• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I - BAB I & II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I - BAB I & II"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Staf ahli Gubernur, Bupati maupun Walikota merupakan sebuah jabatan struktural dalam pemerintahan daerah. Staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur, Bupati/Walikota dari pegawai negeri sipil, untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, Gubernur dan Bupati/ Walikota selaku Kepala Daerah memiliki peran yang sentral dalam pemerintahan. Untuk menciptakan daerah serta pemerintahan yang unggul, diperlukan Kepala Daerah yang unggul pula. Namun demikian, sistem pemilihan kepala daerah yang dianut oleh Indonesia saat ini memungkinkan terpilihnya kepala daerah dari berbagai macam kalangan, sehingga tidak semua kepala daerah terpilih memiliki pengalaman di bidang pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan pendamping kepala daerah yang senantiasa dapat memberikan saran pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam menghadapi masalah-masalah di masyarakat. Staf ahli merupakan jabatan yang mengemban tugas pendampingan tersebut.

Jabatan Staf Ahli Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pasal 36 peraturan tersebut menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati/Walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu staf ahli dengan jumlah maksimal

(2)

sebanyak 5 (lima) staf. Staf ahli ini diangkat oleh gubernur, bupati/walikota dari pegawai negeri sipil. Tugas staf ahli ditetapkan oleh gubernur, bupati/walikota di luar tugas dan fungsi perangkat daerah. Adapun pasal 37 menyatakan bahwa Staf Ahli Gubernur sebagai jabatan struktural eselon IIa, dan staf ahli Walikota sebagai jabatan struktural eselon IIb. Staf ahli dalam pelaksanaan tugasnya secara administratif dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah lembar lampiran huruf G menyebutkan bahwa staf ahli mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, staf ahli dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah. Jumlah dan nomenklatur jabatan staf ahli dapat disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan daerah masing-masing. Adapun hubungan kerja antara staf ahli dengan SKPD dalam pemerintahan daerah bersifat konsultasi dan koordinasi.

Di lingkungan Pemerintah Kota Bandung, kedudukan Staf Ahli Walikota Bandung diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung dan Sekretariat DPRD Kota Bandung. Dalam peraturan daerah tersebut, pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh staf ahli. Ayat (2) menyebutkan staf ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas paling banyak 5 (lima) orang yang diangkat dan diberhentikan oleh walikota dari pegawai negeri sipil, yang terdiri atas :

(3)

2) Staf Ahli Bidang Perekonomian, Keuangan Daerah dan Investasi; 3) Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Infrastruktur;

4) Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia; 5) Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi.

Tugas dan fungsi Staf Ahli Walikota Bandung diuraikan dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 192 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Satuan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung. Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa staf ahli Walikota mempunyai tugas membantu Walikota dengan memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan sesuai dengan lingkup tugasnya, yang terdiri atas :

1) Staf Ahli Lingkup Pemerintahan dan Hukum mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pemerintahan dan hukum;

2) Staf Ahli Lingkup Perekonomian, Keuangan Daerah dan Inverstasi mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai perekonomian, keuangan daerah dan inverstasi;

3) Staf Ahli Lingkup Pembangunan dan Infrastruktur mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pembangunan dan infrastruktur;

4) Staf Ahli Lingkup Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya manusia;

(4)

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (2), Staf Ahli Walikota masing-masing mempunyai fungsi :

1) Pengkajian dan indentifikasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya;

2) Pengumpulan data dan bahan yang berkaitan dengan pokok permasalahan; 3) Penganalisaan pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4) Penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah;

5) Penyusunan laporan pelaksanaan tugas setiap akhir tahun kepada Walikota melalui Sekretariat Daerah; dan

6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan lingkup tugasnya.

(5)

kebijakan yang hebat. Pernyataan ini menunjukan betapa penting peran analis kebijakan dalam suatu pemerintah daerah.

Sutarto (2006 : 183) mengemukakan bahwa dalam sebuah organisasi, seorang staf memiliki peranan sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian, analisa, rekomendasi dan nasehat. Berdasarkan hal tersebut dan uraian fungsi Staf Ahli Walikota Bandung, maka Staf Ahli Walikota Bandung memiliki peran sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya, analisa pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta pemberian rekomendasi dan nasehat dalam bentuk penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah Kota Bandung.

Secara empirik, jabatan Staf Ahli Walikota Bandung seringkali dianggap sebagai jabatan yang harus dihindari karena kesan negatif yang melekat padanya. Di mata publik, berkembang anggapan bahwa jabatan staf ahli merupakan tempat untuk menampung pejabat yang sudah tidak lagi terpakai. Selain itu, berkembang pula anggapan bahwa staf ahli merupakan tempat sementara para pejabat sambil menunggu giliran penempatan jabatan sebagai kepala SKPD pada kegiatan rotasi dan mutasi jabatan berikutnya.

