• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

43 BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) disamping berpengaruh pada tingkat kehidupan juga dapat menimbulkan dampak negatif dengan munculnya kejahatan yang memanfaatkan kemajuan iptek tersebut. Untuk dapat mengatasi segala tindak kejahatan mulai dari yang tradisional hingga yang memanfaatkan kemajuan iptek haruslah diterapkan Scientific Crime Investigation (SCI). SCI adalah adalah Penyelidikan/Penyidikan kejahatan secara ilmiah yang didukung oleh berbagai disiplin ilmu baik ilmu murni maupun terapan hingga dikenal sebagai Ilmu Forensik.

Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) sebagai unsur Pelaksana Teknis di bawah Bareskrim Polri, menerapkan ilmu forensik untuk mendukung tugas-tugas Reserse Kriminal Polri dalam mengungkap tindak pidana kejahatan dengan melaksanakan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan atau Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti (BB) secara ilmiah dan komprehensif. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia laboratorium forensik diatur dalam Bab III tentang Tugas dan Wewenang Pasal 14 ayat (1) huruf (h) bahwa Polri bertugas untuk menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian. Untuk selebihnya pengaturan laboratorium forensik diatur lebih mendalam pada Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

(2)

44

Satuan Organisasi Pada Tingkat Mabes Polri, Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan keterkaitannya dengan Undang No. 1 Tahun 1946 (KUHP) serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP)

A. Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Mabes Polri.

Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Mabes Polri, Puslabfor berada dibawah struktur Bareskrim Polri bersama Pusinafis dan Pusiknas. Laboratorium forensik diatur dalam Pasal 40 huruf (i), Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), terdiri dari:

1. Set meliputi: a. Subbagren; b. Subbagsumda; c. Subbagbinfung; dan d. Urtu.

2. Bagian Manajemen Mutu (Bagjemenmut), meliputi: a. Subbagian Instalasi (Subbaginstal);

b. Subbagian Pengembangan Metoda (Subbagbangmet); c. Subbagian Standar Mutu (Subbagstanmut); dan d. Urmin.

3. Urkeu;

4. Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik (Biddokupalfor), meliputi: a. Subbidang Dokumen Palsu (Subbiddokpal);

b. Subbidang Uang Palsu (Subbidupal);

c. Subbidang Produksi Cetak (Subbidprodcet); dan d. Urmin.

5. Bidang Balistik Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor), meliputi: a. Subbidang Senjata Api (Subbidsenpi);

(3)

45

b. Subbidang Bahan Peledak (Subbidhandak); c. Subbidang Metalurgi Analisis (Subbidmetal); dan d. Urmin.

6. Bidang Fisika Komputer Forensik (Bidfiskomfor), meliputi: a. Subbidang Deteksi Khusus (Subbiddeteksus);

b. Subbidang Kecelakaan Kebakaran (Subbidlakabakar); c. Subbidang Komputer Forensik (Subbidkomfor); dan d. Urmin.

7. Bidang Kimia Biologi Forensik (Bidkimbiofor), meliputi: a. Subbidang Kimia (Subbidkim);

b. Subbidang Biologi Serologi (Subbidbioser);

c. Subbidang Toksikologi Lingkungan (Subbidtokling); dan d. Urmin.

8. Bidang Narkoba Forensik (Bidnarkobafor), meliputi: a. Subbidang Narkotik (Subbidnarko);

b. Subbidang Psikotropika (Subbidpsiko);

c. Subbidang Obat-obatan Berbahaya (Subbidbaya); dan d. Urmin.

9. Laboratorium Forensik Cabang (Labforcab).

B. Perkap Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik TKP Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) bahwa laboratorium forensik Polri bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi Laboratorium Forensik/ Kriminalistik dalam rangka mendukung penyidikan yang dilakukan oleh Satuan kewilayahan, dengan pembagian wilayah pelayanan (area service) sebagaimana ditentukan dengan Keputusan Kapolri.

Ruang lingkup yang menjadi objek pemeriksaan laboratorium forensik adalah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan barang bukti yang meliputi bidang

(4)

46

fisika forensik, kimia biologi forensik, dokumen dan uang forensik balistik dan metalurgi forensik sesuai dengan bunyi Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2009. Pemeriksaan teknis TKP adalah pemeriksaan dalam rangka pencarian, pengambilan, pengamanan, pengawetan, pemeriksaan pendahuluan (preliminary test) barang bukti yang dalam penanganannya memerlukan pengetahuan teknis kriminalistik (Pasal 1 ayat (6)). Sedangkan pemeriksaan laboratoris barang bukti adalah pemeriksaan terhadap barang bukti yang diperoleh dari pencarian, pengambilan, penyitaan, pengamanan, dan pengiriman petugas Polri atau instansi penegak hukum lainnya yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah di labfor Polri, agar barang bukti yang telah diperiksa dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang sah (Pasal 1 ayat (7)).

