• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekalahan Cambodia People’s Party di Wilayah Urban Kamboja pada Pemilu Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kekalahan Cambodia People’s Party di Wilayah Urban Kamboja pada Pemilu Tahun 2013"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

F A R I Z A N F A J A R I *1

Department of Political Science, Faculty of Social Science, University of Kassel Nora-Platiel-Str.1, Kassel, 34127

Jerman

E-mail: fajarifarizan@gmail.com ABSTRAK

Kamboja merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem pemilu otoriter. Kon-disi tersebut dimanfaatkan oleh partai penguasa, Cambodia People’s Party (CPP), se-bagai sarana untuk mendominasi kursi parlemen Kamboja hingga pemilu tahun 2008. Namun, peta kekuatan partai politik di Kamboja mengalami perubahan pada pemilu tahun 2013. Pada pemilu tersebut, perolehan kursi CPP mengalami penurunan signi-fikan dan menjadi hasil terburuk bagi mereka sejak pemilu tahun 1998. Penurunan tersebut utamanya dilatarbelakangi oleh kegagalan CPP dalam mendapatkan kursi terbanyak di empat wilayah urban Kamboja: Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal, yang memiliki proporsi jumlah kursi terbanyak. Padahal, CPP sebelumnya tidak pernah mengalami kekalahan di keempat wilayah tersebut secara bersamaan. Artikel ini berargumen bahwa kekalahan CPP dalam rezim otoriter disebabkan oleh kondisi-kondisi penting yang terjadi di Kamboja. Dengan mengelaborasi teori Dominant Party Authoritarian Regimes dan konsep pengawas pemilu internasional, artikel ini me-lihat tiga kondisi penting yang terjadi di Kamboja yang menjadi penyebab menurunnya suara CPP di perkotaan, yaitu: kebijakan pemerintahan Hun Sen yang menyebabkan permasalahan dalam masyarakat, menguatnya partai oposisi dan keberhasilan isu dan strategi kampanye yang digunakan, dan peran pengawas pemilu internasional dalam menurunkan praktik intimidasi politik oleh militer. Dalam mengumpulkan data, artikel ini menggunakan metode kualitatif, dengan cara mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan analisis data sekunder dari kajian literatur.

Kata Kunci: Rezim otoriter di Kamboja, pemilu tahun 2013, wilayah urban, partai pe-nguasa, partai oposisi

ABSTRACT

Cambodia is one of the countries that implements electoral authoritarianism system. This condition is misused by the ruling party, the Cambodia People’s Party or CPP, as the means to dominate the parliament until the 2008 election. However, the political party power distribution in Cambodia has undergone drastical change in the 2013 election. In this election, the CPP seats decreased significantly, which was the worst result for CPP since the 1998 election. The decrease was mainly caused by the failure of CPP to enchant the voters in four urban areas with high proportion of seats in parliament: Kampong Cham, Pnom Penh, Prey Veng, and Kandal. CPP had never failed in these four areas altogether before. This article argues that the lost of CPP in this authoritarian electoral regime was mainly caused by important issues currently present in Cambodia. By elaborating the theory of Dominant Party Authoritarian Regime and the concept of

(2)

international election observer, this article argues that there are three main conditions occurred in Cambodia: the policies of Hun Sen regimes that cause many problems in the society, the increasing power of opposition parties and their success of campaign issue and strategy, and the role of international election observer in suppressing the practice of political intimidation by the military. This article uses qualitative method, by gathering primary data from indepth interview and secondary data analysis from literature review.

Keywords: authoritarian regime in Cambodia, 2013 election, urban area, ruling party, opposition party

DOI: https://doi.org/10.7454/jp.v2i2.74

PENDA HULUA N

Kekalahan partai penguasa dalam sebuah penyelenggaraan pemilu (pe-milihan umum) merupakan sebuah fenomena yang sudah biasa terjadi di sebagian besar negara di dunia, khususnya negara yang menerapkan sistem pemilu demokratis.1

1 Penerapan pemilu dalam negara-negara ter-sebut setidaknya memiliki empat karakteristik: (1) setiap masyarakat harus memiliki suara yang sama; (2) bersifat kompetitif bagi seluruh partai; (3) bersifat transparan terhadap masyarakat; dan (4) memiliki peraturan yang tidak merugikan atau menguntungkan pihak tertentu (Streb 2008, 2-5; Klein 2011, 19). Dengan karakteristik ini, kekuasaan yang dimiliki oleh partai penguasa dapat saja berpindah tangan jika terdapat sebuah partai non-pemerintah yang memiliki kelebihan dalam hal strategi dan media kampanye yang digunakan dalam memobilisasi pemilih (Norris 2004; Semetko 2010; Day 2010; Vonderschmitt 2012; Horowitz 2016); kualitas, pengalaman, dan kebijakan yang ditawarkan oleh calon pemimpin (Poutvaara dan Takalo 2003; Buttice dan Sto-ne 2012; Hirano dan Snyder 2014; Campbell dan Cowley 2014); serta kekuatan dan modal yang dimiliki oleh partai itu sendiri (Farrell dan Webb 2003; Biezen 2010; Fisher 2015).

Kondisi berbeda ditunjukkan oleh negara yang menerapkan sistem pemilu otoriter. Dalam negara ini, di satu sisi, penyelenggaraan pemilu tetap menggunakan nilai-nilai demokrasi, seperti memberikan kesem-patan bagi partai oposisi untuk berkompetisi dalam sistem multi partai,

1 Artikel ini mendefinisikan partai penguasa sebagai partai yang pada periode sebelumnya berhasil memenangkan pemilu dan sedang bertindak sebagai penguasa parlemen.

(3)

menyelenggarakan pemilu secara berkala, serta memberikan hak pilih pada seluruh masyarakat. Namun, di sisi lain, pemilu di negara ini juga memiliki unsur-unsur otoriter, yang dapat dilihat dari peraturan yang mendiskriminasi pihak tertentu, tidak bersifat terbuka dan transparan, serta secara sistematis memberikan jalan bagi partai penguasa untuk melakukan intimidasi, represi, manipulasi, dan kecurangan terhadap pihak oposisi selama penyelenggaraan pemilu berlangsung (Schedler 2006, 2010; Morse 2012). Kondisi tersebut berdampak pada posisi partai penguasa dalam parlemen, yang cenderung aman —tanpa adanya per-saingan berarti dari partai oposisi— dalam periode yang sangat lama, sehingga terjadinya kekalahan partai penguasa dalam karakteristik pe-milu semacam ini sulit untuk terealisasikan.

Kamboja merupakan salah satu negara di Asia Tenggara (selain Ma-laysia dan Singapura) yang menerapkan sistem pemilu otoriter hingga saat ini (Case 2011, 48). Secara garis besar, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai kecurangan yang secara sistematis dilakukan oleh partai penguasa Kamboja, Cambodia People’s Party (CPP) (Kheang Un dan Sokbunthoeun So 2009; COMFREL 2013; Hughes dan Rodan 2014). Kondisi ini dimanfaatkan oleh CPP sebagai sebuah sarana untuk men-dominasi kursi parlemen Kamboja hingga pemilu tahun 2008.

Namun, peta kekuatan partai politik di Kamboja mengalami peru-bahan pada pemilu tahun 2013. Pada pemilu ini, perolehan kursi CPP mengalami penurunan signifikan dan hasil tersebut merupakan yang terburuk bagi CPP sejak penyelenggaraan pemilu tahun 1998 (COM-FREL 2013, 75). Penurunan tersebut utamanya dilatarbelakangi oleh kegagalan CPP dalam mendapatkan kursi terbanyak di empat wilayah urban Kamboja yaitu Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal. Padahal, pada penyelenggaraan pemilu sebelumnya, CPP tidak pernah mengalami kekalahan di keempat wilayah tersebut secara ber-samaan. Kekalahan tersebut memiliki dampak yang signifikan karena proporsi jumlah kursi di keempat provinsi tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan 20 provinsi lainnya di Kamboja. Jika diakumu-lasi, kursi di empat provinsi tersebut berjumlah sebanyak 52 kursi atau 42% dari jumlah kursi parlemen Kamboja secara keseluruhan (Graham

(4)

2013). Dengan demikian, hasil perolehan kursi partai di empat provinsi ini memiliki peranan besar dalam menentukan partai pemenang di tingkat nasional.

Fenomena ini tentunya menimbulkan sebuah pertanyaan besar: mengapa CPP dapat mengalami kekalahan di empat wilayah (urban) yang memiliki proporsi jumlah kursi terbesar, meskipun sistem pemilu otoriter di Kamboja masih diterapkan pada pemilu tahun 2013. Sistem pemilu otoriter di Kamboja tersebut sudah secara sistematis memberi-kan jalan bagi partai penguasa untuk menang dalam pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1998.

Penelitian sebelumnya terkait pemilu tahun 2013 di Kamboja hanya terfokus untuk menjelaskan penyebab penurunan jumlah kursi par-lemen CPP dalam skala nasional (Hughes 2013; Kheang Un 2015). Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk menyempurnakan pe-nelitian sebelumnya dengan menawarkan jawaban atas pertanyaan ter-sebut. Dengan menggunakan pendekatan instutionalisme, artikel ini berargumen bahwa kekalahan CPP di empat wilayah urban Kamboja disebabkan oleh beberapa kondisi dan peristiwa yang terjadi sebelum dan ketika pemilu tahun 2013 berlangsung, sehingga sistem pemilu otoriter yang sebelumnya digunakan, tidak lagi dapat berfungsi sebagai instrumen kemenangan CPP di empat wilayah urban Kamboja.22

Untuk menjelaskan hal tersebut, tulisan ini akan membandingkan kasus yang terjadi di Kamboja dengan kasus kekalahan partai penguasa Meksiko, Institusional Revolution Party (PRI), pada pemilu tahun 2000. Terdapat dua kondisi penting yang terjadi di kedua negara tersebut, yang berdampak pada peristiwa kekalahan partai pemerintah dalam sistem pemilu otoriter. Kondisi pertama adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh partai penguasa, yang menyebabkan permasalahan da-lam masyarakat. Hal tersebut berdampak pada menurunnya tingkat ke-percayaan masyarakat terhadap kinerja partai penguasa. Kondisi kedua adalah menguatnya partai oposisi, baik dilihat dari struktur maupun

2 Pendekatan institusionalisme digunakan dalam artikel ini karena lebih menitikberatkan pada peran yang dimiliki institusi negara. Artikel ini tidak menggunakan pendekatan tingkah laku karena dalam kasus Kamboja, masyarakat tidak dapat memiliki pengaruh banyak karena adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh militer.