(6)

secara konsep dengan kenyataan di lapangan ini penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul ”Analisis Implementasi Kebijakan Tentang Peran Staf Ahli Walikota Bandung”.

B.

Fokus Penelitian

Mengingat keterbatasan yang ada, baik tenaga, dana dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian terhadap keseluruhan hal terkait kebijakan tentang Staf Ahli Walikota Bandung. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti akan memfokuskan penelitian pada bagaimana kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung diimplementasikan, serta pada faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan dimaksud.

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang dan Fokus Penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk :

1) Mengetahui seperti apa implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung; dan

(7)

D.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang hendak dicapai dari penelitian ini ialah sebagai berikut : 1) Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

melengkapi wawasan terhadap aplikasi teori kebijakan publik, khususnya dalam hal analisis kebijakan publik.

(8)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A.

Kajian Pustaka

1. Kajian Teori

a) Pengertian Kebijakan Publik

Secara etimologis, kebijakan atau policy berasal dari Bahsa Yunani ”polis” yang berarti negara atau kota, kemudian masuk ke dalam Bahasa Latin ”politia” yang berarti negara, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris ”policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.

Winarno (2008 : 16) menyebutkan secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Adapun Wahab (2012 : 8) menegaskan bahwa kebijakan sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan terpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan acak untuk melakukan sesuatu. Makna kebijakan ini sejalan dengan pandangan Anderson (Wahab, 2012 : 8) yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Sedangkan Raksasataya dalam Islamy (1986 : 17) mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu :

1) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;

(9)

3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Dari konsep-konsep ini, dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu keputusan yang berisi pedoman untuk bertindak dalam upayanya untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan berisi identifikasi tujuan yang ingin dicapai, taktik dan strategi untuk mencapainya, serta penyediaan berbagai input untuk pelaksanaannya.

Nugroho (2014 : 129) menguraikan bahwa Kebijakan Publik terbentuk dari dua kata : Kebijakan dan Publik. Kebijakan adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh dia yang berwenang, baik secara formal maupun informal. Adapun publik adalah sekelompok orang yang terikat dengan suatu isu tertentu, bukan umum, rakyat, masyarakat atau sekedar stakeholders. Publik ialah lingkungan dimana orang menjadi masyarakat, lingkungan dimana masyarakat berinteraksi, lingkungan dimana negara dan masyarakat hidup. Menurut Nugroho secara sederhana kebijakan publik dapat diartikan sebagai berikut :

...setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari Negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.

(10)

Menurut Nugroho (2014 : 136), secara umum terdapat 4 bentuk kebijakan publik, yaitu :

1) Kebijakan Formal, yaitu keputusan-keputusan yang dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan ini dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu Perundang-undangan, Hukum dan Regulasi

2) Kebijakan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi). Kebijakan ini biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, seperti misalnya upacara rutin, SOP-SOP tidak tertulis, atau tertulis tapi tidak diformalkan.

3) Pernyataan Pejabat Publik dalam forum publik. Pernyataan pejabat publik harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya.

4) Perilaku pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini merupakan bentuk kebijakan yang paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan, padahal dalam prakteknya perilaku pajabat publik akan ditiru oleh rakyat.

Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah segala keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik tertulis maupun tidak, yang berkaitan dengan penyelesaian masalah-masalah publik dan pencapaian tujuan yang telah ditentukan, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada.

b) Implementasi Kebijakan Publik

Dalam kamus Webster (Wahab, 2012 : 64) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implement" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for

carrying out; to give

(11)

implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Pemerintah selaku pembuat kebijakan bagaimanapun juga tentu ingin agar tujuan kebijakan dapat dicapai, oleh karena itu pemerintah berkepentingan untuk menjaga agar kebijakan dapat diimplementasikan sebaik mungkin.

Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jones (1991 : 7), dimana implementasi diartikan sebagai "getting the job done" dan "doing it". Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun dalam pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yang antara lain :

a) Adanya orang atau pelaksana.

b) Uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan

resources.

Dunn (1998 : 80) menyatakan bahwa :

Implementasi kebijaksanaan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijaksanaan sampai dicapainya hasil kebijaksanaan. Implementasi kebijaksanaan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis, yang dibedakan dari formulasi kebijaksanaan, yang pada dasarnya bersifat teoritis.

