TINGKAT IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK OLEH GURU PENGAMPU KELAS BAWAH: SEBUAH SURVEI BAGI GURU-GURU
SEKOLAH DASAR NEGERI DI KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
Agustiyana OlympiaVitessa
101134233
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
TINGKAT IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK OLEH GURU PENGAMPU KELAS BAWAH: SEBUAH SURVEI BAGI GURU-GURU
SEKOLAH DASAR NEGERI DI KOTA YOGYAKARTA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
Agustiyana OlympiaVitessa
101134233
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
v
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka,
apabila kamu selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Al Qur’an surat
Al-Insyiroh ayat 6-7)
Few things make the life of a parent more rewarding and
sweet as successfull children. (Nelson Mandela)
Semua orang memiliki mimpi, namun bagi saya bukan seberapa
besar mimpi yang kamu punya tetapi seberapa besar usaha
viii
ABSTRAK
TINGKAT IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK OLEH GURU PENGAMPU KELAS BAWAH : SEBUAH SURVEI BAGI GURU-GURU
SEKOLAH DASAR NEGERI DI KOTA YOGYAKARTA
Oleh
Agustiyana Olympia Vitessa
NIM 101134233
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keingintahuan peneliti tentang tingkat implementasi pembelajaran tematik oleh guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota Yogyakarta. Peneliti juga ingin mengetahui perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran tematik dilihat dari faktor demografi jumlah guru dan jumlah rekan guru yang menggunakan tematik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat implementasi pembelajaran tematik oleh para guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota Yogyakarta dan perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran tematik oleh para guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota Yogyakarta ditinjau dari faktor demografi jumlah siswa dan jumlah rekan guru yang menggunakan pembelajaran tematik. Penelitian ini menggunakan desain penelitian non eksperimental cross sectional dengan metode survey.
Populasi penelitian adalah semua guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di Kota Yogyakarta yang berjumah 328 guru dengan sampel yang diambil 190 guru. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan distribusi frekuensi dan analisis statistik uji Independent Sample t-Test maupun uji Mann Whitney.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran tematik oleh guru-guru pengampu kelas bawah di kota Yogyakarta termasuk dalam kriteria tinggi. Hasil menunjukkan nilai Sig.(2-tailed) (0,209) ≥ 0,05 maka Ho
gagal ditolak dan Ha ditolak. Tidak terdapat perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran tematik ditinjau dari faktor demografi jumlah siswa. Hasil menunjukkan nilai Z = –0,193 dengan Sig.(2-tailed) (0,847) < α (0,05) maka
Ho gagal ditolak dan Ha ditolak. Tidak terdapat perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran tematik ditinjau dari faktor demografi jumlah rekan guru yang menggunakan pembelajaran tematik.
ix
ABSTRACT
IMPLEMENTATION LEVEL OF THEMATIC INSTRUCTION BY LOWER GRADE TEACHERS: A SURVEY TO ELEMENTARY SCHOOL
TEACHERS IN YOGYAKARTA
By:
Agustiyana Olympia Vitessa NIM. 101134233
This research was conducted based on the researcher’s curiousity on the implementation of the thematic instruction by middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta. The researcher were to know differences of the implementation level of thematic learning by middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta seen from the teachers demography number of students and number of teachers who used thematic instruction.
The purposes of the research were to know the implementation level of thematic instruction by middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta, know the differences of the implementation level of thematic
learning by middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta seen from number of students and know the differences of the implementation level of thematic learning by middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta seen from number of teachers who used thematic instruction. This non-experimental research used cross sectional design in survey method. The population included 328 middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta and the sample used was 190 teachers. This research used questionnaire in collecting data. The analyse used distribution of frequency and PAP 1 and Independent Sample t-Test and Mann Whitney test.
The results of the research showed that the implementation level of thematic learning by middle-low class teachers of elementary schools in Yogyakarta was high. The results of the research showed Sig.(2-tailed) (0,209) ≥
0,05, showed the implementation level of the thematic instructional not differed according the number of students. The results of the research Z= –0,193 with
Sig.(2-tailed) (0,847) < α (0,05), showed the implementation level of the thematic instructional not differed according the number of teachers who used thematic instruction.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kupanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan kasih-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Skripsi dengan judul “Tingkat Implementasi Pembelajaran Tematik Oleh Guru
Pengampu Kelas Bawah : Sebuah Survey bagi Guru-Guru Sekolah Dasar Negeri
di Kota Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
memperoleh gelar sarjana pendidikan guru sekolah dasar Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penyusunan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik atas bantuan,
perhatian, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan
setulus hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., BST., M.A. Selaku Ketua Program
Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang telah memberikan bantuan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Catur Rismiati, S.Pd., M.A., Ed.D dan Ibu Andri Anugrahana, S.Pd.,
M.Pd selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingannya
selama ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen beserta karyawan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan dukungan kepada penulis.
5. Seluruh Guru Sekolah Dasar Negeri di kota Yogyakarta yang telah
memberikan sumbangan yang besar dalam penelitian ini.
6. Ibu Indah Mumpuni selaku orang tua yang selalu senantiasa menyertaiku
dengan doa dan dorongan sehingga skripsi dapat terselesaikan.
7. Adikku, Nasywa Lintang Sasikirana, terima kasih untuk dukungan dan
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
1. Reformasi pendidikan secara global ... 11
2. Reformasi pendidikan di Indonesia ... 13
3. Reformasi kurikulum di Indonesia ... 15
4. Kurikulum 2013 dan kurikulum 2006 ... 22
5. Pembelajaran terpadu ... 26
6. Pembelajaran tematik ... 32
7. Implikasi pembelajaran tematik ... 36
8. Karakteristik pembelajaran tematik ... 38
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan reformasi pendidikan ... 40
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 44
xiii
D. Hipotesis Penelitian ... 51
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian ... 52
B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 53
G. Validitas Instrumen... 63
H. Reliabilitas Instrumen ... 79
I. Prosedur Analisis Data ... 81
J. Jadwal Penelitian ... 104
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Penelitian ... 106
B. Tingkat Pengembalian Kuesioner ... 107
C. Hasil Penelitian ... 107
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 133
BAB V. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN A. Kesimpulan ... 139
B. Keterbatasan ... 140
C. Saran ... 140
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Keunggulan KBK dengan kurikulum 1994 ... 19
Tabel 2.2 Reformasi pendidikan di Indonesia ... 21
