• Tidak ada hasil yang ditemukan

POPULASI, SAMPEL, DAN PEMILIHAN SUBYEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POPULASI, SAMPEL, DAN PEMILIHAN SUBYEK"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

POPULASI, SAMPEL, DAN

PEMILIHAN SUBYEK

“Never doubt that a small group of committed citizens can change the world. Indeed, it's the only thing that has” - Margaret Meade

PENDAHULUAN

Temuan riset kesehatan masyarakat ditujukan untuk memperoleh kesimpulan umum yang valid tentang populasi manusia, bukan orang per orang atau kelompok kecil manusia. Persoalannya, tidak mungkin peneliti mengamati semua subyek dalam populasi yang sangat besar untuk membuat kesimpulan tentang karakteristik maupun fenomena yang ada pada populasi itu. Peneliti hanya dapat mengamati sebagian dari populasi besar, yang dinamakan sampel. Jika peneliti memilih sampel dengan tepat, maka penaksiran tentang distribusi dan hubungan paparan-penyakit tidak jauh meleset.

Tutorial ini dimulai dengan pengantar tentang alasan melakukan pencuplikan, dan menjelaskan konsep-konsep dasar populasi, sampel, dan pencuplikan. Kemudian Tutorial ini mendeskripsikan kategorisasi desain pencuplikan, mengupas jenis-jenis teknik pencuplikan, serta mengklarifikasi sejumlah prinsip dan konsep seputar pencuplikan yang sering dikacaukan.

Sebelum membahas aspek-aspek di atas, satu hal perlu diketahui. Terma elemen, subyek, anggota, individu, unit, item, akan digunakan secara silih-berganti untuk merujuk kepada pengertian yang sama – yaitu, bagian terkecil dari populasi yang secara sendiri-sendiri atau kelompok (klaster) merupakan materi untuk dicuplik membentuk sampel. Mari kita mulai saja perjalanan kita.

(2)

MENGAPA MELAKUKAN PENCUPLIKAN?

Dalam menganalisis hubungan paparan-penyakit, peneliti umumnya tidak menyelidiki seluruh populasi, melainkan sebuah sampel dari populasi, untuk menarik kesimpulan (inferensi) tentang populasi itu. Gambar 7.1. menyajikan pencuplikan sampel dan inferensi populasi.

Pencuplikan (sampling) memberikan sejumlah keuntungan (Gerstman, 1998; Kothari, 1990; Cochran, 1977): (1) Mengurangi biaya penelitian; (2) Meningkatkan kecepatan pengumpulan dan analisis data; (3) Meningkatkan akurasi pengumpulan data karena berkurangnya volume kerja; (4) Memperluas perolehan informasi tentang berbagai faktor.

Pendeknya pencuplikan memberikan cara praktis, cepat, dan ekonomis untuk memperoleh informasi yang diinginkan peneliti. Tetapi sebelum mengupas cara mencuplik sampel, perlu dipahami dulu konsep-konsep dasar terkait pencuplikan.

POPULASI DAN SAMPEL Populasi

Populasi adalah keseluruhan elemen/subyek riset (misalnya manusia). Populasi dapat terbatas atau tak terbatas. Populasi terbatas jika elemen-elemen dapat dihitung. Contoh: semua pria di Indonesia; semua wanita umur 15–49 tahun. Populasi tak terbatas jika elemen-elemen penelitian tak terhitung banyaknya. Contoh: jumlah eritrosit dalam tubuh manusia; jumlah orang yang positif HIV di Indonesia. Sesungguhnya tidak ada populasi

Pencuplikan (sampling) Inferensi

Sampel Populasi

(3)

yang tak terbatas. Persoalannya hanya ketidakmampuan menghitung elemen-elemen di dalam populasi, paling tidak dalam jangka waktu yang tersedia.

Populasi sumber Populasi sasaran Sampel (populasi studi) Populasi eksternal Validitas eksternal Inferensi statistik Kelompok studi Kelompok studi Validitas internal

Gambar 7.2. Populasi, sampel, dan validitas inferensi.

Populasi Sasaran

Populasi sasaran (populasi target, reference population) (Last, 2001; Hennekens dan Buring, 1987; Mercer, 1991; Kleinbaum et al., 1982) – merupakan keseluruhan subyek, item, pengukuran, yang ingin ditarik kesimpulan oleh peneliti melalui inferensi. Tujuan utama riset adalah untuk memperoleh gambaran distribusi (epidemiologi deskriptif) atau penjelasan tentang fenomena hubungan paparan-penyakit (epidmiologi analitik) yang terjadi pada populasi sasaran. Sejauh mana temuan-temuan tentang distribusi atau hubungan paparan-penyakit seperti ditunjukkan oleh statistik sampel adalah sahih untuk digunakan menarik inferensi tentang parameter yang sama pada populasi sasaran disebut validitas internal.

Contoh: Dalam suatu studi kohor pengaruh kontrasepsi oral (OC) terhadap infark otot jantung (MI), populasi sasarannya adalah semua wanita Indonesia keturunan Cina

(4)

berusia 25–49 tahun yang tinggal di perkotaan (urban). Perhatikan Gambar 7.2. tentang populasi dalam riset epidemiologi.

Populasi Sumber

Populasi sumber (source population, actual population) (Mercer, 1991; Kleinbaum et al., 1982) merupakan himpunan subyek dari populasi sasaran yang digunakan sebagai sumber pencuplikan subyek penelitian. Contoh: Populasi sasaran studi OC dan MI adalah wanita Indonesia keturunan Cina berusia 25–49 tahun yang tinggal di perkotaan. Maka peneliti dapat menentukan populasi sumber berupa populasi yang memenuhi kriteria tersebut, tinggal di sejumlah kota yang terpilih (dus tidak semua kota di Indonesia), dan mengunjungi klinik keluarga berencana (KB).

Prinsipnya, populasi sumber memiliki karakteristik yang sama dengan populasi sasaran. Jikalau terdapat karakteristik yang berbeda (misalnya, mengunjungi atau tidak mengunjungi klinik KB) maka harus diyakinkan perbedaan itu tidak berhubungan dengan pemakaian OC maupun kejadian MI. Jika kunjungan ke klinik KB berhubungan dengan pemakaian OC, dan peneliti memutuskan untuk menggunakan pengunjung klinik KB saja (dan tidak menggunakan bukan pengunjung klinik KB) sebagai populasi sumber, maka inferensi hasil studi hanya valid untuk “subset” populasi sasaran tersebut, yakni populasi wanita Indonesia keturunan Cina berusia 25–49 tahun yang tinggal di perkotaan dan pengunjung klinik KB.

Dari populasi sumber dapat dibuat kerangka pencuplikan (sampling frame), yaitu daftar semua subyek dalam populasi sumber yang digunakan sebagai basis pemilihan subyek ke dalam sampel.

Sampel

Sampel (study population) (Last, 2001; Hennekens dan Buring, 1987; Kleinbaum et al., 1982) merupakan sebuah subset yang dicuplik dari populasi, yang akan diamati atau diukur peneliti. Perhatikan Tabel 7.1, pencuplikan sampel dapat dilakukan secara random atau non-random, dengan restriksi atau tanpa restriksi pemilihan subyek.