(12)

menyebutkan ada dua langkah yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan publik, yakni :

1) Langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program, seperti dalam bentuk Keppres, Kepda, Inpres, dan lain sebagainya; atau

2) Mengimpelementasikannya melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut, seperti melalui UU atau Peraturan Daerah yang dalam pelaksanaannya memerlukan peraturan lain seperti PP atau Perwal.

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan pada intinya adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan, namun lebih dari itu, berlanjut dengan jaringan kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat hingga akhirnya menimbulkan dampak baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan.

(13)

Menurut Purwanto dan Sulistyanti (2012 : 98), kegagalan ataupun keberhasilan implementasi suatu kebijakan dalam mewujudkan tujuan kebijakan yang telah digariskan, dalam literatur studi implementasi kemudian dikonseptualisasikan sebagai kinerja implementasi. Penilaian terhadap kinerja dibutuhkan untuk dapat menjawab pertanyaan pokok dalam studi implementasi, yaitu : (i) apa isi dan tujuan dari suatu kebijakan; (ii) apa tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut; dan (iii) apakah setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan, implementasi yang dijalankan tadi mampu mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak. Untuk dapat menjawab ketiga pertanyaan tersebut dibutuhkan suatu kerangka logis yang dapat membantu peneliti memahami implementasi kebijakan yang pada dasarnya bersifat kompleks. Kerangka pikir yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana kinerja implementasi dapat dilihat dari gambar berikut :

Sumber : Purwanto dan Sulistyanti (2012 : 98)

Gambar 1 Kerangka Pengukuran Kinerja Implementasi Kebijakan

(14)

tersebut. Subarsono (2005 : 89) menyebutkan beberapa ahli atau teoritisi implementasi kebijakan yang membahas model-model tersebut, di antaranya George C. Edward III, Merilee S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van Meter dan Carl Van Horn, Cheema dan Rondinelli, serta David L. Weimer dan Aidan R. Vining. Beberapa model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Model George C. Edward III

Menurut Edward dalam Nugroho (2014 : 673), agar implementasi kebijakan menjadi efektif, ada empat isu pokok yang harus diperhatikan, yakni : communication, resource,

disposition or attitudes, dan bureaucratic structures.

Sumber : Edward (180 : 148)

Gambar 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

(15)

Dalam hal ini Edward menjelaskan bahwa jika pembuat keputusan berharap agar implementasi kebijakannya sesuai dengan yang dikehendakinya, maka ia harus memberikan informasi secara tepat. Komunikasi yang tepat juga menghindari diskresi/keleluasaan pada para implementor karena mereka akan mencoba menerjemahkan kebijakan umum menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi ini tidak akan terjadi jika terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa yang perlu dilakukan. Namun aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat implementasi karena akan menyulitkan adaptasi dari para implementor. Dalam hal ini diperlukan kebijakan yang ditransmisikan kepada agen pelaksana yang tepat, jelas dan konsisten, tapi tidak menghalangi adaptasi para agen pelaksana tersebut.

Resource berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia, dimana hal ini berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk mengemban kebijakan secara efektif. Mengenai sumber daya, Edward (1980 : 11) menjelaskan bahwa :

Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and on the complience of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities (including buildings, equipment, land and supplies) in which or with which to provide services.

Tanpa memandang seberapapun jelas dan konsistennya perintah implementasi, serta tanpa memandang seberapa akurat perintah tersebut ditransmisikan, jika implementornya kekurangan sumber daya maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya yang dimaksud oleh Edward, sebagaimana disebutkan di atas terdiri dari staff, informasi, kewenangan dan fasilitas.

(16)

likely to carry it out as the original decisionmakers intended. But when implementors’

attitudes or perspectives differ from the decisionmakers’, the process of implementing a

policy becomes infinitely more complicated”. Dalam hal ini Edward menekankan bahwa sikap atau yang beliau sebut sebagai disposisi merupakan hal yang krusial karena jika implementor kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan, maka perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Dicontohkan oleh Edward III, banyak sekolah di negara bagian di Amerika Serikat yang tidak mengalokasikan dana bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus walaupun hal tersebut telah diatur dalam undang-undang, karena mereka not interested atau tidak berminat dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Faktor terakhir yang dikemukakan Edward adalah bureaucratic structures.

Bureaucratic structures atau struktur birokrasi ini berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Edward (1980: 125) menyatakan bahwa dua sub variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi adalah Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Mengenai SOP, Edward (1980 : 225) menjelaskannya sebagai : “The former develop as internal responses to the limited time and resources of implementors and the desire for uniformity in the operation of complex and

(17)

Dalam struktur birokrasi, fragmentasi dapat menjadi halangan implementasi kebijakan. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab, dan hal ini dapat menyulitkan koordinasi dalam kebijakan. Sumber daya dan kewenangan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif seringkali tersebar ke banyak unit organisasi. Fragmentasi juga memungkinkan munculnya tumpang tindih dan duplikasi dari banyak unit organisasi.

2) Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005 : 99), terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu sebagai berikut :

1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka dapat terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

2. Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia ( non-human resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang

4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program. 5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya

ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi. kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

(18)

Variabel-variabel tersebut digambarkan oleh Van Horn dan Van Meter sebagai berikut :

Sumber : Subarsono (2005 : 99)

Gambar 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn

Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edwards III, maka seperti terlihat

di atas, variabel (1) standar dan sasaran kebijakan dapat dikatakan sejalan dengan variabel

“komunikasi” dalam model Edwards III. Hal ini karena dari penjelasan yang ada

menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga

tidak menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan

dengan variabel “sumber daya” pada model Edwards III, yaitu mencakup SDM dan

non-SDM. Variabel (3) hubungan antar organisasi sejalan dengan variabel “struktur organisasi”

dari model Edwards III. Variabel (4) karakteristik agen pelaksana dan variabel (6) disposisi

implementor, dapat dikatakan sejalan dengan variabel “disposisi” dalam model Edwards III.

Hal ini dikarenakan variabel (4) membicarakan tentang ‘norma-norma’ dan ‘pola-pola

hubungan’ yang terjadi pada implementor merupakan dapat mengacu pada preferensi nilai

atau sikap yang ada pada implementor dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh

(19)

Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, yang agak berbeda barangkali adalah variabel (5) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini terlihat bahwa model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga mempertimbangkan faktor eksternal. Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye yang melibatkan tiga elemen dalam sistem kebijakan, maka faktor sosial, politik, dan ekonomi dapat kita masukkan dalam elemen lingkungan kebijakan atau policy environment. Edwards III tidak memasukkan elemen lingkungan kebijakan karena beliau memfokuskan teorinya pada aktor-aktor kebijakan yang mengimplementasikan kebijakan itu sendiri (implementor kebijakan) sehingga tidak memfokuskan pembahasan pada apa yang terdapat di luar implementor kebijakan.

3) Model Grindle

Implementasi kebijakan menurut Grindle (Nugroho, 2014 : 671) ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya ialah bahwa setelah kebijakan ditranformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Grindle menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh 2 (dua) variabel, yakni variabel content (isi) dan context. Variabel content terkait dengan apa yang ada dalam kebijakan publik, sedangkan variabel context terkait dengan bagaimana konteks politik dan aktivitas administrasi mempengaruhi kebijakan yang diimplementasikan.

(20)

telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber : Subarsono (2005 : 93)

Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Grindle

Model Grindle ini dijelaskan oleh Suwitri (2008 : 86-89) sebagai berikut :

Variabel Konten selanjutnya diperinci lagi ke dalam 6 unsur, yaitu:

1. Pihak yang kepentingannya dipengaruhi (interest affected)

Theodore Lowi (dalam Grindle, 1980) mengungkapkan bahwa jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan demikian, apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihak-pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut....

(21)

Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap banyak orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak. ...

3. Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (extent of change envisioned) Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih mengalami kesulitan dalam implementasinya...

4. Kedudukan pengambil keputusan (site of decision making)

Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam implementasi kebijakan publik, baik secara geografis maupun organisatoris, akan semakin sulit pula implementasi program. Karena semakin banyak satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.

5. Pelaksana-pelaksana program (program implementors)

Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut. Birokrasi yang memiliki staff yang aktif, berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi terhadap pelaksanaan tugas dan sangat mendukung keberhasilan implementasi program.

6. Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources committed)

Tersedianya sumber-sumber secara memadai akan mendukung keberhasilan implementasi program atau kebijakan publik.

Di samping Konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan publik juga ditentukan oleh variabel Konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur, yaitu :

1. Kekuasaan, minat dan strategi dari aktor-aktor yang terlibat (power, interest and strategies of actors involved)

Strategi, sumber dan posisi kekuasaan dari implementor akan menentukan keberhasilan implementasi suatu program. Apabila kekuatan politik merasa berkepentingan terhadap suatu program, mereka akan menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi, sehingga output suatu program akan dapat dinikmatinya. ...

2. Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime characteristics) Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Penyelesaian konflik akan menentukan

who gets what atau ‘siapa mendapatkan apa”. ...

3. Kesadaran dan sifat responsif (compliance and responsiveness)

Agar tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai maka para implementor harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari beneficiaries. Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi, implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi.

