BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bedah Sesar
2.1.1 Definisi Bedah Sesar
Bedah sesar atau Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melelui dinding depan perut atau vagina atau sectio caesarean adalah suatu histetotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar,2015). Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2014).
A. Ada dua jenis sayatan operasi yang dikenal yaitu:
1. Sayatan melintang Sayatan pembedahan dilakukan dibagian bawah rahim (SBR). Sayatan melintang dimulai dari ujung atau pinggir selangkangan (simphysisis) di atas batas rambut kemaluan sepanjang sekitar 10-14 cm.
keuntunganya adalah parut pada rahim kuat sehingga cukup kecil resiko menderita rupture uteri (robek rahim) di kemudian hari. Hal ini karna pada masa nifas, segmen bawah rahim tidak banyak mengalami kontraksi sehingga luka operasi dapat sembuh lebih sempurna (kasdu, 2003).
2. Sayatan memanjang (bedah caesar klasik) Meliputi sebuah pengirisan memanjang dibagian tengah yang memberikan suatu ruang yang lebih besar untuk mengeluarkan bayi. Namun, jenis ini kini jarang dilakukan karena jenis ini labil, rentan terhadap komplikasi (Dewi Y, 2007).
B. Klasifikasi jenis operasi dibagi menjadi 4 yaitu: operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi, operasi kotor dan operasi kotor terkontaminasi(Anaya dan Dellinger, 2008). Operasi bersih yaitu luka operasi yang tidak terinfeksi dan tidak ada inflamasi yang ditemukan serta luka tidak menembus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urogenitalis. Luka ditutup dan dikeringkan dengan drainage tertutup. Operasi bersih terkontaminasi adalah luka operasi yang menembus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan traktus urogenitalis namun masih dalam kondisi yang terkendali dan tanpa
kontaminasi yang bermakna. Operasi kotor yaitu luka akibat kecelakaan dan luka terbuka. Kondisi pada operasi ini dengan daerah kerusakan yang luas menggunakan teknik steril atau tumpahnya cairan yang terlihat jelas dari traktus gastrointestinalis dan insisional yang akut. Operasi kotor terkontaminasi yaitu terdapat luka trauma yang sudah lama dengan mempertahankan jaringan yang dilemahkan dan terdapat infeksi klinikal atau perforai visceral (CDC, 2017).
2.1.2 Indikasi 1. Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu:
a) Power Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi tenaga (Dewi Y, 2007).
b) Passanger Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut jantung janin kacau dan melemah). (Dewi Y, 2007).
c) Passage Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota (kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita), hepatitis B dan hepatitis C (Dewi Y, 2007).
2. Indikasi Ibu a) Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat
menyebabkan ibu kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
b) Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses persalinan. Panggul sempit dan dystocia mekanis disproporsi fetopelvik panggul sempit atau janin terlampau besar malposisi dan malpresentasi disfungsi uterus dystocia aringan luna neoplasma dan persalinan yang tidak maju (Oxorn dan forte, 2010).
c) Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka, operasi bisa saja dilakukan.
d) Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e) Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
f) Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi janin dalam rahim. (Kasdu, 2003)
3. Peran Faktor Genetika
Malposis dan malpresentasi dapat mneyebabkan perlunnya bedah sesar pada bayi yang dalam posisi normal dapat dilahirkan per vaginum. Bagian terbesar dari peningkatan insidensi bedah sesar dalam kelompok ini berkaitan dengan presentasi pantat. Disfungsi uterus mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, dan ketidakmampuan dilatasi serviks. Persalinan menjadi lama dan kemajuannya mungkin terhenti sama sekali, keadaan ini sering disertai disposisi dan malpesentasi (Oxorn, 1990). Problem serius yang terkait dengan kesehatan ibunya juga perlu dipertimbangkan, seperti infeksi, kencing manis, sampai tekanan darah tinggi (Abu bakar, 2002).
4. Indikasi Janin
a) Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120- 160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah, lakukan segera sectio caesarea segara untuk menyelematkan janin.(Cendika, dkk. 2007, hal. 126).
b) Bayi Besar (makrosemia) c) Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan bokong pada posisi yang lain.
d) Faktor Plasenta
Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh jalan lahir.
Plasenta lepas (Solution placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban.