(5)

dukungan yang diperoleh menjelang diselenggarakannya pemilu. Ke-dua kondisi yang terjadi di Meksiko ini akan dijadikan sebagai dasar tulisan ini melihat fenomena kekalahan partai penguasa di Kamboja, mengingat persamaan karakteristik yang dimiliki oleh kedua negara tersebut.33

Selain kedua kondisi tersebut, tulisan ini juga melihat sebuah kon-disi penting yang terjadi di Kamboja, yang tidak dapat dijelaskan dalam fenomena di Meksiko. Kondisi ini berkaitan dengan peran yang dimiliki oleh pengawas pemilu internasional dalam menurunkan praktik inti-midasi politik yang dilakukan oleh militer. Dalam kondisi ini, penga-was pemilu internasional di wilayah urban Kamboja memiliki fungsi deterrence, untuk mencegah partai penguasa melakukan intimidasi dan manipulasi dalam pemilu. Dengan ini, penyelenggaraan pemilu di wilayah urban Kamboja berjalan lebih bebas dan adil, sehingga ma-syarakat urban dapat memilih partai alternatif tanpa adanya tekanan besar dari partai penguasa.

Untuk menjelaskan ketiga argumen tersebut, tulisan ini mendiskusi-kannya dengan membahas terlebih dahulu kerangka teoritis-konseptual yang digunakan untuk melihat fenomena kekalahan CPP yang terjadi. Pada bagian ini, akan terlebih dahulu dijelaskan konsep sistem pemilu otoriter di Kamboja dan bagaimana sistem ini dapat membantu par-tai penguasa mendominasi perolehan kursi di parlemen. Kemudian, pembahasan akan dilanjutkan untuk membahas teori Dominant Party Authoritarian Regimes dan konsep pengawas pemilu internasional, yang digunakan sebagai landasan tulisan ini dalam menjelaskan ketiga argu-men utama yang telah dibangun, terkait kondisi-kondisi yang memiliki signifikansi terhadap kekalahan suatu partai penguasa dalam ruang lingkup otoriter.

3 Persamaan karakteristik antara Kamboja dan Meksiko akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian kerangka teoritis-konseptual.

(6)

K ER A NGK A T EOR ITIS -KONSEP TUA L

Pembahasan ini terlebih dahulu menjabarkan konsep sistem pemilu oto-riter dan kaitannya dengan dominasi partai penguasa dalam parlemen. Hal ini menjadi penting untuk dibahas karena akan digunakan sebagai landasan tulisan ini dalam melihat fenomena kekalahan CPP. Levitsky dan Way (2010) merupakan salah satu peneliti yang mengembangkan konsep sistem pemilu otoriter, melalui konsep Competitive

Authori-tarianism atau otoriter kompetitif. Konsep ini merupakan bagian atau turunan dari konsep electoral authoritarian. Konsep ini didefinisikan sebagai “sebuah rezim sipil yang memiliki institusi demokratis resmi dan secara luas dipandang sebagai sarana utama untuk mendapatkan kekuasaan, namun rezim ini melegalkan partai penguasa untuk me-nyalahgunakan kekuasaannya sehingga mereka berada di posisi yang lebih untung dibandingkan dengan pihak oposisi” (Levitsky dan Way 2010, 5).

Lebih lanjut, Levitsky dan Way menjelaskan hubungan antara ka-rakteristik yang dimiliki rezim otoriter kompetitif dan dominasi partai penguasa. Terdapat tiga karakteristik utama yang dimiliki oleh rezim otoriter kompetitif. Pertama, karakteristik penyelenggaraan pemilu yang membuat partai penguasa dapat menggunakan berbagai kekuatan ne-gara untuk memenangkan pemilu, seperti kekerasan atau intimidasi, media yang bias, dan juga kecurangan dalam pemilu. Namun dalam rezim ini, pemilu dapat secara rutin diselenggarakan, dan partai oposisi juga memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam pemilu. Kedua, karakteristik kebebasan sipil yaitu ketika kebebasan sipil dalam rezim ini diperbolehkan untuk dijalankan, meskipun kebebasan tersebut tidak diproteksi oleh negara, sehingga hal tersebut berujung pada terjadinya intimidasi dan kekerasan. Ketiga, karakteristik ‘area kompetisi yang tidak adil’ (uneven playing field), yang diklasifikasikan menjadi tiga aspek: (1) akses terhadap sumber daya, (2) akses terhadap media massa, dan (3) akses terhadap hukum (Levitsky dan Way 2010, 6-8). Ketiga karakteristik tersebut secara garis besar menggambarkan bahwa partai penguasa dalam negara otoriter kompetitif diberikan kekuasaan dan keuntungan yang tidak dimiliki oleh partai oposisi. Dengan demikian,

(7)

partai penguasa dalam rezim ini diberikan ‘jalan’ untuk memenangkan pemilu dan tentunya menguasai parlemen.

Greene (2007; 2010) mengembangkan konsep tersebut dengan me-nambahkan pandangan baru, bahwa partai dominan (penguasa) bisa mengalami kekalahan, meskipun masih dalam rezim otoriter kompe-titif. Greene memformulasikan teori Dominant Party

Authoritari-an Regimesberdasarkan bukti empiris, bagaimana partai penguasa memanfaatkan sumber daya melimpah negara (resource asymmetries) untuk mendominasi parlemen dan mengapa partai penguasa kehi-langan dominasi di Meksiko. Greene berargumen bahwa kekalahan partai penguasa dalam rezim otoriter disebabkan oleh beberapa kondi-si dan peristiwa penting yang terjadi. Pertama, kebijakan pemerintah yang buruk, sehingga berpengaruh buruk terhadap ekonomi negara dan kesejahteraan masyarakat. Pada tahapan berikutnya, kebijakan ini berpengaruh terhadap pilihan masyarakat dalam pemilu, yang menca-ri alternatif partai penguasa. Kasus di Meksiko membuktikan bahwa kesalahan pengambilan kebijakan oleh pemerintah dapat memenga-ruhi status partai penguasa dalam parlemen (Greene 2010, 823-827). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap masyarakat, khususnya dalam bidang eko-nomi, memiliki signifikansi terhadap posisi partai penguasa sebagai pemegang kuasa parlemen, yang sebelumnya relatif aman karena ke-beradaan rezim otoriter yang sedang berjalan.

Kedua, menguatnya partai oposisi, baik dilihat dari struktur mau-pun dukungan yang diperoleh. Pada kasus Meksiko, seiring melemah-nya kekuatan partai penguasa, partai oposisi semakin bertambah kuat karena memilih untuk melakukan koalisi atau melebur menjadi satu partai, sehingga dukungan yang didapat dari masyarakat tidak terpe-cah. Tidak hanya itu, partai oposisi juga perlu memanfaatkan kondisi ketidakpuasaan masyarakat akibat kebijakan pemerintah, sebagai cara untuk memobilisasi masyarakat pemilih menuju partai oposisi. Greene menyatakan masyarakat akan tetap memilih partai penguasa meskipun kebijakan yang dihasilkan pemerintah tidak pro-rakyat, jika partai oposi-si tidak cukup kuat, bersatu dan berkoordinaoposi-si, serta memanfaatkan isu

(8)

tersebut untuk ‘mengkudeta’ partai penguasa (Greene 2007, 5-10). Dari sini, dapat dilihat bahwa dua kondisi ini harus terjadi agar dominasi partai penguasa dapat diruntuhkan. Jika yang terjadi hanya dampak bu-ruk dari kebijakan pemerintah, masyarakat dalam lingkup otoriter akan tetap memilih partai (penguasa) yang sama, dilihat dari kasus Meksiko tahun 1994 dan Taiwan tahun 1996. Sebaliknya, jika yang terjadi hanya penguatan dari sisi partai oposisi tanpa adanya masalah negara yang terjadi, maka partai penguasa akan tetap berkuasa mengingat masya-rakat tidak alasan kuat untuk memilih partai alternatif.

Terdapat dua argumen yang dapat mendukung implementasi teori ini dalam kasus Kamboja yang diangkat. Argumen pertama, teori ini sejalan dengan pendekatan institusionalisme yang digunakan dalam tu-lisan ini, mengingat pendekatan tersebut memiliki fokus untuk melihat pengaruh yang dimiliki aktor atau institusi negara. Di sisi lain, tidak dipilihnya pendekatan tingkah laku sebagai pilihan, karena pengaruh yang dimiliki oleh masyarakat dalam rezim otoriter cenderung kurang signifikan, karena adanya tekanan dan intimidasi yang dilakukan oleh militer (dari partai penguasa). Argumen kedua, (studi kasus) teori ini memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan kasus negara yang diangkat dalam tulisan ini, Kamboja. Persamaan ini dapat dilihat dari beberapa aspek: partai yang sudah berkuasa dalam jangka waktu lama; sistem pemilu otoriter yang diterapkan; partai penguasa yang me-manfaatkan sumber daya negara untuk mempertahankan kekuasaan; dan partai oposisi kuat yang berhasil mengalahkan partai penguasa. Meskipun demikian, terdapat perbedaan dalam aspek cakupan wilayah karena teori ini berada dalam skala nasional, sedangkan kasus Kamboja yang diangkat hanya fokus pada wilayah (urban) tertentu. Selain itu, teori ini juga tidak melihat adanya pengawasan dari lembaga-lembaga internasional dan hubungannya dengan kemenangan partai oposisi, sesuai dengan kasus yang terjadi di Kamboja.

Untuk menyempurnakan teori dari Greene tersebut, tulisan ini juga menggunakan konsep pengawas pemilu internasional, khususnya peran yang dimiliki dalam negara otoriter. Pengawas pemilu internasional memiliki pengaruh penting dalam penyelenggaraan pemilu yang

(9)

di-intervensinya, khususnya pada negara transisi dan otoriter. Kelompok ini dapat memberikan dampak positif terhadap penyelenggaraan pemi-lu, khususnya dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat serta menimilasir terjadinya kecurangan dan manipulasi (Carothers 1997; Kelley 2008, 2010).

