• Tidak ada hasil yang ditemukan

Palm. Journal. Analisis Isu Strategis Sawit Vol. II, No. 34/09/2021 ASAL USUL LAHAN PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA DAN POLEMIK DEFORESTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Palm. Journal. Analisis Isu Strategis Sawit Vol. II, No. 34/09/2021 ASAL USUL LAHAN PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA DAN POLEMIK DEFORESTASI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ASAL USUL LAHAN PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA DAN POLEMIK DEFORESTASI

Oleh PASPI-Monitor

RESUME

Perkembangan perkebunan sawit yang sangat signifikan selama tiga puluh tahun terakhir, menimbulkan prasangka yang memojokkan dengan mengaitkan perkebunan sawit dengan deforestasi maupun hilangnya biodiversitas. Untuk meng-counter isu negatif tersebut, studi terkait asal usul lahan perkebunan sawit dilakukan oleh Gunarso et al. (2013) untuk tahun 1990-2010 dan kemudian dilanjutkan oleh Suharto et al. (2019) untuk periode tahun 2010-2018. Studi tersebut mengunakan data-data land use change dari potret citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Hasil studi terkait asal usul lahan kebun sawit Indonesia menunjukkan sekitar 62 persen berasal dari degraded land (degraded forest, schrubs, bare land) serta sekitar 37 persen dari lahan pertanian, perkebunan dan agroforestry. Oleh karena itu, tuduhan yang menyatakan bahwa deforestasi disebabkan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia adalah tidak berlandaskan fakta dan data.

Faktanya adalah perkebunan sawit Indonesia bukanlah fenomena deforestasi, justru sebaliknya merupakan fenomena restorasi sosial, ekonomi, dan ekologis. Penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia bukanlah ekspansi kebun sawit, tetapi adalah pengembangan lahan pertanian, kebijakan transmigrasi (pada masa kolonial Belanda dan Orde Baru), kebakaran hutan, dan HPH

Polemik deforestasi yang menuding ekspansi kebun sawit di Indonesia sebagai deforestasi, disebabkan karena adanya perbedaan definisi hutan, definisi deforestasi dan sejarah deforestasi yang dianut peneliti, lembaga maupun NGO. Terdapat sekitar 1600 pengertian hutan yang dianut negara- negara dunia, dan lembaga multinasional. Perbedaan definisi hutan tersebut menimbulkan perbedaan melihat perubahan hutan termasuk deforestasi.

Palm ’ Journal

Analisis Isu Strategis Sawit Vol. II, No. 34/09/2021

(2)

PENDAHULUAN

Perkebunan sawit Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni dari sekitar 1.1 juta tahun 1990 menjadi sekitar 16.3 juta hektar tahun 2020 atau meningkat sekitar 15 juta hektar dalam kurun waktu 30 tahun. Pertumbuhan perkebunan sawit yang demikian cepat dikategorikan sebagai bagian tropical oil crop revolution (Byerlee et al., 2017).

Berbagai isu lingkungan sering dikaitkan dengan ekspansi perkebunan sawit tersebut. Deforestasi dan hilangnya biodiversity dinilai terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit (Koh dan Wilcove, 2008; Wicke et al., 2008, 2009; European commission, 2013; Vijay et al., 2016). Namun maksud dari deforestasi (terms and definition) juga terdapat perbedaan baik antar para ahli, berbeda antar NGO dan berbeda dengan yang dianut di Indonesia.

Fenomena deforestasi dan pembangunan bukanlah isu yang baru tetapi merupakan fenomena normal yang terjadi sejak awal peradaban dan di setiap negara (Walker, 1993; Houghton, 1999; Bhattarai, et al., 2001; Eghli, 2001; Kenan, 2015; Kaplan, 2017; PASPI Monitor, 2021). Oleh karena itu, fenomena ekspansi suatu komoditas yang dikaitkan dengan deforestasi bukan sesuatu yang luar biasa. Jika harus dipersoalkan, apakah ekspansi kebun sawit di Indonesia terkait dengan deforestasi dan hilangnya biodiversitas, maka tergantung pada apa

yang disebut terms and definition dari hutan dan deforestasi. Selain itu, juga tergantung pada asal usul dari lahan kebun sawit itu sendiri.

