• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Kepatuhan Diet Rendah Garam, Kepatuhan Minum Obat, Riwayat Hipertensi dengan Kejadian Rehospitalisasi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah

secara adekuat untuk memelihara sirkulasi darah (Grossman & Brown, 2009).

Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan struktural

ataupun fungsional jantung yang menyebabkan gangguan kemampuan pengisian

ventrikel dan ejeksi darah ke seluruh tubuh. Manifestasi yang khas pada gagal

jantung kongestif ialah dispnea, fatigue dan retensi cairan yang menyebabkan

edema paru dan edema perifer (AHA, 2001).

Gagal jantung susah sekali dikenali secara klinis, karena beragamnya

keadaan klinis dan tidak spesifik serta hanya sedikit tanda-tanda klinis pada tahap

awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal

jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala

klinis, kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas

penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup (Davis, Hobbs & Lip, 2000).

Dari fenomena diatas, jika dilihat dari jumlahnya diperkirakan 1-2% dari

populasi dunia menderita penyakit gagal jantung kongestif dengan prevalensi

yang terus meningkat. Sekitar 5-10 orang diprediksi menderita gagal jantung

kongestif dari 1000 penduduk dunia (Mosterd, 2007). Menurut American Heart

Association (AHA) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika

(2)

Heart Association (AHA) tahun 2012, pasien yang mengalami hospitalisasi akibat CHF di seluruh dunia sebanyak 1.094.000 pasien (Sarika, Bayhakki, Misrawat,

2015). Di Amerika Serikat, insidensi gagal jantung kongestif ditemukan sebanyak

500.000 orang dan prevalensi gagal jantung kongestif sebanyak 5 juta orang setiap

tahun. Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut

data dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani

rawat inap di rumah sakit (Etha, 2013).

Angka mortalitas akibat gagal jantung kongestif juga cukup tinggi, kurang

lebih 300.000 jiwa setiap tahun (AHA, 2001). Mortalitas dan morbiditas gagal

jantung kongestif berkisar antara 30-40% yang dirawat di rumah sakit untuk

setiap tahunnya. Rata-rata mortalitas pasien dengan gagal jantung pada tahun

1971 adalah 60% pada laki-laki dan 45% pada wanita. Pada tahun 1991 penyebab

paling banyak kematian pada gagal jantung kongestif adalah gagal jantung yang

bersifat progresif, dan sekitar 45% meninggal mendadak. Berdasarkan hasil audit

yang dilakukan antara tahun 1992-1993, pada 4606 pasien gagal jantung yang

dirawat dirumah sakit diketahui bahwa rata-rata mortalitas total adalah 19%,

dengan 30% meninggal karena penyebab non kardiak (Grossman & Brown,

2009). Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut data

dari Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat

inap di rumah sakit (Etha, 2013).

Gagal jantung kongestif merupakan penyakit yang bersifat progresif

dengan gejala yang sangat mempengaruhi kondisi vital pasien gagal jantung

(3)

menjalani rawat inap. Dari tahun 1990-1999 insidensi rawat inap (hospitalization)

di Amerika Serikat sebanyak 810.000 hingga 1 juta jiwa, sedangkan prevalensi

gagal jantung kongestif yang menjalani rawat inap sebanyak 2.4 sampai 3.5 juta

jiwa (Koelling, Chen, Lubwama, L’italien & Eagle, 2004).

Pasien yang menjalani rawat inap dengan riwayat penyakit degeneratif

rentan untuk mengalami rawat inap ulang. Rawat inap ulang termasuk salah satu

faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien-pasien penyakit degeneratif.

Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Allaudeen tahun 2011 terdapat 17%

pasien yang mengalami rehospitalisasi setelah 30 hari keluar dari rumah sakit.

Salah satunya ialah gagal jantung kongestif. Pasien gagal jantung kongestif yang

selesai menjalani rawat inap rentan untuk kembali menjalani rawat inap ulang

akibat eksaserbasi dari gejala yang ditimbulkan oleh gagal jantung kongestif

(Tsuchihashi, Tsutsui & Kodama, 2001).

Menurut Suryadipraja (2007 dalam Majid, 2010) saat ini Congestive

Hearth Failure (CHF) atau yang biasa disebut gagal jantung kongestif merupakan

penyakit kardiovaskuler yang terus meningkat insiden dan prevalensinya. Risiko

kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung

ringan dan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, gagal

jantung merupakan penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang di

rumah sakit meskipun pengobatan rawat jalan telah diberikan secara optimal.