Tabel 2.3 Perbedaan esensial kurikulum 2006 dengan kurikulum 2013 ... 23
Tabel 2.4 Landasan pengembangan kurikulum 2013 ... 25
Tabel 3.1 Penjabaran Skor Item Positif dan Item Negatif ... 57
Tabel 3.2 Sebaran item positif dan item negatif ... 58
Tabel 3.3 Kisi-kisi instrumen penelitian ... 61
Tabel 3.4 Kriteria Revisi ... 64
Tabel 3.5 Hasil expert judgment indikator kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa ... 65
Tabel 3.6 Hasil expert judgment indikator siswa mengalami pengalaman langsung dalam belajar ... 66
Tabel 3.7 Hasil expert judgment indikator pemisahan pada setiap mata pelajaran tidak begitu jelas ... 67
Tabel 3.8 Hasil expert judgment indikator pembelajaran yang menyajikan konsep dari satu mata pelajaran ... 69
Tabel 3.9 Hasil expert judgment indikator pembelajaran bersifat fleksibel .... 70
Tabel 3.10 Hasil expert judgment indikator hasil pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa ... 71
Tabel 3.11 Hasil expert judgment indikator prinsip belajar sambil bermain yang menyenangkan bagi siswa ... 73
Tabel 3.12 Validitas muka ... 75
Tabel 3.13 Hasil validitas implementasi pembelajaran tematik ... 78
Tabel 3.14 Koefisien Reliabilitas ... 80
Tabel 3.15 Hasil reliabilitas ... 81
Tabel 3.16 Contoh pengkodean ... 84
xv
Tabel 4.1 Panjang kelas interval ... 109
Tabel 4.2 Hasil perhitungan daftar distribusi ... 109
Tabel 4.3 Hasil uji normalitas tingkat implementasi
pembelajaran tematik dengan jumlah siswa sedikit ... 112
Tabel 4.4 Hasil uji normalitas tingkat implementasi
pembelajaran tematik dengan jumlah siswa banyak ... 115
Tabel 4.5 Hasil uji homogenitas tingkat implementasi pembelajaran
tematik ditinjau dari jumlah siswa ... 119
Tabel 4.6 Hasil uji Independent Sample t-Test tingkat
Implementasi pembelajaran tematik ditinjau dari jumlah siswa ... 121
Tabel 4.7 Hasil uji normalitas tingkat implementasi
pembelajaran tematik dengan jumlah rekan guru yang
menggunakan pembelajaran tematik sedikit ... 123
Tabel 4.8 Hasil uji normalitas tingkat implementasi pembelajaran
tematik dengan jumlah rekan guru yang menggunakan pembelajaran
tematik banyak ... 127
Tabel 4.9 Hasil uji homogenitas tingkat implementasi
pembelajaran tematik ditinjau dari jumlah rekan guru
yang menggunakan pembelajaran tematik ... 131
Tabel 4.10 Tabel hasil uji Mann Whitney tingkat implementasi
pembelajaran tematik ditinjau dari jumlah
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema penelitian yang relevan ... 49
Gambar 3.1 Hubungan antar variabel ... 53
Gambar 3.2 Rumus Korelasi ... 77
Gambar 3.3 Rumus Koefisien Alpha Cronbach ... 79
Gambar 3.4 Rumus Jarak atau Rentangan ... 87
Gambar 3.13 Rumus Independent- Sample T-test ... 100
Gambar 3.14 Rumus Uji Mann Whitney ... 101
Gambar 3.15 Rumus Effect Size jika data normal ... 102
Gambar 3.16 Rumus Effect Size jika data tidak normal ... 102
Gambar 3.17 Rumus koefisien determinasi ... 103
Gambar 4.1 Uji normalitas P-P Plot data Implementasi dengan jumlah siswa sedikit ... 113
Gambar 4.2 Uji normalitas histogramdata Implementasi dengan jumlah siswa sedikit ... 114
Gambar 4.3 Uji normalitas P-P Plot data Implementasi dengan jumlah siswa banyak ... 116
xvii
Gambar 4.5 Uji normalitas P-P Plot data
Implementasi dengan jumlah rekan guru yang
menggunakan pembelajaran tematik sedikit ... 124
Gambar 4.6 Uji normalitas histogramdata
Implementasi dengan jumlah rekan guru yang
menggunakan pembelajaran tematik sedikit ... 125
Gambar 4.7 Uji normalitas P-P Plot data
Implementasi dengan jumlah rekan guru yang
menggunakan pembelajaran tematik banyak ... 128
Gambar 4.8 Uji normalitas histogramdata
Implementasi dengan jumlah rekan guru yang
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian dan Telah Melakukan Penelitian ... 147
Lampiran 2 Kuesioner Sebelum dan Sesudah Validasi ... 151
Lampiran 3 Expert Judgment dan Validitas Muka ... 157
Lampiran 9 Hasil Output Deskripsi Implementasi Pembelajaran Tematik ... 263
Lampiran 10 Hasil Distribusi Frekuensi Tingkat Implementasi pembelajaran tematik ... 264
Lampiran 11 Hasil Perhitungan Daftar Distribusi Frekuensi ... 265
Lampiran 12 Hasil Distribusi Frekuensi Demografi Jumlah Siswa ... 266
Lampiran 13 Hasil Hasil Distribusi Frekuensi Faktor Demografi Jumlah Rekan Guru yang Menggunakan Pembelajaran Tematik ... 267
Lampiran 14 Hasil Uji Normalitas Implementasi Pembelajaran Tematik Terhadap Faktor Demografi Jumlah Siswa Kelompok Sedikit ... 268
Lampiran 15 Hasil Uji Normalitas Implementasi Pembelajaran Tematik Terhadap Faktor Demografi Jumlah Siswa Kelompok Banyak ... 272
Lampiran 16 Hasil Uji Normalitas Implementasi Pembelajaran Tematik Terhadap Faktor Demografi Jumlah Rekan Guru yang Menggunakan Pembelajaran Tematik Kelompok Sedikit ... 276
Lampiran 17 Hasil Uji Normalitas Implementasi Pembelajaran Tematik Terhadap Faktor Demografi Jumlah Rekan Guru yang Menggunakan Pembelajaran Tematik Kelompok banyak ... 280
xix
Lampiran 19 Hasil Uji Homogenitas Implementasi Pembelajaran tematik Terhadap Faktor Demografi Jumlah Rekan Guru yang
Menggunakan Pembelajaran tematik ... 284
Lampiran 20 Hasil uji Independent sample t-test Implementasi pembelajaran tematik terhadap Faktor Demografi Jumlah Siswa ... 285
Lampiran 21 Hasil Uji Mann whitney Imlementasi Pembelajaran tematik Terhadap Faktor Demografi Jumlah Rekan Guru yang Menggunukan pembelajaran Tematik ... 286
Lampiran 22 Tabel Krenjcie ... 287
Lampiran 23 Contoh Instrumen Kuesioner ... 288
Lampiran 24 Contoh Instrumen yang Sudah Dikerjakan ... 294
Lampiran 25 Tingkat Pengembalian Instrumen ... 299
1
BAB I PENDAHULUAN
Bab I akan membahas enam bagian pendahuluan dari penelitian ini. Enam
bagian tersebut yaitu latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.
A. Latar Belakang Masalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Depdiknas, 2008: 326) mengartikan
pendidikan adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan. Proses pengubahan sikap dan tata laku seiring dengan tujuan
pendidikan yang memberikan arah bagi segala kegiatan pendidikan. Pengubahan
sikap dan tata laku yang baik dilakukan kepada anak sejak kecil. Pendidikan dasar
dapat mengubah anak dan menyelaraskannya dengan kegiatan pendidikan.
Pendidikan dasar menurut KBBI adalah pendidikan minimum (terendah)
yang diwajibkan bagi semua warga negara (Depdiknas, 2008: 326). Pendidikan
wajib ditempuh setiap orang selama 9 tahun Pendidikan merupakan suatu hak
yang didapatkan oleh seseorang untuk menjadi pribadi yang baik di
lingkungannya. Suatu pendidikan memerlukan adanya kurikulum. Trianto (2012:
13) menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya istilah kurikulum
digunakan di dalam dunia pendidikan. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani
yaitu Curir berarti pelari, dan Curere berarti tempat berpacu atau tempat lomba.
disimpulkan sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus
ditempuh atau diselesaikan siswa guna mencapai suatu tingkatan atau ijasah.
Kurikulum yang berlaku di Indonesia sudah beberapa kali mengalami
perubahan. Trianto (2010: 54–71) menjelaskan bahwa kurikulum berubah dari
masa orde lama hingga masa orde reformasi. Masa orde lama menggunakan
Rencana Pelajaran 1947 dan kemudian berubah dengan istilah Rencana Pelajaran
Terurai 1952. Kurikulum 1947 menekankan pada cara mengajar yang dilakukan
oleh guru dan cara siswa memahami materi pelajaran. Kurikulum 1952 terlihat
lebih menonjol pada setiap mata pelajaran karena harus memperhatikan setiap isi
pelajaran yang telah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Masa orde lama kemudian masuk ke masa orde baru. Saat masa orde baru
telah terjadi empat kali perubahan kurikulum, yakni kurikulum 1968, kurikulum
1975, kurikulum 1984 (keterampilan proses), dan kurikulum 1994. Kurikulum
1968 memiliki sifat correlated subject curriculum yang berarti bahwa materi
pelajaran pada tingkat bawah berhubungan dengan kurikulum tingkat lanjutan.