(5)

Dalam studi epidemiologi dikenal kriteria restriksi pemilihan subyek yang disebut eligibility criteria – pernyataan eksplisit tentang syarat-syarat subyek untuk dapat dimasukkan ke dalam sampel. Kriteria eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi (kriteria dimasukkan) dan kriteria eksklusi (kriteria dikeluarkan).

Beberapa di antara anggota sampel yang memenuhi syarat mungkin tidak bersedia untuk berpartisipasi, menarik diri dari partisipasi, atau hilang selama follow up pengamatan. Proporsi subyek dalam sampel yang bersedia ikut serta dalam penelitian disebut tingkat partisipasi (response rate, participation rate). Non-partisipan dapat mengancam validitas, disebut non-response bias (withdrawal bias, loss to follow up bias) (Gerstman, 1998).

Tingkat partisipasi dikatakan dapat diterima (acceptable) jika lebih besar dari 85%, terlalu rendah jika kurang dari 50% (Agudo dan Gonzalez, 1999). Contoh, hingga 40 tahun follow-up, studi kohor Doll, Hill, dan Peto di Inggris tentang hubungan merokok dan kematian karena kanker paru dengan sangat mengesankan mampu mempertahankan 94% dari keseluruhan 40,000 subyek penelitian yang direkrut sejak 1951 (Doll dan Peto, 1976; Doll et al., 1994).

Populasi Eksternal

Populasi eksternal (external population) adalah populasi yang lebih luas atau di luar populasi sasaran tetapi peneliti masih berminat membuat generalisasi (ekstrapolasi) temuan riset (Gerstman, 1998; Kleinbaum et al, 1982). Tujuan utama riset epidemiologi adalah memperoleh gambaran distribusi penyakit, atau penjelasan tentang hubungan paparan-penyakit pada populasi sasaran. Kadang-kadang peneliti masih ingin mengekstrapolasikan hasil risetnya di luar populasi sasaran – disebut populasi eksternal. Sejauh mana temuan-temuan tentang karakteristik (epidemiologi deskriptif) atau hubungan paparan-penyakit (epidemiologi analitik) seperti ditunjukkan oleh statistik sampel adalah sahih untuk digunakan menarik inferensi tentang parameter yang sama pada populasi eksternal disebut validitas eksternal (generalisasi).

Contoh: Andaikata sebuah studi menemukan bahwa pemakaian OC meningkatkan risiko terkena MI pada wanita Indonesia perkotaan keturunan Cina berusia 25–49 tahun, ada kemungkinan peneliti ingin memperluas kesimpulan itu bagi populasi wanita Indonesia

(6)

pribumi perkotaan berusia 25–49 tahun – maka populasi ini merupakan populasi eksternal. Satu hal perlu diingat, generalisasi temuan penelitian kepada populasi eksternal dilakukan berdasarkan keputusan (judgment) peneliti. Tidak ada satu perangkat statistikpun dapat digunakan untuk menentukan validitas eksternal (Last 2001; Rothman, 1986).

Kohor

Mula-mula arti kohor (cohort) adalah sekelompok orang yang lahir dalam tahun yang sama (cohort at birth) (Streiner et al., 1989). Kini terma kohor digunakan lebih luas, merujuk kepada kelompok subyek penelitian yang di identifikasi pada suatu titik waktu memiliki sejumlah atribut (baca: ciri-ciri!) yang sama, lantas diamati sepanjang suatu periode waktu untuk dideteksi timbulnya kasus baru penyakit.

Dua jenis kohor (Rothman, 2002, Kleinbaum et al., 1986): (1) Kohor tertutup; dan (2) Kohor terbuka. Kohor tertutup (closed cohort, fixed cohort) merupakan kohor dimana tidak ada lagi subyek baru dapat dimasukkan ke dalam sampel setelah dimulainya pengamatan. Sebaliknya selama follow-up pengamatan bisa saja jumlah subyek berkurang akibat tidak lagi bersedia berpartisipasi dalam penelitian, pindah dari area penelitian, meninggal, atau bentuk-bentuk lain kegagalan kelangsungan partisipasi. Karena diikuti sepanjang waktu, umumnya rata-rata umur sebuah kohor akan meningkat sesuai dengan meningkatnya durasi follow-up.

Kohor terbuka (open cohort, dynamic cohort, dynamic population) merupakan kohor dimana anggotanya dapat saja berubah sepanjang waktu, karena sejumlah anggota populasi datang dan pergi sepanjang periode penelitian. Sebagai contoh, fluoridasi air minum sudah sejak setengah abad silam dianjurkan di Inggris dan AS untuk mencegah karies gigi. Di samping bermanfaat bagi gigi, intake fluorida juga meningkatkan mineralisasi tulang, dalam jangka panjang berpengaruh protektif bagi kerangka tubuh. Tetapi temuan kontroversial akhir-akhir ini menunjukkan kemungkinan pengaruh negatif jangka panjang fluoridasi yang mengakibatkan fluorosis, selanjutnya meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktura tulang panggul (hip fracture) (Rosen, 2000).

Jika populasi adalah penduduk bertempat tinggal di sejumlah kabupaten selama periode waktu – katakanlah dari tahun 2003 hingga 2013, maka populasi tersebut

(7)

dikatakan dinamik, karena ada penduduk baru dan ada yang pindah. Ukuran dan distribusi umur populasi dinamik bisa saja tetap sepanjang waktu pengamatan, maka populasi dinamik itu dikatakan stabil. Dalam studi Rosen (2000) tentang hubungan fluoridasi dengan osteoporosis di atas perlu memperhitungkan umur, sebab kejadian ostoporosis dan patah tulang panggul tergantung umur, sedang umur berhubungan dengan tingkat (akumulasi) fluoridasi, sehingga umur merupakan faktor perancu (confounding factor) yang harus dikontrol pengaruhnya.

DESAIN PENCUPLIKAN

Desain pencuplikan (sampling design) merupakan rancangan yang dibuat peneliti untuk memperoleh sampel dari seluruh anggota populasi. Desain pencuplikan merupakan bagian penting dari desain penelitian (research design), karena itu keduanya harus konsisten. Mengapa repot-repot merancang pencuplikan? Ada dua alasan untuk “repot”. Pertama, memilih subyek penelitian secara gegabah akan mengakibatkan kesalahan sistematis yang disebut bias seleksi (selection bias). Contoh: kelompok-kelompok studi yang akan diperbandingkan dalam studi analitik - baik studi potong-lintang, kasus-kontrol, kohor, maupun eksperimen – intinya harus sebanding dalam hal distribusi faktor-faktor di luar paparan, agar penilaian hubungan antara paparan dan penyakit tersebut valid. Kedua, ukuran sampel mempengaruhi presisi penelitian; ukuran sampel yang tidak cukup besar akan memperbesar kesalahan random (random error).

Tabel 7.1. menyajikan kategori desain pencuplikan berdasarkan dua kriteria – randomness dan restriksi pemilihan subyek. Berdasarkan kriteria random, cara pencuplikan dapat dibagi dua - pencuplikan random (pencuplikan probabilitas) dan pencuplikan non-random (pencuplikan non-probabilitas). Berdasarkan kriteria restriksi pemilihan subyek, cara pencuplikan dibagi dua – pencuplikan tanpa kriteria retriksi, dan pencuplikan dengan kriteria restriksi.

