BAB III
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN
A. Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Stabilitas sistem keuangan (SKK) pada dasarnya adalah upaya yang dilakukan
saat suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil. Suatu sistem keuangan
dikatakan tidak stabil adalah pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan
menghambat kegiatan ekonomi85
Ketidakstabilan sistem keuangan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal dan
umumnya merupakan kombinasi kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun
perilaku
.
86
. Sebagai sebuah sistem, stabilitas sistem keuangan harus dilakukan secara
menyeluruh dengan melibatkan lembaga. Kerjasama yang baik antara pemerintah dan
otoritas jasa keuangan sangat penting dalam menjaga stabilitas keuangan suatau
negara 87
85
Totok Budisantoso, Op.cit, hlm 41. 86
Ibid 87
Ibid, hlm 43.
. Pengalaman krisis pada 1997 menjadi pengalaman berharga bagi
perkembangan keuangan di indonesia, serta menjadi pembuktian mengenai pentingnya
stabilitas sistem keuangan. Terdapat tiga alasan utama mengapa Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK) itu penting. Pertama, sistem keuangan yang stabil akan menciptakan
kepercayaan dan lingkungan yang mendukung bagi nasabah penyimpanan dan ivestor
untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan, termasuk menjamin kepentingan
masyarakat terutama nasabah kecil. Kedua, sistem keungan yang stabil akan mendorong
dan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kestabilan sistem keuangan akan mendorong
beroperasinya pasar dan memperbaiki alokai sumber daya dalam perekonomian88
88
Adrian Sutedi, Aspek Hukum lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Jakarta, 2010, hlm 166-167.
. Maka
dari itu untuk mencegah terjadinya beberapa kemungkinan buruk dalam hal stabilitas
sistem keuangan maka dengan itu dibentuklah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan ( UU PPKSK) dimana
dalam undang-undang ini juga dibentuk sebuah Komite Stabilitas Sistem Keuangan,
yang mana terdapat dalam Pasal 4 dimana berbunyi :
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(2) Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan
untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang
perekonomian.
(3) Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beranggotakan:
a. Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota dengan hak suara;
b. Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota dengan hak suara;
c. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai anggota dengan
hak suara; dan
d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai anggota
(4) Setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan89
a. melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan
stabilitas sistem keuangan;
Dalam hal ini komite yang terdiri dari Kementrian Keuangan, Bank Indonesia,
Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin simpanan akan megadakan rapat
berkala yang diselenggarakan 1 (satu) kali setiaptiga bulan terdapat dalam pasal 8
dimana untuk menentukan status sistem keuangan apakah normal atau tidak. Sejumlah
tugas dan kewenangan serta fungsi KSSK diatur didalam UU PPKSK yang mana
dipimpin oleh Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota dan memiliki
hak suara. Sedangkan anggota lainnya yakni Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan Ketua Dewan Lembaga Penjamin Simpanan
juga memiliki hak suara yang sama dengan koordinator KSSK. Adapun tugas dan
wewenang Komite Stablitas Sistem Keuangan adalah sebagai berikut terdapat dalam
Pasal 5 sampai dengan pasal 6 yakni :
Komite Stabilitas Sistem Keuangan bertugas:
b. melakukan penanganan krisis sistem keuangan; dan
c. melakukan penanganan permasalahan Bank Sistemik, baik dalam kondisi
stabilitas sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan berwenang:
89
a. menetapkan keputusan mengenai tata kelola Komite Stabilitas Sistem
Keuangan dan sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
b. membentuk gugus tugas atau kelompok kerja untuk membantu
pelaksanaan tugas Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
c. menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas
Sistem Keuangan;
d. melakukan penilaian terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan
berdasarkan masukan dari setiap anggota Komite Stabilitas Sistem
Keuangan, beserta data dan informasi pendukungnya;
e. menetapkan langkah koordinasi untuk mencegah Krisis Sistem
Keuangan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari setiap anggota
Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
f. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan perubahan status
Stabilitas Sistem Keuangan, dari kondisi normal menjadi kondisi Krisis
Sistem Keuangan atau dari kondisi Krisis Sistem Keuangan menjadi
kondisi normal;
g. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan langkah
penanganan Krisis Sistem Keuangan;
h. menyerahkan penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik
kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
i. menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh anggota Komite
Stabilitas Sistem Keuangan untuk mendukung pelaksanaan penanganan
j. menetapkan keputusan pembelian oleh Bank Indonesia atas Surat
Berharga Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk
penanganan Bank; dan
k. Merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan
penyelenggaraan dan pengakhiran Program Restrukturisasi Perbankan90
Sedangkan dalam hal akuntabilitas dan pelaporan, Komite Stabilitas Sistem
Keuangan mempublikasikan dan memberikan akses informasi kepada publik terkait
keputusan komite tersebut. Komite ini pun berkewajiban mempublikasikan pelaksanaan
tugas dan kewenangannya sebagaimana amanat UU. Komite Stabilitas Sistem
Keuangan pun menetapkan jenis informasi yang bersifat rahasia, tidak bersifat rahasia
dan tata cara akses informasi oleh publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 14
Undang-Undang No. 9 tahun 2016 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sisitem
Keuangan. Sementara terhadap informasi yang bersifat rahasia, setiap orang yang
mengetahui informasi tersebut dikarenakan kedudukan, profesi maupun hubungan apa
pun dengan komite dilarang mengungkapkan ke pihak siapapun. Terkecuali dalam
rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana diwajibkan oleh UU .
91
Dengan adanya undang-undang ini maka Komite Stabilitas Sistem keuangan
memiliki landasan hukum dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) Indonesia
agar berfungsi efektif dan efesien, serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber
dari dalam dan luar negeri, serta dapat mengambil keputusan secepat mungkin untuk
mencegah dan menangani krisis keuangan.Perlindungan itu, kecuali terdapat unsur
90
Pasal 5-6 Undang- Undang No, 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis sistem Keuangan.
91
penyalahgunaan wewenang, adalah berupa tidak dapat dituntut, baik secara perdata
maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan
undang-undang tersebut lihat Pada Bab VI Pasal 48 ayat (1). Sebelum terbentuknya
Undang-Undang Pencegahan dan Penaganan Krisis Sistem Keuangan, Komite Stabilitas Sistem
Keuangan awalnya dikenal dengan Forum Stabilitas Sistem keuangan (FSSK) yaitu
forum koordinasi, kerjasama dan pertukaran informasi antara otoritas yang
berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dibentuk
pada 30 Desember 2005, berdasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin
Simpanan92
92
Totok Budisantoso, Op.cit, hlm 46.
. Dimana Forum Stabilitas Sistem Keuangan ini dibubarkan sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan dimana sebelumnya peraturan yang digunakan dalam rangka
memelihara stabilitas sistem keuanga adalah Perpu No. 4 Tahun 2008 yaitu Tentang
Jaringan Pengaman sistem Keuangan.Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang
anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan (Menkeu), Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), bertanggungjawab atas keputusan yang diambil dalam Forum Stabilitas Sistem
Keuangan (FSSK).Maka dengan itu UU PPKSK diharapkan dapat menjadi lajndasan
hukum bagi Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan
Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia agar
berfungsi efektif dan efisien, serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari
dalam negeri maupun luar negeri. Terciptanya sistem keuangan yang stabil akan
mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Serta terbentuknya Komite Stabilitas
Sistem Keuangan sesuai amanat Undang-Undang Pencegahan Dan Penaganan Krisis Sistem
Keuangan dapat memberikan keleluasaan komite dalam hal mengambil kebijakan terhadap
penanganan perbankan.