Sedangkan menurut Andrianto (2008), bahwa angka kematian karena gagal

jantung kongestif yaitu sebesar 20-50 % pasien, dan angka rawat ulang dengan

(4)

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit dan gagal gagal jantung dapat

terkontrol, maka pasien diupayakan secara bertahap untuk kembali kegaya hidup

dan aktivitas seperti sebelum sakit sedini mungkin. Aktivitas kegiatan hidup

seharí-hari harus direncanakan untuk meminimalkan timbulnya gejala yang

diakibatkan kelelahan, dan setiap aktivitas yang dapat menimbulkan gejala harus

dihindari atau dilakukan adaptasi. Berbagai penyesuaian kebiasaan, pekerjaan, dan

hubungan interpersonal harus dilakukan. Pasien harus dibantu untuk

mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara untuk menyelesaikannya

(Smeltzer & Bare, 1996).

Pasien sering kembali ke klinik atau rumah sakit diakibatkan adanya

kekambuhan episode gagal jantung. Kebanyakan kekambuhan gagal jantung

terjadi karena pasien tidak memenuhi terapi yang dianjurkan, misalnya tidak

mampu melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat, melanggar pembatasan

diet, tidak mematuhi tindak lanjut medis, melakukan aktivitas fisik yang

berlebihan, dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan (Smeltzer & Bare,

1996). Menurut Rich, Beckham & Wttenberg (2001), bahwa usia lanjut

merupakan resiko tinggi terjadinya rawat inap ulang (readmission) yaitu 29-47%

dalam waktu 3 – 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.

Kejadian rawat inap ulang (readmission) pada pasien gagal jantung

kongestif meningkat dengan persentase 29-47% setelah 3-6 bulan keluar dari

rumah sakit (Rich, Beckham, Leven, Witternberg, Freedland & Carney, 1995). Di

Yogjakarta, prevalensi pasien gagal jantung kongestif yang menjalani rawat inap

(5)

satu kali dalam waktu satu tahun sebesar 44.79% (Majid, 2010). Di RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta pada tahun 2008, jumlah penderita gagal jantung kongestif

yang dirawat di rumah sakit sebanyak 427 orang (18,2%), dan rata-rata yang

mengalami rawat inap ulang adalah 5,7% dalam setahun (Majid, 2010). Menurut

Arjunaidi (1998), bahwa sebanyak 27% klien dengan gagal jantung kongestif

akan menjalani rawat inap ulang setelah pulang dari rumah sakit. Untuk Indonesia

sendiri belum ada gambaran yang jelas mengenai prevalensi kejadian rawat inap

ulang khususnya untuk kota Medan.

Berdasarkan survey awal yang dilalukan peneliti jumlah pasien gagal

jantung tahun 2014 sebesar 831 orang. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2012, jumlah penderita

gagal jantung kongestif dewasa (usia > 20 tahun) di unit rawat kardiovaskular

RSUP sebanyak 755 orang. Penelitian dilakukan pada 200 rekam medis pasien

gagal jantung kongestif dewasa, didapati bahwa 133 orang (66,5%) pasien gagal

jantung kongestif memiliki riwayat hipertensi (Waty, 2012). Dalam penelitian

Jessup (2003) dituliskan bahwa 75% pasien gagal jantung memiliki riwayat

hipertensi. Menurut Salim pada tahun 2012, prevalensi rehospitalisasi pasien

gagal jantung kongestif di RSUP H.Adam Malik Medan ialah 11,02% dengan

durasi rata-rata 11 hari.