(8)

Tabel 7.1. Kategori desain pencuplikan

Kriteria random (randomness criteria)

Kriteria restriksi pemilihan subyek

Tanpa restriksi Dengan restriksi

Pencuplikan random (probabilitas) Pencuplikan random sederhana (simple random sampling)

Pencuplikan random kompleks (complex random sampling) misalnya pencuplikan

sistematis, pencuplikan klaster, pencuplikan area, pencuplikan random berstrata, pencuplikan bertingkat Pencuplikan non-random (non-probabilitas) Pencuplikan seenaknya (covenience sampling, haphazard sampling, grab sampling, accidental sampling)

Pencuplikan purposif (purposive sampling) misalnya, exposure sampling, fixed-disease sampling, restriksi, matching, pencuplikan kuota (quota sampling), expert sampling, pencuplikan bola salju (snowball sampling).

PENCUPLIKAN RANDOM

Penggunaan prosedur pencuplikan random mengandung implikasi, setiap elemen dari populasi diketahui peluangnya untuk terpilih ke dalam sampel. Peluang tersebut tidak ditentukan dengan sengaja oleh peneliti, melainkan suatu “peluang buta” (“blind chance”) seperti mengambil gulungan kertas lotere. Dengan cara demikian peneliti dapat mengetahui probabilitas hasil pencuplikan dan besarnya kesalahan estimasi – disebut sampling error atau sampling variation (Vogt, 1993). Karakteristik itu merupakan keunggulan relatif pencuplikan random dibandingkan desain pencuplikan purposif.

(9)

Dalam pencuplikan random berlaku Hukum Regularitas Statistik (The Law of Statistical Regularity). Artinya, jika secara rata-rata sampel terpilih merupakan sampel random, maka sampel itu akan memiliki komposisi dan karakteristik populasi (Kothari, 1990). Jadi prosedur pencuplikan random menghasilkan sampel yang represen-tatif terhadap populasi.

Berdasarkan kriteria restriksi, pencuplikan random dapat dibagi dua kategori: (1) Pencuplikan random sederhana; dan (2) Pencuplikan random kompleks.

PENCUPLIKAN RANDOM SEDERHANA

Pencuplikan random sederhana (simple random sampling) dari suatu populasi terbatas (finite population) merupakan metode pemilihan sampel dimana masing-masing item (elemen) dari keseluruhan populasi memiliki peluang yang sama dan independen (baca: tidak bergantung!) untuk terpilih ke dalam sampel.

Pencuplikan random banyak digunakan dalam studi deskriptif untuk memberikan sampel yang representatif terhadap populasi. Pencuplik-an itu biasanya dilakukan tanpa pengembalian (without replacement). Artinya, sekali sebuah item terpilih ke dalam sampel, maka item tersebut tidak dapat lagi muncul dalam proses pencuplikan item berikutnya. Sebaliknya, dalam pencuplikan dengan pengembalian (with replacement) elemen yang telah terpilih ke dalam sampel dikembalikan ke dalam populasi sebelum proses pencuplikan elemen berikutnya. Jadi elemen yang sama dapat muncul dua kali dalam satu sampel sebelum elemen berikutnya terpilih. Pencuplikan dengan pengembalian jarang dilakukan.

Gambar 7.3. Pencuplikan random Populasi Prosedur pencuplikan random Sampel R

(10)

Satu cara untuk menjalankan prosedur random adalah memberikan nomer kepada setiap individu, mulai dari 0, 1, 2, 3, dan seterusnya. Lalu nomer-nomer itu dipilih secara random dengan menggunakan tabel angka random atau program komputer sampai ukuran sampel diinginkan tercapai. Gambar 7.3. menyajikan pencuplikan random.

PENCUPLIKAN RANDOM KOMPLEKS

Pencuplikan random kompleks (complex/mixed random sampling) merupakan pencuplikan random dengan restriksi, biasanya memadukan prosedur pencuplikan random dengan pencuplikan non-random. Beberapa desain pencuplikan random kompleks yang populer sebagai berikut: (1) pencuplikan sistematis; (2) pencuplikan, klaster; (3) pencuplikan area; (4) pencuplikan berstrata (stratified sampling); (5) pencuplikan bertingkat (multi-stage sampling).

Studi deskriptif menggunakan pencuplikan random kompleks untuk mendapatkan sampel representatif dengan lebih efisien ketimbang pencuplikan random sederhana. Sedang studi analitik umumnya memadukan pencuplikan random dengan pencuplikan purposif (misalnya, fixed-exposure sampling, fixed-disease sampling). Motif di balik pencuplikan random kompleks dalam studi analitik adalah untuk memperoleh kelompok-kelompok penelitian yang memang “comparable” untuk diperbandingkan, dengan demikian meminimalkan bias pemilihan subyek penelitian (selection bias).

1. Pencuplikan sistematis

Dalam beberapa situasi, cara paling praktis adalah memilih setiap nama ke 10 dalam daftar kerangka pencuplikan, atau setiap kasus baru bernomer genap, dan sebagainya. Pencuplikan jenis ini dikenal sebagai pencuplikan sistematis (systematic sampling).

Unsur prosedur random dapat diterapkan ke dalam jenis pencuplikan ini untuk memilih elemen pertama sampel. Setelah itu elemen-elemen berikut dipilih setiap interval 5, atau 10, atau 20, dan sebagainya, hingga jumlah elemen sampel yang diinginkan tercapai. Prosedur ini sangat praktis ketika kerangka pencuplikan sudah tersedia dalam bentuk daftar.

(11)

2. Pencuplikan klaster

Pencuplikan klaster (cluster sampling) adalah metode pencuplikan dimana unit pencuplikan merupakan kelompok (baca: klaster) subyek (misalnya dukuh, atau anggota keluarga), bukannya individu. Pengamatan dilakukan terhadap seluruh individu dalam klaster terpilih. Dengan kata lain, variabel tetap diukur pada level individu (Last, 2001; Streiner et al., 1989). Pencuplikan klaster cocok digunakan jika populasi menempati area luas (Kothari, 1990).

Keuntungannya, pencuplikan klaster menghemat biaya karena cukup mengamati klaster-klaster terpilih dan “mengabaikan” klaster-klaster-klaster-klaster tak terpilih. Kerugiannya, metode ini kurang teliti dibandingkan pencuplikan random. Pertama, peneliti tidak mengetahui persis jumlah elemen, dus tidak mengetahui probabilitas masing-masing elemen yang terpilih ke dalam sampel (Kothari, 1990). Kedua, analisis data akan mengalami bias ketika terdapat korelasi intra-kelas dalam klaster – disebut herd effect (Gay, 2002). Jika ini terjadi, maka meneliti semua orang dalam klaster ibarat hanya meneliti satu orang. Gambar 7.4. menyajikan pencuplikan klaster.