Jika pengawas pemilu internasional sudah terstruktur dengan baik, kelompok ini dapat memiliki fungsi deterrence untuk mencegah sebu-ah partai —terutama partai penguasa— melakukan kecurangan, baik dalam bentuk intimidasi maupun manipulasi. Fungsi ini dapat dilak-sanakan jika kelompok ini telah melakukan pengawasan dalam waktu yang panjang terkait proses pra-pemilu (masa kampanye), audit registrasi pemilih, pemantauan media, pengamatan pada masa pemungutan sua-ra, serta pengawasan pada saat perhitungan suara (Hyde 2008, 201-213). Dengan fungsi ini, dampak positif tidak hanya terlihat dari berkurang-nya kecurangan yang dilakukan, namun juga dari terbentukberkurang-nya iklim pemilu yang lebih aman bagi masyarakat pemilih. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap pilihan masyarakat, yang dapat dengan bebas menentukan pilihan mereka tanpa terpengaruh oleh tekanan pihak tertentu. Jika logika ini dihubungkan dengan teori sebelumnya, maka masyarakat akan cenderung memilih partai oposisi dalam pemilu, mengingat partai penguasa sudah tidak memiliki daya tawar terhadap masyarakat, baik dilihat dari produk kebijakan maupun tekanan militer. Meskipun logika ini tidak berjalan secara instan (langsung merubah pilihan masyarakat), setidaknya secara bertahap masyarakat akan mulai beralih kepada partai oposisi, sehingga sedikit demi sedikit partai oposi-si mulai mengganti pooposi-sioposi-si dan peran partai penguasa dalam parlemen. Artikel ini akan menggunakan kerangka teoritis-konseptual serta logika berpikir ini dalam menjelaskan dominasi dan runtuhnya dominasi CPP di empat wilayah urban dalam rezim otoriter.

METODE PENELITI A N

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Creswell (2003, 17), penelitian kualitatif merupakan sebuah proses penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami dan

(10)

meng-eksplorasi permasalahan/fenomena yang berasal dari manusia maupun sosial. Artikel ini akan menjawab pertanyaan eksplanatif untuk menje-laskan sebuah ‘mengapa’ dalam upaya menjemenje-laskan penyebab sebuah faktor mempengaruhi faktor lain dalam kasus yang diangkat (Neumann 2014, 39). Dengan demikian, artikel ini dapat memberikan penjelasan terkait kekalahan CPP di empat wilayah urban Kamboja pada pemilu tahun 2013 dalam rezim otoriter.

Terdapat dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam ar-tikel ini. Pertama, teknik pengumpulan data primer melalui metode wawancara mendalam (indepth interview). Dalam memilih informan, penulis menggunakan teknik purposif, di mana informan dipilih ber-dasarkan sifat dan tujuan penelitian (Cairney dan Denny 2015, 117-125) Teknik ini akan digunakan kepada lima kategori narasumber, yaitu: anggota partai CPP, anggota partai CNRP, pengamat politik Kamboja, pengawas pemilu (COMFREL), dan masyarakat urban. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menggunakan jenis pertanyaan ter-buka dan wawancara semi terstruktur, sehingga penulis mendapatkan informasi yang lebih mendalam. Kedua, teknik mengumpulkan data sekunder melalui studi literatur, yang dapat membantu menguatkan argumen yang dibangun dalam tulisan ini.

R EZIM OTOR IT ER KOMPETITIF DA N DOMINASI CPP PA DA PER IODE 1998 -2008

Rezim otoriter di Kamboja terbagi menjadi dua bentuk dalam dua masa berbeda: rezim otoriter penuh sebelum pemilu tahun 1993 (McCargo 2005) dan rezim otoriter kompetitif setelah pemilu tahun 1993 (Crois-sant 2016, 8-10). Rezim otoriter kompetitif memberikan ruang kompetisi bagi para partai kompetitor dalam pemilu —tidak seperti pada rezim otoriter penuh. Namun, rezim ini tetap dimanfaatkan oleh partai pe-nguasa Kamboja, CPP, untuk tetap mepe-nguasai kursi pemerintahan — seperti saat rezim otoriter penuh (Donno 2013, 711). Dengan kata lain, unsur demokratis yang coba dibawa oleh rezim baru ini tidak memiliki signifikansi besar terhadap posisi partai penguasa dalam parlemen,

(11)

ka-rena mereka tetap berkuasa dengan menggunakan sumber daya negara yang dimiliki tanpa adanya tekanan berarti dari partai oposisi.

Hubungan antara rezim otoriter kompetitif dan dominasi partai pe-nguasa di parlemen dapat dijelaskan dari karakteristik yang dimiliki rezim ini (Levitsky dan Way 2010) di Kamboja. Karakteristik pertama, penyelenggaraan pemilu di Kamboja memperbolehkan partai pengu-asa untuk memanfaatkan sumber daya negara —yang seharusnya di-gunakan untuk kepentingan masyarakat— untuk tujuan partai dalam merebut kursi parlemen di pemilu, dalam bentuk: politik uang, intimi-dasi militer, maupun kecurangan administrasi pemilu (Kheang Un dan Sokbunthoeun So 2009; COMFREL 2013; Hughes dan Rodan 2014; Morgenbesser 2016, 1-38). Tidak ada upaya pelarangan dan pencegahan yang berarti dari komite pemilu Kamboja (NEC) karena kontrol penuh yang dimiliki oleh CPP, meskipun regulasi menyatakan pelarangan terhadap penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan priba-di (partai) (COMFREL 2013, 42-45). Dengan karakteristik ini, partai oposisi Kamboja —yang sudah diberikan ruang untuk berkompetisi— akan tetap sulit bersaing dengan CPP, karena tidak memiliki akses dan kontrol sumber daya melimpah layaknya partai penguasa.

Karakteristik berikutnya, Kamboja memberikan ruang kebebasan sipil yang semu. Di satu sisi, Kamboja memperbolehkan masyarakat-nya untuk mendapatkan kebebasan sipil, dilihat dari beberapa hukum internasional dan domestik yang mengatur tentang kebebasan bereks-presi dan berpendapat di Kamboja, khususnya dalam pasal 31 dan 41 Konstitusi Kamboja (Oldag 2015, 55).44 Di sisi lain, kebebasan ini tidak

diberi jaminan keamanan oleh pemerintah Kamboja, yang cenderung menghalangi dan membatasi kebebasan tersebut dengan menggunakan upaya intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh militer, karena alasan keamanan negara (CCHR 2010, 4-13). Karakteristik kebebas-an semu ini dapat tergambarkkebebas-an dengkebebas-an data Freedom House, ykebebas-ang

4 Secara keseluruhan terdapat sepuluh peraturan tentang kebebasan sipil masyarakat Kamboja. Secara garis besar, Pasal 31 berisi tentang pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia sesuai dengan instrumen HAM internasional kepada seluruh masyarakat Khmer. Sedangkan Pasal 41 berisi tentang kebebasan mengemukakan pendapat pribadi, kebebasan pers, publik, dan beroganisasi bagi masyarakat Khmer.

(12)

memberi nilai 5/7 (buruk/tidak bebas) bagi kebebasan sipil Kamboja, sebagai akibat banyaknya tindakan represif dari militer terhadap kebe-basan yang dimiliki oleh masyarakat (Freedom House 2013). Dengan demikian, masyarakat Kamboja memiliki rasa tekanan besar dari partai penguasa, yang dalam banyak kesempatan menggunakan militer untuk mengintimidasi masyarakat, khususnya dalam urusan pemilu. Tekanan ini tidak bisa dihindarkan oleh masyarakat karena aparat keamanan yang dimiliki oleh negara sepenuhnya dikontrol oleh partai penguasa.

Karakteristik terakhir berkaitan dengan ‘lapangan tidak adil’ di Kam-boja, yang sepenuhnya dikontrol oleh CPP — terdiri dari: 1) akses dan kontrol sumber daya negara yang dimiliki oleh partai penguasa tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh partai oposisi, seperti keuangan dan infrastruktur negara, yang dalam banyak kesempatan disalahguna-kan untuk kepentingan partai (COMFREL 2013, 27-30; 2), akses dan kontrol media massa yang dimiliki oleh partai penguasa yang membuat partai oposisi tidak memiliki hak yang sama dengan mereka karena sistem monopoli yang dicanangkan. Jika dibandingkan, partai oposisi secara keseluruhan hanya memiliki 3 dari 67 stasiun radio yang tersedia di Kamboja. Partai oposisi juga tidak memiliki akses terhadap stasiun televisi Kamboja, yang sepenuhnya dimonopoli oleh partai penguasa (COMFREL 2013, 32), sehingga membuat Kamboja sebagai negara dengan tingkat kebebasan pers terburuk (143 dari 176 negara) di dunia (Reporters Without Borders 2013, 10; dan 3). Selain itu, masyarakat maupun oposisi tidak memiliki akses terhadap hukum yang bebas dan netral. Independensi hukum di Kamboja sendiri sudah diatur dalam konstitusi negara tersebut pada pasal 109. Kontrol dan relasi yang di-miliki oleh partai penguasa dan Komisi Yudisial Kamboja membuat pihak yang berkaitan dengan partai penguasa cenderung kebal hukum (CCHR 2010, 11)55sehingga membuat Kamboja sebagai salah satu

nega-ra dengan kondisi hukum terburuk di Asia Tengganega-ra (nilai 3/16 sangat

5 Penelitian AHRC menyimpulkan bahwa hampir semua hakim dan jaksa yang berada di Kamboja memiliki hubungan dengan CPP. Tidak hanya itu, beberapa dari aktor tersebut juga diberikan posisi penting di dalam CPP. Kondisi tersebut tentunya merugikan pihak oposisi maupun masyarakat yang berupaya mendapatkan keadilan di komisi yudisial

(13)

buruk), akibat banyak kasus penangkapan yang menimpa pihak oposisi dan aktivis/jurnalis (Freedom House 2013).

Ketiga karakteristik rezim otoriter kompetitif ini secara garis besar menjelaskan hubungan antara rezim otoriter kompetitif dan dominasi partai penguasa. Karakteristik ini memberikan ‘jalan’ bagi partai pe-nguasa untuk memenangkan dan mempertahankan dominasi dalam parlemen. Dalam logika ini, rezim ini hanya memberikan jalan kepada partai penguasa, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan konkret, dalam bentuk strategi partai, untuk memanfaatkan jalan tersebut dan menca-pai tujuan partai.

Strategi ini berkaitan dengan pemanfaatan karakteristik rezim oto-riter yang ada. Strategi pertama, berkaitan dengan pemanfaatan sum-ber daya negara untuk dimanfaatkan sebagai vote buying atau politik uang. Strategi ini terbagi menjadi dua bentuk. Bentuk pertama, Sa-boraschon, yaitu bentuk ‘pemberian sedekah’ secara sukarela kepada masyarakat yang bersandarkan pada ajaran agama Buddha, sehingga masyarakat dituntut untuk memilih CPP dalam pemilu sebagai ben-tuk pertanggungjawaban mereka atas bantuan yang didapat dari partai penguasa (Hughes 2006, 470-471). Bentuk kedua, Khsae, yaitu bentuk pemberian bantuan perlindungan bagi masyarakat Kamboja melalui hubungan patron-klien yang bersifat timbal balik, sehingga masyarakat yang membutuhkan keamanan dan perlindungan cenderung memilih CPP dalam penyelenggaraan pemilu (Hughes 2006, 479). Dilihat dari jumlahnya, praktik pembelian suara yang dilakukan oleh CPP terli-hat pada pemilu tahun 2003. CPP mengeluarkan dana sebesar US$ 170.000 untuk membangun 58 sekolah, 5 jembatan, 43 km jalan, 400 ton beras, 130 ton semen, serta 320 barang elektronik yang digunakan untuk meyakinkan masyarakat agar memilih CPP dalam pemilu tahun 2003. Jumlah tersebut tidak mengalami perubahan pada pemilu tahun 2008, ketika COMFREL menemukan sebanyak 61 kasus pembelian suara di seluruh provinsi di Kamboja selama penyelenggaraan pemilu berlangsung, khususnya dalam bentuk uang maupun pembangunan infrastruktur (COMFREL 2008, 103).

