• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI FIKIH POLITIK KIAI NU TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TAIMUR TAHUN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSI FIKIH POLITIK KIAI NU TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TAIMUR TAHUN 2018"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TAIMUR TAHUN 2018

Disusun Oleh:

Prof. Dr. H. Sahid HM, M.Ag., M.H.

(Ketua)

Drs. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H.

(Anggota)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Warga NU memiliki kebiasaan menghormati kiai. Kiai dalam NU tidak hanya dianggap sebagai kelompok elite tetapi juga dipahami sebagai tokoh yang memiliki kekuatan moral secara proporsional dan komprehensif. Selain itu, kiai ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing jalannya organisasi. Kiai memiliki kewenangan memutuskan hukum-hukum Islam. Kiai adalah panutan keagamaan yang paling otentik untuk diakui dalam mencari jalan kehidupan agama yang benar.1 Keputusan kiai memiliki kekuatan mengikat, harus dipatuhi oleh segenap warga NU. Dalam hal ini, kiai adalah tokoh yang dinilai unik dan memiliki cirikhas khusus.

Studi tentang kiai menarik perhatian berbagai kalangan. Kiai memiliki kelebihan yang luar biasa dibandingkan tokoh lain. Kiai merupakan gelar kultural yang disandang oleh seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang agama Islam. Mereka juga mempunyai peran besar di tengah-tengah masyarakat dalam melakukan perubahan. Oleh karena itu, secara sosiologis kiai sebagai aktor sosial terkadang tidak sama dengan perilaku orang lain dalam menentukan arah politik.

Menurut Miftah Faridl, fenomena perbedaan perilaku sosial politik di kalangan kiai dipengaruhi, minimal dua faktor. Pertama, faktor posisi sosial kiai yang memperlihatkan adanya suatu kekuatan penggerak perubahan masyarakat.

Meskipun secara politis kiai dikategorikan sebagai sosok yang tidak mempunyai

1 Mitsuo Nakamura, The Radical Tradisionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, Juni 1979, Semarang: Notes, 195.

(3)

2

pengalaman dan kemampuan profesional, tetapi secara sosial mampu menjembatani berbagai kepentingan melalui bahasa yang paling mungkin digunakan. Kedua, faktor kekuatan personal yang diwarnai oleh pemikiran teologis yang menjadi dasar perilaku yang diperankannya. Sebagai seseorang yang diidentifikasi memiliki kekuatan kharismatik di tengah-tangah masyarakat, kiai dipandang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menggerakkan masyarakat, khususnya dalam menentukan pilihan-pilihan politik. Dia bukan politisi, tapi kalkulasi politiknya sering dianggap fatwa politik untuk diikuti.2

Gambaran di atas mengilustrasikan bahwa kiai memiliki kecenderungan terlibat dalam politik dan dapat menentukan arah perjalanan politik. Dalam konteks ini, hubungan kiai dan politik ibarat pinang dibelah dua yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berhubungan dan tidak bersifat diametral. Jika dihubungkan dengan NU, secara realistis, kiai NU banyak terlibat dalam politik.

Yang menjadi masalah adalah keterlibatan kiai NU dalam politik praktis yang berhubungan dengan agama serta bangsa dan khitah 1926 yang menjadi landasan politik kebangsaan NU.

Pembahasan negara yang dikaitkan dengan agama dalam konteks NU menjadi satu kesatuan. NU memahami ada relasi antara agama dan negara, terutama dalam konteks negara yang pluralistik. Karena itu, sebagian kiai NU sering memandang Indonesia saat ini tidak ubahnya Madinah di awal kepemimpinan Rasulullah yang memiliki ragam etnik dan pemeluk agama yang berbeda-beda.

2 Miftah Faridl, Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia, Jurnal Sosioteknologi, Edisi 11, Tahun 6, Agustus 2007. Lihat Trianto, Membaca Peta Politik Kiai Nahdlatul Ulama’: Antara Keteguhan Khittah dan Syahwat Politik, dalam Sarung & Demokrasi: Dari NU untuk Peradaban Keindonesiaan (Surabaya: Penerbit Khalista Surabaya Bekerjsama dengan LTN NU Jawa Timur, 2008), 88-89.

(4)

3

Dinamika warga NU yang sekilas tergambarkan dalam pembahasan di atas menunjukkan bahwa ada korelasi antara isu-isu politik kebangsaan dengan teks keagamaan.3 Persoalan menjadi dilematis ketika teks keagamaan dijadikan alat legitimasi politik.4 Pemahaman terhadap teks keagamaan yang mencakup politik menjadi landasan dalam pola berfikir kiai NU atau sebaliknya pemikiran politik kiai NU terlepas dari teks keagamaan.

Percaturan antara Saifullah Yusuf dengan Khafifah Indarparawansa dalam pemilihan Gubernur Jawa Tahun 2018, tidak terlepas dari hubungan politik dan keagamaan. Khafifah yang perempuan dalam konteks agama terkadang dilegitimasi tidak berhak menjadi gubernur, sehingga ada sebagian gerakan dari kiai NU yang tidak mendukung Khafifah. Normativitas agama menjadi landasan untuk tidak mendukung Khafifah. Dalam konteks yang berbeda, Khafifah dianggap oleh sebagian kiai NU layak menjadi gubernur. Ukuran kepemimpinan tidak terletak pada basis jenis kelaki-lakian atau perempuan tapi terimplementasi dalam kemampuan. Dalam konteks ini, teks keagamaan ditafsirkan dengan pemikiran yang kontekstual.

Sejak dicanangkannya Khitah 1926 dalam Muktamar ke-27 Situbondo 1984, NU mengalami perubahan yang cukup berarti. Khitah 1926 bagai titik tolak untuk suatu loncatan yang terus-menerus. Di satu phak, NU telah meninggalkan beban politik praktis yang sebelumnya senantiasa membebani NU. Di lain pihak, NU telah

3 Hilmy Muhammadiyah dan Sulthon Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia (Jakarta: eLSAS, 2004), 139.

4 Ibid.

(5)

4

memberikan nuansa pluralitas dan keterbukaan untuk menerima berbagai informasi.5

Sikap politik terhadap Khitah NU menimbulkan polarisasi pandangan di dalam NU. Ada empat sikap dalam memandang Khitah 1926 yag sama-sama merasa benar.6

1. Kelompok pragmatis. Kelompok ini menilai bahwa Khitah 1926 sebagai rekonsiliasi antara NU dan pemerintah. Mereka memanfaatkan semaksimal mungkin rekonsiliasi hubungan baik antara NU dan pemerintah dengan berbagai cara, baik masuk dalam jalur partai politik, birokrasi maupun mengembangkan lobi dengan para pejabat di semua tingkatan. Oleh karena itu, kelompok ini merasa sesak nafas ketika terjadi ketegangan antara NU dan pemerintah.

2. Kelompok realis. Kelompok ini mencoba memanfaatkan dinamika hubungan NU dan pemerintah untuk mengembangkan masyarakat. NU diupayakan tidak berhadap-hadapan dengan pemerintah dan tidak terjadi permusuhan. Capaian yang diinginkan adalah pengembangan masyarakat.

3. Kelompok idealis. Kelompok ini menginginkan proses yang lineir. Semua elemen dalam NU diupayakan berjalan secara konsisten membangun kekuatan moral dan materiil untuk suatu perubahan sesuai nilai-nilai yang dicanangkan sejak semula, seperti demokrasi, pemerataan ekonomi, clean government, dan sebagainya. Kelompak ini tidak terlalu banyak memanfaatkan hubungan baik

5 Marzuki Wahid et.al., Dinamika NU: Perjalanan Sosial dari Muktamar Cipasung (1994) ke Muktamar Kediri (1999) (Jakarta: Penerbit Harian Kompas Bekerjasama dengan Lakpesdam NU, 1999), 101.

6 Ibid., 101-102.

(6)

5

atau buruk NU dan pemerintah. Mereka lebih melakukan kajian yang bersifat intelektual dan mengembangkan sikap moral yang konsisten. Meskipun demikian, diakui atau tidak, kelompok ini menempati posisi paling strategis untuk masa depan NU.

4. Kelompok ignorance. Kelompok ini acuh terhadap dinamika NU dan tidak peduli terhadap langkah NU di masa depan. Cara berfikir mereka praktis, asal kehidupan pribadi dan keluarganya tidak terganggu oleh NU atau pimpinannya, mereka cukup berbahagia.