Contoh, Salmaso et al. (1999) menggunakan teknik pencuplikan klaster untuk menaksir cakupan imunisasi oral poliovirus (OPV), difteri-tetanus (DT), dan hepatitis virus B (HBV) pada bayi di Italia. Hasil survai diharapkan memberikan cross-check terhadap catatan imunisasi pemerintah yang mungkin belum meliput vaksinasi swasta. Pertama-tama peneliti menentukan 18 dari seluruh 20 wilayah di Italia, lalu dengan sistematis memilih 30 klaster dari masing-masing wilayah. Tujuh anak dicuplik dari masing-masing klaster dengan pencuplikan random sederhana, menggunakan tabel angka random.

Gambar 7.4. Pencuplikan klaster Populasi

Prosedur

pencuplikan Sampel Klaster

(12)

Register kelahiran setempat dimanfaatkan sebagai kerangka pencuplikan. Hasil akhir pencuplikan diperoleh sampel 4310 anak usia 12-24 bulan. Karena peneliti memadukan pencuplikan klaster dengan pencuplikan random sederhana, maka prosedur itu disebut pencuplikan klaster random (random cluster sampling).

3. Pencuplikan area

Pencuplikan area (area sampling) merupakan metode pencuplikan yang dapat digunakan ketika anggota populasi tersebar dalam area luas. Dalam metode ini, seluruh area yang akan dicuplik dibagi dulu dalam sub-area, lalu sub-area diberi nomer dan dicuplik dengan menggunakan tabel angka random. Selanjutnya anggota-anggota dalam area yang dicuplik diberi nomer untuk menjalani pencuplikan tahap kedua. Pencuplikan area sebenarnya analog dengan pencuplikan klaster yang ditentukan berdasarkan pembagian geografis.

4. Pencuplikan Berstrata

Pencuplikan berstrata (stratified sampling) merupakan teknik pencuplikan subyek di mana populasi sasaran pertama-tama dibagi dalam strata (subpopulasi) yang berbeda menurut karakteristik penting tertentu untuk penelitian bersangkutan, misalnya umur, status sosio-ekonomi, lalu dilakukan pencuplikan dari masing-masing stratum.

Pencuplikan pada masing-masing stratum populasi biasanya dilakukan secara random, sehingga prosedur pencuplikan keseluruhan disebut pencuplikan random berstrata (stratified random sampling). Gambar 7.5. menyajikan pencuplikan random berstrata.

Gambar 7.5. Pencuplikan random berstrata

R R R

Populasi

(dibagi dalam strata)

Prosedur pencuplikan random Sampel Strata 1 Strata k Strata 2

(13)

Tujuan pencuplikan berstrata adalah untuk memperoleh kasus (studi kasus kontrol) atau subyek terpapar (studi kohor) dalam jumlah yang cukup pada masing-masing strata, sehingga kelak dapat dianalisis secara statistik. Variabel yang dilakukan stratifikasi adalah variabel yang berhubungan dengan penyakit atau paparan, misalnya umur, etnik, dan ras. Contoh: Peneliti berminat meneliti penyakit jantung koroner (PJK) di semua usia. Insidensi PJK pada usia muda lebih rendah daripada usia dewasa. Agar memperoleh jumlah kasus PJK yang cukup dari kelompok usia muda, maka peneliti perlu membagi populasi sasaran dalam strata umur. Kalau saja tidak dilakukan stratifikasi tetapi langsung melakukan pencuplikan random, maka - karena peran peluang - peneliti akan memperoleh jumlah PJK usia muda terlalu sedikit untuk bisa dianalisis secara statistik.

5. Multi-stage sampling

Multi-stage sampling (pencuplikan bertingkat) merupakan teknik pencuplikan dimana peneliti mencuplik sampel melalui proses bertingkat-tingkat (strata hirarkis). Tahap pertama, peneliti membagi populasi ke dalam strata, dan mencuplik sampel dari strata di tingkat pertama tersebut. Tahap kedua, peneliti mencuplik dari sampel tingkat pertama untuk mendapatkan sampel tingkat kedua. Demikian seterusnya hingga terpilih unit-unit pencuplikan dari strata hirarkis terakhir. Tergantung jumlah tingkat, desain pencuplikan dapat bertingkat dua (two-stage sampling), bertingkat tiga (three-stage sampling), dan seterusnya.

Umumnya peneliti mencuplik unit-unit pencuplikan secara random di tiap-tiap tingkat – disebut multi-stage random sampling. Bila unit-unit pencuplikan itu merupakan klaster maka desain itu menjadi multi-stage random cluster sampling. Bila klaster ditentukan berdasarkan wilayah geografis, maka desain itu menjadi multi-stage random area sampling. Pencuplikan bertingkat pada umumnya memang dipilih tatkala populasi sasaran menempati suatu area geografis yang sangat luas, misalnya sebuah negara.

Tiga keuntungan pencuplikan bertingkat. Pertama, lebih mudah dilakukan daripada teknik satu tingkat umumnya, sebab kerangka pencuplikan bertingkat dibuat dalam unit-unit terpisah. Kedua, untuk anggaran yang sama, pencuplikan bertingkat menghasilkan jumlah sampel lebih besar daripada teknik pencuplikan sederhana (Kothari, 1990). Ketiga, dapat memberikan data hirarkis yang selanjutnya dianalisis dengan analisis multilevel

(14)

(multilevel analysis) menggunakan model multilevel (multilevel modelling).

Model multilevel menggunakan variabel-variabel di tingkat lebih tinggi (misalnya, kecamatan) untuk diperhitungkan dalam analisis hubungan variabel-variabel di tingkat individu. Sebagai contoh, Merlo et al. (2001) meneliti di Swedia tentang pengaruh lingkungan sosial (diukur dalam persentase penduduk dengan tingkat pendidikan rendah) terhadap tekanan darah diastolik individu, dengan mengontrol pengaruh umur dan tingkat pendidikan individu.

PENCUPLIKAN NON-RANDOM

Prosedur pencuplikan non-random (non-random sampling, non-probability sampling) memilih subyek-subyek populasi ke dalam sampel tidak secara random, dengan kata lain tidak menggunakan Hukum Regularitas Statistik. Apakah itu berarti sampel non-random tidak representatif terhadap populasi? Jawabnya: Not necessarily.

Sampel non-random belum tentu tidak representatif. Tetapi yang jelas peneliti tidak mengetahui apakah sampel yang diperoleh dengan cara itu memang representatif atau tidak. Mengapa? Karena pencuplikan non-random tidak tergantung pada Hukum Regularitas Statistik, sehingga tidak dapat diketahui sejauh mana sampel – jika dicuplik berulang-ulang dari populasi – bervariasi terhadap karakteristik populasi sesungguhnya.

Sebaliknya dalam sampel random peneliti dapat mengetahui “odds” atau probabilitas tentang sejauh mana sampel yang diperoleh merepresentasikan populasi. Dengan kata lain peneliti dapat menghitung besarnya kesalahan estimasi karena variasi pencuplikan – disebut sampling error (sampling variation).

Pencuplikan non-random dapat dibagi dalam dua kategori: (1) Pencuplikan seenaknya (convenience sampling); dan (2) Pencuplikan purposif (purposive sampling).

