II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komoditi dan produk berbasis sawit
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di Indonesia pada tahun 1984 berasal dari Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun 1911.
Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Keluarga : Palmaceae Sub keluarga : Cocoideae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq
Varietas unggul kelapa sawit adalah varietas Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai induk jantan. Hasil persilangan tersebut memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Produk minyak sawit sebagai bahan makanan mempunyai dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk. Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam lemak (FFA = Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2 % pada saat pengapalan. Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5 % FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan rendemen minyak 22,1 % - 22,2 % (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas 1,7 % - 2,1 % (terendah).
Syarat mutu diukur berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar asam lemak bebas (ALB), air, kotoran, logam besi, logam tembaga,
peroksida, dan ukuran pemucatan. Kebutuhan mutu minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih diperhatikan. Rendahnya mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan.
Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit, didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti di bawah ini :
· Crude Palm Oil
· Crude Palm Stearin · RBD Palm Oil · RBD Olein · RBD Stearin · Palm Kernel Oil
· Palm Kernel Fatty Acid · Palm Kernel
· Palm Kernel Expeller (PKE) · Palm Cooking Oil
· Refined Palm Oil (RPO)
· Refined Bleached Deodorised Olein (ROL) · Refined Bleached Deodorised Stearin (RPS) · Palm Kernel Pellet
· Palm Kernel Shell Charcoal
Selain sebagai sumber minyak goreng kelapa sawit, produk turunan kelapa sawit ternyata masih banyak manfaatnya (Gambar 1) dan sangat prospektif untuk dapat lebih dikembangkan, antara lain:
1. Produk turunan CPO. Produk turunan CPO selain minyak goreng kelapa sawit, dapat dihasilkan margarine, shortening, vanaspati (vegetable
ghee), ice creams, bakery fats, instans noodle, sabun dan detergent, cocoa butter extender, chocolate dan coatings, specialty fats, dry soap mixes, sugar confectionary, biskuit cream fats, filled milk, lubrication, textiles oils dan biodiesel.
Khusus untuk biodiesel, permintaan akan produk ini pada beberapa tahun mendatang akan semakin meningkat, terutama dengan diterapkannya kebijaksanaan di beberapa negara Eropa dan Jepang untuk menggunakan renewable energy.
2. Produk turunan minyak inti sawit. Dari produk turunan minyak inti sawit dapat dihasilkan shortening, cocoa butter substitute, specialty
fats, ice cream, coffee whitener/cream, sugar confectionary, biscuit cream fats, filled mild, imitation cream, sabun, detergent, shampoo dan
kosmetik.
3. Produk turunan Oleochemicals kelapa sawit. Dari produk turunan minyak kelapa sawit dalam bentuk oleochemical dapat dihasilkan methyl esters, plastic, textile processing, metal processing, lubricants,
emulsifiers, detergent, glicerine, cosmetic, explosives, pharmaceutical products dan food protective coatings.
Ketersediaan lahan produksi kelapa sawit disajikan dalam Gambar 2. Menurut Taher et al. (2000), enam propinsi potensi terbesar untuk ketersediaan lahan produksi kelapa sawit yaitu propinsi Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat. Kisaran luasan lahan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Luasan lahan yang tersedia untuk kelapa Sawit
Propinsi Luas (000 ha)
Jambi 50 Kalimantan tengah 310 Kalimantan Timur 370 Sulawesi Selatan 130 Sulawesi tengah 200 Papua Barat 2000 Total 3060
Sumber : Taher et al., 2000
Provinsi Jambi saat ini sedang giat mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik oleh perkebunan swasta, negara maupun rakyat. Keragaman perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 2. Dari total luasan tersebut, luas perkebunan swasta mencapai 139.276 ha (38,2%), perkebunan negara 19.671 ha (5,4%), dan perkebunan rakyat 205.599 ha (56,4%).
