• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORITIS"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

10

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Stroke 1. Definisi Stroke

Stroke adalah gangguan yang timbul secara tiba-tiba pada sistem peredaran darah di otak, yang mengakibatkan gangguan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan luas, letak, sifat dan serangan (Misbach, 2011). Menurut WHO, stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran pembuluh darah otak. Stroke disebabkan oleh gangguan suplai darah ke otak yang diakibatkan oleh sumbatan (stroke iskemik/infark) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik/bleeding).

Stroke adalah keadaan yang terjadi bila pembuluh darah yang membawa darah dan oksigen ke otak tersumbat atau pecah. Ketika ini terjadi, sel-sel otak tidak mendapatkan darah dan oksigen yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Ini menyebabkan sel-sel saraf berhenti bekerja dan mati dalam hitungan menit. Kemudian bagian dari tubuh tidak bisa berfungsi dengan baik. Efek stroke mungkin permanen tergantung pada berapa banyak sel yang hilang (AHA, 2015). Peneliti memaknai stroke adalah kumpulan gejala yang terjadi di otak yang diakibatkan oleh tersumbat atau pecahnya pembuluh darah di otak yang dapat berpengaruh pada keadaan fisik dan psikis.

(2)

Stroke mengacu pada gangguan suplai darah otak sebagai akibat dari oklusi pembuluh darah parsial atau total, atau akibat pecahnya pembuluh darah otak. Gangguan suplai darah ini akan mengurangi supai oksigen, glukosa dan nitrisi kebagian otak yang disuplai oleh pembuluh darah otak yang terkena dan mengakibatkan gangguan pada sejumlah fungsi otak (Chang, 2010).

2. Etiologi Stroke

Menurut Mardjono, 2009; Rosdiana, 2012 stroke biasanya disebabkan oleh salah satu dari empat kejadian berikut ini :

a. Trombosis (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher) Arteriosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis serebral dan paling umum dari stroke. Tanda trombosis serebral bervariasi sakit kepala adalah tanda yang tidak umum, beberapa pasien dapat mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang. Beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemorragi intraserebral atau embolisme serebral. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh lain).

b. Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis infektif, penyakit jantung rematik, infark miokard dan infeksi pulmonal adalah tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral. Embolik lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan kedalam aliran darah dan akhirnya bergabung didalam sebuah arteri.

(3)

c. Iskemia (penurunan aliran darah ke bagian otak)

Penyebab pada iskemi serebral adalah konstriksi dan atheroma pada pembuluh darah arteri yang menyuplai darah ke otak. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju otak. Misalnya suatu ahteroma (endapan lemak) bisa terbentuk didalam arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.

Arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga serebral, yang sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium).Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan menyempitnya pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat- obatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke.

d. Hemorragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke dalam otak atau jaringan sekitar otak). Stroke jenis ini di sebabkan oleh pendarahan yang terjadi didalam dan di sekeliling otak. Pendarahan yang berlaku diantara otak dan tengkorak dikenali sebagai pendarahan subaraknoid (subaraknoid Hemorrhage). Ia biasanya di sebabkan oleh aneurisma (aneurysm) yang pecah, malformasi arteriovena (arteriovenous malformation) dan juga kecederaan di kepala. Pendarahan di dalam tisu

(4)

otak dikenali sebagai pendarahan intra serebrum (intracerebral Hemorrhage) dan ini berpuncak dari tekanan darah tinggi.

Aneurisma ialah suatu keadaan dimana dinding arteri menjadi lemah, menyebabkan ia mengembang. Pada lazimnya ia berlaku di cabang-cabang arteri. Hipertensi atau tekanan darah tinggi ialah peningkatan tekanan darah yang menyebabkan arteri-arteri yang lebih kecil dalam otak pecah. Darah yang terbebas dalam tisu otak akan menekan arteriol-arteriol yang berhampiran yang menyebabkan ia pecah dan membawa pendarahan yang lebih banyak. Tekanan darah tinggi juga boleh menyebabkan infak kecil (miniatur infarc) yang hampir menyerupai stroke, tetapi pada tahap yang lebih kecil.

Malformasi arteriovena (arteriovenous malformation, AVM) ialah satu ke abnormalan pada pembuluh darah dimana arteri tersambung terus dengan vena tanpa melalui jaringan kapilari terlebih dahulu. Tekanan dari darah yang melalui arteri menjadi terlalu tinggi untuk di terima oleh vena dan ini menyebabkan lainnya mengembang. Pengembangan ini mampu menyebabkan vena itu pecah dan berdarah.

3. Patofisiologi Stroke

Otak tidak dapat menyimpan oksigen atau glukosa, sehingga harus mendapat aliran darah secara konstan untuk memenuhi kebutuhan normalnya. Disisi lain aliran darah juga berfungsi membuang sampah metabolisme (contoh : karbon dioksida, asam laktat). Bila aliran darah pada bagian tubuh mengalami gangguan

(5)

dalam beberapa menit, jaringan otak mengalami kematian (infark). Hal ini menghasilkan berbagai macam derajat ketidakmampuan, tergantung pada lokasi dan jumlah jaringan otak yang terkena. Metabolisme otak dan aliran darah setelah mengalami stroke mempengaruhi daerah yang mengalami infark dan manifestasi bersifat kontralateral (Ignatavicius & Workman, 2010).

Infark serebri adalah kurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering kali merupakan faktor penting untuk otak, trombus dapat berasal dari plak aterosklerosis, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. trombus mengakibatkan iskemik jaringan otak pada area yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan. Trombus juga dapat mengakibatkan edem dan kongesti di sekitar area. Area edem ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar dari area infark itu sendiri. Edem dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edem klien mulai menunjukkan perbaikan. Karena trombosis biasannya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.

(6)

Oklusi pada pembuluh darah serebri oleh embolus menyebabkan edem dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi infeksi sepsis akan meluas pada dinding pembuluh darah, maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. hal ini menyebabkan perdarahan serebri, jika aneurisma pecah atau ruptur.

Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerosis dan hipertensi pembuluh darah. perdarahan intraserebri yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks serebri atau lewat foramen magnum. Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, herniasi otak dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.

Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons. Jika sirkulasi serebri terhambat, dapat berkembang anoksia serebri. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebri dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebri dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunnya henti jantung. Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.

(7)

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang tertekan darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis apabila darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebral dengan volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Misbach, 2011). Berat otak manusia adalah 2% dari Total Berat Badan dan menerima 2o% (±750 ml) aliran darah tiap menit serta 20% oksigen dari kebutuhan tubuh keseluruhan.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan metabolisme, aliran darah ke otak bersifat autoregulasi. Autoregulasi mempertahankan aliran darah secara konstan diikuti dengan perubahan tekanan darah sistemik. Namun autoregulasi tidak efektif bila tekanan darah sistemik < 50 mmHg atau > 160 mmHg. Contoh kenaikan darah sistemik pada hipertensi yang menghasilkan overdistensi pembuluh darah otak. Kenaikan ini diikuti dengan kenaikan konsentrasi karbon dioksida, kenaikan konsentrasi hidrogen dan penurunan konsentrasi oksigen. Ketikan aliran darah dan oksigen pada jaringan otak menurun atau mengalami gangguan > 5 menit , maka akan mengalami gangguan. Terjadi penurunan glukosa, glikogen dan adenosine triphospate serta kegagalan fungsi pompa natrium kalium menyebabkan kematian jaringan. Meskipun sirkulasi jaringan mengalami restorasi, vasospasme dan peningkatan viskositas darah terus berlanjut memperbesar gangguan aliran darah.