Dalam konteks pemilihan Gubernur 2018, kiai NU mungkin terpolarisasi dalam empat pilar di atas. Mereka mampunyai pandangan yang bebeda antara satu dengan yang lain. Mereka mempunyai penafsiran tersendiri tentang Khitah NU berkaitan dengan pemilihan Calon Gubernur. Meskipun demikian, keterlibatan mereka dalam mendukung salah satu calon menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat NU; terjadi paradogsal antara kepentingan politik praktis dan politik kebangsaan. Perspektif fikih kemudian muncul di kalangan kiai NU dengan melakukan pendekaan yang dianggap maslahat untuk kepentingan NU secara khusus dan kepentingan bangsa secara umum.

Berdasarkan realitas di atas, NU sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, secara faktual elite mereka terlibat dalam politik praktis yang secara normatif harus dihindari. Gerakan mereka yang mengarah pada mendukung kepada salah satu pihak, tidak bisa dipahami secara parsial. Mereka memiliki argumentasi dari pemahaman secara sadar yang terimplementasi dari pemahaman keagamaan mereka. Untuk itu, memahami

(7)

6

pandangan kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur yang dihubungakan dengan khitah NU adalah penting.

Khitah NU sebagai reposisi jam‘i>yah di>ni>yah ijtima>‘i>yah ternyata berimplikasi panjang. NU seakan-akan membebaskan diri dari belenggu politik yang menyelimutinya. Dalam perspektif khitah, operasionalisasi jam‘i>yah di>ni>yah ijtima>‘i>yah seharusnya meletakkan organisasi ini sebagai kekuatan masyarakat.

Tugas utamanya adalah pembinaan keagamaan, maba>di’ khaira ummah dan mas}lah}at al-ummah. Untuk itu, NU harus mengedapankan kepedulian sosial ke dalam politik nyata.7

Adanya implikasi politik dari keputusan tersebut dapat dipahami bahwa setting penting lahirnya khitah 1926 adalah pergumulan politik. Keputusan NU keluar dari panggung politik tidak berarti NU berhenti berpolitik. Hal ini justru menjadi haluan politik dari peran operasional secara formal menjadi berpolitik secara informal, tanpa harus menggunakan instrmen partai politik.8 Peran ini tampaknya relevan dengan semangat khitah dan menjadi saluran aspirasi politik, tidak dalam bentuk jabatan melainkan keinginan untuk mewarnai kebijakan.

Jika merujuk pada cara berfikir di atas, percaturan kiai NU dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur yang bernuansa pada bangunan polarisasi NU di tengah pergumulan politik bisa jadi merupakan implikasi khitah NU. Mereka mangganggap penting ikut andil dalam menentukan kelayakan Gubernur Jawa Timur. Polarisasi pemahaman mereka dalam memberikan perspektif tentang pentingnya gubernur menjadi perhatian mereka. Urgensitas tersebut menjadi menarik jika dikaji dalam

7 As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang saya Amati (Jakarta: Penerbt Pustaka LP3ES, 2008), 67-68.

8 Ibid.

(8)

7

perspektif fikih politik yang tentunya bangunan mas}lah}ah dikedepankan atau menghindari hal yang negatif..

Menurut Ali Haidar, dasar pemikiran NU untuk menyikapi gejala sosial politik dilakukan dengan pertimbangan bebearapa kaidah fikih. Kaidah yang pertama ma> la> yudraku kulluh la> yudraku kulluh (kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya). Kaidah yang kedua adalah dar’ al-mafa>sid muqaaddam ‘ala> jalb al-mas}a>lih} (menghindari bahaya didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Kaidah yang ketiga adalah idza>

ta‘a>rad}a mafsadata>ni ru’ya a‘dhamuha> dararan bi irtika>b akhaffihima> (apabila terjadi kemungkinan komplikasi bahaya maka dipertimbangkan bahaya yang paling besar risikonya dengan melakanakan yang paling kecil risikonya). Keempat adalah al-h}ukm yadu>ru ma‘ ‘illatihi> wuju>dan wa ‘adaman (hukum tergantung pada illat dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.9

Perjalanan NU memang tidak bisa dipisahkan dengan politik, baik dalam kaitannya dengan kekuatan politik antar kelompok Islam di tanah air maupun dengan politik di tingkat negara, baik keterlibatan NU sebagai aktor pemain politik maupun sebagai institusi yang secara formal terlibat di dalamnya. Keberadaan kuantitas NU yang tidak sedikit merupakan modal politik yang memperkuat posisi tawar NU ketika berhadapan dengan kekuatan politik lain dan berhadapan dengan pemerintah.10 Terhadap tokoh-tokoh NU yang berpolitik, massa NU juga turut memberi dukungan dalam derajat yang cukup kuat. Dengan peran politik para

9 M. Ali Haidar, Nahd}atul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta:

Penerbit PT Gramedia Pusataka Utama, 1998), 321-323.

10 Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), 67.

(9)

8

tokohnya, orang-orang NU mendapatkan prestise dan kekuasaan yang berimplikasi terhadap pengakuan masyarakat luas akan eksistensi NU di Indonesia. Untuk itu, langkah-langkah taktis kiai dalam politik yang dihubungkan dengan beberapa kaidah fikih atas menjadi urgen untuk dikaji.

Dalam konteks pemilihan Gubernur Jawa Timur, kiai NU yang mendukung calon tertentu relatif akan didukung oleh warga NU. Dukungan ini memperkuat basis kekuatan NU. Problem yang muncul adalah jika calon gubernur sama-sama tokoh NU. Kondisi ini mendeskripsikan bahwa dukungan kiai NU berdampak pada warga NU yang memiliki fanatisme terhadap kiai NU. Munculnya dukungan yang bervariatif terkadang memuncukan gesekan di antara warga NU sendiri. Oleh karena itu, pertimbangan rasional dalam menentukan pilihan bagi kiai dan warga NU sangat penting. Yang menjadi persoalan, pertimbangan rasional yang bisa diterima oleh warga NU selalu terjadi kontroversi. Secara faktual, posisi NU tampaknya dikategorikan sebagai organisasi eksklusif dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan politiknya.

Secara normatif NU bukan organisasi yang eksklusif. Pijakan yang digunakan adalah moderat. Pengembangan moderasi dituangkan dalam konsep tawassut} dan i‘tida>l, yakni langkah lurus dan menghindar dari sikap ekstrem.

Ekstremitas agama berdampak negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ekstremitas agama juga berimplikasi pada pembenaran pandangan sendiri tanpa mempedulikan pandangan orang lain. Dalam konteks ini, kiai NU berupaya mengayomi dan mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran yang berbeda.

(10)

9

Mereka berupaya mempererat dan memperkuat berbagai perbedaan itu dalam suatu wawasan kebangsaan.

Melalui sikap tawassut} dan i‘tida>l, kiai NU beriktikad menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus serta selalu bersifat membangun. Sikap tawassut} yang dikembangkan kiai NU diilhami oleh firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah (2) ayat 143 yang menyebut umat Islam sebagai ummatan wasat}an, sedangkan sikap i‘tida>l disandarkan pada firman Allah dalam surat al-Ma>’idah (5) ayat 8, al-Nah}l (16) ayat 90, dan al-Nisa>’ (4) ayat 58 yang menyerukan berlaku adil.11

Pada tahun 2018, konsep tawassut} dan i’tida>l menjadi pertanyaan di kalangan warga NU dan masyarakat umum. Munculnya dua tokoh NU untuk menjadi Gubernur antara Khafifah Indarparawansa (Mbak Khafifah) sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai Ketua PBNU menjadikan kiai NU terbelah menjadi dua kubu. Satu pihak mendukung Gus Ipul, sedang pihak lain mendukung Khafifah. Percaturan politik tersebut mengaksentuasikan pada konstruksi fikih kiai dalam menentukan pilihan calon gubernur.

Jika ditarik dalam konteks kekuatan, Jawa Timur adalah pusat kekuatan NU.

