• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman pengendalian dan Restorasi Hutan Konservasi Terinvasi Merremia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman pengendalian dan Restorasi Hutan Konservasi Terinvasi Merremia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Removing Barriers to Invasive Species Management in

Production and Protection Forests in South East Asia –

Indonesia Programme

(FORIS Indonesia)

Pedoman pengendalian dan Restorasi

Hutan Konservasi Terinvasi Merremia

peltata di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan

Atok Subiakto

Mawazin

Ragil SB Irianto

R Garsetiasih

Soekisman Tjitrosoedirjo

Titiek Setyawati

Sunardi

(3)

ii

(4)

Pedoman pengendalian dan restorasi hutan konservasi terinvasi

Merremia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan © 2016

FORIS Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan oleh:

FORIS Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Isi dan Materi yang ada pada buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan tanpa mengurangi isi dan arti dokumen ini. Diperbolehkan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumber.

Tim Pengarah:

Ir. Arief Yuwono, MA (Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Dr. Henry Bastaman, MES (Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Penulis:

Subiakto A, Mawazin, Irianto R, Garsetiasih R. Setyawati T, Tjitrosoedirjo S, Sunardi. 2016. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Hutan Konservasi Terinvasi Merremia Peltata di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan. Bogor (ID): FORIS Indonesia.

Kontributor

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, GEF Trust Fund 0515 UNEP-CABI dan Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Desain Sampul

Sunardi

FORIS Indonesia Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16118 Phone/Fax: 0251 7520067

(5)

iv

 

KATA PENGANTAR

Kita panjatkan puji dan syukur atas segala rahmat Allah SWT yang telah memungkinkan tersusunnya buku “Pedoman Pengendalian dan Restorasi Hutan Konservasi Terinvasi Merremia Peltata di Taman

Nasional Bukit Barisan Selatan”. Pedoman ini disusun atas dasar pengalaman pelaksanaan serangkaian riset pengendalian mantangan dan restorasi ekosistem yang dilakukan Tim Foris di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaksana teknis dilapangan untuk mengendalikan mantangan, khususnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Pedoman ini masih bersifat petunjuk awal, mengingat masih terbatasnya kegiatan riset yang dilakukan sejak tahun 2013. Sejalan dengan tersedianya data lanjutan dan riset selanjutnya, penyempurnaan akan terus dilakukan baik pada teknik pengendalian mantangan maupun pada aspek restorasi ekosistem.

Foris menyampaikan ucapan terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu penyelesaian buku panduan ini. Semoga buku panduan ini bermanfaat dalam pengelolaan hutan konservasi, khususnya dalam pengendalian jenis asing invasif dan restorasi ekosistem.

(6)

DAFTAR ISI

 

Kata pengantar iii

PENDAHULUAN 1

MAKSUD DAN TUJUAN 2

PERENCANAAN PENGENDALIAN DAN RESTORASI EKOSISTEM

3

Penentuan area 3

Pemetaan dan perancangan 3 Persiapan tenaga kerja, peralatan dan bahan 3 PELAKSANAAN DI LAPANGAN 4 Pembangunan gubug kerja 4 Mekanisme pengendalian 4 Mekanisme restorasi ekosistem 8 BIAYA PENGENDALIAN DAN RESTORASI EKOSISTEM 14

Biaya pengendalian 14 Biaya restorasi ekosistem 14

PENUTUP 15

(7)
(8)

PENDAHULUAN

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TN BBS) terbentang dari selat sunda hingga Propinsi Bengkulu (Dirjen PHKA 2002). TNBBS merupakan habitat beragam tumbuhan unik seperti bunga bangkai

(Raflesia arnoldi), damar mata kucing (shorea javanica) dan keruing

(Dipterocarpus haseltii). TNBBS juga merupakat habitat satwa langka

yang dilindungi seperti harimau sumatera (Panthera tigris), Badak

sumatera (Rhinoceros sumatranus) dan gajah (Elephantus tigris)

(WCS-IP 2001).