(14)

Strategi berikutnya berkaitan dengan pemanfaatan militer negara untuk melakukan intimidasi terhadap masyarakat, pihak oposisi, mau-pun penyelenggara pemilu (NEC). Intimidasi ini dalam banyak kesem-patan dilakukan dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya pada masa pencoblosan dan perhitungan suara. Strategi ini utamanya bertujuan sebagai alat perlindungan partai —jika terjadi demonstrasi— dan mem-beri tekanan dan memaksa masyarakat agar memilih CPP dalam pe-milu. Intimidasi politik dari militer dilakukan secara masif oleh partai penguasa ketika pada tahun 2003 ditemukan 291 kasus dan 2008 dite-mukan 187 kasus di seluruh wilayah Kamboja (COMFREL 2013, 60). Strategi selanjutnya adalah penyalahgunaan sumber daya negara yang dilakukan oleh partai penguasa. Kontrol penuh, lemahnya kredibi-litas institusi politik, serta kuatnya budaya korupsi di Kamboja membuat sumber daya negara tidak dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyara-kat. Sumber daya ini dijadikan sebagai salah satu lumbung pemasukan utama partai, untuk melanggengkan kekuasaan dalam pemerintahan (Kheang Un dan Sokbunthoeun So 2009, 123-138). Terdapat tiga sum-ber daya alam yang dimanfaatkan secara sum-berlebihan untuk kepenting-an partai penguasa. Pertama, sumber daya tkepenting-anah, ykepenting-ang dieksploitasi melalui kebijakan Economic Land Concessions (ELC). Kebijakan ini berdampak positif terhadap kenaikan pendapatan negara Kamboja seba-nyak US$80 juta pada periode 2012-2015 (FIDH 2015). Namun kebijak-an ini juga berdampak buruk terhadap masyarakat. Sejak diberlakukkebijak-an pada tahun 2000, kebijakan ini telah mengambil secara paksa sebanyak 1.934.896 hektar tanah yang dimiliki oleh kurang lebih 830.000 orang untuk digunakan sebagai lahan ELC, sehingga mayoritas dari mereka kehilangan tempat tinggal maupun lahan pencaharian (Chea Vannak 2015). Kedua, sumber daya tanah, yang eksploitasi melalui hubungan patron-klien dengan pengusaha, yang bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan yang masif dari hasil kebijakan ekspor kayu skala besar di Kamboja, baik yang bersifat legal maupun ilegal (Global Witness Report 2007, 19-22). Eksploitasi berlebihan ini berdampak pada kondisi hutan di Kamboja, yang telah kehilangan sebanyak 59.422 km2 (14,9%)

(15)

Ke-tiga, sumber daya minyak, yang diprediksi akan menjadi sumber daya negara terbesar Kamboja. Data International Monetary Fund (IMF) me-nunjukkan bahwa pemasukan minyak Kamboja dalam satu blok dapat mengalami peningkatan dari US$ 174 juta pada tahun 2011 menjadi US$ 1,7 milyar pada tahun 2021. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat sebanyak US$ 2 milyar jika pemerintah dan perusahaan berkaitan berhasil mengoptimalkan dengan baik enam blok minyak lainnya (Kheang Un dan Sokbunthoeun So 2009, 130). Selain sumber daya alam, CPP juga memanfaatkan secara ilegal infrastruktur yang dimiliki oleh negara. Infrastruktur yang seharusnya digunakan oleh pemerintah untuk kepentingan negara dan masyarakat, justru dalam kasus ini digunakan sebagai keperluan kampanye pemilu. Jumlah pe-nyalahgunaan infrakstruktur negara oleh CPP mengalami peningkatan pada pemilu tahun 2008, khususnya dalam bentuk penggunaan ratusan pegawai negeri sipil, bangunan serta transportasi negara. Jumlah ter-sebut kembali mengalami peningkatan lima tahun berselang (COM-FREL 2013, 10).

Strategi terakhir berkaitan dengan kecurangan administrasi pemilu yang dilakukan oleh partai pemerintah, lewat perantara NEC. Kendali penuh yang dimiliki oleh CPP terhadap NEC membuat mereka me-lakukan kecurangan administratif dalam pemilu. Kecurangan admi-nistrasi ini memiliki beberapa bentuk, seperti tidak terdaftarnya nama pemilih tetap dan nama pemilih yang tercantum ganda dalam daftar yang dikeluarkan oleh NEC. Jumlah kecurangan administratif yang dilakukan oleh CPP mengalami peningkatan dalam jangka waktu satu periode pemilu. Pada pemilu tahun 2003 jumlah nama pemilih Kam-boja yang tidak terdaftar dan terdaftar ganda berjumlah 400.000 dan 250.000, sedangkan pada pemilu tahun 2008 jumlah tersebut menjadi 1.250.000 dan 300.000 (COMFREL 2013, 49).

Keempat strategi ini memiliki dampak signifikan terhadap keber-hasilan CPP dalam mengalahkan para kompetitornya dan mengua-sai parlemen Kamboja pada periode 1998-2008. Perolehan kursi CPP mengalami peningkatan secara bertahap sejak berhasil memenangkan pemilu perdana dalam rezim otoriter kompetitif. Puncaknya ketika CPP

(16)

berhasil meraih 90 kursi parlemen dan meraih predikat absolute majo-rity: perolehan kursi CPP sudah memenuhi kuota 2/3 kursi parlemen Kamboja yang diperlukan (82/123 kursi) untuk membentuk sebuah pemerintahan sendiri, sehingga tidak diperlukan pembentukan koalisi dengan partai lain (Southirnak 2012, 233). (Lihat Grafik 1).

Grafik 1 Perolehan Kursi Partai-Partai di Kamboja pada Pemilu Tahun 1993-2008

Sumber: COMFREL, 2008, “2008 National Assembly Election”, Report, hlm. 64.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara rezim otoriter dan dominasi partai penguasa, seperti yang disampai konsep Levitsky dan Way, dalam kasus Kamboja. Ketiga karakteristik rezim oto-riter kompetitif di Kamboja, yang terdiri dari: penyelenggaraan pemilu yang memperbolehkan partai penguasa menggunakan sumber daya negara; kebebasan sipil yang bersifat semu; serta lapangan (infrastruktur negara, media, dan hukum) yang tidak adil — berhasil menyediakan jalan bagi partai penguasa untuk mendominasi parlemen. Namun, un-tuk menggunakan jalan tersebut, partai penguasa menggunakan empat strategi dalam memanfaatkan karakteristik rezim otoriter kompetitif: strategi politik uang; strategi intimidasi politik; penyalahgunaan sum-ber daya negara; dan strategi kecurangan administrasi pemilu. Bukti empiris dari hubungan ini adalah keberhasilan CPP dalam menguasai parlemen Kamboja periode 1998-2008 dan kegagalan partai oposisi dalam membendung dominasi tersebut.

(17)

FENOMENA K EK A L A H A N CPP DI EMPAT W IL AYA H UR BA N K A MBOJA PA DA PEMILU TA HUN 2013

Pemilu tahun 2013 di Kamboja menyajikan hasil yang tidak dipre-diksi oleh banyak pihak, khususnya CPP. Dominasi perolehan kursi parlemen CPP sejak pemilu tahun 1998 tidak terulang kembali pada pemilu ini. Pada pemilu ini, CPP memiliki kesempatan besar untuk mempertahankan dominasinya karena satu-satunya lawan terberat yang dihadapi adalah Cambodia National Rescue Party (CNRP), yang no-tabenenya merupakan partai baru.66Posisi CPP semakin diuntungkan

karena Ketua CNRP saat itu, Sam Rainsy, tidak diperbolehkan masuk ke wilayah Kamboja akibat kasus pemalsuan peta Kamboja-Vietnam yang menjeratnya sejak tahun 2010 (BBC 2010). Namun, atas perintah Raja Norodhom Shihamoni (Royal Pardon), Sam Rainsy diperboleh-kan untuk kembali ke wilayah Kamboja sembilan hari menjelang dise-lenggarakannya pemilu tahun 2013 (Chan Tul 2013). Kondisi tersebut membuat persiapan CNRP dalam pemilu tahun 2013 menjadi semakin prematur.

Tabel 1 Perbandingan Jumlah Suara dan Kursi Partai di Kamboja pada Pemilu Tahun 2008 dan 2013

Partai 2008 Partai 2013

Suara % Kursi Suara % Kursi

CPP 3.492.374 58,11 90 CPP 3.235.969 48,83 68 SRP 1.316.714 21,91 26 CNRP 2.946.176 44,46 55 HRP 397.816 6,62 3 FUN 242.413 3,66 0 NRP 337,943 5,62 2 LDP 68.389 1,03 0 FUN 303.764 5,05 2 KAPP 42.222 0,65 0 LDP 68.909 1,15 0 CNP 38.123 0,58 0 KDP 32.386 0,54 0 RDP 33.715 0,5 0 HDDMP 25.065 0,42 0 KEDP 19.152 0,29 0 SJP 14.112 0,23 0 KRP 11.693 0,19 0 KAPP 9.501 0,16 0 Total 100 123 Total 100 123

Sumber: COMFREL, 2013, “National Assembly Election, Final Assessment and Report”, Report, hlm. 75.

6 CNRP merupakan partai gabungan dari SRP dan NRP yang baru terbentuk pada tanggal 17 Juli 2012.

(18)

Pada pemilu ini, perolehan kursi CPP berjumlah sebanyak 68 kursi yang berarti mengalami penurunan sebanyak 22 kursi jika dibanding-kan dengan pemilu sebelumnya. Di sisi lain, dengan persiapan singkat dan permasalahan dalam pemilu perdana, CNRP berhasil meraih 55 kursi (Lihat Tabel 1). Jumlah kursi tersebut jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan perolehan kursi seluruh partai oposisi pada pe-milu tahun 2008 —SRP, HRP, NRP, dan FUNCINPEC— yang hanya mencapai sebanyak 33 kursi (COMFREL 2013, 77-78). Meskipun tetap memenangkan pemilu tahun 2013, penurunan jumlah kursi tersebut mengharuskan CPP berkerja sama dengan partai oposisi, CNRP, dalam menjalankan roda pemerintahan Kamboja (Wawancara dengan Meas Nee pengamat politik Kamboja, 2016).

