• Tidak ada hasil yang ditemukan

Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Carbon Fund. Emission Reductions Program Idea Note (ERPIN) Draft #2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Carbon Fund. Emission Reductions Program Idea Note (ERPIN) Draft #2"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Pernyataan

Bank Dunia tidak menjamin keakuratan data yang tercantum dalam Emission Reductions – program idea Note (ERPIN) yang disampaikan oleh Negara Peserta REDD+ dan tidak bertanggung jawab apapun atas setiap konsekuensi dari penggunaannya. Batasbatas, warna, denominasi, dan informasi lainnya yang ditunjukkan pada peta di ERPIN tidak menyiratkan penilaian apapun tentang status hukum suatu wilayah atau persetujuan atau penerimaan dari batasbatas tersebut oleh Bank Dunia.

Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)

Carbon Fund

Emission Reductions Program Idea Note (ERPIN)

Draft #2

Negara: Republik Indonesia

Nama Program PE: Pengurangan Emisi Tingkat Provinsi

Rencana Submisi: 17 Desember 2015

(2)

Pedoman:

1. FCPF Carbon Fund akan menyetujui Pengurangan Emisi (PE) dari kegiatan yang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan meningkatkan cadangan karbon hutan di negara berkembang (REDD+) ke Peserta Carbon Fund.

2. Negara Peserta REDD+ yang tertarik untuk mengusulkan Program PE untuk Carbon Fund harus mengacu pada pemilihan kriteria termasuk dalam Carbon Fund Issues Note tersedia di situs FCPF (www.forestcarbonpartnership.org) dan untuk panduan lebih lanjut yang dapat disampaikan oleh Tim Manajemen Fasilitas FCPF (FMT) dari waktu ke waktu.

3. Program PE harus berasal dari Negara REDD+ Peserta FCPF yang telah menandatangani Readiness Preparation Grant Agreement mereka, menggunakan ER Program Idea Note ('ERPIN') Template.

4. Dokumen ERPIN idealnya tidak melebihi 40 halaman (termasuk peta, tabel data, dll). Jika diperlukan informasi tambahan, FCPF FMT akan memintanya.

5. Harap kirimkan dokumen ERPIN ke: (1) Country Director Bank Dunia di negara bersangkutan; dan (2) FCPF FMT ([email protected]).

6. Sesuai Resolusi CFM/4/2012/1 keputusan Carbon Fund Participants apakah akan menyertakan ERPIN di dalam pipeline atau tidak akan didasarkan pada kriteria sebagai berikut:

i. Kemajuan menuju Kesiapan: Program Pengurangan Emisi (ER Program) harus terletak di Peserta REDD Negara yang telah menandatangani perjanjian hibah Persiapan Kesiapan (atau setara) dengan Mitra Pengiriman bawah Dana Kesiapan, dan yang telah menyiapkan wajar dan kredibel waktu untuk menyerahkan Paket Kesiapan kepada Komite Peserta;

ii. Komitmen politik: The REDD Negara Peserta menunjukkan tingkat tinggi dan komitmen politik lintas sektoral untuk Program ER, dan untuk menerapkan REDD+; iii. Kerangka Metodologis: Program ER harus konsisten dengan metodologi Kerangka

muncul, termasuk prinsip PC pada kerangka metodologis;

iv. Skala: The ER Program akan dilaksanakan baik di tingkat nasional maupun di skala subnasional yang signifikan, dan menghasilkan volume besar Pengurangan Emisi; v. Kesiapan Teknis: Semua bagian dari template ERPIN yang memadai;

vi. Manfaat nonkarbon: Program ER akan menghasilkan manfaat nonkarbon substansial; dan

vii. Keanekaragaman dan nilai pembelajaran: Program ER berisi fiturfitur inovatif, sehingga dimasukkan dalam portofolio akan menambah keragaman dan menghasilkan nilai pembelajaran untuk Carbon Fund.

(3)

1. LEMBAGA YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS PELAKSANAAN PROGRAM PENGURANGAN EMISI (PE) YANG DIUSULKAN

1.1 Lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan Program Pengurangan Emisi (PE) yang diusulkan Mohon memasukkan informasi kontak institusi dan personal yang bertanggung jawab dalam mengajukan dan mengkoordinasikan Program PE.

Nama Lembaga Pengelola Badan Litbang dan Inovasi (BLI) c.q. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI)

Tipe dan keterangan organisasi

Badan Litbang dan Inovasi (BLI), KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kehutanan bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi lingkungan hidup dan kehutanan serta

menyediakan informasi ilmiah dan teknologi untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan hutan lestari. Visi BLI adalah menjadi penelitian lingkungan hidup dan kehutanan terkemuka serta menjadi lembaga pengembangan dan inovasi dalam mendukung kemajuan ilmu dan teknologi bagi praktik pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan rakyat. Misinya adalah untuk meningkatkan kualitas dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup dan kehutanan dalam proses pengambilan keputusan dan kegiatan pembangunan lingkungan hidup dan sektor kehutanan.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) adalah salah satu pusat/direktorat di bawah BLI. Tugasnya mencakup penelitian tentang sosial ekonomi, kebijakan dan perubahan iklim yang menyangkut pelaksanaan program REDD+ di Indonesia, termasuk Readiness Program FCPF di Indonesia.

Kontak personel utama  Dr. Henri Bastaman

 Dr. Bambang Tri Hartono

Jabatan  Kepala BLI

 Kepala P3SEKPI

Alamat Jalan Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia, 16118

Telepon +622518633944

Email [email protected]

[email protected]

(4)

1.2 Daftar mitra dan organisasi yang terlibat dalam Program PE yang diusulkan

Silakan menyertakan mitra dan organisasi yang terlibat dalam pengembangan Program PE atau yang memiliki fungsi eksekusi dalam hal pendanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian kegiatankegiatan yang merupakan bagian dari program PE yang diajukan. Tambahkan baris jika diperlukan.

Pemerintah Pusat

Nama Mitra Nama kontak, telepon dan email

Kapasitas dan peran utama dalam Program PE

Kementerian LHK:

 Sekretaris Jenderal Ir. Bambang Hendroyono, MM Melaksanakan submisi secara formal atas nama Pemerintah Indonesia

 Ditjen Pengendalian perubahan Iklim

Dr. Nurmasripatin, Dirjen; [email protected]

Mengkoordinasikan kegiatan pengendalian perubahan iklim tingkat nasional, termasuk kegiatan REDD+

 Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan

Prof. San Afri Awang, Dirjen, [email protected]

Mengawal tata hutan, pembangunan KPH, dan penyediaan ruang kelola bagi

masyarakat sekitar hutan Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bappenas)

Basah Hernowo, Direktur Kehutanan dan Sumberdaya Air +62 21 392 6254 ext. 2209. [email protected]

Koordinasi pembangunan kehutanan, terutama KPH

Kementerian Keuangan:

 Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

Ayu Sukorini, S.E., M.A., Direktur Pinjaman dan Hibah

Gedung Frans Seda, Lantai 6 Jl. Wahidin Raya No. 1, JakartaIndonesia 10710 Phone. (6221) 3459616

Memberikan arahan mengenai dana hibah luar negeri yang akan ditransfer ke daerah

 Ditjen Perimbangan Keuangan

Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah

Memberikan arahan tentang mekanisme pembiayaan kegiatan Pengurangan Emisi di daerah

 Badan Kebijakan Fiskal Syurkani Ishak Kasim, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral

Memberikan rekomendasi kebijakan fiscal terkait dengan kegiatan mitigasi perubahan iklim termasuk REDD+

Ditjen Bina Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri

Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah

Memberikan arahan kepada pemerintah daerah terkait dengan administrasi dan operasionalisasi dana perimbangan di tingkat daerah

Pemerintah Daerah

Nama Mitra Nama kontak, telepon dan email

Kapasitas dan peran utama dalam Program PE

Badan Perencanan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kaltim

Dr. Rusmadi Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan di provinsi Kaltim, termasuk upaya untuk mengurangi emisi

Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim

Ir. Chairil Anwar, MP Mengatur pembangunan kehutanan tingkat provinsi, termasuk pembangunan dan pengembangan KPH

Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim

Ir. Riza Indra Riadi, MSi Melakukan kegiatan pemantauan dan pelaporan upaya pengurangan emisi di provinsi Kaltim

Dinas Pekerjaan Umum Ir. Muhammad Taufiq Fauzi Melakukan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan

Dinas Perkebunan Provinsi Kaltim

Ir. Etnawati Usman, MSi Mengatur pembangunan dan

(5)

Nama Mitra Nama kontak, telepon dan email

Kapasitas dan peran utama dalam Program PE

kelapa sawit, dengan meminimumkan emisi di Kaltim

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kaltim

Ir. Amrullah, MM; Kepala; Mengatur kegiatan pertambangan yang meninimumkan emisi di Kaltim

BAPPEDA Kabupaten Berau Drs. Basri Syahrin, MM; Kepala; Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kabupaten Kutai Barat

Drs. Vincent Alutodan; Kepala; Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kabupaten Penajam Paser Utara

Ir. Puguh Sumitro; Pelaksana Tugas; 087812195303

Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kabupaten Paser H. Ambo Lala, SSos, M.Ap; Kepala; 082158003003

Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kabupaten Kutai Timur

Ir. Suprihanto, MSc.; Kepala; Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kabupaten Kutai Kartanegara