Warga NU adalah mayoritas berada di Jawa Timur. Dalam lintasan sejarah, Gubernur Jawa Timur tidak pernah dijabat oleh pengurus inti NU. Hal ini adalah wajar jika kiai NU ingin menempatkan tokoh yang paling memiliki kemampuan dalam bidang manajerial. Dalam penentuan pilihan itu, kiai NU memiliki

11 Mujamil Qamar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), 91.

(11)

10

pertimbangan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, perbedaan pilihan terjadi dikalangan NU, yang di antara penyebabnya ukuran kemampuan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dirumuskan tiga masalah yang akan menjadi kajian, yaitu:

1. Bagaimana konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018?

2. Bagaimana tipologi konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018?

3. Bagaimana implikasi konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan Gubernur terhadap masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

Dengan berpijak pada formulasi pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian dalam kajian ini, yaitu:

1. Memahami konstruksi fikih kiai NU Jawa Timur tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018.

2. Menemukan tipologi konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018.

3. Mengetahui implikasi konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan gubernur terhadap masyarakat.

(12)

11 D. Kajian Terdahulu

Studi yang membahas konstruksi fikih politik kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018 belum didapatkan. Studi ini merupakan upaya yang belum disentuh dan diharapkan menjadi wacana dalam diskursus ke-NU-an dalam konteks nasional. Jika dikaji, minimal ada beberapa karya yang berkaitan dengan fikih politik kiai NU, terutama yang berkaitan dengan tipologi. Untuk itu, pemahaman terhadap tipologi kiai adalah penting, terutama yang ditulis oleh para peneliti sebelumnya.

1. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984). Dalam merespon modernisasi, Irsyam membuat tipologi kiai ke dalam dua kategori. Pertama, tipologi idealis, yaitu kiai yang memilih persepsi tentang cara mereka mengkonstruksi jaringan kepentingan dan kekuasaan untuk dikembangkan menjadi kekuatan serta cara mengatur hubungan dengan kekuatan di luar. Kedua, tipologi realis, yaitu kiai yang melihat penataan jaringan kepentingan dan kekuasaan menurut apa adanya dan memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi.

2. Ibn Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial (Jakarta:

Gema Insani Press, 1997). Terkait dengan fungsi kiai bagi masyarakat Jawa pada zaman kolonial Belanda, Ismail membagi kiai pada dua tipologi. Pertama, kiai bebas atau kiai yang memposisikan diri di jalur dakwah dan pendidikan.

Tugas mereka adalah mengajar dan berceramah. Mereka adalah kiai pondok pesantren dan menetap di pedesaan. Kedua, kiai penghulu atau kiai pejabat

(13)

12

yang diangkat oleh pemerintah Belanda. Tugas mereka adalah melaksanakan bidang kehakiman yang menyangkut syariat Islam.

3. Imam Suprayogo, Kyai dan Politik: Membaca Citra Politik Kyai (Malang: UIN Malang Press, 2007). Suprayogo membuat empat tipologi terkait dengan penyikapan kiai terhadap masalah politik, sosial, ekonomi, dan pendidikan.

Pertama, kiai spiritual, yaitu kiai yang hanya mengurus dan mengajar di pesantren serta berkonsentrasi untuk beribadah. Kedua, kiai advokasi, yaitu kiai yang aktif mengajar di pesantren namun dia sangat peduli terhadap persoalan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, kiai politik adaptif, yaitu kiai yang peduli terhadap organisasi politik dan kekuasaan serta dekat dengan pemerintah dan umumnya berafiliasi pada Golkar. Keempat, kiai politik mitra kritis, yaitu kiai yang peduli terhadap organisasi politik, namun mereka kritis terhadap pemerintah. Pada umumnya mereka berafiliasi pada PPP.

4. Mujamil Qamar, NU Leberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2002). Pola-pola pemikiran kiai

NU oleh Qamar dikategorisasi dalam lima tipologi. Pertama, antisipatif, yaitu pola berpikir yang condong menanggapi sesuatu yang sedang dan akan terjadi.

Pola pikir ini mengakui perkembangan yang linier, baik yang terduga maupun tidak terduga. Keunggulan pola pikir ini adalah kemampuan memaknai fenomena dengan ketajaman logik-teoritik, sedangkan ketajaman etiknya mengharapkan perkembangan masa depan. Kedua, eklektik, yaitu pola pemikiran yang berusaha memilih semua yang dianggap terbaik tidak peduli dari aliran mana pun, filsafat mana pun, dan teori mana pun, asal lebih baik

(14)

13

daripada yang lain, itulah yang dipilih. Pemikiran yang berpola eklektik bisa berwujud dengan menyatakan suatu pandangan yang kurang lazim diukur dari kultur orang yang menyatakan pendapat itu sendiri. Pemikiran ini terkadang dianggap janggal diungkap oleh seseorang, bahkan bisa mengandung risiko yang cukup berat. Ketiga, divergen, yaitu pola pikir yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional. Dalam pikiran ini banyak terjadi lompatan- lompatan pemikiran sehingga menonjolkan sifat inovatif. Ciri khas pemikiran ini lebih menonjol kadar liberalismenya daripada ciri-ciri lainnya. Keempat, integralistik, yaitu pola berpikir yang berusaha menyatakan berbagai hal;

mungkin dua hal atau lebih yang seolah-olah berlawanan. Pemikiran ini berusaha menengahi dua hal yang mungkin oleh orang diperhadapkan atau dipertentangkan. Ciri khas pemikiran ini adalah mengkompromikan dua hal yang dipertentangkan. Bagi pemikiran ini, pertentangan itu mungkin dapat dipersatukan. Kelima, responsif, yaitu pola berpikir yang condong memberikan jawaban terhadap problem-problem yang sedang dihadapi umat. Ciri pemikiran ini adalah cepat tanggap, suka merespon, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap fenomena sosial, dan berusaha menawarkan solusi.

5. Warsono, Disertasi: Wacana Politik Kiai pada Era Pemerintahan Gus Dur, Apakah sebagai Intelektual Organik atau Intelektual Tradisional (Surabaya:

Universitas Airlangga, 2003). Warsono melakukan kajian terhadap fungsi kiai dalam menghadapi dominasi negara dalam era pemerintahan Abdurrahman Wahid dengan menggolongkan pada tiga tipologi. Pertama, kiai intelektual organik, yaitu kiai yang terkait dengan struktur produktif dan politik dari

(15)

14

kelompok yang sedang berkuasa. Mereka berfungsi menguniversalkan pandangan kelompok yang berkuasa dalam rangka mengorganisasi kesepakatan kelompok-kelompok subordinat sehingga para penguasa mendapat legitimasi.

Mereka tampil sebagai juru kampanye dari penguasa atau kelompok yang berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dalam rangka menyebarkan dan menanamkan ideologi yang terorganisasi. Kedua, kiai intelektual tradisional, yaitu kiai yang memiliki otonomi dan tidak terkooptasi oleh kelompok yang berkuasa. Mereka menjalankan fungsi untuk menegakkan kebenaran yang diyakininya dan tidak terikat oleh otonomi mana pun kecuali otonominya sendiri. Mereka adalah kiai yang menjaga jarak dengan kekuasaan dan umunya mereka hanya berkonsentrasi mengajar di pesantren dan menjalankan transformasi masyarakat. Ketiga, kiai intelektual simultan, yaitu kiai yang berfungsi sebagai intelektual organik, namun dalam situasi yang lain mereka bisa berubah fungsinya sebagai intelektual tradisional.

6. Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004). Memperhatikan kepemimpinan kiai secara umum dengan memusatkan perhatian pada aspek kultural dan politik, Turmudi membuat tipologi kiai pada empat kategori. Pertama, kiai pesantren, yaitu kiai yang memusatkan perhatian pada aktivitas mengajar di pesantren untuk meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan. Kedua, kiai tarekat, yaitu kiai yang memusatkan aktivitasnya dalam membangun kecerdasan hati. Ketiga, kiai politik, yaitu kiai yang mempunyai perhatian untuk mengembangkan NU dan pada umumnya terlibat dalam dunia politik praktis. Keempat, kiai panggung, yaitu kiai yang

(16)

15

mempunyai perhatian pada dakwah yang hampir setiap hari menyampaikan ceramah agama di berbagai tempat.

7. Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LKiS, 2007). Dalam konteks nasionalisme, Ali Maschan membagi tipologi kiai pada tiga corak. Pertama, corak fundamentalisme, yaitu corak pemahaman keagamaan yang mengarah pada universalisme Islam, formalisasi Islam, model penafsiran agama yang tekstual-normatif-skriptualistik, berlatar belakang pendidikan Timur Tengah. Kedua, bercorak moderat, yaitu corak pemahaman keagamaan yang mengarah pada pandangan Islam substansial, merespon pemikiran lokal, kuatnya gagasan tentang kontekstualisasi ajaran Islam di tengah masyarakat, dan berlatar belakang pendidikan pesantren yang mengedepankan tradisi pemikiran NU. Ketiga, bercorak pragmatis, yaitu pemahaman keagamaan yang cenderung tekstual-normatif-skriptualistik, berlatar belakang pendidikan pesantren yang mengedepankan tradisi pemikiran NU, kemudian melanjutkan studi ke Timur Tengah. Setelah pulang ke Indonesia, secara interaktif pemahaman keagamaan mereka terpadu dengan model pemikiran kontekstualisasi ajaran Islam di masyarakat.

8. Sahid HM, Disertasi: Formalisasi Syariat Islam dalam Konstruksi Kia NU Struktural (Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2008). Dalam disertasi ini, penulis membuat tipologi kiai NU struktural Jawa Timur tentang formalisasi syariat Islam dalam konteks budaya menjadi tiga. Pertama, kiai idealis, yaitu kiai yang memaknai bahwa syariat Islam diterapkan secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Dengan demikian, budaya yang

(17)

16

bertentangan dengan syariat ditolak dan cenderung formalisasi syariat. Kedua, kiai transformatif, yaitu kiai yang memaknai bahwa syariat Islam bercorak lokal dan bersentuhan dengan tradisi. Kiai transformatif tidak setuju dengan formalisasi syariat karena merusak keanekaragaman budaya dan seni. Ketiga, kiai pragmatis, yaitu kiai yang cara pandangnya sama dengan kiai idealis, hanya saja penerapan syariat Islam tidak harus sama dengan nas}s}. Menurut kiai pragmatis, pemberian sanksi hukum dalam syariat tidak diarahkan pada pemahaman teks tapi pada aspek lokal yang menjadi tradisi. Dalam konteks kebangsaan, tipologi mereka terklasifikasi menjadi dua. Pertama, simbiotik formalis yang terbagi menjadi dua: 1) Formalis skripturalis, yaitu cara pandang kiai yang mengarah pada wawasan kebangsaan dengan meletakkan formalisasi syariat Islam sebagai sandarannya dan sanksi hukum secara skriptural sama dengan ketentuan al-Qur’a>n, hadis, dan ijma>‘. 2) Formalis akomodatif, yaitu cara pandang kiai yang mengarah pada wawasan kebangsaan dengan meletakkan formalisasi syariat Islam sebagai sandarannya dan sanksi hukumnya secara akomodatif dapat disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, tidak harus sama dengan ketentuan al-Qur’a>n, hadis, dan ijma>‘.

Kedua, simbiotik substansilis, yaitu cara pandang kiai yang cenderung menekankan pentingnya tingkat makna substansial dan menolak bentuk-bentuk pikiran yang formalistik. Cara pandang substantif menekankan pada pentingnya eksistensi intrinsik ajaran Islam dan mendorong Islamisasi pada ranah kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya menuju terwujudnya masyarakat

(18)

17

Indonesia modern. Gerakan-gerakan Islam lebih mengutamakan gerakan budaya daripada gerakan politik sekaligus menolak terhadap pelembagaan agama.

Secara umum karya ilmiah yang berkaitan dengan NU relatif banyak baik yang berkaitan dengan politik,12 sosial-keagamaan,13 maupun fikih.14 Hanya saja, karya yang secara spesifik membahas konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan gubernur belum ditemukan. Dalam karya tersebut, tidak satupun yang secara spesifik mengungkap konstruksi fikih kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur. Meskipun sebagian karya tersebut membahas tentang politik kiai NU, tapi karya di atas tidak berkaitan dengan pemilihan Gubernur. Oleh karena itu, pembahasan tentang pemilihan Gubernur dalam konstruksi fikih kiai NU adalah

12Di antara buku-buku yang membahas NU dalam konteks politik adalah Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam dalam Rangka Penerimaan Pancasila (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), Kacung Marijan, Qua Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, ter. Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1990), Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (Yogyakarta: LKiS, 2003), Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia:

Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia, 1998), Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media Yogyakarta: LKiS, 2004, Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004), Ali Maschan Moesa, Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society (Surabaya: LEPKISS, 1999), Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama:

Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif (Jakarta: LP3ES, 2004), Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LKiS, 2007), dan Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Penerbit UI Press, 2008).

Baca Sahid HM, Formalisasi Syariat Islam dalam Konstruksi Kiai NU Struktural Jawa Timur (Disertasi: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009), 39.

13Di antara buku-buku yang membahas NU dalam konteks sosial-keagamaan adalah Mujamil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), Shonhaji Sholeh, Arus Baru NU: Perubahan Pemikiran Kaum Muda dari Tradisionalisme ke Post- Tradisionalisme (Surabaya: JP Books, 2004), dan Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004). Ibid.

14Di antara buku-buku yang membahas NU dalam konteks fikih adalah Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1998 (Yogyakarta: LKiS, 2004) dan Abd. Basid, Bah{th al-Masa>’il dan Wacana Pemikiran Fikih: Sebuah Studi Perkembangan Pemikiran Hukum Islam NU Tahun 1985-1995 (Tesis: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1999), A. Faishal Haq, Bah}th Masa>’il di Bidang Fikih Siya>sah: Studi tentang Pemaknaan PWNU Jatim terhadap Proses dan Metode Penetapan Hukum (Disertasi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007), dan Abd. Salam, Tradisi Fikih NU: Analisis terhadap Konstruksi Elite NU Jatim tentang Penentuan Awal Bulan Islam (Disertasi:

IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008). Ibid.

(19)

18

penting. Untuk itu, penulis berupaya mengungkap pandangan kiai NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur dalam perspektif konstruksi sosial.

E. Perspektif Teori

1. Teori Konstruksi Sosial

Teori konstruksi sosial merupakan bagian dari derivasi pendekatan fenomenologi. Teori ini ditawarkan oleh Peter L. Berger dan Luckman yang ditulis dalam risalah teoritis tentang konstruksionisme dengan judul The Social Construction of Reality (Konstruksi Sosial atas Realitas).15 Konstruksi sosial atas realitas adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses melalui tindakan dan interaksi seseorang yang diciptakan secara kontinu, yang dialami secara faktual dan penuh arti secara objektif.16 Dalam hal ini, objektivitas ilmiah merupakan suatu struktur relevansi tertentu yang dapat diterapkan oleh seorang individu dalam kesadarannya.17 Dalam hal ini, Berger mengajukan pandangan mengenai pentingnya pemikiran tentang dunia sosial objektif dan dunia subjektif.

Berger dan Luckman mengaksentuasikan kedua dimensi objektif dan subjektif dalam kenyataan sosial, tetapi keduanya berdasarkan realitas simbol.

Masyarakat dan berbagai institusinya dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi sosial. Meskipun masyarakat dan institusi sosial tampaknya real secara objektif, namun realitas itu didasarkan pada definisi subjektif yang dicipatakan dalam proses interaksi. Objektivitas dari realitas sosial merupakan hasil dari

15Baca Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 300.

16Johnson, Teori, 65-66.

17Peter L. Berger dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali: Esai tentang Metode dan Bidang Kerja, ter. Herry Joediono(Jakarta: LP3ES, 1985), 55.

(20)

19

penegasan secara kontinu yang diberikan oleh orang lain dalam konteks definisi subjektif. Tingkatan umum yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia arti simbolik yang universal dengan memberi legitimasi pada bentuk-bentuk sosial dan memberikan arti ke berbagai bidang pengalaman.18

Teori konstruksi sosial Berger itu memberi panduan secara komprehensip dalam menganalisis realitas sosial dari fenomena yang tampak. Berger menggunakan pendekatan Durkheim mengenai objektivitas dan pendekatan Weber mengenai subjektivitas. Menurut Durkheim, struktur sosial objektif memiliki karakter sendiri, sedang Weber menempatkan subjektivitas di atas objektivitas.

Durkheim berpandangan bahwa posisi masyarakat di atas individu, sedangkan Weber berpendapat bahwa posisi individu di atas masyarakat. Berger mengakomodasi dua pandangan ini dengan menempatkan subjektivitas dan objektivitas adalah hal yang tak terpisah. Dalam kehidupan masyarakat, menurut Berger, subjektivitas dan objektivitas selalu terkait.19

Sosiologi pengetahuan menjelaskan adanya dialektika antara diri (self) dengan dunia sosio-kultural melalui tiga momen secara simultan, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan. Internalisasi adalah identifikasi diri secara individual di berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial.20

18Johnson, Teori, 67.