Menurut Pasal 5 ayat (1) Perkap tersebut, subjek-subjek yang dapat meminta pemeriksaan teknis labfor di TKP adalah Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Kejaksaan, Pengadilan, Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia (POM TNI), dan instansi lain sesuai dengan lingkup kewenangannya. Pada ayat 2 dalam pasal ini tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan pada TKP adalah untuk tindak pidana pembunuhan, perkosaan, pencurian, penembakan, kebakaran/pembakaran, kejahatan komputer, kecelakaan, kecelakaan kerja, sabotase, peledakan, terorisme, keracunan, laboratorium ilegal, pencemaran lingkungan/limbah berbahaya, dan kasus-kasus lain yang menurut pertimbangan penyidik memerlukan dukungan labfor Polri.

Menurut Pasal 9 ayat (1) Pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti dapat dipenuhi berdasarkan permintaan tertulis dari:

(5)

47 a. Penyidik Polri b. PPNS c. Kejaksaan d. Pengadilan e. POM TNI

f. Instansi lain sesuai dengan lingkup kewenangannya.

Dalam ayat 2 disebutkan jenis barang bukti yang dapat dilakukan pemeriksaan oleh Labfor Polri meliputi:

a. Pemeriksaan bidang fisika forensik, antara lain: 1. deteksi kebohongan (Polygraph);

2. analisa suara (Voice Analyzer);

3. perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital), dan penyebab proses elektrostatis;

4. perlengkapan listrik, pemanfaatan energi listrik, dan pencurian listrik; 5. pesawat pembangkit tenaga dan pesawat mekanis;

6. peralatan produksi;

7. konstruksi bangunan dan struktur bangunan; 8. kebakaran/pembakaran;

9. peralatan/bahan radioaktif/nuklir;

10. bekas jejak, bekas alat, rumah/anak kunci, dan pecahan kaca/keramik; dan 11. kecelakaan kendaraan bermotor, kereta api, kendaraan air, dan pesawat

udara;

b. Pemeriksaan bidang kimia dan biologi forensik, antara lain: 1. pemalsuan produk industri;

2. pencemaran lingkungan; 3. toksikologi/keracunan;

4. narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan precussor-nya;

5. darah, urine, cairan tubuh (air ludah, keringat, dan sperma), dan jaringan tubuh (pada kuku, rambut, tulang, dan gigi);

6. material biologi/mikroorganisme/tumbuh-tumbuhan; dan 7. bahan kimia organik/anorganik;

c. pemeriksaan bidang dokumen dan uang palsu forensik, antara lain: 1. tanda tangan, tulisan tangan, material dokumen;

2. produk cetak (cap stempel, belangko, materai, tulisan ketik, dan tulisan cetak); dan

3. uang (rupiah dan asing);

d. Pemeriksaan bidang balistik dan metalurgi forensik, antara lain: 1. senjata api, peluru, anak peluru, dan selongsong peluru;

(6)

48

2. residu penembakan; 3. bahan peledak; 4. bom;

5. nomor seri;

6. pemalsuan kualitas logam dan barang tambang; dan 7. kerusakan/kegagalan konstruksi logam.

C. Kaitan laboratorium forensik dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) Dalam Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan

Ilmu-ilmu forensik (forensik science) meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan. Kejahatan sebagai masalah yuridis sebagaimana yang diatur dalam KUHP adalah aspek yang pertama daripada kejahatan. halaman ini disebabkan oleh karena kejahatan merupakan perbuatan manusia yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku. Akan tetapi, meskipun demikian tidaklah berarti bahwa dengan menggunakan hukum pidana (KUHP) saja kita dapat menyelesaikan suatu kasus kejahatan secara tepat dan cepat atau dengan perkataan lain kita dapat menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena kejahatan bukanlah hanya masalah yuridis semata, akan tetapi sekaligus juga merupakan masalah teknis.

