• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Insiden

Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama kehidupan adalah 10,9%. Moore, dkk. (2004) mendapatkan insiden dermatitis atopik sebesar 17,1% pada umur 6 bulan. Sybilski, dkk. (2009) mendapatkan insiden sebesar 36,4% pada umur 12 bulan. Penelitian yang dilakukan Zutavern, dkk. (2006), mendapatkan insiden dermatitis atopi adalah 18%, pada kelompok umur 0-24 bulan. Penelitian kohort yang dilakukan Halkjaer, dkk. (2006) melaporkan insiden kumulatif dermatitis atopik pada usia 1 tahun adalah 31%, usia 2 tahun adalah 41% dan usia 3 tahun adalah 44%. Insiden dermatitis atopik pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya karena jumlah sampel pada penelitian ini lebih sedikit dan lama pengamatan lebih singkat jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Dermatitis atopik lebih banyak dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,2:1 pada penelitian ini. Hasil uji statistik bivariat (Chi-square) menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian dermatitis atopik. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hasil yang bervariasi dalam frekuensi dermatitis atopik pada laki-laki dan perempuan. Moore, dkk. (2004) dalam sebuah penelitian kohort pada usia 6 bulan pertama melaporkan kejadian dermatitis atopik lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan (1,6:1). Sedangkan Williams (2005), Schultz dan Hanifin (2002) mendapatkan dermatitis atopik lebih sering mengenai perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan perbandingan 1,3:1.

(2)

6.2 Waktu Munculnya Dermatitis Atopik

The Copenhagen Prospective Study on Asthma in Childhood (COPSAC) yang dilakukan oleh Halkjaer,dkk (2006) melaporkan dermatitis atopik pertama kali dijumpai pada usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 2,5 tahun. Pada grafik kurva Kaplan Meier dalam penelitian ini juga menunjukkan onset awal dermatitis atopik dijumpai sejak usia 1 bulan dengan rerata 2,5 bulan pada kelompok dengan nilai atopi > 0. Dermatitis atopik merupakan manifestasi awal penyakit atopi dengan insiden tertinggi pada 3 bulan pertama kehidupan dan mencapai prevalensi tertinggi selama 3 tahun pertama kehidupan (Wahn dan Mutius, 2001)

6.3 Pengaruh Variabel Penelitian Terhadap Kejadian Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik terjadi akibat interaksi dari faktor genetik, herediter (riwayat atopi), lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Faktor genetik tidak dapat menjelaskan peningkatan kejadian dermatitis atopik dalam dua dekade terakhir ini. Faktor lingkungan dan gaya hidup berperanan penting dalam perubahan fenomena ini. Perkembangan penyakit alergi sendiri telah dimulai sejak dalam kandungan, pada usia 11 minggu kehamilan dimana IgE mulai diproduksi (Halkjaer, dkk., 2006). Interaksi berbagai faktor terhadap kejadian dermatitis atopik pada bulan awal kehidupan bayi telah dikendalikan dalam penelitian ini, meliputi cara persalinan, berat badan lahir, paparan asap rokok, hewan peliharaan, paparan susu formula, status imunisasi, jumlah saudara kandung, riwayat infeksi selama neonatus, dan riwayat pemberian makanan padat dini (< usia 4 bulan). Dari hasil uji analitik bivariate (Chi-square) tidak didapatkan adanya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian dermatitis atopik, kecuali faktor paparan asap rokok.

(3)

Kvenshagen, dkk. (2010) dalam penelitiannya secara prospektif selama 2 tahun melaporkan tidak ada hubungan antara cara persalinan dengan kejadian dermatitis atopik (p = 0,68) dan tidak ada perbedaan kejadian dermatitis atopik pada bayi cukup bulan dan kurang bulan. Moore, dkk. (2004) melaporkan bayi dengan usia kehamilan cukup bulan memiliki risiko terkena dermatitis atopik lebih tinggi dengan peningkatan OR 1,14 (IK 95% 1,02-1,27) untuk setiap 1 minggu penambahan usia kehamilan, namun tidak ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian dermatitis atopik. Olesen, dkk. (1999) pada penelitian kohort sampai usia 7 tahun melaporkan anak dengan riwayat kelahiran cukup bulan (≥ 37 minggu) mengalami peningkatan risiko kejadian dermatitis atopik tanpa memandang berat badan lahir dan panjang badannya. Penelitian ini mendapatkan frekuensi dermatitis atopik pada sampel dengan usia kehamilan ≥ 37 minggu sebesar 86,2%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan usia kehamilan < 37 minggu yaitu 13,8%. Paparan alegen transplasenta dan diet ibu pada akhir kehamilan ibu merupakan predisposisi terhadap kondisi atopi pada fetus dimana akan terjadi peningkatan kadar total IgE pada serum fetus. Lamanya usia kehamilan akan memperpanjang paparan sitokin Th2 selama kehamilan sehingga mengganggu sistem imun fetus terhadap atopi.