Kurikulum 1968 dipandang kurang, maka dari itu tercipta kurikulum baru yang
disebut dengan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 mencantumkan tujuan
kurikulum untuk setiap bidang studi, sedangkan untuk setiap pokok bahasan
mencantumkan tujuan instruksional khusus. Kurikulum selanjutnya adalah
kurikulum 1984. Kurikulum 1984 disebut sebagai kurikulum keterampilan proses
karena pada kurikulum ini menggunakan pendekatan keterampilan proses yang
proses belajar. Kurikulum terakhir pada era orde baru yaitu kurikulum 1994.
Masa orde baru kemudian memasuki masa reformasi. Masa reformasi terjadi
dua kali perubahan kurikulum, yakni kurikulum 2004 atau sering disebut
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan kurikulum 2006 atau sering disebut
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 2004 merupakan
kurikulum pertama yang berhasil diterapkan di Indonesia pada masa reformasi.
Pemerintah mulai memunculkan model pembelajaran tematik saat kurikulum
2004 diterapkan. Kurikulum kedua yang berhasil diterapkan di masa reformasi
ialah kurikulum 2006. Kurikulum 2006 merupakan strategi pengembangan
kurikulum untuk menciptakan sekolah yang efektif, produktif, maupun
berprestasi.
Masa reformasi berakhir, kemudian masuk ke masa sekarang dimana
menggunakan kurikulum 2013 sebagai acuan pendidikan. Mulyasa (2013: 66)
menjelaskan bahwa kurikulum 2013 adalah tindak lanjut dari kurikulum 2006 dan
merupakan suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan
kompetensi sehingga hasilnya dapat dilaksanakan sendiri oleh siswa. Kurikulum
2013 diharapkan mampu melahirkan siswa yang produktif, kreatif, dan inovatif.
Pembelajaran tematik disajikan dalam kurikulum 2013.
Pembelajaran tematik adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna untuk siswa (Depdiknas dalam Trianto, 2010: 5).
Pembelajaran tematik mengambil tema sebagai sentral pembelajaran yang di
dalamnya tercakup beberapa mata pelajaran yang dipadukan (Indrawati, 2009: 2).
mengajar kelas IV sampai kelas VI menggunakan pendekatan mata pelajaran.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2008: 4) menjelaskan bahwa
pembelajaran tematik dianggap sesuai dengan tahapan perkembangan anak yang
melihat segala sesuatunya sebagai suatu keutuhan (holistic). Pembelajaran yang
menyajikan mata pelajaran terpisah akan menyebabkan kurang berkembangannya
anak untuk berpikir secara holistic dan membuat kesulitan bagi peserta didik.
Pembelajaran tematik diterapkan di kelas I, II, dan III atau sering disebut
dengan kelas bawah. Guru kelas I sampai guru kelas III tidak mengajarkan
pelajaran secara terpisah-pisah akan tetapi mengajarkan pelajaran secara
terintegrasi atau terpadu.
Erickson dalam Rismiati (2012: 5) mengatakan bahwa aim of the integrated
curriculum was “to cause students to integrated their thinking at a conceptual
level by seeing the patterns and connections between transferable and
connections between transferable, conceptual ideas and topic under study”. Arti
dari kata-kata Erickson adalah tujuan dari kurikulum terintegrasi ialah
memadukan pikiran para siswa pada level konseptual dengan pola dan hubungan
antara mengirim konsep ide dan topik di bawah mata pelajaran. Kurikulum
terintegrasi memadukan pola pikir siswa yang mempunyai topik atau tema.
Majalah DIKBUD dalam Sururiaziz (2013) menyebutkan bahwa pentingnya
suatu pembelajaran terpadu dikarenakan oleh beberapa hal. Hal yang
menyebabkan pentingnya suatu pembelajaran terpadu antara lain (1) hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa anak melihat dunia sebagai suatu keutuhan
sekolah dasar dengan definisi kompetensi yang berbeda menghasilkan banyak
keluaran yang sama, dan (3) keterkaitan satu sama lain antar mata pelajaran
sekolah dasar menyebabkan keterpaduan konten pada berbagai mata pelajaran dan
arahan siswa untuk mengaitkan antar mata pelajaran akan meningkatkan hasil
pembelajaran siswa.
Pembelajaran tematik dipilih untuk menjadi salah satu sifat dari kurikulum
baru. Alasan dari dipilihnya pembelajaran tematik menjadi salah satu sifat
kurikulum yang baru adalah karena tematik dianggap sebagai suatu pembelajaran
yang dapat mempersatukan seluruh elemen pendidikan seperti siswa, guru,
manajemen satuan pendidikan bahkan masyarakat umum. Elemen pendidikan
tersebut nantinya yang akan lebih banyak dibahas pada penelitian ini adalah guru,
karena gurulah yang memiliki peran penting dalam pengimplementasian
kurikulum. Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum yang diharapkan
dapat membuka diri terhadap beberapa kemungkinan perubahan.
Depdiknas (2008: 11) menjelaskan bahwa guru belum memiliki kesadaran
dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa. Bukan hanya faktor guru yang belum
baik, tetapi ada faktor lain yang harus diperhatikan pemerintah. Faktor-faktor lain
tersebut sering disebut dengan faktor demografi dalam mempengaruhi kesiapan
pelaksanaan kurikulum. Rismiati (2012: 12) menjabarkan faktor demografi antara
lain dukungan dari kepala sekolah, pengalaman menggunakan pembelajaran
tematik, status kepegawaian, jumlah jam training pembelajaran tematik, jumlah
siswa, jumlah rekan guru yang menggunakan tematik, dan pengalaman mengajar.
Faktor demografi yang ada dan dikatakan baik kondisinya, maka diharapkan
dapat ikut memotivasi guru untuk mengimplementasikan kurikulum secara baik.
Sebagai contoh jika terdapat jumlah rekan guru yang mengajar dengan hal dan
jumlahnya banyak maka guru akan semakin termotivasi untuk dapat menerapkan
kurikulum itu secara baik karena guru memiliki teman untuk dapat berbagi dan
belajar dengan rekannya tersebut.
Pembelajaran tematik yang diberlakukan di sekolah dasar terkadang masih
menjadi kendala bagi guru. Adanya guru yang pengalaman mengajarnya kurang
dan pengalaman mengajar tersebut akan memberikan dampak yang negatif kepada
siswa. Dampak negatifnya adalah siswa menjadi kurang paham akan materi yang
diajarkan. Dampak negatif akan bertambah parah apabila anak yang masuk
sekolah dasar tersebut tidak pernah mengalami pengalaman belajar sebelumnya.
Pengalaman yang dimaksudkan ialah saat anak duduk di bangku taman
kanak-kanak (TK). Alasan lain yang menjadi kendala dalam pembelajaran tematik dan
akan dibahas oleh penulis lebih lanjut dalam penelitian ini.
Laporan diskusi dari kajian kurikulum pendidikan dasar (Depdiknas, 2008:
5-6) terindikasi bahwa masih banyaknya kekurangan yang berasal dari pihak guru
untuk melakukan reformasi pendidikan. Kekurangan-kekurangan yang dimaksud
antara lain seperti (1) sebagian besar guru mengalami kesulitan dalam menyusun
Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (tematik) khususnya guru kelas awal sekolah
dasar, (2) guru-guru masih mengalami kesulitan dalam menjabarkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar untuk pemetaan tema, (3) guru masih
(4) kemampuan guru di dalam menyusun pengembangan silabus dari kompetensi
dasar ke indikator masih kurang, (5) sumber daya manusia guru sekolah dasar
kelas awal kurang mumpuni karena kebanyakan berpendidikan diploma II, dan (6)
pemahaman tentang pembelajaran terpadu diantara guru sekolah dasar masih
kurang. Kekurangan dari guru tersebut yang menjadi landasan penelitian ini untuk
dijabarkan lebih lanjut lagi.