Melihat penjelasan mengenai model Grindle ini, dapat dicermati bahwa model

Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan model Van Meter dan Van Horn, yakni

bahwa baik model Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan

(22)

Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan kondisi sosial, politik, dan ekonomi sebagai

salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan

variabel besar konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan.

Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah model ini

lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel

lingkungan yaitu power, interest and strategies of actors involved menjelaskan bahwa isi kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta perpolitikan dari para pelaku kebijakan. Aktor-aktor

penentu kebijakan akan berusaha menempatkan kepentingan mereka pada

kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di

dalam kebijakan. Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics dan unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III. Unsur kedua (karakteristik lembaga dan rezim) dijelaskan oleh

Suwitri (2008: 88) bahwa implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik

pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Dalam hal ini contoh yang

terjadi adalah ketika terdapat resistensi terhadap suatu kebijakan dari suatu kelompok yang

kepentingannya terancam akan menimbulkan konflik. Cara penanganan konflik pada rezim

yang otoriter tentu akan berbeda dengan cara penanganan pada rezim yang demokratis.

Bahkan pada rezim yang demokratis sendiri terdapat berbagai macam cara penyelesaiannya.

Robbins dan Judge (2008: 181) menyebutkan terdapat enam cara penyelesaian konflik, yaitu

bersaing (tegas dan tidak kooperatif), bekerjasama (tegas dan kooperatif), menghindar (tidak

tegas dan tidak kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis

(tengah-tengah antara tegas dan kooperatif). Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model

Grindle, yaitu compliance and responsiveness merujuk pada disposisi, meskipun terdapat perbedaan, dimana Grindle memfokuskan pada disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan,

(23)

menyatakan : “... proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan

subyektif, dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi, compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Pelibatan politik dalam unsur ini masih berkaitan dengan unsur pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat, dan strategi

aktor-aktor, karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat kebijakan

dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari pembuat kebijakan maupun

implementor semestinya juga lebih tinggi.

Pada variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa

implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama hingga keempat yaitu

interest affected, type of benefits, extent of change envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama,

Suwitri (2008 : 86) menyatakan : “...jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa

dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat ditelusuri

pada unsur kedua hingga keempat.

Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan pandangan

dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada unsur kelima yaitu program implementors disebutkan oleh Suwitri (2008 : 88) bahwa : “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut”. Hal ini sejalan dengan

faktor sumber daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.

Lebih lanjut, unsur keenam yaitu resources committed dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur

kelima dan keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor sumber

daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn, tetapi

(24)

4) Model Mazmanian dan Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2014 : 666), implementasi kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, iatu mudah tidaknya masalah dikendalikan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumberdana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana dan perekrurtan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi, yaitu pemahaman dari lembaga pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

(25)

Sumber : Hill (1997 : 274)

Gambar 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier

Sebagaimana Van Meter dan Van Horn maupun Grindle, Mazmanian dan Sabatier

juga memasukkan variabel lingkungan kebijakan sebagai variabel yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Perbedaan utama antara model ini dengan model Grindle adalah,

selain variabel konten/isi kebijakan yang oleh Mazmanian dan Sabatier dikelompokkan

sebagai kemampuan statuta untuk menstrukturisasi implementasi (ability of statute to structurize implementation), mereka juga memperluas variabel yang mempengaruhi kebijakan menjadi tingkat kesulitan masalah (tractability of the problem) dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi implementasi (nonstatutory variables affecting implementation).

(26)

perilaku yang diharapkan (extent of behavioral change required). Unsur keempat yaitu tingkat perubahan perilaku yang diharapkan memiliki kesamaan dengan salah satu unsur dari

variabel isi kebijakan dari Grindle yaitu extent of change envisioned.

Pada nonstatutory variable, unsur pertama yaitu socioeconomic conditions and technology memiliki kesamaan dengan variabel Van Meter dan Van Horn yaitu keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan utamanya adalah Mazmanian dan Sabatier

menyebutkan kata ‘teknologi’ sebagai satu kesatuan dengan sosioekonomi. Sebagaimana

Grindle, Mazmanian dan Sabatier juga memperhatikan politik. Pada unsur kedua yaitu public support maupun unsur keempat yaitu support from sovereigns memperlihatkan bahwa dukungan publik (bottom) maupun dukungan dari penguasa (top) ikut menentukan implementasi. Tanpa dukunan dari kedua pihak (top dan bottom) maka implementasi akan menghadapi kendala. Dan dukungan dari atas maupun bawah ini melibatkan proses politik.

