14 1. Pendahuluan
Awalnya konsumen membeli barang hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari saja. Hal ini berkembang seiring dengan perkembangan jaman
membeli menjadi suatu kegemaran tersendiri. Perilaku membeli didasarkan pada kesenangan individu. Perilaku membeli yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup ini sering dikenal sebagai perilaku boros atau perilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002) adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya
keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional lagi. Konsumen biasanya membeli barang karena barang tersebut bermerek, itu semua disebabkan konsumen ingin menaikkan status dilingkungan sekitar. Tanpa melihat manfaat dari barang
yang dimilikinya. Sedangkan menurut Engel dan Miniard (1994), perilaku konsumtif dikaitkan dengan gaya hidup seseorang, tidak hanya dilihat dari sisi
materialnya saja. Jadi misalkan seseorang menghabiskan banyak waktu dan uang untuk hal – hal yang tidak berguna, maka orang tersebut dapat dimasukkan ke
dalam katergori berperilaku konsumtif. Menurut Mangkunegara (dalam Yustisisari, 2009) mengatakan bahwa bagi produsen usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial, hal ini dikarenakan pada usia remaja pola konsumsi terbentuk. Pada usia
remaja kebanyakan ingin penempilannya menarik dibandingkan dengan yang lain. Menurut Wiguna (2008) mengatakan bahwa mengatur arus uang
sebenarnya merupakan hal yang paling penting. Seseorang sulit dalam melakukan pengaturan keuangan dengan baik dan benar pada kehidupannya. Hal ini terjadi pada mahasiswa, mahasiswa merupakan masa peralihan antara remaja menjadi
15 nikmati. Mahasiswa lebih rela mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan
barang yang mampu menaikkan kedudukannya atau keberadaanya yang ingin diakui. Dengan adanya perilaku konsumtif ini sering kali mahasiswa membeli
barang yang sedang trend, mengikuti gaya berpakaian artis idolanya, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya perilaku konsumtif ini membawa dampak negatif, diantaranya: uang saku yang diberikan oleh orang tua selalu habis dengan cepat,
menyulitkan orang tua, budaya konsumtif ini akan terbiasa seumur hidup, perilaku konsumtif akan membuat remaja berpikiran bahwa kesenangan dan kebahagiaan
hanya diperoleh melalui materi saja. Menurut Kholilah (dalam Suyasa dan Fransisca, 2005) secara psikologis perilaku konsumtif menyebabkan seseorang mengalami kecemasan dan rasa tidak aman. Kecemasan seseorang dapat terjadi jika
seseorang menginginkan barang tapi tidak didukung oleh finansial dia, sehingga timbul rasa cemas karena keinginannya tidak terpenuhi.
Faktor demografi dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan uangnya, seperti diantaranya jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, usia, dan lain
sebagainya. Demografi adalah ilmu yang mempelajari struktur, proses, dan kualitas sumber daya manusia (Mantra, 2003). Lewat demografi dapat melihat seseorang berperilaku boros atau tidak. Selain faktor demografi juga terdapat faktor
kepercayaan yaitu money attitude. Faktor ini juga mempengaruhi seseorang dalam perilaku konsumtif, karena uang yang setiap manusia miliki tidak hanya dilihat
untuk berbelanja saja namun penilaian tersendiri terhadap uang yang mereka miliki.
Money attitude mengcover seseorang dalam kehidupannya (Al-Amoodi, 2006). Pandangan seseorang terhadap uang merupakan kekuatan dan kesuksesan bagi
16 Pada penelitian sebelumnya memang sudah ada yang membahas tentang
perilaku konsumtif, namun penelitian tersebut kebanyakan tentang perilaku konsumtif yang dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit maupun kartu ATM.
Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Soewanoto dan Supramono (2008) tentang personality traits terhadap penyalahgunaan kartu kredit pada pegawai di perguruan tinggi swasta. Serta penelitian tentang gaya hidup dan personality traits
yang dikaitkan dengan pengelolaan uang saku dalam penelitian (Angela, 2009). Pada penelitian kali ini akan dilihat perilaku konsumtif dalam penggunaan uang
saku dan menambahkan faktor demografi dan money attitude. Bedasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, masalah yang akan diteliti adalah:
a. Apakah terdapat perbedaan perilaku konsumtif bedasarkan faktor
demografi mahasiswa FEB UKSW?
b. Apakah terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan money
attitude mahasiswa FEB UKSW? Manfaat dalam penelitian kali ini, yaitu:
17 2. Telaah Pustaka
Perilaku konsumtif menurut Sumartono (2002) adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya
keinginan yang sudah mencapai taraf tidak rasional lagi. Menurut Dahlan (dalam Sumartono, 2002) mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah suatu perilaku yang ditandai adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal
yang dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar – besarnya serta adannya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh
suatu keinginan untuk memenuhi kesenangan semata. Sementara Tambunan (2001), perilaku konsumtif biasanya menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang atau jasa
yang bukan merupakan kebutuhan pokok.
Perilaku konsumtif merupakan perilaku yang memanfaatkan nilai uang
lebih besar tanpa pertimbangan yang rasional untuk mendapatkan barang yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta adanya anggapan hal bahwa barang yang
dianggap paling mahal memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik. Sebenarnya pola konsumsi seseorang mulai terbentuk dari masa remaja, masa remaja adalah masa ketika seseorang itu ingin dirinya diakui oleh sekelilingnya. Menurut
Mangkunegara (dalam Yustisisari, 2009), bagi produsen usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial, hal ini dikarenakan pada usia remaja pola konsumsi
terbentuk. Tidak hanya itu remaja juga sering terbujuk oleh iklan, ikut – ikutan
trend, cenderung lebih boros.
Hal ini sering dimanfaatkan oleh produsen untuk menjual barangnya.