Oleh karena itu, tulisan dalam makalah ini akan mendiskusikan terkait asal usul lahan kebun sawit Indonesia dan kemudian juga akan didiskusikan mengenai polemik definisi hutan dan deforestasi.

ASAL USUL LAHAN KEBUN SAWIT INDONESIA

Studi terkait asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia telah dilakukan oleh Gunarso et al. (2013) untuk tahun 1990- 2010 dan dilanjutkan oleh Suharto et al.

(2019) untuk periode tahun 2010-2018.

Studi tersebut mengunakan data-data land use change dari potret citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk mengetahui lebih detail terkait asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia, dilakukan sinkronisasi land cover yang terdiri dengan 22 tipe dari mulai hutan tak terganggu (Undisturbed Upland Forest) hingga lahan terlantar (Bare Soil).

Berdasarkan hasil studi tersebut, distribusi asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Distribusi Asal Usul Kebun Sawit Indonesia Periode 1990-2018 Berdasarkan Citra Satelit Landsat (Sumber: Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI)

Undisturbed Upland Forest (0.4 persen) Disturbed Upland Forest (11 persen) Undisturbed Mangrove (0.005persen) Disturbed Mangrove (0.1 persen) Undisturbed Swamp Forest (1 persen) Disturbed Swamp Forest (9 persen) Agroforest & Plantation (27 persen) Upland Shrub & Grasslands (18 persen) Swamp Shrub & Grasslands (13 persen) Intensive Agriculture (10 persen) Bare Soil (10 persen)

Others (1.3 persen)

(3)

Berdasarkan asal usul lahan perkebunan sawit Indonesia menunjukkan bahwa sumber lahan terbesar dari ekspansi perkebunan sawit di Indonesia selama periode 1990-2018 adalah dari degraded land sebesar 61.6 persen. Degraded land ini mencakup upland shrub & grassland, swamp shrub & grassland, disturbed swamp forest, disturbef upland forest, bare soil and others.

Sumber kedua adalah dari lahan pertanian/perkebunan sebesar 37 persen, dimana mencakup intensive agriculture, plantation, dan agroforestry. Sedangkan sisanya yakni sebesar 1.4 persen berasal dari dari hutan tak terganggu atau undisturbed upland forest, undisturbed swamp forest dan undisturbed mangrove.

Sehingga secara keseluruhan, sebesar 98.6 persen asal usul lahan perkebunan sawit Indonesia bukan dari konversi hutan (bukan deforestasi).

Dengan hasil analisis asal usul lahan perkebunan sawit Indonesia tersebut, berhasil membantah hasil studi Wilcove dan Koh (2008) yang menyatakan bahwa terjadi konversi hutan primer dan sekunder menjadi kebun sawit di Indonesia mencapai 56 persen atau 1.7 juta hektar. Studi tersebut juga berhasil meng-counter studi Fitzherdbert et al. (2008) yang menyatakan deforestasi akibat konversi hutan menjadi kelapa sawit diperkirakan sebesar 16 persen, serta studi Wicke et al., 2011 yang menyebutkan dari 9.7 juta deforestasi yang terjadi selama 1997-2003 sekitar 27 persen (2.6 juta hektar) menjadi kebun kelapa sawit. Ketiga studi yang menyebutkan asal usul lahan perkebunan sawit merupakan hasil deforestasi adalah studi yang tidak didukung data-data yang valid.

Berbagai studi lainya juga menunjukkan bahwa deforestasi yang terjadi di Indonesia tidak berkorelasi positif secara langsung dengan ekspansi perkebunan sawit (PASPI, 2017; Roda, 2019). Penyebab deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia bukanlah ekspansi kebun sawit, tetapi disebabkan tiga faktor berikut, yaitu: (Vadya, 1999; Gunarso et al., 2013; Santosa et al., 2020).

Pertama, kebijakan transmigrasi sejak zaman Kolonial Belanda (1905-1940) yang kemudian dilanjutkan pada periode 1969- 2000, dimana kebijakan ini telah berhasil mengkonversi hutan seluas 8.94 juta hektar

menjadi areal pertanian dan pemukiman bagi 3.05 juta rumah tangga transmigran.