Uraian di atas dimaksudkan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai seberapa
tinggi pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas bawah. Tujuan lain dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan implementasi pembelajaran
tematik dilihat dari faktor demografi jumlah siswa dan jumlah rekan yang
menggunakan pembelajaran tematik. Penelitian ini tentang, “Tingkat
Implementasi Pembelajaran Tematik Oleh Guru Pengampu Kelas Bawah: Sebuah
Survei Bagi Guru-Guru Sekolah Dasar Negeri di Kota Yogyakarta”.
B. Batasan Masalah
Penelitian ini untuk meneliti guru-guru kelas I, kelas II, dan kelas III yang
sudah menerapkan pembelajaran tematik pada kurikulum 2006 (KTSP) dan guru
yang dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah reformasi kurikulum. Penelitian
ini juga dibatasi untuk meneliti guru-guru sekolah dasar negeri di wilayah kota
Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini dibatasi untuk dua faktor demografi. Faktor
demografi yang pertama adalah jumlah siswa. Faktor demografi yang kedua
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dari latar belakang masalah maka
penelitian ini mengambil rumusan masalah antara lain:
1. Bagaimana tingkat implementasi pembelajaran tematik oleh guru pengampu
kelas bawah sekolah dasar negeri di kota Yogyakarta?
2. Apakah terdapat perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran
tematik oleh guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota
Yogyakarta ditinjau dari jumlah siswa?
3. Apakah terdapat perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran
tematik oleh guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota
Yogyakarta ditinjau dari jumlah rekan guru yang menggunakan pembelajaran
tematik?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana implementasi pembelajaran tematik oleh guru
pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota Yogyakarta.
2. Mengetahui perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran
tematik oleh guru pengampu kelas bawah sekolah dasar negeri di kota
Yogyakarta ditinjau dari jumlah siswa.
3. Mengetahui perbedaan tingkat implementasi penggunaan pembelajaran
Yogyakarta ditinjau dari jumlah rekan guru yang menggunakan pembelajaran
tematik.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi guru sekolah dasar
Hasil penelitian diharapkan mampu membantu guru untuk melaksanakan
pembelajaran tematik dengan sebaik-baiknya.
2. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal peneliti saat menjadi guru
sekolah dasar.
3. Bagi mahasiswa pendidikan guru sekolah dasar
Hasil penelitian diharapkan dapat membantu mahasiswa pendidikan guru
sekolah dasar untuk mengetahui tingkat implementasi pembelajaran tematik
di sekolah dasar.
4. Bagi institusi
Hasil penelitian diharapkan dapat membantu institusi dalam melihat
kendala-kendala yang dialami oleh semua guru sekolah dasar dan mampu memberikan
F. Definisi Operasional
Berikut definisi operasional yang digunakan dalam penellitian ini:
1. Pembelajaran tematik adalah pendekatan yang mengintegrasikan kompetensi
pembelajaran menggunakan tema untuk mengaitkan mata pelajaran (disebut
juga pembelajaran tematik integratif).
2. Kurikulum adalah seperangkat rencana yang digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
3. Demografi adalah faktor yang dapat mempengaruhi perilaku atau tingkah
laku seseorang.
4. Reformasi adalah perubahan yang dilakukan oleh suatu negara untuk
perbaikan di bidang sosial, politik, dan agama.
5. Implementasi adalah pelaksanaan dari kurikulum yang telah dibuat.
6. Guru kelas bawah adalah seseorang yang mengajar kelas I, II, dan III.
7. Survei adalah kegiatan atau penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi dari sebagian populasi.
8. Jumlah siswa adalah ukuran kelas dengan jumlah siswa kelompok sedikit dan
kelompok banyak.
9. Jumlah rekan guru yang menggunakan pembelajaran tematik adalah ukuran
guru yang sama-sama menggunakan pembelajaran tematik dalam satu
11
BAB II
KAJIAN TEORI
Bab II membahas empat bagian inti yaitu tinjauan teoritik, penelitian yang
relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Tinjauan teoritik dibagi
dalam sub bab reformasi pendidikan secara global, reformasi pendidikan di
Indonesia, reformasi kurikulum di Indonesia, kurikulum 2013 dan kurikulum
2006, pembelajaran tematik, implikasi pembelajaran tematik, karakteristik
pembelajaran tematik, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
kurikulum.
A. Tinjauan Teoritik
Tinjauan teoritik akan membahas sembilan bagian. Bagian pertama reformasi
pendidikan secara global. Bagian kedua reformasi pendidikan di Indonesia.
Bagian ketiga reformasi kurikulum di Indonesia. Bagian keempat kurikulum 2013
dan kurikulum 2006. Bagian kelima pembelajaran terpadu. Bagian keenam
pembelajaran tematik. Bagian ketujuh implikasi pembelajaran tematik. Bagian
kedelapan karakteristik pembelajaran tematik. Bagian yang terakhir yaitu
faktpr-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan reformasi pendidikan.
1. Reformasi pendidikan secara global
Reformasi atau perubahan tidak hanya yang kita ketahui dalam bidang
politik, melainkan reformasi juga terjadi di dunia pendidikan (Suyanto dan
Hisyam dalam Sanaky, 2009: 1). Reformasi merupakan kata kunci di dalam
membenahi tatanan hidup berbangsa dan bernegara termasuk reformasi di bidang
kebutuhan yang muncul di masyarakat dalam bidang pendidikan. Abad ke 19-20,
siapa saja yang tidak bisa memenuhi persyaratan global atau tidak bisa mengikuti
perkembangan jaman akan tersingkir secara sendirinya (Suyanto dan Hisyam
dalam Sanaky, 2009: 1). Jalal dan Supriyadi (2010) menyebutkan bahwa
reformasi pendidikan digunakan untuk mengembangkan sistem pendidikan agar
menjadi lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju. Pengembangan sistem
pendidikan tersebut digunakan untuk memberdayakan segala potensi yang ada di
daerahnya dan partisipasi dari masyarakat. Sistem pendidikan Indonesia perlu
beradaptasi dengan perkembangan era globalisasi. Indonesia juga perlu menjaga
dan mengembangkan jati dirinya.
Perubahan dalam bidang pendidikan dilaksanakan sejak tahun 1998.
UNESCO telah berpendapat bahwa terdapat dua basis landasan. Dua basis
landasan tersebut diantaranya (1) pendidikan harus diletakkan pada empat pilar
yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar hidup dalam kebersamaan,
dan belajar menjadi diri sendiri, (2) belajar seumur hidup (Mulyasa, 2013:2).
Sistem pendidikan mengarah pada orientasi penyediaan sumber daya manusia
yang unggul dalam interaksi dan pergaulan dan pendidikan global. Manusia
diharapkan mampu memberi perubahan pada dunia pendidikan. Manusia yang
memiliki toleransi dan inisiatif yang baik untuk melakukan suatu tindakan
berkaitan dengan perubahan yang terjadi disebut dengan manusia pro aktif
(Sanaky, 2009: 2). Perubahan-perubahan di era global menuntut adanya
untuk memperbaiki sistem pendidikan agar terus berkembang menjadi yang lebih
baik.