Tabel 2 Perbandingan Perolehan Kursi CPP dan CNRP Tahun 2008 dan 2013 di Empat Wilayah Urban Kamboja

Provinsi Jumlah Kursi 2008 2013CPP +/- 2008 CNRP2013

+/-Kampong Cham 18 11 8 -3 6 10 +4

Phnom Penh 12 7 5 -2 5 7 +2

Prey Veng 11 7 5 -2 3 6 +3

Kandal 11 7 5 -2 4 6 +2

Total 52 32 23 -9 18 29 +11

Sumber: (1) COMFREL, 2013, “National Assembly Election, Final Assessment and Report”, Report, hlm. 116.

Penurunan jumlah kursi CPP ini menyajikan sebuah fenomena me-narik yang menjadi fokus tulisan ini: kekalahan CPP atas partai oposi-si dalam rezim otoriter kompetitif, di empat wilayah urban Kamboja, Kampong Cham, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal, yang memiliki proporsi jumlah kursi terbesar dibandingkan dengan 20 provinsi lain-nya. Padahal, perolehan kursi CPP di wilayah rural cenderung stabil dan tetap dimenangkan oleh mereka. Penurunan kursi terbesar di wi-layah urban terjadi di provinsi Kampong Cham di mana CPP kehi-langan sebanyak tiga kursi. Sementara itu, untuk tiga provinsi lainnya, Phnom Penh, Prey Veng, dan Kandal, CPP kehilangan sebanyak ma-sing-masing dua kursi (Lihat Tabel 2). Kekalahan ini menjadi signifikan karena jika CPP dapat mempertahankan perolehan kursi mereka di wilayah urban —dan tidak kehilangan sebanyak 5 kursi wilayah rural—

(19)

CPP akan tetap menjadi penguasa tunggal dalam parlemen Kamboja periode 2013-2018.

Kekalahan CPP di wilayah urban ini bisa saja terjadi dalam skala nasional. Data dari pihak CNRP menyebutkan bahwa mereka seharus-nya unggul atas CPP pada pemilu tahun 2013 dengan perolehan suara sebanyak 66%. Namun, kemenangan tersebut tidak terealisasi karena adanya intervensi dan manipulasi suara skala besar yang dilakukan oleh NEC, militer, dan CPP. Tindakan ini mengundang protes besar dari para pendukung CNRP (Wawancara dengan Yong Kim Eng Direktur COMFREL, 2016). Salah satu protes terbesar terjadi di provinsi Phnom Penh, yang merupakan salah satu wilayah kemenangan CNRP. Protes juga datang dari pihak CNRP yang menolak hasil pemilu dari NEC. Protes ini direalisasikan dalam bentuk pemboikotan terhadap parlemen Kamboja, sehingga fungsi parlemen di Kamboja pada saat itu tidak berjalan seperti semestinya. Pemboikotan ini berakhir tiga tahun berse-lang, setelah kedua belah pihak memutuskan untuk berdamai (Phnom Penh Post, 2016).

KONDISI-KONDISI YA NG MEL ATA R BEL A K A NGI K EK A L A H A N CPP DI EMPAT W IL AYA H UR BA N K A MBOJA DA L A M R EZIM OTOR IT ER KOMPETITIF

Pembahasan ini berupaya menawarkan jawaban eksplanatif terhadap permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini: kekalahan CPP di em-pat wilayah urban Kamboja dalam rezim otoriter kompetitif. Landasan teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah teori

Dominant Party Authoritarian Regimes, yang secara garis besar menya-takan bahwa partai penguasa dapat mengalami kekalahan dari partai oposisi, meskipun berada dalam rezim otoriter, karena terjadi kondisi dan peristiwa penting yang berkaitan dengan kebijakan yang merugi-kan masyarakat (khususnya dalam bidang ekonomi) dan menguatnya partai oposisi.

(20)

K EBIJA K A N PEMER INTA H A N HUN SEN DA N DA MPA K BURUK T ER H A DA P M ASYA R A K AT K A MBOJA

Tulisan ini mengidentifikasi bahwa kondisi pertama yang melatarbela-kangi permasalahan ini adalah permasalahan yang ditimbulkan akibat kebijakan pemerintahan Hun Sen, khususnya pada periode 2008-2013. Kebijakan di sini tidak terbatas pada ruang lingkup ekonomi saja seperti yang dijelaskan dalam teori, namun juga aspek lainnya seperti korupsi dan HAM seperti diutarakan oleh seorang pengamat politik Kamboja berikut ini.

Banyak permasalahan yang terjadi di Kamboja. Namun permasalah-an tersebut bertambah parah pada periode terakhir kepemimpinpermasalah-an Hun Sen (2008-2013). Terdapat tiga permasalahan besar yang mun-cul saat itu: korupsi, pelanggaran HAM, dan kebijakan ekonomi yang merugikan kesejahteraan masyarakat. Ketiga permasalahan tersebut pada akhirnya membuat banyak masyarakat berpaling ke partai oposisi pada pemilu 2013 (Wawancara dengan Meas Nee Pengamat Politik Kamboja, 2016).

Permasalahan baru yang ditemukan pertama adalah tingginya tingkat korupsi akibat tidak ada kebijakan dan tindakan yang tegas dalam me-nyelesaikan permasalahan ini. Kondisi korupsi di Kamboja semakin bertambah buruk menjelang dilaksanakannya pemilu tahun 2013. Data dari Transparency International (TI) menunjukkan bahwa kondisi ko-rupsi di Kamboja yang dikategorikan sebagai salah satu yang terburuk di dunia (peringkat 160/175) dengan nilai 20/100 (sangat buruk) (Trans-parency International 2013, 5). Data tersebut didukung oleh kajian yang dilakukan oleh Elizabeth Johnson (2014, 17), yang menyatakan bahwa korupsi di Kamboja telah merambat hingga lima ranah penting negara, yaitu sumber daya alam negara, pengadilan, keuangan publik, pemilu, dan media. Kondisi tersebut dapat terjadi mengingat kuatnya kontrol dan pengaruh yang dimiliki oleh pemerintah terhadap ranah tersebut, sehingga pemerintah dapat dengan mudah mengeksploitasi dan me-nyalahgunakan kelima ranah tersebut.

(21)

Kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi tidak memiliki signifikansi berarti. Sebagai contoh, pemerintah membentuk dua lem-baga anti-korupsi Kamboja, yang bernama Anti-Corruption Unit (ACU) dan National Council Against Corruption (NCAC). Lembaga-lembaga tersebut berdiri pada tahun 2010 lewat pengesahan undang-undang korupsi. Namun, fungsi ACU dan NCAC sebagai lembaga anti--korupsi terhambat oleh intervensi yang dilakukan oleh CPP. Ditemu-kan sebuah fakta bahwa mayoritas dari anggota senior ACU, termasuk ketuanya, merupakan anggota CPP. Hal yang sama juga terjadi dengan NCAC mengingat mayoritas anggota mereka dipilih oleh kementerian--kementerian yang secara tidak langsung memiliki afiliasi dengan CPP (Johnson 2014, 17). Kondisi tersebut menjadikan langkah pemerintah untuk membentuk ACU dan NCAC menjadi tidak signifikan dalam memberantas korupsi di Kamboja.

Permasalahan berikutnya adalah tingginya tingkat pelanggaran HAM akibat lemahnya regulasi pemerintah. Data dari LICADHO (se-buah lembaga non-profit yang memperjuangkan dan mempromosikan hak-hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya) menyebutkan bah-wa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 2013 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 804 kasus pada tahun 2012, menjadi 972 kasus pada tahun 2013. Dari 972 tersebut, LICAD-HO hanya dapat mengintervensi dan mengidentifikasi 485 kasus yang ada. Dari jumlah tersebut, pelanggaran HAM terbanyak yang ditemu-kan oleh LICADHO merupaditemu-kan pelanggaran yang bermotivasi poli-tik. Pelanggaran ini mengalami peningkatan drastis jika dibandingkan dengan tahun 2012 ketika pada tahun itu hanya ditemukan sebanyak 22 kasus, sedangkan pada tahun 2013 pelanggaran tersebut bertambah banyak menjadi 140 kasus. Pada umumnya, pelanggaran yang ditemu-kan ini berbentuk intimidasi yang dilakuditemu-kan oleh militer dan polisi, terhadap masyarakat Kamboja, menjelang penyelenggaraan pemilu tahun 2013 (LICADHO 2014, 14-15). Selain pelanggaran itu, terdapat beberapa bentuk pelanggaran HAM yang ditemukan, seperti kasus hu-man trafficking (labour dan sexual trafficking), kasus perampasan tanah, kasus aktivis HAM, dan kasus kebebasan pers. Dari total 485 kasus yang

(22)

diidentifikasi, hanya 145 kasus (30%) di antaranya yang dapat diselesai-kan melalui pengadilan tinggi Kamboja, meskipun tidak banyak dari kasus tersebut dapat terselesaikan dengan baik dan netral (LICADHO 2014, 17). Data ini menunjukkan rendahnya komitmen yang dimi-liki oleh pemerintah Kamboja dalam meningkatkan keamanan serta menyelesaikan di Kamboja. Meskipun secara keseluruhan Kamboja memiliki 10 regulasi yang mengatur tentang HAM di Kamboja, hal ini tidak memberikan dampak positif akibat intervensi yang dilakukan CPP terhadap lembaga hukum Kamboja serta militer yang digunakan sebagai alat intimidasi politik, sehingga tidak ada bukti nyata bahwa HAM benar-benar ditegakkan di masyarakat Kamboja.