Publik yang memiliki kepentingan lebih cenderung akan mendukung suatu kebijakan yang

mengutamakan kepentingan mereka. Demikian juga penguasa juga akan cenderung

mendukung kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Unsur kedua yaitu attitudes and resources of constituency groups memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III. Perbedaannya adalah Edwards III memfokuskan pada sikap atau attitude dari implementor, sedangkan Mazmanian dan Sabatier lebih fokus pada sikap dari konstituen atau

pemilih. Pada unsur kelima yaitu commitment and leadership skill of implementing officials, model Mazmanian dan Sabatier juga memfokuskan pada komitment dan kemampuan

kepemimpinan dari implementor. Keunggulan model ini adalah kepemimpinan belum

dibahas pada model-model sebelumnya.

(27)

bersesuaian dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Kejelasan dan konsistensi

tujuan merupakan salah satu faktor yang dimaksudkan oleh Edwards III dalam faktor

komunikasi. Tanpa tujuan yang jelas dan konsisten, agen-agen implementor akan menemui

kesulitan mengimplementasikan kebijakan. Unsur kelima yaitu decision rules of implementing agencies juga serupa dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Unsur kelima ini juga menuntut adanya kejelasan aturan dari agen-agen pelaksana. Kesesuaian

antara model Mazmanian dan Sabatier dengan model Edwards III juga dapat kita lihat pada

unsur ketiga yaitu initial allocation of financial resources, maupun unsur keenam yaitu

recruitment of implementing officials. Baik unsur alokasi dana maupun unsur rekruitmen petugas implementasi memiliki kesamaan dengan faktor sumber daya dari model Edwards

III, Van Meter dan Van Horn, maupun Grindle. Sama halnya dengan model Grindle, model

Mazmanian dan Sabatier juga memisahkan SDM dan non SDM dari faktor sumber daya.

Unsur lain yang sesuai dengan model Edwards III adalah unsur keempat yaitu hierarchical integration within and among implementing institutions. Unsur ini serupa dengan faktor struktur birokrasi dalam model Edwards III. Integrasi hierarkis di dalam dan di antara

lembaga implementor merupakan hal yang mutlak diperlukan agar implementasi kebijakan

tidak saling overlap. Di samping hal-hal yang kita dapati dari model-model lain, terdapat unsur-unsur yang tidak kita dapati di variabel ini (kemampuan kebijakan untuk

menstruktrurisasi kebijakan). Hal yang agak berbeda tersebut adalah pada unsur kedua yaitu

incorporation of adequate causal theory. Model ini menuntut adanya kajian ilmiah maupun empiris agar sebuah kebijakan dinilai layak dikatakan mampu menstrukturisasi implementasi.

Dengan adanya landasan teori kausal yang kuat maupun kajian ilmiah dan bukti empiris,

sebuah kebijakan sudah melewati fit and proper test sebelum menjadi kebijakan yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Selain itu, perbedaan dengan model lain juga terdapat

(28)

Sabatier adalah bahwa model ini juga memperhitungkan peran serta publik dalam

implementasi kebijakan. Implementasi akan berjalan relatif lebih lancar apabila publik diberi

kesempatan untuk mengakses proses kebijakan, atau paling tidak dalam salah satu prosesnya

seperti penentuan agenda atau evaluasi kebijakan.

c) Peran Staf

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, staf didefinsikan sebagai sekelompok orang yang bekerja sama membantu seorang ketua dalam mengelola suatu pekerjaan. Staf diartikan juga sebagai bagian dari organisasi yang tidak mempunyai hak untuk memberikan perintah, namun mempunyai kewajiban untuk membantu pimpinan, memberikan masukan kepada pimpinan.

Davis dalam Sutarto (2006 : 182) menyebutkan bahwa terdapat 6 kewajiban staff, yaitu penelitian; analisa fakta dan informasi; interpretasi; rekomendasi termasuk perencanaan; koordinasi membantu pengontrolan dan memperlancar, membantu penyusunan dan pelaksanaan. Livingstone (Sutarto, 2006 : 182) menyebutkan ada 4 macam fungsi staf, yaitu fungsi pengontrolan; fungsi pelayanan; fungsi nasihat, penelitian dan interpretasi; dan fungsi koordinasi. Adapun Spriegel (Sutarto, 2006 : 183) mengemukakan bahwa staf memiliki 4 macam tugas, yakni tugas pengontrolan, tugas pelayanan, tugas koordinasi dan nasihat.

(29)

komersiil, penunjangan, pengontrolan dan konsultasi, maka peranan staf dapat dimurnikan sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian, analisa, rekomendasi dan nasehat.