Di kawasan bagian Selatan TN BBS terjadi masalah invasi mantangan, yang telah menguasai kawasan seluas 7000 Ha di Tampang Belimbing (Dirjen PHKA 2002; Suyadi 2011). Perluasan mantangan relatif cepat terutama di tempat yang terbuka. Degradasi hutan dan pembukaan jalan juga menjadi penyebab masuknya mantangan seperti di Pemerihan (Gaveaua et al 2007; Suyadi 2011). Di kawasan yang berbatasan dengan lahan masyarakat yang dipisahkan oleh jalan propinsi yang menghubungkan Kota Agung dan Krui, terdapat beberapa titik penyebaran mantangan.

Pengendalian mantangan akan lebih efektif bila dimulai di kawasan yang baru di invasi mantangan karena akan menghambat perluasan area invasi baru. Oleh sebab itu kawasan penyebaran mantangan di Pemerihan dinilai ideal untuk dimulainya kegiatan riset pengendalian mantangan di TN BBS.

Mantangan (Meremia peltata) adalah salah satu jenis

tumbuhan invasif merambat yang pertumbuhannya cepat dan mendominasi lantai hutan serta mampu memanjat menutupi tajuk tumbuhan lainnya (Mardiati 2014; Master 2013). Kawasan yang dikuasai mantangan akan terlihat homogen, tidak tampak keragaman

(9)

2

 

jenis, karena jenis lain bahkan pohon-pohonan tajuknya tersembunyi dibalik dedaunan mantangan. Mantangan memiliki kemampuan mendesak jenis-jenis tumbuhan lokal dan bahkan jenis fauna lokalpun akan terdesak.

Batang mantangan memiliki ruas panjang antara 5-30 cm dan tiap-tiap ruas dapat tumbuh akar yang membentuk tunas-tunas baru dan membentuk percabangan batang baru. Batang mantangan mengeluarkan getah berwarna putih bila terluka. Ciri khas lain mantangan adalah daunnya yang lebar dengan kisaran ukuran 7.5 – 25 x 7 – 20 cm (FAO Technical Bulletin).Mantangan menyukai cahaya untuk pertumbuhannya, pucuk-pucuk batang akan tumbuh dan berusaha mencapai permukaan tertinggi hingga 20 m untuk mendapat cahaya matahari (Paynter et al 2006). Kelemahan mantangan yang

memerlukan cahaya matahari penuh ini dapat dimanfaatkan pada kegiatan pengendalian mantangan yaitu dengan menutup sinar matahari mencapai lantai hutan dengan penanaman jenis pohon lokal cepat tumbuh.

MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud penyusunan buku panduan ini adalah untuk memberikan acuan kepada pelaksana teknis lapangan tentang aspek teknis pengendalian dan restorasi kawasan hutan yang terinvasi mantangan di TN BB.

Tujuan penyususnan pedoman ini adalah dapat mengontrol dan mengendalikan populasi mantangan agar tidak mengganggu ekosistem kawasan hutan konservasi khususnya di TN BBS, serta memulihkan kawasan hutan TN BBS yang terdegradasi akibat invasi mantangan.

(10)

PERENCANAAN PENGENDALIAN DAN RESTORASI

EKOSISTEM

Penentuan area

Area yang akan ditetapkan sebagai area kerja pengendalian dan restorasi adalah kawasan hutan yang telah diinvasi oleh mantangan secara masif maupun secara sporadis. Besaran luas area kerja tahunan ditetapkan berdasarkan anggaran tahunan yang tersedia. Penetapan area didasarkan pada aksesibilitas dan tingkat prioritas untuk pengendalian. Prioritas pelaksanaan pengendalian dan restorasi diawali dari tepi area perluasan invasi mantangan. Hal ini dimaksudkan agar invasi mantangan tidak meluas ke kawasan baru dan mengurung kawasan yang terinvasi. Utamakan area pada spot-spot invasi baru seperti di kawasan seputar Pemerihan.

Pemetaan dan perancangan

Area yang telah ditentukan selanjutnya dipetakan. Peta kerja idealnya dibuat dengan skala 1:20.000. Pemetaan secara digital dengan bantuan GPS akan memudahkan dalam pelaksanaan pengendalian. Petak kerja akan di plotkan pada peta kerja.