2. Reformasi pendidikan di Indonesia
Indonesia diharapkan mampu memajukan kualitas pendidikan jika dilihat dari
kondisi pendidikan secara global. Negara Indonesia sebenarnya kurang siap dalam
menghadapi persaingan global. Tenaga ahli atau sering disebut dengan angkatan
kerja di bidang pendidikan dianggap kurang memadai. Sebanyak 53% angkatan
kerja adalah tidak berpendidikan, berpendidikan dasar sebanyak 34%,
berpendidikan menengah sebanyak 11%, dan berpendidikan tinggi sebanyak 11%
(Boediono dalam Sanaky, 2009: 82). Data yang didapat mengenai angkatan kerja
tersebut, semakin memperjelas bahwa Indonesia kurang mempunyai tenaga kerja
yang kurang memadai.
Kondisi Indonesia yang memasuki era reformasi (Tilaar dalam Sanaky, 2009:
2). Masyarakat Indonesia melakukan perubahan dalam semua aspek termasuk
aspek pendidikan. Era reformasi dianggap mengalami beberapa kendala. Kendala
pertama terdapat pada pendidikan di Indonesia yaitu kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Kesempatan mendapatkan pendidikan masih terbatas
pada tingkat sekolah dasar. Beberapa anak yang tidak mampu ingin bersekolah
namun karena beberapa faktor menjadi tidak bersekolah. Faktor-faktor tersebut
dapat berupa faktor keuangan yang dimiliki keluarga kurang mampu sehingga
anak-anaknya tidak memperoleh pendidikan yang layak, faktor kurangnya layanan
pendidikan untuk usia dini yang masih sangat terbatas jumlahnya, dan lain
Kendala kedua dalam dunia pendidikan Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan dilihat dari prestasi siswa-siswi
Indonesia. Kendala ketiga yaitu rendahnya tingkat relevansi pendidikan terhadap
kebutuhan. Banyaknya lulusan sekolah yang mengganggur menjadi penanda akan
rendahnya relevansi pendidikan terhadap kebutuhan. Terlihat adanya
ketidakserasian antara kebutuhan dunia kerja dan hasil pendidikan. Lulusan
pendidikan tinggi tidak menjamin pekerjaan yang mapan. Tidakserasian tersebut
disebabkan karena kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Kendala keempat yaitu masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional jika dilihat
dari penyebaran guru yang tidak merata dan juga masalah rendahnya anggaran
pendidikan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Era reformasi memiliki tujuan mengembalikan pendidikan pada fungsinya.
Fungsi dari tujuan era reformasai yaitu memberdayakan masyarakat untuk
menjadi lebih maju dan mapan. Begitu pula dengan pendidikan nasional perlu
direformasi untuk mewujudkan visi baru masyarakat Indonesia yaitu masyarakat
madani Indonesia (Tilaar dalam Sanaky, 2009: 3). Masyarakat madani sendiri
berarti masyarakat yang menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Indonesia perlu mewujudkan masyarakat madani dalam hal
pendidikannya.
Masalah-masalah yang telah diuraikan, maka perlu diadakannya reformasi
pada dunia pendidikan. Tujuan dari diadakannya reformasi yaitu terbentuknya
reformasi pendidikan adalah menciptakan manusia yang lebih baik lagi dan
menciptakan manusia yang memiliki kualitas yang lebih tinggi lagi.
3. Reformasi kurikulum di Indonesia
Kurikulum merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan
sekaligus digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan proses belajar
mengajar pada berbagai jenis dan tingkat sekolah (Dikti, 2012). Indonesia sendiri
sudah sembilan kali melakukan perubahan akan kurikulum pendidikannya.
Perubahan kurikulum dilakukan dalam rangka menyempurnakan sistem
pendidikan karena dinilai kurang dalam kawasan Asia. Trianto (2010: 54–71)
menjelaskan bahwa kurikulum berubah dari masa ke masa.
Awal orde lama, Indonesia menggunakan kurikulum dengan nama rencana
pelajaran 1947. Kurikulum ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar di sekolah dengan jumlah mata pelajaran untuk sekolah rakyat atau
yang sekarang sering disebut dengan Sekolah Dasar (SD) yaitu 16 bidang studi.
Perubahan di masa orde lama terjadi lagi menjadi rencana pelajaran terurai 1952.
Silabus mata pelajaran untuk kurikulum 1952 jelas dan seorang guru hanya
mengajar satu mata pelajaran (Muzamiroh, 2013: 42). Kurikulum ini sudah
mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Kurikulum 1952 terlihat
menonjol pada setiap rencana pelajaran yang harus memperhatikan isi pelajaran
yang telah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari atau kontekstual.
Setelah masa orde lama kemudian masuk ke orde baru. Masa ini terjadi empat
kali perubahan pada kurikulum (Trianto, 2010: 56). Perubahan itu mulai dari
kurikulum 1994. Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan pengorganisasian
materi pelajaran. Pendekatan pengorganisasian materi pelajaran berarti
mengelompokkan suatu pelajaran yang berbeda dan dilakukan secara korelasional.
Korelasi antar mata pelajaran diharapkan dapat memudahkan siswa untuk belajar,
tetapi batas antar mata pelajaran masih terlihat jelas dan juga belum terkait erat
dengan keadaan nyata. Kurikulum 1968 tercipta dikarenakan di tahun 1965
terjadi peristiwa Gerakan 30 September yang menandai berakhirnya masa orde
lama. Gerakan 30 September banyak memberikan pengaruh di berbagai bidang,
terutama di bidang pendidikan. Kurikulum 1968 mempunyai tujuan untuk
menciptakan masyarakat sosialis Indonesia (Trianto, 2010: 56). Masa ini lebih
ditekankan untuk membentuk manusia Pancasila.
Kurikulum selanjutnya yaitu kurikulum 1975. Setiap bidang studi
mencantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan
mencantumkan tujuan instruksional khusus. Selama proses pembelajaran
berlangsung, guru berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat tercapai.
Setelah mata pelajaran atau pokok bahasan selesai, kemudian guru menyajikan
metode penyampaian santun bahasa yang sering disebut dengan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). PPSI dibuat satuan pelajaran yang
berupa rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Kurikulum ini menganut
pendekatan integrative atau setiap mata pelajaran memiliki arti dan peranan yang
dapat menunjang akan tercapainya tujuan yang lebih integratif. Kurikulum 1975
Berakhirnya kurikulum 1975, kemudian masuk ke kurikulum 1984 atau
sering disebut sebagai kurikulum keterampilan proses. Kurikulum 1984
mengusung process skill approach, yang sejalan dengan tuntutan Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) tahun 1983. Pendidikan harus mencetak siswa yang
kreatif, bermutu, dan efisien kerja. Process skill approach atau pendekatan
keterampilan proses adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
proses belajar, aktivitas, dan kreativitas siswa dalam memperoleh pengetahuan,
nilai, dan sikap, serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2013:
99). Kurikulum ini memposisikan siswa sebagai subjek belajar (Trianto, 2010:
60). Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Perubahan
tersebut didasarkan bahwa kurikulum merupakan suatu wadah atau tempat proses
belajar mengajar berlangsung secara dinamis. Ciri dari kurikulum ini yaitu
berorientasi pada tujuan instruksional. Menggunakan pendekatan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA), yaitu pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk dapat terlibat secara aktif baik dalam hal fisik, mental,
maupun intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh
pengalaman belajar secara maksimal (dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor).
Kurikulum yang terakhir pada masa orde baru yaitu kurikulum 1994.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan dari kurikulum 1984 dan
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Kurikulum ini diubah dari sistem semester ke sistem
dalam satu tahun menjadi tiga tahap. Perubahan tersebut diharapkan dapat
memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran lebih
banyak.
Setelah masa orde baru berakhir lalu berlanjut ke masa reformasi. Pada masa
ini terjadi tiga kali pergantian kurikulum, yakni kurikulum 2004 atau Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK), kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), dan kurikulum 2013. Depdiknas (2008) menjelaskan bahwa
kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum ini
memfokuskan pemerolehan kompetensi tertentu yang dilakukan oleh siswa.