Permasalahan terakhir yang terjadi adalah kebijakan ekonomi yang merugikan kesejahteraan masyarakat Kamboja. Dampak kebijakan ini dapat dilihat dari krisis ekonomi yang melanda Kamboja pada tahun 2009. Untuk menjaga perekonomian negara tetap stabil, Hun Sen melakukan eksploitasi terhadap industri garmen di Kamboja dengan menginstruksikan penurunan upah pekerja garmen menjadi hanya US$ 80 per bulan. Pekerja garmen juga diharuskan untuk berkerja lembur (overtime), sehingga diprediksi kondisi perekonomian Kamboja dapat kembali normal dalam jangka waktu satu tahun (Hughes 2013, 12-13). Hasilnya, GDP Kamboja pada tahun 2010 kembali normal di angka 6%, meskipun berada di titik 0,1% pada tahun sebelumnya. Namun, kondisi tersebut berbanding terbalik jika berkaca pada keadaan yang dialami oleh pekerja garmen pasca krisis (Natsuda 2009, 4-6). Selain upah pekerja yang tidak dikembalikan seperti sedia kala (US$ 140-150), terdapat sebanyak 60.000 pekerja garmen yang kehilangan pekerjaannya akibat terjadinya krisis (Lozach 2009). Kondisi buruk tersebut memicu adanya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh pekerja garmen kepada pemerintah. Puncak dari demonstrasi ini terjadi pada tahun 2013 di provinsi Phnom Penh di mana 600 pekerja garmen di pabrik SL melakukan demonstrasi dan mogok kerja. Pada demonstrasi terda-pat laporan adanya satu korban jiwa, sembilan mengalami luka parah, serta 30 orang lainnya ditahan oleh pihak berwajib (Wawancara dengan Rithy masyarakat urban/aktivis buruh, 2016; ILO 2013, 1-14).

(23)

Kebijakan ekonomi Hun Sen lainnya yang merugikan masyarakat adalah Economic Land Concession (ELC), yang secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai perampasan tanah (land grabbing). Kebijakan ini memang terbukti meningkatkan perekonomian Kamboja (Chheang 2015). Namun kebijakan ini juga berdampak buruk terhadap kesejah-teraan masyarakat. Jika diakumulasi, sudah terdapat 1.934.896 hektar tanah yang diambil paksa oleh pemerintah dari kurang lebih 830.000 orang sejak diberlakukannya ELC. Jumlah kasus ini masih relatif tinggi menjelang diselenggarakannya pemilu tahun 2013. Data dari

Cambodian Human Rights and Development Association (ADHOC) menunjukkan bahwa terdapat 135 kasus pengambilan tanah yang ber-jumlah sebanyak 36.864 hektar yang merugikan 6.488 keluarga sehing-ga membuat mereka kehilansehing-gan tempat tingsehing-gal dan mata pencaharian (ADHOC 2014, 25).

Ketiga permasalahan ini berdampak pada pandangan dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya mereka yang berada di wilayah urban. Masyarakat urban cenderung lebih mengeta-hui informasi yang ‘benar’ terkait permasalahan di Kamboja dibanding-kan masyarakat rural. Informasi ini hanya dapat diperoleh dari media internet karena media televisi dan radio di Kamboja dalam banyak kesempatan digunakan sebagai alat propaganda partai penguasa (Wa-wancara dengan Meas Nee Pengamat Politik Kamboja, 2016).77Dengan

logika ini, masyarakat rural tidak banyak mengetahui permasalahan di Kamboja, seperti korupsi, HAM, dan kebijakan ekonomi, karena mayoritas akses internet di Kamboja hanya dimiliki di wilayah urban (65%), yang merupakan media netral tanpa adanya intervensi dari partai penguasa (BBC 2014, 21).

7 Menurut Meas Nee, perbedaan kesadaran politik antara masyarakat urban dan rural di Kam-boja dilatarbelakangi oleh informasi yang didapat dari media. Masyarakat di wilayah rural hanya mengandalkan informasi dari televisi dan radio, yang banyak dipengaruhi oleh propa-ganda pemerintah. Sementara itu, masyarakat urban tidak hanya menpropa-gandalkan informasi yang diperoleh dari televisi dan radio, karena memiliki sumber informasi dari media internet yang lebih netral dibandingkan dengan media lainnya. Kondisi tersebut berdampak pada tingginya kesadaran politik masyarakat urban, yang mengetahui banyaknya permasalahan pemerintahan Hun Sen dari informasi di media internet. Dengan hal tersebut, masyarakat urban sepakat untuk menginginkan perubahan, dan menolak penerimaan politik uang dari CPP.

(24)

Grafik 2 Permasalahan Terbesar di Kamboja Menurut Pandangan Masyarakat (%)

Sumber: Silas Everett, Democracy in Cambodia 2014: A Survey of the Cambodian Electorate, (Phnom Penh: The Asia Foundation Research, 2014), hlm. 18.

Ketidakpuasaan ini dapat terlihat dari tingkat kepercayaan yang dimi-liki masyarakat terhadap pemerintah Kamboja mengalami penurunan dalam jangka waktu 11 tahun. Jika pada tahun 2003, 81% masyarakat Kamboja yakin bahwa pemerintah Kamboja dapat membawa mereka ke arah yang lebih baik, pada tahun 2014 59% masyarakat Kamboja menilai pemerintah telah gagal membawa Kamboja ke jalan yang be-nar, mengingat banyaknya permasalahan yang terjadi, seperti korupsi (20%), deforestasi sebagai akibat ELC (15%), human trafficking (14%), kondisi ekonomi dan kemiskinan (12%), serta represi dan kurangnya kebebasan (9%) (Everett 2014, 18). (Lihat Grafik 2)

MENGUAT N YA PA RTA I OPOSISI DA N K EBER H ASIL A N ISU DA N STR AT EGI K A MPA N Y E YA NG DIGUNA K A N

Kondisi kedua yang diidentifikasi adalah menguatnya partai oposisi Kamboja. Kekuatan ini dapat dilihat dari keputusan partai oposisi Kam-boja untuk melebur menjadi satu dan tidak bergabung dengan koalisi partai penguasa. Peleburan ini terjadi antara dua partai oposisi besar di Kamboja, Sam Rainsy Party (SRP) dan Human Rights Party (HRP) pada tahun 2012, menjadi sebuah partai baru bernama CNRP. Dalam peleburan ini disepakati bahwa pemimpin SRP, Sam Rainsy, menjadi ketua CNRP baru, sedangkan pemimpin HRP, Kem Sokha, menjadi

(25)

wakil ketua CNRP (Canvasopedia 2015, 6). Dalam logika sederhana, keputusan ini tentunya menguntungkan bagi mereka, karena peng-gabungan partai berarti pengpeng-gabungan jumlah kursi parlemen. Jika diakumulasi, kedua partai ini mengumpulkan sebanyak pada pemilu tahun 2008 —lebih banyak jika kedua partai ini berdiri tunggal. Kondi-si ini membuat dukungan partai opoKondi-siKondi-si lebih kuat dan tidak terpecah. Namun, logika ini tidak berjalan tanpa adanya upaya partai oposisi untuk memobilisasi dukungan masyarakat —seperti yang diungkapkan Greene. Upaya ini utamanya dapat dilihat dari pengambilan isu partai oposisi yang memanfaatkan buruknya kondisi di Kamboja pada masa kepemimpinan Hun Sen dan CPP. Isu kampanye CNRP pada pemilu tahun 2013 utamanya berkaitan dengan penyelesaian permasalahan Kamboja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Kamboja. Isu ini dinilai sangat efektif dalam meraih simpati masyarakat pemilih, khususnya mereka yang menginginkan adanya perubahan di Kamboja (Kheang Un 2015, 103-116). Dengan menggunakan slogan “change”, CNRP berjanji akan memperbaiki permasalahan yang timbul akibat kepemimpinan Hun Sen, seperti kasus korupsi, imigran ilegal, land grabbing, serta pelanggaran HAM (Nilsson 2016, 68-95). CNRP juga berjanji untuk mencukupi beberapa kebutuhan mendasar masyarakat Kamboja, seperti memberi uang pensiun kepada warga yang berumur di atas 65 tahun sebesar US$ 10, meningkatkan upah minimum pekerja menjadi US$ 150, meningkatkan upah minimum pegawai negeri sipil menjadi US$ 250, menurunkan harga hasil pertanian menjadi US$ 0,25 per kg, memberikan fasilitas kesehatan gratis kepada masyarakat miskin, membangun akses pendidikan yang adil, serta menurunkan harga gas, pupuk, dan listrik (Women’s Media Centre of Cambodia 2013, 11-12).

Ketepatan pengambilan isu ini dibarengi dengan strategi kampanye yang digunakan oleh CNRP. Secara garis besar, terdapat dua strategi yang digunakan oleh CNRP dalam menghadapi pemilu tahun 2013 (Wawancara dengan Pich Sovann anggota partai CNRP, 2016). Strategi pertama berkaitan dengan penentuan media internet sebagai media kampanye utama pemilu. Penggunaan media ini bertujuan untuk men-jaring pemilih di wilayah urban, khususnya kalangan muda, yang

(26)

me-miliki banyak pengguna media internet dalam mendapatkan informasi (BBC 2014, 21-22). Media internet, khususnya berupa Facebook, juga merupakan satu-satunya media yang dapat digunakan secara efektif oleh partai oposisi karena tidak ada pembatasan dan pelarangan akses yang dilakukan oleh partai penguasa pada saat itu. Strategi kedua dapat dilihat dari keputusan CNRP yang hanya memfokuskan kampanye dan mobilisasi masyarakat di wilayah urban saja. CNRP tetap melakukan kampanye di beberapa wilayah rural —dan di sebagian wilayah rural perolehan partai oposisi mengalami peningkatan— namun mengingat besarnya kekuatan (militer dan hubungan patron-klien) dan dukung-an ydukung-ang dimiliki oleh CPP di wilayah rural, maka kampdukung-anye tersebut menjadi tidak efektif (Wawancara dengan Pich Sovann anggota partai CNRP, 2016). Terdapat dua dampak yang dihasilkan dari dua strategi CNRP ini. Dampak negatif yang dihasilkan adalah kegagalan CNRP mendapatkan kursi mayoritas di wilayah rural. Sedangkan dampak positif yang dihasilkan adalah keberhasilan mereka mendapat kursi terbanyak di wilayah urban dan merangkul masyarakatnya khususnya mereka yang berasal dari kalangan muda karena 55,2% dari mereka mengaku sebagai pendukung CNRP, sedangkan hanya 6,67% lainnya yang mendukung CPP —sehingga membuat CNRP berhasil meme-nangkan sebagian besar jumlah kursi di wilayah urban (Thun 2014).