Defisit persyarafan terjadi sebagai hasil dari stroke tergantung dari lokasi yang cedera yang bersifat kontralateral defisit. Gangguan patologis pada pasien stroke

(8)

mempengaruhi jaringan otak yang mengalami kematian sel. Namun jaringan yang terkena stroke dikelilingi dengan jaringan yang mengalami penurunan perfusi disebut dengan penumbra. Meskipun sel di penumbra juga mengalami gangguan namun sel tersebut tetap menjalankan fungsinya di otak. Sehingga salah satu penatalaksanan pasien stroke adalah menyelamatkan jaringan penumbara secepat. Tujuan memperbaiki jaringan penumbra adalah memperbaiki sirkulasi darah otak dan menurunkan edem serebral (Lemone & Burke, 2008).

4. Tanda dan Gejala Stroke

Stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologis tergantung pada lokasi lesi, ukuran dan area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Menurut Smeltzer, et al 2010 ; Fernandes 2013, tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut:

a. Kehilangan kemampuan gerak motorik

Stroke merupakan penyakit upper motor neuron dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunteer terhadap gerakan motorik. Karena fungsi yang menyilang, gangguan kontrol volunter pada salah stau sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada upper motor neuron pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegia (Paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada salah satu otak yang berlawanan. Diawal tahapan stroke gambaran klinis yang biasanya muncul adalah paralisis dan menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali biasanya dalam 48 jam, peningkatan tonus disertai dengan spasisitas pada ekstremitas yang terkena dapat dilihat.

(9)

b. Kehilangan komunikasi

Pasien stroke biasanya mengalami gangguan dalam bahasa dan komunikasi yaitu; a). disartria (kesulitan berbicara), di tunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang betanggung jawab untuk menghasilkan bicara, b). disfasia atau afasia yaitu bicara defektif atau kehilangan bicara, terutama ekspresif dan reseptif, c). apraksia yaitu ketidakmampuan melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya seperti mengambil sisir dan berusaha menyisir rambutnya.

Masalah komunikasi merupakan hal yang sangat mengganggu bagi klien stroke walaupun kejadiannya hanya sekitar 15%. Umumnya afasia muncul apabila otak kiri yang terganggu. Maslah komunikasi akan mempengaruhi aspek pemenuhan kebutuhan psikososisal pasien. Pasien mengalami kesulitan dalam berbicara, memehami dan menyampaikan maksud dan keinginannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Hal iniakan mempengaruhi hubungan sosial pasien dan menjadi stresor tersendiri.

c. Gangguan Persepsi

Stroke dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan hubungan visual spasial dan kehilangan memori. Disfungsi persepsi visual terjadi karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Homonymous hemianopsia (Kehilangan setengah lapang pandang) mungkin sementara atau permanen itu terjadi karena sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.

(10)

d. Kehilangan Sensori

Kehilangan sensori yang terjadi pada psein stroke berupa kehilangan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan kemampuan untuk merasakan poisis dan gerakan bagian tubuh. (propriosepsi) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.

e. Gangguan Fungsi Kognitif dan Efek Psikologik

Bila kerusakan terjadi pada lobus frontal maka kemungkinan akan terjadi ganguan belajar, memori dan fungsi intelektual kortikal. Disfungsi ini terlihat dari lapang perhatian yang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini mengalami frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah psikologis lain dapat berupa emosi yang labil, kecemasan, dan kurangnya kerja sama.

5. Klasifikasi Stroke

Klasifikasi Secara umum stroke diklasifikasikan menurut patologi dari serangan stroke meliputi dua yaitu iskemik (oklusi) dan hemoragik. Jumlah penderita terbanyak adalah stroke iskemik. Stroke iskemik merupakan 80% kasus stroke (Goldszmidt, & Caplan, 2011). Stroke iskemik Adalah penyempitan pembuluh darah otak, akibatnya suatu saat darah tidak lagi melewatinya (buntu), hal tersebut bisa jadi karena adanya ”kotoran” (emboli) dari tempat lain, biasanya dari jantung yang ketika tiba di pembuluh darah otak yang berdiameter paling kecil akan menyumbat pembuluh darah otak tersebut. Akibatnya bagian otak yang di perdarahi tidak mendapat makanan (oksigen dan glukosa) yang cukup sehingga bagian otak tersebut akan mati (infark cerebri).

(11)

Berdasarkan etiologinya stroke iskemik dibagi menjadi aterotrombosis arteri, emboli otak, stroke lakunar dan hipoperfusi sistemik. Stroke iskemik akibat trombosis berhubungan dengan pengembangan atherosklerosis dalam dinding pembuluh darah menimbulkan plak. Timbunan plak akan menghasilkan bekuan darah, bila bekuan darah membesar akan mengganggu sumbatan aliran darah. Daerah yang sering terkena trombus adalah bifurkasi arteri karotis dan arteri vertebral pada persambungan arteri basilar. Berdasarkan pembentukan trombosis sifatnya bertahap sehingga tanda dan gejala yang ditimbulkan pasien stroke iskemik akibat trombosis terjadi tidak mendadak (Ignatavicius & Workman, 2010).

Sedangkan stroke iskemik karena emboli terjadi akibat sekelompok emboli yang terpecah dan masuk pada arteri serebral melalui arteri karotis atau sistem ventebrobasilar. Emboli sering mengenai pembuluh darah kecil di otak sehingga mempersempit ukuran pembuluh darah dalam mengalirkan darah. Emboli disebabkan oleh artrial fibrilasi, mural trombin atau insersi katup buatan. Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah ke bagian otak secara mendadak mengalami gangguan akibat trombus, embolus atau stenosis (LeMone & Burke, 2008).

Klasifikasi stroke selanjutnya adalah stroke hemoragik. Stroke hemoragik merupakan 20% sisa penyebab kasus stroke dan dibagi menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid dan hematoma subdural/ ekstradural (Goldszmidt & Caplan, 2011). Pemicu stroke hemoragik adalah pembengkakan di salah satu pembuluh darah yang lemah. Kelemahan itu bisa di sebabkan faktor bertambahnya usia, keturunan, dan tekanan darah tinggi (hipertensi).

(12)

Meski kasusnya lebih sedikit di banding stroke iskemik, hemoragik sering menyebabkan kematian. Biasanya sekitar 50% kasus stroke hemoragik akan berujung kematian, sedangkan pada stroke iskemik hanya 20%.