Perawat sebagai tenaga profesional di bidang pelayanan kesehatan

memiliki kontribusi yang besar dalam perawatan kesehatan khususnya klien

dengan gagal jantung kongestif baik saat dirawat, akan pulang dari rumah sakit

(6)

discharge planning, yang dilakukan setelah klien dinyatakan sembuh dan akan

pulang dari dari rumah sakit. Salah satu unsur penting dalam discharge planning

adalah health education atau penyuluhan kesehatan. Menurut Smeltzer & Bare

(2002), penyuluhan kesehatan pada pasien dengan gagal jantung bertujuan agar

dapat belajar dan mengerti sehingga mampu mengatur aktivitas dan istirahat

sesuai respons individual serta mengerti dan memahami bagaimana upaya untuk

memperlambat perkembangan penyakit dan perkembangan gagal jantung. Agar

penyuluhan kesehatan dapat efektif dan diterima serta terjadi internalisasi baik

oleh klien maupun keluarganya, maka perlu mengetahui

permasalahan-permasalahan yang dihadapi klien saat di rumah agar kejadian rawat inap ulang

pada klien gagal jantung kongestif dapat diminimalkan. Oleh karena itu, menjadi

sangat penting untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

rawat inap ulang pada pasien gagal jantung kongestif.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi rehospitalisasi pada klien gagal

jantung kongestif menurut Rich, Beckham & Wittenberg (1999) adalah faktor

perilaku yang diantaranya adalah ketidaktaatan berobat dan diet serta faktor sosial

diantaranya adalah isolasi sosial. Menurut studi yang dilakukan oleh Krumholz,

Chen, Ya-Ting, Wang, Vaccarino, Radford & Horwitz pada tahun 2000

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian rawat inap ulang

(readmission) diantaranya ialah infeksi (terutama infeksi saluran nafas seperti

pneumonia), infark miokard, disritmia jantung, ischemic heart disease, gagal

ginjal akut, dehidrasi dan gagal nafas. Sedangkan menurut Pauls (2000),

(7)

gagal jantung kongestif dikarenakan kurangnya partisipasi klien dalam perawatan.

Berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Philbin & DiSalvo

(2004), bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pasien dirawat ulang di

rumah sakit adalah riwayat sebelum masuk rumah sakit dan lama dirawat di

rumah sakit, hipertensi, usia, jenis kelamin, dukungan keluarga dan sosial,

perawatan tindak lanjut di rumah, kunjungan ke klinik secara rutin, dan dukungan

tenaga profesional. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Peg Bradke

(2009), bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya rawat inap ulang pada

pasien gagal jantung kongestif adalah kurangnya pendidikan kesehatan tentang

bagaimana perawatan diri di rumah, penggunaan obat-obatan yang tidak tepat,

kurangnya komunikasi dari pemberi pelayanan kesehatan (care giver) dan

kurangnya perencanaan tindak lanjut saat pasien pulang dari rumah sakit.

Menurut Majid dalam studi tahun 2010 mengatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif ialah

hipertensi (77,78%), derajat penyakit (60,87%), dukungan keluarga dan sosial

(57,14%), kepatuhan terapi (72,5%), kepatuhan terhadap diet (73,13%) dan cairan

tubuh (69,39%), tingkat aktivitas (36,96%), istirahat (33,33%), tingkat

pengetahuan (38,89%), tingkat kecemasan (64,29%) serta keteraturan kunjungan

ke klinik pasien gagal jantung kongestif (53,23%). Hasil studi yang dilakukan

oleh Harmilah (2001), salah satu penyebab terjadinya rawat inap ulang pada

pasien gagal jantung kongestif adalah ketidaktaatan klien dalam berobat yaitu

sebanyak 5,88% dari 34 responden dan hasil studi dari Subroto (2002) bahwa

(8)

rehospitalisasi pasien gagal jantung kongestif.

Penelitian tentang gagal jantung kongestif sudah pernah dilakukan di

RSUP H.Adam Malik Medan, akan tetapi hanya menjelaskan Prevalensi Penyakit

Jantung Hipertensi pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di rumah sakit yaitu

(66,5%) pasien gagal jantung kongestif memiliki riwayat hipertensi (Waty, 2012).

Sedangkan penelitian Salim 2012, prevalensi rehospitalisasi pasien gagal jantung

kongestif ialah 11,02% dengan durasi rata-rata 11 hari yang mana faktor-faktor

tersering yang menyebabkan klien rawat inap ulang yang diantaranya adalah

faktor-faktor sosio demografi, klasifikasi gagal jantung (kongestif kelas III 64,1%,

frekuensi rawat inap ulang (81,3%), durasi rawat inap ulang, faktor-faktor

penyebab (15,6%), survival/hasil akhir klinis (85,9%). Namun masih ada

faktor-faktor penyebab rehospitalisasi yang belum diteliti, misalnya kepatuhan diet,

kepatuhan terapi medis, dan riwayat hipertensi.

Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor lain

yang berhubungan dengan rawat inap ulang agar dapat terbukti secara empiris

serta dapat mengelaborasi penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan

faktor-faktor yang menyebabkan rawat inap ulang pada pasien gagal jantung kongestif.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang

hubungan antara kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat

hipertensi dengan kejadian rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif di

RS. HAM Medan, dan penelitian ini menjadi penelitian yang berbeda dengan

(9)

1.2. Permasalahan

Masalah dalam penelitan ini adalah

1.3.1 Bagaimana kepatuhan diet rendah garam pasien gagal jantung kongestif.

1.3.2 Bagaimana kepatuhan minum obat pasien gagal jantung kongestif.

1.3.3 Bagaimana riwayat hipertensi pasien gagal jantung kongestif.

1.3.4 Bagaimana hubungan antara kepatuhan diet rendah garam dengan kejadian

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.3.5 Bagaimana hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kejadian

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.3.6 Bagaimana hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian rehospitalisasi

pada pasien gagal jantung kongestif.

1.3.7 Bagaimana variabel dominan yang berhubungan dengan kejadian

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengidentifikasi bagaimana kepatuhan diet rendah garam pada pasien

gagal jantung kongestif

1.3.2 Mengidentifikasi bagaimana kepatuhan minum obat pada pasien gagal

jantung kongestif

1.3.3 Mengidentifikasi bagaimana riwayat hipertensi pada pasien gagal jantung

kongestif

1.3.4 Menganalisis bagaimana hubungan antara kepatuhan diet rendah garam

(10)

1.3.5 Menganalisis bagaimana hubungan antara kepatuhan minum obat dengan

kejadian rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.3.6 Menganalisis bagaimana hubungan antara riwayat hipertensi dengan

kejadian rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.3.7 Menganalisis variabel dominan yang berhubungan dengan kejadian

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.4. Hipotesis

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipoksis alternatif

(Ha) yaitu

1.4.1 Ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan diet rendah garam dengan

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.4.2 Ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan minum obat dengan

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.4.3 Ada hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi dengan

rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi atau bahan

pustaka tentang kepatuhan diet rendah garam, kepatuhan minum obat, riwayat

(11)

1.5.2 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan masukan bagi

perawat dalam memberikan intervensi keperawatan yang tepat untuk mengatasi

tingkat rehospitalisasi pada pasien gagal jantung kongestif dengan memfasilitasi

pasien bahwa dengan patuh diet rendah garam, patuh minum obat, mengontrol

hipertensi dapat menurunkan rehospitalisasi.

1.5.3 Bagi Peneliti

Proses penelitian ini dapat menambah pengetahuan, wawasan dan

pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian dan menjadi salah satu wadah

bagi peneliti untuk dapat mengaplikasikan konsep yang telah didapat selama di

perkuliahan.

1.5.4 Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan

peneliti selanjutnya dalam meneliti bidang yang sama. Diharapkan dapat menjadi

salah satu data riset keperawatan (evidence based) yang dapat dikembangkan

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata total keseluruhan biaya obat per pasien (dalam ribuan) selama perawatan pada pasien gagal jantung kongestif di Instalasi rawat inap RSUD Dr. Rata-rata biaya obat

Pentingnya pola makan yang baik bagi pasien gagal jantung kongestif sebagaimana dilakukan dalam penelitian Marcia (2016) yang meneliti upaya meningkatkan kualitas

KAJIAN INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI INSTALASI RAWAT JALAN

Data Interaksi Obat Berdasarkan Level Signifikan Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif Di Instalasi Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun

Berapa banyak interaksi obat yang terjadi pada pasien gagal jantung kongestif di.. Instalasi Rawat Inap RSUI Kustati Surakarta Periode

Penelitian lain mengenai “Analisis Faktor –Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Rawat Inap Ulang Pasien Gagal Jantung Kongestif di Rumah Sakit Yogyakarta tahun

Retensi cairan menyebabkan edema paru dan edema perifer (AHA, 2001) sehingga pasien gagal jantung dapat kembali mengalami rawat inap ulang akibat eksaserbai dari

Rumah sakit ini dipilih peneliti karena rumah sakit ini termasuk rumah sakit tipe A yang merupakan rumah sakit pusat rujukan yakni dari Propinsi NAD dan Propinsi Sumatera