19Lihat Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, ter. Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), 28-65.

20Frans M. Parera, "Menyingkap Mesteri Manusia sebagai Homo Fiber," dalam Berger dan Luckman, Tafsir, xx.

(21)

20

Ketiga konsep tersebut saling bergerak secara dialektik dan mengilustrasikan hubungan timbal balik antara masyarakat dan individu. Eksternalisasi mengilustrasikan aktivitas kreatif manusia. Objektivasi mengilustrasikan sebuah proses yang menunjukkan hasil aktivitas kreatif manusia mengkonfrontasi individu sebagai realitas objektif. Internalisasi menggambarkan proses bahwa kenyataan sosial adalah bagian dari kesadaran subjektif secara personal.

Teori konstruksi sosial dilakukan dengan cara mendefinisikan realitas sosial dan pengetahuan. Realitas sosial adalah sesuatu yang tampak dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi lewat bahasa, di antaranya dalam bentuk organisasi. Realitas sosial diketahui dalam pengalaman intersubjektif, sedang pengetahuan tentang realitas sosial adalah penghayatan kehidupan bermasyarakat dengan segala aspeknya, di antaranya kognisi, psikomotoris, dan intuisi.21

Teori konstruksi sosial mengaksentuasikan pada kerangka pijak kiai NU yang memelihara realitas sosial yang didefinisikan secara sosial dengan menghubungkan pada situasi dan kondisi secara simbolik. Sistem keyakinan dan makna dalam diri kiai NU yang berinteraksi dengan komunitas membentuk pola pikir dan interpretasi terhadap penting dan tidaknya pemilihan Gubernur Jawa Timur. Pemilihan Gubernur Jawa Timur yang dikonstruksi kiai NU merupakan kekuatan berbangsa, bernegara dan beragama.

21Lihat Berger dan Luckman, Tafsir, 28-65.

(22)

21 2. Teori Kepemimpinan Kharismatik

Legitimasi kepemimpinan kharismatik lebih kokoh dibandingkan kepemimpinan birokratis yang bermuansa legal formalistik. Model legitimasi kepemipinan baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, kepemipinan kharismatik masih menempati ruang sosial.22 Meskipun demikian, kepemipinan kharismatik relatif sangat kuat dibandingkan masyarakat tradisional. Struktur dan pranata sosial kepemimpinan kharismatik sangat mendominasi di masyarakat tradisional. Secara objektif masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa Timur adalah masyarakat tradisional baik aspek pemikiran maupun tindakan.

Masyarakat tradisional cenderung terikat patron-clein.

Pemimpin kharismatik selalu didasarkan pada kepemilikan kekuasaan sosial yang dirumuskan sebagai kemampuan untuk mengontrol pihak lain. Orang yang memiliki pengaruh dan wewenang cenderung mempunyai kekuasaan sosial. Dalam konteks ini, kekuasaan sosial dapat ditentukan dengan dua hal. Pertama, elite yang berkuasa karena mempunyai posisi tertentu dan memungkinkan mereka memgatasi lingkungan sekitar. Keputusan mereka sangat bepengaruh bagi kehidupan orang lain. Kedua, kekuasaan organisasional. Organisasi yang populer mendapatkan dukungan kuat dan pengaruh luas dalam masyarakat. Orang-orang yang menjadi anggota organisasi itu, pemimpinnya mempunyai pengaruh dan kekuasaan terhadap mereka.

Dalam fakta sosial, kiai yang berada dalam struktur NU mempunyai kekuatan dan kekuasaan di tengah-tengah masyarakat. Anggotanya semakin bertambah dan mempunyai relasi dengan pihak yang lain. Dengan demikian, kiai

22 D.A. Willy Huky, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Rosdakarya, 1996),181.

(23)

22

mempunyai peranan penting dalam menggerakan masyarakat tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur. Kiai juga menjadi rujukan masyarakat dalam menentukan pilihan.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian adalah lapangan (field research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk mengungkap konstruksi kiai NU terhadap politik kebangsaan NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018. Secara teoritik studi ini adalah penelitian kualitatif dengan desain konstruksi sosial. Berdasarkan metode kualitatif, peneliti berupaya memahami fenomena sosial dari tindakan para kiai mengenai sesuatu yang mereka pikirkan, yakini dan pahami tentang politik kebangsaan NU.

Karena kuatnya individu dalam dunia sosial, penelitian ini diarahkan pada kiai yang berfungsi sebagai subjek.

Beberapa kiai yang memiliki pengaruh dalam kehidupan masyakat dan pada penelitian ini sebagai subyek penelitian, diantaranya;

1. KH. Mutawakkil Alallaah, Probolinggo;

2. KH. Marzuqi Mustamar (Marzuqi), Malang;

3. Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, Surabaya-Mojokerto;

4. Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said, Surabaya;

5. KH. Mas Sulaiman Nur, Surabaya;

6. KH. Idris Hamid, Pasuruan;

7. KH. Itqon Busiri, Madura;

8. KH. Syafi’uddin Wahid, Madura.

(24)

23 9. KH. Abdul Halim Mahfudz, Jombang.

10. KH. Anwar Manshur, Kediri.

Para kiai di atas merupakan sumber data dalam penelitian ini. Mereka adalah kiai yang potensial untuk dijadikan sumber data karena ada keterlibatan dalam membangun pemikiran dan gerakan baik secara langsung atau pun tidak langsung dalam konteks politik kebangsaan NU. Mereka cukup standar dijadikan representasi dari kiai NU karena beberapa alasan. Pertama, mereka adalah aktivis yang selalu merespon perkembangan politik kebangsaan NU. Kedua, mereka mempunyai pondok pesantren. Ketiga, mereka secara kultural menyandang gelar kiai di masyarakat, bukan karena titel atau bentukan pemerintah. Keempat, mereka memiliki kemampuan membaca kitab kuning yang secara alamiah menjadi basis utama dalam mengukur kredibelitas kiai atau kemampuan membaca perkembangan NU. Secara kualitatif, empat kriteria tersebut dapat dijadikan pegangan untuk mengukur kemampuan mereka di tengah komunitas NU.

Sedangkan teknik pengumpulan data penelitian dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Di dalam melakukan observasi (observation),23 peneliti tidak mengalami kesulitan karena sebelumnya telah saling kenal dan memiliki hubungan. Jika ada persoalan karir, penulis sering berkonsultasi untuk meminta saran agar mendapatkan solusi. Penulis menganggap sebagai kiai yang dihargai dan dihormati. Sebagaimana contoh hubungan dengan kiai Mutwakkil Alallah sebagai Ketuan Tanfidziyah di PWNU Jawa Timur, sementara peneliti menjadi Wakil Sekretaris PWNU Jawa Timur. Pada saat itu, penulis sering berdiskusi dengannya tentang pemikiran dan gerakan NU.

23 Lihat Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), 26.

(25)

24

Dengan Kiai Marzuqi penulis kenal baik. Penulis selalu memperhatikan pemikiran dan gerakan ke-NU-an. Sebelumnya dia adalah Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur periode 2013-2018 dan sekarang dia sebagai Ketua periode 2018-2023. Pada periode yang lalu dan sekarang, saya sebagai penasehat PW Lembaga Ta’lif wa Nasyr NU Jawa Timur. Dengan demikian, saya tidak akan mengalami kesulitan dalam wawancara.

Dengan Kiai Imam Ghazali Said, peneliti relatif kenal dan akrab. Dia adalah Pengasuh Pesantren An Nur Surabaya. Dia adalah dosen yang sama-sama mengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya. Interaksi pemikiran antara peneliti dan kiai Ghazali Said sering terjadi secara dialogis meskipun tidak bertemu secara langsung. Dengan demikian, peneliti dan beliau tidak asing dalam interaksi keilmuan.

Dengan Kiai Abdul Hakim Mahfudz, peneliti sangat akrab. Dia adalah Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Hubungan peneliti dengan beliau terbentuk sejak peneliti menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Ketua Alumni Pesantren Tebuireng (PP IKAPETE). Diskusi keilmuan secara intensif antara penulis dan dia sering terjadi, terutama yang berkaitan dengan politik kebangsaan NU.

Dengan Kiai Ali Maschan Musa sejak lama, peneliti sering komunikasi. Dia pernah menjadi Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur dan saat ini beliau menjabat sebagai Rektor UNISKA Kediri. Dia selalu merespon perkembangan NU, terutama yang berkaitan dengan perkembangan politik warga NU.