Stroke hemoragik juga mengakibatkan gangguan aliran darah yang terhambat akibat terjadi perdarahan dan masuk ke dalam jaringan otak (ventricular, subdural dan subarachnoid). Perdarahan akibat pecahnhya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak yang mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan sehingga terjadi infark otak, oedem dan mungkin herniasi otak (Smeltzer, 2002 dalam Muttaqin, 2008).

Hemoragik dihasilkan dari ruptur aneurisma, ruptur malformasi arteriovenous atau sering disebabkan karena hipertensi. Aneurisma adanya pembuluh darah arteri yang membesar secara tidak normal, mengakibatkan kelemahan dinding pembuluh darah. Presentasi kejadian aneurisma sebanyak 90% , dengan etiologi kongenital, sedangkan 10% diakibatkan cedera pembuluh darah (cedera lapisan tengah otot pembuluh darah arteri) atau infeksi (infeksi vegetasi katup kiri jantung setelah endokarditis bakteri) yang melekat dan mengikis dinding pembuluh darah (Urden, Stacy & Lough, 2010).

6. Faktor Resiko Stroke

Stroke adalah penurunan fungsi otak yang diakibatkan oleh kombinasi beberapa faktor resiko. Faktor resiko terjadinya stroke dibagi atas 2 bagian yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang dapat

(13)

dikontrol terdiri atas hipertensi merupakan faktor resiko utama stroke. Peningkatan tekanan sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi berhubungan dengan kerusakan semua pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak (National Institute of Neurologica Disorder and Stroke, 2005 dalam Lemone, 2008).

Faktor lain adalah perilaku merokok berhubungan dengan terjadinya stroke hemoragik. Peningkatan kadar kolesterol juga berperan serta sebagai faktor yang dapat dikontrol berhubungan dengan pembentukan aterosklerosis pembuluh darah yang beresiko terbentuk trombus. Berdasarakan penelitian Max (2010) tentang resiko stroke ditemukan jenis kelamin laki-laki beresiko lebih tinggi mengalami stroke sebanyak 71,3%. Sedangkan jenis kelamin wanita beresiko lebih rendah sebanyak 57,8% dengan etiologi terbanyak adalah cardioembolik stroke.

Hal ini diperlukan penatalaksanaan yang tepat untuk mencegah kejadian stroke yang lebih tinggi. Berikutnya adalah diabetes, pasien dengan diabetes beresiko terjadi perubahan pembuluh darah secara sistemik dan sirkulasi otak dan peningkatan resiko hipertensi. Faktor lainnya Sickle cell disease menyebabkan stroke karena adanya perubahan sel darah merah meningkatkan viskositas dan clumps eritrosit yang dapat mengakibatkan oklusi pada pembuluh darah kecil otak peningkatan hematokrit meningkatkan resiko infark serebri.

Gangguan jantung seperti atrial fibrilasi merupakan resiko penderita stroke kedua berdasarkan penelitia menyatakan bahwa 2,2 juta pasien fibrilasi beresiko tinggi terjadi stroke sebanyak 4-6% (Amerikan Heart Assosiation, 2005 dalam Summers et al., 2009). Penyakit jantung lainnya seperti stenosis katup mitral, foramen ovale

(14)

dan operasi jantung juga faktor konsumsi alkohol, obesitas. Faktor yang tidak dapat dikontrol pencetus stroke antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan penyakit stroke, ras, riwayat stroke atau serangan iskemik transien. (National Stroke Association, 2011; Hughes, 2011).

Berdasarkan National Institute of Neurologica Disorder and Stroke, (2005); Lemone (2008) faktor-faktor resiko stroke lainnya adalah:

a. Sleep apnea meningkatkan tekanan darah dan menyebabkan penurunan jumlah oksigen dan peningkatan karbon dioxida dalam darah.

b. Kejadian penyiksaan dengan mengkonsumsi obat terlarang dapat menurunkan aliran darah ke otak dan meningkan resiko perdarahan intrakranial.

c. Tinggal di lokasi penderita stroke ditemukan masyarakat yang tinggal di amerika selatan memiliki nilai mortalitas akibat stroke paling tinggi.

7. Pemeriksaan Diagnostik Stroke

Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosis klien stroke meliputi :

a. Angiografi serebri membantu menentukan penyebab dari stroke secara seperti perdarahan arteriovena atau ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.

b. Lumbal pungsi yaitu tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukan adanya hemoragik pada subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial. peningkatan jumlah protein menunjukan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor yang merah biasannya dijumpai

(15)

pada perdarahan yang yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasannya warna likuor masih normal sewaktu hari-hari pertama.

c. CT-Scan yaitu menunjukan secara spesifik letak edem, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemik, serta posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasannya didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.

d. Magmetic imaging resonance (MRI) dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasannya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat hemoragik

e. USG Dopler untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis)

f. EEG adalah pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.

g. Pemeriksaan Laboratorium antara lain peningkatan hematokrit dan hemoglobin sering berhubungan dengan penurunan jumlah kadar oksigen dalam darah. peningkatan sel darah putih mengindikasikan adanya infeksi kemungkinan subakut endokarditis bakteri atau respon fisiologis stres sebagai gambaran inflamasi. Pemeriksaan protrombin time atau international normalized ratio juga partial thromboplastin time untuk menentukan terapi antikoagulan (Ignatavicius & Workman, 2010; Yemina, 2013).

(16)

8. Penatalaksanaan Stroke

Perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien stroke secara komperhensif dan terorganisir sejak fase hiperakut sampai fase pemulihan. Penderita stroke sejak mulai sakit pertama kali dirawat sampai proses rawat jalan di luar RS, memerlukan perawatan dan pengobatan terus menerus sampai optimal dan mencapai keadaan fisik maksimal. Strategi manajemen mempunyai tujuan utama untuk memberikan kualitas hidup optimal, berupa usaha terapeutik/ medik sejak fase akut sampai pengobatan maksimal. Bagian yang diukur adalah status neurologi dan kemampuan fungsional yang dapat tercapai. Strategi selanjutnya memperkecil pengaruh stroke terhadap penderita dan keluarga (Misbach, 2011).

a. Penatalaksanan berdasarkan fase stroke

1) Fase 1 : fase hiperakut atau fase darurat yaitu 3 s/d 24 jam setelah pasien terdiagnosa stroke. Tindakan berfokus pada kedaruratan yaitu jalan nafas, bersihan jalan nafas, dan sirkulasi. Tujuan mengidentifikasi gejala dan lokasi infark. Mengkaji resiko komplikasi akut atau kronis dan menentukan perawatan pasien.

2) Fase 2 : fase akut yaitu 24 s/d 72 jam setelah pasien terdiagnosa stroke. Fokus tindakan mencari kejelasan penyebab stroke, pengobatan mencegah komplikasi, mempersiapkan pasien dan keluarga untuk pendidikan kesehatan pasien, perawatan di rumah dan pencegahan komplikasi akibat perawatan yang lama (Summers et al., 2009).