Penelitian KOALA birth cohort study oleh Snijders dkk. (2007) yang melibatkan 2700 bayi di Belanda melaporkan ASI dapat mencegah dermatitis atopik pada bayi yang tanpa riwayat alergi pada ibunya (p = 0,01). Sedangkan pada kelompok bayi dengan ibu memiliki riwayat alergi dan asma, tidak didapatkan adanya hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian dermatitis atopik (p=0,14). Benn, dkk. (2004) melakukan penelitian terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak usia 18 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif sampai usia 4 bulan. Penelitian tersebut melaporkan terdapat peningkatan risiko dermatitis atopik pada anak yang mendapatkan ASI eksklusif dan tidak memiliki riwayat atopi pada kedua orangtuanya (RR=1,29,

(4)

IK95% 1,06-1,55). Pada anak yang mendapatkan ASI eksklusif dan memiliki riwayat atopi pada salah satu orangtuanya memiliki peningkatan risiko mengalami dermatitis atopik sebesar 1,1 kali. (RR=1,11, IK95% 0,94-1,31), dan pada sampel dengan riwayat atopi pada kedua orangtuanya memiliki risiko mengalami dermatitis atopik sebesar 0,88 kali. (RR = 0,88. IK95% 0,67-1,13). Sedangkan pada sampel yang memiliki riwayat atopi pada kedua orangtuanya dan riwayat dermatitis atopik pada saudara kandungnya didapatkan RR sebesar 0,69 dengan IK95% 0,47-1,00. Ludvigsson dkk. (2005) meneliti hubungan antara ASI eksklusif dan kejadian dermatitis atopik pada 8300 bayi berusia 1 tahun dan hasilnya tidak didapatkan hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian dermatitis atopik pada bayi dengan riwayat atopi keluarga positif (OR = 1,16, IK95% 0,90-1,48, p = 0,254). Hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian dermatitis atopik masih kontroversial. Penelitian ini juga melaporkan hal serupa, tidak didapatkan adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian dermatitis atopik (p=0,31).

Paparan asap rokok berpengaruh terhadap kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan pada penelitian ini (p = 0,02). Hasil yang sama didapatkan oleh Yi, dkk. (2012) di Korea, yang meneliti pengaruh paparan asap rokok pada subyek dengan ibu perokok aktif saat hamil dan atau saat umur satu tahun pertama kehidupan, didapatkan risiko 2,06 kali untuk mengalami dermatitis atopik dibandingkan dengan subyek dari ibu bukan perokok pada saat hamil maupun umur 1 tahun pertama. Hal yang sama didapatkan oleh Shinohara, dkk. (2012) bahwa prevalensi dermatitis atopik meningkat secara signifikan pada bayi dengan paparan asap rokok pada trimester ketiga (OR 6,146; IK 95% 1,282 sampai 29,453), dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok. Wang, dkk. (2008) meneliti efek paparan asap rokok selama kehamilan terhadap dermatitis atopik pada bayi dan didapatkan tedapat hubungan antara kadar

(5)

cotinine (salah satu hasil metabolit nikotin pada darah) pada darah tali pusat dan darah ibu dengan dermatitis atopik (p<0,001). Hal ini mungkin disebabkan polutan udara pada umumnya mempunyai efek iritasi pada kulit dan membran mukosa, sehingga mempermudah penetrasi alergen potensial ke tubuh dan menyebabkan timbulnya gejala dermatitis atopi dan meningkatkan risiko sensitisasi (Wang dkk., 2008). Paparan terhadap asap rokok oleh ibu selama dalam kandungan di cairan amnion dapat memiliki efek jangka panjang pada respon imun usus bayi dan berperan pada sensitisasi alergi (Yi, dkk., 2012).

Pengaruh hewan peliharaan seperti kucing dan anjing terhadap dermatitis atopik masih kontroversial. Ludvigsson, dkk. (2005) melaporkan hewan peliharaan di rumah menurunkan risiko dermatitis atopik pada bayi usia 12 bulan dengan OR 0,76, IK 95% 0,60-0,96, p = 0,021 pada bayi dengan riwayat atopi keluarga positif dan OR 0,79, IK 95%0,69-0,90 dan p <0,001. Purvis, dkk. (2005) melaporkan dermatitis atopik pada anak usia 3,5 tahun berhubungan dengan kucing peliharaan di rumah (adjusted OR 0,45, IK 95% 0,21-0,97) sedangkan anjing dan hewan peliharaan lain tidak berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan signifikan antara dermatitis atopik dengan hewan peliharaan di rumah (p=0,58).