B. Pencegahan Krisis Sistem Keuangan
Mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan dan memelihara stabilitas
sistem keuangan secara terpadu dan efektif menjadi semakn penting setelah munculnya
krisis keuangan global pada awal tahun 2008. Indonesia melanjutkan penyusunan dan
penerapan kebijkan strategis di berbagai sektor keuangan, termasuk mempersiapkan
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangansebagai
landasan hukum lembaga untuk berkoordinasi dalam menjaga dan menciptkan stabilitas
sistem keuangan.
Maka dari itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan terdapat bahasan mengenai
Pencegahan Krisis Sistem Keuangan dimana hal ini merupakan tugas dari Komite
stabilitas sistem Keuangan, dimana terdapat dalam Pasal 16 sebagai berikut :
(1) Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan melakukan pemantauan dan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang setiap
anggota untuk mencegah terjadinya Krisis Sistem Keuangan.
(2) Pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan oleh anggota Komite
Stabilitas Sistem Keuangan dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan sesuai dengan
(3) Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyampaikan hasil pemantauan dan
pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di dalam rapat Komite Stabilitas
Sistem Keuangan.
(4) Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merumuskan rekomendasi kebijakan yang harus dilakukan oleh setiap anggota Komite
Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
Krisis sistem keuangan pernah terjadi di beberapa negara di dunia, tak terkecuali
Indonesia yang pernah mengalami krisis pada tahun 1997, dimana hal ini sangat
mempengaruhi kinerja prekonomian negara dan pada saat itu belum adanya aturan
hukum mengenai penanganan krisis keuangan.
Krisis keuangan dan perbankan yang terjadi pada tahun 1997-1998 telah
memberikan pelajaran yang sangat berharga atas pentingnya penciptaan suatu kerangka
stabilitas sistem keuangan dimana stabilitas sistem keuangan ini merupakan suatu
rangkaian dari proses dan kegiatan yang diawali dengan pemantauan, pengidentifikasian
kemungkinan timbulnya suatu krisis, sampai dengan pencegahan terhadap krisis
tersebut. Aspek pemantauan dan identifikasi krisis merupakan salah satu pilar penting
dalam menjaga stabilitas sistemkeuangan karena langkah preventif dan antisipatif
dipandang sebagai langkah yang lebih murah daripada penyelesaian krisis93
93
Anwar Nasution, “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan di Indonesia” http://www.lfip.org/english/pdf/baliseminar/Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20perbank an%20-%20anwar%20nasution.pdf, diakses tanggal 12 April 2017
.
Dalam Pasal 1 angka 2 Perpu No 4 Tahun 2008 tentang jaringan Pengaman
“Krisis adalah suatu kondisi sistem keuangan yang sudah gagal secara efektif menjalankan fungsi dan perannya dalam perekonomian nasional”
Banyak tulisan dan hasil kajian yang mencoba menjelaskan penyebab Indonesia
mengalami krisis yang dalam dan menelan biaya yang amat besar, khususnya disektor
perbankan. Selain merupakan perkembangan dari krisis nilai tukar, juga disebabkan
oleh rentannya sistem perbankan Indonesia, yang ditandai dengan kurang kuatnya
permodalan, manajemen yang kurang menerapkan good governance, serta tidak
kukuhnya kelembagaan, lemahnya pengaturan dan pengawasan ditengah pesatnya
peningkatan pertumbuhan perekonomian dan berlangsungnya integritas keuangan
Internasional 94. Dalam hal pencegahan krisis keuangan harus dilakukan secara
menyeluruh dengan melibatkan berbagai lembaga, koordinasi yang baik antar lembaga
sangat penting dalam menjaga stabilitas keuangan suatu negara sehingga dapat
megantisipasi/mecegah krisis keuangan. Pengalaman krisis yang pernah dihadapi
Indonesia dan negara lain, mendorong suatu kesadaran bahwa kewaspadaan dan
kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi krisis sistem keuangan di masa mendatang
mutlak diperlukan. Implementasi dari kewaspadaan dan kesiapan tersebut dapat
dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam sistem keuangan
Indonesia.95 Dalam melakukan pencegahan terhadap krisis keuangan agar tidak terjadi,
ataupun tidak dapat dicegah setidaknya diupayakan agar tidak masuk ke tahap
berikutnya yaitu tahap yang lebih buruk. pencegahan dapat dilakukan degan
mengeluarkan kebijakan, kebijakan itu sendiri dikelompokkan dalam dua paket
kebijakan besar seperti bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
94
Kusumaningtuti, Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm 2.
95
Naskah Akademik rancangan Undang-Undang Tentag Jaringan Pengaman Krisis Sistem Keuangan, hlm 2.
pendek biasanya menyangkut sisi moneter dan fiskal, seperti nilai tukar, inflasi, utang,
defisit neraca pembayaran, dan anggaran pemerintah. sementara pola kebijakan yang
bersifat jangka panjang menyangkut masalah sektor rill, kapasitas produksi,
ketenagakerjaan, dan struktur industri.96
96
Fatimah Ratna Wjayanthi, Analisis Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Krisis Perbankan Di Indonesia,hlm 3-4.
Dengan terbentuknya Undang-Undang mengenai Pencegahan dan Penganan
Krisis sistem Keuangan, pencegahan krisis keuangan dapat dilakukan dengan jelas oleh
masing-msing lembaga. Dapat diketahui bahwa pengertian dari pencegahan adalah
tindakan pihak yang berwenang dalam usaha menghalangi, menghentikan atau
mengurangi dampak atau akibat terjadinya risiko-risiko yang dijamin. Dalam hal ini
dengan dibentuknya Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat memberikan kebijakan
dalam hal mencegah krisis sistem keuangan. Dalam mencegah terjadinya krisis sistem
keuangan anggota komite stabilitas sistem keuangan melakukan pemantauan dan
pemiliharaan stabilitas sistem keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang setiap
anggota dimana hal ini dijelaskan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2016 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yaitu:
(1) Anggota Komite Stabilitas sistem Keungan melakukan pemantauan dan
pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan tugas dan wewenagan setiap
anggota untuk mencegah terjadinya Krisis Sistem Keuagan.
(2) Pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan oleh anggota Komite
Stabilitas Sistem Keuangan dilakukan berdaasarkan Undang-Undang dan sesuai dengan
(3) Anggaran Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyampaikan hasil pemantauan dan
pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merumuskan rekomendasi kebijakan
yang harus dilakukan oleh setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sesuai
dengan tugas dan wewenang masing-maasing.
