakan bahwa formula F2 tidak stabil. Ketidakstabilan ini

dikarenakan F2 memiliki % pergeseran viskositas yang besar, hal tersebut

menunjukkan adanya perubahan viskositas setelah penyimpanan 28 hari.

(51)

Berdasarkan pada tabel II, menunjukkan bahwa untuk uji organoleptis

sediaan krim temu putih tidak mengalami perubahan aroma dan homogenitas,

tetapi untuk warna mengalami perubahan menjadi lebih kehitaman, tetapi masih

bisa diterima acceptabilitasnya. Untuk uji pH, dapat dilihat pada tabel.

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa pH sediaan krim temu putih tidak

mengalami perubahan, yaitu berada pada pH 6 yang masuk di dalam range aman

untuk penggunaan sediaan topikal pada kulit.

F. Uji Aktivitas Antiinflamasi Krim Temu Putih

Pengujian aktivitas antiinflamasi sediaan krim temu putih bertujuan

untuk melihat pelepasan zat aktif ekstrak temu putih dari sediaan krim baik

dengan adanya perbedaan jenis basis yang digunakan maupun dengan ada

tidaknya penetration enhancer. Kemampuan aktivitas antiinflamasi dilihat dari

besarnya % inhibition. Semakin besar % inhibition maka semakin kuat potensi

aktivitas antiinflamasi yang dihasilkan. Pada pengujian ini menggunakan metode

karagenan sebagai penginduksi edema pada telapak kaki tikus. Metode penelitian

ini mengadopsi Kharat et.al.,(2010) yang menggunakan karagenan 1% sebagai

penginduksi edema. Pengukuran ketebalan telapak kaki pada penelitian ini

dilakukan menggunakan jangka sorong. Keuntungan menggunakan metode jangka

sorong adalah pemakaiannya yang sederhana dan perlakuan terhadap hewan uji

lebih dapat diterima dibanding dengan metode potong kaki.

Karagenan dipilih sebagai agen penginduksi edema dikarenakan

(52)

sel, sehingga sel yang cedera melepaskan mediator-mediator yang menyebabkan

inflamasi (Bartosikova, 2013).

Pada penelitian ini disiapkan 6 tikus untuk masing-masing kontrol dan

perlakuan. Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu

basis krim o/w dan basis Biocream®®. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah

basis yang digunakan dalam pembuatan sediaan krim temu putih memiliki

aktivitas antiinflamasi atau tidak dan juga digunakan sebagai pembanding

aktivitas antiinflamasi. Untuk kontrol positif digunakan Voltaren® emulgel yang

mengandung dietilamin diklofenak. Voltaren® emulgel dipilih karena telah

terbukti secara klinis sebagai obat antiinflamasi dengan zat aktif berupa dietilamin

diklofenak yang merupakan obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS)

yang menghambat proses sintesis prostaglandin. Pada formula F1, F3, F5, dan F7

ditambahkan peppermint oil yang diharapakan sebagai penetration enhancer yang

dapat mempercepat masuknya senyawa aktif ke dalam jaringan. Menurut Fox

dkk.(2011) peppermint oil dapat digunakan sebagai penetration enhancer pada

konsentrasi terendah 0,1%.

Pada penelitian ini edema pada telapak kaki tikus diukur pada jam ke- 1,

2, 3, dan 4 setelah diinduksi karagenan 1%. Dari hasil penelitian didapatkan

(53)

Formula % inhibition Voltaren® 18,46±0,67 13,58±0,96 11,24±0,92 10,92±0,70

F0 : Basis krim o/w

F1 : Basis krim o/w + peppermint oil 0,5% F2 : Basis krim o/w + ekstrak temu putih 7%

F3 : Basis krim o/w + ekstrak temu putih 7% + peppermint oil 0,5%

F4 : Biocream®

F5 : Biocream®+ peppermint oil

F6 : Biocream® + ekstrak temu putih 7%

F7 : Biocream® + ekstrak temu putih 7% + peppermint oil 0,5% X : Rata-rata % inhibition