Kurikulum berbasis kompetensi diciptakan sebagai jawaban yang berasal dari
berbagai kritikan masyarakat terhadap kurikulum 1994. Secara yuridis, kurikulum
ini tercipta sebagai respon dari adanya tuntunan reformasi. Tuntutan tersebut
diantaranya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
diubah menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004, dan Undang-undang No. 25
tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai
daerah otonom yang telah diubah dengan Undang-undang No. 33 tahun 2004, dan
Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional (Trianto,
2010: 63–64). Tabel 2.1 berikut menunjukkan keunggulan KBK apabila
Tabel 2.1
Keunggulan KBK dengan Kurikulum 1994
Subjek Kurikulum 1994 KBK
Utama Penguasaan materi Hasil belajar dan kompetensi Paradigma
pembelajaran
Tidak terdapat paradigma pembelajaran
Versi UNESCO: belajar mengetahui, belajar untuk bertindak, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi diri sendiri Silabus Disamakan dengan sekolah lain Silabus menjadi tanggung jawab guru Jumlah jam pelajaran 40 jam per minggu 32 jam per minggu, namun jumlah mata
pelajaran belum bisa dikurangi Metode pembelajaran Keterampilan proses Tercipta metode pembelajaran PAKEM
(Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) dan CTL (Contextual Teaching Learning)
Sistem penilaian Terfokus pada aspek kognitif Pemaduan keseimbangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan
menekankan nilai yang berbasis kelas pada penilaiannya
Sumber: Trianto (2010:64)
Tabel 2.1 menunjukkan keunggulan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) dengan kurikulum 1994. Terlihat bahwa KBK lebih memadukan
keseimbangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta lebih menekankan
metode Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Kurikulum ini hanya berlaku sampai tahun 2006.
Berakhirnya kurikulum 2004 kemudian digantikan dengan kurikulum 2006
atau yang sering dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
KTSP merupakan kurikulum operasional yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan dengan memperhatikan karakteristik dan perbedaan daerah
(desentralistik). Salah satu ciri-ciri dalam kurikulum ini yaitu berorientasi pada
hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman, yang menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa, dan salah satu kurikulum yang penilaiannya
menekankan proses dan hasil belajar dalam upaya penugasaan atau pencapaian.
Trianto (2010: 66) menjelaskan bahwa kurikulum 2006 atau KTSP sama
penegas KBK. Kurikulum 2006 dikembangkan sebagai upaya untuk mewujudkan
sekolah yang efektif, produktif, dan berprestasi. Kurikulum ini bertujuan untuk
memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui kewenangan
kepada lembaga pendidikan. Sistem yang digunakan oleh masing-masing sekolah
dasar adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum terakhir yaitu kurikulum 2013. Penelitian ini berlangsung pada
saat diterapkannya kurikulum 2013 di Indonesia dan belum sepenuhnya
digunakan di sekolah-sekolah. Belum diterapkannya kurikulum 2013 karena
kurikulum 2013 ini termasuk kurikulum yang sulit untuk diterapkan.
Pengembangan kurikulum 2013 merupakan bagian dari strategi meningkatkan
pencapaian pendidikan (Majid, 2014). Terdapat pro dan kontra terhadap
kurikulum ini. Kurikulum ini menggunakan pembelajaran tematik. Pembelajaran
tematik berarti antar mata pelajaran dinaungi oleh suatu tema.
Tabel 2.2
Reformasi Pendidikan di Indonesia
Masa Nama
Kurikulum
Keunggulan Perubahan
Orde lama Rencana pelajaran 1947
1. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar 2. Jumlah mata pelajaran untuk tiap
tingkatan berbeda-beda
1. Sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional
2. Setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang
Orde baru Kurikulum 1968 1. Mengelompokkan suatu pelajaran yang berbeda dan dilakukan secara korelasi
2. Batas antar mata pelajaran masih terlihat jelas dan belum terikat dengan keadaan nyata
Ditandai dengan pendekatan pengorganisasian materi.
Kurikulum 1975 1. Setiap bidang studi mencamtumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada pokok bahasan dicantumkan tujuan instruksional khusus
2. Setelah mata pelajaran atau pokok bahasan selesai, guru lalu menyajikan metode penyampaian santun bahasa 3. Menekankan pada efektivitas dalam
hal daya dan waktu 4. Berorientasi pada tujuan 5. Menganut pendekatan integrative
atau setiap mata pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang akan tercapainya tujuan yang lebih integrative
2. Kurikulum merupakan suatu wadah atau tempat proses belajar mengajar yang berlangsung secara dinamis 3. Berorientasi pada tujuan
instruksional
4. Menggunakan cara belajar siswa aktif (CBSA)
5. Melibatkan siswa secara aktif dalam hal fisik, mental, intelektual, dan emosional
Kurikulkum 1994 1. Dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional 2. Menggunakan sistem catur wulan
yaitu pembagian dalam satu tahun menjadi tiga tahap
Masa Nama
1. Siswa terlibat secara aktif 2. Siswa menemukan sendiri hal-hal
yang berkaitan dengan materi 3. Berorientasi pada hasil belajar
(learning out comes) dan keberagaman
Kurikulum 2013 1. Menggunakan pembelajaran tematik 2. Mengaitkan antar mata pelajaran
yang satu dengan yang lain menggunakan tema
3. Ada beberapa mata pelajaran yang dihapus
4. Perpindahan antar materi terjadi secara halus
Tabel 2.2 menunjukkan adanya reformasi pendidikan di Indonesia. Reformasi
terjadi pada perubahan kurikulum dari masa orde lama hingga masa reformasi.
Setiap kuikulum memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Setiap perubahan yang
dilakukan adalah penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya.
4. Kurikulum 2013 dan kurikulum 2006
Kurikulum 2013 berbeda dengan kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum
2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Mulyasa (2013: 169)
menjelaskan beberapa perbedaan kurikulum 2006 dengan kurikulum 2013. Tabel
Tabel 2.3
Perbedaan Esensial Kurikulum 2006 dengan Kurikulum 2013
Kurikulum 2006 Kurikulum 2013
Mata pelajaran tertentu mendukung kompetensi tertentu
Tiap mata pelajaran mendukung semua kompetensi yang meliputi kognitif, afektif dan psikomotorik
Mata pelajaran disusun secara sendiri dan mempunyai kompetensi sendiri
Mata pelajaran disusun saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya dan juga mempunyai kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas.
Bahasa Indonesiasejajar dengan mata pelajaran yang lain
Bahasa Indonesia sebagai penghubung mata pelajaran lain.
Setiap mata pelajaran diajarakan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda
Semua mata pelajaran dilakukan dengan pendekatan yang sama
Tiap jenis konten pembelajaran diajarkan terpisah Bermacam-macam jenis konten pembelajaran diajarkan terpadu antara yang satu dengan yang lainnya
Konten ilmu pengetahuan diitegrasikan dan dijadikan penggerak pembelajaran yang lainnya.
Tematik untuk kelas bawah (I. II. dan III) Tematik Integratif untukkelas I, II,II dan IV
Sumber: Mulyasa (2013: 169)
Tabel 2.4 menunjukkan bahwa kurikulum 2013 lebih banyak memiliki
keunggulan dibandingkan kurikulum 2006. Kurikulum 2013 menekankan pada
kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa. Kurikulum 2006 menekankan pada
pembelajaran tematik yang diajarkan pada kelas I, II, dan III, sedangkan pada
kurikulum 2013 diajarkan dari kelas I hingga kelas VI.