Dengan Kiai Asep Abdul Halil, peneliti mempunyai hubungan organisatoris.

Dia adalah mantan Ketua PCNU Surabaya dan di tahun 2016-2021 dia sebagai

(26)

25

Musytasyar PCNU Surabaya dan penulis sebagai Wakil Rais Syuriah PCNU pada 2016-2021. Dia selalu mengundang Pengurus Cabang NU ke pondok Amanatul Ummah yang diasuh dan selalu menyampaikan pentingnya politik kebangsaan.

Penulis juga selalu berdiskusi dengan Pengurus Pondok Pesantren Amanatul Ummah yang relatif akrab dengan Kiai Asep. Melalui diskusi ini, saya banyak mengerti tentang gerakan yang dilakukan oleh Kiai Asep.

Selain observasi, penulis melakukan wawancara (interview)24 terhadap kiai NU Jawa Timur. Karena sebelumnya peneliti mengetahui tentang pandangan para kiai meskipun tidak secara utuh dan terkadang berdiskusi dengan mereka, peneliti cukup melakukan satu kali wawancara atau dua kali jika dianggap perlu. Jika terdapat kekurangan data, penulis menindaklanjuti tidak dengan wawancara lagi secara formal tetapi diskusi informal atau cukup mengirim WA kepada mereka atau menghubungi via telepon.

Selain observasi dan wawancara, peneliti memanfaatkan data dokumenter berupa buku, jurnal, majalah, artikel, surat kabar dan internet yang berkaitan dengan politik kebangsaan NU tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur. Hal ini dilakukan untuk mendukung data yang secara langsung diperoleh dari para narasumber.

Dengan demikian, data yang di lapangan dan data dalam literatur saling mendukung. Hal ini sekaligus menjadi sumber data dalam penelitian ini.

Teknik lain yang digunakan adalah interpretasi, yaitu menafsirkan dan membandingkan temuan lapangan mengenai politik kebangsaan NU tentang pemiihan calon Gubernur Jawa Timur dengan teori-teori yang relevan dan berkaitan

24 Irawati Irawati Singarimbun, Teknik Wawancara,” dalam Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3ES, 1989), 192.

(27)

26

dengan fokus masalah yang dikaji. Dari pola ini diketahui dua alternatif, yaitu temuan lapangan yang merupakan sumbangan teori baru atau penguat teori yang sudah ada.

G. Rencana Pembahasan

Rencana pembahasan penelitian ini mengacu pada pertanyaan dalam rumusan masalah. Berdasarkan pertanyaan dalam rumusan tersebut, pembahasan tentang konstruksi fikih kiai NU tentang isu-isu pemilihan Gubernur Jawa Timur didasarkan pada wawasan kebangsaan meskipun latar belakang sosial dan pemahaman mereka tentang NU berbeda. Selain itu, beberapa isu fikih politik yang berkaitan dengan kontestasi pemilihan Gubernur sangat berkaitan dengan khitah NU. Tafsir khitah di kalangan kiai menjadi berbeda bergantung pada pemahaman mereka. Dialektika khitah kemudian menjadi multi tafsir di kalangan kiai.

Dalam konteks tersebut, antara kiai struktural dan kultural terjadi tarik- menarik. Pemanfaatan kiai terhadap organisasi NU tidak terhindarkan. Slogan NU dalam kontestasi politik dimunculkan. Mereka tetap bersikukuh pada pembelaan terhadap NU dan menjaga marwah NU. Perbedaan langkah ini, ditentukan oleh posisi mereka masing-masing. Dengan demikian, kecenderungan kiai yang relatif bersinggungan dengan strukral NU dan yang tidak, relatif mempengaruhi dalam pemahaman dan penentuan terhadap pemilihan gubernur

Perbedaan sikap tersebut juga dipengaruhi latar belakang keagamaan masing-masing kiai. Meskipun mereka satu organisasi di dalam NU, tetapi madhab yang dipakai berbeda akan memunculkan pandangan dan pilihan yang berbeda.

(28)

27

Latar belakang sosial, politik, dan ekonomi juga mempengaruhi mereka. Modal sosial mereka yang berbeda itu berperan menciptakan tipologi pemahaman.

Meskipun tipologi pemahaman kiai dibingkai dalam konsepsi moderasi (tawassut}) sebagai platform dalam membangun kebangsaan, memposisikan pemahaman yang sama dalam menentukan pilihan Gubernur ternyata sulit didapatkan titik temu.

Pemahaman dan pilihan yang berbeda di kalangan kiai tentang pemilihan Gubernur Jawa Timur membawa implikasi kepada masyarakat. Masyarakat menjadi terbelah dalam mendukung dan memilih yang dampaknya terjadi persinggungan di tengah-tengah jamaah NU. Jamaah NU yang heterogen relatif variatif dalam menentukan pilihan. Sebagian jamaah yang memiliki fanatisme yang sangat kuat terhadap kiai akan mengalahkan rasionalitas dalam menentukan pilihan, sebagian jamaah yang lain mengedepankan rasionalitas daripada fanatisme. Heterogenitas merupakan keniscayaan dalam pandangan sosial.

(29)

28

BAB II

FIQH POLITIK KEBANGSAAN NAHDLATUL ULAMA

A. Latar Belakang Historis Kelahiran NU

Nahdlatul Ulama, yang disingkat NU, memiliki arti kebangkitan ulama. NU secara kebahasaan diambil dari kata Arab, nahd}at al-‘ulama>'. Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di Surabaya.25

Menurut Azyumardi Azra, jumlah anggota NU diperkirakan berjumlah sekitar empat puluh juta orang. Warga NU tersebar di seluruh penjuru Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan, khususnya dengan basis terkuat di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat di bawah kepemimpinan ulama atau kiai.26

Berdirinya NU disinyalir berkaitan dengan munculnya gagasan Pan- Islamisme di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya yang dipelopori Jama>l al- Di>n al-Afgha>ni> (1838/1839-1897) untuk mempersatukan seluruh dunia Islam27

25Soelaiman Fadeli dan Mohamammad Subhan, Antologi NU: Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah (Surabaya: Khalista dan LTN NU Jawa Timur, 2007), 1. Tempat yang dijadikan pertemuan adalah rumah Kiai Abd. Wahab Hasbullah di Kertopaten. Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah banyak, namun dalam kesempatan ini mereka memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi mereka memutuskan mendirikan NU untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, ter. Farij Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar(Yogyakarta: LKiS, 2003), 21.

26Azyumardi Azra, "Liberalisasi Pemikiran NU," dalam Mujamil Qamar, NU Leberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), 17.

27Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta:

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), 40. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 15.

(30)

29

dengan Pan-Islamisme,28 Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905) dengan seruan ijtihad dan liberalisme pemikiran, dan Rashi>d Rid}a> (1865-1935) yang mengemukakan pandangan salaf.29

Munculnya gagasan pembaruan pada abad ke-19 tersebut mempengaruhi perjalanan kebangkitan umat Islam di Indonesia. Pada tahun-tahun terakhir abad tersebut, misalnya, Jawa telah dilanda intensitas kehidupan Islam yang dapat ditengarahi melalui peningkatan jumlah orang yang melaksanakan salat lima waktu, jumlah jamaah haji,30 jumlah orang yang mencari ilmu, oraganisasi-organisasi tarekat, buku-buku agama, dan khutbah Jumat.31 Pembaruan pada abad ke-19 itu terus berkembang sampai abad ke-20 yang dapat dipandang sebagai kesadaran mewujudkan pemikiran-pemikiran yang masih abstrak ke dalam bentuk usaha-usaha yang konkrit.32

Masuknya pembaruan Islam semakin intensif terutama setelah terjadi kontak pemikiran antara para jamaah haji Indonesia dengan paham keagamaan yang sedang berkembang di Timur Tengah. Sejak dibukanya terusan Suez pada pertengahan abad ke-19,33 jumlah umat Islam di Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci

28Pada awalnya Pan-Islamisme mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai negara Islam, khususnya di Turki, secara bertahap gagasan itu digeser oleh gagasan nasionalisme Arab untuk memperjuangkan kemerdakaan negara dari penjajahan Barat.

29Mujamil Qamar, NU Leberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), 29.