PENCUPLIKAN SEENAKNYA

Pencuplikan seenaknya (convenience sampling, haphazard sampling, grab sampling, accidental sampling) merupakan metode pencuplikan non-random yang dilakukan dengan “bebas” tanpa restriksi atau rencana khusus dari pihak peneliti (Last, 2001; Kothari, 1990,

(15)

Streiner et al., 1989). Pencuplikan “liberal” ini mudah dilakukan, semudah mencuplik sampel dari orang yang ditemui di jalan (“man-in-the-street”) atau pengunjung sebuah stan bazar (Last, 2001). Karena tidak ada diskresi obyektif dari pihak peneliti dalam mendesain sampel, maka teknik pencuplikan seenaknya cenderung mengintroduksi bias pencuplikan (sampling bias), dengan demikian validitas penarikan kesimpulan hasil kepada populasi sasaran lemah. Selain itu, sampel melalui pencuplikan seenaknya tidak representatif terhadap populasi.

PENCUPLIKAN PURPOSIF

Umumnya studi epidemiologi analitik menggunakan lebih dari satu metode pencuplikan untuk mendapatkan kelompok-kelompok penelitian (misalnya, kelompok-kelompok terpapar dan tak terpapar dalam studi kohor, kelompok berpenyakit dan tak berpenyakit dalam studi kasus-kontrol). Prosedur pencuplikan random biasanya dipadukan dengan berbagai metode pencuplikan purposif.

Apakah pencuplikan purposif? Pencuplikan purposif (purposive sampling, deliberate sampling) (Kothari, 1990) merupakan metode pencuplikan non-random dimana peneliti melakukan pendekatan terhadap masalah pencuplikan dengan rencana spesifik tertentu dalam benaknya sesuai dengan masalah dan hipotesis penelitian. Peneliti memiliki diskresi untuk memilih elemen dengan sengaja, tetapi pemilihan itu tidak dilakukan sembarangan melainkan dengan rencana tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.

Karena unsur subyektif peneliti sangat kental dalam prosedur pencuplikan ini, dan probabilitas masing-masing elemen dalam populasi untuk terpilih ke dalam sampel tidak diketahui, maka prosedur ini tidak tepat untuk dipilih jika tujuan penelitian adalah mendeskripsikan karakteristik populasi dalam studi deskriptif. Jika dilakukan dengan hati-hati, prosedur ini sangat bermanfaat untuk mendapatkan kelompok-kelompok studi yang memiliki karakteristik “comparable” untuk diperbandingkan dalam studi analitik.

Pencuplikan purposif sangat populer di kalangan peneliti sejati maupun peneliti yang karena ketidaktahuannya (ignorance) tentang prinsip dan metode pencuplikan lalu mencari mudahnya asal sebut (disingkat “asbut”, saudaranya “asbun”) pencuplikan purposif untuk penelitiannya, tanpa pemahaman memadai tentang makna dan implikasi “purposif”. Jika seorang peneliti memilih metode pencuplikan purposif, maka ia harus bisa

(16)

menjelaskan maksud “purposif” dan tujuan yang diharapkan dari memilih metode itu untuk penelitiannya.

Pencuplikan purposif mencakup sejumlah teknik pemilihan subyek sebagai berikut (Gerstman, 1998, Kothari, 1990; Rothman, 1986; Kleinbaum et al., 1982): (1) Fixed-exposure sampling; (2) Fixed-disease sampling; (3) Restriksi; (4) Pencocokan (matching); (5) Pencuplikan kuota; (6) Expert sampling; (7) Pencuplikan bola salju (snowball sampling).

1. Fixed-exposure sampling

Fixed-exposure sampling merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status paparan subyek, sedang status penyakit subyek bervariasi mengikuti status paparan subyek yang sudah “fixed” tersebut (Gerstman, 1998). Ketika paparan di alam langka, maka prosedur pencuplikan berdasarkan status paparan anggota-anggota populasi akan memastikan jumlah subyek penelitian yang cukup dalam kelompok-kelompok terpapar dan tak terpapar. Fixed-exposure sampling paling umum dilakukan pada studi kohor.

2. Fixed-disease sampling

Fixed-disease sampling merupakan prosedur pencuplikan berdasarkan status penyakit subyek, sedang status paparan subyek bervariasi mengikuti status penyakit subyek yang sudah “fixed” tersebut (Gerstman, 1998). Ketika penyakit di alam langka, maka prosedur fixed-disease sampling akan memastikan jumlah subyek penelitian yang cukup dalam kelompok-kelompok berpenyakit dan tak berpenyakit. Fixed-disease sampling paling umum dilakukan pada studi kasus-kontrol.

3. Restriksi

Restriksi (restriction) merupakan proses mempersempit eligibilitas subyek potensial ke dalam sampel penelitian dengan menggunakan kriteria restriksi (kriteria eligibilitas, admissibility criteria). Dua jenis kriteria restriksi: (1) Kriteria inklusi menentukan

(17)

subyek-subyek yang boleh dimasukkan ke dalam sampel penelitian; dan (2) Kriteria eksklusi menentukan subyek-subyek yang harus digusur ke luar sampel.

Sampel dapat diperoleh dengan atau tanpa kriteria restriksi. Sampel yang diperoleh dengan restriksi disebut sampel dengan pembatasan (restricted sample). Karena ada peneliti mengintervensi pemilihan sampel, maka pencuplikan dengan restriksi dikategorikan pencuplikan purposif. Sedang sampel yang diperoleh tanpa restriksi disebut sampel tanpa pembatasan (unrestricted sample). Lihat Tabel 7.1.tentang desain dasar pencuplikan.

Mengapa melakukan restriksi? Ada sejumlah alasan. Pertama, mengendalikan faktor perancu (confounding factor) potensial yang dipandang dapat merancukan penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit (Rothman, 2002; Kleinbaum et al., 1982). Kedua, memastikan akurasi pengukuran variabel-variabel dalam penelitian epidemiologi. Contoh, dalam studi kohor, waktu yang tepat tentang kapan subyek dikatakan mulai terpapar dan kapan pengamatan pengaruh paparan terhadap penyakit harus dihentikan sangat menentukan akurasi pengukuran paparan. Dalam hal ini peneliti harus melakukan restriksi tentang kapan memulai pengamatan dan berapa lama agar pengamatan mampu meliput masa inkubasi atau masa laten penyakit yang bersangkutan (Rothman, 1986). Ketiga, memudahkan pemilihan subyek, misalnya pembatasan berdasarkan area tempat tinggal (area sampling) (Kleinbaum et al., 1982).

Kerugian restriksi: (1) Kesimpulan hanya berlaku untuk populasi yang telah mengalami pembatasan tersebut, dus makin banyak restriksi makin meningkat validitas internal, tetapi makin berkurang kemampuan generalisasi hasil penelitian; (2) Mengurangi jumlah elemen dalam sampel, dus mengurangi efisiensi penelitian.

4. Pencocokan

Pencocokan (matching) adalah teknik memilih kelompok pembanding agar sebanding dengan kelompok indeks dalam hal faktor-faktor perancu (Rothman 2002; Rothman, 1986; Kleinbaum et al., 1982). Yang dimaksudkan dengan subyek/ kelompok indeks adalah subyek/ kelompok yang dibandingkan dengan kelompok pembanding. Pada studi kasus kontrol, subyek indeks adalah kasus, sedang pada studi kohor, subyek indeks adalah subyek terpapar. Yang dimaksudkan dengan subyek pembanding adalah kontrol pada studi kasus kontrol, dan subyek tak terpapar pada studi kohor.