Gambar 1. Pohon industri kelapa sawit (Departemen Pertanian, 2009)
Tandan Buah Segar (TDS) Kelapa Sawit
Buah Kelapa Sawit Sludge Tandan Kosong
Daging Kelapa Sawit Minyak Kelapa
Sawit
Biji Kelapa Sawit Inti Kelapa Sawit
Tempurung Serat
Carotene Tocopherol Olein Stearin Free Fatty Acid (FFA)
Soap Stock Bungkil Minyak inti sawit
(palm kernel oil) TempurungTepung BahanBakar
Arang Bahan selulosa
Cocoa
Butter GorengMinyak Minyak Margarine Shortening Vegetable Ghee Minyak Glyserin Sabun Komponen Fatty acid Lauric acid Myristic acid Briket Arang Aktif Asam Kertas
Fatty Alkohol
(Ester) Mettalic Salt Polyethoxylated Derivatives Fatty Amines Ester of Dibasic Acid Oxygenated Fatty Acid Fatty alcohol, dll Fatty Acid Amides
Palmitic / Propanol Palmitic / Butanol Stearic / Butanol Stearic / Glycol Oleic / Glycol Oleic / Melhanol Oleic / Oleoalkohol Palmitic Stearic / Ca.Zn Stearic / Ca.Mg Stearic / Al. Li Oleic / Zn, Pb Oleic / Ba Palmitic / Ethylene Propylene Oxide Stearic / Ethylene Propylene Oxide Oleic Acid Dimer Ethylene Propylene Oxide Primary C16 & C18 C16 & C18 / Ethoxylated C16 & C18 / Guanidine Ethoxylated Secondary C16 & C18 / Ehoxylated Quatenary C16 & C18 Azelaiz / Butanol Octanol as Ester Azelaiz / Glycol Esters
Oleic Acid Dimer / Butanol & Octanol Esters
Epoxy Stearic / Octanol Esters Elthio Stearin Mono & Polyhidric Alkohol Esters
C16 & C18 Alcohol / Sulphated C16 & C18 Alcohols / Esterified with higher saturated Fatty Acids
C16 & C19 and C16 & C19 alcohol / Ethoxylation Monoglycerides Monoglycerides Ethoxylation C16 Aldehyde Stearamide Oleamide Alkanolamides Sulphated Alcanolamide of Palmitic, Stearic and Oleic Acids
Gambar 2. Kesediaan lahan produksi kelapa sawit (Taher, et al, 2000) Tabel 2. Luas dan produksi kelapa sawit propinsi Jambi, Tahun 2008
Kabupaten Luas Produksi
(ton) Produktivitas (kg/ha) TBM TM TR Jumlah Batanghari 9.808 52.695 2.980 65.483 160.882 3.053 Muaro Jambi 31.785 95.461 368 127.614 297.226 3.114 Bungo 10.385 39.062 155 49.602 145.221 3.718 Tebo 17.323 21.876 1.287 40.486 85.881 3.926 Merangin 7.308 43.326 - 50.634 153.676 3.547 Sarolangun 8.991 30.049 420 39.460 100.557 3.346 Tanjung Jabung Barat 15.685 68.633 280 84.598 229.285 3.341 Tanjung Jabung Timur 13.430 12.767 - 26.197 30.705 2.408 Kerinci 63 - - 63 - -Jumlah 114.778 363.869 5.490 484.137 1.203.433 3.307 Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Jambi, 2009
Keterangan : TBM = Tanaman belum menghasilkan, TM = Tanaman menghasilkan, TR = Tanaman Rusak
2.2. Manajemen Rantai Pasok
Agroindustri perkebunan merupakan rantai beberapa pelaku usaha (antara lain petani, pengumpul, pengepak, pengolah, penyedia layanan penyimpanan dan transport, pedagang besar, eksportir, importir, distributor, dan pengecer) yang bekerja sama dalam hubungan sebagai pemasok dan konsumen. Manajemen rantai pasok komoditas perkebunan pada saat ini masih lemah karena:
1. Teknik berkebun masih diusahakan secara tradisional dan belum mendapatkan masukan teknologi yang memadai.
2. Kelembagaan yang ada masih belum berfungsi dalam membentuk koordinasi antar para pelaku usaha yang terkait sehingga manajemen rantai pasok komoditas perkebunan belum dapat diterapkan dengan baik.
3. Pengelolaan rantai pasok komoditas perkebunan di Indonesia belum didukung oleh kebijaksanaan pemerintah dan iklim usaha yang tepat. Berdasarkan konsep rantai pasok terdapat tiga tahapan dalam aliran material. Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical
supply, manufaktur mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan kepada
konsumen akhir membentuk sistem physical distribution. Aliran material tersebut dapat dilIhat pada Gambar 3.
Gambar 3. Aliran material (Arnold dan Chapman, 2004).
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam rantai pasok adalah sebagai berikut:
Rantai 1 adalah Supplier. Jaringan bermula dari sini, yang merupakan sumber penyedia bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan pertama ini bias berbentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, dan suku cadang. Jumlah
supplier bias banyak bias sedikit.
S U P P L I E R
MANUFACTUR DISTRIBUTION SYSTEM
C U S T O M E R
DOMINANT FLOW OF PRODUCTS AND SERVICES DOMINANT FLOW OF DEMAND AND DESIGN INFORMATION
Physical
Rantai 1-2 adalah Supplier manufaktur. Manufaktur yang melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, meng-assembling, merakit, mengkonversikan, ataupun menyelesaikan barang. Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya, inventori bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak supplier, manufaktur, dan temapt transit merupakan target penghematan ini. Penghematan sebesar 40-60%, bahkan lebih dapat diperoleh dengan menggunakan konsep
supplier partnering.