18 yang sedang trend atau mengikuti gaya artis idolanya. Sekarang ini mahasiswa
lebih banyak memperhatikan merek barang yang dia akan beli dibandingkan dengan kegunaan dari barang tersebut. Menurut Sumartono (2002) dalam membeli
barang konsumen (mahasiswa) sering memperhatikan hal – hal, seperti membeli produk karena ada hadiah, kemasan menarik, menjaga penampilan dan gengsi, adanya penilaian bahwa harga barang yang tinggi akan menimbulkan rasa percaya
diri yang tinggi pula, mencoba menggunakan dua produk yang berbeda, dan membeli produk hanya sekedar simbol status saja.
Demografi merupakan studi ilmiah tentang kependudukan yang berkaitan dengan jumlah atau ukuran penduduk, struktur, serta perkembangan penduduk (
United Nations Multilingual Demograhic ). Demografi adalah ilmu yang mempelajari struktur, proses, dan kualitas sumber daya manusia (Mantra, 2003). Sedangkan menurut Robb dan Sharpe (2009), demografi adalah suatu studi yang
mempelajari karakteristik, sikap, dan perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, status pendidikan, dan pendapatan. Hal yang
sama dikemukakan oleh Swastha dan Handoko (1987) yang dikutip oleh Andrawina (2011) faktor demografi yang mempengaruhi keputusan konsumen adalah usia, pekerjaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan tingkat
penghasilan.
Demografi adalah suatu ilmu yang mempelajari karakteristik, sikap,
19 a. Jenis Kelamin
Menurut Robb dan Sharpe (2009) (dalam Setyawan, 2011) jenis kelamin adalah suatu konsep karakteristik yang membedakan seseorang antara laki – laki dan
perempuan. Dalam hal berperilaku konsumtif, biasanya perempuan lebih konsumtif dibandingkan laki – laki. Hal ini terlihat perempuan lebih banyak membelanjakan uangnya daripada laki – laki untuk keperluan penampilan seperti
pakaian, kosmetik, aksesoris, dan sepatu (Rosandi, 2004). Dalam perilaku membeli, laki – laki lebih mudah terpengaruh, sering tertipu karena tidak sabar
dalam memilih, dan kurang menikmati kegiatan berbelanja. Sedangkan perempuan, lebih tertarik pada warna dan bentuk tanpa melihat kegunaannya, tidak mudah terpengaruh bujukan penjual, dan senang dalam melakukan
kegiatan berbelanja walaupun hanya window shopping (melihat – lihat saja tanpa membeli) (Tambunan, 2001).
b. Pendapatan
Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang
dalam suatu periode. Hal ini menitik beratkan pada total kuantitatif pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode (standart akuntansi keuangan no 23). Semakin banyak uang yang dimiliki oleh seseorang semakain sering juga
seseorang ingin membelanjakan segala sesuatu yang dilihatnya, hal ini dikarenakan oleh sifat konsumtif yang dimiliki oleh setiap individu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Sumaryono (2008) banyaknya uang akan mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang. Menurut Zoero (2006) dalam penelitian Angela (2009) mengatakan uang saku dianggap tidak penting,
20 harian, cenderung jumlah uang terlihat sedikit dan mahasiswa justru lebih
konsumtif dalam penggunaan uang saku tersebut. c. Usia
Menurut McKay, Atkinson, dan Crame (2008) yang dikutip oleh Wiharjo (2012) menjelaskan bahwa orang tua lebih cenderung melakukan tindakan menabung dan menggambarkan dirinya bukan sebagai pembeli impulsif. Sedangkan pada
usia remaja, mereka ingin keberadaannya diakui oleh lingkungan tempat dia bersosialisasi serta usia remaja merupakan sasaran utama bagi produsen untuk
menawarkan berbagai macam produknya (Wagner, 2009). Usia mempengaruhi pandangan terhadap uang dan berujung pada keputusan keuangan.
Money attitude setiap orang berbeda – beda, dapat dilihat dari cara pandang orang terhadap uang yang dimiliki. Perubahan cara pendang orang tergantung dari kebudayaan orang tersebut. Money attitude ini mengcover semua
kehidupan seseorang (Al-Amoodi, 2006). Dengan adanya uang seseorang dibuat untuk merasa tenang untuk menjalani setiap kegiatan yang ada. Yamauchi dan
Templer (1982) yang mengemukakan tentang Money Attitude Scale (MAS) menemukan dimensi dalam money attitude, yaitu:
a. Power prestige
Power prestige ini merupakan dimensi yang pertama dari money attitude. Pada penelitian Yamauchi dan Templer (1982), menunjukan bahwa orang yang
memiliki skor paling tinggi menganggap uang sebagai simbol kesuksesan. Dalam dimensi ini uang dianggap sebagai alat kekuasaan, yang nantinya uang tersebut akan digunakan untuk membeli seperti mobil, motor, pakaian, dan lain –
21 menjadi faktor daya tarik seseorang. Sementara menurut Csikszentmihalyi &
Rochberg-Halton (1981) yang dikutip oleh Al – Amoodi (2006) uang merupakan simbol dan status bagi orang yang memilikinya dan akhirnya keberadaan orang
tersebut lebih dinilai lingkungannya. b. Retention – time
Retention – time merupakan dimensi kedua dari money attitude. Retention – time
mengacu pada perilaku membelanjakan uang perlu perencanaan sebelumnya (Yamauchi dann Templer, 1982). Retention time merupakan perencanaan dalam
penggunaan uang seseorang dan dalam membeli barang harus terencana sebelumnya (Wong, 2010). Menurut Setyawan (2011) retention – time
merupakan salah satu sikap psikologis seseorang yang mengacu pada perilaku
dimana seseorang tidak ingin menghabiskan uangnya. Dalam menggunakan uang seseorang akan berhati – hati dan uang harus direncanakan terlebih dahulu
sehingga uang yang dipakai nantinya memberikan manfaat. c. Distrust
Dimensi yang ketiga adalah distrust. Menurut Yamauchi dan Templer, ciri – ciri dari dimensi money attitude yang satu ini adalah adanya sikap ragu – ragu dan curiga. Distrust disebut dengan “price sensitivity”(Yamauchi dan Templer,
1982), karena seorang konsumen sangat sensitif terhadap harga dari suatu barang yang akan dibelinya. Hal ini biasanya menyebabkan perilaku konsumtif.