2. Penelitian Artha Dini Akmal (2013)

Salah satu penelitian yang juga membahas tentang peran staf ahli kepala daerah adalah penelitian yang dilakukan oleh Artha Dini Akmal berjudul ”Optimalisasi Kinerja Staf Ahli Kepala Daerah Terhadap Pencapaian Visi dan Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar”. Artha menguraikan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, staf ahli membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya, termasuk dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkannya. Staf ahli setiap daerah memiliki tugas pokok dan fungsi yang tidak sama, namun demikian, secara garis besar tugas staf ahli ialah membantu memberikan masukan dan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala daerah dalam mengatasi sebuah masalah atau menjalankan sebuah program, baik diminta maupun tidak, sesuai bidang keahliannya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis cara mengoptimalkan kinerja Staf Ahli terhadap pencapaian visi dan misi Kepala Daerah Kabupaten Tanah Datar, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja staf ahli terhadap pencapaian visi dan misi tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya, Artha menyimpulkan bahwa kinerja Staf Ahli Kabupaten Tanah Datar belum optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Staf Ahli ialah sumber daya manusia termasuk latar belakang pendidikan dan pengalamannya, sarana dan prasarana, serta budaya organisasi yang ada.

(30)

penelitian ini ialah bagaimana mengoptimalkan kinerja Staf Ahli terhadap pencapaian visi dan misi Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, serta faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja Staf Ahli dalam mewujudkan visi dan misi Pemerintah Daerah.

3. Penelitian Gibral Alhaq (2016)

Alhaq (2016) melakukan penelitian mengenai Tugas Pokok dan Fungsi Staf Ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Staf Ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat dan apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli tersebut.

(31)

kinerja Staf Ahli sendiri. Diharapkan perlu adanya kebijakan baru yang diambil Pemerintah Provinsi Sumatera Barat seperti dengan dilakukannya pendidikan dan pelatihan tenaga terampil secara berkelanjutan dan adanya evaluasi kinerja terkait tugas pokok dan fungsi Staf Ahli tersebut.

Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan Alhaq dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada fokus dan lokus yang berbeda. Penelitian ini lebih berfokus pada bagaimana pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli Gubernur di Provinsi Sumatera Barat, sedangkan penelitian peneliti lebih berfokus pada implementasi kebijakan tentang peran staf ahli Walikota. Masalah yang dirumuskan dalam penelitian Alhaq ialah bagaimana pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli Gubernur Provinsi Sumatera Barat, serta apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi staf ahli tersebut. Sedangkan masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini ialah bagaimana kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung diimplementasikan, serta faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan tersebut.

B.

Kerangka Berpikir

(32)

1) Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum;

2) Staf Ahli Bidang Perekonomian, Keuangan Daerah dan Investasi; 3) Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Infrastruktur;

4) Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia; 5) Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi.

Tugas dan fungsi Staf Ahli Walikota Bandung diuraikan dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 192 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Satuan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung. Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa staf ahli Walikota mempunyai tugas membantu Walikota dengan memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan sesuai dengan lingkup tugasnya, yang terdiri atas :

1) Staf Ahli Lingkup Pemerintahan dan Hukum mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pemerintahan dan hukum;

2) Staf Ahli Lingkup Perekonomian, Keuangan Daerah dan Inverstasi mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai perekonomian, keuangan daerah dan inverstasi;

3) Staf Ahli Lingkup Pembangunan dan Infrastruktur mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pembangunan dan infrastruktur;

4) Staf Ahli Lingkup Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya manusia;

5) Staf Ahli Lingkup Teknologi Informasi mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai teknologi informasi.

Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (2), Staf Ahli Walikota masing-masing mempunyai fungsi : 1) Pengkajian dan indentifikasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

(33)

2) Pengumpulan data dan bahan yang berkaitan dengan pokok permasalahan;

3) Penganalisaan pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4) Penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah;

5) Penyusunan laporan pelaksanaan tugas setiap akhir tahun kepada Walikota melalui Sekretariat Daerah; dan

6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan lingkup tugasnya. Dari uraian tugas pokok dan fungsinya, dapat disimpulkan bahwa Staf Ahli Walikota memikul peran sebagai analis kebijakan pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan teori yang diutarakan oleh Dunn dalam Nugroho (2014 : 265), yakni bahwa analis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Menurut Dunn, ada lima proses dalam analisis kebijakan, yaitu :

1) Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan;

2) Menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu;

3) Menyediakan informasi mengenai nilai dan konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang;

4) Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan;

5) Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah.

(34)

dan nasehat. Berdasarkan hal tersebut dan uraian fungsi Staf Ahli Walikota Bandung, maka Staf Ahli Walikota Bandung memiliki peran sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya, analisa pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta pemberian rekomendasi dan nasehat dalam bentuk penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah Kota Bandung.