Kejahatan juga merupakan masalah teknis karena setiap kejahatan baik dilihat dari segi wujud perbuatannya maupun dari segi cara serta alat yang digunakannya memerlukan penanganan secara teknis dengan menggunakan bantuan ilmu pengetahuan lain di luar hukum pidana. Adapun ilmu pengetahuan

(7)

49

tersebut ialah forensik yang terdiri dari ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik, serta ilmu fisik forensik. 41

Kejahatan dari segi teknis dilihat dari bagaimana cara kejahatan itu terjadi. Perbuatan kejahatan itu pasti meninggalkan barang bukti (physical evidence) yang dapat digunakan penyidik dalam pengusutan kejahatan tersebut dengan menggunakan bantuan ilmu forensik. Bagi setiap orang yang dengan sengaja menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti yang dilakukan pelaku kejahatan sehingga aparat penegak hukum kesulitan untuk membuktikannya. maka bagi orang tersebut dapat disangkakan melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHP, yaitu : 42

1. Pasal 221 :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah :

1. Barang siapa denga sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa, memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara menjalankan jataban kepolisan;

2. Barang siapa setelah melakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikannya benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara menjalankan jabatan kepolisan.

(2) Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk melepaskan atau menghindarkan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semendanya dalam garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua dan ketiga, atau terhadap suami/isterinya atau bekas suami/istrinya.

41

Musa Perdanakusuma, Op. cit halaman 207. 42

(8)

50

2. Pasal 222

Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.

3. Pasal 224

Barang siapa dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa, dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harusnya dipenuhinya, diancam :

1. Dalam perkara pidana, denga pidana pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. 4. Pasal 225

Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah yang sah untuk menyerahkan surat-surat yang dianggap palsu atau dipalsukan, atau yang harus dipakai untuk dibandingkan dengan surat lain yang dianggap palsu atau dipalsukan atau yang kebenarannya disangkal atau tidak diakui, diancam : 1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Dengan adanya barang-barang bukti yang telah dikumpulkan penyidik dan diperiksa dengan menggunakan ilmu forensik, maka penyidik dapat menyimpulkan apakah suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebuah tindak pidana yang telah memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Misalkan saja dalam kasus pembunuhan, seseorang ditemukan tewas. Pada lokasi kejadian ditemukan pula selongsong peluru dari sebuah senjata api. Setelah dilakukan pemeriksaan di laboratorium forensik, maka disimpulkan bahwa korban meninggal karena luka tembakan pada bagian dada menembus jantung. Dengan fakta-fakta yang diberikan oleh laboratorium forensik, penyidik dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yaitu pembunuhan karena telah terpenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 338 KUHP.

(9)

51

Dalam rangka pelaksanaan KUHAP tersebut diperlukan pengetahuan serta keterampilan yang lebih luas dan lebih dalam bagi para penegak hukum. Kepolisian sebagai penyidik perlu memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan penyidikan, disamping pengetahuan mengenai hukum pidana dan hukum acara pidana. Tepat tidaknya serta lengkap tidaknya hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, sangatlah ditentukan oleh bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kejaksaan sebagai penuntut umum meskipun tidak memiliki wewenang dalam penyidikan atas suatu kejahatan, hal ini sama sekali tidaklah berarti bahwa aparat kejaksaan tidak perlu mengetahui ikhwal mengenai penyidikan. Tepat tidaknya penuntutan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh kejaksaan sangatlah ditentukan oleh hasil penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Bagaimana kejaksaan dapat menilai tepat tidaknya serta lengkap tidaknya hasil penyidikan, mutlak diperlukan pengetahuan mengenai penyidikan.

Kejahatan sebagai masalah hukum memerlukan pengetahuan hukum pidana dan hukum acara pidana. Sebagai masalah teknis penanganan kejahatan memerlukan pengetahuan kriminalistik yang pada hakikatnya merupakan gabungan dari tiga komponen ilmu pengetahuan, yakni ilmu kedokteran forensik, ilmu kimia forensik dan ilmu fisika forensik. Penanganan masalah kejahatan berdasarkan hukum pidana dan hukum acara pidana menemui banyak kesulitan, bahkan dalam kasus-kasus misterius tak akan terselesaikan sebagaimana mestinya. Adalah sangat keliru anggapan yang menyatakan bahwa hukum pidana dan

(10)

52

hukum acara pidana mampu menyelesaikan penanganan semua perkara-perkara pidana. 43

Kaitan antara forensik dan KUHAP dapat dilihat dari 2 tahap dalam pengusututan suatu kejahatan, yaitu :

1. Pada Tingkat Penyidikan

Dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f KUHAP disebutkan bahwa penyidik berwenang untuk mengambil sidik jari dan memotret seseorang. Pemeriksaan sidik jari (Daktiloskopi) merupakan salah satu identifikasi yang latent dan tidak ada yang sama atau mirip satu sama lain, tidak dapat diubah kecuali dihilangkan sama sekali, dipotong, dicacah, atau dirusak baik menggunakan senjata tajam, api maupun zat kimia sehingga sidik jari tidak dapat di identfikasi lagi. 44

43

Musa Perdanakusuma, Op. cit halaman 200.