Totok Heru Subroto; Kepala Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kabupaten Mahakam Hulu

Drs. Stephanus Madang, MSi; Kepala;

Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kota Bontang Ir. Zulkifli, MS; Kepala; Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kota Balikpapan Ir. Nining Surtiningsih; Kepala; Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

BAPPEDA Kota Samarinda Dr. Sugeng Chaerudin; Kepala Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan daerah, termasuk upaya untuk mengurangi emisi, tingkat kabupaten/kota

Lembaga Non Pemerintah

Nama Mitra Nama kontak, telepon dan email

Kapasitas dan peran utama dalam Program PE

Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI)

Prof. Daddy Ruhiyat, Ketua Harian

Koordinator pelaksanaan program PE di tingkat provinsi

Dewan Kehutanan Daerah Prof. Suyitno Sudirman, Ketua Mengkoordinasikan peran parapihak dalam pembangunan kehutanan di Kaltim

WWF Indonesia Zulfira Warta, REDD+ Project Coordinator, WWF Indonesia, [email protected],

+628121250127

Mitra implementasi untuk Kabupaten Kutai Barat dan Mahakam Hulu

The Nature Conservancy (TNC) Saipul Rahman, Berau Program Senior Manager, +62 811 1637846, [email protected]

Mitra implementasi untuk Kabupaten Berau

Forests and Climate Change Program (FORCLIME) GIZ

Alfan Subekti,

[email protected], 08125425059

Mitra implementasi untuk Provinsi Kaltim dan Kabupaten Berau

Forests and Climate Change Program (FORCLIME) KfW

Hari Mitra implementasi untuk Provinsi Kaltim dan Kabupaten Berau

(6)

Nama Mitra Nama kontak, telepon dan email

Kapasitas dan peran utama dalam Program PE

GIZ GE LAMAI Ade Cahyat Mitra implementasi untuk Provinsi Kaltim,

Kabupaten Berau, Paser, dan Kutai Timur

INOBU Guntur Prabowo; Senior

Scientist;

Sekretariat Nasional GCF yang membantu Kalimantan Timur sebagai salah satu anggota GCF

GGGI Anna van Paddenburg;

Wisma Bakrie 5th Floor Jalan Rasuna Said, kav B.2 Kuningan

Jakarta Selatan;

([email protected])/ 08111806949

Mitra DDPI dalam mengembangkan rencana pembangunan rendah karbon

BIOMA Akhmad Wijaya Pendampingan masyarakat

KERIMAPURI Asrani Pendampingan masyarakat

Centre for Climate Change Studies (C3S)

Prof. Deddy Hadriyanto Melakukan kajian untuk arah dan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Kalimantan Timur

CSF (Centre for Social Forestry) Dr. Fadjar Pambudhi Melakukan kajian dan advokasi untuk pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat

Centre for Tropical Ecosystem and Sustainable Development (TESD) UNMUL

Dr. Harmonis Melakukan kajian kelestarian ekosistem di Kalimantan Timur

APHI Wayan Sujana Mitra swasta untuk pelaksanaan REDD+

GAPKI Sulasmi Mitra swasta untuk melaksanakan REDD+

PETKUQ MEHUY Ledjie Taq Organisasi adat yang aktif dalam pelestarian lingkungan

YAYASAN STABIL Jufriansyah Pendampingan masyarakat

PRAKARSA BORNEO Dr. M. Muchdar Pendampingan masyarakat

Kawal Borneo Community Foundation (KBCF)

Mukti Ali Azis Pendampingan masyarakat

Yayasan Bumi Muhammad Fadli Pendampingan masyarakat

KpSHK Jauhari Pendampingan masyarakat

Pokja REDD+ Kabupaten Berau Drs. Syamsul Abidin Perencanaan dan pemantauan pelaksanaan REDD+ di kabupaten

Pokja Tata Kelola Hutan dan Legalitas Kayu (TKHLK) Kabupaten Kutai Kartanegara

Hamly Perencanaan dan pemantauan pelaksanaan

pengelolaan hutan lestari di kabupaten Pokja REDD+ Kabupaten Paser Ii Sumirat Perencanaan dan pemantauan pelaksanaan

REDD+ di kabupaten Pokja Green Economy

Kabupaten Kutai Timur

Wahyu Gatut Purboyo Pelaksanaan dan pemantauan pembangunan hijau di kabupaten

(7)

2. OTORISASI OLEH FOCAL POINT REDD+ NASIONAL

Mohon diisi dengan kontak institusi dan personil yang bertindak selaku focal point REDD+ Nasional dan mendorong Program PE yang diajukan, atau pihak yang diajak untuk mendiskusikan program PE yang diusulkan

Nama Lembaga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kontak utama Dr. Siti Nurbaya Bakar

Jabatan Menteri

Alamat Gedung Manggala Wanabhakti, Blok I, Lt. 4, Jakarta Telepon

Email

Website www.dephut.go.id

2.1 Pengesahan Program PE oleh pemerintah pusat

Harap memberikan persetujuan tertulis untuk Program PE yang diusulkan oleh perwakilan resmi REDD+ Negara Peserta (harus dilampirkan ke ER-PIN). Tolong jelaskan jika prosedur nasional untuk dukungan dari Program oleh focal point nasional dan/atau instansi pemerintah terkait lainnya telah selesai atau masih mungkin untuk berubah, dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi status persetujuan tertulis tersebut. Program PE harus berada di lokasi Negara REDD+ yang telah menandatangani perjanjian hibah readiness program (atau setara) dan memiliki organisasi yang melaksanakan program hibah tersebut, dan yang telah menyiapkan waktu yang wajar dan kredibel untuk mengirimkan Readiness Package ke Participants Committee

Selain surat yang diperlukan dari dukungan dari pemerintah nasional, Program PE memiliki dukungan tertulis dari Gubernur Kalimantan Timur sebagaimana terlampir. Indonesia telah menandatangani perjanjian hibah penyiapan REDD+ di bawah FCPF Readiness Fund dan telah mengajukan Laporan Kemajuan diperbarui dengan permintaan untuk dana tambahan di tahun 2015. Indonesia diperkirakan akan menyerahkan Readiness Package ke Participants Committee pada akhir 2016.

2.2 Komitmen Politik

Jelaskan komitmen politik untuk Program PE, termasuk dukungan oleh pemerintah dan apakah ada komitmen lintas sektoral untuk Program PE dan REDD+ secara umum.

Dukungan pemerintah untuk REDD+ berasal dari berbagai kalangan, mulai dari Presiden, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya. Presiden Indonesia telah membuat pernyataan internasional tingkat tinggi yang menyebutkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kebijakan pemerintah telah memperlihatkan bahwa bahwa Indonesia akan akan memainkan peran sentral dalam pelaksanaan REDD+. Sejak COP13 di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah berpartisipasi dalam Readiness Fund FCPF, Program UNREDD, Forest Investment Program (FIP), dan pada tahun 2010 menandatangani perjanjian bilateral dengan Pemerintah Norwegia pada "Kerjasama Pengurangan Emisi GRK dari deforestasi dan Degradasi hutan". Pada September 2013, Presiden Yudhoyono menandatangani peraturan presiden No. 62/2013 tentang Pembentukan Badan REDD+, sebagai bagian dari kemitraan dengan Norwegia. Badan REDD+ melapor langsung kepada Presiden dan bertugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, dan pengendalian REDD+ di Indonesia.

REDD+ Readiness saat ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan didukung oleh sejumlah kementerian lainnya. KLHK memimpin Readiness Program FCPF Indonesia serta FIP, dan melaksanakan reformasi tata kelola hutan terkait dengan kesiapan REDD+. Sistem Pemantauan Hutan Nasional KLHK telah diluncurkan pada bulan Oktober 2012 (rincian dapat dilihat

(8)

di: http://nfms.dephut.go.id/). Sistem Inventarisasi Nasional juga saat ini tengah dikembangkan oleh KLHK. Bappenas memainkan peran koordinasi dan telah mensponsori pengembangan Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan upaya untuk mengintegrasikan konsepkonsep pembangunan hijau ke dalam perencanaan pembangunan nasional.

Selain inisiatif REDD+ formal, Pemerintah Indonesia melaksanakan reformasi untuk mengatasi penyebab utama deforestasi yang merupakan bagian integral dari Program PE yang diusulkan. KLHK sedang dalam proses pelaksanaan reformasi tata kelola hutan yang akan memberikan kerangka kunci untuk implementasi REDD+ secara umum dan untuk Program PE yang diusulkan khusus. Selanjutnya, reformasi terkait dengan hak atas tanah juga diharapkan menjadi pendorong utama upaya mengatasi deforestasi dan akan menjadi penting untuk Program PE yang diusulkan. Reformasi ini berakar pada proses multipihak.

Indonesia telah terlibat dengan Carbon Fund sejak dari tahap awal. Perwakilan Indonesia melakukan presentasi di CF2 dan CF7, memperkenalkan konsep pendekatan REDD+ berbasis yurisdiksi, yang merupakan pilar utama dari Program PE yang diusulkan. Setelah menyelesaikan Kerangka Kerja Metodologi CF, Indonesia meminta penilaian kesesuaian CF dengan lanskap REDD+ di Indonesia yang temuannya membantu dalam desain proposal saat ini.

Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur didasarkan pada komitmen dari pemerintah daerah untuk REDD+ dan untuk berpartisipasi dalam Program CF yang diusulkan. Provinsi Kalimantan Timur telah mengintegrasikan REDD+ ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2014-2018, telah mengalokasikan sebagian dari anggaran lokal (APBD) atau bagian dari anggaran nasional (APBN) untuk kegiatan terkait REDD+, dan telah mengembangkan peraturan daerah dalam mendukung REDD+. Provinsi Kalimantan TImur telah membentuk Kelompok Kerja Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) Provinsi Kalimantan Timur REDD+ Provinsi Kaltim melalui SK Gubernur No. 522/K.215/2010 tanggal 19 April 2010, sebagai penyempurnaan SK Gubernur tahun 2008. Selain itu, juga telah dibentuk Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) melalui SK Gubernur No. 02 Tahun 2011. Pemprov Kaltim juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur Kalimantan TImur Nomor 39 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan TImur, yang menggantikan Pergub Kaltim Nomor 54 tahun 2012. Seiring dengan hal tersebut, Gubernur Kaltim juga telah mendeklarasikan Kalimantan Timur Hijau (Kaltim Green) pada Kaltim Summit I tahun 2010, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Kaltim Nomor 22 tahun 2011. Kaltim Hijau adalah kondisi Kalimantan Timur yang memiliki perangkat kebijakan, tatakelola pemerintahan serta program-program pembangunan yang memberikan perlindungan sosial dan ekologis terhadap masyarakat Kalimantan Timur serta memberikan jaminan jangka panjang terhadap keselamatan dan kesejahteraan masyarakat serta keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Dalam perjalanan pengimplementasian program Kaltim Hijau, dirasakan bahwa mengatasi berbagai permasalahan lingkungan hidup termasuk perubahan iklim bukan satu-satunya kebutuhan Kalimantan Timur. Dalam rangka membangun ekonomi hijau di Kalimantan Timur itu, diperlukan suatu strategi yang digali dari kondisi riil sosial-ekonomi-budaya daerah Kalimantan Timur sendiri. Oleh karena itu, pada bulan Maret 2010, dengan bekerjasama dengan Dewan Nasional Perubahan Iklim, telah disusun Strategi Pertumbuhan Rendah Karbon (Low Carbon Growth Strategy atau LCGS). Strategi ini dilandasi oleh tiga unsur penting, yaitu: (1) menurunkan jejak karbon dari sektor-sektor ekonomi terkait (pertanian, kehutanan, perkebunan, batu bara, minyak & gas); (2) secara bertahap beralih kepada kegiatan-kegiatan ekonomi baru bernilai tambah lebih tinggi dan menghasilkan emisi lebih rendah; dan (3) bekerja untuk membuat ekonomi dan infrastruktur yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim.

Disamping dokumen LCGS dan RAD-GRK, pada bulan Agustus 2012, Kaltim juga telah menyusun dokumen strategis lain terkait penurunan emisi GRK, yaitu Srategi dan Rencana Aksi Provinsi

(9)

Implementasi REDD+ (SRAP REDD) Kalimantan Timur. Dokumen SRAP REDD Kalimantan Timur disusun untuk kurun waktu 2012 - 2030 dan memiliki visi: “Tatakelola hutan dan lahan yang mampu menyinambungkan keselarasan fungsi lingkungan dan manfaat ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat. Tujuan jangka pendek (2012 - 2014) yang ingin dicapai lewat SRAPP adalah: perbaikan kondisi tata kelola, kelembagaan, tataruang, serta iklim investasi secara strategis di Provinsi Kaltim dan kabupaten/kota agar dapat mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi. Tujuan jangka menengah-nya (2012 -2020) adalah: terlaksananya tata kelola sumberdaya hutan dan lahan Kaltim sesuai kebijakan dan tatacara yang dibangun, serta pada ruang dan mekanisme keuangan yang telah ditetapkan dan dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi yang bena terhadap target-target nasional penurunan emisi 26 - 41 % di tahun 2020. Tujuan jangka panjang (2012-2030) adalah: hutan dan lahan Indonesia, khususnya di Kaltim menjadi net carbon sink pada tahun 2030 sebagai hasil pelaksanaan kebijakan yang benar dan berkeadilan untuk keberlanjutan fungsi dan jasa ekosistem hutan bagi pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat.

Dokumen SRAP-REDD Kaltim saat ini sedang dalam proses revisi. Latar belakang keperluan revisi antara lain: (a) untuk meningkatkan kualitas dan cakupan data dan informasi; (b) adanya dinamika pemekaran wilayah provinsi dan wilayah kabupaten; dan (c) agar dapat lebih diacu dalam proses pembangunan regional dan sektoral.

Dalam rangka mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, memanfaatkan momentum diberlakukannya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyusun Peraturan Gubernur tentang Moratorium Perizinan di Bidang Kehutanan, Pertambangan, dan Perkebunan Kelapa Sawit. Untuk menanamkan kesadaran masyarakat agar berperanserta dalam kegiatan mitigasi perubahan iklim, sejak tahun 2011 Pemerintah Kalimantan Timur melaksanakan Gerakan Satu Orang Menanam Lima Pohon. Sampai akhir 2014 berhasil ditanam sekitar 193 juta bibit pohon, baik di lahan kehutanan maupun non kehutanan termasuk di kawasan Delta Mahakam yang hutan mangrovenya mengalami kerusakan parah. Dalam rangka meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan dan membangun jejaring kerjasama dalam pengendalian perubahan iklim, sejak tahun 2009 Kalimantan Timur telah menjadi anggota aktif Governors’ Climate and Forests (GCF) Taskforce. Kini jumlah anggota GCF telah mencapai 29 provinsi/negara bagian, tersebar di Amerika, Brazil, Peru, Mexico, Spanyol, Afrika, dan Indonesia. Dalam Pertemuan Tahunan GCF Ke 8 yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2014 di kota Rio Branco, Acre, Kalimantan Timur telah ikut menandatangani Deklarasi Rio Branco, sebuah dokumen yang menyatakan komitmen sangat tegas untuk mengurangi deforestasi hutan tropis, melindungi sistem iklim global, meningkatkan mata pencaharian pedesaan, dan mengurangi kemiskinan.

Dalam pelaksanaan pembangunan green economy, Kaltim selama ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai mitra pembangunan baik internasional (TNC, WWF, GIZ, GGGI) maupun nasional dan lokal. Mitra pembangunan ini sangat membantu dalam proses pengambilan keputusan dan dalam pelaksanaan secara teknis, khususnya dalam menerapkan konsep green economy.

Kerjasama dengan TNC dimulai sejak tahun 2011 di Kabupaten Berau. Fokusnya adalah mengembangkan program percontohan pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan stok karbon melalui kegiatan pengelolaan hutan lestari, konservasi hutan, restorasi ekosistem, dan rehabilitasi hutan. Sasaran strategisnya adalah: (a) peningkatan stok karbon sekitar 10 juta ton CO2 pada akhir 2015, setara dengan penambahan sekitar 10% dari stok karbon yang dilakukan dengan cara-cara pengelolaan biasa; (b) peningkatan kesejahteraan sekitar 5.000 masyarakat sekitar dan didalam kawasan hutan; (c) perlindungan ekosistem bernilai tinggi karena melindungi sekitar 400.000 ha DAS Kelay dan S. Segah pada habitat orang utan Kalimantan. Dengan WWF, Kaltim berkolaborasi membangun aksi demonstrasi REDD+ di Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kutai Barat, mencakup: (a) pembangunan metodologi untuk penyusunan pangkalan data karbon untuk HOB; (b) menata kerangka institusional termasuk mekanisme insentif; (c) membina

(10)

komunitas masyarakat di areal konservasi. Dengan GIZ GELAMAI, Kaltim bekerjasama dalam hal pemanfaatan Palm Oil Mill Effluent (POME) di industri-industri kelapa sawit untuk pembuatan ethanol sebagai bahan baku listrik bagi masyarakat pedesaan sekitar lokasi industri. Dengan GIZ FORCLIME, Kaltim bekerjasama di Kabupaten Berau dan Kabupaten Malinau, dalam: (a) Program Hutan dan Perubahan Iklim (membangun referensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan di Kabupaten Malinau dan Berau; (b) Program Reformasi Sektor Kehutanan (pembangunan model KPH); (c) Program perlindungan keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan: melakukan ujicoba struktur manajemen kolaborasi untuk kawasan konservasi; (d) Integrasi konservasi dan pembangunan; (e) Pengembangan SDM untuk mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari yang mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan serta mendukung upaya pengurangan emisi di sektor kehutanan. Dengan GGGI arah kerjasama kaltim adalah membangun pertumbuhan ekonomi yang memanfaatkan sumberdaya dan energi secara efisien, ramah lingkungan dan berkeadilan. Penerapan prinsip-prinsip ekonomi hijau dengan menggunakan Cost and Benefit Analysis telah diujicoba pada proyek pembangunan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy di Kabupaten Kutai Timur.

3. KONTEKS STRATEGIS DAN LATAR BELAKANG PROGRAM PENGURANGAN EMISI 3.1 Ringkasan atas capaian utama dari kegiatan persiapan REDD+ sejauh ini

Silakan menuliskan secara ringkas perkembangan persiapan REDD+, menggunakan kategori komponen yang ada di RPP sebagai pedoman. Jika informasi public tersedia, silakan merujuk pada informasi tersebut dan memberikan tautannya.