Rantai 1-2-3 adalah supplier manufaktur distributor. Barang yang sudah jadi dari manufaktur disalurkan kepada pelanggan. Walaupun tersedia banyak cara untuk menyalurkan barang kepada pelanggan, yang umum adalah melalui distributor dan ini biasanya ditempuh dengan supply chain. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau pedagang besar dalam jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil kepada pengecer.
Rantai 1-2-3-4 adalah supplier manufaktur distributor ritel. Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan lagi ke pihak pengecer. Pada rantai ini bisa dilakukan penghematan dalam bentuk inventori dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang manufaktur maupun ke toko pengecer.
Rantai 1-2-3-4-5 adalah supplier manufaktur distributor ritel pelanggan. Pengecer menawarkan barangnya kepada pelanggan atau pembeli. Mata rantai pasok baru benar-benar berhenti ketika barang tiba pada pemakai langsung.
2.3. Metode SCOR untuk Evaluasi SCM
SCOR (Supply Chain Operation Reference) adalah suatu model referensi proses yang dikembangkan oleh Dewan Rantai Pasokan (Supply Chain Council)
sebagai alat diagnosa (diagnostic tool) supply chain management. SCOR dapat digunakan untuk mengukur performa rantai pasokan perusahaan, meningkatkan kinerjanya, dan mengkomunikasikan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. SCOR merupakan alat manajemen yang mencakup mulai dari pemasok hingga ke konsumen. Ruang lingkup metode SCOR tersebut disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Skema ruang lingkup SCOR (SSC, Supply Chain Council, 2006).
Supply Chain Council (2006) memaparkan tiga pilar utama yang membangun Model SCOR, sesuai dengan Gambar 4, yaitu :
1. Pemodelan proses
Merupakan acuan untuk memodelkan suatu rantai proses rantai pasok dan memudahkan untuk diterjemahkan dan dianalisis.
Dalam SCOR, proses rantai pasok didefinisikan dalam lima proses terintegrasi, yaitu : Plan – Source – Make –Deliver – Return
a. Perencanaan (PLAN),
Merupakan proses untuk merencanakan rantai pasok dimulai dari mengakses sumberdaya rantai pasokan, perencanaan penjualan dengan mengagregasi besarnya permintaan, merencanakan penyimpanan (inventory) dan distribusi, perencanaan kebutuhan bahan baku, perencanaan pemilihan suplier dan perencanaan saluran penjualan.
b. Pengadaan (SOURCE),
Merupakan proses yang berkaitan dengan pengadaan bahan baku (Raw
Material) dan pelaksanaan outsource. Proses ini meliputi kegiatan
negosiasi dengan suplier, komunikasi dengan suplier, penerimaan barang, inspeksi dan verifikasi barang, hingga pada pembayaran (pelunasan) barang ke suplier.
c. Produksi (MAKE),
Proses ini merupakan proses yang berkaitan dengan proses produksi yang meliputi permintaan dan penerimaan kebutuhan bahan baku, pelaksanaan produksi, pengemasan dan penyimpanan produk di ruang penyimpanan. d. Distribusi (DELIVER)
Merupakan proses yang berkaitan dengan distribusi produk dari perusahaan kepada pembeli, meliputi pembuatan dan pemeliharaan database pelanggan, pemeliharaan database harga produk, pemuatan produk ke dalam armada distribusi, pemeliharaan produk di dalam kemasan, pengaturan proses, transportasi, dan verifikasi kinerja distribusi. e. Pengembalian (RETURN)
Merupakan kegiatan pengembalian produk ke perusahaan dari pembeli yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu kerusakan pada produk, cacat pada produk, ketidaktepatan jadwal pengiriman. Kegiatan lain yang dikategorikan sebagai kegiatan pengembalian yaitu kegiatan penerimaan produk yang dikembalikan (return), pengelolaan administrasi pengembalian, verifikasi produk yang di-return, disposisi dan penukaran produk.
2. Pengukuran performa/kinerja rantai pasokan
Pengukuran performa/kinerja rantai pasok dinyatakan dalam bentuk level tingkatan, yaitu level 1, level 2 dan level 3. Proses rantai pasok dimodelkan dalam bentuk hierarki proses. Hal yang sama juga dilakukan pada penilaian dimana metrik penilaiannya dimodelkan dalam bentuk hierarki penilaian. Kriteria yang digunakan dalam pengukuran performa rantai pasokan disebut dengan atribut performa yang meliputi realibilitas rantai pasokan, responsivitas rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai pasokan dan manajemen aset rantai pasokan. Masing-masing dari atribut performa tersebut terdiri dari satu atau lebih metrik level 1. Top manajemen perusahaan umumnya menggunakan metrik level 1 sebagai dasar untuk menetukan strategi pengembangan rantai pasokan yang akan dicapai dan disesuaikan dengan atribut performa yang paling dikehendaki oleh pembeli (eksternal) dan perusahaan (internal).