3) Fase rehabilitas : stroke iskemik 5 sampai 7 hari dan pada pasien stroke hemoragik memerlukan waktu hampir 2 minggu.

(17)

b. Penatalaksanaan pasien stroke didasari tingkat keparahannya. Secara umum terdapat tahapan penatalaksanaan yaitu :

1) Tahap pencegahan adalah pemberian antiplatelet untuk mencegah pembentukan bekuan dan obstruksi pembuluh darah.

2) Tahap perawatan darurat stroke akut adalah pengobatan pembetukan trombus, peningkatan aliran darah dan perlindungan neuron otak. Penatalaksanaan medis berupa tindakan operasi untuk mencegah stroke berulang, memulihkan aliran darah dan memperbaiki pembuluh darah yang rusak atau malformasi.

3) Tahap rehabilitasi antara lain : Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan meningkatkan kekuatan dan koordinasi otot seperti berjalan, duduk, berbaring dan merubah posisi tubuh. Terapi tambahan membutuhkan peralatan atau metode tambahan dan bertujuan mengembalikan fungsi motorik untuk ditingkatkan fungsinya dalam upaya memperbaiki kualitas hidup pasca stroke. Kemampuan yang diajarkan antara lain makan, minum, mandi, masak, membaca, menulis dan BAB atau BAK. Terapi wicara bertujuan membantu klien belajar kembali bahasa dan kemampuan komunikasi begitu juga fungsi menelan (Lemone & Burke, 2008).

c. Penatalaksanaan Nutrisi: Pasien stroke beresiko terjadi malnutrisi. Rata-rata pasien stroke mengalami malnutrisi pada 2 minggu pertama. Dalam hal ini perawat bertugas mengkaji status nutrisi dan keadekuatan asupan nutrisi. Khusus untuk pasien disfagia yang lebih beresiko mengalami mal nutrsi diperlukan penanganan yang khusus. Penanganan pasien disfagia dengan cara pengkajian ulang, latihan menelan, pemberian suplemen diet, modifikasi

(18)

makanan, berikan cairan secara adekuat dan oral hygien untuk mencegah infeksi mulut.

d. Penatalaksanaan Integritas kulit dan resiko penekanan tirah baring. Memberikan nutrisi adekuat, bantu pemenuhan kebutuhan kebersihan tubuh, mengganti posisi pasien tiap 2 jam dan menjaga kelembaban kulit. Termasuk penatalaksanaan Kontinesia urine. Tugas perawat adalah kaji penyebab inkontensi dan pola berkemih, kolaborasi pemasangan dawer chateter.

e. Penatalaksanaan nyeri punggung. Peran perawata adalah memastikan bahwa posisi rehabilitasi yang diberikan tepat sehingga resiko nyeri tidak ada. Apabila pasien tidak termotivasi untuk bergerak dapat timbul masalah imobilisasi. Imobilisasi dan trombosisi vena dalam . mengobservasi terapi pengobatan (aspirin) yang diberikan, anjurkan pemasangan stoking pada daerah DVT (Mitcehell & Moore, 2004; Yemina 2013).

B. Konsep Dasar Disfagia 1. Definisi Disfagia

Disfagia adalah gangguan dalam proses menelan dengan defisit anatomi atau fisiologis dalam mulut, faring, laring, dan esophagus dan berkontribusi dalam berbagai perubahan status kesehatan yang negative terutama peningkatan resiko kekurangan gizi dan pneumonia (Sura et, al 2012). Disfagia adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam lambung. Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada semua kelompok usia dan sering berhubungan dengan multiple systemic disorders (misalnya: diabetes melitus,

(19)

hipertiroidisme, lupus eritematosus, dermatomiositis, stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer). Disfagia dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi infeksi saluran napas, bertambahnya jumlah hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh sebab itu, diagnosis dan penanganan dini terhadap disfagia sangat penting dilakukan (Pandaleke, et al 2014).

2. Klasifikasi Disfagia

Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia orofaring (atau transfer dysphagia) dan disfagia esophagus. Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus, dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis, oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur, xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik (keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas, radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin).

Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk ketidakmampuan untuk mengenali makanan, kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut, ketidakmampuan untuk mengontrol makanan dan air liur di dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya, perubahan kebiasaan makan, pneumonia berulang, perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal.

Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter esofagus bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh struktur esofagus, keganasan esofagus, (esophageal rings and webs), akhalasia, skleroderma,

(20)

kelainan motilitas spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus nonspesifik makanan biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, dan akan berada setinggi suprasternal notch atau dibelakang sternum sebagai lokasi obstruksi, regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan pneumonia berulang. Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair, kemungkinan besar merupakan suatu masalah motilitas. Bila pada awalnya pasien mengalami disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair, maka kemungkinan besar merupakan suatu obstruksi mekanik (Pandaleke, et al 2014).

3. Pemeriksaan Penunjang Disfagia

Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk mendiagnosis gangguan menelan ialah: videofluorographic swallowing study (VFSS), fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES), dan ultrasonografi.

a. Videofluorographic swallowing study (VFSS) merupakan baku emas untuk mengevaluasi proses menelan. Pada pemeriksaan ini penderita diminta untuk duduk dengan nyaman dan diberikan makanan yang dicampur barium agar tampak radiopak. Saat penderita sedang makan dan minum dilakukan observasi gambaran radiologik pada monitor video dan direkam.

b. Fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES) merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu hipofaringeal, dan mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop dimasukan melalui hidung melewati nasofaring dan ditempatkan di dalam laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk cair dan padat diberi warna hijau sehingga mudah dilihat.

(21)

c. Ultrasonografi digunakan untuk menilai fungsi oral saja, yaitu fungsi lidah dan oral transit time; juga gerakan tulang hioid. Metode ini merupakan suatu pemeriksaan yang noninvasif dan hanya menggunakan cairan dan makanan biasa. (Pandaleke, et al 2014).

4. Jenis Pengkajian Fungsi Menelan

a. The Massey Bedside Swallowing screen (MBS) adalah alat ukur yang valid yang akurat dan sangat mudah digunakan. Pengkajian dilakukan setiap hari oleh perawat. Pengkajian bertujuan untuk mengkaji tanda dan gejala disfagia serta fungsi menelan pasien. Pemeriksaan menelan yang jelas, logis dan akurat dengan nilai sensitifitas dan spesifiksitas berdasarkan penelitian sebesar 100% (Messey & Jadlicka, 2002 ; Yemina, 2013).