22 d. Anxiety
Anxiety dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi konsumen dalam berbelanja (Yamauchi dan Templer, 1982). Sehingga anxiety memiliki 2
karakteristik, yaitu uang dapat menimbulkan kecemasan dan dapat memberikan perlindungan. Namun anxiety yang tinggi dapat menimbulkan kecemasan kemudian nantinya akan berujung pada perilaku konsumtif (Edward, 1933;
Valence et al, 1988 dalam Al-Amoodi, 2006). Hal ini senada dengan Roberts dan Jones (2001) perilaku konsumtif merupakan suatu tindakan untuk
mengurangi kecemasan seseorang terhadap uang. Kebanyakan orang menganggap uang adalah sumber kecemasan. Dan menurut Wong, dalam
anxiety uang menjadi pemicu stress sehingga orang terdorong dalam melakukan pembelian.
e. Quality
Suatu kualitas bagi seorang konsumen sangatlah penting, tidak peduli seberapa mahal barang yang akan dibelinya (Yamauchi dan Templer, 1982 dalam
Setyawan, 2011). Kebanyakan orang ingin agar barang yang berkualitas dapat mendukung penampilannya. Dalam kenyataanya seseorang dalam membeli barang akan mempertimbangkan kualitas barang yang akan dibelinya itu, tidak
penting mengenai harga mahal barang tersebut. 2.1 Perumusan Hipotesis
Faktor demografi yang mempengaruhi perilaku konsumtif menurut Robb dan Sharpe (2009) (dalam Setyawan, 2011), yaitu:
Jenis kelamin menurut Robb dan Sharpe ( 2009) yang dikutip oleh
23 (2009) yang dikutip oleh Setyawan (2011) mahasiswa perempuan dibandingkan
laki – laki lebih memungkinkan dalam memiliki kartu kredit, serta mahasiswa perempuan memiliki pengetahuan yang rendah tentang keuangan. Dalam hal
berperilaku konsumtif jenis kelamin sangat berpengaruh, karena jika diperhatikan antara perempuan dengan laki – laki, perempuan lebih senang membelanjakan uang yang ia miliki hanya untuk mengikuti fashion yang sedang
trend. Seorang perempuan tidak ingin dirinya terlihat ketinggalan jaman karena pakaiannya yang tidak sesuai dengan mode. Kebanyakan laki – laki tidak
menyukai berbelanja seperti yang dilakukan oleh perempuan (Tambunan, 2001).
H1: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan jenis kelamin
mahasiswa.
Besarnya uang saku yang dimiliki mahasiswa dapat mempengaruhi perilaku konsumtif mereka. Hal ini dapat dilihat dari semakin tinggi uang saku,
semakin tinggi juga tingkat konsumsinya. Dalam Zoerow (2006) yang dikutip oleh Angela (2006) mengatakan bahwa uang saku dianggap tidak terlalu penting, apalagi bagi mahasiswa yang mendapatkan uang saku harian. Dalam pola
pemberian uang saku harian mahasiswa akan menganggap jumlah uang saku tersebut sedikit dan cenderung akan cepat dalam penggunaannya. Tidak hanya
pada uang saku harian, kebanyakan mahasiswa dalam penggunaan uang saku sering habis dan meminta uang saku tambahan dengan berbagai macam alasan.
H2: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasa rkan uang saku
24 Menurut McKay, Atkinson, dan Crame (2008) yang dikutip oleh Wiharjo
(2012) menjelaskan bahwa orang tua lebih cenderung melakukan tindakan menabung dan menggambarkan dirinya bukan sebagai pembeli impulsif. Usia
mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan keuangan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wiharjo (2012), usia memiliki pengaruh terhadap penggunaan kredit. Hal ini terlihat pada usia >50 tahun mereka lebih senang
untuk menabung dibandingkan dengan melakukan pembelanjaan ataupun kredit. Sedangkan pada usia remaja akan cenderung membeli barang yang tidak
dibutuhkan atau tidak bermanfaat hanya untuk menaikan status sosial di lingkungan dia berada (Wagner, 2009).
H3: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan usia
mahasiswa.
Money attitude dilihat dari money attitude scale menurut Yamauchi dan Templer (1982) dalam (Al-Amodi, 2006), yaitu:
Power – prestige menjelaskan bahwa uang merupakan simbol dari kekuasaan atau kekuatan (Yamauchi dan Templer, 1982). Sementara menurut
Csikszentmihalyi & Rochberg-Halton (1981) yang dikutip oleh Al – Amoodi (2006) uang merupakan simbol dan status bagi orang yang memilikinya, pada
akhirnya keberadaan orang tersebut lebih dinilai lingkungan sekitar. Hal tersebut mendorong orang berlomba – lomba untuk mendapatkan kekuasaan dan pengakuan dari masyarakat sekitarnya. Tidak hanya orang yang sudah memiliki
25 pergaulan dan penampilan mahasiswa, karena ingin diakui keberadaannya
mahasiswa sering kali berperilaku konsumtif untuk membeli barang – barang yang terlihat mewah tanpa memperhatikan kegunaan dari barang tersebut.
H4: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan power –
prestige mahasiswa.
Retention – time mengacu pada perilaku membelanjakan uang perlu melakukan perencanaan (Yamauchi dan Templer, 1982). Menurut Setyawan (2011) retention – time merupakan salah satu sikap psikologis seseorang yang mengacu pada perilaku dimana seseorang tidak ingin menghabiskan uangnya.