Indonesia merupakan negara strategis untuk REDD+ dan telah membuat kemajuan yang signifikan terhadap kesiapan REDD+. REDD+ dipandang sebagai stimulus untuk mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan dan untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat sekitar hutan. Indonesia juga telah menjadi peserta aktif dalam dialog REDD+ sejak 2007, dan telah berpartisipasi dalam sejumlah program REDD+, termasuk Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA), Dana Kesiapan FCPF (FCPF Readiness Fund), program UNREDD, Forest Partnership Norwegia-Indonesia, dan Forest Investment Program, serta berbagai inisiatif bilateral dan sector swasta lainnya. Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah melakukan program yang signifikan menuju kesiapan REDD+, sebagian dengan maksud untuk berpartisipasi dalam skema REDD+ berdasarkan kinerja seperti yang ditawarkan oleh FCPF Carbon Fund. Kemajuan yang signifikan telah dibuat dalam mengembangkan rencana dan strategi Kesiapan REDD+ serta dalam pengembangan pendekatan REDD+ safeguards, tingkat emisi acuan (Reference Emission Level/REL) dan kerangka Pelaporan Pengukuran dan Verifikasi (MRV).

Program Pengurangan Emisi dari FCPF Carbon Fund memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menindaklanjuti kemajuan yang telah dicapai Indonesia sejauh ini dengan berpartisipasi dalam fase implementasi REDD+ melalui program pembayaran berbasis kinerja, dan untuk uji coba pengaturan REDD+ di tingkat subnasional. Kegiatan ini perlu dirancang melalui berbagai inisiatif yang mendukung reformasi yang sedang berlangsung terkait dengan upaya pemerintah dalam mengatasi penyebab utama deforestasi. Seperti dinyatakan dalam Strategi Nasional REDD+, banyak penyebab utama deforestasi terkait dengan tata kelola hutan yang lemah dan hak atas tanah yang tidak jelas di beberapa daerah, yang juga merupakan halangan untuk keberhasilan pelaksanaan skema REDD+ berbasis kinerja. Reformasi di bidang ini telah menunjukkan adanya kemajuan, dan merupakan tantangan dan peluang untuk pelaksanaan program pengurangan emisi FCPF Carbon Fund.

(11)

Sejak pertemuan UNFCCC COP 13 di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah memprioritaskan perencanaan dan aksi perubahan iklim. Pada tahun 2009, Presiden mengumumkan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional paling sedikit 26 persen dari kondisi business as usual (BAU) dengan pendanaan domestic dan 41 persen dengan dukungan pendanaan inernasional pada tahun 2020. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) menyatakan bahwa kegiatan perubahan penggunaan lahan dan kehutanan merupakan sumber utama emisi Indonesia, terhitung 84 persen dari total emisi Indonesia.

RAN GRK adalah rencana payung untuk mengurangi emisi di Indonesia sesuai dengan komitmen 26%/41%, yang dikeluarkan melalui keputusan presiden September 2011 (Perpres No 61/2011). Rencana ini menargetkan enam sektor: pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah, dan kegiatan pendukung lainnya. Rencana ini mengidentifikasi target pengurangan emisi untuk setiap sektor, mengusulkan kegiatan dan tujuan dalam setiap sektor ini, dan mengidentifikasi kementerian yang bertanggung jawab untuk setiap kegiatan. RAN GRK dilaksanakan oleh instansi tingkat Menteri. Pada tingkat subnasional, telah dikembangkan Rencana Aksi Daerah untuk Mengurangi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi. Pada tahun yang sama, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium melalui Instruksi Presiden No.6/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, dimana kebijakan ini dapat memberikan kesempatan dan kontribusi signifikan dalam mengatasi isu tata kelola, termasuk perencanaan spasial dan perijinan, sebelum sumber daya hutan primer dan lahan gambut dikonversi menjadi area penggunaan lain (APL). Kebijakan ini kemudian diperpanjang melalui Instruksi Presiden No.6/2013 dilanjutkan dengan perpanjangan ketiga tahun 2015 melalui Instruksi Presiden No.8/2015. Peta moratorium telah dibuat dan dapat diakses oleh public melalui website berikut: http:appgis.dephut.go.id/appgis/petamoratorium.html. Sejak Januari 2015 beberapa kegiatan yang terkait dengan kaji ulang RAN GRK dan penyusunan dokumen Intended Nationally Determined Contribution (INDC) telah dilaksanakan, meliputi rapat koordinasi antar Kementerian/Lembaga, pelatihan metode system dynamics, FGD untuk membangun model dinamik setiap sektor dan model terintegrasi yang melibatkan perwakilan Kementerian/ Lembaga terkait, pertemuan informal sektoral untuk mengembangkan kebijakan yang solid, integrasi kebijakan sektoral ke dalam model yang dikembangkan, serta konsultasi publik yang melibatkan akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, pemerhati lingkungan dan mitra pembangunan. Selain itu, beberapa wakil pemerintah (Kementerian PPN/Bappenas serta Kementerian/Lembaga terkait) juga terlibat aktif dalam beberapa pertemuan dan seminar internasional mengenai pengembangan INDC yang sedang dilakukan oleh negaranegara yang terhimpun dalam UNFCCC. Berdasarkan beberapa kali pertemuan tersebut dapat dilaporkan bahwa pendekatan yang ditempuh Indonesia dalam menyusun INDC dinilai oleh banyak negara lain sangat baik karena penyusunannya inklusif dengan mengembangkan dan memperkuat basis ilmiah sebagai alat bantu dalam pengambilan kebijakan di bidang perubahan iklim.

Berdasarkan hasil kaji ulang, dihasilkan baseline trajectory yang baru dimana proyeksi emisi GRK Indonesia pada kondisi BAU (tanpa melakukan kebijakan dan aksi mitigasi GRK) meningkat dari 1,46 juta ton CO2 pada tahun 2010, berturut-turut menjadi 1,636 juta ton CO2 pada 2015; 1,805 juta ton CO2 pada tahun 2020; 2,248 juta ton CO2 tahun 2025; dan mencapai 2,881 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sektor yang berkontribusi pada proyeksi emisi GRK tersebut mencakup energi dan transportasi; proses industri (IPPU1); limbah; pertanian, kehutanan dan alih fungsi lahan (AFOLU2); dekomposisi gambut serta kebakaran lahan gambut. Sejak tahun 2010 sampai tahun 2030 terjadi perubahan kontribusi masing-masing sector pembangunan terhadap emisi GRK setiap tahunnya, di mana kontribusi sektor energi dan transportasi diprediksi akan meningkat terus hingga mencapai 50% pada 2030 dari sebelumnya sebesar 28% pada tahun 2010.

(12)

Berdasarkan telaahan yang telah dilakukan terhadap kebijakan mitigasi emisi GRK yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 serta analisis terhadap opsi-opsi kebijakan penurunan emisi GRK yang mungkin diterapkan sampai dengan tahun 2030, dapat disampaikan opsi skenario penurunan emisi GRK secara nasional pada tahun 2030, yaitu: reduksi emisi sebesar 29% (skenario fair/menggunakan kemampuan sendiri), reduksi emisi sebesar 32% (skenario optimis) dan reduksi emisi minimal sebesar 41% (skenario ambisius). Berdasarkan analisa awal dan perhitungan biaya untuk menurunkan emisi (abatement cost), untuk menurunkan emisi sebesar 26%, Indonesia membutuhkan pendanaan setidaknya sebesar USD 12,98 milyar (abatement cost) di tahun 2030. Sedangkan untuk memenuhi target menurunkan emisi sebesar 41% di tahun 2030, tambahan dana yang diperlukan dari bantuan internasional mencapai minimal USD 5,92 miliar (abatement cost).

Meskipun telah dilakukan kaji ulang pengurangan emisi nasional, REDD+ masih merupakan komponen penting dari RAN GRK dan enam strategi yang relevan diidentifikasi sebagai berikut: (i) mengurangi deforestasi dan degradasi hutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca; (ii) meningkatkan area hutan tanaman untuk meningkatkan penyerapan gas rumah kaca; (iii) meningkatkan perlindungan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar, dan meningkatkan Pengelolaan Hutan Lestari; (iv) meningkatkan manajemen air dan DAS dan menstabilkan tingkat air di daerah gambut; (v) mengoptimalkan lahan dan sumber daya air; dan (vi) menerapkan teknologi pengelolaan lahan dan budidaya pertanian dengan emisi rendah dan penyerapan optimal CO2.

Strategi Nasional REDD+ bertujuan untuk memastikan bahwa hutan adalah carbon sink bersih pada 2030. Sementara itu Strategi dan Rencana Aksi di Tingkat Provinsi (SRAP) telah dikembangkan di 11 provinsi prioritas termasuk: Kalimantan Timur, Papua Barat, Papua, Jambi, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Aceh. Pengembangan kerangka safeguards untuk REDD+ di Indonesia melalui dua inisiatif utama yang dimulai pada awal tahun 2011 dan berjalan secara parallel, yaitu Prinsip, Kriteria dan Indikator untuk REDD+ di Indonesia (PRISAI) yang mana pengembangannya dinisiasi oleh Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) dan secara bersamaan, Kementerian Kehutanan, dengan dukungan dari FCPF dan GIZ, mengembangkan SIS REDD+, termasuk pengembangan SESA dan ESMF.PRISAI ini didasarkan pada pedoman UNFCCC, dan menerjemahkan pendekatan pengamanan dari Perjanjian Cancun ke dalam konteks Indonesia. . Kedua inisiatif ini melayani tujuan yang berbeda, tetapi memiliki potensi untuk diintegrasikan. SIS REDD+ yang dibangun di atas sistem pengamanan yang ada dan diuji di provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sebuah sistem informasi berbasis web telah dibangun untuk integrasi SIS.