Gejolak dalam lembaga keuangan khususnya bank, merupakan salah satu
sumber instabilitas. Oleh karena itu, krisis perbankan harus dicegah atau ditangani
untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem pembayaran dan arus kredit dalam
perekonomian. Terkait dengan hal tersebut, upaya membanguan sistem keuangan yang
stabil memerlukan perangkat aturan hukum (legalframework) yang mampu menjadi
landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral secara utuh. Sebagaimana telah
dipahami bahwa dalam Legal framework sistem keuangan dan perbankan nasional yang
berlaku pada masa terjadinya krisis, bank sentral yang pada waktu itu merupakan bagian
dari otoritas perbankan tidak dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai ketika
harus mengambil tindakan darurat (emergency) guna mengatasi systemic risk di sektor
perbankan yang hampir-hampir saja melumpuhkan sistem perbankan nasional.97
Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
terdapat pembahasan penting sehingga mendorong terbentuknya Undang-Undang ini,
yaitu mendorong upaya pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan
perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik. Dalam hal ini,
langkah antisipatf dalam hal mencegah krisis sistem keuangan akibat kegagalan bank
berdampak sistemik Otoritas Jasa Keuangan membentuk tiga Peraturan OJK yaitu
Peraturan OJK (POJK) Nomor 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak
97
Lanjut Pengawasan Bank Umum, Peraturan OJK (POJK) Nomor 16/POJK.03/2017
tentang Bank Perantara, dan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14/POJK.03/2017 tentang
Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik, maka melalui tiga aturan tersebut
regulator jasa keuangan bisa cepat melakukan pencegahan dan menangani masalah
krisis sistem keuangan.Bank Indonesia menerbitkan dua peraturan baru terkait pinjaman
atau pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada bank konvensional dan bank syariah,
yaitu PBI No.19/4/PBI/2017 tentang pembiayaan likuiditas Jangka Pendek syariah bagi
Bank Umum Syariah, dan PBI No.19/3/Pbi/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka
Pendek Bagi Bank Umum Konvensional yang merupakan ketentuan teknis hasil
penyelarasan dari Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (UU PPKSK) Nomor 9/2016.Dua peraturan tersebut akan menjadi koridor
bagi Bank Sentral saat ingin memberikan pinjaman atau pembiayaan jangka pendek
kepada perbankan yang dilanda kesulitan likuiditas dan berpotensi menimbulkan
krisis.98
Adapun tugas masing-masing otoritas keuangan dalam hal mencegah krisis
keuangan misalnya seperti Otoritas Jasa Keuangan yang fokus pada mikroprudensial
seperti pengawasan kesehatan lembaga keuanga sedangkan Bank Indonesia fokus pada
makroprudensial dan menjaga nilai tukar rupiah terhadap ancaman krisis keuangan99
98
http://konfrontasi.com/content/ekbis/cegah-krisis-keuangan-bi-terbitkan-dua-peraturan-baru, diakses 03 Mei 2017, Pukul 12:06 WB.
99
Detik.com, https://finance.detik.com/moneter/d-3436705/gandeng-adb-dan-apec-bi-gelar-seminar-pencegahan-krisis-keuangan, diakses 12 April 2016, Pukul 10:57 WIB.
.
Lembaga Penjamin Simpanan pada bagaimana resolusi bank, dan Kementrian keungan
pada bagaimana apabila terjadi suatu krisis sistemik. Keempat lembaga itu memiliki
dini. Pencegahan dan penanganan krisis yang merupakan fungsi Komite Stabilitas
Sistem Keuangan tidak terbatas pada Lembaga Keuangan Bank (LKB) tetapi juga
Lembaga Keuagan Bukan Bank (LKBB) juga menetukan apakah kedua lembaga
mengalami permasalahan keuagan yang berdampak sistemik sehingga membutuhkan
bantuan dana untuk mengatasi permasalahn tersebut.
Dalam Pasal 2 pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan
diselenggarakan berdasarkan asas :
a. Kepentingan nasional
b. Kemanfaatan
c. Keadilan
d. Keterpaduan
e. Efektivitas
f. Efesiensi
g. Kepastian hukum
Dimana maksud dari asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat di atas kepentingan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah seluruh pengaturan kebijakan
bangsa, negara, dan masyarakat, khususnya dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan
umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah penyelenggaraan pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan
kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan merupakan kesatuan yang utuh, saling menunjang,
selaras antarberbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali yang
didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas efektivitas” adalah penyelenggaraan pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan secara tepat dalam mencegah dan menangani
permasalahan Krisis Sistem Keuangan, termasuk permasalahan Bank Sistemik.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah penyelenggaraan pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan menggunakan sumber daya secara tepat guna dan
berdaya guna untuk memastikan keefektifan pencegahan dan penanganan permasalahan
Stabilitas Sistem Keuangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah penyelenggaraan pencegahan
bagi pengambil keputusan dalam menetapkan langkah pencegahan dan penanganan
Krisis Sistem Keuangan.100
C. Penanganan Krisis Sistem Keuangan
Dengan adanya asas pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan diharapkan
memberikan keseimbangan kepentingan baik kepada bangsa, negara dan masyarakat
atas kepentingan lainnya, sehingga tidak terjadi ketidakseimbangan. Oleh karena itu,
krisis perbankan harus dicegah atau ditangani untuk menghindarkan gangguan terhadap
sistem pembayaran dan arus kredit dalam perekonomian.
Koordinasi empat lembaga (Komite stabilitas Sistem Keuangan) dalam mencegah
krisis sangat memiliki peran yang sangat penting. Keempat lembaga itu memiliki
mekanisme pencegahan krisis dengan membangun indikator-indikator untuk deteksi
dini. Semislanya Bank Indonesia mengembangkan indikator untuk krisis nilai tukar dan
deteksi dini mengenai stabilitas sistem keuangan. sementara OJK mengembangkan
mengenai kesehatan lembaga keuanagan, diataranya bank dan nonbank,dan pasar
modal. Kementerian keuangan juga mengembangkan indikator untuk berbagai risiko
fiskal diantaranya dampak bila pajak kurang, defisit terlalu tinggi, termasuk resiko yang
dapat mengancam pasar SBN. Sedangkan LPS mengembangkan deteksi terhadap resiko
perbankan maupun persiapan penanganannya.
Dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis sistem Keuangan adapun isi dari pasal tersebut adalah sebagai
berikut :
100
1) Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat meminta penyelenggaraan rapat
Komite Stabilitas Sistem Keuangan kepada koordinator Komite Stabilitas Sistem
Keuangan jika protokol manajemen krisis yang dimilikinya mengindikasikan adanya
permasalahan pada bidang yang menjadi tanggung jawab setiap anggota yang dapat
memengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan.
(2) Permintaan penyelenggaraan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan hasil penilaian protokol manajemen krisis
anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang bersangkutan yang mengindikasikan
adanya permasalahan pada bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
(3) Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota Komite Stabilitas Sistem
Keuangan memberikan informasi mengenai hasil penilaian protokol manajemen krisis
yang memengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan di bidang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2).
(4) Penilaian mengenai status Stabilitas Sistem Keuangan didasarkan pada data,
informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan
dari seluruh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, termasuk pertimbangan
profesional setiap anggo ta Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(5) Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyepakati status Stabilitas Sistem
Keuangan dalam kondisi:
a. normal; atau
6) Dalam hal rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan menilai Stabilitas Sistem
Keuangan dalam kondisi normal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a,
penanganan permasalahan Sistem Keuangan dilakukan oleh anggota Komite Stabilitas
Sistem Keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
(7) Dalam hal rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan menilai Stabilitas Sistem
Keuangan dalam kondisi Krisis Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf b, Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyampaikan rekomendasi kepada
Presiden untuk memutuskan perubahan status Stabilitas Sistem Keuangan dari kondisi
normal menjadi kondisi Krisis Sistem Keuangan.
(8) Penyampaian rekomendasi kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
disertai dengan langkah penanganan kondisi Krisis Sistem Keuangan yang mencakup
bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(9) Presiden memutuskan paling lambat 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam status
Stabilitas Sistem Keuangan menjadi kondisi Krisis Sistem Keuangan sesuai dengan
rekomendasi atau menolak rekomendasi status Stabilitas Sistem Keuangan yang
disampaikan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Pasal 33
Dalam hal Presiden menolak rekomendasi status Stabilitas Sistem Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (9), penanganan permasalahan Sistem
Keuangan dilakukan oleh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan
Pasal 34
Dalam hal Presiden memutuskan Stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi Krisis
Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (9), Presiden dapat
menerima sebagian atau seluruh rekomendasi langkah penanganan yang disampaikan
oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(8).
Pasal 35
Selain langkah penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Komite Stabilitas
Sistem Keuangan dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memutuskan perubahan
besaran nilai simpanan nasabah penyimpan pada Bank yang dijamin oleh Lembaga
Penjamin Simpanan.
Pasal 36
(1) Dalam hal Komite Stabilitas Sistem Keuangan menilai terjadi perubahan Stabilitas
Sistem Keuangan dari kondisi Krisis Sistem Keuangan menjadi kondisi normal, Komite
Stabilitas Sistem Keuangan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden untuk
memutuskan perubahan status Stabilitas Sistem Keuangan.