SD : Standar deviasi

Dari hasil gambar 5 didapatkan bahwa dari jam ke-1 hingga ke jam ke-4

F2 dan F3 berbeda signifikan terhadap F0, sedangkan dari hasil pada gambar 6

didapatkan untuk F6 dan F7 berbeda signifikan dengan F4 pada jam ke-1 hingga

jam ke-4. Hal ini menunjukkan bahwa F2, F3, F6 dan F7 memiliki aktivitas

antiinflamasi pada jam ke-1 hingga ke-2 dibandingkan dengan masing-masing

kontrol negatif.

(54)

Untuk F1 dari berdasarkan gambar 5 , berbeda signifikan dibanding F0

pada jam ke-1 hingga jam ke-3. Hal ini menunjukkan peppermint oil yang

digunakan memberikan aktivitas antiinflamasi tapi tidak sebesar dan tidak

memiliki durasi yang lama seperti F2 dan F3. Sedangkan untuk F5 berdasarkan

Grafik

% inhibition sediaan

krim temu

putih basis

Biocream®

F4

F5

F6

F7

Gambar 5.Grafik % inhibition sediaankrim temu putih basis o/w

-5

(55)

gambar 6 berbeda signifikan dengan F4, pada jam ke-1 hingga ke-2. Hal ini

menunjukkan bahwa durasi aktivitas antiinflamasi peppermint oil di dalam basis

krim o/w lebih lama dibandingkan pada basis Biocream®.

Berdasarkan pada gambar 7, didapatkan bahwa pada jam ke-1 untuk F2,

F3, F6 dan F7 berbeda tidak signifikan dibanding Voltaren® emulgel, tetapi pada

jam ke-2 hingga ke-4, F2, F3, F6 dan F7 berbeda signifikan dibanding Voltaren®

emulgel. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antiinflamasi untuk F2, F3, F6 dan

F7 memiliki aktivitas yang sama besarnya dengan Voltaren® emulgel pada jam

ke-1. Untuk pengaruh basis terhadap pelepasan zat aktif tidak berpengaruh pada

penelitian ini. Hal ini ditunjukkan dengan F2 berbeda tidak signifikan dengan F6,

sedangkan F3 berbeda tidak signifikan dengan F7. Dari hasil tersebut dapat

dikatakan juga bahwa peppermint oil yang digunakan sebagai penetration

enhancer tidak mempengaruhi aktivitas antiinflamasi pada sediaan krim temu

putih baik dengan basisi krim o/w ataupun basis Biocream®.

Gambar 7. Grafik % inhibition sediaan krim temu putih

(56)

40

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ekstrak temu putih dapat dibuat dalam bentuk sediaan topikal berupa krim

yang memiliki kualitas yang baik dan stabil dengan formula F3, F6, dan F7.

2. Krim temu putih dalam basis o/w dan Biocream®® memiliki aktivitas

antiinflamasi selama 4 jam setelah induksi karagenan 1% namun tidak sekuat

dengan kontrol positif.

3. Peppermint oil yang digunakan sebagai penetration enhancer tidak memberi

pengaruh terhadap peningkatan aktivitas antiinflamasi pada sediaan krim temu

putih.

1. Perlu dilakukan penetapan kadar air ekstrak temu putih menggunakan metode

yang lebih selektif untuk kadar air seperti metode destilasi toluen.

2. Perlu adanya penambahan eksipien dalam formula krim temu putih berupa

colouring agent untuk membuat tampilan sediaan krim temu putih lebih dapat

diterima.

3. Perlu dilakukan uji aktivitas antiinflamasi menggunakan metode yang lebih

objektif seperti dengan menggunakan alat plethysmometer.