Persiapan tenaga, peralatan dan bahan

Tim pelaksana segera melakukan pendataan ketersedian tenaga buruh disekitar lokasi pelaksanaan. Tim juga melakukan inventarisasi dan pengadaan peralatan dan bahan seperti GPS, parang, meteran, alat sprayer, ember, alat ukur volume (gelas ukur), sarung tangan, masker, dan herbisida.

(11)

4

 

PELAKSANAAN DI LAPANGAN

Pembangunan gubug kerja

Bila kegiatan pengendalian mantangan dan restorasi ekosistem dilakukan pada area diatas 100 Ha maka perlu membangun gubug kerja yang berfungsi sebagai tempat berkoordinasi, pengorganisasian tenaga kerja, menyusun rencana kerja harian, berinteraksi dengan masyarakat, tempat istirahat dan sarana penyimpanan peralatan dan bahan. Gubuk kerja umumnya terdiri dari ruang berkumpul terbuka untuk pertemuan/pengarahan, kamar tidur, toilet, dapur dan gudang peralatan. Contoh gubug kerja disajikan pada Gambar 1 berikut. Sarana lain yang ada disekitar gubug kerja adalah persemaian untuk kegiatan restorasi ekosistem.

Gambar 1. Contoh gubug kerja

Mekanisme pengendalian

Bentuk invasi mantangan dapat berupa penguasaan lahan (lantai hutan) maupun tajuk atau canopy pohon. Alur teknis pengendalian mantangan yang umumnya dilaksanakan dijelaskan berikut ini:

1. Pengorganisasian, pengarahan dan pengerahan tenaga kerja 2. Pelaksanaan penebasan

(12)

4. Monitoring dan evaluasi

5. Restorasi ekosistem (dijelaskan secara terpisah pada sub bab berikut)

Prosedur pengendalian mantangan tersebut diatas dilakukan untuk kondisi invasi mantangan di lantai hutan. Hasil uji penebasan di kawasan pemerihan, menunjukan bahwa mantangan yang yang menginvasi kanopi atau tajuk pohon, pengendalian cukup dengan penebasan saja. Tidak perlu dilakukan penyemprotan herbisida. Pengorganisasian tenaga kerja adalah kegiatan merekrut tenaga kerja diutamakan adalah masyarakat sekitar hutan dan mengatur pembagian kerja dengan membentuk tim kerja. Pengarahan tenaga kerja adalah kegiatan memberikan petunjuk dan bimbingan untuk melaksanakan kegiatan seperti pembabatan dan penyemprotan herbisida. Pada saat pengarahan tenaga kerja didata pekerja yang memiliki ketrampilan khusus seperti pengenalan jenis atau ketrampilan penyemprotan herbisida. Pengerahan tenaga kerja adalah kegiatan menyebarkan tenaga kerja ke petak kerja sesuai dengan tugas masing-masing pekerja. Pengorganisasian, pengarahan dan pengerahan tenaga kerja dilakukan oleh Tenaga Teknis (Ganis) TN BBS, yang juga bertindak sebagai supervisor atau pengawas.

Pelaksanaan penebasan mantangan dilakukan pada petak kerja yang telah ditetapkan pada peta kerja. Pada kawasan yang bertopografi berat, penebasan dapat dilakukan secara manual dengan parang atau arit. Untuk menghindarkan terjadinya kecelakaan kerja, pengaturan posisi pekerja dalam penebasan dilakukan dalam baris horisontal (Gambar 2). Penebasan dilakukan dengan hati-hati agar tidak menebas anakan alam jenis pohon lokal. Pada saat uji penebasan

(13)

6

 

ditemukan beberapa anakan alam keruing (Dipterocarpus humeratus)

yang hampir mati karena seluruh tajuknya telah tertutupi mantangan. Setelah dilakukan penebasan mantangan, anakan-anakan tersebut cepat pulih dan menghasilkan banyak tajuk baru.