Kedua, kebijakan HPH (forest concession) yang dimulai sejak awal tahun 1970-an dan berimplikasi pada terdegradasinya hutan di Sumatera mencapai 6.7 juta hektar dan di Kalimantan 8.5 juta hektar selama periode 1985-1997. Dan Ketiga, kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983 mencapai 3.6 juta hektar dan tahun 2011 seluas 2.6 juta hektar.

Hutan-hutan eks HPH yang telah rusak dan eks-kebakaran hutan kemudian menjadi degraded land (shrubs, bare land).

Dikemudian hari untuk meningkatkan kemanfaatan lahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, degraded land tersebut dialokasikan pemerintah menjadi areal Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun areal perkebunan termasuk kebun sawit. Dengan demikian, lahan perkebunan sawit di Indonesia bukanlah hasil dari fenomena deforestasi secara langsung.

Dengan terjadinya perbaikan sosial ekonomi dan ekologis setelah kebun sawit dibandingkan sebelumnya (degraded land), maka land use change menjadi kebun sawit adalah suatu bentuk restorasi sosial, ekonomi, dan ekologis.

PELEMIK DEFORESTASI

Polemik ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia dituding sebagai hasil langsung deforestasi. Hal ini sebagai implikasi dari perbedaan definisi dari hutan dan deforestasi yang dianut para ahli dan NGO (Santosa, 2020).

Ada ratusan definisi hutan dan deforestasi yang dianut oleh negara-negara di dunia yang merupakan kombinasi antara densitas pohon (tree density), tinggi pohon (tree height), tata guna lahan (land use), status legalitas (legal standing) dan fungsi ekologis (Schuck et al., 2002; FAO, 2018).

Studi Lund (2013) menemukan bahwa definisi hutan yang berbeda-beda dari aspek administratif, land cover, land use, land capability serta menemukan hampir 1600 pengertian “forest” dan 240 definisi “tree” di berbagai negara dunia baik pada level lokal, national maupun international.

(4)

Definisi hutan juga berbeda antar negara. Studi Schuck et al. (2002) di daratan Eropa menemukan terms and definition dari forest sangat bervariasi antar negara Eropa.

Jerman mendefinisikan hutan sebagai “sum total of all areas defined as forest, consisting a productives wooded area and non-wooded area”. Sementara Norway mengartikan hutan sebagai “productive forest land (as avarage potensial production higher 1 m3/ha/year) and non-productive forest land (avarage potential production 0.1-1.0 m3/ha/year)”. Sementara itu, Perancis mendefinisikan forest sebagai “have a tree (diametre >7.5 cm), have a crown cover percentage reaching at least 10 percent and there are more 500 steam per hectare that viable trees”.

Di Indonesia, istilah hutan dan kebun digunakan di masyarakat secara bergantian seperti hutan karet atau kebun karet, kebun bambu atau hutan bambu (Soemarwoto, 1992). Definisi formal Hutan dalam UU 41/199 tentang Kehutanan mengartikan

“Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.

Lembaga-lembaga multinasional juga mendefinisikan hutan untuk keperluan institusinya. European Union Renewable Energy Directive (EU RED II) mendefinisikannya sebagai “continuously forested areas, namely land spanning more than one hectare with trees higher than five metres and a canopy cover of more than 30 %, or trees able to reach those thresholds in situ;

land spanning more than one hectare with trees higher than five metres and a canopy cover of between 10 % and 30 %, or trees able to reach those thresholds in situ, unless evidence is provided that the carbon stock of the area before and after conversion is such that.

Sedangkan defisini hutan dari Inter Parlement for Climate Change (IPCC) adalah

“Forest is a minimum area of land of 0.05 – 1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking level) of more than 10 – 30 per cent with trees with the potential to reach a minimum height of 2 – 5 metres at maturity in situ. A forest may consist either of

closed forest formations where trees of various storeys and undergrowth cover a high portion of the ground or open forest. Young natural stands and all plantations which have yet to reach a crown density of 10 – 30 per cent or tree height of 2 – 5 metres are included under forest, as are areas normally forming part of the forest area which are temporarily unstocked as a result of human intervention such as harvesting or natural causes but which are expected to revert to forest”. FAO (2018) juga mendefinisikan hutan sebagai “a forest as land spanning more than 0.5 hectares with trees higher than 5 meters and a canopy cover of more than 10 percent, or trees able to reach these thresholds in situ. It does not include land that is predominantly under agricultural or urban land use”.