4. Perlu dilakukannya studi stabilitas fisik untuk optimasi sediaan formulasi yang

lebih mendalam.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G., 2009, Teknologi Bahan Alam, 31-35, Penerbit ITB, Bandung.

Alankar, S., 2009, A Review on Peppermint Oil, Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, 2 (2), pp. 27-30.

Allen, V.L., 2002, The Art Science and Technology of Pharmaceutical Compounding, 2nd Edition, American Pharmaceutical Press Association, USA.

Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, 52-79, UGM Press, Yogyakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2004, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Volume pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, 2010, Acuan Sediaan Herbal, Volume kelima, Edisi pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta.

Bartosikova, J.N.L., 2013, Carrageenan: A Review, Veterinarni Medicina, 58 (4), pp. 188, 190.

Chainani-Wu, N., 2003, Safety and Anti-Inflammatory Activity of Curcumin: A Component of Turmeric (Curcuma longa), The Journal of Alternative and Complementary Medicine, 9 (1), pp. 164.

Das, K., and Rahman, M.A., 2012, Analgesic and Antimicrobial Activities of

Curcuma zedoaria, International Journal of Pharmacy and

Pharmaceutical Sciences, 4 (5), pp. 322.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986, Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 5-15.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia,Edisi IV, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, pp 7.

Fox, L.T., Gerber, M., Du Plessis, J., and Hamman, J.H., 2011, Transdermal Drug Delivery Enhancement by Compounds of Natural Origin, Molecules,16, pp. 10508, 10515-10516.

Gunawan, 2005, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, 230 – 272, Departemen Farmakologi dan Terapetik, FKUI, Jakarta.

(58)

Kaushik, M.L., Jalalpure, S.S., 2011, Anti_Inflammatory Efficacy of Curcuma zedoaria Rosc Root Extracts, Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, 4 (3), pp. 90-92.

Kawai, S., 1998, Cyclooxygenase Selectivity and The Risk of Gastro-Intestinal Complications of Various Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs: A Clinical Consideration, Inflammation Research, 47 (2), pp. 1025.

Kharat, N., Shylaja, H., Viswanatha, G.L., and Lakshman, K., 2010, Anti-Inflammatory and Analgesic Activity of Topical Preparation of Root Extracts of Ichnocarpus Frutescens (L.) R.BR, International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology, 1 (3), pp. 1102-1104. Kidd, B., 2001, Mechanisms of Inflammatory Pain, British Journal of

Anaesthesia, 87 (1), pp. 6.

Medzhitov, R., 2008, Origin and Physiological Roles of Inflammation, Nature,

454, pp. 429.

Moody, M.L., 2010, Topical Medications in the Trearment of Pain, Pain Medicine News, pp. 16.

Murwanti, R., Meiyanto, E., Nurrochmad, A., dan Kristina, S.A., 2004, Efek Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria Rosc.) Terhadap Pertumbuhan Tumor Paru Fase Post Inisiasi Pada Mencit Betina Diinduksi Benzo[a]piren, Majalah Farmasi Indonesia, 15 (1), pp. 7.

Mustchler, E. 1991, Dinamika obat: Buku ajar Farmakologi dan toksikologi, edisi kelima, Diterjemahkan oleh Widianto, M. dan A.S Ranti, Penerbit ITB, Bandung.

Mycek, M. J, Harvey, R. A., Champe, P. C., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar, diterjemahkan oleh Agoes, A., Edisi 2, Widya Medika, Jakarta.

Paramapojn, S., and Gritsanapan, W., 2009, Free Radical Scavenging Activity Determination and Quantitative Analysis of Curcuminoids in Curcuma zedoaria Rhizome Extracts by HPLC Method, Current Science, 97 (7), pp. 1069.

Robert, C., and Kupper, T.S., 1999, Mechanisms of Disease, The New England Journal of Medicine, 341 (24), pp. 1817-1819.