3. Penerapan best practise (praktek-praktek terbaik)
Model SCOR digunakan untuk menyediakan praktek-praktek terbaik (best
practise) yang diapat diterapkan oleh perusahaan. Setelah dilakukan
pengukuran performa rantai pasokan dan target pencapaiannya telah ditetapkan, maka dilakukan identifikasi praktek-praktek yang ditetapkan untuk mencapai target. Praktek-praktek tersebut diturunkan oleh anggota yang berpengalaman di dewan rantai pasokan (supply chain council) dan bersifat keterkinian, terstruktur, dapat diulang, memiliki metode yang jelas dan memberikan imbas yang positif ke arah kemajuan.
Metode SCOR merupakan suatu metode sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti teknik bisnis, benchmarking, dan praktek terbaik (best
practice) untuk diterapkan di dalam rantai pasokan. Kombinasi dari
elemen-elemen tersebut diwujudkan ke dalam suatu kerangka kerja yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkatkan kinerja manajemen rantai pasokan perusahaan tertentu. Alur pengembangan metode SCOR sebagai sebuah referensi model disajikan pada Gambar 5 (Supply Chain Council, 2006).
Gambar 5. SCOR sebagai model referensi proses bisnis (SSC, Supply Chain Council, 2006). Model SCOR yang dibangun atas pemodelan proses, pengukuran performa kinerja rantai pasokan dan penerapan best practise (praktek-praktek terbaik) dengan gambaran masing-masing level, level dapat dilihat pada Tabel 3.
Resturkturisasi Proses
Bisnis Benchmarking Analisis Best Practise Model Referensi Proses Menganalisis kondisi performa rantai pasokan yang existing, dan menentukan performa rantai pasokan yang dikehendak i Menentukan data pembanding sebagai acuan peningkatan performa rantai pasokan Mengidentifikasi praktek manajemen terbaik (best practice) disertai dengan solusi Menganalisis kondisi performa rantai pasokan existing, dan menentukan performa rantai pasokan yang dikehendaki. Menentukan data pembanding sebagai acuan peningkatan performa rantai pasokan Mengidentifikasi praktek manajemen terbaik (best practice)
Tabel 3. Model Hierarki SCOR
Level Skema Keterangan
# Deskripsi
Top Level (Tipe Proses)
Level 1 didefinisikan sebagai ruang lingkup / cakupan SCOR. Tahap ini merupakan dasar dari performa kompetitif ditetapkan
Konfigurasi Level (Kategori Proses)
Level 2 didefinisikan sebagai jenis atau konfigurasi yang terbagi ke dalam : - Make to Stock - Make to Order - Make to Assamble Level Elemen Proses
Level 3 didefinisikan sebagai aktivitas yang dijalankan oleh perusahaan, meliputi: - mendefinisikan proses - Mengatur input dan
output
- Metrik performa praktek terbaik best practise Level 3 merupakan penjabaran dari level 2
Level Implementasi (Dekomposisi Elemen Proses)
Level 4 merupakan tahapan implementasi dan penjelasan lebih detail dari tahapan pada level 3.
Sumber : SSC, Supply Chain Council, 2006
2.4. Sistem Manajemen Mutu Keamanan Pangan
Bagi produk makanan, sistem pengendalian mutu diawali dengan prinsip penerapan Good Manufacturing Practises (GMP) yakni mendefinisikan dan mendokumentasikan semua persyaratan yang diperlukan agar produk pertanian dapat diterima mutunya. Pada GMP pusat perhatian ditujukan pada keamanan mikrobiologis dan persyaratan mutu pangan. Dokumentasi yang dikembangkan pada regulasi Amerika Serikat mengenai GMP disajikan pada Tabel 4.
Lebih lanjut Lund et al. (2000) memasukkan prinsip Good Hygienic Practise (GHP) menjadi bagian pada penerapan sistem manajemen mutu pengolahan makanan. Kedua prinsip tersebut yakni GMP dan GHP, menjadi persyaratan dasar (pre requisite ) bagi penerapan sistem manajemen Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP) (Badan Standardisasi Nasional, 1998).