Temuan baru yang dihasilkan penelitian ini adalah adanya penga-ruh yang dimiliki partai penguasa ketika mereka gagal menentukan isu dan strategi kampanye yang efektif dalam memobilisasi masyarakat urban. CPP tidak merubah isu kampanye yang diangkat pada pemilu tahun 2008, yaitu isu Khmer Rouge (Wawancara dengan Thol Dina anggota partai CPP, 2016). Isu ini dinilai terlalu tua untuk dijadikan sebagai isu utama kampanye, sehingga membuat mereka gagal men-dapatkan simpati dari sebagian besar masyarakat, khususnya generasi muda Kamboja yang berada di wilayah urban. CPP juga tidak meng-gunakan media alternatif dalam memobilisasi pemilih karena mere-ka terlalu fokus untuk menggunamere-kan media televisi dan radio yang semakin dinilai tidak netral dan penuh propaganda oleh masyarakat. Strategi CPP lainnya yang dinilai tidak efektif dalam wilayah urban

(27)

adalah strategi politik uang dalam memanfaatkan sumber daya negara Kamboja. Banyaknya permasalahan yang terjadi di Kamboja membuat masyarakat urban cenderung menolak uang dan pemberian bantuan dari CPP yang bersifat jangka pendek. Masyarakat urban cenderung lebih percaya pada CNRP yang berani memberikan janji untuk me-nyelesaikan permasalahan yang terjadi pada masa pemerintahan Hun Sen dan meningkatan kesejahteraan masyarakat Kamboja (Wawanca-ra dengan Rithy masya(Wawanca-rakat urban, 2016; Wawanca(Wawanca-ra dengan Meas Nee pengamat politik Kamboja, 2016). Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa menguatnya partai oposisi Kamboja, strategi kampanye partai oposisi dalam memanfaatkan buruknya kondisi di Kamboja, serta ke-gagalan strategi kampanye partai penguasa, memiliki pengaruh besar dalam fenomena kekalahan CPP di wilayah urban.

PER A N PENGAWAS PEMILU INT ER NASIONA L DA L A M MENURUNK A N PR A K TIK

INTIMIDASI POLITIK OLEH MILIT ER

Kondisi terakhir yang ditemukan adalah peran yang dimiliki oleh pengawas internasional dalam menurunkan praktik intimidasi politik yang dilakukan oleh militer di wilayah urban. Kondisi ini merupakan temuan baru yang tidak disinggung dalam teori Greene. Untuk me-nyempurnakan teori ini dalam implementasinya di Kamboja, tulisan ini juga melihat adanya peran yang dimiliki pengawas internasional dalam menjelaskan fenomena kekalahan CPP ini, sebagai tambahan dari dua kondisi sebelumnya yang telah dipaparkan.

Selama penyelenggaraan pemilu 2013 berlangsung, terdapat seba-nyak 292 pengawas internasional yang terdiri dari 35 organisasi/institu-si yang mengobservaorganisasi/institu-si dan mengawaorganisasi/institu-si jalannya pemilu (COMFREL 2013, 97-98). Jumlah tersebut cenderung meningkat jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Dalam mengawasi jalannya pemilu, peng-awas pemilu internasional berjaga di sebagian besar tempat pemilihan suara di wilayah urban, untuk mencatat, mengawasi, dan mencegah terjadinya kecurangan dari pada masa kampanye hingga penghitung-an suara. Kehadirpenghitung-an pengawas pemilu ini juga diikuti oleh beberapa

(28)

media internasional yang meliput jalannya penyelenggaraan pemilu di Kamboja, khususnya di wilayah urban (COMFREL 2013, 98-99).

Secara garis besar, kehadiran pengawas pemilu internasional di wi-layah urban Kamboja memberikan dampak positif. Keberhasilan fungsi

deterrence yang dimiliki oleh kelompok ini dapat dilihat dari keenganan CPP melakukan intimidasi dan kecurangan manipulasi skala besar di wilayah urban. CPP dan Hun Sen khawatir kecurangan yang dilakukan dapat memicu pihak internasional untuk mengintervensi secara lang-sung penyelenggaraan pemilu di Kamboja seperti pada tahun 1993, sehingga berpotensi membahayakan dominasi CPP di pemerintahan Kamboja. Kondisi ini membuat CPP hanya melakukan praktik inti-midasi dan kecurangan pemilu di wilayah rural, yang tidak memiliki pengawasan khusus dari pengawas dan media internasional (Wawan-cara dengan Yong Kim Eng Direktur COMFREL, 2016).

Secara empiris, keberhasilan fungsi deterrence dari pengawas pemilu internasional dapat dilihat dari penurunan jumlah intimidasi politik dan kecurangan di wilayah urban. Dampak positif ini dapat dilihat dari penurunan jumlah pembunuhan politik pada pemilu tahun 2013. Jika pada tahun 2008 pembunuhan politik di Kamboja berjumlah sebanyak 23 kasus, maka pada tahun 2013 pengawas pemilu tidak menemukan sama sekali kasus pembunuhan yang menyangkut permasalahan po-litik selama pemilu berlangsung. Dampak positif juga dapat dilihat dari penurunan jumlah kekerasan dan intimidasi politik yang terjadi selama masa kampanye hingga hari pencoblosan. Selain itu, kecurang-an mkecurang-anipulasi suara juga tidak terlalu signifikkecurang-an dilakukkecurang-an oleh CPP di wilayah tersebut mengingat kehadiran pengawas dan media inter-nasional (COMFREL 2013, 15-16). Dengan kondisi ini, COMFREL menilai bahwa pelaksanaan pemilu tahun 2013 —khususnya di wilayah urban— mengalami peningkatan kualitas jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, sehingga dapat dikategorikan menjadi pemilu yang ‘free and fair’, meskipun masih ditemukan praktik kecurangan dalam pemilu (Henderson 2013).

(29)

Grafik 3 Jumlah Kasus Pembunuhan Politik pada Pemilu Tahun 1993-2013

Sumber: COMFREL, 2013, “National Assembly Election, Final Assessment and Report”, Report, hlm. 15.

Dampak positif kehadiran pengawas internasional pada pemilu ta-hun 2013 juga dirasakan oleh masyarakat pemilih di wilayah urban (Wawancara dengan Dam Sophat dan Rithy masyarakat urban, 2016; Yong Kim Eng Direktur COMFREL, 2016; Meas Nee pengamat po-litik Kamboja, 2016). Penyelenggaraan pemilu tahun 2013, khususnya di wilayah urban, berlangsung dengan kondisi dan iklim yang lebih aman jika dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya (Wawancara dengan Dam Sophat dan Rithy masyarakat urban, 2016). Jika dibandingkan dengan wilayah rural, kondisi pemilu di wilayah ini jauh lebih aman dari intimidasi dan manipulasi suara (Wawancara dengan Yong Kim Eng Direktur COMFREL, 2016). Meskipun tidak dimungkiri bahwa masih terjadi praktik intimidasi politik oleh militer di wilayah urban dalam skala kecil, dan seakan tidak memiliki dampak berarti karena semangat perubahan yang dimiliki oleh masyarakat ur-ban sangat kuat pada momen pemilu tahun 2013 (Wawancara dengan Meas Nee pengamat politik Kamboja, 2016). Dengan demikian, kondisi ini membuat pengaruh intimidasi militer yang selama ini dilakukan oleh CPP tidak berjalan efektif di wilayah urban pada pemilu tahun 2013. Tekanan yang berkurang ini membuat masyarakat dapat memilih partai alternatif, CNRP, pada pemilu tahun 2013. Dengan logika ini, masyarakat urban cenderung memilih CNRP, karena berkurangnya tekanan (militer) otoriter di wilayah tersebut, sehingga CPP mengalami kekalahan di wilayah urban pada pemilu tahun 2013.

(30)

K ESIMPUL A N

Artikel ini menyimpulkan bahwa partai penguasa dalam sebuah negara yang menerapkan sistem pemilu otoriter dapat mengalami kekalahan dalam pemilu, jika terdapat kondisi-kondisi penting yang terjadi pada negara tersebut. Kasus kekalahan CPP di wilayah urban Kamboja pada pemilu tahun 2013 merupakan sebuah bukti nyata bahwa sistem pemilu otoriter tidak dapat menjamin sebuah partai penguasa akan tetap terus memenangkan setiap pemilu yang diselenggarakan.

Tulisan ini berargumen bahwa fenomena kekalahan CPP di wilayah urban dalam rezim otoriter kompetitif dapat dijelaskan dengan kondisi--kondisi yang ditawarkan dalam teori Greene. Pertama, permasalahan yang ditimbulkan kebijakan ekonomi pemerintahan Hun Sen, yang meliputi kebijakan terhadap pekerja garmen dan kebijakan perampasan tanah (ELC), membuat penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja partai penguasa di pemerintahan Kamboja. Kedua, menguatnya kekuatan oposisi, dalam bentuk penggabungan SRP dan HRP menjadi CNRP, serta keberhasilan isu dan strategi yang diguna-kan partai oposisi dalam memobilisasi pemilih, khususnya yang berada di wilayah urban.

Namun, artikel ini juga berhasil menemukan temuan baru dalam kasus Kamboja, yang tidak disinggung dalam teori Greene. Pertama, permasalahan yang terjadi di Kamboja tidak hanya berkaitan dengan kebijakan ekonomi, namun juga berkaitan kebijakan dan komitmen pemerintah dalam memberantas masalah korupsi dan HAM. Fakta-nya, permasalahan korupsi merupakan kasus yang menjadi perhatian terbesar masyarakat. Kedua, di samping menguatnya partai oposisi, per-lu juga diperhatikan dari sisi partai penguasa. Dalam kasus Kamboja, partai penguasa mengalami kegagalan dalam memobilisasi masyarakat urban Kamboja, karena kesalahan dan ketidakefektifan isu dan strategi kampanye yang digunakan pada pemilu tahun 2013.

Temuan baru terakhir yang didapat dari tulisan ini adalah kondisi yang berkaitan dengan peran penting yang dimiliki pengawas pemilu internasional dalam menurunkan kasus intimidasi politik di wilayah urban. Dalam kondisi ini, pengawas pemilu internasional berhasil

(31)

men-jalankan fungsi deterrence yang dimiliki, sehingga dapat mencegah dan meminimalisir praktik intimidasi maupun manipulasi yang dilakukan oleh CPP. Kelompok ini juga berperan dalam membentuk iklim pemilu yang lebih aman di wilayah urban, sehingga berdampak pada keadaan psikologis masyarakat urban yang tidak lagi mengalami tekanan besar dari CPP dan dapat dengan bebas memilih partai alternatif pada pe-milu tahun 2013.

DA F TA R PUSTA K A

ADHOC. 2014. Land Situation in Cambodia 2013. Phnom Penh: AD-HOC.

BBC. 2017. “Exiled Cambodian Opposition Leader Given Jail Term.” http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-11395570 (6 Februari 2017).

Biezen, Ingrid van. 2010. “Campaign and Party Finance.” dalam Com-paring Democracies: Elections and Voting in the 21st Century.

Law-rence LeDuc, et.al. London: Sage Publications.

Buttice, Matthew dan Walter Stone. 2012. “Candidates Matter: Policy and Quality Differences in Congressional Elections.” The Journal of Politics 74 (No. 3): 870-887.

Cairney, Paul dan Emily St. Denny. 2015.“What is Qualitative Research (Bloomsbury)”. International Journal of Social Research Methodology 18 (No. 1): 117-125.

Cambodian Center for Human Rights. 2010. Cambodia Gagged: De-mocracy at Risk?. Phnom Penh: CCHR.