Pemeriksaan sidik jari ini dilakukan dengan alat-alat sidik jari yang merupakan bagian dari pemeriksaan laboratorium forensik. Kemudian pada huruf h Pasal 7 ayat (1) KUHAP, dan Pasal 120 ayat (1) dan (2) KUHAP penyidik berwenang mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan. Misalkan saja dalam kasus pembunuhan, dimana tidak terdapat saksi dan pelaku tidak diketahui, penyidik dapat memanggil ahli forensik untuk membantu mengumpulkan bukti-bukti awal. Ahli tersebut mengangkat sumpah atau janji di muka penyidik bahwa dia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan dia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

44

(11)

53

2. Pada Tingkat Peradilan

Pada Pasal 133 dan 134 untuk kepentingan peradilan, penyidik dapat miminta bantuan laboratorium forensik untuk memeriksa mayat yang diduga mati karena suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana. Pemeriksaan mayat dalam istilah forensik dikenal dengan Autopsi Mediko-Legal yang bertujuan untuk : 45

Dibawah ini akan dikemukakan pasal - pasal dalam KUHAP yang berhubungan dengan Forensik : 46

1. Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.

2. Untuk memperkirakan saat kematian. 3. Untuk menentukan sebab pasti kematian.

4. Untuk menentukan cara kematian (kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan).

5. Pada kasus bayi baru lahir adalah untuk memastikan apakah bayi dilahirkan hidup atau tidak.

Pada Pasal 135 dan 136 KUHAP, untuk kepentingan peradilan penyidik dapat melakukan penggalian mayat. Penggalian mayat dilakukan atas perintah penyidik atas persetujuan dari keluarga korban. Pemeriksaan mayat dilakukan oleh dokter dan dilakukan di ruang bedah, bisa juga dilakukan di lapangan apabila telah disediakan bilik pemeriksaan dengan pengamanan yang mencukupi. Adapun alasan penyidik memerintahkan penggalian mayat antara lain : 47

45

P.V. Chadha, Ilmu Forensik dan Toksikologi (edisi V) : Catatan Kuliah, Widya Medika, Jakarta, 1995, halaman 19.

46

H. R. Abdussalam, Op. cit halaman 11. 47

(12)

54

1) Pada kasus penguburan mayat secara illegal untuk menyembunyikan kematian seseorang atau karena alasan-alasan kriminal.

2) Pada kasus dimana penyebab kematian yang tertera dalam surat keterangan kematian (death certificate), tidak jelas dan menimbulkan pertanyaan.

3) Pada kasus dimana identitas mayat yang dikubur perlu dibuktikan kebenarannya atau sebaliknya.

Pada Pasal 186 KUHAP, disebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Dalam kasus pembunuhan, seorang ahli (kedokteran forensik) dihadapkan di muka persidangan untuk memberikan keterangan tentang hipotesa sebab-sebab kematian korban, perkiraan kematian korban, dan cara kematian korban.

Dalam Pasal 187 KUHAP huruf a surat adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Pada huruf c disebutkan surat keterangan dari seorang ahli atau yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. Contoh surat keterangan dari seorang ahli yang dimaksud adalah Visum Et

(13)

55

Repertum. Pembuatan Visum Et Repertum untuk korban mati pada kasus pembunuhan dibuat dengan tujuan untuk menentukan sebab kematian, dan cara kematian. Penentuan sebab dan cara kematian ini dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan laboratorium forensik.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, semua item yang memiliki korelasi kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan item-item yang akan dimasukkan dalam alat test adalah item-item yang memiliki korelasi

Perancangan sistem merupakan bagian awal dari pembuatan sistem informasi dimana tahapan ini bertujuan untuk memberikan ketentuan bentuk dan proses pada

akan memicu kenaikan produksi susu nasional di 2014.. Salah satu sentra usaha peternakan sapi perah di Indonesia adalah Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat mempunyai

Manajemen Produksi yang digunakan oleh Kompas TV adalah agar memperoleh kemasan acara yang sesuai dengan yang direncanakan dan terus melakukan evaluasi terhadap

Calon nasabah yang telah disetujui pengajuan pembiayaannya oleh Rapat Komite Pembiayaan, diwajibkan membuka rekening pada BPRS Dana Amanah, guna kelancaran transaksi yang

Simbol adalah scbsuatu yang dianggap hasil persetujuan bersarna, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alarniah dan kualitas yang sama dan dapat rnewakili, mengingatkan

Writing is the one of skills in English that should be mastered by student. Through writing they can express their view and thoughts that can not be

This research was aimed at proving that team word-webbing was effective for teaching narrative writing at the eighth grade students of SMP Negeri 2 Jeruklegi in