Kemajuan yang signifikan telah dibuat dalam mengembangkan Forest Reference Emission Level (FREL) tingkat nasional yang akan disubmisi dalam forum UNFCCC di COP21 Paris tahun ini. FREL menggunakan data set dokumen tutupan lahan dan penggunaan lahan dari tahun 1990 hingga saat ini, dan dapat digunakan untuk mengukur dinamika tanah di seluruh Indonesia. Sebuah dokumen desain MRV telah disiapkan, dan berada di bawah konsultasi dengan pemangku kepentingan. Sistem ini akan bergantung pada inventarisasi hutan dan penghitungan karbon sistem yang ada. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melaksanakan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas di MRV di tingkat nasional dan subnasional, selain mengkoordinasikan pembentukan hampir 200 petak ukur permanen di seluruh negeri. Tahap awal dari Sistem Pemantauan Hutan Nasional (NFMS) telah diluncurkan untuk komunikasi lebih lanjut dan umpan balik (http://nfms.dephut.go.id/).

Kemajuan dalam peningkatan kapasitas disemua level telah dicapai melalui berbagai kegiatan seminar, training, termasuk berbagai inisitatif pelibatan multi pihak telah memberikan kontribusi significant dalam peningkatan kesadaran, pemahaman dan pengetahuan tentang isu-isu perubahan iklim dan REDD+ di tingkat nasional, sub nasional dan local. Berbagai kegiatan diseminasi, konsultasi

(13)

public telah berkontribusi pada pengembangan kebijakan-kebijakan terkait REDD+. Mateteri kegiatan diseminasi dan outreach dapat diakses public melalui laman FCPF program (www.fcpfindonesia.org).

Di tingkat subnasional, khususnya di Provinsi Kalimantan Timur, Rancangan awal RPJMD Kaimantan Timur 2013-2018 telah mengakomodasi isu perubahan iklim, dan penurunan emisi telah menjadi salah satu misi pembangunan 5 tahun mendatang (2013-2018) dimana hal ini telah dituangkan dalam visi dan misi pembangunan menuju Kaltim Maju 2018. Berdasarkan komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih dan permasalahan serta isu strategis Provinsi Kalimantan Timur yang menjadi prioritas untuk ditangani dalam lima tahun ke depan dan selaras dengan sasaran pokok pembangunan jangka panjang dalam RPJPD Kalimantan Timur 2005-2025, ditetapkan visi RPJMD Provinsi Kalimantan Timur untuk periode 2013-2018 adalah “Mewujudkan Kaltim Sejahtera Yang Merata dan Berkeadilan Berbasis Agroindustri dan Energi Ramah Lingkungan”.

Dalam rangka implementasi REDD+ di Kaltim, maka telah dan akan dilakukan tinjauan tentang beberapa indikator berkaitan dengan kesiapan daerah, yaitu: (1) Aspek Sumber Daya Alam, khususnya potensi hutan yang memungkinkan dialokasikan bagi upaya mitigasi REDD+ dan juga kegiatan penggunaan lahan yang mampu menekan laju deforestasi dan degradasi lingkungan; (2) Aspek Kelembagaan, antara lain organisasi yang terlibat dan kontribusi masing-masing (baik yang mendukung ataupun yang menerima konsep REDD+); (3) Aspek Sumber Daya Manusia/SDM terdiri dari individu maupun kelompok dan organisasi; (4) Aspek Kebijakan dan Hukum, yaitu komitmen Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta Sektorsektor terkait; (5) Aspek Finansial (baik yang berasal dari anggaran pemerintah seperti APBN dan APBD provinsi/ kabupaten/ kota maupun dana pihak ketiga; (6) Aspek Teknis, terutama berkaitan dengan data, informasi dan teknologi yang dikuasai para pihak berkepentingan; serta (7) Aspek modal sosial yang dimiliki ataupun dibangun guna mendukung implementasi REDD+ di Kaltim.

3.2 Status Readiness Package saat ini dan estimasi tanggal submisi ke FCPF Participants Committee (termasuk REL/FRL, Strategi Nasional REDD+, MRV dan ESMF).

Kesiapan Indonesia dalam REDD+ dilihat dari beberapa aspek penting meliputi: (1) kebijakan dan perundang-undangan; (2) FREL; (3) NFMS/MRV; dan (4) SIS-REDD+; dan (5) pendanaan. Proses pengelolaan REDD+ secara nasional telah menunjukkan progress yang signifikan. Dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan, Indonesia telah memiliki Strategi Nasional REDD+ yang meliputi Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) 26% hingga 41%. Tahun 2011, Presiden RI juga menerbitkan Inpres No. 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Meningkatkan Pengelolaan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Moratorium konversi hutan yang diperpanjang lagi selama dua tahun melalui Inpres No. 6/2013 telah memberikan kesempatan penting untuk membahas isu isu terkait penyelenggaraan kepemerintahan, antara lain perencanaan spasial dan pemberian ijin sebelum hutan alam dan lahan gambut dikonversi lebih jauh ke penggunaan nonhutan. Gugus tugas tersebut juga menerbitkan peta yang mengidentifikasi kawasan hutan untuk dimasukkan dalam moratorium. Peta tersebut dapat diakses melalui:

Dana kesiapan FCPF (FCPF Readiness Fund) telah mampu mendukung penyiapan pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Dengan dukungan tersebut, beberapa kegiatan telah memberikan kontribusi terhadap pengembangan Reference Emission Level, Measurement – Reporting – Verification, dan Safeguards. Empat fokus area dalam program ini telah dicapai. Meskipun aspekaspek teknis pelaksanaan REDD+ di Indonesia telah tersedia, prosesproses politik masih belum selesai. Beberapa isu, sperti system MRV dan mekanisme benefitsharing belum disetujui, namun demikian pilihanpilihan system telah terbangun. Bagaimanapun juga, dukungan FCPF sangat penting dalam fase penyiapan REDD+ dan

(14)

dukungan yang terus menerus akan sangat bermanfaat untuk membantu Indonesia dalam implementasi REDD+ termasuk antara lain memfasilitasi REDD+ penyiapan FCPF Carbon Fund.

Proses pengelolaan REDD+ secara nasional telah menunjukkan progress yang signifikan. Beberapa inisiatif untuk mempercepat kegiatan REDD+ melalui tahapantahapan program, yang fokusnya pada penguatan straegi nasional, MRVNFMS, REL/RL, SIS dan instrumen pendanaan. Tahap kedua dari tiga tahap implementasi REDD+ di Indonesia adalah periode 2014 - 2016 atau tahap transformasi. Pada tahap ini, Indonesia harus sudah siap memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi yang telah diverifikasi baik secara institusi mapun operasional. Pada tingkat provinsi diharapkan semua provinsi memberikan dukungan untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan lahan melalui skema REDD+. Pada tingkat nasional, perlu memperhatikan hasilhasil COP 19 di Warsawa. Salah satu keputusan penting pada pertemuan tersebut adalah mendorong pihak yang berkepentingan untuk memberikan otoritas kepada entitas nasional atau fokal point untuk bertindak sebagai penghubung dengan sekretariat dan badanbadan dibawah Konvensi, terkait dengan koordinasi dukungan dan kemungkinan diusulkan untuk menerima pembayaran bedasarkan hasil.

Indonesia telah membentuk institusi baru yaitu Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan demikian, semua institusi yang menangani isu perubahan iklim (Kementarian Kehutanan, BP REDD+, DNPI, KLH) diintegrasikan dalam institusi baru ini. Pengelolaan institusi baru tersebut dapat meningkatkan koordinasi dengan efektif dan efisien, oleh karena itu kegistankegiatan dapat lebih dipertanggungjawabkan dan transparan dalam pelaksanaan REDD+. Namun demikian peran Dirjen PPI pada tingkat regional harus lebih diperkuat. Peningkatan kapasitas regional dalam fase transformasi tersebut dilaksanakan melalui kegiatankegiatan yang mendukung implementasi REDD+. Selain itu Menteri LHK menetapkan Dewan Pengarah Pengendalian perubahan iklim tingkat nasional sebagai badan adhoc. Penetapan dewan pengarah pengendalian perubahan iklim bertujuan untuk mengefektifkan koordinasi hasilhasil dan proses dari berbagai sektor dan para pihak.

Arsitektur REDD+ di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Pada skala nasional indonesia telah memiliki FREL, NFMS/MRV, SISREDD+. Selanjutnya yang masih menjadi pekerjaan rumah pada arsitektur REDD+ di Indonesia adalah terkait FREL, MRV dan tindak lanjut pengamanan REDD+ dan SIS yang beroperasi pada tingkat sub nasional. Semua kegiatan REDD+ menghormati kepentingan para stakeholder termasuk beberapa jejaring kerja dan kemitraan yang dibangun para stakeholder, misalnya masyarakat, perusahaan swasta, universitas, lembaga penelitian dan pengembangan dan lembaga pendidikan dan pelatihan.