Perencanaan penggunaan uang sebelumnya tidak akan sia – sia dalam pembelanjaan. Dalam penelitian Setyawan (2011) tentang money attitude scale
terhadap pengguanaan kartu ATM mahasiswa menghasilkan adanya retention –
time yang tinggi dalam penggunaan kartu ATM, dengan kata lain mahasiswa memiliki perencanaan tentang penggunaan keuangan. Dikarenakan setiap bulan mahasiswa secara tidak langsung hanya dapat menggunakan uang yang telah ditransfer atau dianggarkan oleh orang tuanya masing – masing melalui ATM.
Dalam penelitian Setyawan (2011) retention – time tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku konsumtif sehingga mahasiswa cenderung untuk tidak
berperilaku konsumtif.
H5: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan retention -
26
Distrust merupakan suatu ketidakpercayaan seseorang terhadap harga yang barang yang telah dibelinya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Robert dan Jones (2001), distrust tidak mempengaruhi seseorang untuk berperilaku
konsumtif. Namun menurut Tokunga (1993) yang dikutip oleh Roberts dan Jones (2001) menjelaskan bahwa seseorang yang sangat bergantung pada kartu kredit cenderung akan selalu melakukan pembelian. Dalam kasus
membelanjakan uangnya, seseorang terlebih dahulu akan mencari barang yang sama di tempat lain hanya untuk membandingkan harga barang tersebut. Begitu
halnya dengan mahasiswa dalam membelanjakan uangnya akan meneliti harga barang yang akan dibelinya pada toko yang berbeda. Sensitif tehadap harga akan mempertimbangkan harga barang yang rendah (Yamauchi dan Templer, 1982
dalam Roberts dan Jones, 2001). Ketika harga rendah mereka akan cenderung membelanjakan uangnya untuk barang tersebut, tanpa mempertimbangkan
kegunaan barang tersebut.
H6: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berda sarkan distrust
mahasiswa.
Anxiety menurut Roberts dan Jones (2001) perilaku konsumtif merupakan suatu tindakan untuk mengurangi kecemasan seseorang terhadap uang.
Dalam penelitiannya terdapat hubungan yang positif antara anxiety dengan perilaku konsumtif, hal ini dapat dilihat dari seseorang yang memegang uang akan menimbulkan kecemasan yang tinggi kemudian memilih untuk membelanjakan
27 seseorang untuk mengurangi ketegangan dalam memegang uang. Hal ini diduga
karena seseorang cemas dalam memegang uang yang ada karena tidak terlihat ujudnya. Namun jika seseorang membelanjakan uangnya untuk barang yang
mereka inginkan, orang tersebut akan dapat memegang barang. Ada juga kemungkinan jika seseorang memegang uang yang banyak akan terjadi kejadian negatif, seperti pencurian, penjambretan, dan lain sebagainya. Begitu halnya pada
mahasiswa, mereka akan menghabiskan uang yang dimiliki untuk belanja, karena dianggap uang sebagai suatu kecemasan. Mahasiswa akan merasa aman jika uang
terlihat wujudnya berupa barang.
H7: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan anxiety
mahasiswa.
Quality, seseorang percaya membeli barang seharusnya dengan kualitas yang terbaik pula (Yamauchi dan Templer, 1982). Agar keberadaannya diakui
oleh lingkungan sekitar, orang akan memperhatikan kualitas barang yang akan dia beli tanpa memperhatikan harga barang tersebut. Jika barang yang dibeli dengan kualitas yang bagus maka orang tersebut akan merasa kalau penampilannya
sempurna. Sebagai contoh seseorang yang akan memebeli barang, akan melihat barang dari kualitasnya tanpa memandang manfaat dan harga dari barang tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Wagner (2008) harga barang yang tinggi akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi pula. Sehingga orang yang akan berbelanja cenderung melihat kualitas dari sebuah barang. Begitu halnya dengan
28 lingkungan sekitarnya. Mereka rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya
untuk mendapatkan barang yang berkualitas.
H8: terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan quality
mahasiswa.
3. Metode Penelitian
Populasi adalah sejumlah individu yang setidaknya mempunyai ciri atau sifat yang sama (Hadi, 1990). Dalam penelitian ini, populasi yang digunakan sebagai unit analisis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas
Kristen Satya Wacana. Sampel ditentukan dengan menggunakan metode accidental
sampling, di mana penentuan sampel probabilitas menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada responden yang kebetulan ditemui oleh peneliti. Berdasarkan rumus yang dikemukakan oleh Yamane (1973) yang dikutip oleh Supramono dan Utami (2004), banyaknya sampel yang diambil dengan menggunakan perhitungan
sebagai berikut:
Populasi yang akan diambil yaitu mahasiswa angkatan 2009, 2010, dan 2011 dengan jumlah populasinya sebesar 1412 mahasiswa dari program studi
Manajemen Perusahaan, Sekretari, Manajemen, Ilmu Ekonomi, dan Akuntansi. Dengan toleransi tingkat kesalahan 10%, maka didapatkan jumlah sampel dengan
29 Metode pengukuran data, perilaku konsumtif adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pertimbangan yang rasional (Sumartono, 2002). Perilaku konsumtif itu sendiri akan diukur dengan harga, merek produk, barang mewah,
pembelian yang tidak terencana, iklan menarik, intensitas dalam melakukan belanja, dan pembelian berulang. Faktor demografi adalah ilmu yang memperlajari struktur, proses, dan kualitas sumber daya manusia (Mantar, 2003). Faktor
demografi dalam penelitian ini akan diukur dengan jenis kelamin, uang saku, dan usia. Sedangkan money attitude akan diukur dengan power – prestige, retention –
time, distrust, anxiety, dan quality. Untuk power – prestige akan diukur dengan menggunakan 7 indikator yang terdiri dari: uang dapat memerintah orang lain, uang dapat membuat orang terkesan, simbol kesuksesan, kesombongan, rasa hormat,
penilaian orang, dan menimbulkan rasa ingin tahu.