Gambar 2. Penebasan dengan pengaturan posisi pekerja secara horizontal

Penyemprotan atau pengolesan herbisida adalah kegiatan untuk mematikan batang mantangan yang telah ditebas. Bila setelah penebasan tidak dilakukan aplikasi herbisida, maka akan tumbuh tunas-tunas baru dari potongan batang mantangan. Hal penting yang harus diperhatikan dalam menentukan jenis herbisida adalah jenis bahan aktifnya. Jenis bahan aktif akan menentukan efektifitas pada jenis gulma tertentu, harga dan tingkat bahaya pada manusia. Herbisida berbahan aktif triklopir dinilai cukup efektif mengendalikan beberapa jenis gulma (Tjitrosoedirdjo et al 2011). Bila telah memilih

jenis herbisida, wajib membaca label yang tertera pada kemasan. Informasi yang tertera mencakup: bahan aktif, dosis ideal, bahaya

(14)

keracunan dan cara mengatasi, keterbatasan obat dan tanggal kadaluarsa. Lakukan pengenceran herbisida dengan benar sesuai anjuran. Herbisida dapat diencerkan dengan air atau BBM solar. Untuk penyemprotan mantangan pencampuran dilakukan dengan air. Bila menggunakan solar akan cepat merusak karet pada alat sprayer. Herbisida adalah bahan beracun. Perhatikan kesehatan tenaga penyemprot dengan mengenakan alat pengaman kesehatan seperti sarung tangan dan masker (lihat Gambar 3), dan mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan penyemprotan. Penyemprotan diarahkan pada tunggul-tunggul mantangan dan menghindarkan penyemprotan pada anakan alam jenis pohon lokal. Pada lahan dengan topografi landai aplikasi herbisida dapat dilakukan dengan pengolesan. Pengolesan dilakukan menggunakan kuas pada tunggul batang mantangan yang telah ditebas. Pada topografi yang bergelompang, pengolesan sulit dilakukan karena ember berisi campuran herbisida mudah tumpah bila pekerja berjalan pada topografi yang berat.

Gambar 3. Pencampuran dan penyemprotan herbisida

Kegiatan monitoring penting dilakukan untuk menilai efektifitas dari tindakan yang telah dilakukan. Monitoring juga bertujuan untu menilai

(15)

8

 

apakah perlu dilakukan pengulangan tindakan, atau menentukan dimana saja pengulangan tindakan perlu dilakukan. Kegagalan monitoring dan evaluasi pada tindakan aplikasi herbisida, dapat menyebabkan gulma menjadi resisten terhadap herbisida yang digunakan.

Mekanisme restorasi ekosistem

Setelah tindakan pengendalian selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan kegiatan restorasi ekosistem. Restorasi ekosistem adalah upaya mengembalikan kondisi hutan menjadi kondisi sebelum terjadi kerusakan. Restorasi ekosistem dilakukan berbasis kondisi awal sebelum terjadi kerusakan. Tahapan restorasi dijelaskan berikut ini: 1. Penyiapan bibit jenis pioneer dan klimaks

2. Penetapan pola restorasi

3. Pengorganisasian, pengarahan dan pengerahan tenaga kerja 4. Penyiapan lahan tanam sesuai dengan pola restorasi

5. Penanaman tahap 1 dengan jenis pioneer 6. Pemeliharaan pertama (3 bulan setelah tanam)

7. Pemeliharaan lanjutan (6 bulan, 12 bulan, 18 bulan dan 24 bulan setelah tanam)

8. Penanaman tahap 2 dengan jenis klimaks bila tajuk pohon pioneer dinilai telah cukup memberi naungan

9. Monitoring dan evaluasi

Penyiapan bibit jenis pioneer dan klimaks dilakukan dengan membibitkan jenis-jenis tersebut di persemaian. Jenis pioneer indigenous (lokal) di TN BBS antara lain: jabon (Anthocephalus

(16)

triloba), pulai (Alstonia scholaris), randu hutan (Bombax valentonii) dan

manglid (Michelia champaca). Jenis klimaks indigenous (lokal) di TN

BBS antara lain: meranti (Shorea sp), merawan (Hopea sp), keruing

(Dipterocarpus humeratus), mersawa (Anisoptera sp), dan ulin

(Eusideroxylon swageri). Bahan tanaman berupa biji atau cabutan

anakan alam dapat dikumpulkan dari lantai hutan dibawah pohon induknya (Gambar 4 dan 5). Pengumpulan biji atau cabutan anakan alam jangan hanya dilakukan pada satu tempat tapi harus memperhatikan keragaman genetik pohon induk. Pengumpulan bahan tanaman diambil dari beberapa titik pengumpulan yang cukup berjauhan, untuk memastikan materi yang dikumpulkan tidak memiliki kekerabatan genetik.