Plasenta accrete
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia rawan untuk hamil
(di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya plasenta (Kasdu, 2003).
e) Kelainan Tali Pusat
prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.
Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2003).
2.1.3 ILO (infeksi luka operasi)
Infeksi luka operasi (ILO) adalah infeksi yang terjadi pada luka akibat tindakan bedah invasive. Infeksi luka operasi (ILO) merupakan salah satu infeksi nosokomial yang paling sering terjadi dan sulit untuk diketahui penyebab pastinya. Faktor paling dominan yang mempengaruhi penyembuhan luka pasca operasi seksio sesarea adalah personal hygiene kemudian disusul status gizi dan yang terakhir penyakit DM. Ada dua faktor yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi kejadian infeksi luka operasi,
1. Faktor Endogen merupakan faktor yang ada di dalam penderita seperti umur,jenis kelamin, penyakit predisposisi ILO, dan operasi sebelumnya.
Faktor Eksogen merupakan faktor di luar penderita, seperti lama penderita dirawat di rumah sakit, tingkat kebersihan luka, keteraturan penggunaan antibiotika, lama antibiotika pasca seksio sesarea, lama operasi, dan jumlah personil di kamar operasi (Puspitasari, 2011).
2.1.3.1 Etiologi ILO (Infeksi Luka Operasi)
ILO merupakan kejadian ketika mikroorganisme mendapatkan akses ke area tubuh yang terkena atau yang dibedah, kemudian timbul berkali-kali lipat dalam jaringan (Martin, 2012). Menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC) (2010), ILO diklasifikasikan sebagai luka insisi atau organ yang organ yang penyembuhannya harus dalam 30 hari setelah operasi.
Karakteristik ILO menurut CDC diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Luka pembedahan daerah permukaan kulit/luka insisi, luka infeksi terjadi dalam 30 (tiga puluh) hari setelah pembedahan dan jaringan subkutaneus yang diinsisi disertai salah satu kriteria berikut ini: adanya aliran cairan purulen atau basah pada luka, ditemukan organisme dari hasil kultur cairan luka, adanya salah satu gejala atau tanda infeksi seperti: perlunakan atau nyeri, pembengkakan yang terlokalisir, kemerahan atau panas pada bagian permukaan insisi yang sengaja dibuka oleh dokter bedah, dimana hasil kultur negatif, diagnosis infeksi yang dibuat oleh dokter bedah atau dokter yang merawat.
b. Luka pembedahan dalam/deep incision, luka terjadi 30 hari-12 bulan setelah pembedahan (bila ada implant dan terjadi infeksi akibat pembedahan). Infeksi disini melibatkan bagian fasia dan otot serta terdapat salah satu kriteria berikut: adanya aliran purulen dari luka pembedahan dalam, tetapi bukan dari komponen organ/space luka operasi, luka pembedahan dalam secara spontan terbuka atau sengaja dibuka oleh dokter bedah ketika pada pasien ditemukan salah satu berikut ini: tanda atau gejala panas (>38 ), nyeri terlokalisir atau perlunakan, dimana hasil kultur dari luka negatif, terdapat abses atau bukti lain yang didapat dari hasil operasi ulangan, hasil histophathology dan hasil radiologi, diagnosis yang dibuat oleh dokter bedah atau dokter yang merawat.
Luka pembedahan organ/space ILO, luka terjadi 30 hari-12 bulan setelah pembedahan (bila ada implant dan terjadi infeksi akibat operasi) dan infeksi terjadi pada organ yang dibuka atau dimanipulasi selama pembedahan serta ada salah satu berikut: aliran purulen dari drain, pada tempat pembedahan, ditemukan organisme dari biakan kultur dari cairan luka operasi organ/space, sebuah abses atau bukti lain infeksi luka organ/space yaitu ditemukan dari hasil operasi ulangan, hasil histophathology dan hasil radiologi, diagnosis dari dokter bedah atau dokter yang merawat. ILO merupakan masalah kesehatan pada pasien yang mengalami pasca operasi baik di area sebelum antisepsis maupun sebelum pemberian antibiotik. ILO juga dipengaruhi oleh teknik pembedahan maupun ruang operasi (Martin, 2012). Proses terjadinya ILO dipengaruhi banyak faktor, baik faktor intrinsik maupun ekstrinsik.