Retention – time akan diukur dengan menggunakan 7 indikator yang terdiri dari: sisi perencanaan, perencanaan masa depan, menabung, mengkoreksi ulang, mengikuti rencana keuangan, kehati – hatian dalam penggunaan uang, dan
uang untuk kebutuhan tidak terduga. Distrust akan diukur dengan menggunakan 5 indikator yang terdiri dari: pengeluhan harga, perbandingan barang, adanya keragu – raguan, kecurigaan, dan perbandingan harga. Anxiety akan diukur dengan
menggunakan 5 indikator yang terdiri dari: mudah tergoda dengan yang dijual, tergiur dengan adanya diskon, menghabiskan uang, kegugupan, dan kekhawatiran
dalam memegang uang. Sedangkan untuk quality akan diukur dengan menggunakan 4 indikator yang terdiri dari: membeli dengan mengikuti trend,
barang terbaik, harga mahal, dan produk terkenal. Penelitian ini akan menggunakan
30 yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju
(STS).
Metode pengumpulan data dan analisis data menggunakan metode kuesioner. Dalam penelitian kali ini pembagian kuisioner akan dilakukan dengan cara masuk ke kelas – kelas. Sebelum masuk ke kelas – kelas, akan dipilih kelas mata kuliah yang mahasiswanya terdapat angkatan 2009, 2010, dan 2011. Dalam
pengisian kuisioner, responden akan ditunggu agar kuisioner tidak ada yang hilang atau tidak terisi dengan baik. Teknik analisis yang digunakan adalah uji beda
mean. Karena dalam penelitian ini akan dilihat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan faktor demografi dan money attitude mahasiswa FEB UKSW. Sebelum menentukan uji statistik yang akan dipakai, data pertama – tama diuji
31 4. Analisis data dan pembahasan
Analisis data
Gambaran umum responden
Dalam penelitiaan ini, karakteristik responden dibagi berdasarkan
angkatan, jenis kelamin, usia, uang saku, suku, dan asal daerah. Tabel 4.1
Karakteristik responden
Karakteristik Jumlah Persentase
Jenis
Dalam penelitian ini diambil 130 responden dari 1412 mahasiswa
UKSW, masing – masing untuk jenis kelamin antara responden laki – laki dan wanita dengan jumlah berbeda. Untuk responden perempuan lebih
banyak dengan persentase 54,62 % (71 responden). Untuk usia responden yang paling banyak pada range 19 – 21,5 tahun dengan persentase 85,38%
32 900.000 memiliki jumlah 93 responden (71,54%) dan untuk uang saku
responden ≥ Rp 900.000 jumlah respondennya sebanyak 37 responden dengan persentase sebesar 28,46%. Untuk suku jumlah responden yang paling
banyak adalah suku Jawa dengan jumlah responden 70 dan persentase
Perilaku konsumtif responden dalam penelitian ini, diukur dengan menggunakan 7 pertanyaan. Hasil pengukurannya dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Keterangan: 1 – 3: kategori tidak konsumtif, 3.01 – 5: kategori konsumtif.
Dalam pengukuran untuk perilaku konsumtif akan dikelompokan
menjadi konsumtif dan tidak konsumtif. Untuk range yang menunjukkan konsumtif pada 1 – 2,5 orang tersebut akan dikatakan tidak konsumtif dan 2,5 – 5 orang tersebut dapat dikatakan konsumtif. Pada rata – rata total untuk
33 masing – masing pertanyaan perilaku konsumtif ada nilai yang menunjukkan
angka tertinggi sebesar 3,84. Rata – rata tertinggi terletak pada pernyataan dalam membeli produk, saya akan memperhatikan merek produk tersebut.
Dan rata – rata terendah terdapat pada pernyataan saat saya tertarik membeli barang elektronik, saya tidak akan mempertimbangkan harganya.
Money attitude
Pengukuran untuk money attitude dengan menggunakan 5 dimensi berdasarkan penelitian Yamauchi dan Templer (1982) dengan 5, yaitu power
34 5 Mengikuti perencanaan keuangan 4,00 3,71 0,87 6 Hati - hati dalam penggunaan uang 4,00 3,77 0,72 4 Curiga penjual mengambil untung besar 4,00 3,56 0,87
5 Melakukan cek harga 3,50 3,40 0,95
Keterangan: skala 1 – 3 dikategorikan rendah, skala 3,01 – 5 dikategorikan tinggi.
35 uang sebagai sumber dari kekuasaan, yang disini menunjukkan bahwa
mahasiswa cenderung tidak berperilaku konsumtif. Untuk pernyataan dengan kategori tertinggi terdapat pada saya meghormati orang yang memiliki uang
yang lebih banyak dari saya (2,53). Dalam indikator power prestige terdapat rata – rata terendah, yaitu pada pernyataan saya selalu ingin membuat orang lain terkesan dengan uang yang saya miliki dengan jumlah rata – rata sebesar
1,48.
Retention time rata – rata totalnya adalah 3,85. Jika dilihat dari rata – rata total dapat dikategorikan masuk dalan retention time yang tinggi. Rata – rata ini menandakan seseorang tidak ingin menghabiskan uang yang dimilikinya. Mahasiswa cenderung tidak berperiaku konsumtif, karena
mereka telah melakukan perencanaan sebelum menggunakan uangnya.
Distrust dilihat dari rata – rata total sebesar 3,39 yang berarti memiliki distrust yang tinggi atau tergolong dalam kategori distrust, yaitu dapat dikatakan seseorang tidak percaya dengan harga barang yang telah
dibelinya. Dalam hal ini karena tidak mempercayai harga barang yang akan dibeli, justru tidak melakukan pembelian atau tidak berperilaku konsumtif. Untuk rata – rata terendah sebesar 2,90 terdapat pada indikator saya
mengeluh dengn harga barang yang telah saya beli.