Gambar 4. Pengumpulan biji di bawah pohon induk di hutan alam

(17)

10

 

Bahan tanaman yang telah dikumpulkan selanjutnya di tanam di persemaian yang dibangun disekitar gubug kerja dan tidak jauh dari lokasi penanaman. Biji yang diperoleh di kecambahkan pada bak tabur, dan bila telah tumbuh disapih ke wadah tanam seperti polybag (gambar 6). Penggunaan wadah tanam yang terurai akan memudahkan penanaman (tidak perlu membuka wadah), dan menghindarkan sampah plastik di lantai hutan. Bibit anakan alam segera ditanam dalam sungkup plastik selama sebulan (Gambar 7).

Gambar 6.Pengecambahan biji dan penyapihan menggunakan wadah tanam yang mudah terurai (bio-degradable)

(18)

Penetapan pola restorasi dilakukan dengan mengevaluasi kondisi kawasan yang akan di restorasi. Bila kondisi terbuka dengan sedikit pohon tersisa, maka pola restorasi yang dillakukan adalah suksesi bertahap. Konsep pada pola ini penanaman dilakukan secara bertahap (Gambar 8). Bila kondisi kawasan terdegradasi masih tersisa beberapa tanaman tingkat tiang dan pohon, maka pola restorasi yang digunakan adalah percepatan suksesi alam (accelerated succesion). Pada pola ini dilakukan pengkayaan baik jenis pioneer maupun jenis klimaks.

Kondisi awal Setelah penebasan

mantangan Setelah jenis pioneer penanaman

Gambar 8. Konsep suksesi bertahap; penanaman tahap 1 dengan jenis pioneer; penanaman tahap 2 dengan jenis klimaks

Pengorganisasian, pengarahan dan pengerahan tenaga kerja dilakukan oleh Tenaga Teknis (Ganis) TN BBS dengan tujuan seperti telah dijelaskan sebelumnya. Namun pada kegiatan restorasi tindakan yang dilakukan dimulai dari pembibitan, penanaman hingga perawatan tegakan.

Penyiapan lahan tanam dilakukan satu bulan setelah tindakan penebasan dan penyemprotan selesai dilakukan. Penanaman dapat dilakukan dengan pola baris (line planting), pola segi empat (square planting), pola berkelompok (cluster planting) atau secara acak (random planting). Penyiapan lahan tanam dilakukan dengan

(19)

12

 

penebasan di jalur tanam dan pembuatan lubang tanam sesuai dengan jarak tanam yang ditetapkan.

Penanaman tahap 1 dilakukan dengan menanam jenis pioneer. Beberapa jenis pohon pioneer lokal TN BBS telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Pada uji penanaman yang dilakukan di TN BBS digunakan jenis pioneer jabon (Anthocephalus cadamba) dan manglid

(Michelia champaca). Jarak tanam yang digunakan 3 x 3 meter

(Gambar 9).

Gambar 9. Penanaman jenis pioneer dan jenis klimaks

Perawatan tegakan setelah penanaman idealnya dilakukan 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan setelah penanaman. Perawatan tegakan dilakukan secara manual dengan membersihkan gulma disekitar bibit yang ditanam.

Penanaman tahap 2 dengan menanam jenis klimaks. Penanaman tahap 2 dilakukan setelah tajuk jenis pioneer yang ditanam pada tahap 1 telah mengurangi sinar matahari mencapai lantai hutan. Jarak tanam yang digunakan bisa lebih lebar seperti 3 x 6 meter.