P1.1 Identify, Prioritize, and Aggregate Supply-Chain
Requirements P1.2 Identify, Assess, and Aggregate Supply-Chain
Resources
P1.3 Balance Supply-Chain Resources with Supply-Chain Requirements
P1.4 Establish amd Communicate
Tabel 4. Dokumen GMP Amerika Serikat NO PERSYARATAN 1. Persyaratan dasar 1.1. Ruang lingkup 1.2. Definisi 2. Personal
2.1. Status kesehatan dan pengendalian penyakit
2.2. Kebersihan
2.3. Pendidikan dan pelatihan
2.4. Penyeliaan
3. Bangunan dan fasilitas
3.1. Pabrik dan tanah
3.1.1. Tanah dan lokasi
3.1.2. Rancangan dan konstruksi pabrik
3.2. Operasi Kebersihan
3.2.1. Perawatan umum
3.2.2. Bahan untuk pembersihan, disinfektan dan penyimpanannya
3.2.3. Pengendalian hama
3.2.4. Kebersihan permukaan yang bersentuhan dengan makanan
3.2.5. Penyimpanan dan penanganan kebersihan perangkat canting dan peralatan
3.3. Pengendalian fasilitas kebersihan
3.3.1. Pasokan air
3.3.2. Pemipaan
3.3.3. Pembuangan air kotor
3.3.4. Fasilitas toilet
3.3.5. Fasilitas cuci tangan
3.3.6. Pembuangan sisa dan limbah
4. Peralatan
4.1. Rancangan perangkat dan peralatan
4.2. Pemeliharaan perangkat dan peralatan
5. Pengendalian produksi dan proses
5.1. Proses dan pengendaliannya
5.1.1. Bahan baku dan tambahan lain
5.1.2. Operasi manufaktur
5.2. Penggudangan dan distribusi
6. Dokumentasi dan Rekaman Sumber: Lund et al., 2000
Publikasi sistem HACCP yang telah diperkenalkan Codex Alimentarius
Commission tentang tujuh prinsip HACCP dan dua belas langkah pedoman
penerapannya yang diadopsi oleh Badan Standardisasi Nasional disajikan lengkap pada Tabel 5.
Tabel 5. Tujuh prinsip HACCP dan duabelas langkah penerapannya
Langkah ke- Prinsip ke- Deskripsi
1 - Pembentukan tim HACCP
2 - Deskripsi produk
3 - Identifikasi rencana penggunaan
4 - Penyusunan bagan alir
5 - Konfirmasi bagan alir di lapangan
6 1 Pelaksanaan analisa bahaya. Persiapan suatu daftar tahapan proses di mana ditemukan bahaya signifikan dan deskripsi ukuran pencegahannya
7 2 Identifikasi titik kendali kritis (Critical Control Points-CCPs) dalam proses
8 3 Penetapan batas kritis untuk ukuran pencegahan berkaitan dengan setiap CCP teridentifikasi 9 4 Penetapan persyaratan pemantauan CCP. Penetapan prosedur dari hasil pemantauan untuk pengendalian proses dan pemeliharaan 10 5 Penetapan tindakan koreksi yang diambil manakala pemantauan mengindikasikan suatu penyimpangan dari batas kritis yang
ditetapkan
11 6 Penetapan prosedur efektif pemeliharaan rekaman dari dokumen sistem HACCP
12 7 Penetapan prosedur untuk verifikasi bahwa sistem HACCP telah bekerja dengan baik
Sumber : Codex, 1993 dan Badan Standardisasi Nasional, 1998
Sistem HACCP bersifat pencegahan yang berupaya untuk mengendalikan suatu areal atau titik dalam sistem pangan yang mungkin berkontribusi terhadap suatu kondisi bahaya baik kontaminasi mikroorganisme patogen, objek fisik, kimiawi terhadap bahan baku, suatu proses, penggunaan langsung oleh pengguna ataupun kondisi penyimpanan (Pierson dan Corlett, 1992). Sistem tersebut menurut Mortimore dan Wallace (1994) berisi tujuh prinsip yang secara garis besar dipergunakan untuk menetapkan, menerapkan, dan memelihara rencana HACCP suatu operasi.
2.5. Teknik Pengendalian Kualitas
2.5.1. Cause and Effect Diagram (Analisis Diagram Sebab Akibat - Fish Bone) Diagram sebab akibat biasanya disebut juga diagram tulang ikan (fish bone). Diagram ini diperkenalkan oleh Kaoru Ishikawa, seorang pakar mutu dari Jepang. Alat statistik ini digunakan untuk menganalisis suatu proses dan menemukan
kemungkinan penyebab suatu persoalan atau masalah yang sedang terjadi untuk diambil tindakan memperbaiki penyebabnya. Setelah penyebab-penyebab yang paling vital ditandai, maka diperlukan sumbang saran dari sebuah tim khusus yang dibentuk, untuk menganalisis gagasan-gagasan yang membuktikan penyebab masalah tersebut. Dalam kegiatan ini biasanya akan bermanfaat jika pengelompokkan ide-ide di bawah judul penyebab yang sesuai. Penyebab-penyebab ini dapat diklasifikasikan dalam beberapa penyebab utama yaitu metoda kerja, bahan baku, pengukuran manusia dan lingkungan (Marimin, 2005).