Hygiene hypothesis dianggap dapat menjelaskan fenomena meningkatnya penyakit atopi dalam 2 dekade terakhir. Paparan infeksi pada awal kehidupan menginduksi terbentuknya Th1 dan dapat menghambat berkembangnya penyakit alergi (Wahn dan Mutius, 2001). Dalam penelitian ini tidak kami dapatkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah saudara kandung, dan riwayat infeksi saat neonatus dengan kejadian dermatitis sampai usia 4 bulan pertama. Kejadian dermatitis atopik pada kelompok dengan jumlah saudara kandung ≥ 3 lebih rendah dibandingkan dengan jumlah saudara kandung < 3 (7,6% vs 92,4%). Gibbs, dkk.

(6)

(2004) dalam penelitian kasus kontrol di Inggris melaporkan hasil yang serupa, yaitu kejadian dermatitis atopik semakin berkurang pada kelompok dengan jumlah saudara kandung ≥ 2 (13%) dan tidak ada hubungan signifikan antara jumlah saudara kandung dengan kejadian dermatitis atopik (OR 0,49, IK 95% 0,31, p = 0,77). Penelitian oleh Gibbs, dkk. (2004) menyimpulkan tidak ada hubungan antara manifestasi dermatitis atopik pada anak dengan infeksi pada awal kehidupannya.

6.4 Nilai Atopi Keluarga Dan Kejadian Dermatitis Atopik

Masalah utama dalam pencegahan penyakit alergi adalah kesulitan dalam memprediksi manifestasi alergi yang akan muncul, cara untuk mencegah munculnya penyakit alergi dan mencegah sensitisasi alergen sejak fetus dan atau bayi untuk menghambat perkembangan penyakit alergi. Sasaran utama dalam pencegahan primer penyakit alergi adalah fetus, bayi, ibu hamil dan lingkungannya. Satu-satunya prediktor untuk menilai risiko alergi sebelum onset dari penyakit alergi dalam atopic march adalah riwayat atopi keluarga (Endaryanto, 2009). Dermatitis atopik berhubungan erat dengan faktor genetik dan herediter (Halkjaer, dkk., 2006; Hoffjan dan Epplen, 2005). Penelitian ini menggunakan kartu deteksi dini alergi, salah satu metode yang dapat memprediksi munculnya penyakit alergi sejak dalam kandungan, berdasarkan riwayat atopi keluarga (ayah, ibu dan saudara kandung). Dalam kartu deteksi dini alergi diberikan penilaian terhadap riwayat atopi dari ayah, ibu dan saudara kandung dan risiko alergi diprediksi berdasarkan nilai atopi keluarga tersebut (IDAI, 2009).

Halkjaer, dkk. (2006) melaporkan riwayat dermatitis atopik pada ibu (OR 0,33, IK95% 0,22-0,50, p<0,0001). Riwayat asma (OR 0,50, IK 95% 0,27–0,92, p=0,02), riwayat rhinitis alergika (OR 0,50, IK95% 0,33-0,78, p=0,002), riwayat alergi aeroalergen (OR 0,49, IK95% 0,32-0,76, p=0,001) dan riwayat alergi tipe IV pada ayah (OR 2,58, IK95% 1,09-6,11,

(7)

p=0,03) merupakan faktor risiko yang secara signifikan berhubungan dengan dermatitis atopik pada anak usia 3 tahun. Moore, dkk. (2004) dalam sebuah penelitian kohort melaporkan riwayat atopi keluarga berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik pada 1005 bayi saat usia 6 bulan pertama. Riwayat dermatitis ibu merupakan variabel terkuat yang berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik (adjusted OR 2,67, IK95% 1,74-4,10). Riwayat asma, hay fever, dan atopi lain pada ibu juga berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik (adjusted OR 1,58, IK95% 1,01-2,47; adjusted OR 1,36, IK95% 0,96-1,92; adjusted OR 1,99, IK95% 1,43-2,78). Riwayat dermatitis atopik pada ayah berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik (adjusted OR 1,73, IK95% 0,92-3,25). Riwayat atopi lain pada ayah tidak berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik. Illi, dkk. (2004) dalam The German Multicenter Atopy Study yang melibatkan 1314 bayi melaporkan riwayat atopi keluarga berhubungan secara signifikan terhadap manifestasi dan derajat dermatitis atopik. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua dengan hubungan paling kuat dengan kejadian dermatitis atopik (adjusted OR 1,94, IK95% 1,23-3,05). Riwayat atopi pada lebih dari 2 anggota keluarga juga berhubungan dengan kejadian dermatitis atopik dengan adjusted OR 1,43, IK95% 0,99-2,08).