(18)

Pencocokan digunakan pada studi observasional dan eksperimen kuasi. Pada studi kohor dan eksperimen kuasi, tujuan pencocokan untuk mengontrol pengaruh faktor perancu dalam menilai pengaruh paparan terhadap penyakit, atau pengaruh perlakuan terhadap hasil. Pada studi kasus kontrol, tujuan pencocokan untuk meningkatkan efisiensi penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit (Rothman, 2002; Mercer, 1991; Rothman, 1986).

Contoh: dalam studi kohor tentang infark otot jantung (MI) dan aktivitas fisik, peneliti mengendalikan pengaruh perancu obesitas, dengan cara memilihkan (baca: mencocokkan) seorang inaktif secara fisik yang non-obes (subyek pembanding) untuk seorang aktif secara fisik yang juga non-obes (subyek indeks). Pengaruh obesitas terhadap hubungan aktivitas fisik dan MI dikendalikan, karena kedua subyek yang dibandingkan sudah dibuat setara dalam tingkat faktor obesitas.

Pencocokan disebut juga restriksi parsial, sebab pembatasan diterapkan hanya kepada subyek pembanding, tidak kepada subyek indeks (Kleinbaum et al., 1982).

5. Pencuplikan kuota

Pencuplikan kuota (quota sampling) merupakan teknik pencuplikan non-random dimana peneliti membagi populasi ke dalam kategori (strata), lalu memberikan “jatah” jumlah subyek untuk masing-masing stratum tersebut (Vogt, 1993, Kothari, 1990). Subyek dalam masing-masing kategori tidak dipilih secara random, melainkan berdasarkan kemudahan, dan mungkin sedikit restriksi. Jenis pencuplikan ini jelas mudah dilakukan dan relatif murah. Meskipun mirip dengan pencuplikan random berstrata, tetapi sampel yang dicuplik dengan pencuplikan kuota tidak memiliki karakteristik sampel random, sehingga tidak reliabel untuk digunakan penarikan kesimpulan.

Pencuplikan kuota terdiri dari dua jenis – proporsional dan non-proporsional. Pada pencuplikan kuota proporsional, peneliti mencuplik subyek untuk masing-masing kategori karakteristik sampel dalam jumlah proporsional sesuai komposisi karakteristik tersebut pada populasi. Sebagai contoh, jika populasi memiliki komposisi 60% perempuan dan 40% laki-laki, dan peneliti menginginkan ukuran sampel total 100, maka peneliti dapat melakukan pencuplikan hingga persentase tersebut terpenuhi. Jika kuota 60 perempuan dalam sampel telah terpenuhi, tetapi belum didapatkan 40 laki-laki, maka pencuplikan

(19)

diteruskan untuk memenuhi kuota laki-laki. Jika dalam proses itu peneliti memperoleh lagi subyek perempuan, maka tentu ia tidak perlu memasukkannya ke dalam sampel sebab “jatah” untuk perempuan sudah terpenuhi.

Pencuplikan kuota non-proporsional lebih restriktif. Dalam metode ini, peneliti menentukan jumlah minimum unit pencuplikan sesuai yang diinginkan peneliti dalam masing-masing kategori. Dalam hal ini tujuan pencuplikan bukan untuk memperoleh jumlah yang sesuai dengan proporsi dalam populasi, melainkan untuk mendapatkan jumlah subyek yang memadai untuk mewakili kategori karakteristik tertentu di dalam sampel. Metode ini dapat dipandang merupakan analog non-random dari pencuplikan berstrata, dimana bagi peneliti yang penting memiliki sekelompok kecil subyek yang cukup terwakili di dalam sampel.

6. Expert sampling

Expert sampling (judgment sampling) merupakan teknik pencuplikan dimana peneliti mewawancarai sekelompok individu yang diketahui merupakan pakar di bidang yang sedang diteliti. Kepakaran tersebut tidak harus berarti pernah mengenyam pendidikan formal, melainkan merujuk kepada suatu pengetahuan khusus.

Individu yang dianggap pakar dapat diambil dari kalangan akademik, dengan syarat tentu saja harus “mumpuni” (baca: menguasai) di bidang atau topik yang sedang diteliti. Penggunaan expert sampling dalam studi epidemiologi, misalnya untuk memperoleh sampel pakar yang akan diminta untuk memberikan “judgment” (penilaian) tentang validitas instrumen penelitian.

Critical case sampling merupakan sebuah varian dari expert sampling, dimana sampel merupakan sekelompok individu yang dianggap memiliki pengalaman istimewa tentang suatu bidang atau topik penelitian, misalnya pengalaman aktris Elizabeth Taylor sebagai penyantun setia penderita HIV/AIDS, pengalaman mendiang Ibu Teresa (pemenang hadiah Nobel) dalam memberikan pelayanan kepada populasi sangat miskin di Calcutta, India.

(20)

7. Pencuplikan bola salju

Pencuplikan bola salju (snowball sampling, chain referral sampling, network sampling) dimulai dengan mengidentifikasi seorang atau dua orang subyek yang memenuhi kriteria inklusi untuk suatu penelitian. Subyek tersebut kemudian diminta memberikan keterangan tentang subyek-subyek lainnya yang menurut subyek pertama tadi memenuhi kriteria inklusi. Meskipun sulit untuk dapat memberikan sampel representatif, metode ini bermanfaat untuk mencuplik populasi yang sulit dijangkau.

Contoh, jika peneliti ingin meneliti dampak kemiskinan terhadap status kesehatan dengan cara mencuplik sampel para tuna wisma (baca: homeless, gelandangan!), maka peneliti akan sulit memperoleh kerangka pencuplikan (sampling frame) yang memuat daftar para tuna wisma yang tinggal di suatu area. Tetapi jika strategi yang diambil adalah pergi ke area itu dan mengidentifikasi seorang atau dua orang tuna wisma, maka peneliti akan menemukan bahwa tuna wisma tersebut mengetahui persis “tempat tinggal” dan cara menemukan rekan-rekan lainnya di seputar area itu.

FAKTOR YANG MENENTUKAN DESAIN PENCUPLIKAN

Ciri-ciri desain pencuplikan yang baik:

1. Menghasilkan sampel yang representatif dalam studi deskriptif, atau sampel-sampel yang dapat diperbandingkan dengan valid dalam studi analitik.

2. Mampu meminimalkan kesalahan pencuplikan (sampling error). 3. Mampu mengontrol bias sistematis dalam studi analitik.

4. Menghasilkan sampel yang hasil-hasil pengamatan pada sampel dapat diterapkan kepada populasi sasaran dengan tingkat keyakinan yang cukup baik.

Sejumlah faktor menentukan desain pencuplikan yang baik: (1) Desain penelitian; (2) Parameter yang diinginkan; (3) Unit pencuplikan; (4) Kerangka pencuplikan; (5) Ukuran sampel; (6) Anggaran penelitian.