Diagram sebab akibat digunakan pada tahap ini untuk memberikan gambaran visual yang jelas tentang masalah tersebut dengan menunjukkan penyebab-penyebab potensial dan hubungan-hubungan yang bisa jadi timbul di antara masing-masing penyebab. Diagram sebab akibat dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Diagram sebab akibat (Ishikawa dalam Marimin, 2005)
Menurut Marimin (2005), terdapat dua tipe diagram sebab akibat yang dapat digunakan untuk melihat penyebab masalah yaitu analisis penyebaran dan analisis proses. Dalam analisis penyebaran, setiap cabang utama diisi secara lengkap sebelum dimulai berdiskusi dengan tujuan menganalisis penyebab dari penyebaran keragaman. Untuk analisis proses, setiap langkah proses produksi sebagai penyebab utama, sedangkan penyebab rincinya dihubungkan dengan penyebab utama. Lebih lanjut, untuk menunjang dalam analisis diagram sebab-akibat ini dapat digunakan analisis konsep 5 W + 1 H. Metode ini menganalisis diagram sebab akibat (fish bone)
Mutu
Panah Cabang
dimana akar permasalahan sudah teridentifikasi, maka untuk mencari penyelesaiannya adalah dengan menguraikan lebih detail ke dalam konsep tersebut.
Manajemen mutu membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak, misalnya
stakeholder agribisnis sawit, seperti semua pelaku saluran tata niaga agribisnis,
pemerintah, dan akademisi. Selain itu juga manajemen mutu sifatnya dinamis atau berubah-ubah sesuai dengan perkembangan pasar menanggapi tentang mutu. Berdasarkan keterangan manajemen mutu ini, maka dibutuhkan suatu strategi yang dapat mengintegrasikan kebutuhan dan kondisi semua stakeholder, serta mengupayakan beradaptasi dengan lingkungan pasar dan lain-lain.
2.5.2. Quality Function Deployment (QFD)
Menurut Besterfield et al. (1999), Quality Function Deployment (QFD) merupakan suatu alat perencanaan dengan mekanisme terstruktur untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan menjadikan kebutuhan pelanggan itu sebagai pengendali (driver) bagi pengembangan atau pembuatan produk. Perencanaan yang dimaksud disini adalah perencanaan mutu. Perencanaan mutu merupakan bagian dari strategi operasi dalam suatu bisnis. Menurut Johns dan Harding (1996) menyatakan bahwa strategi operasi bertujuan untuk menghubungkan antara kegiatan operasi perusahaan ataupun produksi suatu bisnis terhadap kebutuhan pasar. Berdasarkan hal ini, perencanaan mutu merupakan suatu langkah berupa aktivitas dalam produksi untuk merancang mutu produk sesuai dengan keinginan konsumen. Begitu juga dengan yang didefinisikan oleh Gryna (2001), perencanaan mutu terdiri dari beberapa tindakan seperti mengidentifikasi konsumen, menemukan kebutuhan pelanggan, pengembangan produk, pengembangan proses, dan pengembangan pengendalian proses. Oleh karena itu, dalam perencanaan mutu, sebagian besar dititik beratkan harus memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan konsumen akan mutu dan mempertimbangkan kemampuan pelaku usaha untuk mewujudkan perencanaan mutu tersebut. Dengan QFD, persyaratan-persyaratan kebutuhan pelanggan dapat teridentifkasi terlebih dahulu sebelum diproduksi, sehingga akan mengurangi biaya kesalahan. QFD, melalui pengertian tersebut, berusaha memahami kebutuhan-kebutuhan pelanggan melalui peningkatan mutu barang dan jasa yang dihasilkan.