(2) Presiden memutuskan paling lambat 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam status
Stabilitas Sistem Keuangan menjadi kondisi normal sesuai dengan rekomendasi atau
menolak rekomendasi perubahan status Stabilitas Sistem Keuangan menjadi kondisi
normal yang disampaikan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Krisis Perbankan atau biasa disebut krisis keuangan merupakan salah satu jenis
krisis ekonomi yang paling sering terjadi dibanyak negara. Krisis perbankan ini bersifat
krisis maka perusahaan-perusahaan yang notabene dibiayai kegiatan produksinya oleh
bank akan mengalami kesulitan. Krisis perbankan menyebabkan suku bunga pinjaman
menjadi naik, karena permintaan kredit yang besar dari dunia usaha, namun disisi lain
pada waktu yang bersamaan dana yang terkumpul di perbankan dari pihak ketiga
(masyarakat) untuk disalurkan sebagai kredit usaha terbatas. Bahkan pada saat krisis
perbankan, yang sering terjadi adalah penarikan dana dari bank-bank oleh para nasabah
secara serentak yang berakibat bank-bank tersebut mengalami kehancuran seketika.101
1. Daya beli yang merosost tajam, baik karena penurunan pendapatan secara
nominal, maupun akibat melonjaknya harga pangan dan barang barang
kebutuhan pokok lain, konsumen dan berbagai sektor dalam perekonomian juga
dipaksa mengurangi konsumsi;
Terjadinya krisis keuangan memberikan banyak dampak yang harus diterima oleh
Indonesia, baik pada bursa saham, pasar modal, pasar uang dan sistem perbankan,
diantaranya:
2. masyarakat pun mulai merasakan memburuknya kualitas kehidupan mereka,
seperti akses kepemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan dan hancurnya
infrastruktur dasar;
3. Banyaknya pengangguran karena sektor industri tidak lagi berjalan seperti biasa
yang disebabkan oleh adanya penurunan produksi;
4. Penurunan indeks di lantai bursa karena sentuhan negatif dari bursa global yang
mengakibatkan para investor mengalami kerugian;
101
5. Nilai tukar rupah terhadap dollar AS yang semakin menurun karena banyak para
eksportir yang membutuhkan uang dollar untuk bertransaksi dengan pihak asing;
6. Sektor riil domestik dan internasional terhubung secara langsung melalui
aktivitas ekspor dan impor karena sebagian permintaan ekspor komoditas
Indonesia akan berkurang;
7. Di pasar keuangan domestik hanya berdampak berupa pelepasan surat berharga
domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing.
Melihat begitu banyaknya dampak krisis, maka tentu harus diimbangi dengan kiat-kiat
yang baik guna menanggulangi keseluruhan hal tersebut.102
Dalam Hal pencegahan dan penanganan krisis sistem keuagan, Otoritas Jasa
Keuangan merilis tiga aturan baru turunan dari Undang-Undang pencegahan Dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang mana mengatur tentang penanganan bank
sistemik bila mengalami permasalahan solvabilitas ( keadaan tidak mampu membayar
kewajibannya) salah satunya yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 14
Tahun 2017 mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum,
dimana aturan ini sesuai dengan amanat Pasal 21 Undang-Undang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Peraturan OJK ini bagi bank sistemik
apabila mengalami kondisi yang semakin memburuk serta telah memenuhi kriteria
berdmpak sistemik sesuai yang telah ditetapkan maka otoritas Jasa Keuangan meminta
agar diselnggarakan Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk menetapkan
langkah penanganan permasalahan bank sistemik. Aturan ini memberikan ketegasan dan
kejelasan dalam penerapan kebijakan dalam penanganan krisis disektor keuangan,
102
dengan adanya Undang-Undang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
ini memberikan landasan hukum bagi lembaga/otoritas lain dalam menangani stabilitas
sistem keuagan. Adapun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang penetapan status dan
tindak lanjut pengawasan bank umum memuat aturan mengenai penanganan
permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun bank tidak
sistemik Peraturan OJK 14/POJK.03/2017, sedangkan Peraturan OJK 15/POJK.03/2017
tentang Rencana Aksi Bagi Bank Sistemik, dan Peraturan OJK 16/POJK.03/2017
tentang Bank Perantara. Dalam POJK untuk Rencana Aksi, OJK meniadakan skema
dana talangan dari luar ( bail out) dan menggantinya dengan dana talangan dari dalam
(bail in).
Sedangkan mengenai Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
Umum dalam ketentuan ini diatur bahwa status pengawasan terdiri dari 3 (tiga) tahap
yaitu, pengawasan normal, pengawasan intensif, pengawasan khusus. Dan POJK
tentang bank perantara memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara,
bank perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh Lembaga Penjamin
Simpanan.keberadaan bank perantara membuka opsi penanganan permaslahan
solvabilitas bank tidak hanya dilakukan dengan cara pengalihan sebagian atau seluruh
aset dan/atau kewajiban bank bermasalah kepada bank penerima, penyertaan modal
semntara, atau pencabutan izin usha bank, namun juga dapat melalui pendirian bank
perantara yang digunakan sebagai sarana resolusi untuk menerima aset dan/atau
kewajiban yang mempunyai kualitas baik dari bank bermasalah. Terkait POJK tentang
Recovery Plan memuat aturan mengenai kewajiban bank sistemik untuk
yang mungkin terjadi di bank sistemik dengan cara menyusun Rencana aksi.103
Sedangkan Bank Indonesia menerbitkan dua peraturan terkait pinjaman atau
pembiayaan lukiditas jangka pendek kepada bank konvensional dan bank syariah,
merupakan ketentuan teknis hasil penyelarasan dari Undang-Undang Penceghan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dua peraturan tersebut merupakan kententuan
terhadap Bank sentral saat akan memberikan pinjaman atau pembiayaan jangka pendek
kepada perbankan yang kesulitan likuiditas dan berpotensi menimbulkan krisis.Adapun
pperaturan tersebut adalah Peraturan BI (PBI) No.19/3/PBI/2017 tentang PLJP bagi
bank umum konvensional dan PeraturanBI (PBI) No.19/4/PBI/2017 tentang PLJPS bagi
bank umum Syariah.104
103
Siaran Pers Otoritas Jasa Keuangan, www.OJK.go.id, hlm 2-3. 104
AntaraNews, BI Terbitkan Aturan Baru Pencegahan Krisis Keuangan, m.antaranews.com, diakses 12 Juni 2017 Pukul 18:35 WIB.
Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia ini merupakan
aturan turunan atas Undang-Undang Nomor9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan, peraturan ini dibentuk dalam hal mengantisipasi
BAB IV
PENENTUAN BANK SISTEMIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
KRISIS SISTEM KEUANGAN
A. Kriteria Suatu Bank Ditetapkan Sebagai Bank Berdampak Sistemik
Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting bagi
perekonomian nasional. Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas
perekonomian secara keseluruhan. Sebuah bank dikatakan bermasalah atau mengalami
kegagalan bila sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajiban deposan dan kreditur.
Tatkala krisis moneter global semakin memperlihatkan dampak yang mendalam di
Indonesia di tahun 2008 lalu, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankkan (DPNP)
Bank Indonesia melakukan analisa peringatan dini (early warning analysis) melalui
simulasi ketahanan industri perbankan (stress testing) dan melaporkan hasilnya kepada
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. Dengan adanya laporan ini akan memberi
informasi memadai mengenai kondisi dan kerentanan sistem keuangan dan perbankan
guna mengambil keputusan yang bertujuan untuk mencegah krisis dan memelihara
stabilitas sistem keuangan105
Seiring dengan berjalannya waktu serta perkembangan perekonomian nasional maupun
internasional yang senantiasa bergerak cepat, disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin
luas serta harus selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi
dan tanggung jawabnya kepada masyarakat, sehingga Undang-undang Perbankan beberapa kali
mengalami perubahan/amandemen. Amandemen pertama ialah dengan dikeluarkannya
Undang-.