Perbedaan definisi tentang hutan juga mempengaruhi pengertian tentang deforestasi. Definisi deforestasi juga bervariasi antar negara atau lembaga mengikuti variasi pengertian hutan yang dianut. Misalnya, World Bank mengartikan

“deforestasi sebagai hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara atau hilangnya tutupan hutan yang tidak menghasilkan kayu”. Sementara United Nations Framework Convention on climate change (UNFCCC) tahun 2001 juga mendefinisikan “deforestasi sebagai konversi hutan yang diinduksi oleh manusia secara langsung ke lahan non hutan”. FAO (2001) juga mendefinisikan “deforestasi sebagai konversi ke penggunaan lahan lain atau pengurangan turup kanopi pohon jangka panjang dibawah ambang batas minimum 10 persen”. Sementara itu, definisi deforetasi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan NO. 30/2009 adalah “perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tak berhutan yang diakibatkan kegiatan manusia”.

Dengan demikian sangat jelas bahwa dengan variasi definisi hutan, juga akan membuat pengertian deforestasi juga bervariasi antar negara. Semak belukar (shrub) di Indonesia yang tidak dikategorikan sebagai hutan di negara- negara tropis, sebaliknya dianggap sebagai hutan jika menggunakan definisi hutan di Eropa. Demikian juga dengan padang rumput savana, yang oleh definisi hutan

(5)

Eropa tidak dapat dikategorikan sebagai hutan, sebaliknya oleh negara-negara Afrika menggolongkan savana sebagai hutan.

Untuk melihat suatu land use change terkait deforestasi, maka perlu dipastikan terlebih dahulu kesamaan definisi hutan yang akan digunakan dengan definisi hutan yang berlaku di suatu daerah. Meskipun banyak yang merujuk pada definisi FAO, namun faktanya definisi tersebut juga tidak digunakan oleh setiap negara bahkan juga tidak pada lembaga multinasional.

KESIMPULAN

Asal usul lahan kebun sawit Indonesia bersumber dari 62 persen degraded land yang terdiri dari degraded forest, schrubs, bare land serta sekitar 37 persen lahan pertanian, perkebunan dan agroforestry.

Oleh karena itu, ekspansi perkebunan sawit di Indonesia bukanlah fenomena deforestasi, melainkan fenomena restorasi sosial, ekonomi, dan ekologis.

Polemik deforestasi yang menuding ekspansi kebun sawit di Indonesia sebagai deforestasi, disebabkan karena adanya perbedaan definisi hutan, definisi deforestasi dan sejarah deforestasi yang dianut peneliti, lembaga maupun NGO.

Terdapat sekitar 1600 pengertian hutan yang dianut negara-negara dunia, dan lembaga multinasional. Perbedaan definisi hutan tersebut menimbulkan perbedaan melihat perubahan hutan termasuk deforestasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bhattarai M, Haming M. 2001. Institution and The Environmental Kuznet Curve for Deforestation : A Cross Country Analysis for Latin America, Africa and Asia. World Development. 29(6): 995- 1010.

Byerlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2017. The Tropical Oil Crop Revolution Food, Feed, Fuel, and Forests. Oxford University Press.

Egli H. 2001. Area Cross Country Studi of the Environmental Kuznet Curve Misleading?

New evidence from time series data to Germany. Universiteit Greifswald.

European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation:

Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation.

[FAO] Food Agricultural Organization. 2012.

State of the World Forest. Rome.

[FAO] Food Agricultural Organization. 2018.

Terms and Definition : Forest Resources Asesment 2020. Food and Agriculture Organization, United of Nations. Rome Fitzzherbert E, MK.Struebug, A Morel, F

Danielsen, CA Bruhi, PF Donald, B.

Phalan. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity?. Trends in Ecology and Evolution. 23(10): 538- 545.

Gunarso P. ME Hartoyo, F Agus, TJ Killeen.

2013. Oil Palm and Land Use Change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. RSPO.

Houghton RA. 1999. Land Use Change and Teristerial Carbon: The Temporal Record in Forest Ecosystem, Forest Management and the Global Carbon Cycles (ed. MJ Apps & D.T. Price).