Mulyasa (2013: 163–164) mengatakan bahwa kurikulum 2013 diharapkan
dapat menghasilkan manusia yang produktif, kreatif, dan inovatif. Perubahan
kurikulum dianalisis oleh berbagai pihak dan dilihat untuk menerapkan kurikulum
berbasis kompetensi dan berbasis karakter. Kurikulum 2013 menekankan pada
pendidikan karakter, terutama pada tingkat dasar yang menjadi pondasi bagi
sikap dan kemampuan yang sesuai dengan tuntunan teknologi. Orientasi
kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara
kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge)
(Majid, 2014).
Kurikulum 2013 memiliki tiga keunggulan. Pertama kurikulum 2013
menggunakan pendekatan yang bersifat alamiah (kontekstual). Pendekatan yang
bersifat alamiah (konstektual) disebabkan fokus dari kurikulum ini terdapat pada
pengembangan berbagai kompetensi peserta didik sesuai dengan potensi yang
dimiliki masing-masing. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada siswa, karena
siswa merupakan subjek belajar yang secara aktif menggali dan mengalami proses
belajar bukan karena transfer pengetahuan.
Keunggulan kedua yaitu kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang berbasis
karakter dan kompetensi. Karakter dan kompetensi ini mendasari pengembangan
kemampuan-kemampuan lainnya. Kemampuan yang berkembang tidak hanya
kemampuan dalam bidang akademik tetapi kemampuan bersosialisasi siswa dapat
berkembang. Keuntungan yang terakhir adalah pada bidang studi atau mata
pelajaran tertentu yang lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi terutama
yang berkaitan dengan keterampilan. Keunggulan-keunggulan tersebut
menjelaskan bahwa kurikulum 2013 mengembangkan kemampuan siswa bukan
hanya dalam bidang akademik tetapi juga dalam hal sosialisasi dengan
Mulyasa (2013: 64-65) mengatakan terdapat tiga landasan pengembangan
Kurikulum 2013. Landasan-landasan tersebut yaitu landasan filosofis, landasan
yuridis, dan landasan konsteptual seperti yang dijelaskan pada tabel 2.4.
Tabel 2.4
Landasan Pengembangan Kurikulum 2013
Landasan Filosofis Landasan Yuridis Landasan Konseptual a. Filosofis Pancasila
b. Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
c. Instruktur Presiden (INPRES) No. 1 Tahun 2010, tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional, penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
Tabel 2.4 menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum 2013 dilaksanakan
berdasar landasan pada tabel. Landasan-landasan tersebut tidak bersumber dari
peraturan pemerintah saja namun juga bersumber pada nilai-nilai luhur yang
berlaku di masyarakat. Landasan lain terdapat pada teori para ahli dalam bidang
pendidikan. Pengembangan kurikulum 2013 mempunyai tujuan yang baik untuk
sistem pendidikan di Indonesia agar memiliki arah yang jelas dalam usahanya
mendidik siswa.
Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebelum
dicanangkannya kurikulum 2013. Perubahan dan pengembangan kurikulum harus
dilaksanakan secara sistematis dan harus memiliki arah yang jelas. Trianto (2010:
satuan pendidikan (KTSP) dapat diartikan sebagai sebuah pandangan baru dalam
pengembangan kurikulum. Pandangan baru tersebut memberikan otonomi kepada
satuan pendidikan untuk melibatkan masyarakat dalam pengefektifan belajar
mengajar di sekolah.
Trianto (2010: 67) mengatakan ada tujuh prinsip dalam pengembangan
KTSP, antara lain (1) berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dengan lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3)
tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4)
berkaitan dengan kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan;
(6) long life education; dan (7) seimbang antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah. Ketujuh prinsip dalam pengembangan KTSP tersebut
digunakan sebagai landasan penerapan kurikulum di Indonesia.
5. Pembelajaran terpadu
Pembelajaran terpadu akan membahas tiga pokok bahasan. Pokok bahasan
yang pertama yaitu pengertian pembelajaran terpadu. Pokok bahasan yang kedua
yaitu pengertian pembelajaran terpadu. Pokok bahasan yang terakhir yaitu
model-model pembelajaran terpadu.
a. Pengertian pembelajaran terpadu
Prastowo (2013: 106) mengartikan pembelajaran terpadu adalah suatu
pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan beberapa aspek,
baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran. Tujuan dari
perpaduan ini yaitu siswa mampu mendapatkan pengetahuan maupun
pembelajaran menjadi bermakna. Sukayati (dalam Prastowo, 2013: 106)
menjelaskan bahwa bermakna yang dimaksud adalah siswa dapat memahami
konsep-konsep yang dipelajari melalui pengalaman langsung dan pengelaman
nyata. Pemahaman konsep tersebut menghubungkan antara konsep dalam intra
mata pelajaran maupun antar mata pelajaran.
Trianto (2013: 147-148) menjelaskan bahwa pembelajaran terpadu
merupakan model pembelajaran untuk implementasi kurikulum terpadu
(integrated curriculum approach). Strategi pembelajaran pendekatan kurikulum
terpadu memiliki tujuan untuk menciptakan atau membuat proses pembelajaran
secara relevan maupun bermakna bagi siswa. Pembelajaran terpadu memiliki
fungsi sebagai tempat beberapa pokok bahasan dan beberapa mata pelajaran yang
mempunyai keterpaduan pemahaman. Kurikulum terpadu yang dikemukakan oleh
Prastowo (2013: 107).
“Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut kurikulum terpadu yaitu
kurikulum interdisipliner. Kurikulum interdisipliner didefinisikan sebagai
organisasi kurikulum yang melintasi batas-batas mata pelajaran untuk
berfokus pada permasalahan kehidupan yang komprehensif atau studi luas
yang menggabungkan berbagai segmen kurikulum ke dalam asosiasi yang
bermakna”.
Humphreys (dalam Indrawati, 2009: 17) mengartikan pembelajaran terpadu
adalah studi dimana para siswa dapat mengeksplorasi pengetahuan mereka dalam
berbagai mata pelajaran yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu di lingkungan
pelajaran yang dipusatkan pada suatu masalah atau topik tertentu, misalnya suatu
masalah diangkat menjadi suatu topik dan semua mata pelajaran dirancang untuk
mengacu pada topik tertentu. Kurikulum semacam ini dilaksanakan melalui
pelajaran unit dan setiap unit memiliki tujuan yang mengandung makna bagi
siswa. Setiap tujuan yang mengandung makna dituangkan dalam bentuk masalah.
Apapun yang guru jelaskan di kelas sama dengan kejadian di lingkungan siswa.
Anak belajar untuk aktif mencari pengetahuannya sendiri.
b. Ciri-ciri pembelajaran terpadu
Karli (dalam Indrawati, 2009: 22) menjelaskan ada beberapa ciri-ciri
pembelajaran terpadu, yaitu: (1) Holistik berarti suatu peristiwa yang menjadi
pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu dikaji dari beberapa bidang studi
sekaligus untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi; (2) Bermakna berarti
keterkaitan antara konsep-konsep lain akan menambah kebermaknaan konsep
yang dipelajari dan diharapkan mampu menerapkan perolehan belajar untuk
memecahkan masalah-masalah nyata di dalam kehidupan; (3) Aktif berarti
pembelajaran terpadu dikembangkan melalui pendekatan diskoveri-inkuiri.
Peserta didik terlibat secara aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun
pengetahuan.
c. Model-model pembelajaran terpadu
Fogarty (dalam Prastowo, 2013: 109-117) menjelaskan ada sepuluh model
pembelajaran terpadu, antara lain: pertama,model penggalan (fragmented). Model
penggalan ditandai dengan pemanduan yang hanya terbatas untuk satu mata
Kedua, model keterhubungan (connected). Hal yang mendasari model
keterhubungan adalah butir-butir pembelajaran dapat dipadukan oleh induk mata
pelajaran. Trianto (2013: 111) menjelaskan keunggulan model keterhubungan
ialah konsep-konsep utama saling terhubung, mengarah pada pengulangan
(review), rekonseptualisasi, dan asimilasi gagasan dalam suatu disiplin ilmu.