Anxiety memiliki rata – rata total sebesar 2,75 yang berarti tergolong dalam kategori anxiety yang rendah. Dengan kata lain mahasiswa akan tidak melakukan pembelian terhadap barang yang akan mereka beli untuk menghindari kecemasan dalam memegang uang. Dalam anxiety terdapat rata – rata terendah yaitu pada pernyataan saya menghabiskan uang agar saya
36 Dilihat dari rata – rata total quality yaitu sebesar 2,74 dapat
digolongkan dalam kategori quality yang rendah. Yang menandakan seseorang tidak akan membeli suatu produk atau barang dengan
mempertimbangkan kualitas dari produk tersebut sehingga dalam hal ini mahasiswa tidak akan berperilaku konsumtif. Dapat dilihat pada pernyataan saya membeli barang dengan harga yang sangat mahal memiliki rata – rata
yang terendah yaitu 2,12.
Uji asumsi klasik Normalitas
Setelah melakukan pengujian reliabilitas data kemudian diuji normalitas, untuk menentukan alat uji berikutnya menggunakan parametrik
atau non parametik. Variabel yang diuji normalitas adalah perilaku konsumtif dan money attitude. Dari hasil uji normalitas, data berdistribusi normal
sehingga alat uji menggunakan parametrik (ttest). Hasil uji normalitas dapat
dilihat pada bagian lampiran 2.
Uji hipotesis
Dalam penelitian kali ini alat uji statistika yang digunakan uji beda
mean yaitu ttest, dikarenakan data berdistribusi normal. Dan hasil ringkas uji
37 Tabel 4.4
Ttest Faktor Demografi dan Money Attitude dengan Perilaku Konsumtif
Faktor Demografi Perilaku konsumtif Money Attitude Perilaku konsumtif
t/f α t α
yang memiliki beda dengan perilaku konsumif terdapat hanya pada jumlah uang saku saja. Sedangkan jenis kelamin, usia, suku, dan asal daerah tidak memiliki perbedaan dengan perilaku konsumtif. Begitu pula pada money
attitude hanya terdapat dua indikator yang memiliki beda, yaitu anxiety
(0,001) dan quality (0,000). Untuk power prestige (0,547), retention time
(0,414), dan distrust (0,352) tidak memiliki beda dengan perilaku konsumtif. Pembahasan
Hasil yang didapat yaitu tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif
berdasarkan jenis kelamin baik laki – laki maupun perempuan. Dalam hal ini dapat diduga karena laki – laki maupun perempuan cenderung tidak memiliki pengaturan
keuangan yang dia miliki. Mereka beranggapan bahwa uang yang dia miliki bukan dari penghasilan sendiri namun berasal dari pemberian orang tua, laki – laki akan bersikap mengikuti trend yang ada dan menjaga penampilannya seperti berdandan,
melakukan perawatan rambut, wajah dan tubuh (Wagner, 2009). Begitu halnya dengan perempuan yang selalu memperhatikan penampilan dan merawat
38 (Rosandi, 2004). Hal ini mahasiswa lakukan dimungkinkan untuk menarik lawan
jenisnya. Hal ini berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya, yaitu dalam Tambunan (2001) menjelaskan bahwa kebanyakan laki – laki tidak menyukai
menghabiskan uangnya dibandingkan dengan wanita yang senang melakukan kegiatan belanja. Serta dalam penelitian Utami dan Sumaryono (2008) yang menjelaskan tentang wanita lebih konsumtif dibandingkan dengan laki – laki.
Terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan jumlah uang saku yang diterima. Dapat diduga banyak atau sedikit jumlah uang yang dimiliki oleh
mahasiswa akan mempengaruhi pola konsumtifnya. Dalam berperilaku konsumtif mahasiswa ada kemungkinan menganggap ringan uang saku yang dimilikinya, jika uang habis mereka akan dengan mudah untuk mendapatkannya lagi dengan cara
meminta kepada orang tua dengan berbagai macam alasan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya, yaitu dalam penelitian Utami dan Sumaryono
(2008) yang menjelaskan semakin banyak uang yang dimiliki oleh tiap – tiap individu akan mempengaruhi perilaku konsumtif seseorang. Dapat dilihat
mahasiswa UKSW memiliki tingkat uang saku yang berbeda – beda dengan range
Rp 200.000 sampai Rp 3.000.000.
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapat hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan usia mahasiswa. Hal ini dapat diduga mahasiswa yang berumur 19 – 24 tahun memiliki pola konsumsi sama. Pada
rentang usia 19 – 24 tahun, mahasiswa tidak memikirkan masa depannya. Mahasiswa cenderung berorientasi pendek yaitu menghabiskan uang saku hanya untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan. Hasil dari penelitian kali ini tidak
39 pada hasil penelitian usia >50 tahun cenderung menabung. Namun berbeda dalam
penelitian Wagner (2009) yang menjelaskan usia remaja merupakan usia dimana dirinya ingin diakui keberadaannya, menyukai kegiatan – kegiatan di luar rumah
seperti shopping, menonton, dan makan di tempat yang berkelas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wagner (2009).
Sedangkan untuk suku dan asal daerah didapat hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan suku ataupun asal daerah. Diduga mahasiswa dalam penelitian ini baik yang berada di luar Salatiga maupun Salatiga
cenderung berperilaku konsumtif, karena mahasiswa cenderung mengikuti trend
yang sedang booming di daerah ini. Begitu pula dengan suku, dalam penelitan ini suku tidak memiliki perbedaan dalam berperilaku kosumtif. Hal ini diduga baik
suku Jawa, Cina, dan lain – lain sama melakukan pembelian yang tidak terencana atau berperilaku konsumtif untuk penampilannya.