(21)

1. Desain penelitian

Dalam riset epidemiologi, keputusan tentang cara pencuplikan ditentukan berdasarkan masalah, hipotesis, dan tujuan penelitian, khususnya apakah penelitian bersifat deskriptif atau analitik. Jika penelitian bertujuan mendeskripsikan karakteristik populasi, maka pencuplikan random menghasilkan sampel yang representatif terhadap karakteristik populasi, dengan demikian menghasilkan estimasi yang akurat tentang karakteristik itu. Untuk studi deskriptif, desain penelitian terbaik adalah potong lintang (cross-sectional) dimana semua karakteristik diamati pada saat sama. Sedang pencuplikan yang menghasilkan sampel paling representatif terhadap karakteristik populasi adalah pencuplikan random sederhana.

Sebaliknya, jika tujuan penelitian adalah mempelajari hubungan paparan dan penyakit, maka sampel yang diteliti tidak harus mewakili karakteristik populasi keseluruhan. Yang menjadi isu krusial adalah bagaimana membuat perbandingan valid kelompok-kelompok penelitian tersebut. Implikasinya – pertama - pencuplikan sampel harus mampu memastikan bahwa sampel-sampel yang dicuplik memiliki distribusi faktor-faktor perancu secara sebanding, sehingga ketika peneliti menilai hubungan paparan-penyakit maka penilaian itu tidak dipengaruhi faktor-faktor perancu.

Kedua, desain pencuplikan harus mampu menghindari atau memberi proteksi terhadap kemungkinan bias sistematis dalam memilih subyek-subyek penelitian - disebut bias seleksi (selection bias). Singkat kata, output utama yang diharapkan dari desain pencuplikan studi epidemiologi analitik adalah kepastian validitas, bukannya representasi karakteristik sampel terhadap karakteristik populasi keseluruhan (Rothman, 1986). Tergantung tujuan penelitian, sampel-sampel yang dicuplik dalam studi epidemiologi tidak harus representatif terhadap populasi keseluruhan.

2. Parameter yang akan ditaksir

Parameter spesifik yang ingin ditaksir menentukan desain pencuplikan. Contoh, jika peneliti ingin menaksir prevalensi penyakit pada masing-masing strata populasi, maka desain pencuplikan yang sesuai adalah membagi populasi dalam strata, lalu mencuplik elemen dari masing-masing strata – disebut pencuplikan random berstrata.

(22)

3. Unit pencuplikan

Unit pencuplikan (sampling unit) adalah item/elemen/unit dari populasi yang akan dipilih ke dalam sampel. Peneliti harus menentukan unit pencuplikan sebelum memilih sampel. Unit pencuplikan yang sering digunakan adalah individu, karena unit pengamatan dalam studi epidemiologi umumnya individu. Tetapi pada studi ekologis, unit pencuplikan adalah kelompok, berdasarkan wilayah geografi (misalnya, desa), atau unit sosial (misalnya, keluarga dan sekolah). Contoh, jika populasi adalah semua kota di Indonesia berpenduduk lebih dari 500,000 orang, maka 100 kota yang termasuk kategori itu merupakan unit-unit pencuplikan.

4. Kerangka pencuplikan

Kerangka pencuplikan (sampling frame), disebut juga daftar sumber (source list) (Kothari, 1990), merupakan daftar berisikan nama-nama atau (karena alasan etis) nomer subyek populasi sumber yang akan dicuplik ke dalam sampel. Contoh, dalam studi hubungan OC dan MI, peneliti dapat menggunakan buku register yang dibuat bidan klinik keluarga berencana sebagai kerangka pencuplikan. Kerangka pencuplikan perlu ekshaustif, benar, reliabel, dan tepat. Sudah barang tentu kerangka pencuplikan harus seakurat mungkin mewakili populasi.

5. Ukuran sampel

Ukuran sampel (sample size) adalah jumlah subyek yang dipilih dari populasi sehingga membentuk sebuah sampel. Ukuran sampel dalam studi epidemiologi harus cukup besar dalam arti optimal yang memungkinkan peneliti menaksir parameter dengan akurat, reliabel, dan sekaligus efisien. Beberapa hal menentukan ukuran sampel: (1) Presisi penaksiran yang diinginkan peneliti; (2) Tingkat keyakinan (confidence level) penaksiran; (3) Kuasa statistik (statistical power) yang diinginkan; (4) Perkiraan prevalensi penyakit yang akan ditaksir (epidemiologi deskriptif); (5) Perkiraan besarnya pengaruh paparan terhadap penyakit (epidemiologi analitik); (6) Varians dan ukuran populasi.

(23)

Intinya, makin tinggi presisi diinginkan, makin besar sampel harus dicuplik. Makin besar kemampuan yang diinginkan dari sebuah penelitian epidemiologi analitik untuk mendeteksi adanya pengaruh paparan terhadap penyakit, makin besar sampel dibutuhkan. Demikian pula, makin besar tingkat keyakinan, makin besar sampel harus dicuplik (contoh, penaksiran dengan tingkat keyakinan 99% memerlukan sampel lebih besar daripada tingkat keyakinan 95%).

Selanjutnya, makin rendah perkiraan prevalensi suatu penyakit, makin besar sampel dibutuhkan. Makin kecil perkiraan pengaruh paparan terhadap penyakit, makin besar kebutuhan ukuran sampel. Makin besar varians populasi, makin besar sampel dibutuhkan. Demikian juga makin besar ukuran populasi, makin besar sampel diperlukan.

Ukuran sampel yang cukup besar sangat penting dalam studi epidemiologi. Sebab makin besar sampel, makin persis (baca: teliti, cermat!) inferensi tentang distribusi penyakit pada populasi (studi deskriptif), dan makin persis penaksiran pengaruh paparan terhadap penyakit pada populasi (studi analitik). Dus makin besar sampel, makin kecil kesalahan pencuplikan (sampling error, sampling variation).

6. Anggaran yang tersedia

Penentuan desain pencuplikan perlu mempertimbangkan anggaran yang tersedia untuk penelitian. Contoh, jika anggaran terbatas dan populasi menempati area luas, maka teknik pencuplikan klaster akan lebih mudah dan murah daripada pencuplikan random sederhana. Mengapa? Sebab pada pencuplikan random sederhana, elemen-elemen akan tersebar secara merata di seluruh antero populasi. Implikasinya, peneliti harus “jalan-jalan” ke hampir seluruh penjuru populasi. Sebaliknya, pada pencuplikan klaster, yang menyebar adalah klaster. Peneliti cukup “bepergian” ke klaster yang terpilih saja dan mengamati semua elemen yang “berkerumun” dalam klaster itu.

KLARIFIKASI BEBERAPA KONSEP PENCUPLIKAN

Sejumlah konsep pencuplikan sering disalahtafsirkan sehingga perlu diklarifikasi: (1) Random dan acak; (2) Randomisasi dan pencuplikan random; (3) Pencuplikan berstrata, stratifikasi blok, analisis berstrata.