Tahun 2011, Presiden RI telah menerbitkan Inpres No. 10/2011 tenang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Meningkatkan Pengelolaan Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Moratorium konversi hutan yang diperpanjang lagi selama dua tahun melalui Inpres No. 6/2013 telah memberikan kesempatan penting untuk membahas isuisu terkait penyelenggaraan kepemerintahan, antara lain perencanaan spasial dan pemberian ijin sebelum hutan alam dan lahan gambut dikonversi lebih jauh ke penggunaan nonhutan. Gugus tugas tersebut juga menerbitkan peta yang mengidentifikasi kawasan hutan untuk dimasukkan dalam moratorium. Peta tersebut dapat diakses melalui:

http://appgis.dephut.go.id/appgis/petamoratorium.html

Sejumlah kegiatan REDD+ sedang dilaksanakan pada tingkat subnasional, yang sebagian besar adalah kegiatan skala kecil, hanya pada tingkat keproyekan. Sedangkan kegiatan lainnya dikategorikan skala yang lebih besar yang akan menilai strategistrategi REDD+ pada tingkat provinsi dan kabupaten. Pada saat yang bersamaan, berkaitan dengan upaya untk meningkatkan peran sektor kehutanan dalam program PE, keberadaan dan peran pengelolaan hutan alam (IUPHHK-HA) di Kalimantan Timur juga telah berkembang program-program kemitraan sebagai bagian dari upaya percepatan

(15)

pencapaian PHL-SFM. Sebagai contoh, bantuan hibah dana dari The Borneo Initiative (TBI) telah meningkatkan jumlah IUPHHK-HA yang telah memperoleh Sertifikat SFM dengan Standar FSC (dari 2 unit sebelum tahun 2010 menjadi 6 unit pada tahun 2015 dan 7 unit dalam proses). Disamping bantuan hibah dana TBI, peran mitra kerjasama donor Luar Negeri, antara lain: The Nature Conservancy (TNC), bantuannya berupa penguatan kelembagaan dan pengembangan kapasitas SDM perusahaan dan program pendampingan yang lain. Khusus tentang pemabngunan dan pengembangan KPHP/L peran GIZ-Forclime.

Kegiatan-kegiatan demonstrasi tersebar di beberapa wilayah di Indonesia yang telah menunjukkan hasil, antara lain (i) pengembangan metodologi deforestasi yang tak terhindarkan dari deforestasi untuk lahan gambut; (ii) pengalaman dengan pendekatan REDD+ pada tingkat kabupaten; dan (iii) masukan dalam pengembangan dan uji coba lapang terhadap sistem penghitungan karbon skala nasional.

Selain progres tersebut diatas, sejumlah tantangan masih harus dihadapi, termasuk:

 Pengaturan pengelolaan secara nasional perlu diselaraskan dengan lembagalembaga di tingkat subnasional (tingkat provinsi, kabupaten dan keproyekan).

 Kelompok kerja REDD+ pada tingkat subnasional perlu diperkuat.

 Lembaga-lembaga di tingkat masyarakat perlu penguatan untuk memfasilitasi kemitraan,  KPH perlu dipercepat pembangunan dan pengembangannya di tingkat Kabupaten. Sebab

keberadaan dan peran KPHP/L di daerah merupakan “instrumen baru” dalam upaya mewujudkan pencapaian PHL-SFM dan pembangunan berbasis lahan yang lain (perkebunan dan pertambangan) diwilayah kelola. Dengan dapat dicapai atau diwujudkannya pembangunan berbasis lahan berkelanjutan (kehutanan-perkebunan dan pertambangan) di tingkat tapak untuk memperkuat dan mendukung pengelolaan dan implementasi REDD+ pada tingkat tapak.

3.3 Konsistensi dengan Strategi Nasional REDD+ dan kebijakan lain yang relevan Harap memberikan gambaran tentang:

a) Bagaimana kegiatan yang saat ini dilaksanakan dan telah direcanakan dalam Program PE terkait dengan beragam intervensi yang diusulkan dalam strategi nasional REDD+

b) Bagaimana program PE yang diusulkan relevan dengan pembangunan dan/atau pelaksanaan strategi nasional REDD+ (termasuk kebijakan, kerangka kerja nasional, dan legislasi).

c) Bagaimana kegiatan yang diusulkan dalam Program PE konsisten dengan peraturan perundangundangan nasional dan prioritas pembangunan

Strategi Nasional REDD+ mendukung rencana tingkat provinsi terutama dengan menciptakan prasyarat untuk pelaksanaan yang efektif dari program REDD+. Ini termasuk menangani penyebab utama deforestasi, melaksanakan reformasi tata pemerintahan, dan menciptakan kerangka kelembagaan untuk pelaksanaan REDD+. Program PE akan mendukung pelaksanaan kegiatan ini di tingkat provinsi dengan mengkoordinasikan dana yang ditargetkan, dengan menyediakan kerangka kerja untuk kolaborasi dengan berbagai mitra, dan dengan mencapai pengurangan emisi di masa depan. Program ini diharapkan dapat mendukung investasi yang diperlukan untuk pelaksanaan REDD+. Untuk mencapai hal ini, pengembangan program akan dikoordinasikan dengan mitra potensial dan lembaga donor. Yang penting, kegiatan PE akan sejalan dengan rencana pembangunan tingkat provinsi yang ada.

Pendekatan provinsi sejalan perundangundangan yang baru di Indonesia. Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam pengembangan kerangka REDD+ tingkat nasional dan langkah berikutnya yang penting adalah untuk melaksanakan kegiatan di provinsi dan kabupaten. Melalui

(16)

proses desentralisasi di Indonesia, provinsi telah menerima otoritas pemerintahan yang signifikan, termasuk kewenangan atas fungsi pengelolaan hutan dan karena itu memainkan peran integral dalam tata kelola hutan dan di REDD+. Peran ini ditekankan melalui pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH lindung dan produksi akan berada di bawah pengelolaan pemerintah provinsi.

Dengan berfokus pada satu provinsi, yaitu Kalimantan Timur, program PE akan menghasilkan pelajaran penting bagi daerah kaya hutan lainnya, memfasilitasi adopsi kerangka REDD+ subnasional di seluruh Indonesia. Pelajaran yang diperoleh dari pelaksanaan program ER di tingkat provinsi akan berharga dalam menyelesaikan desain kerangka REDD+ nasional, termasuk sistem nasional MRV, pendekatan safeguards, dan registrasi PE.

Program PE akan memanfaatkan dukungan reformasi tata kelola hutan yang merupakan bagian dari Strategi Nasional REDD+. Sistem KPH memiliki potensi untuk secara mendasar meningkatkan pengelolaan hutan, termasuk mengurangi deforestasi dan degradasi dan partisipasi lebih baik untuk masyarakat lokal. Dengan menerapkan program PE, manajemen KPH akan memiliki insentif yang nyata untuk mengatasi masalah tata kelola, termasuk pemetaan, manajemen bisnis, dan pengembangan masyarakat. Program PE juga akan mendukung kepemilikan berkelanjutan dan reformasi perencanaan tata ruang. Salah satu tujuan utama dari program ini adalah untuk mendukung reformasi tenurial yang sedang berlangsung, termasuk pengakuan hakhak adat atas tanah. Ini akan melalui dukungan di tingkat kebijakan di provinsi dan kabupaten, serta melalui dukungan untuk pemetaan, peningkatan kapasitas masyarakat, dan pendaftaran tanah.

4. LOKASI DAN DURASI PROGRAM PE 4.1 Skala dan lokasi Program PE yang diusulkan

Mohon menjelaskan gambaran umum dan peta lokasi program PE dan wilayah sekitarnya, dan pentingnya fisiografis lokasi dalam kerangka nasional. Indikasikan lokasi dan batasbatas wilayah Program PE, misalnya, yurisdiksi administrasi.

Indonesia mengusulkan Kalimantan Timur sebagai lokasi untuk Program Pengurangan Emisi FCPF Carbon Fund. Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerahdaerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam perkembangan lebih lanjut, sesuai dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara, yang merupakan daerah pemekaran wilayah dari Provinsi Kalimantan Timur dengan lima kabupaten yang berada di wilayah utara Kalimantan Timur.

Provinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah sekitar 12.726.752 ha yang terdiri dari daratan seluas 12.533.681 ha dan perairan darat seluas 193.071 ha. Selain wilayah darat, Kalimantan Timur juga memiliki pengelolaan laut (04 mil) seluas 25.656 km2. Sebagai provinsi terluas ketiga, Kalimantan Timur memiliki luas wilayah mencapai 6,66 persen dari luas wilayah Indonesia. Dari segi administrasi pemerintahan, Provinsi Kalimantan Timur terbagi menjadi 7 (tujuh) tingkat kabupaten (Berau, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser, Penajam Paser Utara, dan Mahakam Ulu) dan 3 (tiga) kota (Balikpapan, Bontang dan Samarinda).