Monitoring dan evaluasi restorasi ekosistem dijadikan dasar kapan dapat dilakukan penanaman tahap ke 2 dengan jenis klimaks dibawah

(20)

naungan jenis pioneer. Kegiatan ini juga dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan upaya penanaman dan pencegahan invasi lanjutan. Monitoring dapat dilakukan secara langsung atau menggunakan pesawat drone yang dilengkapi dengan kamera (Gambar 10)

Gambar 10. Monitoring dengan pendataan langsung dan menggunakan pesawat drone dengan kamera

(21)

14

 

BIAYA PENGENDALIAN DAN RESTORASI

Biaya pengendalian

Pengendalian populasi mantangan di TN BBSA dilakukan dengan teknik sederhana yaitu penebasan. Teknik lain seperti penggunaan traktor dan buldozer dapat juga dilakukan khususnya pada kawasan yang topografinta relatif landai. Namun dalam pedoman ini perhitungan biaya didasarkan pada kegiatan penebasan. Estimasi biaya yang diperlukan untuk pengendalian per hektar kawasan, pada kondisi tutupan berat mantangan dijelaskan berikut ini:

 Pembabatan 44 HOK (kondisi tutupan tebal dan padat, topografi berat) (Rp 100.000,-/HOK) : Rp 4.400.000,-

 Herbisida (Lindomin, 10 mL/1L; 600mL/Ha) : Rp 78.000,-

 Pembelian bahan dan alat habis pakai sarung tangan, masker, ember, gelas ukur (1 paket/Ha) : Rp 175.000,-

 Total per hektar : Rp 4.653.000,-

Biaya restorasi ekosistem

Restorasi ekosistem kawasan hutan TN BBS yang terdegradasi akibat invasi mantangan dilakukan dengan pola penanaman bertahap dengan jenis pioneer dan jenis klimaks

 Penyiapan lahan 20 HOK/Ha (100.000,-/HOK) Rp 2.000.000,-

 Pengadaan bibit jenis pioneer (jarak tanam 3 x 3 m = 1.100 bibit/Ha; biaya pembibitan per batang Rp 2.500,-): Rp 2.750.000,-

 Pengadaan bahan dan alat (pacul, pupuk, ajir; paket/Ha) : Rp 1.900.000,-

 Biaya penanaman jenis pioneer 1.100 batang/Ha; 11 HOK : Rp 1.100.000,-

(22)

 Perawatan tegakan untuk satu kali tindakan 20 HOK: Rp 2.000.000,-

 Pengadaan bibit jenis klimaks (jarak tanam 3 x 6 m = 555 bibit/Ha; biaya pembibitan per batang Rp 5.000,-) : Rp 2.775.000,-

 Penyiapan lahan 10 HOK/Ha : Rp 1.000.000,-

 Penanaman tahap 2 dilakukan antara tahun ke 2 atau tahun ke 3 tergantung kecepatan tutupan tajuk jenis pioneer, 555 bibit/Ha; 6 HOK: Rp 600.000,-

(23)

16

 

PENUTUP

Bentuk invasi mantangan di TN BBS dapat digolongkan pada dua bentuk yaitu, invasi masif seperti di kawasan Tampang Belimbing. Dimana invasi mantangan terjadi pada hamparan yang luas (diatas 10 Ha). Bentuk kedua adalah invasi sporadis dengan luas dibawah 10 Ha, seperti yang terjadi pada beberapa titik di seputar Pemerihan. Pada kawasan dengan invasi yang masif, pengendalian harus dilakukan dengan program jangka panjang (diatas 10 tahun), tergantung ketersedian dana per tahunnya. Pada kawasan dengan invasi sporadis dapat dilakukan dalam program jangka pendek yaitu 2 - 3 tahun saja. Biaya pengendalian dan restorasi amat tergantung pada kondisi tutupan tajuk dan topografi alam. Taksiran biaya diatas adalah pada kondisi hutan terdegradasi berat dengan topografi berat. Mengingat biaya pengendalian jenis tumbuhan invasif dan restorasi ekosistem sangat tinggi, maka program pengelolaan jenis tumbuhan invasif yang paling afektif adalah dengan memperkuat kemampuan deteksi dini dan respon cepat sebelum terjadinya invasi jenis asing. Secara teknis restorasi kawasan hutan terdegradasi akibat invasi mantangan masih dapat dilakukan, karena masih tersedia materi genetik dengan tingkat keragaman yang lebar di tegakan hutan alam yang masih utuh yang diperlukan untuk kegiatan restorasi ekosistem.