2.1.3.1.1 Patofisiologi ILO (Infeksi Luka Operasi)
Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah luka dengan diameter kira-kira 4 cm. Permukaannya tidak rata, terdapat benjolan- benjolan karena banyak vena yang ditutupi trombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman-kuman dan masuknya jenis-jenis yang patogen dalam tubuh wanita. Serviks sering mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga vulva, vagina dan perineum yang semuanya merupakan tempat masuknya kuman-kuman patogen. Proses radang dapat terbatas pada luka-luka tersebut atau menyebar di luar luka asalnya.
Gambar 2.1 skema luka operasi
kerusakan jaringan pasca operasi sesar mengakibatkan terjadinya inflamasi. Fase inflamasi dimulai segera setelah integritas jaringan terganggu oleh cedera, ini dimulainya koagulasi untuk membatasi perdarahan. diawali dengan hemostasis melalui vasokonstriksi, thrombin Formasi dengan aktivasi protein pelengkap dan agregasi platelet, komponen seluler pertama yang teragregasi ke luka, dan sebagai akibat degranulasi (reaksi trombosit), mereka melepaskan beberapa sitokin (atau factor petumbuhan parakrin). Sitokin-sitokin ini termasuk faktor pertumbuhan yang diturunkan-platelet (PDGF), insulin-like growth factor-1 (IGF-1), factor pertumbuhan epidermal(EGF), dan factor pertumbuhan fibroblast (FGF). Faktor ini menyebabkan kemotakan neutrofil,
fibroblas dan monosit ke arah lokasi luka, merangsang proliferasi dan Migrasi sel epitel seperti keratinocytes, merangsang angiogenesis dan mempromosikan ekstraseluler matriks sintesis. Pergerakan seluler yang besar ini ke situs cedera diinduksi oleh sitokin yang disekresikan oleh trombosit (chemotaxis) dan oleh makrofag sendiri sekali di lokasi cedera. Ini termasuk mengubah faktor pertumbuhan alfa (TGF-𝛼) dan mengubah faktor pertumbuhan beta(TGF-𝛽).
Akibatnya, eksudat inflamasi yang mengandung sel darah merah, neutrophil makrofag, dan protein plasma, termasuk protein kaskade koagulasi dan untai fibrin, mengisi luka dalam hitungan jam. Makrofag tidak hanya mengais tetapi juga merupakan pusat proses penyembuhan luka karena sekresi sitokinnya (Singhal H,2008).
Gambar 2.2. Events of wound healing (Singhal H) 2.1.4 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada infeksi luka oprasi antara lain demam nyeri di daerah infeksi terdapat tanda kemerahan pada daera yang terinfeksi dan fungsi organ terganggu. Gambaran kilis infeksi luka oprasi antara lain sebagai berikut:
a. Calor (panas)
Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area terkena infeksi/
fenomena panas lokal karena jaringan-jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.
b. Dolor (rasa sakit)
Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan PH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung saraf. pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf nyeri, selain itu pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan menimbulkan rasa sakit.
c. Rubor (Kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah yang mengalir kedalam mikro sirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah. Keadaan ini yang dinamakan hiperemia atau kongesti.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan interstisial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
e. Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara superficial bagian yang bengkak dan sakit disrtai sirkulasi dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, sehingga organ tersebut terganggu dalam menjalankan fungsinya secara normal.
(Yudhityarasati, 2007).
2.1.5 Faktor Risiko 2.1.5.1 Infeksi Pospartum
Infeksi Post partum merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin. (Saifuddin, 2006). Infeksi post partum atau puerperalis adalah semua peradangan yang disebabkan oleh masuknya kuman-kuman ke dalam alat-alat genitalia pada waktu persalinan dan perawatan masa post partum. Infeksi
puerperalis adalah keadaan yang mencakup semua peradangan alat-alat genitalia dalam masa post partum (Prawirohardjo, 2007).
Jadi yang dimaksud dengan infeksi puerperalis adalah infeksi bakteri pada traktus genitalia yang terjadi setelah melahirkan, ditandai dengan kenaikan suhu 38°C. Infeksi post partum/puerperalis ialah infeksi klinis pada saluran genital yang terjadi dalam 28 hari setelah persalinan (Bobak, 2004).