Kelemahan dari model ini ialah disiplin ilmu yang tidak berkaitan dan konten
tetapberfokus pada satu disiplin.
Ketiga, model sarang (nested). Model sarang adalah keterpaduan dari
berbagai bentuk penguasaan konsep keterampilan melalui sebuah kegiatan
pembelajaran. Trianto (2012: 45) menyebutkan ada tiga tahap yang dilalui dalam
setiap pembelajaran terpadu yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan
tahap evaluasi. Keterampilan sosial, berpikir, dan konten (contents skill) dicapai
dalam satu mata pelajaran (subject area). Kelebihan model sarang adalah dalam
waktu bersamaan dapat memberi perhatian pada berbagai mata pelajaran yang
berbeda dalam waktu bersamaan. Kekurangan dari model ini adalah siswa
menjadi bingung dan kehilangan arah mengenai konsep-konsep utama dari suatu
kegiatan atau pelajaran.
Keempat, model urutan atau rangkaian (sequenced). Model urutan atau
rangkaian merupakan pemaduan dari topik-topik antar mata pelajaran yang
berbeda secara paralel. Topik-topik antar mata pelajaran dipadukan
pembelajarannya pada alokasi yang sama. Kelebihan model urutan ialah mampu
memfasilitasi pertukaran pembelajaran dari beberapa mata pelajaran.
yang tinggi. Guru-guru lebih sedikit memiliki otonomi dalam mengurutkan
(merancang) kurikulum.
Kelima, model bagian (shared). Model bagian merupakan bentuk pemaduan
pembelajaran akibat adanya kelebihan konsep atau ide pada dua mata pelajaran
atau lebih. Kelebihan model bagian adalah adanya pengalaman instruksional
bersama dan dengan dua orang guru di dalam satu tim akan lebih mudah
berkolaborasi (Trianto, 2013: 111). Kelemahan model bagian adalah
membutuhkan banyak waktu, komitmen, dan kompromi.
Keenam, model jaringan laba-laba (webbed). Model jaringan laba-laba ialah
model pemaduan yang paling populer. Trianto (2012: 21) mengartikan model
jaring laba-laba ialah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan
tematik. Pemaduan dilakukan menggunakan pembelajaran tematik. Tema dapat
digunakan untuk mengikat kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran
maupun antar mata pelajaran. Kelebihan model jaringan laba-laba ialah dapat
memberikan motivasi siswa dan membantu siswa melihat hubungan antar
gagasan. Kelemahannya ialah tema yang digunakan harus dipilih secara selektif
dan relevan dengan konten.
Ketujuh, model galur (threaded). Model ini merupakan model pemaduan
bentuk keterampilan. Kelebihan dari model galur adalah siswa mampu
mempelajari cara belajar dan memfasilitasi trnsfer pertukaran selanjutnya.
Kelemahan dari model galur tidak ada.
Kedelapan, model keterpaduan (integrated). Model keterpaduan merupakan
memiliki arti yang sama sebagai sebuah topik tertentu. Kelebihan model
keterpaduan adalah mendorong siswa untuk melihat hubungan diantara
disiplin-disiplin ilmu. Kelemahan dari model ini adalah membutuhkan tim antar bidang
studi yang memiliki pereencanaan dan waktu pengajaran yang sama.
Kesembilan, model celupan (immersed). Model ini dirancang untuk dapat
membantu siswa dalam hal menyaring dan memadukan berbagai pengalaman
maupun pengetahuan. Siswa memadukan apa yang sudah dipelajarinya dengan
cara memandang seluruh pembelajaran melalui bidang yang disukai. Kelebihan
model celupan adalah keterpaduan berlangsung di dalam siswa itu sendiri.
Kelemahan model celupan adalah dapat mempersempit fokus dari siswa.
Kesepuluh, model jaringan (networked). Model jaringan merupakan
pemaduan pembelajaran yang mengandaikan kemungkinan perubahan konsepsi,
bentuk pemecahan masalah, dan tuntutan bentuk keterapilan baru. Siswa
melakukan proses pemaduan topik yang dipelajari melalui sumber-sumber ahli
dan sumber daya yang ada. Kelebihan dari model ini adalah pembelajaran bersifat
proaktif, sedangkan kelemahannya adalah dapat memecah perhatian siswa dan
upaya yang dilakukan menjadi tidak efektif.
Prabowo (dalam Trianto, 2013: 112-113) menjelaskan bahwa dari kesepuluh
model pembelajaran tersebut yang layak untuk dikembangkan di sekolah dasar
yaitu model keterhubungan (connected, jaring laba-laba (webbed), keterpaduan
(integrated). Penelitian ini menggunakan pembelajaran tematik yang merupakan
bagian dari jaring laba-laba (webbed). Pembelajaran tematik termasuk ke dalam
sebagai bentuk kegiatan pembelajaran yang terstruktur dengan program satuan
pembelajaran untuk satu pokok bahasan.
6. Pembelajaran tematik
Pembelajaran tematik membahas dua bagian inti. Bagian inti yang pertama
adalah pengertian pembelajaran tematik. Bagian inti yang kedua adalah
keuntungan dan kelemahan pembelajaran tematik.
a. Pengertian pembelajaran tematik
Model pembelajaran tematik menurut Rusman (2010: 249) adalah salah satu
model dalam pembelajaran terpadu (Intregated Instruction) yang merupakan suatu
sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual maupun
kelompok, aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan
secara holistik, bermakna, dan autentik. Tematik diberikan dengan maksud
menyatukan konten kurikulum dalam unit-unit atau satuan-satuan yang utuh dan
membuat pembelajaran terpadu, bermakna, dan mudah dipahami oleh siswa
SD/MI. Trianto (2010: 78) menyebutkan pembelajaran tematik merupakan
pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema-tema tertentu. Pembahasan tema
itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran.
Depdiknas (2008: 6) menjelaskan bahwa pembelajaran tematik lebih
menekankan pada penerapan konsep belajar sambil menghasilkan sesuatu
(learning by doing). Penerapan pembelajaran tematik dapat memberikan
keterhubungan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya dalam
rangka memperbaiki dan meningkatkan kualitas belajar siswa (Rusman, 2010:
pembicaraan. Tema tersebut memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
Depdiknas (2008: 12) mengatakan bahwa rambu-rambu pembelajaran tematik
antara lain: (1) Tidak semua mata pelajaran harus dipadukan; (2) Dimungkinkan
terjadi penggabungan kompetensi dasar lintas semester; (3) Kompetensi dasar
yang tidak dapat dipadukan, jangan dipaksakan untuk dipadukan. Kompetensi
dasar yang tidak diintegrasikan dibelajarkan secara tersendiri; (4) Kompetensi
dasar yang tidak tercakup pada tema tertentu harus tetap diajarkan baik melalu
tema lain maupun disajikan secara tersendiri; (5)Kegiatan pembelajaran
ditekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta penanaman
nilai-nilai moral; (6) Tema-tema yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik
siswa, minat, lingkungan dan daerah setempat.
Rambu-rambu pembelajaran tersebut yang menjadi landasan dalam
pembelajaran tematik. Guru yang akan mengajarkan pembelajaran tematik
diharapkan dapat mempertimbangkan rambu-rambu pembelajaran. Pertimbangan
yang dilakukan guru akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan strategi pembelajaran yang lebih bervariasi.
b. Keuntungan dan kelemahan pembelajaran tematik
Rusman (2010: 258) mengemukakan beberapa manfaat dari penggunaan
pembelajaran tematik, antara lain: pertama, penggabungan beberapa kompetensi
dasar dan indikator serta isi mata pelajaran akan terjadi penghematan, karena
tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkam dihilangkan. Kedua, siswa dapat
melihat hubungan-hubungan yang bemakna sebab isi/materi pembelajaran lebih