The Massey Bedside Swallowing screen merupakan pengkajian fungsi menelan yang dilakukan pada fase akut atau minimal 48 jam pertama pasien menderita stroke dan selanjutnya dilakukan setiap hari oleh perawat sampai pasien dinyatakan mampu menelan dengan baik. Penilaian The Massey Bedside Swallowing screen dilakukan secara berurutan terdiri dari penilaian kesadaran pasien, ada Apasia atau disarthria, dapat merapatkan gigi, merapatkan bibir, wajah simetris, letak lidah ditengah, uvula ditengah, reflek muntah ada, batuk spontan, reflek menelan baik, tes menelan air putih satu sendok teh, minum air putih satu gelas bertahap mulai 50 cc atau 100 cc. Bila pasien sudah mampu sampai tahap minum air putih satu gelas bertahap mulai 50 cc atau 100 cc maka dinilai pasien mampu menelan normal dan tidak disfagia. Pada tahap normal perawat dapat melakukan kolaborasi pemberian makanan yang dapat diberikan sesuai toleransi pasien.

(22)

b. Pengkajian Parramatta Hospital dysphagia atau Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagia (RAPIDS) adalah pengkajian terapi wicara standar yang valid untuk menilai fungsi menelan. Pengkajian RAPIDS juga mampu memprediksi resiko disfagia yang berkepanjangan. Penilaian dengan menghasilkan nilai numerik 20 sampai dengan 100 dan menilai 14 aspek fungsi menelan. Nilai lebih atau sama dengan 80 berarti adanya gangguan fungsi menelan ringan pada pasien dan resiko aspirasi rendah. Penilaian dilakukan minimal 24 sampai dengan 48 jam pertama kali pasien terkena gejala stroke. RAPIDS tes memiliki nilai sensitifitas 90% (95% CI = 70-97%) dan nilai spesifik 92% (95% CI 84-96%). Bagian-bagian yang dinilai adalah kesadaran, suara nafas, komprehensi, kemampuan bicara, motorik bibir, gerakan lidah, pergerakan dan kesimetrisan palatum, gag reflek, fonasi, keluhan batuk, mengunyah, pergerakan oral, pergerakan faring dan toleransi menelan (Broadley et al, 2005 ; Yemina 2013).

c. Pengkajian fungsi menelan dengan Modifiel swallowing assessment (MSA). Terdiri dari dua tes yang dilakukan minimal 1x 24 jam pertama saat pasien meminta pengobatan. Lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan Flexible transnasal swallowing endoscopy minimal dalam 72 jam pertama setelah pengkajian. Tahap pemeriksaannya adalah langkah pertama Pengkajian menelan: Apakah pasien sadar dan meresponi terhadap respon verbal? Apakah pasien dapat batuk ketika diminta dilakukan oleh pemeriksa? Apakah pasien dapat mengatur keluar air liurnya ? Apakah pasien mampu menjilat bibir atas dan bawah pasien? Apakah pasien dapat bernafas tanpa menggunakan alat bantu ? Apakah terdapat suara nafas tambahan?.

(23)

Langkah kedua pemeriksaan klinis berupa berikut ini: Tes menelan dengan air, hentikan pemeriksaan bila salah satu pertannyaan memperoleh jawaban Ya, Tidak terdapat respon menelan? Pasien tidak menyadari keluarnya air dari mulutnya? Keluhan batuk-batuk? Peningkatan frekuensi nafas ? Terdapat suara tambahan (air dikumur/ mendenguk) kurang dari 1 menit setelah menelan, Ekspresi pasien tidak nyaman saat dan setelah menelan (Perry, 2001). Kekurangan pemeriksaan ini membutuhkan wkatu yang lebih lama dan biaya yang mahal karena harus dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya.

d. Pengkajian fungsi menelan berdasarkan tingkat keparahan gangguan menelan dikaji berdasarkan Swallowing fungtion communication measure menurut Amerikan Speech Languange Hearing Association. Penilaian berdasarkan manifestasi klinis pasien yang menunjukan tingkat keparahan disfagia. Keterangan penilaian skor 1 - 3 adalah disfagia dengan tingkat keparahan berat masih membutuhkan selang makanan untuk mendapat makanan dan cairan dari luar tubuh. skor 4 – 5 : disfagia tingkat keparahan sedang. Skor 6- 7 : disfagia ringan.

Berikut penilainnya, skor 1 yaitu pasien tidak dapat menelan semua secara aman. Semua makanan dan minuman diberikan melalui nasogastrik tube atau percutaneus endoskopi gastrostomy tube. Skor 2 yaitu pasien tidak dapat menelan dengan aman melalui mulut baik mananan atau minumannya tapi dapat menerima terapi obat tertentu saja. masih membutuhkan tube untuk makan dan minum. Skor 3 yaitu metode makan alternatif. Karena pasien menyerap <50% makanan dan minuman melalui mulut dan atau menelan

(24)

dengan aman namun dengan konsistensi makanan tertentu, dibantu tehnik kompensasi . dengan batasan diet makanan ketat.

Skor 4 yaitu menelan dengan aman, biasannya membutuhkan persyaratan khusus untuk makanan pada tahap sedang dengan tehnik kompensasi menelan. memiliki beberapa batasan diet masih membutuhkan bantuan makan melalui selang atau suplemen. Skor 5 yaitu menelan dengan aman disertai beberapa persyaratan diet tahap ringan dan menggunakan tehnik kompensasi. Pasien makan dan minum sesuai kebutuhan setiap waktu makan saja.

Skor 6 yaitu menelan dengan aman, pasien minum dan makan secara mandiri. Pasien hanya kesulitan menelan pada makanan tertentu saja seperti kacang, jagung atau membutuhkan waktu yang lebih lama menelan karena disfagia. Skor 7 yaitu pasien dapat menelan dengan baik tanpa ada batasan kemampuan menelan. Mampu secara mandiri menelan efektif dan aman pada semua konsistensi makanan. Tindakan kompensasi digunakan saat dibutuhkan saja.

Berdasarkan beberapa instrumen diatas masing-masing memiliki kekurangan dan kelibihan. Instrumen tersebut umumnya digunakan untuk mengkaji fungsi menelan pada pasien stroke dengan disfagia. Instrumen yang digunakan untuk memonitor status fungsi menelan pada penelitian ini menggunakan pengkajian Parramatta Hospital dysphagia atau Royal Adelaide Prognostic Index for Dysphagia (RAPIDS), instrument ini merupakan alat ukur yang sudah baku dengan nilai sensitifitas 90% (95% CI = 70-97%) dan nilai spesifik 92% (95% CI 84-96%).

Pada penelitian ini dilakukan pre-test terlebih dahulu untuk menentukan responden yang akan dipilih dengan total skor 81-90, karena dengan total skor

(25)

81-90 status fungsi menelan pasien masih belum maksimal serta masih mengalami kesulitan menelan pada makanan tertentu. Sehingga diberikan intervensi shaker exercise dan latihan menelan dengan jelly untuk meningkatkan fungsi menelan dengan baik tanpa ada batasan kemampuan menelan, kemudian mampu secara mandiri menelan efektif dan aman pada semua konsistensi makanan.