(59)

Sahu, A.N., Jha, S., and Dubey, S.D., 2011, Formulation and Evaluation of Curcuminoid Based Herbal Face Cream, Indo-Global Journal of Pharmaceutical Sciences, 1 (1), pp. 77-79.

Sandhu et al., 2012, Additives in Topical Dosage Forms, International Journal of Pharmaceutical, Chemical and Biological Sciences, 2 (1), 79-83.

Schuelert, N., Russell, F.A., McDougall, J.J., 2011, Topical Diclofenac in The Treatment of Osteoarthritis of The Knee, Orthopedic Research and Reviews, 3, pp. 2-4.

Sharma, R.A., Gescher, A.J., And Steward, W.P., 2005, Curcumin : The Story so Far, Eropean Journal of Cancer, 41, pp. 1955-1957.

Voigt, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Hal 790-811, UGM Press, Yogyakarta.

(60)

LAMPIRAN

(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)

Lampiran 7. Sediaan Krim Temu Putih Pada Hari ke-2

Basis Krim o/w Basis Krim o/w + Peppermint Oil

Krim o/w Temu Putih + Peppermint Oil

Krim o/w Temu Putih

Basis Biocream Basis Biocream + Peppermint Oil

(77)

Lampiran 8. Sediaan Krim Temu Putih Pada Hari ke-28

Lampi

Basis Biocream Basis Biocream + Peppermint Oil

Biocream Temu Putih Biocream Temu Putih + Peppermint Oil

Krim o/w Temu Putih Krim o/w Temu Putih + Peppermint Oil

(78)

a. Formula Biocream Ekstrak

b. Formula Biocream Ekstrak Peppermint

Replikasi 48 jam

d. Formula Krim Ekstrak Peppermint

Replikasi 48 jam

/DPSLran 9. Uji sifat fisik

(79)

2. Viskositas

b. Formula Biocream Ekstrak Peppermint

Replikasi 48 jam

d. Formula Krim Ekstrak Peppermint

(80)

3. Daya Sebar

Beban yang digunakan sebesar 100 g

Luas Daya sebar (cm2) = 2

b. Formula Biocream Ekstrak Peppermint

Replikasi 48 jam

d. Formula Krim Ekstrak Peppermint

Gambar

Tabel  I. FormulaSediaan Krim Temu Putih Dalam 25 g Sediaan ................. 23
Gambar  2. Struktur Kurkumin, Demetoksikurkumin, Bisdemetoksikurkumin 13
Gambar 1. Rimpang temu putih (Curcuma zedoaria) (BPOM, 2010)
Gambar 2. Struktur kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Jurenka, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Determinan kejadian komplikasi persalinan di Indonesia adalah paritas satu atau lebih sama dengan empat anak, adanya komplikasi kehamilan dan adanya riwayat komplikasi

London Sumatra Indonesia Tbk, Unit Bah Lias Estate, sebagaimana humas atau public relations pada perusahaan lain, petugas humas di perusahaan ini memiliki tugas

Ingat, dengan induksi matematika dapat melakukan pembuktian kebenaran suatu pernyataan matematika yang berhubungan dengan bilangan asli, bukan untuk menemukan formula..

SK Dirjen Dikti tentang perubahan dan peraturan tambahan 5K Dirjen Dikti No ; 08/DIKTI/Kep/2002 5K Dirien Diktl tentang penyelenggaraafl program reguler dan non reguler di

Penyebaran Kuesioner dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap keputusan pembelian produk sikat gigi formula dan dimensi persepsi mana yang paling

Pengujian ini dilakukan agar dapat menjawab tujuan dari penelitian ini yaitu mendapatkan ukuran cluster yang optimal dengan memililki nilai kohesi paket yang tinggi serta

Lembaga penyelenggara yang sudah menerima dana dalam rekeningnya, wajib mengirimkan fotokopi bukƟ penerimaan transfer dana dari KPPN kepada Direktorat Pembinaan