Adapun batas wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur adalah:  Sebelah Utara: berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Utara

 Sebelah Barat: berbatasan dengan Negara Bagian Serawak Malaysia, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah

(17)

 Sebelah Selatan: berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan  Sebelah Timur: berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut Sulawesi

Secara geografis Kalimantan Timur terletak pada kedudukan 40 24’ Lintang Utara (LU) dan 20 25’ Lintang Selatan (LS), 1130 44’ Bujur Timur (BT) dan 1190 00 Bujur Timur (BT). Posisi Kalimantan Timur sangat strategis sebagai jalur transportasi laut internasional karena berbatasan dengan wilayah perairan Selat Makassar dan Laut Sulawesi yang merupakan Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II). Oleh karenanya disamping kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, posisi ini strategis dan mengundang banyak investor untuk beraktifitas di Kalimantan Timur.

(18)

Luas hutan Kalimantan Timur tahun 2013 adalah 8.562.287 ha yang meliputi 3 fungsi hutan yaitu: (1) hutan lindung; (2) hutan konservasi; dan (3) hutan produksi. Luas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap masingmasing 3.249.132 ha dan 3.121.900 ha. Daerah kabupaten/kota yang mempunyai kawasan hutan terluas yaitu Kabupaten Kutai Timur dengan luas areal hutan mencapai 2.198.344 ha.

Jumlah konsesi di Kalimantan Timur sebanyak 76 perusahaan dengan luas 4.926.062,80 ha konsesi hutan, sementara Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 2013 tercatat 1.665.170 ha dikelola oleh 44 perusahaan perkebunan. Produksi kayu bulat pada tahun fiskal 2013 mencapai 1.178.024,07 m3 dari 87.517,83 ha luas panen. Untuk kayu olahan, kayu lapis adalah produk yang paling besar (347.347,13 m3). Kayu olahan lainnya yang dihasilkan termasuk Kayu Gergajian, Blockboard, dan Veneer.

Luas hutan Kalimantan Timur tahun 2013 adalah 8.562.287 ha yang meliputi 3 fungsi hutan yaitu: (1) hutan lindung; (2) hutan konservasi; dan (3) hutan produksi. Luas hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap masingmasing 3.249.132 ha dan 3.121.900 ha. Luas hutan mangrove kurang lebih seluas 375.763 ha. Daerah kabupaten/kota yang mempunyai kawasan hutan terluas yaitu Kabupaten Kutai Timur dengan luas areal hutan mencapai 2.198.344 ha.

Jumlah konsesi di Kalimantan Timur sebanyak 76 perusahaan dengan luas 4.926.062,80 ha konsesi hutan, sementara Hutan Tanaman Industri (HTI) pada tahun 2013 tercatat 1.665.170 ha dikelola oleh 44 perusahaan perkebunan. Produksi kayu bulat pada tahun fiskal 2013 mencapai 1.178.024,07 m3 dari 87.517,83 ha luas panen. Untuk kayu olahan, kayu lapis adalah produk yang paling besar (347.347,13 m3). Kayu olahan lainnya yang dihasilkan termasuk Kayu Gergajian, Blockboard, dan Veneer.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.674/Menhut-II/2011 tanggal 1 Desember 2011, di Provinsi Kalimantan Timur telah ditetapkan Wilayah KPH sebanyak 20 unit yang terdiri atas 2 unit KPHL dan 18 unit KPHP. Sampai saat ini KPH yang telah aktif operasional sebanyak 8 unit yaitu: KPHP Berau Barat, KPHP Meratus, KPHP Bongan, KPHP Santan, KPHP Telake, KPHP Kendilo, KPHP Sub DAS Belayan dan KPHP Delta Mahakam. Rincian KPH Kalimantan Timur berdasarkan penetapan Menteri Kehutanan sebagaimana dipaparkan pada Tabel 1.

Tabel 1. KPH di Kalimantan Timur

No Unit Nama KPH Luas Jenis KPH Kabupaten/Kota

1 XXII - 658,321 KPHL Kutai Barat

2 XXX HL Sungai Wain 14,782 KPHL Balikpapan

3 XII Berau Barat 786,019 KPHP Berau

4 XIV - 322,953 KPHP Berau

5 XV - 362,417 KPHP Berau

6 XVI - 193,145 KPHP Berau

7 XVII - 263,350 KPHP Kutai Timur

8 XVIII - 707,486 KPHP Kutai Timur

9 XIX - 963,824 KPHP Kutai Timur

10 XXIII - 213,244 KPHP Kutai Barat

11 XXIV - 559,712 KPHP Kutai Barat

12 XXV - 451,109 KPHP Kutai Barat

13 XXVI Sub DAS Belayan 1,033,138 KPHP Kutai Kartanegara 14 XXVIII Kebun Raya Samarinda 299 KPHP Samarinda 15 XXIX Delta Mahakam 112,984 KPHP Kutai Kartanegara

16 XXXIII Telake 275,832 KPHP Paser

(19)

No Unit Nama KPH Luas Jenis KPH Kabupaten/Kota

18 XXVII Santan 269,489 KPHP Kukar, Kutim, Bontang

19 XXXI Meratus 387,749 KPHP PPU, Kubar, Kukar

20 XXXII Bongan 421,743 KPHP PPU, Paser, Kubar

TOTAL 8,140,017

Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur dilakukan setelah melakukan diskusi intensif dengan Carbon Fund Participants mengenai upaya mengkonsolidasikan lokasi dan mengefektifkan implementasi Program PE dengan tetap mempertahankan wilayah yang sebelumnya diusulkan menjadi lokasi Carbon Fund. Pemilihan Kaltim ini cocok dengan sejumlah kriteria penting, termasuk yang berikut:

 Sesuai dengan prioritas REDD+ yang lebih luas. CF Program mendukung program REDD+ nasional, dan provinsi yang berpartisipasi akan memainkan peran kunci dalam pendekatan REDD+ subnasional.

 Sudah ada investasi REDD+ sebelumnya. Kalimantan Timur telah memiliki program REDD+ yang signifikan yang terkait di masa lalu, yang memungkinkan CF untuk membangun momentum yang ada.

 Keterlibatan masyarakat sipil yang kuat. Ini akan menjadi faktor penting dalam memungkinkan program untuk mengatasi masalah di tingkat masyarakat dan untuk sepenuhnya mengintegrasikan masyarakat lokal dalam desain dan pelaksanaan program. Daftar potensial mitra dipaparkan pada Bagian 1.2.

 Komitmen dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan kegiatan di tingkat kabupaten dan komitmen mereka untuk REDD+ dan Program CF penting bagi keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan yang diusulkan. Institusi lokal di masingmasing kabupaten telah diidentifikasi sebagai titik fokus untuk pelaksanaan program. Juga, alokasi anggaran daerah yang mendukung kegiatan yang terkait REDD+.

 Sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan setempat.

 Ada proses untuk berbagi informasi dan keterlibatan pemangku kepentingan. Ini termasuk mekanisme untuk melibatkan masyarakat lokal, termasuk mekanisme untuk menangani keluhan parapihak.

 Kemajuan pada pengembangan kerangka REDD+. Ini termasuk kemajuan dalam mengembangkan Tingkat Referensi Emisi, kemajuan dan kapasitas untuk mengembangkan Sistem Pemantauan Hutan, dan keahlian dalam mengukur emisi (termasuk kebocoran dan risiko balik).

Kemajuan yang terkait dengan safeguards, termasuk adopsi PRISAI atau SES, sosialisasi REDD+, dan dukungan dari LSM dan akademisi untuk REDD+.

 Kemajuan dalam perencanaan tata ruang dan pelaksanaan KPH, termasuk pengembangan skema hutan kemasyarakatan.

 Kemajuan dalam mekanisme pembagian manfaat, termasuk pengalaman dari program pembangunan berbasis masyarakat, dan peraturan lokal untuk mendukung mekanisme pembagian keuntungan.

4.2 Durasi Program PE yang diharapkan

Mohon mendeskripsikan berapa bulan/tahun program PE akan: a) dipersiapkan; dan

b) dilaksanakan ( termasuk tanggal dimulainya Program PE).

Program PE yang diusulkan terintegrasi ke dalam program REDD+ di Indonesia, yang diharapkan akan aktif selama setidaknya 15 tahun ke depan. Lebih khusus, setelah Program CF berakhir pada tahun 2025, struktur REDD+ yang akan dibangun di Kaltim akan memungkinkan Pemerintah Indonesia

(20)

untuk melanjutkan pembelian PE dari Kaltim. Pendanaannya diharapkan muncul dari REDD+ nasional dan melanjutkannya sampai setidaknya 2030.

Tahap desain program diharapkan mulai pada bulan Januari 2016 dan berlangsung antara 18 sampai dengan 24 bulan. Ini akan mencakup investasi dalam kesiapan REDD+ seperti finalisasi REL dan sistem MRV, dan desain mekanisme pembagian keuntungan. Hal ini juga akan mencakup inisiasi kegiatan PE, termasuk penyelarasan mitra pelaksana dan sumber pendanaan. Pelaksanaan kegiatan PE diharapkan mulai pada tahun 2017 dan terus setidaknya sampai 2030. Pembayaran MRV berdasarkan kinerja dari PE diharapkan terjadi setiap dua tahun, dimulai pada tahun 2019 sampai 2025, meskipun jadwal yang sesungguhnya akan diputuskan selama desain sistem MRV. Tata waktu yang lebih rinci dipaparkan pada Bagian 7.4.