Pada power prestige, tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan power prestige. Di kalangan mahasiswa tidak dipungkiri lagi bahwa
pada mahasiswa berusaha membuat dirinya semenarik mungkin dari gaya penampilan baik fasihon maupun barang elektronik. Namun ada kemungkinan mereka tidak beranggapan semakin banyak uang yang dimiliki akan semakin diakui
oleh lingkungan mereka bersosialisasi atau dengan kata lain mahasiswa tidak beranggapan uang merupakan simbol kekuasaan. Diduga mahasiswa hanya menilai
penampilan luarnya saja. Hasil berdasarkan Yamauchi dan Templer (1982) mahasiswa tidak dapat tergolong dalam power prestige. Dalam penelitian kali ini tidak sependapat dengan Al – Amoodi (2006) yang mengungkapkan uang adalah
40 Tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan retention time.
Diduga untuk kalangan mahasiswa retention time atau perencanaan dalam membelanjakan uang yang dimilikinya, mereka cenderung melakukan perencanaan
sebelum membelanjakan uang mereka. Ada kemungkinan kebiasaan mereka
shopping tidak bertujuan untuk membeli melainkan hanya window shopping
(Tambunan, 2001). Hal ini tidak sama dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Setyawan (2011) mengenai penggunaan kartu ATM pada mahasiswa FEB UKSW, adanya retention time yang tinggi dalam penggunaan
kartu ATM. Hal ini dikarenakan setiap bulan mahasiswa hanya dapat menggunakan uang yang telah ditransfer oleh orang tuanya.
Tidak terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan distrust.
Dalam distrust, mahasiswa kemungkinan akan cenderung mencermati harga barang yang ingin mereka beli, jadi ada kemungkinan mahasiswa tertarik dan kemudian
melakukan pembelian dengan mempertimbangkan harganya. Walaupun barang tersebut mendukung penampilannya, mahasiswa akan lebih cermat dalam
memilihnya. Ada kemungkinan juga mahasiswa cenderung membeli barang dengan model yang sama namun dengan harga lebih rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan Tokunga (1993) yang dikutip oleh Robert dan Jones (2001) bahwa distrust
tidak memiliki pengaruh dengan perilaku konsumtif seseorang. Yamauchi dan Templer mengungkapkan bahwa seseorang dalam membelanjakan uang yang
dimilikinya akan mengikuti harga barang yang akan mereka beli, jika harga barang relatif rendah maka orang akan membelanjakan uangnya.
Terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan anxiety. Hal ini
41 kosumtif. Ada kemungkinan mahasiswa tergiur dengan barang yang telah diberikan
diskon, karena mereka berpikiran bahwa barang yang telah diberikan diskon harga barang tersebut telah dinaikkan terlebih dahulu dan juga mahasiswa lebih nyaman
jika uang yang dia miliki dapat dibelanjakan barang yang dapat dilihat bahkan mendukung penampilannya. Sama dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa semakin banyak uang yang dimiliki seseorang, akan memberikan kecemasan
yang tinggi bagi pemiliknya dan memilih untuk membelanjakan uang tersebut (Roberts dan Jones, 2001). Serta menurut Edwards (1993) uang akan dapat
memprovokasi seseorang untuk berperilaku konsumtif.
Terdapat perbedaan perilaku konsumtif berdasarkan quality mahasiswa. Diduga mahasiswa FEB UKSW memang bra nded oriented. Walaupun dari
kalangan mahasiswa sebagian besar memang belum memiliki penghasilan atau pendapatan sendiri tiap bulannya, mereka selalu ingin membeli barang yang
berkualitas. Jika mahasiswa yang branded oriented akan menilai bahwa harga barang mencerminkan kualitas dari barang tersebut, maka mahasiswa akan membeli
barang dengan tanpa memperhatikan harga barang yang akan mahasiswa beli. Hal ini diduga mahasiswa beranggapan jika kualitas barang yang baik terlihat dari sebuah merek. Dalam pemikiran seperti ini mahasiswa akan membeli barang untuk
mendukung penampilannya dengan kualitas dan tentu saja dengan harga barang yang relatif lebih tinggi. Mahasiswa FEB UKSW masuk dalam kategori quality
42 5. Penutup
Kesimpulan
Penelitian kali ini, untuk faktor demografi hanya pada bagian jumlah uang saku yang memiliki beda dengan perilaku konsumtif mahasiswa. Semakin banyak uang yang dimiliki akan semakin tinggi juga pola konsumsinya. Namun untuk jenis kelamin, usia, suku, dan asal daerah tidak memiliki beda dengan
perilaku konsumtif. Sedangkan untuk money attitude hanya dua indikator yang memiliki beda dengan perilaku konsumtif, yaitu anxiety dan quality. Mahasiswa
diduga cemas jika memegang uang dalam jumlah banyak sehingga mahasiswa cenderung ingin membelanjakan barang – barang yang dinilai dapat mendukung penampilannya, serta mahasiswa diduga memang branded oriented yang sangat
memperhatikan kualitas dari subuah barang dan menomer duakan harga. Untuk
power prestige, distrust, dan retention time tidak memiliki perbedaan dengan perilaku konsumtif.
Hasil penelitian ini menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku konsumtif dengan jumlah uang saku, anxiety, dan quality maka dari
itu:
1) Untuk mencegah perilaku konsumtif yang dikarenakan jumlah uang saku, sebaiknya dalam pola pemberian uang saku oleh orang tua lebih memperhatikan
jumlah uang saku yang akan diberikan kepada mahasiswa. Hal ini karena mahasiswa belum dapat bertanggung jawab dengan baik dalam mengelola uang
saku tiap bulannya.
2) Money attitude yang berupa anxiety memiliki beda dengan perilaku konsumtif. Sebaiknya mahasiswa tidak membelanjakan semua uang yang dimilikinya,
43 tunai dalam jumlah banyak. Hal ini bisa saja mahasiswa lapar mata dan
membelanjakannya.