5. Fisiologi Proses Menelan

Area anatomi yang berhubungan dengan proses menelan meliputi rongga mulut, faring, laring, dan esofagus. Struktur rongga mulut meliputi bibir anterior, gigi, palatum durum, palatum mole, uvula, mandibula, dasar mulut, lidah, dan arkus faringeus. Lidah sebagian besar disusun oleh serat-serat otot rangka yang dapat bergerak ke segala arah. Sehubungan dengan proses menelan, lidah dibagi menjadi bagian oral dan bagian faringeal. Lidah bagian oral meliputi bagian ujung, depan, tengah, dan belakang daun lidah. Lidah bagian oral aktif selama proses bicara dan proses menelan pada fase oral, dan berada dibawah kontrol kortikal (volunter). Lidah bagian faringeal atau dasar lidah dimulai dari papila sirkumvalata sampai tulang hioid.

Dasar lidah aktif selama fase faringeal dan berada dibawah kontrol involunter dengan koordinasi batang otak, tetapi bisa juga berada dibawah kontrol volunter. Atap mulut dibentuk oleh maksila (palatum durum), velum (palatum mole), dan uvula. Struktur faring yang berperan dalam proses menelan meliputi 3 otot konstriktor faringeal, yaitu superior, medial, dan inferior, yang berorigo pada kranium, tulang hioid, dan kartilago tiroid, serta berinsersio

(26)

pada bagian posterior median raphe. Otot krikofaringeal merupakan struktur faring yang paling inferior. Kontraksi otot ini akan mencegah masuknya udara ke dalam esofagus saat respirasi. Otot ini melekat pada kartilago krikoid dan bersama dengan lamina krikoid membentuk valvula ke dalam esofagus yang dikenal dengan upper esophageal sphincter (UES) atau pharyngoesophageal sphincter (PES).

Proses menelan dibagi menjadi 4 fase yaitu : a. Fase Persiapan Oral

Selama fase persiapan oral makanan dimanipulasi dan dikunyah. Proses mengunyah sendiri merupakan suatu pola berulang dari gerakan rotasi lateral otot-otot labial dan mandibular. Lidah memposisikan makanan di atas gigi saat gigi atas dan bawah bertemu dan menghancurkan material diatasnya. Makanan akan jatuh ke arah medial menuju lidah dan lidah akan mengembalikan material tersebut ke atas gigi pada saat mandibula dibuka. Selama mengunyah, lidah mencampur makanan dengan saliva. Tekanan dalam otot bukal akan menutup sulkus lateral dan mencegah makanan jatuh ke arah lateral ke dalam sulkus di antara mandibula dan pipi.

b. Fase Oral

Fase oral diawali saat lidah memulai pergerakan posterior dari bolus makanan. Selama fase ini lidah mendorong bolus ke arah posterior sampai terjadi pemicuan fase faring. Bagian tengah lidah secara berurutan menekan bolus ke arah posterior melawan palatum durum. Suatu fase oral yang normal membutuhkan otot labial untuk memastikan penutupan

(27)

bibir yang sempurna sehingga mencegah makanan keluar dari rongga mulut.

Pergerakan lidah untuk mendorong bolus ke posterior otot bukalis untuk memastikan material tidak jatuh ke dalam sulkus lateralis dan otot palatum yang normal, serta kemampuan untuk bernapas secara normal melalui hidung. Oral transit time adalah waktu yang dihitung sejak awal pergerakan lidah untuk memulai fase oral sampai saat bolus melewati titik antara arkus faringeus anterior dan titik dimana batas bawah mandibula menyilang dasar lidah, dengan nilai normal sekitar 1-1,5 detik.

c. Fase Faringeal

Fase faringeal dimulai saat terjadi proses pemicuan. Pada fase ini terjadi beberapa aktifitas: 1) elevasi dan retraksi velum serta penutupan sempurna dari port velopharyngeal untuk mencegah masuknya material ke dalam rongga hidung; 2) elevasi dan pergerakan anterior dari hioid dan laring; 3) penutupan laring oleh tiga sfingter untuk mencegah masuknya material ke dalam jalan napas; 4) terbukanya sfingter krikofaringeal untuk memungkinkan masuknya material dari faring ke esofagus; 5) melandainya dasar lidah untuk membawa bolus ke faring diikuti retraksi dasar lidah untuk menyentuh bagian anterior dari bulgingposterior dinding faring; dan 6) kontraksi dari atas ke bawah yang progresif dari otototot konstriktor faringeal. Pharyngeal transit time adalah waktu yang dihitung sejak bolus bergerak dari titik dimana fase faringeal dipicu melewati

(28)

cricopharyngeal juncture ke dalam esofagus,dengan nilainormal 0,35-0,48 detik, dan maksimum bisa sampai 1 detik.

d. Fase Esofageal

Waktu transit esofageal diukur dari saat bolus memasuki esofagus pada upper esophageal sphincter (UES), melewatinya, dan masuk ke dalam lambung melalui pharyngoesophageal sphincter (LES), dengan nilai normal bervariasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang dimulai pada puncak esofagus mendorong bolus dengan pola berurutan ke arah kaudal sepanjang esofagus sampai pharyngoesophageal sphincter (LES) terbuka dan memungkinkan bolus memasuki lambung. Fase esofageal ini tidak dapat diintervensi dengan terapi latihan atau teknik kompensasi apapun; oleh sebab itu, bila ditemukan kecurigaan adanya gangguan pada fase esofageal, penderita perlu dirujuk ke ahli gastroenterologi sehingga bisa dilakukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut (Pandaleke, et al 2014).

6. Penatalaksanaan Disfagia Pada Pasien Stroke

(Misbach, 2011). Semua pasien stroke baru tidak boleh diberikan makanan atau minuman sebelum dipastikan bahwa pasien tidak ada gangguan menelan. Bila kesadaran pasein baik, tidak ada lendir atau ronkhi, tidak ada riwayat tersedak atau tanda dan gejala gangguan menelan yang lain, maka lakukanlah penilaian dengan memberikan minum air putih sekitar 50-100 ml. Bila pasein mampu minum air tersebut tanpa mengalami batuk atau tersedak, diet atau menu pasien dapat diberikan per oral sesuai permintaan medik. Bila terjadi batuk atau tesedak, pasang NGT, dan semua makanan yang diberikan akan melalui NGT tersebut.

(29)

Dan setelah beberapa hari pasein sudah bisa untuk dilakukan latihan menelan oleh perawat atau terapis wicara yang terlatih agar dapat mencegah terjadinya aspirasi dan mempercepat proses kesembuhan menelan pasien. Selain itu kita juga akan dapat memastikan pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat melalui cara yang aman. Modifikasi diet, teknik kompensatori dan latihan otot-otot menelan menjadi metode yang digunakan untuk melatih kemampuan menelan pasien stroke dengan disfagia.

a. Pengaturan Menu atau Modifikasi Diet

1) Makanan berbentuk cair, semua melalui selang lambung atau NGT.

2) Seperempat porsi makanan lunak per oral, tiga per empat poersi makanan bentuk cair melalui NGT.

3) Setengah porsi makanan lunak per oral, setengah porsi makanan cair melalui NGT.

4) Tiga per empat porsi makanan lunak per oral, seperempat porsi makanan cair melalui NGT.