30Berdasarkan catatan Van Der Plas diperoleh informasi bahwa pada tahun 1850 orang Indonesia yang berangkat haji ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji 71 orang, tahun 1855 jumlahnya menjadi 1.688 orang dan pada tahun 1870 (setahun setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869) jumlahnya meningkat drastis menjadi 3.258 orang. Peningkatan jumlah ini bukan saja ditentukan oleh faktor besarnya keinginan orang-orang Islam karena tuntutan agama, tapi juga karena faktor transportasi. Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama: Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif (Jakarta: LP3ES, 2004), 92.

31Qamar, NU, 30.

32Ibid.

33Situasi mulai berubah tatkala terusan Suez mulai dibuka serta mulai ditemukannya teknologi kapal api. Pengaruh penting dari pembukaan terusan Suez dan temuan teknologi kapal api adalah turunnya biaya perjalanan haji. Tidak hanya itu, para ulama juga mempunyai kesempatan yang lebih besar

(31)

30

semakin meningkat. Mereka tinggal di Mekah cukup lama, sehingga memungkinkan terjadinya kontak pemikiran khususnya berkenaan dengan ajaran Islam yang biasa dilakukan oleh komunitas muslim pada masing-masing negara. Melalui kontak itu, kesadaran para jamaah haji Indonesia tumbuh untuk meninjau kembali paham- paham keagamaan yang dianut di kebanyakan masyarakat muslim di lain tempat.

Ketika kembali ke Indonesia, mereka membawa pemikiran baru untuk melakukan purifikasi ajaran Islam yang dipandang bertentangan dan terpengaruh oleh tradisi lokal di luar Islam.34

Pemikiran tokoh pembaru tersebut menjadi bahan perbincangan para ulama dan para jamaah haji yang berada di Mekah. Mereka dapat menangkap melalui forum ilmiah dan surat kabar seperti al-Waqa>’i‘, al-Mis}ri>yah, al-‘Urwah al-Wuthqa>, dan al-Mana>r. Saluran transformasi pemikiran itu dapat tersosialisasi dengan cepat, terutama ulama Indonesia. Terlepas dari sikap setuju secara keseluruhan atau sebagian, pemikiran mereka telah diserap oleh Syekh Mahfudz al-Tarmasi (w.

1919), Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1852-1915), Syekh Imam Nawawi al- Bantani (1813-1897), Syekh Sambas (1803-1875), Syekh Abdul Karim, Kiai Hasyim Asyari (1871-1947), Kiai Ahmad Dahlan (1909-1977), Kiai Abddul Wahab Hasbullah (1888-1971), dan Kiai M. Bisri Syamsuri (1886-1980).35 Selain itu,

untuk belajar langsung ke Timur Tengah. Perkembangan ini kemudian memperbesar jumlah komunitas "Orang Jawi" di Mekah baik untuk keperluan belajar maupun ibadah haji. As'ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati (Jakarta: LP3ES, 2008), 19.

34Muhtadi, Komunikasi, 92-93. Perkembangan jumlah ulama yang mampu belajar langsung ke Timur Tengah berdampak langsung pada perkembangan pesantren. Pesantren lama-kelamaan mulai banyak diisi oleh kiai-kiai yang mampu menunaikan ibadah haji dan belajar langsung ke Mekah. Generasi baru ini mendalami berbagai ilmu seperti tasawuf, fiqh, dan hadis dengan berguru langsung kepada ulama-ulama Mekah dan Madinah.

35Qamar, NU, 29-30. Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1996), 113. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam:

Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), 198.

(32)

31

sejumlah referensi bacaan dari Mesir, khususnya majalah yang diterbitkan oleh

‘Abduh dan Rid}a> beredar di Indonesia dan dibaca secara terbatas oleh elite Islam terpelajar.36

Menurut Fealy, gagasan modernis menyebar dengan cepat selama dasawarsa awal abad kedua puluh dan menimbulkan perdebatan cukup luas di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam hal ini, organisasi modernis didirikan, di antaranya Muhammadiyah (1912),37 al-Irsyad (1914), dan Persatuan Islam (1923).38 Beberapa tokoh tradisionalis memakai metode pendidikan dan organisasi baru.39

Kiai Abd. Wahab mendirikan lembaga pendidikan bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) di Surabaya pada 1914,40 yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan (pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursus- kursus praktis kepemimpinan, organisasi dan administrasi. Nahdatul Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI Tjokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto serta Raden Pandji Soeroso.

36Haidar, Nahdlatul Ulama, 50.

37Muhammadiyah didirakan oleh Ahmad Dahlan tahun 1912 di Yogyakarta. Slogan yang jadi pegangan adalah kembali kepada al-Qur'a>n dan al-Sunnah dan menolak segala praktik ibadah yang tidak diajarkan oleh Muhammad. Rusli Karim, "Gagasan KH. Ahmad Dahlan Banyak yang Belum Dioperasionalkan," dalam Muhammadiyah dalam Kritik dan Sorotan (Jakarta: t.t.p., 1986), 15.

38Persatuan Islam didirikan oleh Ahmad Hasan tahun 1923 di Bandung yang slogannya hampir sama dengan Muhammadiyah. Dalam Muqaddimah Qa>nu>n Asa>si> dijelaskan: "Berkat rahmat Allah SWT, umat Islam Indonesia tergerak hatinya untuk menyehatkan dirinya kembali pada ajaran yang murni, al-Qur'a>n dan al-Sunnah yang s}ah}i>h}, yang mendidik hidup berjamaah, berima>mah serta berima>rah, tunduk dan taat atas satu niz{a>m yang sejalan dengan ajaran al-Qur'a>n dan Sunnah Rasulullah." Lihat Qa>nu>n Asa>si> (Bandung: PP Persis, 1968), 6-7.

39Fealy, Ijtihad, 29.

40Menurut catatan Haidar, tahun pendirian Nahdlatul Wathantidak jelas, tetapi sumber-sumber yang diketahui menyebutkan tahun 1916, karena di tahun itu ia mendapat pengakuan badan hukum. Hal ini membuktikan bahwa tahun pendiriannya sebelum tahun itu, sebab pengurusan badan hukum memerlukan waktu yang lama. Taswirul Afkar memerlukan waktu 11 tahun dan NU 3 tahun. Tahun 1914 sebagai perkiraan, dua tahun sebelum pengakuan badan hukumnya Kiai Wahab Hasbullah dan Mas Mansur baru pulang dari Mekah antara tahun 1913 dan 1914. Diperkirakan mereka memerlukan waktu sedikitnya satu tahun untuk bertemu dan merancang kegiatan bersama. Jika benar mereka baru kembali tahun 1914, maka diperkirakan mereka segera bertemu seperti kebiasaan mereka yang baru kembali dari luar negeri untuk saling mengunjungi. Haidar, Nahdlatul Ulama, 113-114.

(33)

32

Karena organisasi memerlukan banyak biaya, mereka melibatkan saudagar kaya H.

Abdul Qahar berasal dari Kawatan Surabaya. Dia ditunjuk sebagai Direktur, Mas Mansur sebagai Guru Kepala,41 dan Kiai Abd. Wahab sendiri sebagai Pimpinan Dewan Guru (Keulamaan).42 Staf pengajar Nahdlatul Wathan terdiri dari banyak ulama tradisionalis muda seperti Kiai Bisri Syamsuri (1886-1980), Kiai Abdul Hakim Leimunding dan Kiai Abdullah Ubaid (1899-1938), yang kesemuanya di kemudian hari memainkan peran penting dalam Nahdlatul Ulama.43 Dalam waktu yang singkat lima tahun pertama, beberapa cabang Nahdlatul Wathan berdiri seperti di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, dan beberapa tempat di Surabaya sendiri.

Sebagian ada yang menggunakan nama Nahdlatul Wathan, sebagian lagi menggunakan Far'ul Wathan, Hidayatul Wathan, Khithabatul Wathan, Akhul Wathan, dan lain-lain.44

Tahun 1918 organisasi lain dibentuk, yaitu Taswirul Afkar di Surabaya yang bergerak di bidang sosial. Pendiri organisasi ini adalah Kiai Ahmad Dahlan, pemimpin sebuah pesantren di Kebondalem bersama Mas Mansur, Kiai Abd. Wahab dan Mangun.45 Sebelum berbentuk madrasah, Taswirul Afkar merupakan kelompok diskusi yang membahas berbagai masalah keagamaan dan sosial kemasyarakatan.