Bentuk representasi QFD adalah pembuatan matriks House of Quality (HOQ). Matriks HOQ terdiri dari dua bagian utama, yaitu: bagian horisontal berisi informasi yang berhubungan dengan konsumen (customer table) sedangkan bagian vertikal berisi informasi teknis sebagai respon bagi input konsumen (technical table). Menurut Marimin (2005), matriks HOQ yang terdiri dari dua bagian besar dapat dipecah menjadi enam bagian utama, yaitu:
a. Voice of Customer (WHATs), berupa daftar persyaratan terstruktur yang
berasal dari persyaratan konsumen.
b. Technical Response (HOWs), berupa daftar karakteristik produk terstruktur
yang relevan dengan persyaratan pelanggan dan terukur.
c. Relationship Matrix, menggambarkan persepsi tim QFD mengenai keterkaitan
antara technical dan customer requirement. Skala yang cocok diterapkan dan digambarkan dengan menggunakan angka 10 menandai hubungan kuat, angka lima menandai hubungan sedang, dan angka satu menandai hubungan lemah.
d. Planning Matrix (WHYs), menggambarkan persepsi pelanggan yang diamati
dalam survei pasar. Termasuk didalamnya adalah kepentingan relatif dari persyaratan pelanggan, perusahaan, kinerja perusahaan dan pesaing dalam memenuhi persyaratan.
e. Technical Correlation (ROOF) Matrix, matriks ini digunakan untuk
mengidentifikasikan dimana technical requirements saling mendukung atau saling mengganggu satu dengan yang lainnya di dalam desain produk.
f. Technical Requirement, Benchmarks and Targets, digunakan untuk mencatat
prioritas yang ada pada matriks technical requirements, mengukur kinerja teknik yang diperoleh oleh produk pesaing dan tingkat kesulitan yang timbul dalam mengembangkan requirement. Output akhir dari matriks adalah nilai target untuk setiap technical requirement. Matriks rumah mutu (House of
Gambar 7. Matriks rumah kualitas (Marimin, 2005) 2.6. Penelitian Terdahulu dan Usulan Penelitian
2.6.1. Penelitian yang dilakukan oleh Dedy dan Mellysa ( 2006) dengan judul Penerapan Fuzzy Quality Function Deployment dan Metode taguchi untuk Pengembangan Produk Biskuit Berlapis Krim Vanila di PT. Bumi Tangerang Coklat Utama, melakukan pengembangan produk biscuit coklat berlapis krim vanilla dengan menggunakan metode Fuzzy Quality Function Deployment. Pertama dilakukan pengidentifikasian karakteristik produk biscuit coklat berlapis krim vanilla yang diinginkan konsumen dan penentuan tingkat keunggulan produk perusahaan dibanding pesaingnya. Karakteristik kualitas yang digunakan adalah kerenyahan biscuit.
2.6.2. Penelitian yang dilakukan oleh Dedy dan Simangunsong (2005) dengan judul penelitian Pengembangan Produk Pintu bagian Pengemudi Mobil Xenia Pada PT. Astra Daihatsu Motor Dengan Menggunakan Fuzzy Quality Deployment (QFD) memungkinkan pengembangan produk dengan memberi prioritas pada keinginan dan kebutuhan pelanggan. Penentuan prioritas karakteristik teknis
CORRELATION MATRIX HOW RELATIONSHIP MATRIX CUSTOMER COMPETITIVE ASSASEMENT W H A T HOW MUCH BENCHMARK
SERVICE REPAIR/COST DATA LEGAL/SAFETY CONTROL ITEM TECHNICAL IMPORTANCE RATING
dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan Fuzzy Quality
Function Deployment dengan Trapezoidal fuzzy number. Hasil
pemeringkatan karakteristik teknis yang paling tinggi adalah bahan
arm rest, sedangkan karakteristik teknis yang paling rendah adalah
posisi tempat minimum terhadap lantai. Hal ini menunjukkan yang paling tinggi merupakan prioritas utama untuk diperbaiki.
2.6.3. Penelitian Marimin dan Muspitawati (2001) mengkaji tentang strategi peningkatan mutu produk industri sayuran segar. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi atribut kunci peningkatan mutu sayuran segar, memantau proses yang berkaitan erat mempengaruhi atribut mutu sayuran segar, dan memformulasikan strategi peningkatan mutu. Penelitian dilakukan pada satu perusahaan sayuran, PT. X. Alat yang digunakan untuk mengkaji adalah QFD (Quality
Function Deployment), SPC (Statistical Process Control), dan analisis
SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa atribut mutu kunci yang diharapkan konsumen sayuran adalah kesegaran dan proses yang sangat berkaitan erat adalah penanganan bahan baku dan proses penyimpanan. Sementara itu, strategi peningkatan mutu yang dikembangkan adalah strategi S-O, yaitu mempertahankan mutu sayuran dan memberikan jaminan keamanan pangan melalui penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points).