105
undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sedangkan amandemen kedua ialah dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selanjutnya definisi Bank sesuai dengan Undang-undang
Perbankan yaitu pada pasal 1 ayat (2) berbunyi sebagai berikut :
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. “
Keseluruhan Undang-undang tersebut juga telah mengatur Asas, Fungsi serta Tujuan
Perbankan secara jelas. Adapun pasal-pasal pada Bab II Undang-undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
mengatur sebagai berikut :
(2). Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
(3). Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat.
(4). Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional
kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Seperti diketahui Bank merupakan suatu badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya penawaran dan permintaan
kredit dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak pada waktu yang telah
fungsi keuangan misalnya memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, bertindak
sebagai tempat penyimpanan benda berharga, membiayai usaha perusahaan dan
sebagainya. Alasan utama mengapa Bank dilengkapi dengan regulasi yang ketat karena
gagalnya suatu bank bisa berdampak jangka panjang melintasi perekonomian serta
berbagai aspek penting suatu negara. Gagalnya suatu bank secara parsial atau total dapat
mempengaruhi perekonomian negara secara keseluruhan. Hal ini mengacu pada suatu
risiko yang mulai sering disebut-sebut kalangan perbankan serta semakin mencuat
kepermukaan setelah terjadinya kasus Bank Century (Pada tanggal 20 November 2008,
Bank Indonesia menyatakan Bank Century sebagai Bank Gagal yang ditengarai
Berdampak Sistemik), yang masih menjadi perdebatan serta ketakutan akan trauma
masa lalu ketika krisis moneter pada tahun 2007 yang meluluhlantakkan perekonomian
Indonesia dan masih dirasakan sampai saat ini. Risiko ini kerap disebut sebagai risiko
sistemik (systemic risk).Risiko sistemik pada sistem perbankan disebabkan oleh adanya
korelasi yang tinggi dari kegagalan bank-bank pada suatu Negara, sejumlah negara atau
secara global. Risiko sistemik juga bisa terjadi pada bagian-bagian yang lain dari sektor
keuangan dan bisa berdampak secara domestik maupun transnasional. Dampak sistemik
pernah dialami Indonesia pada tahun 1997, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga perbankan menyebabkan penarikan dana besar-besaran secara bersamaan pada
lembaga keuangan bank yang lebih dikenal dengan “rush” konsekuensi logis
berdampak dengan diikutiya krisis moneter yang meluluhlantakkan korporasi-korporasi
serta berimbas pada masyarakat luas. Istilah sistemik diambil dari kata sistem.
Kegagalan sistemik berarti kegagalan-kegagalan yang menyebabkan kerusakan secara
Undang-undang No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK),
yang dimaksud berdampak sistemik adalah:
“Berdampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”
Menurut Lembaga Internasional, seperti Bank for International Settlements dan
European Central Bank menekankan berdampak sistemik mengacu pada istilah:
“kekacauan yang menyeluruh, bersifat tiba-tiba, menghasilkan efek domino kekacauan
finansial yang lebih besar.”106Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 tentang
Fasilitas Pembiayaan Darurat untuk Bank Umum, pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
ayat (8) terdapat istilah Dampak Sistemik, yang selanjutnya didefinisikan sebagai
berikut:
“Dampak sistemik adalah potensi penyebaran masalah (contagion effect
Secara umum, risiko atau dampak sistemik sering didefinisikan sebagai peluang
hancurnya suatu sistem secara keseluruhan, bukan hanya dari suatu bagian individual
dari sistem tersebut melainkan bisa dari korelasi antara semua bagian yang ada dalam
sistem tersebut (sudah tentu tingkat risiko berbeda sesuai dengan lapangan yang terkena ) dari satu bank
bermasalah yang dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank-bank lain sehingga
berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem perbankan dan
mengancam stabilitas sistem keuangan.”
106
dampak).107
1. Bank yang bermasalah secara struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi
yang sangat parah dan setiap saat dapat terancam keberlangsungannya.
Karakteristik bank yang masuk ke dalam kategori ini antara lain kualitas aktiva
produktif tidak sehat, mengalami rugi cukup besar serta likuidasi yang buruk.
Keadaan yang seperti ini biasanya disebabkan pemilik banyak ikut campur
tangan dalam pengelolaan manajemen yang dapat dilihat dari besarnya kredit
yang diberikan kepada grup atau kelompok pemilik.
Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank mengalami suatu kesulitan
yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank
yang semakin memburukdengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset,
likuiditas, dan lain sebagainya, hal tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang sesuai
dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Bank yang
bermasalahdapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
2. Bank yang bermasalah secara non-struktural, yang masuk kedalam kategori ini
biasanya dengan karakteristik pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam
pengelolaan manajemen dan menyadarikesalahannya. Dan walaupun bank dalam
kondisi rentabilitas cenderung memburuk, namum modal bank masih mencukupi
penyediaan modal minimum. Kategori bank seperti ini memiliki tingkat
kesehatan yang kurang atau tidak sehat.108
107
Made Gde Subha Karma Resen, Resiko Sistemk Pada Perbankan (Peran Bank Indonesia
Sebagai The Last Resort)
April 2017, Pukul 18:33 WIB. 108
1. Berpotensi menimbulkan moral hazard. Kriteria berdampak sistemik
memang sengaja tidak dinyatakan eksplisit. Jika semua bank tahu tentang
kriteria berdampak sistemik, maka pengelola bank cenderung secara
sengaja mendorong atau mengkondisikan diri masuk ke kriteria
berdampak sistemik tersebut, hingga bisa minta bantuan pemerintah demi
keuntungan-keuntungan yang tidak wajar. Ini adalah bentuk dari moral
hazard.
Kriteria suatu bank dapat dikategorikan berdampak sistemik tidak dinyatakan
secara eksplisit dalam Undang-undang. Tidak dinyatakan kriteria ini secara eksplisit
disebabkan 2 alasan utama yaitu :
2. Pengukuran Dampak Sistemik Bersifat Situasional. Dampak sistemik bisa
diakibatkan banyak hal, internal maupun eksternal. Hal internal bisa berupa
masalah dari dalam lembaga bank itu sendiri. Sedangkan eksternal bisa
berupa bencana alam, krisis keuangan global maupun bentuk-bentuk lain
yang berpengaruh terhadap sistem keuangan. Ini yang menyebabkan
dampak sistemik sulit ditentukan batasannya. Suatu lembaga keuangan
dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun
tidak berdampak sistemik pada situasi yang berbeda. Perlu professional
judgment untuk memutuskan hal tersebut. Di situlah diperlukan pembuat
kebijakan yang mempunyai kompetensi dan pengalaman yang mumpuni
serta integritas yang tinggi.109
109
Bank Gagal Berdampak Sistemik,
Selain aspek di atas, Bank Indonesia juga menambahkan satu aspek lagi
yaitu aspek psikologi pasar. Penambahan aspek psikologi pasar ini ditambahkan karena
merujuk pengalaman Indonesia pada krisis 1997-1998 lalu sehingga perlu dimasukkan
untuk mencegah krisis serupa terulang. Pada masa itu, penutupan 16 bank yang hanya
menguasai 2,3% dari total aset perbankan berdampak psikologis negatif bagi pasar
keuangan. Ini berujung pada penarikan besar-besaran dana nasabah di bank-bank lain
sehingga mengakibatkan krisis perbankan dan merambah pada krisis keuangan dan
sektor lainnya.110
a. Jangka waktu sebgaimana dimaksud Pasal 8 belum terlampaui namun
kondisi Bank menurun dengan cepat.