Kaplan JO. 2017. Constraining the Deforestation History of Europe:

Evaluation of Historical Land Use Scenarios with Pollen-Based Land Cover Reconstructions. Land. 1-20

Keenan RJ. 2015. Dynamics of Global Forest Area: Results from the FAO Global Forest Resources Assessment 2015.

Forest Ecology and Management. 352:9- 20

Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity. Conservation Letters. 1(2).

Lund HG. 2013. Definitions of Forest, Deforestation, Reforestation and Afforestation. [Online report].

Gainesville, VA: Forest Information Services.

Matthew E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High Resolution Data Based for Climate Study. Journal of climate change and applied Meteorology.

22:474-487.

Panayotou T. 2003. Economic Growth and the Environment. Harvard University and Cyprus International Institute of Management.

(6)

[PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2017. Myth and Fact : Indonesia Palm Oil Industry in Socio, Economic and Environment Issues. Bogor PASPI Monitor. 2021. Apakah Deforestasi Merupakan Fenomena Normal dalam Proses Pembangunan. Palm Oil Journal:

Analysis Isu Strategis. 11(3) : 339-344.

Roda JM. 2019. The Geopolitics Of Palm Oil And Deforestation [online]. Avail-able:

https://www.thejakartapost.com/acade mia/2019/07/08/the-geopolitics-of- palm-oil-and-eforestation.html.

Santosa Y. 2021. Sejarah dan Asal Usul Lahan Kebun Sawit di Indonesia. Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup . IPB University.

Santosa Y, A Sunkar. RT Kwatrina. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation? International journal of Oil Palm. 3(1):1-10.

Schuck A, R Paivenan, T Hytonen, B Pajari.

2002. Compilation of Terms and Definitions. European ForestInstitute.

Internal Report No.6, 2002.

Soemarwoto O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Suharto R, F Agus, Y Santosa, T Sipayung. P Gunarso. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energi Directives (EU Directive 2028/2001) dan EU Commission Delegated Regulated 2019/807 Serta Posisi Indonesia.

Vayda AP. 1999. Finding Causes of The 1997- 1998 Indonesian Forest Fires: Problems and Possibilities. WWF Indonesia forest fires project. Jakarta (ID): WWF Indonesia.

Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016.

The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss.

Plos One. 1-19.

Walker. 1993. Deforestation and Economic Development.

Wicke B. 2008. Drivers of Land Use Change and The Role of Palm Oil Production in Indonesia and Malaysia Overview of Past Developments and Future Projections Final Report. Science, Technology and Society Copernicus Institute for Sustainable Development and Innovation Utrecht University.

Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Faaij A.

2011. Exploring Land Use Changes and The Role of Palm Oil Production in Indonesia And Malaysia. Land Use Policy:193-206.

Gambar

Gambar 1.  Distribusi  Asal  Usul  Kebun  Sawit  Indonesia  Periode  1990-2018  Berdasarkan  Citra  Satelit  Landsat  (Sumber:  Badan  Planologi  Kementerian  Lingkungan  Hidup  dan  Kehutanan RI)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah membahas tentang tradisi Barosok di Minangkabau ditemukan penjelasan tentang tradisi Barosok diantaranya: proses terjadinya jual

Perusahaan ini berada dibawah rata-rata untuk setiap kriteria, baik dalam hal volume penjualan, jumlah investasi, total produksi, segmen pasar, usia perusahaan, jumlah tenaga

Evaluasi Ekonomi Kawasan Tambak dan Mangrove Pasca Bencana Lumpur di Muara Sungai Porong Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur.. Tesis: Program Pascasarjana

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Hasil uji sitotoksisitas memperlihatkan bahwa ekstrak metanol tidak bersifat

Dengan adanya pemutusan orang tua angkat dengan anak angkatnya karena anak angkat tersebut, sudah tidak lagi berkedudukan sebagai anak kandung sehingga segala

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Oleh karena itu modifikasi alat tahap III dilakukan terutama pada komponen dianggap bisa berpengaruh terhadap kehilangan hasil dan beban kerja mesin, seperti

Analisis menunjukkan beberapa strategi-strategi pemahaman telah digunakan dalam penyelesaian masalah matematik berperkataan iaitu strategi pemahaman dari segi umum