5) Seluruh porsi makanan lunak per oral, hanya air yang melalui NGT.

b. Teknik Kompensatori

Teknik kompensatori merupakan suatu teknik dimana akan ada perubahan posisi kepala atau badan dari pasien yang dapat mencegah terjadinya aspirasi dan membantu pergerakan bolus sehinga memudahkan bolus masuk ke faring dan esophagus. Beberapa teknik kompensatori adalah sebagai berikut :

1) Posisi duduk tegak, kepala simetris kedepan, kepala agak ditekuk. 2) Pada waktu menelan anjurkan pasien untuk menoleh ke sisi yang lemah.

(30)

3) Effortful Swallow dan double swallow , dengan cara ambil nafas dalam dan tahan, ambil dan suapkan makanan, telan, batuk cepat setalah makan, dan kembali nafas biasa.

c. Latihan Otot-Otot Mengunyah dan Menelan

Latihan dapat dilakukan sesuai hasil pemeriksaan dan observasi klinis yang telah dilakukan pada pasein :

1) Klinis : menurunnya pergerakan, kekuatan, dan koordinasi bibir dapat dilakukan latihan bibir dengan cara menganjurkan psien untuk membuka mulut, senyum, menyeringai, mengucapkan pa pa pa, ba ba ba dan bersiul.

2) Klinis : menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi lidah dapat dilakukan latihan dengan menganjurkan pasien untuk menjulurkan lidah, menyentuh bibir atas dan bawah dengan lidah, mendorong lidah kearah pipi kanan dan pipi kiri, dan mengucapkan la la la la.

3) Klinis : menurunnya pergerakan, kekuatan dan koordinasi rahang bawah dapat dilakukan latihan dengan menganjurkan pasien untuk membuka mulut dengan lebar, menggerakkan dagu dari kanan ke kiri dan sebaliknya.

4) Klinis : lemahnya reflek menelan dan batuk dapat dilakukan latihan dengan menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan hembuskan secara perlahan, tarik nafas panjang, ucapkan berulang ah ah ah, latihan tiup sedotan.

(31)

C. Latihan Menelan

1. Definisi

Latihan menelan adalah suatu terapi yang dilakukan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup gerak sendi dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita suara yang dapat meningkatkan kemampuan menelan. Terapi latihan menelan yang biasa digunakan adalah dengan cara latihan menelan langsung dan tidak langsung (Pandaleke, et al 2014).

2. Bentuk Latihan Menelan

a. Latihan Menelan Langsung

Latihan menelan langsung adalah suatu terapi yang dilakukan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup gerak sendi dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita suara yang dapat meningkatkan kemampuan menelan dengan cara memberikan makanan bertekstur lunak kemudian menggunakan beberapa teknik agar mempermudah bolus masuk ke faring dan esophagus.

1) Teknik Postural

Teknik postural merupakan suatu teknik dimana akan ada perubahan posisi kepala atau badan dari pasien yang dapat mencegah terjadinya aspirasi dan membantu pergerakan bolus sehinga memudahkan bolus masuk ke faring dan esophagus. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia. Sebaiknya terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang dialami penderita

(32)

sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik postural yang digunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head rotation, head tilt, dan lying down.

2) Modifikasi Volume dan Kecepatan Pemberian Makanan

pemberian makanan pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus yang besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang mengalami gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan untuk setiap bolus. Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat akan menyebabkan terkumpulnya bolus di dalam laring dan menyebabkan aspirasi sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara lambat akan mengurangi terjadinya aspirasi.

3) Modifikasi Diet

Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah menyebabkan aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat lunak lebih aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih kecil.

Selain itu, bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah dan membantu mempercepat terjadinya inisiasi fase faringeal. Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan

(33)

frekuensi pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein. Makanan diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali menelan. Penderita juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila menggunakan makanan kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang dapat dijadikan pilihan.

4) Compensatory Swallowing Maneuver

Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari proses menelan normal dibawah kontrol volunteer yang meliputi : effortful swallow yang bertujuan memperbaiki gerakan dasar lidah ke arah posterior selama fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan menggerakan lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu perjalanan bolus melewati rongga faring. Supraglotic swallow yang bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama proses menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi.

Makanan atau minuman di tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik napas dalam kemudian ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil tetap menahan napas, dan batuk dengan segera setelah menelan. Super-supraglotic swallow dirancang untuk menutup pintu masuk jalan napas secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke anterior, ke bagian dasar dari epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta menutup erat pita suara palsu. Mandehlson maneuver: penderita diminta untuk merasakan adanya sesuatu bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian melakukan

(34)

proses menelan kembali (menggunakan dry swallow atau dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian menelan dan rileks (Padaleke, et al 2014).

b. Latihan Menelan tidak Langsung

Latihan menelan tidak langsung adalah suatu terapi yang dilakukan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup gerak sendi dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita suara yang dapat meningkatkan kemampuan menelan dengan cara bantuan alat-alat kesehatan maupun suatu latihan yang dapat merangsang otot-otot menelan, adapun bentuk stimulasi dan latihannya yaitu:

1) Neuromuscular electrical stimulation (NMES), bekerja dengan memberikan stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini menunjukkan bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan amanuntuk penderita disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES ini efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker pada kepala dan leher, serta multipel sklerosis. (Smithard, 2014).

2) Shaker exercise

Shaker exercise adalah suatu bentuk latihan yang bertujuan untuk

memperkuat otot-otot suprahyoid di leher yang saat menelan meningkatkan gerakan ke atas dan ke depan dari tulang hyoid dan laring sehingga terjadi peningkatan pembukaan sfingter esofagus bagian atas dan akan memudahkan makanan untuk masuk kesaluran pencernaan bagian

(35)

bawah (Rudberg, et al 2105). Shaker exercise di lakukan dengan cara pasien berbaring di tempat tidur dan instruksikan pasien untuk flexi leher melihat ibu jari kakinya tanpa menganggkat bahu, latihan terdiri dari : isometrik yang dilakukan selama 60 detik menahan kepala dan beristirahat selama 60 detik, dan latihan isotonik dilakukan 30 kali pengulangan.

3) Toungue exercise

Toungue exercise atau latihan lidah adalah suatu bentuk latihan yang berfungsi untuk menguatkan otot lidah dan dilakukan dengan menganjurkan pasien untuk menjulurkan lidah, menyentuh bibir atas dan bawah dengan lidah, mendorong lidah kearah pipi kanan dan pipi kiri, dan mengucapkan la la la la (Misbach, 2011).

D. Jenis Makanan Semi Padat : Jelly 1. Komposisi Jelly

Komposisi yang terdapat didalam jelly yang akan diberikan kepada pasien stroke dengan disfagia adalah: karagenan, konnyaku bubuk, gula, pengatur keasaman kalium sitrat, frukto oligosakarida (FOS), kalsium laktat, Vitamin D (mengandung anti oksidan takoferol).