Dalam hal komite koordinasi telah menetapkan bank yang ditempatkan dalam
pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/38/PBI/2005 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagai
Bank Berdampak Sistemik dan bank bersangkutan memenuhi kriteria :
b. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 terlampaui, rasio
kewajiban penyediaan modal minimum kurang dari 8% ( delapan
perseratus) dan kondisi bank tidak mengalami perbaikan, atau
110
c. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 belum terlampaui
namun jangka waktu fasilitas pembiayaan darurat yang diterima oleh bank
telah jatuh tempo dan tidak dapat dilunasi.111
Pada dasarnya BI selaku otoritas pengaturan dan pengawasan perbankan
mengelompokkan beberapa bank besar sebagai systemically important bank (SIB). SIB
merupakan bank yang memiliki ukuran (size) cukup signifikan, yang dalam keadaan
normal dapat berdampak sistemik terhadap sistem keuangan nasional apabila bank
tersebut mengalami kegagalan. Untuk Indonesia, terdapat 15 bank terbesar yang masuk
dalam kategori SIB berdasarkan besaran asetnya. Dalam kondisi normal, bank yang
dikategorikan sebagai SIB tidak boleh gagal, apalagi dalam kondisi krisis. Kegagalan
SIB akan sangat membahayakan sistem pembayaran, sistem keuangan bahkan
perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengawas bank melakukan pengawasan khusus
terhadap bank-bank yang termasuk dalam kategori tersebut. Terdapat 2 kriteria umum
yang digunakan Bank Sentral untuk menentukan SIB, yakni :
1. Too big to fail. Semakin besar ukuran suatu bank (misalnya dilihat dari sisi nilai
asset, nilai transaksi, atau jumlah cabang), maka bank tersebutmemiliki dampak
sistemik yang semakin tinggi. Oleh karena itu, bank tersebut tidak boleh
dibiarkan gagal.
2. Too interconnected to fail. Semakin besar keterkaitan suatu bank dengan bank
atau lembaga keuangan lainnya (misalnya melalui pinjaman antar bank atau
111
kepemilikan), maka bank tersebut semakin tinggi dampak sistemiknya. Oleh
karena itu, bank tersebut tidak boleh dibiarkan gagal.
Namun demikian, dengan perkembangan sektor keuangan yang semakin komplek dan
terkait satu sama lain, pandangan di atas tidak dapat diterapkan, sebab kriteria umum
tersebut di atas lazimnya digunakan dalam kondisi normal. Situasi kondisi tahun 2008
bukan lagi kondisi normal namun sudah krisis, sehingga aspek psikologis yang sudah
tertekan di masyarakat pada kondisi tersebut menjadi pertimbangan tambahan dalam
pengambilan kebijakan. 112
B. Dampak Yang Ditimbulkan Oleh Bank Sistemik Terhadap Dunia Perbankan Dan Perekonomian Nasional
Adapun Indkator penetapan Systemically Important
Bankterdapat dalam POJK Nomor 46/POJK.03/2015 dimana dalam Pasal 5 disebutkan :
Indikator yang digunakan dalam metodologi penetapan SIB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas:
a. ukuran Bank (size);
b. keterkaitan dengan sistem keuangan (interconnectedness); dan
c. kompleksitas kegiatan usaha (complexity
Bank sistemik adalah bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas
jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan
sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagaian atau keseluruhan bank
112
lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun secara finansial, jika
bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Dan kegagalan bank akan memiliki
dampak merugikan bukan hanya pada perbankan saja namun bagi perekonomian
nasional juga. Dampak buruk itu dapat dilihat dari sisi besarnya biaya fiskal untuk
mengatasi krisis.113 Dampak yang ditimbulkan oleh bank sistemik bagi dunia perbankan
berimbas juga terhadap kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan, dimana
akan terjadi penarikan dana besar-besaran secara bersamaan pada lembaga keuanagan
bank yang lebih dikenal dengan “ rush” konsekuensi nya berdampak dengan diikutinya
krisis moneter serta berimbas kepada masyarakat.114 Dampak sistemik dari suatu bank
tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan hal serupa seperti yang terjadi pada
masa Bank Century yang menuai kontroversi pada masa itu yaitu pertama, kondisi
sistem pembayaran, sstem pembayaran boleh jadi berjalan normal, namun dengan gejala
segmentasi di pasar uang antarbank (PUAB) yang makn meluas. Terdapat juga potensi
kerentaan apabila terjadi capital outflow yang mengakibatkan bank-bank
menengah-kecil akan mengalam kesulitan likuiditas, sehingga hal ini membuat bank-bank
cenderung menahan likuiditas, baik rupah maupun valuta asing untuk keperluan
likuiditas masing-masing. Kedua, dampak terhadap pasar keuangan, ketiga adalah
dampak kepercayaan publik dan psikologis pasar. Keempat, berdampak pada bank
lain. 115
113
Ugroho Agung Wijoyo, Mencegah Krisis Keuangan, https://www.pressreader.com, diakses 11 Mei 2017, Pukul 20:33 WIB.
114
Made Gede Subha Karma Resen, Risiko Sistemik Pada Perbankan ( Peran Bank Indonesia Sebagai Lender of the Last Resort), 11 Mei 2017, Pukul 20:39 WIB.
115
Bank berdampak sistemik yang mana suatu bank, lembaga keuangan bukan bank
yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang lain sehingga menyebabkan hilangnya
kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional. Karena penarikan
besar-besaran kemungkinan dapat terjadi dan dampaknya jika hal ini terjadi akan
menyebabkan inflasi yang akan menimbulkan kemerostonan dan gejolak nilai tukar
rupiah yang berujung pada krisis ekonomi. Permasalahan di perbankan bisa
mengakibatkan dampak serius bagi perekonomian. Risiko sistemik oleh suatu bank
adalah risiko dimana kegagalan sebuah bank tidak tidak hanya berdampak langsung
terhadap karyawan, pemegang saham, dan nasabah tetapi dapat menghancurkan
perekonomian. Hal ini lebih dikenal dengan “ run on a bank” atau “bank rush”.
Ketidakmampuan bank memenuhi kewajiban dan membayar kembali nasabah
yang ingin menarik dana nya dapat terjadi karena :
a) Risiko kredit yang buruk ; presepsi dari sebagian nasabahnya (bersifat
tidak nyata)
b) Gejolak ekonomi (economic shock), sehingga debitur macet akan
meningkat secara signifikan. Bank masih akan terkena risiko
perekonomian negara walaupun sudah melakukan diversifikasi
portofolio kreditnya.
Dampak potensial dari kegagalan pengelolaan risiko suatu bank yaitu :
1. Pemegang saham
b) Penurunan nilai investasi-harga saham yang turun karena reputasi yang
buruk atau penurunan laba
c) Hilangnya deviden sebagai akibat dari penurunan laba perusahaan
d) Pemegang saham bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada
perusahaan.
2. Dampak bagi pegawai
a) Tindakan indisipliner karena kesenjangan atau kealpaan
b) Kehilangan pendapatan
c) Kehilagan pekerjaan
3. Dampak pada nasabah
a) Penurunan kualitas layanan konsumen
b) Peneurunan ketersedian produk
c) Krisis likuiditas
d) Perubahan peraturan.116
Kaufman (1996) juga mencatat bahwa kegagalan bank memiliki efek merusak
yang lebih besar terhadap perekoonomian dan lebih penting daripada kegagalan jenis
lain dari perusahaan bisnis karena ketakutan bahwa kegagalan bank dapat meyebar
dengan cara domino seluruh sisitem perbankan. Kaufman (1996) mengidentifikasi lima
alasan untuk relevansi yang lebih besar untuk resiko sistemik di perbankan daripada di
industri lain yaitu (1) terjadi lebih cepat, (2) menyebar lebih luas dalam industri
perbankan, (3) mengakibatkan sebagian besar bank mengalami kegagalan, (4)
116
menimbulkan kerugian yang lebih besar kepada kreditor di bank-bank gagal, (5)
tersebar diluar industri perbankan ke sektor lain dan negara- negara lain.117
117
Alfiana, Risiko Sistemik, https://www.academia.edu/26866192/risiko_sistemik, diakses pada 12 Juni 2017 pukul 9:37 WIB.