Secara empirik Staf Ahli Walikota Bandung memiliki citra negatif pada pemerintahan. Jabatan ini seringkali dianggap sebagai jabatan struktural yang harus dihindari, karena berkembang anggapan bahwa jabatan staf ahli merupakan tempat untuk menampung pejabat yang sudah tidak lagi terpakai. Selain itu, berkembang pula anggapan bahwa staf ahli merupakan jabatan sementara para pejabat sembari menunggu giliran penempatan jabatan sebagai kepala SKPD pada kegiatan rotasi dan mutasi jabatan berikutnya.

Kuatnya anggapan bahwa staf ahli tidak memiliki peran penting pada Pemerintah Kota Bandung menggambarkan adanya tujuan yang tidak tercapai dalam kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung. Soenarko (1998:201) mengemukakan bahwa pelaksanaan (implementasi) kebijakan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijaksaan pemerintah tersebut. Tak berbeda jauh dengan definisi itu, Nugroho (2014 : 657) menjelaskan bahwa : ”Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya”. Berdasarkan teori ini, ketika kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan kebijakan yang ditetapkan, maka perlu dipertanyakan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan.

Menurut Edward (1980 : 10), agar implementasi kebijakan menjadi efektif, ada empat isu pokok yang harus diperhatikan, yakni :

(35)

Implementasi Kebijakan mengimplementasikannya harus tahu apa yang harus mereka lakukan. Perintah untuk melaksanakan kebijakan harus disampaikan kepada orang yang tepat, serta harus jelas, akurat dan konsisten.

2) Resource atau sumberdaya.

Seberapa jelas dan seberapa konsisten pun sebuah kebijakan, serta seberapa akurat kebijakan tersebut disampaikan, apabila orang yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut kekurangan sumber daya untuk melakukan pekerjaannya secara efektif, makan pelaksanaan kebijakan juga tidak akan efektif. 3) Disposition atau sikap.

Jika ingin mengimplementasikan kebijakan dengan efektif, Implementor tidak hanya harus tahu apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukannya, namun mereka juga harus memiliki kemauan atau kesediaan untuk melaksanakannya. 4) Bureaucratic structures atau struktur birokrasi.

Meskipun sumber daya telah cukup tersedia, implementor tahu apa yang harus dilakukannya dan mau melakukannya, implementasi masih bisa gagal karena ada kekurangan dalam struktur birokrasi. Fragmentasi organisasi dapat menghalangi koordinasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan secara sukses sebuah kebijakan yang rumit yang membutuhkan keterlibatan dari banyak orang, juga dapat membuang-buang sumber daya yang sulit didapatkan, menghalangi perubahan, menciptakan kebingungan, menyebabkan kebijakan bekerja pada tujuan yang berlawanan dan menghasilkan beberapa pekerjaan penting terabaikan.

(36)

Analisa Rekomendasi

Nasihat

36

C.

Proposisi

Dari kerangka berpikir yang diuraikan sebelumnya, maka peneliti mengajukan proposisi sebagai berikut :

1) Implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung menentukan bagaimana peranan Staf Ahli Walikota Bandung dalam struktur Pemerintah Kota Bandung.

Implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung dipengaruhi oleh faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pengukuran Kinerja Implementasi Kebijakan
Gambar 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan
Gambar 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut VanMeter dan Van Horn
Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan, khususnya bentuk makna kontekstual yang berkaitan dengan suatu percakapan bagi

Inspeksi pertama setelah proses produksi berjalan lancar, diambil dalam waktu 15 menit dan berjumlah 5 sampel, apabila staf Line Quality Control (LQC) tidak melihat adanya

Rancah ARSIM Kripik Pisang -Kripk singkong - Kripik talas - Sale PisangH. Eti

(5) the efforts of the regulatory agencies in improving the performance of such madrasas coaching, motivation, the opportunity to continue their education, incentives, and

Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b terdapat di Distrik Kaimana, Distrik Buruway, Distrik Teluk Arguni, Distrik Arguni Bawah, Distrik

 Disampaikan kepada seluruh jemaat bahwa Minggu, 10 September 2017 akan menggunakan Tata Ibadah dari Majelis Sinode GPIB dalam rangka HUT ke – 58 Pelkat PA.. Hutomo H.S

1) Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi acuan pemahaman bagi perusahaan mengenai pengungkapan sustainability report dan pengaruh

Jurusita Pajak menginventarisasi aset-aset Penanggung Pajakyang akan dilelang, meneliti dengan melihat data tunggakanbeserta pelunasan (SSP/STTS/SSB/bukti Pbk) atau