Anggota dari kelompok ini adalah para ulama yang mempertahankan sistem bermazhab. Dalam perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1919, kelompok ini melahirkan madrasah Taswirul Afkar yang tugas pokoknya mendidik anak-anak

41Pada 1922 Mas Mansur menyatakan berpisah dengan Kiai Abd. Wahab dan pindah ke Muhammadiyah. Jabatan kepala Nahdlatul Wathan diserahkan kepada dewan pengurus, yang kemudian menunjuk Kiai Mas Alwi sebagai pengganti Mas Mansur. Anam, Pertumbuhan, 32.

42Haidar, Nahdlatul Ulama, 42. Anam, Pertumbuhan, 28-29.

43Saifuddin Zuhri, KH. Abdul Wahab Chasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama' (Jakarta:

Yamuni, 1972), 25. Fealy, Ijtihad, 30.

44Haidar, Nahdlatul Ulama, 43.

45Ibid.

(34)

33

lelaki setingkat sekolah dasar agar menguasai ilmu pengetahuan agama tingkat elementer.46 Tidak hanya berhenti dengan dua lembaga yang didirikan tersebut, pada tahun 1918 atas restu gurunya Kiai Hasyim Asy'ari didirikan sebuah usaha perdagangan dengan bentuk koperasi dengan istilah shirkat al-‘ina>n yang diberi nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan). Diangkat selaku Ketua Koperasi adalah Kiai Hasyim Asy'ari, sedang sebagai manajer adalah Kiai Abd. Wahab.47

Dalam pandangan Fealy, sepanjang tahun 1910-an, pembicaraan tentang posisi kaum tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan.

Kedua pihak berusaha menemukan persamaan dan membangun saling pengertian.

Hal ini berubah tajam pada 1920-an, ketika persaingan muncul di antara kedua pihak.48

Fealy berpendapat, ada beberapa faktor yang menjadi sebab polarisasi ini.

Otoritas keagamaan kiai menjadi masalah yang peka ketika sebagian gerakan kaum modernis mempertajam kritiknya terhadap Islam tradisional. Mereka mempertanyakan kompetensi kiai untuk memutuskan hal-hal yang bersifat doktrinal dan berkaitan dengan hukum agama. Selain itu, ekspansi yang cepat oleh organisasi modernis ke berbagai kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengancam basis ekonomi banyak pesantren dan ekonomi keluarga kiai yang mengendalikannya.

Kaum modernis terutama berhasil merekrut para pedagang kaya dan tuan tanah yang sebelumnya telah menjadi pendukung material dan keuangan kiai.49

46Anam, Pertumbuhan, 30.

47Ibid., 44-45.

48Fealy, Ijtihad, 30

49Ibid., 31.

(35)

34

Pandangan Fealy tersebut sejalan dengan penilaian Mujamil Qamar yang berpendapat bahwa sikap tokoh-tokoh modernis over acting dalam melontarkan gagasan pembaruan dengan melecehkan, merendahkan, dan membutatulikan ulama pesantren. Sikap arogansi ini mencapai puncaknya pada dekade 20-an, tepatnya pada 1921, 1924, dan 1926. Jadi, bukan substansi ide pembaruan mereka yang menjadi penyabab NU lahir, melainkan cara-cara menyampaikan ide dengan perasaan superior dan memandang ulama pesantren sebagai kelompok yang rendah kualitas intelektualnya sehingga menyinggung ulama pengasuh lembaga pendidikan Islam itu. Alasan ini diperkuat oleh pengakuan Kiai Abd. Wahab menjelang detik- detik kelahiran NU: "Saya sudah sepuluh tahun lamanya memikirkan membela para ulama (mazhab) yang diejek sana-sini dan amaliah diserang sana-sini.50

Berpijak pada pandangan di atas, munculnya pembaruan Islam sebagai penyebab NU lahir tidak cukup kuat untuk dijadikan patokan. Jika munculnya pembaruan Islam sebagai penyebab, tentu NU lahir sekitar 1913, 1914, atau 1915 mengiringi kelahiran Muhammadiyah (1912) dan Al-Irsyad (1913) yang keduanya sebagai organisasi modernis. Kedua organisasi ini dalam memahami ajaran Islam menggunakan logika rasional yang seringkali bertentangan dengan pemikiran dan pemahaman ulama pesantren.

Menurut Ali Haidar, sebenarnya persoalan yang muncul yang dibawa aliran baru adalah seputar masalah ijtiha>d dan taqli>d dan kemudian berkembang ke masalah furu>‘i>yah seperti talqi>n, wasi>lah, dan lain-lain. Soal kebangsaan atau nasionalisme diperdebatkan pada bagian kedua tahun tiga puluhan oleh Persis dan

50Qamar, NU, 34-35. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan K.H. Abdul Wahab (Bandung: Baru, 1972), 12.

(36)

35

Muhammadiyah. Gagasan pembaruan Islam yang muncul di awal abad ini sebagian diilhami oleh gerakan serupa di Timur Tengah, khususnya Mesir. Sejumlah bacaan referensi dari Mesir, khususnya majalah yang diterbitkan oleh ‘Abduh dan Rid}a>

beredar di Indonesia dan dibaca secara terbatas oleh kelompok Islam terpelajar.51 Dalam hal ini Haidar mengungkapkan:

"Perdebatan tersebut lebih diwarnai soal terminologi daripada esensi ijtiha>d dan taqli>d itu sendiri. Semua pihak sepakat tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtiha>d, dan mengenai yang tidak memenuhi syarat ini wajib taqli>d atau tidak, di sini terjadi perbedaan paham.

Satu pihak mengatakan bahwa orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtiha>d harus ittiba>‘ (mengikuti) dengan kewajiban mengetahui dalil dari al- Qur’a>n dan hadis, sedang pihak yang lain beranggapan bahwa yang demikian itu sudah termasuk kategori taqli>d. Satu pihak beranggapan bahwa taqli>d adalah satu bentuk mengikuti tanpa mengetahui dalil al-Qur’a>n dan hadis dan menyebutnya taqli>d buta, perbuatan itu haram. Pihak lain beranggapan bahwa taqli>d buta itu juga boleh, sebab kenyataan sampai waktu itu (barangkali juga sekarang) jumlah orang yang buta huruf Arab maupun Latin masih tinggi. Terhadap orang yang demikian ini tidak bisa dituntut untuk mengetahui dalil dari al-Qur’a>n maupun hadis, membaca pun mereka tidak bisa."52

Hal yang berkaitan dengan khila>fi>yah, Feillard menjelaskan bahwa para reformis menentang upacara-upacara tertentu seperti tahlilan (upacara bagi kematian), selamatan, sesaji tertentu dan cara-cara lain untuk memohon keselamatan. Salah satu yang menjadi perdebatan sengit adalah masalah mengunjungi makam wali (ziarah) dan kepercayaan terhadap kemampuan mereka sebagai perantara dalam berhubungan dengan Allah, yang dianggap syirik dan bid‘ah oleh kaum reformis. Mereka menolak adanya kemungkinan komunikasi antara manusia dengan arwah orang yang telah meninggal. Selain itu, kaum reformis tidak mengakui otoritas para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat dan ketaatan buta

51Haidar, Nahdlatul Ulama, 50.

52Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

timbul dalam proses persidangan mengikuti pihak yang menang, misalnya jika penggugat memenangkan kasus, maka yang bersangkutan memperoleh pengembalian biaya yang

hidayah-Nya yang senantiasa dicurahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Pengaruh Model Pembelajaran Active Learning Tipe Guided

anggaran yang akan dating. Sebaliknya pengeluaran pembiayaan merupakan pengeluaran yang akan diterima kembali pembayarannya baik pada tahun anggaran berjalan

Tabel 2 menunjukkan 124 kasus DBD tahun 2011 di Kota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat dengan Nilai indeks tetangga terdekat (Rn) yang diperoleh sebesar -7,89 hal ini

Dari hasil pemotongan citra, kemudian dilakukan proses grayscale dan histogram untuk mendapatkan nilai piksel pada udang sehat dan udang sakit yang ditunjukkan dalam Tabel 1

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan ini, jelas menunjukkan bahawa sikap mementingkan diri yang ditunjukkan oleh pemimpin akan menyebabkan masyarakat yang dipimpinnya tidak

32 tahun 2009, dan sejumlah perda yang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat sebagai hukum yang hidup (the living law), untuk melakukan pengelolaan atau dikelola

Untuk mengetahui jenis-jenis kesulitan belajar yang dialami siswa maka dapat diketahui dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal. Oleh