2.6.4. Penelitian oleh Farisi (2007) tentang mengkaji sistem manajemen mutu terpadu di PT. X. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan strategi peningkatan manajemen mutu terpadu. Alat-alat analisis yang digunakan adalah QFD, diagram fishbone, dan AHP (Analytical
Hierarchy Process). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan manajemen mutu terpadu adalah dengan mengoptimalkan tiga respon teknik terbesar, yaitu komitmen pada mutu, perencanaan strategis, dan perbaikan berkesinambungan. Sedangkan strateginya adalah melaksanakan SOP (Standard
2.6.5. Shih–shue (2006), meneliti tentang aplikasi QFD (Quality Function
Deployment) untuk pengembangan produk. Judul asli penelitian ini
adalah The Application of Quality Function Deployment (QFD) in
Product Development. Metode penelitian ini adalah studi kasus dan
kajiannya adalah tentang kondisi bangunan hipermarket di Taiwan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan alat analisis QFD, arsitek dan pemborong perlu melakukan pengembangan dalam melakukan desain bangunan agar dapat memenuhi keinginan konsumen. Penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bahwa dengan alat analisis QFD dapat digunakan untuk menggabungkan antara kemampuan merespon dan harapan pelanggan.
2.6.6. Al-Mashari et al. (2005), meneliti tentang kunci sukses untuk pelaksanaan QFD (Quality Function Deployment). Judul penelitian ini adalah Key Enablers for The Effective Implementation of QFD: A
Critical Analysis. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menunjukkan
konsep dan prinsip QFD yang diberlakukan di Ford Motor Company. Metode penelitiannya adalah studi literatur dan diskusi. Topik yang didiskusikan meliputi tentang penggunaan alat QFD dengan alat-alat mutu lainya. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah kunci sukses penerapan QFD di dalam kinerja organisasi adalah dengan membentuk lingkungan TQM (Total Quality Management) sebaik mungkin seperti keterlibatan manajemen dalam peningkatan secara kontinu. Selain itu juga, penerapan QFD perlu dibentuk tim-tim diskusi mutu dalam suatu perusahaan yang sering disebut dengan gugus kendali mutu.
2.6.7. Killen et al. (2005), meneliti tentang pembuatan rencana strategi dengan menggunakan metode QFD (Quality Function Deployment). Judul asli penelitian ini adalah Strategic Planning Using QFD. Tujuan penelitian ini adalah untuk perencanaan strategi dengan menggunakan alat bantu analisis QFD. Motivasi untuk menggunakan alat ini adalah karena QFD mampu untuk menjelaskan suatu keadaan yang dimana konsumen sebagai pengendali. Dengan demikian, organisasi akan
memiliki strategi yang dikendalikan oleh konsumen. QFD untuk perencanaan strategi melalui dua tahap, yaitu pengembangan strategi untuk konsumen dan pengembangan strategi secara umum. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa QFD strategi akan menterjemahkan visi ke dalam aksi nyata melalui beberapa tahap. Tahapannya yaitu penelitian konsumen, analisis segmen, memilih peluang-peluang yang ada, dan menciptakan strategi yang inovasi yang cukup stabil untuk menghadapi lingkungan yang cepat berubah. Penelitian yang dilakukan adalah perencanaan peningkatan mutu dalam rantai pasok komoditi berbasis kelapa sawit menggunakan teknik QFD untuk menentukan faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu yang diadaptasi dari metode SCOR. Model yang dihasilkan mencakup metode perencanaan mutu dengan pendekatan metode HACCP dan integrasi dengan QFD. Posisi penelitian yang dilakukan dari berbagai cara, yaitu 1) Metode identifikasi karakteristik dan struktur mutu rantai pasok dengan mengadaptasi metode SCOR, 2) Identifikasi faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap mutu dengan metode Fishbone, 3) Pendekatan dengan sistem manajemen keamanan pangan dan 4) Integrasi dengan QFD secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan dan posisi penelitian yang dilakukan
No Peneliti Substansi Penelitian
Metode pengukuran Mutu Produk
QFD Fuzzy QFD SPC SWOT AHP SCOR 1. Mellysa (2006) Penerapan Fuzzy QFD untuk
Pengembangan Produk Biskuit Berlapis Krim Vanilla
√ √
2. Simangunsong (2005) Pengembangan Produk Pintu bagian Pengemudi Mobil Xenia pada PT Astra Daihatsu Motor
√ √
3. Muspitawati (2001) Strategi Peningkatan Mutu Produk Industri Sayuran Segar
√ √ √
4. Farisi (2007) Sistem Manajemen Mutu Terpadu di PT X √ √
5. Shih-Shue (2006) Aplikasi QFD untuk pengembangan produk
√
6. Al-Mashari (2005) Konsep dan prinsip QFD yang diberlakukan di Ford Motor Company
√
7. Killen (2005) Strategic Planning Using QFD √
8. Penelitian yang dilakukan (2010)
Desain Model Pengendalian Mutu Produk Rantai Pasok Komoditas dan Produk Berbasis Sawit