(24)

Random dan acak

Terma random dan acak sering digunakan bergantian untuk merujuk kepada konsep yang sama. Meskipun demikian penulis anjurkan penggunaan kata random ketimbang acak. Mengapa? Sebab kata acak sering disalahtafsirkan sebagai suatu mekanisme acak-acakan (“ngawur”) alias sesuka peneliti. Padahal mekanisme random dilakukan secara sistematis, mengikuti kaidah-kaidah probabilitas dan Hukum Regularitas Statistik. Pencuplikan elemen-elemen dilakukan dengan menggunakan tabel angka random, perangkat komputer, atau boleh juga secara “primitif” menggunakan “lintingan” kertas lotere yang diberi nomer. Prosedur random yang umum tidak mengembalikan “lintingan” yang telah diambil untuk pemilihan elemen berikutnya – disebut “without replacement” (tanpa penggantian). Program komputer umumnya menggunakan formula yang mengasumsikan prosedur random tanpa penggantian.

Randomisasi dan pencuplikan random

Randomisasi harus dibedakan dengan pencuplikan random. Randomisasi – disebut juga alokasi random (random allocation, random assignment) - adalah penunjukan subyek-subyek sampel ke dalam kelompok eksperimen atau kelompok kontrol, dengan prosedur random. Randomisasi dilakukan pada studi eksperimen random (RCT) untuk menentukan siapa di antara sampel mendapatkan atau tidak mendapatkan perlakuan. Dengan cara demikian sebaran faktor-faktor perancu potensial berlangsung melalui “peluang buta” tanpa pengaruh subyektif peneliti.

Pencuplikan random – di lain pihak - merupakan teknik pemilihan subyek dari populasi sasaran dengan prosedur random. Dengan prosedur random, maka probabilitas subyek untuk terpilih ke dalam sampel dapat diketahui peneliti. Jika semua elemen dalam populasi mempunyai kesempatan (probabilitas) sama dan independen, maka pencuplikan seperti itu disebut pencuplikan random sederhana.

(25)

Pencuplikan random Kelompok eksperimen Kelompok kontrol Populasi Sampel Randomisasi

Pada eksperimen random, sampel random dilakukan randomisasi untuk mendapatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Gambar 7.6. menyajikan pencuplikan random dan randomisasi.

Pencuplikan berstrata, stratifikasi blok, dan analisis berstrata

Pembedaan perlu dilakukan antara pencuplikan berstrata, stratifikasi blok, dan analisis berstrata. Pencuplikan berstrata (stratified sampling) merupakan teknik pencuplikan yang membagi populasi sasaran dalam strata yang berbeda menurut karakteristik tertentu, lalu melakukan pencuplikan dari masing-masing stratum. Tujuan pencuplikan berstrata untuk memperoleh kasus (studi kasus kontrol) atau subyek terpapar (studi kohor) dalam jumlah yang cukup pada masing-masing strata, sehingga dapat dianalisis secara statistik.

Dalam stratifikasi blok dilakukan stratifikasi sampel ke dalam sejumlah blok, lalu dari blok itu dilakukan randomisasi (Kleinbaum et al., 1982; Streiner et al., 1989). Stratifikasi blok digunakan pada eksperimen, untuk mendapatkan subyek yang cukup pada semua strata, sehingga meningkatkan efisiensi pengujian hipotesis. Eksperimen yang menggunakan stratifikasi blok disebut desain blok random (randomized block design) (Streiner et al., 1989).

Analisis berstrata merupakan teknik analisis data yang bertujuan memperhitungkan pengaruh faktor perancu dengan cara menganalisis hubungan antara paparan dan penyakit secara terpisah pada tiap-tiap strata faktor perancu. Teknik itu menghasilkan penilai-an yang valid tentang hubungan antara paparan dan penyakit. Analisis berstrata dilakukan pada tahap analisis data, sedang pencuplikan berstrata dilakukan pada tahap desain pencuplikan.

(26)

REFERENSI

Agudo A, Gonzalez AC (1999). Secondary matching: a method for selecting controls in case-control studies on environmental risk factors. Int J Epidemiol, 28: 1130-33 Gay JM (2002). Clinical epidemiology & evidence-based medicine glossary: Clinical study

design and methods terminology. http://www.vetmed.wsu.edu/courses-jmgay Gerstman BB (1998). Epidemiology kept simple. New York: Wiley-Liss

Kleinbaum, D.G., Kupper, L.L., dan Morgenstern, H. (1982). Epidemiologic research: Principles and quantitative methods. New York: Van Nostrand Reinhold.

Kothari CR (1990). Research methodology: methods and technques. New Delhi: Wiley Eastern Limited.

Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc. Merlo J, Ostergren PO, Hadberg O, Lindstrom M, Lindgren A, Melander A, Rastam L,

Berglund G (2001). Diastolic pressure and area of residence: multilevel versus ecological analysis of social inequity. J Epidemiol Community Health, 55: 791-798 Mercer D (1991). Intermediate epidemiology (Coursework). New Orleans, LA: Tulane

School of Public Health and Tropical Medicine.

Rosen CJ (2000). Fluoride and fractures: an ecological fallacy. Lancet, 355: January 22: 247-248.

Rothman, KJ (2002). Epidemiology: an introduction. New York: Oxford University Press. ___________ (1986). Modern epidemiology. Boston: Little, Brown, and Company.

Salmaso S, Rota MC, Ciofi Degri Atti ML, Tozzi AE, Kreidel P, dan ICONA Study Group (1999). Infant immunization coverage in Italy: estimates by simultaneous EPI cluster surveys or regions. Bull World Health Organ, 77(10): 843-50

Streiner, DL; Norman, GR; and Blum, HM (1989). PDQ Epidemiology. Toronto: BC Decker Inc.

Vogt WP (1993). Dictionary of statistics and methodology. Newbury Park, CA: Sage Publication.

Gambar

Gambar 7.1. Pencuplikan sampel dan inferensi tentang populasi.
Gambar 7.2. Populasi, sampel, dan validitas inferensi.
Tabel 7.1. Kategori desain pencuplikan
Gambar 7.3. Pencuplikan random Populasi Prosedur pencuplikan random Sampel R
+4

Referensi

Dokumen terkait

Pemilihan sampel dilakukan dengan simple random sampling, dimana setiap penderita dalam populasi terjangkau yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan diatas akan diberi

Teknik random sampling yaitu pengambilan sampel secara random yang berarti semua populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel, teknik in biasanya menggunakan

• Teknik sampling secara acak, setiap individu dalam populasi memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sampel.. • Syarat: anggota populasi dianggap homogen • Cara pengambilan

Sampel yang diambil sebanyak 25 petani dari jumlah populasi sebanyak 204 orang dengan metode acak sederhana(simple random sampling), 20 petani responden, 1 pedagang

Tujuan digunakannya tabel random dalam menentukan responden adalah agar sampel yang diambil dari populasi bersifat representatif atau bisa mewakili karakter populasi

Penarikan sampel acak secara sederhana (simple random sampling) dapat digunakan apabila populasi yang diamati memiliki sifat homogen (atau hampir sama satu sama lain

Stratified Random Sampling Proses pengambilan sampel dilakukan dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap anggota populasi yang terbagi dari strata-strata atau sub-populasi..

POPULASI SAMPEL 1111 o Populasi Target Populasi target merupakan populasi yang jauh lebih luas dari populasi sampel, untuk hasilgeneralisasi berdasarkan sebuah sampel diharapkan