(24)

PUSTAKA

DIRJEN PHKA (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) 2002. Kajian Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Penetapan areal zonasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. DIRJEN PHKA – DEPHUT.

Gaveaua DLA, Wandono H, Setiabudi F. 2007. Three decades of devorestation in Southwest Sumatera: Have protected area

halted forest loss and logging, and promoted re-growth. Biological

Conservation 134: 495-504.

Mardiati, Y. 2014. Physiological Character of Merremia peltata (L.)

Merrill from Bukit Barisan Selatan National Park Lampung. Thesis

submitted to the School of Post Graduate, Bogor Agricultural University, to obtain her Magister degree.

Master, J. 2013. Negative impact of Merremia peltata (l.) Merrill

invasion on plant diversity in Bukit Barisan Selatan National Park.

Thesis submitted to to the School of Post Graduate, Bogor Agricultural University, to obtain his Magister degree.

Suyadi. 2011. Deforestation in Bukit barisan Selatan National Park,

Sumatera, Indonesia. Jurnal Biologi Indonesia 7:195-206.

Paynter, Q., Harman, H., and Waipara, N. 2006. Prospect for biological control of Merremia peltata. Conservation International – The

Pacific Invasive Innitiative.

Tjitrosoedirdjo, S. T.Setyawati, R. Irianto, dan A.Subiyakto. 2011. The efficacy of triclopyr to control savanna weeds in Baluran National Park, East Java, Indonesia ( In Indonesian). Baluran Buletion Edisi Januari April, 2011 :25 –35.

WCS-IP (Wildlife Conservation Society – Indonesian Program. 2001. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dalam ruang dan waktu. Laporan hasil penelitian 2000 – 2001. PHKA/WCS-IP

(25)

18

Gambar

Gambar 1. Contoh gubug kerja
Gambar 2. Penebasan dengan pengaturan posisi pekerja secara  horizontal
Gambar 3. Pencampuran dan penyemprotan herbisida
Gambar 4. Pengumpulan biji di bawah pohon induk di hutan alam
+5

Referensi

Dokumen terkait

Disepanjang jalur ini, di bagian kiri dan kanan adalah kawasan Hutan Lindung Sibayak II Tahura Bukit Barisan, sehingga merupakan trek yang bagus untuk mewakili pengunjung

peltata di bawah intensitas cahaya rendah (naungan 90 %) memiliki indeks fisiologi tinggi dan alokasi proporsi hara dan fotosintat yang cukup untuk pertumbuhan

Persepsi yang paling banyak dikemukakan oleh masyarakat penelitian sebesar 28 %, yaitu bahwa Tahura Bukit Barisan adalah kawasan yang memiliki manajemen pengelolaan yang buruk

Berdasarkan penelitian tentang penilaian ekonomi hasil hutan bukan kayu yang telah dilakukan oleh Utama (2004) di desa sekitar hutan di Kawasan Ekosistem Leuser

Balai Besar TNBBS dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka menjaga keutuhan kawasan taman nasional dengan tujuan pemantapan kawasan

Nilai keragaman pada ketiga lokasi di Resort Balik Bukit TNBBS ternyata lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai keragaman di Youth Camp pada penelitian Ariza (2014),

Eksplorasi Tumbuhan Beracun Sebagai Biopestisida pada Kawasan Hutan Lindung Simancik II di Taman Hutan Raya Bukit Barisan.. Dibimbing oleh YUNUS AFIFUDDIN dan LAMEK

Teknik pengendalian tebang bakar optimal dilaksanakan pada musim kemarau sehingga saat awal musim hujan dapat dilakukan restorasi ekosistem dengan melakukan penanam rumput.