Pada penelitian ini didapatkan adanya peningkatan kejadian dermatitis atopik pada kelompok yang riwayat atopi keluarga positif (nilai atopi keluarga dari kartu deteksi dini alergi >0) dengan RR 22,1, IK95% 8,8-54,9, p < 0,001. Peningkatan jumlah total nilai atopi keluarga, perbandingan antara kelompok dengan nilai atopik 1-3 dan 4-6 juga menunjukkan hubungan signifikan dengan peningkatan risiko kejadian dermatitis atopik (RR 31,2, IK95% 6,1-158,3, p < 0,001). Hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana terjadi peningkatan risiko dermatitis atopik pada bayi yang lahir dari orang tua dengan riwayat atopi positif (Illi dkk., 2004; Moore dkk., 2004). Sebuah penelitian oleh Thomas dan Myalil (2010)

(8)

melaporkan dari total 54 anak berusia 3 bulan sampai 12 tahun dengan dermatitis atopik, didapatkan 64,8% memiliki riwayat atopi keluarga positif (p < 0,05). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan klasifikasi dalam kartu deteksi dini alergi yang menunjukkan adanya peningkatan risiko sebesar 20-60% pada kelompok dengan nilai atopi > 0 dibandingkan dengan nilai atopi 0.

Kelemahan penelitian ini adalah waktu penelitian yang singkat sehingga tidak memungkinkan untuk mengamati munculnya kejadian penyakit alergi selanjutnya pada seorang individu. Peneliti langsung melakukan penilaian riwayat atopi keluarga berdasarkan kartu deteksi dini alergi. Dermatitis atopik yang terjadi pada awal kehidupan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, herediter dan lingkungan. Pada penelitian ini peneliti tidak mengamati faktor lingkungan yang terjadi selama prenatal, seperti diet ibu selama hamil, riwayat infeksi ibu hamil, paparan asap rokok selama kehamilan, riwayat penggunaan antibiotik pada ibu hamil, intake asam folat selama kehamilan, dst.

(9)

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN 7.1 SIMPULAN

Kejadian dermatitis atopik pada bayi usia 0-4 bulan lebih tinggi pada kelompok dengan nilai atopi lebih dari 0 dibandingkan dengan nilai atopi 0. Risiko kejadian dermatitis atopik juga lebih tinggi pada kelompok dengan nilai atopi lebih dari 0. Risiko kejadian dermatitis pada kelompok dengan nilai atopi 4-6 lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai atopi 1-3. Munculnya dermatitis atopik pada kelompok nilai atopi lebih dari 0 dijumpai pada usia 1 bulan, lebih awal jika dibandingkan dengan keompok dengan nilai atopi 0.

7.2 SARAN

 Nilai atopi keluarga dalam kartu deteksi dini alergi mampu memprediksi kejadian dermatitis atopik sejak masa prenatal, sehingga sebaiknya digunakan secara rutin sebagai alat skrining alergi sebelum bayi dilahirkan.

 Kartu deteksi dini alergi merupakan cara mudah dan murah untuk identifikasi populasi risiko tinggi alergi sehingga dapat digunakan di berbagai tempat pelayanan kesehatan meskipun dengan fasilitas yang terbatas.

Referensi

Dokumen terkait

tidak mau harus memiliki kemampuan belajar mandiri, karena media baru telah. menyediakan berbagai informasi yang begitu

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sangsekerta yaitu buddhayah , yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

In relation to this research, the agency model developed by the principal-agent theory is the appropriate model to describe the phenomenon of unethical behavior and tendency

Selanjutnya pada uji koagulasi, larutan kuning telur, putih telur dan ikan giling ditambahkan larutan asam asetat yang kemudian dipanaskan sehingga dapat menghasilkan

Akan tetapi, cara ini memiliki keterbatasan, yaitu jumlah sel terhitung biasanya lebih kecil dari sebenarnya (kemungkinan besar 1 koloni dapat berasal lebih dari

Adapun cara lainnya yang lebih tradisional yaitu dengan melalui pengalaman (menjadi tahu setelah mengalaminya), otoritas (dikasih tahu oleh seseorang), cara

Gaya kepemimpinan dan motivasi berpengaruh positif dan signifikan secara bersama-sama (simultan) terhadap kinerja karyawan dan terdapat tiga indikator yang harus

Disebabkan kelebihannya yang tidak dimiliki karet alam, seperti tahan minyak, karet sintetis banyak digunakan untuk pembuatan pipa karet untuk minyak dan bensin, membran,