5. DESKRIPSI KEGIATAN DAN INTERVENSI YANG DIRENCAKANAN DALAM KERANGKA PROGRAM PE YANG DIUSULKAN

5.1 Analisis penyebab deforestasi dan degradasi hutan yang tidak langsung, dan kecenderungan konservasi dan pengkayaan

Mohon menyajikan analisis penyebab dan agen deforestasi dan degradasi hutan. Juga gambarkan semua kebijakan dan kecenderungan yang dapat berkontribusi pada upaya konservasi dan peningkatan cadangan karbon. Mohon dibedakan antara penyebab dan kecenderungan dalam lokasi Program PE, dan semua penyebab atau kecenderungan yang terjadi di luar lokasi tetapi mempengaruhi penggunaan lahan, tutupan lahan, dan cadangan karbon di lokasi Program PE. Gunakan analisis yang dihasilkan oleh RPP dan/atau RPackage. Permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di Kaltim utamanya dipicu karena pembangunan daerah Kaltim sejak dekade 70 an berbasis pada 3 (tiga) komoditas utama yakni kayu (kehutanan), kelapa sawit (perkebunan) dan batu bara (pertambangan) yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Penyebab langsung dan tidak langsung deforestasi dan degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah:

Pemanfaatan Kayu secara Berlebihan, Pembalakan Liar (Illegal Logging) dan Pemiskinan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity)

Pemanfaatan kayu untuk menopang ekonomi berlangsung selama dekade terakhir sebenarnya telah menurun sejak tahun 2000an namun masih terjadi dan disambung dengan meluasnya pembalakan liar akibat dari euforia reformasi (1998) dan transisi politik menuju era otonomi 2003. Upaya pemberantasan illegal logging telah cukup memberikan efek jera namun tidak mampu mengimbangi laju pertambahan lahan kritis akibat pemanfaatan kayu dan illegal loging yang berujung pada pemiskinan keanekaragaman hayati.

 Konversi Lahan Berhutan ke Perkebunan Sawit Skala Besar

Komoditas perkebunan sawit telah menyokong pendapatan daerah, sampai saat ini terdapat 479 perusahaan perkebunan sawit skala besar (2014) di seluruh Kabupaten/Kota di Kaltim dengan luas 1.020.413 ha dan produksi TBS 9.628.072 ton/tahun (2015) dan diperkirakan akan terus meningkat. Ketiadaan batas kawasan hutan yang jelas di lapangan dan kurang tepatnya pemberian perizinan perkebunan, juga mengakibatkan sekitar 200 ribu hektar lahan perkebunan sawit tumpang tindih atau menjarah kawasan hutan. Kegiatan pembukaan lahan (land clearing) terhadap tegakan hutan untuk persiapan kebun sawit menjadi penyebab terjadinya banyak risiko lingkungan, seperti terjadinya aliran permukaan, erosi, sedimentasi yang berakibat pada pendangkalan badan sungai. Meskipun sekarang dalam persiapan lahan tidak diperkenankan melakukan pembakaran (zero burning), tetapi aktivitas pembakaran ini bisa meluas, terutama bila berada di sekitar lahan-lahan bergambut (peat swamp forests).

(21)

Pemanfaatan Lahan Berhutan untuk Pertanian Tebas Bakar (Slash and Burn Agriculture), Perambahan Hutan (Forest Encroachments) dan Extensifikasi Kemandirian Pangan (Food Estate) Separuh dari populasi penduduk kaltim tinggal didaerah pedesaan dan dua pertiga dari jumlah tersebut bergantung kehidupannya dari kegiatan pertanian khususnya pertanian lahan kering (ladang) yang dilakukan dalam bentuk pertanian tebas bakar yang merupakan cikal bakal pemenuhan kebutuhan manusia dari hasil budidaya yang didalamnya memuat juga nilai-nilai sosial dan budaya. Selain itu, Kalimantan Timur juga berupaya memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dengan mencanangkan food estate project yang memicu pembukaan lahan dan berimplikasi pada meningkatnya degradasi dan deforestasi.

 Pembukaan Lahan untuk Pertambangan Batubara

Kegiatan pertambangan batubara di Kaltim meningkat pesat sejak pertengahan tahun 2000-an, dipacu oleh banyaknya investor yang mengejar keuntungan besar dan cepat. Kebangunan tambang batu bara ini seiring dengan merosotnya industri perkayuan dan bahkan kecepatannya melebihi pembangunan perkebunan sawit sekalipun. Daerah pun antusias mengeluarkan izin-izin kuasa pertambangan karena pemasukan yang cukup tinggi.

 Kebakaran Hutan dan Lahan

Secara umum, fenomena bencana kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Timur disebabkan oleh 2 (dua) hal yang bertalian, yaitu penyebab pertama para peladang dan masyarakat yang melaksanakan kegiatan pembukaan lahan untuk perladangan/ pertanian dengan cara membakar hutan/lahan yang akan disiapkan untuk areal perladangan/ pertanian, kemudian diperparah lagi oleh penyebab kedua yaitu El-Nino (musim kemarau panjang). Dan, juga diakibatkan oleh permukaan lapisan batu bara yang terbakar dan sifatnya relatif lebih lama, serta menyebar dekat permukaan tanah yang banyak ditemukan di kawasan-kawasan hutan tropis di Kalimantan Timur (Goldammer et al., 1996), sedangkan Boonyanuphap, J., (2001) menyatakan bahwa peningkatan permasalahan kebakaran tersebut juga diakibatkan oleh kegiatan konversi kawasan hutan dalam sekala besar dan kegiatan pembukaan/penyiapan lahan dengan cara membakar untuk areal-areal hutan tanaman industri, perkebunan karet dan kelapa sawit.

 Pembukaan dan Pemanfaatan Lahan untuk Berbagai Peruntukan

Diidentifikasi diantaranya pembukaan dan pemanfaatan lahan hutan untuk infrastruktur sosial dan ekonomi juga pemukiman. Secara teknis pembukaan kawasan hutan dan lahan berhutan untuk pemukiman yang terencana sebetulnya telah memperhitungkan ruang bagi perkembangan pemukiman dimasa depan seperti pemberian lahan usaha untuk pertanian, lahan untuk perkebunan dan lahan cadangan. Namun demikian seringkali dijumpai terjadinya perambahan dan pendudukan kawan hutan dan lahan berhutan untuk berbagai kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat. Akibatnya tekanan terhadap kawasan hutan dan lahan berhutan yang menuju pada degradasi dan deforestasi kian meningkat. Demikian juga halnya dengan kegiatan pembukaan kawasan hutan dan lahan berhutan yang tidak terencana, dampak perambahan dan pembukaan kawasan hutan dan lahan berhutan lebih tinggi karena sulit terkontrol dan bersifat spontan.

(22)

Gambar 2. Ilustrasi Tulang Ikan (Fishbone) Sebab dan Akar Masalah Deforestasi Hutan di Kalimantan Timur

Untuk mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi hutan, beberapa peraturan pada level Provinsi dihasilkan untuk berkontribusi terhadap upaya konservasi dan peningkatan cadangan karbon, diantaranya:

 Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.

 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 15 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Kaltim tahun 2000-2025

 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan;

 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi Pasca Tambang

 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

 Peraturan Dearah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2013-2018  Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 tahun 2015 Pengakuan dan

Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur

 Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 tentang Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI).

 Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 22 tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau

 Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 19 tahun 2012 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP) Tahun 2011-2030

 Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 39 tahun 2014 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan Timur

 Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 17 tahun 2015 tentang Penataan Pemberian Izin dan Non Perizinan Serta Penyempurnaan Tata Kelola Perizinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur

Gambar

Gambar 1. Peta Administratif Provinsi Kalimantan Timur
Tabel 1. KPH di Kalimantan Timur
Gambar 2. Ilustrasi Tulang Ikan (Fishbone) Sebab dan Akar Masalah Deforestasi Hutan di Kalimantan  Timur
Tabel 2.    Kebijakan dan Strategi Pengurusan Kawasan berdasarkan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur  selama Jangka Waktu 20 tahun (2011 - 2030)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain memprediksi kebutuhan energi masyarakat di masa mendatang berdasarkan kondisi terkini dan

• Variabel 2; 5; 6; 8; 11; 13; 15; 18 berada di kuadran I yang artinya menurut persepsi mahasiswa semester tujuh, lima dan tiga merupakan variabel dengan kenyataan rendah

Tujuan penelitian yaitu mengetahui perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi karakter kejujuran dan kerja keras dalam pembelajaran matematika kontekstual di sekolah

dipimpin oleh seorang Kepala Seksi mempunyai tugas membantu Kepala Bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik menyiapkan bahan perumusan dan pelaksanaan

perusahaan, melainkan merupakan metode agar perusahaan selalu mempunyai energy untuk melakukan kreasi dan inovasi dalam waktu yang cepat sehingga perusahaan dapat

Madura(22/06) Tim SIDI Week 2014 telah melakukan kegiatan site visit menuju dua pulau adopsi yang telah direncanakan yaitu pulau Poteran di Madura dan Pulau Maratua.. Tim SIDI untuk

Dalam uraian analisis data diatas dan dengan berbagai metode yang dijelaskan dalam bab 3 dapat diketahui bahwa investor sudah mempunyai pengetahuan tentang

Perbedaan perlakuan pada biochar plus tidak memberikan perbedaan yang besar terhadap N-total tanah yang terlindi pada masing-masing jenis tanah, kecuali pada