Melihat kasus Bank Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak
sistemik oleh Komite Stablitas Sistem Keuangan pada 21 November 2008 hal ini untuk
mencegah krisis keuangan di Indonesia. Penetapan Bank Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik mengharuskan Lembaga Penjamin Simpanan turut ambil bagian
untuk menyelamatkan bank bermasalah didasarkan pada Peraturan pemerintah
Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).Pada saat itu sesuai Pasal 5 Peraturan Bank
Indonesia No 6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan Dan pentetapan Status
Bank, dalam hal Bank Indonesia menilai suatu bank mengalami kesulitan yang
membahayakan usahanya maka bank terebut ditempatkan dalam pengawasan khusus
Bank Indonesia. Dalam hal tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank
Otoritas Jasa Keuagan merilis Peraturan OJK (POJK) Nomor 15/POJK.03/2017 tentang
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, peraturan ini tidak
berbeda jauh dengan Peraturan Bank Indonesia No 6/9/PBI/2004 namun dalam POJK
ini, OJK memajukan peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk terlibat
menangani bank yang sudah masuk pengawasan intensif. Dalam POJK mengenai
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum, Otoritas Jasa Keuangan
mengkategorikan pengawasan bank menjadi tiga yakni pengawasan normal,
C. Peran Lembaga Dalam Penetapan Bank Berdampak Sistemik
Penetepan bank sistemik merupkan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2016 tentang pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Bank sistemik harus ditetapkan pertama kali saat kondisi normal, bukan saat krisis.
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 mengatur penetapan bank
sistemik dalam rangka mencegah krisis sistem keuangan dibidang perbankan dilakukan
oleh Otoritas jasa Keuangan (OJK) berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) .
penetapan pertama kali dilakukan pada kondisi stabilitas sistem keuangan normal hal ini
terdapat dalam Pasa 17 ayat (2) yang artinya penetapan sistemik atau tidaknya suatu
bank, tidak boleh dilakukan pada saat bank tersebut mengalami permasalahan . Selain
itu daftar bank sistemik juga harus dilakukan pemutakhiran atau pembaharuan dalam
enam bulan satu kali. Dan hasilnya disampaikan ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan,
hal ini terdapat dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Dalam hal pencegahan dan penangan krisis sistem keuangan Otoritas Jasa
Keuangan telah mengantisipasi dengan mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor
46/POJK.03/2015 tahun 2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank dan
Capital Surcharge. Pasal 2 POJK Nomor 46/POJK.03/2015 mengatur bahwa dalam hal
menetapkan daftar Bank Sistemik (systemically important bank) dan tambahan modal
(capital surcharge) untuk bank sistemik Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
pihak Bank Indonesia.118
118
Hukum Online,
Dalam penetapan bank sistemik dilakukan oleh Komite
Stabilitas sistem Keuangan sesuai dengan amanat Undang-Undang No 9 Tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan yang beranggotakan
kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). KSSK memegang peranan penting karena
mengerjakan pemantauan tiap tiga bulan sekali. Penetapan bank berdampak sistemik
merupakan langkah mitigasi awal dalam menghadapi potensi krisis keuangan. Pasalnya
sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan khusus bank
sistemik. Apabila suatu bank ditetapkan masuk dalam daftar DSIB bank wajib
memenuhi ketentuan resiko kecukupan modal dan likuiditas, selain itu bank juga wajib
melaporkan segala bentuk rencana aksi korporasi untuk disetujui oleh Otoritas Jasa
Keuangan.Penetapan daftar bank sistemik dilakukan paling lambat tiga bulan sejak
diundangkannya peraturan hukum tersebut. Adapun bank yang ditetapkan sebagai bank
berdampak sistemik akan diawasi khusus. Daftar bank tersebut juga akan dievaluasi
secara berkala. Adapun nama bank yang masuk kategori DSIB tidak akan diumumkan,
hal tersebut sesuai dengan ketentuan dari Bank ofor International Settlements (BIS)
sebuah lembaga keuangan internasioanal yang terafiliasi dengan banyak bank sentral di
dunia.
Penetapan SIB diberikan kepada bank-bank dengan ukuran besar dan
interkoneksitas tinggi pada masa normal. Dari sisi ukuran bisa terlihat dri besaran aset,
kantor cabang yang dimiliki, jumlah nasabah, hingga nilai transaksi bank tersebut.
Sejauh ini sudah ada 12 bank yang masuk dalam daftar domestic systemically important
bank (DSIB). Dari 12 bank tersebut terdapat bank besar yang memiliki kantor cabang
disejumlah wilayah di Indonesia. Dampak sistemik perbankan sangat mempengaruhi
Penetapan Systemically Important bank akan dilakukan dalam rapat Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) sedangkan ketentuan bank yang masuk SIB sudah diatur
dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically
Important Bank dan Capital Surcharge.
D. Penetapan Status Bank Sistemik Berdasarkan Undang-undang No.9 Tahun 2016 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kokoh untuk
menghadapi ancaman baik dari dalam maupun luar negeri diperlukan upaya pencegahan
dan penanganan krisis sistem keuangan, maka dari itu pemerintah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan. Undang ini terdiri dari 8 Bab dan 55 Pasal. Fokus dari
Undang-Undang ini adalah pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai
bagian penting dari sistem keuangan. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat
menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang berujung tidak berfungsinya sistem
keuangan secara efektif. Bahkan berdampak langsung pada perekonomian nasional.
Kedua, sebagian besar dana masyarakat dikelola oleh sektor perbankan , khususnya
bank sistemik. Oleh sebab itu, dibutuhkan penjagaan keberlangsungan fungsi dan
layanan utama bank dari kemungkinan kegagalan. 119
119
Pencegahan Dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), http://deje74hukum.blogspot.co.id/2016/04/pencegahan-dan-penanganan-krisisi-sistem.html?m, diakses 12 Juni 2017 Pukul 13:45.
Dalam Rancangan Undang-Undang Penanganan dan Pencegahan Krisis Sistem
1. Penguatan peran dan fungsi, serta koordinasi antar empat lembaga yang
bergabung dalam Komite stabilitas Sistem keuangan yaitu Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga
Penjamin Simpanan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis
sitem keuangan
2. Mendorong upaya pencegahan krisis melalui penguatan fungsi
pengawasan perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai bank
sistemik
3. Penanganan permasalahan bank dengan mengedepankan konsep bail-in
yaitu penanganan permasalahan lukiditas dan solvabilitas bank
menggunakan sumber daya bank itu sendiri yang berasal dari pemegang
saham dan kreditur bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank
serta kontribusi industri perbankan.
4. Metode penanganan permasalahan lukiditas dan solvabilitas bank diatur
secraa lengkap dan komprehensip melalui rencana aksi penyehatan bank.
5. Presiden selaku kepala egara dari kepala pemerintahan memegang
kendali penuh dalam penanganan krisis sistem keuangan, berdasarkan
rekomendasi Komite Stabilitas sistem Keuangan.120
Dalam Undnag-Undang ini tidak terlepas dari bank berdampak sistemik,
sebelumnya tidak ada kriteria atau indikator dalam penentuan bank berdampak sistemik.