2. Manfaat Jelly

a. Membantu mengurangi kolesterol jahat yaitu LDL dan meningkatkan kadar kolesterol baik dalam tubuh. Mengkonsumsi jelly secara rutin membantu mencegah risiko penyakit jantung.

b. Baik untuk menjaga berat badan. Jelly rendah kalori, sehingga membantu menjaga berat badan yang ideal.

(36)

c. Membantu meningkatkan kekebalan tubuh. Jelly kaya karbohidrat dan vitamin B yang membantu meningkatkan kekebalan tubuh.

d. Memelihara kesehatan rambut. Jelly kaya sumber asam folat, yang membantu

menjaga kesehatan rambut. Asam folat baik untuk mencegah masalah rambut menipis dan rambut rontok.

e. Mengatasi arthritis. Jelly terbuat dari gelatin alami yang membantu meningkatkan pelumasan sendi dan mencegah kondisi arthritis pada wanita.

Jelly juga membantu mengurangi peradangan yang disebabkan oleh nyeri

sendi.

f. Mengurangi stres. Asam amino esensial dalam jelly membantu mengurangi stres dan mengurangi tanda-tanda depresi ringan pada wanita.

g. Jelly bermanfaat sebagai antioksidan dalam tubuh, karena klorofil yang terkandung dalam rumput laut berfungsi sebagai antioksidan. Yaitu dapat membantu membersihkan tubuh dari racun yang berbahaya bagi tubuh (Trachootham, et al 2015).

E. Aplikasi Model Konsep Teori Adaptasi Roy terhadap Masalah Disfagia pada Pasien Stroke

Menurut model konsep teori Roy manusia dipandang sebagai “adaptive system” yaitu sebagai sebuah sistem yang dapat menyesuaikan diri dan sebagai sistem adaptasi terbuka yang selalu mendapatkan stimulus untuk melakukan proses kontrol dan memberikan respon yang adaptif atau maladaptif terhadap stimulus tersebut (Tomey & Aligood, 2014). Sebagai sistem adaptasi terbuka pasien stroke dengan disfagia selalu mendapatkan stimulus dari lingkungan yang berupa perubahan kondisi yang dialami yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual

(37)

Stimulus fokal adalah faktor penyebab langsung terjadinya stroke yaitu gangguan suplai darah ke otak yang diakibatkan oleh sumbatan (stroke iskemik/infark) atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragik/bleeding). Ketika ini terjadi, sel-sel otak tidak mendapatkan darah dan oksigen yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Ini menyebabkan sel-sel saraf berhenti bekerja dan mati dalam hitungan menit. Kemudian bagian dari tubuh tidak bisa berfungsi dengan baik (AHA, 2016). Stimulus konstektual adalah stimulus yang berkontribusi terhadap stimulus fokal yang menunjang terjadinya stroke berupa stimulus konstektual internal (karakteristik pasien seperti usia, jenis kelamin) dan stimulus konstektual eksternal (keluarga, lingkungan perawatan dan tenaga kesehatan). Stimulus residual adalah stimulus yang belum jelas pengaruhnya terhadap kejadian stroke tetapi diyakini dapat mempengaruhi terjadinya stroke seperti kenyakinan, sikap dan pengalaman masa lalu.

Dengan stimulus tersebut dapat menimbulkan masalah fisik, dan psikologis pada pasien stroke. Masalah fisik yang sering dialami pasien stroke yaitu gangguan motorik, nyeri kepala, disartria, gangguan sensorik, muntah, disfagia, gangguan visual. Berdasarkan masalah tersebut pasien stroke berusaha melakukan proses kontrol melalui mekanisme koping untuk mempertahankan keseimbangan tubuh dalam menghadapi perubahan yang terjadi.

Mekanisme koping dalam mengahadapi masalah meliputi subsistem regulator dan kognator. Subsistem regulator adalah gambaran respon yang kaitannya dengan perubahan pada sistem saraf, kimia tubuh, dan organ endokrin yang merupakan mekanisme kerja utama yang berespon dan beradaptasi terhadap stimulus lingkungan.

(38)

Subsistem kognator adalah gambaran respon yang kaitannya dengan perubahan kognitif dan emosi, termasuk didalamnnya persepsi, proses informasi, pembelajaran, membuat alasan dan emosional.

Dalam penelitian ini mekanisme koping regulator berupa latihan menelan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengatasi masalah yang timbul akibat perubahan atau kelemahan pada sistem saraf dan otot-otot menelan pasien stroke yang mengakibatkan terjadinya disfagia. Program latihan menelan secara langsung maupun tidak langsung (subsistem regulator) akan mempengaruhi mode pada pasien yaitu fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Respon dari efek tersebut dimanifestasikan dalam kondisi adaptif atau maladpatif, dimana pada masalah pasien stroke dengan disfagia diharapkan mengalami kondisi yang adaptif.

(39)

F. Kerangka Teori

Untuk menguatkan landasan teori dan konsep dalam penelitian ini, dapat dikembangkan kerangka teori seperti skema dibawah:

Skema 2.1 Kerangka Teori

Sumber: Black & Hawks, 2014; Marchinko, S, 2005; Mottaghipour, Y. & Bickerton, 2005; Stuart, 2016; Tomey & Aligood, M. R., 2014.

Stroke

(Dampak ) melemahnya saraf Cranial Trigeminal (V), Fasial (VII)

Glosofaringeal (IX), Vagus (X) dan Hipoglosus (XII)

Shaker exercise & Latihan menelan

dengan jelly Disfagia Gejala klinis Stroke 1. Gangguan Motorik 2. Nyeri kepala 3. Kejang 4. Muntah 5. Penurunan kesadaran Teori Adaptasi Calista Roy 1.Adaptif 2.Mal Adaptif Pasien stroke membutuhkan

pengobatan dini dan perawatan intensif Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Lokasi Stroke 4. Jenis Stroke

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Banyaknya pasien yang mengalami gangguan nutrisi disebabkan oleh gejala yang timbul akibat serangan stroke seperti mual, muntah dan gangguan menelan sehingga

Pelayanan makanan dan minuman dengan metode pelayanan sendiri (self service) dapat diartikan sebagai suatu jenis pelayanan makanan dan minuman dimana para waiter/ess

Merupakan jenis bar yang khusus menjual makanan - makanan ringan disamping menjual berbagai jenis minuman baik beralkohol maupun tidak beralkholol, tetapi dalam jumlah

Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa,

Penghentian efek Alcohol withdrawal pada pasein biasanya adalah dengan mengkonsumsi alcohol itu sendiri, namun jika dalam keadaan yang sulit untuk memperoleh minuman alcohol,

Dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga berperan penting dalam proses kesembuhan pasien stroke yang mana pasien stroke sangat membutuhkan dorongan keluarga

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hotel merupakan suatu perusahaan yang dikelola oleh pemiliknya dengan menyediakan pelayanan makanan, minuman dan fasilitas

Menurut Direktorat Bina Gizi 2011 BTP adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan atau minuman yang biasanya bukan merupakan ingredients khas makanan, mempunyai atau