3) Pada quality sebaiknya mahasiswa dalam melakukan pembelian melihat harga
barang yang akan mahasiswa beli tidak hanya dilihat dari kualitas barang tersebut. Biasanya mahasiswa akan langsung membeli barang tanpa memperhatikan harga maupun kegunaan karena faktor ketertarikan serta
didukung oleh kualitas.
Dalam penelitian ini, tidak memasukkan faktor eksternal seperti lingkungan
serta keluarga. Kebiasaan seseorang dalam membeli barang pada mulanya terbentuk pada keluraga, biasanya seseorang akan melihat pola pembelanjaan orang tuanya. Seperti contoh dalam membeli orang tua selalu membeli barang yang
bermerek dan malakukan pembelian berulang walaupun barang yang akan dibeli telah dimiliki sebelumnya, anak – anak akan cenderung mengikuti kebiasaan yang
terjadi dalam keluarganya tersebut. Tidak dipungkiri pola membeli barang terbentuk pada lingkungan tempat seseorang beradaptasi. Biasanya seseorang akan
mengikuti lingkungan tempat mereka beradaptasi untuk menyesuaikan diri dalam melakukan pembelanjaan. Misalkan seseorang yang berada pada lingkungan yang mewah cenderung akan membeli barang yang bermerek serta mahal, sehingga
orang tersebut akan berpikir dia tidak akan terkucilkan dari lingkungannya. Oleh karena itu diharapkan dalam penelitian mendatang menambahkan faktor eksternal
44
Referensi
Ajizah, E., 2010, Perilaku Konsumtif pada Remaja,
http://shareppba.wordpress.com/2010/01/18/perilaku-konsumtif-pada-remaja/. Diunduh pada 30 Maret 2013.
Al – Amoodi, S. A. M., 2006, Exploring Money Attitudes and Credit Card Usage in Compulsive Buying Among (MBA) Executive Students (U.S.M), Research report submitted in partial fulfillment of requirements for thedegree of Master of
Business Administration.
Andrawina, A. A., 2011, Pengaruh Variabel Demografi Terhadap Minat dan
Perencanaan Keuangan Keluarga di Perumahan Watutelenan Pulisen Boyolali, Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Angela, Luciana, 2009, Gaya Hidup dan Personality Traits Berkenaan Dengan Pengelolaan Uang Saku Pada Mahasiswa FE UKSW, Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Durvasula, S. dan Steven L., 2007, Money Attitudes, Materialism, and Achievement Vanity: An Investigation of Young Chinese Consumers Perceptions,
Internasional Marketing Conference on Marketing and Society.
Edwards, E. A. (1993). Development of a New Scale for Measuring Compulsive Buying Behavior. Financial Counseling and Planning, Vol 4.
Engel, B. dan Miniard, 1994, A socially Hamful Stereotype. In d. C. Reading In Psychologycal Development Through Live, Holt, York.
Gasiorowska, A., 2008, The Relationship of Income And Money Attitudes To Subjective Assessment of Financial Situation, Institute of Organization and Management, Wroclaw University of Technology.
Hadi, S., 1994, Metodelogi Research II, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Hotpascaman, S., 2009, Hubungan Antara Perilaku Konsumtif Dengan Konformitas
Pada Remaja, Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara.
Http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/10/konsep-konsumsikonsumenkonsumtif-dan-konsumerisme/. Diunduh pada 10 Februari 2013.
45 Pegawai di Suatu Perguruan Tinggi Swasta, di Jawa Tengah), Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol XIV No.2, Salatiga.
Mustafa, H., 2000, Teknik Sampling, dinduh pada 22 Oktober 20112.
Roberts, J. A. dan Jones, E., 2001, Money Attitudes, Credit Card Use, and Compulsive Buying among American College Students, The Journal of Consumer Affairs, Vol. 35, No. 21.
Robb, C. dan Deanna L. S., 2009, Effect Of Personal Financial Knowledge On College Student’s Credit Card Behavior, Jurnal Of Financial And Planning, Vol.20. Rosandi, A. F., 2004, Perbedaan Perilaku Konsumtif Antara Mahasiswa Pria dan
Wanita di Universitas Katolik Atma Jaya, Unika Atma Jaya, Jogjakarta.
Setyawan, Wisnu, 2011, Pengaruh Literasi Keuangan, Variabel Demografi, dan Money Attitude Scale terhadap Perilaku Penggunaan ATM Mahasiswa, FEB UKSW, Salatiga.
Sumartono, 2002, Terperangkap Dalam Iklan, Alfabeta, Bandung.
Supramono dan Utami, I., 2004, Desain Proposal Penelitian Akuntansi dan Keuangan, Andi, Yogyakarta.
Suyasa, T. Y. S dan Fransisca, 2005, Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan Metode Pembayaran, Jurnal Phronesis.
Tambunan, R. 2001, Remaja dan Perilaku Konsumtif, http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp. Diunduh pada 16 Maret 2012.
Utami, Fika Ariani dan Sumaryono, 2008, Pembelian Impulsif Ditinjau Dari Kontrol Diri Dan Jenis Kelamin Pada Remaja, Jurnal Psikologi Proyeksi, UGM, Vol.3 No.1 Februari.
Wiharjo, Katarina Kumalasari, 2012, Faktor Demografis dan Mental Accounting: Penggunaan Kartu Kredit pada Karya wan Bank Bumi Arta Tbk. Cabang
Surakarta, Skripsi, Universitaas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Wong, Jim, 2010, An Analysis of Money Attitude: Their Relationship & Effects on Personal Needs, Social Identity and Emotions, Journal Of Leadership, Accountability And Ethics.
Yamauchi, Kent dan Donald Templer, 1982, The Development Of A Money Attitude Scale, Journal Of Personality Assesment.