Canvasopedia. 2015. “Analysis of the Situation in Cambodia.” Report. http://canvasopedia.org/wp-content/uploads/2015/12/cambodia-anal-ysis.pdf (6 Februari 2017).

Carothers, Thomas. 1997. “Observers Observed.” Journal of Democracy 8 (No. 3): 17-31.

Campbell, Rosie dan Philip Cowley. 2014. “What Voters want: Reacti-ons to Candidate Characteristics in a Survey Experiment.” Political Studies 62 (No. 4): 745-765.

(32)

Case, William. 2011. “Executive Accountability in Southeast Asia: The Role of Legislatures in New Democracies and Under Electoral Aut-horitarianism.” Policy Studies 57 (No. 1): 1-74.

Colum, Graham. 2016. “New Mandala: Cambodia’s Inverted Mandala.” http://www.newmandala.org/cambodias-inverted-mandala (6 Agustus 2016).

COMFREL. 2008. “2008 National Assembly Election.” aceproject.org/ ero-en/regions/asia/KH/Cambodia-Final...and-Report...2008.../file. (6 Februari 2017).

________. 2012. “Final Assessment and Report on 2012 Commu-ne Council Elections.” https://www.comfrel.org/eng/compoCommu-nents/ com_mypublications/files/620271Final_Report_Commune_Elec-tions_2012_Final_Final_06_11_2012.pdf. (6 Februari 2017). ________. 2013. “National Assembly Election, Final Assessment and

Report.” https://www.comfrel.org/eng/index.php?option=com_con- tent&view=article&id=738:2013-national-assembly-elections-final--assessment-and-report&catid=188:other. (6 Februari 2017).

Cresswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method Approaches. 2nd Edition. California: SAGE Pub-lication.

Croissant, Aurel. 2016. Electoral Politics in Cambodia: Historical Trajec-tories, Current Challenges, and Comparative Perspective. Germany: Konrad Adenauer Stiftung.

Day, Jonathan Paul. 2010. “The Strategy of Presidential Campaigns”. PhD (Doctor of Philosophy) thesis. University of Iowa.

Donno, Daniela. 2013. “Elections and Democratization in Authori-tarian Regimes.” American Journal of Political Science 57 (No. 3): 703-716.

Downie, Sue. 2000. “Cambodia’s 1998 Election: Understanding Why It Was Not a ‘Miracle on the Mekong.” Australian Journal of Inter-national Affairs 54 (No. 1): 43-61.

Evans, Gareth. 1994. “Peacekeeping in Cambodia: Lesson Learned.”

(33)

Everett, Silas. 2014. “Democracy in Cambodia 2014: A Survey of the Cambodian Electorate.” Phnom Penh: The Asia Foundation Research. Farell, David dan Paul Webb. 2003. “Political Parties as Campaign Or-ganizations.” Dalam Parties Without Partisan. Martin Wattenburg. Oxford: Oxford University Press.

FIDH. 2017. “Cambodia: 60.000 new victims of government land grab-bing policy since January 2014.” https://www.fidh.org/en/region/asia/ cambodia/cambodia-60-000-new-victims-of-government-land-grab-bing-policy-since (6 Februari 2017).

Fisher, Justin. 2015. “Party Finance: The Death of the National Cam-paign.” Britain Voters 1 (No.1): 133-153.

Freedom House. 2016. “Cambodia.” https://freedomhouse.org/report/ freedom-world/2016/cambodia (6 Februari 2017).

Gallup, Jeffrey. 2002. “Cambodia’s Electoral System: A Window of Op-portunity for Reform.” dalam Electoral Politics in Southeast and East Asia: Comparative Perspective. Aurel Croissant. Singapore: Friedrich Ebert Stiftung.

Greene, Kenneth. 2007. Why Dominant Parties Lose: Mexico’s Democrati-zation Comparative Perspective. Cambridge: Cambridge University Press.

____________________. 2007. “Creating Competition: Patronage Politics and

The PRI’s Demise.” https://kellogg.nd.edu/documents/1653. (6 Feb-ruari 2017).

____________________. 2010. “The Political Economy of Authoritarian

Single--Party Dominance.” Comparative Political Studies 43 (No. 7): 807-834. Henderson, Simon. 2015. International Election Observers Proclaim

Election ‘Free and Fair’.” https://www.cambodiadaily.com/elections/ international-election-observers-proclaim-election-free-fair-37395/ (6 Februari 2017).

Hidayat, Syahrul. 2016. “An Islamic Party in Urban Local Politics: The PKS Candidacy at the 2012 Jakarta Gubernatorial Election.” Jurnal Politik 2 (No.1): 5-40.

Hirano, Shigeo dan James Snyder. 2014. “Primary Elections and the Quality of Elected Officials.” https://scholar.harvard.edu/files/jsny-der/files/primaries_quality_postwar_qjps2.pdf (6 Februari 2017).

(34)

Horowitz, Jeremy. 2015. “The Ethnic Logic of Campaign Strategy in Diverse Societies: Theory and Evidence from Kenya.” Comparative Political Studies 49 (No. 3): 324-356.

Hughes, Caroline. 2006. “The Politics of Gifts: Tradition and Regi-mentation in Contemporary Cambodia.” Journal of Southeast Asian Studies37 (No. 3): 375-395.

_____________________. 2014. “Understanding the Elections in Cambodia

2013.” Journal of Area Based Global Studies 1 (No. 1): 1-20.

Human Rights Watch. 2013. “Cambodia 2013 Human Rights Reports.” https://www.state.gov/documents/organization/220395.pdf (6 Febru-ari 2017).

Huntington, Samuel. 1991. “Democracy’s Third Wave.” Journal of De-mocracy 2 (No. 2): 12-34.

Johnson, Elizabeth. 2014. Corruption and Cambodia’s Governance Sys-tem: The Need for Reform. Phnom Penh: Transparency International. Kelley, Judith. 2008. “Assessing the Complex Evolution of Norms: The

Rise of International Election Monitoring.” International Organiza-tion 62 (No. 1): 221-255.

_________________. 2010. “Election Observers and Their Biases.” Journal of

Democracy 21 (No. 3): 158-172.

Levitsky, Steven dan Lucan Way. 2010. Competitive Authoritarianism: Hybrid Regimes after the Cold War. New York: Cambridge University Press.

LICADHO. 2014. Human Rights 2013: The Year in Review. Phnom Penh: LICADHO.

_____________. 2014. “Year 2013 in Review: Cambodian Election.” http://

www.licadho-cambodia.org/articles/20140318/139/index.html (6 Feb-ruari 2017).

McKinley, Catherine dan Kate Noble. 2012. Country Case Study: Cambodia. London: BBC.

Morgenbesser, Lee dan Thomas Pepinsky. 2016. States, Neopatrimo-nialism, and Elections: Democratization in Southeast Asia. Griffith: Griffith University.

(35)

Natsuda, Kaoru, Kenta Goto, dan John Toburn. 2009. “Challenges to the Cambodian Garment Industry in the Global Garment Value Chain.” The European Journal of Development Research 22 (No.4): 469-493.

Neumann, Lawrence W. 2014. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 7th Edition. Essex: Pearson Education Limited.

Morse, Yonatan. 2012. “The Era of Electoral Authoritarianism.” World Politics 64 (No. 1): 161-198.

Norris, Pippa. 2004. “The Evolution of Election Campaign: Eroding Political Engagement?” https://sites.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acro-bat/Otago%20The%20Evolution%20of%20Election%20Campaigns. pdf. (6 Februari 2017).

Oldag, Andreas. 2015. Freedom of The Press and Media Regulation in Cambodia. Cambodia: Konrad Adenaur Stiftung.

Poutvaara, Panu dan Tuomas Takalo. 2003. “Candidate Quality.” htt- ps://pdfs.semanticscholar.org/a74a/6205af1959a28bf94c295f13dcd9f-3c31a68.pdf. (6 Februari 2017).

Reporters Without Borders. 2013. “World Press Freedom Index 2013.” https://rsf.org/en/news/2013-world-press-freedom-index-dashed--hopes-after-spring (6 Februari 2017).

Roberts, David. 1994. “The Cambodian Elections of 1993.” Electoral Studies 13 (No. 2): 157-162.

Rodan, Garry dan Caroline Hughes. 2014. The Politics of Accountabi-lity in Southeast Asia: The Dominance of Moral Ideologies. Oxford: Oxford University Press.

Schedler, Andreas. 2006. Electoral Authoritarianism: The Dynamics of Unfree Competition. USA:Lynne Rienner Publisher.

_______________________. 2010. Transitions from Electoral Authoritarianism.

Mexico City: CIDE.

Semetko, Holli. 2010. “Election Campaigns, Partisan Balance, and the News Media.” dalam Public Sentinel: News Media and Governance Reform. Pippa Norris. Washington D.C: CommGAP.

Gambar

Grafik 1 Perolehan Kursi Partai-Partai di Kamboja pada Pemilu Tahun 1993-2008
Tabel 1 Perbandingan Jumlah Suara dan Kursi Partai di  Kamboja pada Pemilu Tahun 2008 dan 2013
Tabel 2 Perbandingan Perolehan Kursi CPP dan CNRP Tahun  2008 dan 2013 di Empat Wilayah Urban Kamboja
Grafik 2 Permasalahan Terbesar di Kamboja Menurut Pandangan Masyarakat (%)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria yang serupa pada bangunan kolonial yang ada di koridor Jalan Pahlawan berupa unsur hirarki pada menara, memiliki keseimbangan yang simetris, terbentuk dari geometri persegi

Pegawai yang memiliki kecerdasan spiritual mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang

Konsentrasi CO di udara tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah kendaraan , namun ada beberapa faktor meteorologi yang berpengaruhi terhadap konsentrasi CO di

ga, walaupun disebut “makam tangga seribu”. Tentu tidak mudah bagi seseorang ke sana ka- lau belum terbiasa berjalan kaki jauh dan men- daki gunung. Sering pengunjung hanya mam-

1. Penghijauan kembali hutan bertujuan untuk melestarikan .... Pengambilan bahan alam akan membawa dampak yang buruk terhadap…. Kebakaran hutan dapat terjadi jika ada yang membuka

Kemudian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengaruh hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD yang berupa kemampuan akademik siswa dalam mencapai standar tujuan

Dengan demikian yang menjadi fokus penelitian yaitu: fokus pertama yaitu gaya kepemimpinan bupati di Kabupaten Bangkalan, meliputi: (a) Pengambilan keputusan, (b)

Kolam retensi merupakan kolam/waduk penampungan air hujan dalam jangka waktu tertentu, berfungsi untuk memotong puncak banjir yang terjadi dalam badan