120
Pasal 1 angka5 UU Nomor 9 Tahun 2016 Bank Sistemik adalah bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun secara finansial, jika bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
Sedangkan menurut Bank Intrnational Settlement (BIS) , defenisi bank sistemik adlah
bank yang memiliki jumlah aset besar dan kompleksitas produk yang beragam dengan
konglomerasi keuangan. Tidak hanya itu keterkaitan dengan bank lain cukup besar dan
posisi bank tersebut tidak tergantikan jika terjadi penutupan. Penetapan bank yang
masuk kategori berdampak sistemik ini secara berkala akan dievaluasi. Artinya bank
yang masuk kategori ini bisa berubah-ubah secara berkala, status bank berdampak
sistemik tidak permanen, tergantung apakah bank pada periode tertentu sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dalam Pasal 17 dijelaskan
bahwa:
(1) Untuk mencegah Krisis sistem Keuangan di bidang perbankan, Otoritas Jasa
Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia menetapkan bank sistemik.
(2) penetapan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pertama kali
dilakukan pada kondisi stabilitas sistem keuangan normal.
(3) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan
pemutakhiran daftar Bank Sistemik secara berkala 1 (satu) kali dalam 6 (enam)
bulan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan hasil penetapan dan pemutakhiran daftar
Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada Komite
Dalam pasal tersebut dapat dilahat bahwa dalam penetapan bank sistemik adalah
Otoritas Jasa Keuangan dengan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam keadaan
stabilitas sistem keuangan normal dan diajukan kepada Komite Stabiltas Sistem
keuangan. Hal ini juga terdapat dalam POJK Nomor 46/POJK.03/2015 dimana dalam
pasal 2 disebutkan ayat (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan SIB dan Capital
Surcharge untuk SIB. Ayat (2) dalam menetapkan SIB dan Capital surcharge untuk SIB
sebagaimna dimaksud pada ayat (1) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank
Indonesia. Hal ini jauh sebelum terbentuk serta merta dalam hal pencegahan dan
penanganan krisis sistem keuangan oleh OJK.121
Dalam hal kewajiban dalam bank sistemik dimana Pasal 18 Undang-Undang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan mewajibkan Bank Sistemik untuk
memenuhi ketentuan mengenai rasio kecukupan lukiditas serta wajib menyusun rencana
aksi yang paling sedikit memuat kewajiban pemegang saham pengendali atau pihak lain
untuk menambah modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank
yang sebelumnya mesti disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan. sedangkan terkait dengan
rencana aksi dan langkah penyehatan Bank Sistemik Pasal 19 Undang-Undang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan mengatur bahwa Otoritas Jasa
Keuangan memastikan dilaksanakanya rencana aksi atau langkah penyehatan oleh bank
dengan menerbitkan perintah tertulis, menempatkan pengelola statute, atau melalui Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan SIB berdasarkan skor sistemik (systemic importance score) dalam pasal 10
POJK Nomor 46/POJK.03/2015. Peraturan ini bukanlah merupakan aturan tururan dari
Undang-undang Nomor 9 tahun 2016.
121
mekanisme lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 mengamanatka kepada OJK
untuk membentuk satu POJK.122 Maka dari itu penetapan sistemik atau tidaknya suatu
bank tidak boleh pada saat bank mengalami permasalahan. Dalam hal terjadi
permasalahan lukiditas terkait dengan rencana aksi penyehatan bank (recovery plan),
diatur mekanisme yang lebih detail denga mekanisme pemberian pinjaman likuiditas
jangka pendek atau pembiayaan lukiditas jangka pendek berdasekan prinsip syariah.
Sementara apabila bank mengalami permasalahan solvabilitas, ada dua metode baru
yang diatur yaitu pengalihan sebagian atau seluruh aset dan atau kewajiban bank kepada
bank lain sebagai bank penerima (purchase and assumption) atau pengalihan kepada
bank baru yang didirikan sebagai bank perantara (bridge bank).123
Otoritas Jasa Keuangan menyatakan setidaknya ada 3 kriteria bank sistemik
yaitu berdasarkan ukuran bank ( dapat dilihat dari ukuran aset dan jumlah deposito),
berdasarkan kompleksitasnya ( misalnya bank tersebut mempunyai produk-produk yang
tidak terlalu standar, kompleks), berdasarkan interkonektivitas dengan industri jasa
keuangan lainnya. Penetapan bank berdampak sistemik dilakukan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis sistem
Keuangan. Titik berat Undang-Undang ini terletak pada pencegahan dan penanganan
bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. selain itu Undang-Undang
ini mengedepankan konsep bail-in. Dan Undang-Undang ini juga menjamin adanya
122
Lihat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisisi Sistem Keuangan Pasal 18-19.
123
penanganan masalah likuiditas dan solvabilitas bank yang lebih lengkap, dengan
mekanisme pemberian pinjaman jangka pendek kepada LPS hingga pengalihan
sebagian atau seluruh aset bank( bermasalah) kepada bank lain atau kepda bank
baru.Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan
penanganan Krisis Sistem Keuangan memberikaan landasam yang kuat dalam upaya
menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
E. Penanganan Terhadap Bank Yang Berdampak Sistemik
Penetapan bank berdampak sistemik merupakan langkah mitigasi awal dalam
menghadapi potensi krisis keuangan. Sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola
oleh sektor perbankan khususnya bank sistemik. Penetapan tersebut dilakukan setelah
Komite Stabilitas sistem Keuangan yang bernggotakan Menteri Keuangan, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
melakukan rapat secara reguler sejak UU PPKSK disahkan.124
Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan telah
diresmikan oleh DPR RI Maret 2016, hadirnya Undang-Undang in bisa meminimalisir
krisis keuangan di Indonesia lewat penanganan bank sistemik. Permasalahan sistemik
ikut mempengaruhi gagalnya sistem keuangan dan perekonomian nasional.125
124
Firdaus, KKSK: Tertutup Diumumkan Ke Publik-Kategori Bank Berdampak Sistemik, www.neraca.co.id>article.com, diakses Selasa 18 Juli 2017, Pukul 13:02 WIB.
125
Ardan Adhi Chandra, https;//m.detik.com/finance/moneter/38268/begini-cara-selamatkan-bank-sstemik-selain-suntik-modal, diakses Rabu 19 Juli 2017, Jam 05:02 WIB.
Dalam
hal penanganan permasalahan Bank Sistemik, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem
Keuangan normal maupun kondisis Krisis Sistem Keuangan merupakan tugas dari
Adapun penetapan bank sistemik yang dilakukan oleh Komite Stabilitas Sistem
Keuangan terdapat dalam Pasal 17 Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan sebagai berikut:
(1) Untuk mencegah Krisis Sistem Keuangan di bidang perbankan, Otoritas Jasa
Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia menetapkan Bank Sistemik.
(2) Penetapan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pertama kali
dilakukan pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal.
(3) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan
pemutakhiran daftar Bank Sistemik secara berkala 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan hasil penetapan dan pemutakhiran daftar
Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kepada Komite
Stabilitas Sistem Keuangan.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan terdiri dari dari Menteri Keuangan, Bank Indonesia,
Otoritas Jasa Keuangan, dan Lebaga Penjain Simpanan hal ini terdapat dalam pasal 4
ayat (3). Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Komite Stabilitas sistem
Keuangan dalam hal penentuan suatu bank sistemik atau non sistemik. Fokus utama
Undang-Undang ini adalah Pencegahan dan Penanganan bank sistemik, maka dari itu
menurut Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
mekanisme yang tepat dalam penanganan bank sistemik adalah bail in. Artinya rencana
aksi dalam mengatasi permasalahan solvabilitas bank gagal akan dilakukan dengan