A. Etiologi
Penyebab infeksi puerperalis ini melibatkan mikroorganisme anaerob dan aerob patogen yang merupakan flora normal serviks dan jalan lahir atau mungkin juga dari luar. Penyebab yang terbanyak dan lebih dari 50% adalah Streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak patogen sebagai penghuni normal jalan lahir.
Kuman-kuman yang sering menyebabkan infeksi puerperalis antara lain :
a. Streptococcus haematilicus aerobic Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang ditularkan dari penderita lain, alat-alat yang tidak steril, tangan penolong dan sebagainya.
b. Staphylococcus aurelis Masuk secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan sebagai penyebab infeksi di rumah sakit.
c. Escherichia coli Sering berasal dari kandung kemih dan rectum menyebabkan infeksi terbatas.
d. Clostridium welchii Kuman anaerobik yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada abortus kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.
B. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang timbul pada infeksi post partum antara lain demam, nyeri di daerah infeksi, terdapat tanda kemerahan pada daerah yang terinfeksi, fungsi organ terganggu. Gambaran klinis infeksi post partum adalah sebagai berikut:
a. Infeksi local
Warna kulit berubah, timbul nanah, bengkak pada luka, lokea bercampur nanah, mobilitas terbatas, suhu tubuh meningkat.
b. Infeksi umum
Sakit dan lemah, suhu badan meningkat, tekanan darah menurun, nadi meningkat, pernafasan meningkat dan sesak, penurunan kesadaran hingga koma, gangguan involusi uteri, lokea berbau, bernanah dan kotor.
Adapun infeksi dapat terjadi sebagai berikut:
a. Koitus pada akhir kehamilan tidak merupakan sebab infeksi penting, apabila mengakibatkan pecahnya ketuban.
b. Infeksi intrapartum sudah dapat memperlihatkan gejala-gejala pada waktu berlangsungnya persalinan. Infeksi intra partum biasanya berlangsung pada waktu partus lama, apalagi jika ketuban sudah lama pecah dan beberapa kali dilakukan pemeriksaan dalam. Gejala-gejalanya antara lain, kenaikan suhu tubuh biasanya disertai dengan leukositosis dan takikardi, denyut jantung janin dapat meningkat pula. Air ketuban biasanya menjadi keruh dan berbau. Pada infeksi intra partum kuman-kuman memasuki dinding uterus pada waktu persalinan, dan dengan melewat amnion dapat menimbulkan infeksi pula pada janin.
2.1.5.2 Infeksi Nifas
Pada pasien bedah sesar infeksi yang sering terjadi adalah infeksi nifas.
Infeksi nifas mencakup semua peradangan yang disebabkan oleh masuknya.
Infeksi nifas ringan ditandai dengan kenaikan suhu beberapa hari, infeksi nifas sedang ditandai dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi dan disertai dehidrasi, dan infeksi berat dengan peritonitis, dan sepsis. Infeksi berat biasnya sering dijumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang pecah terlalu lama. Secara umum gejala infeksi, antara lain timbulnya rasa nyeri serta panas pada tempat infeksi suu tubuh sekitar 38°C, dan bila luka terinfeksi tertutup oleh jahitan serta getah radang tidak dapat keluar, demam bias naik sampai 39-40°C dengan kadang-kadang disertai menggigil (Prawirohardjo,1991).
1. Patofisiologi
Infeksi nifas yang penyebarannya melalui pembuluh darah adalah septikemia, piemia dan tromboflebitis. Infeksi ini merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh kuman patogen Streptococcus Hemolitikus Golongan.
A. Infeksi ini sangat berbahaya dan merupakan 50% dari semua kematian karena infeksi nifas Pada septikemia kuman-kuman yang ada di uterus, langsung masuk ke peredaran darah dan menyebabkan infeksi. Adanya septikemia dapat dibuktikan dengan jalan pembiakan kuman-kuman dari darah.
Gambar 2.3. infeksi nifas
Pada piemia terdapat dahulu tromboflebitis pada vena-vena di uterus serta sinus- sinus pada bekas tempat plasenta. Tromboflebitis ini menjalar ke vena uteri, vena hipogastrika, dan vena ovary (tromboflebitis pelvika). Dari tempat-tempat thrombus itu embolus kecil yang mengandung kuman-kuman dilepaskan. Tiap kali dilepaskan, embolus masuk ke peredaran darah umum dan dibawa oleh aliran darah ketempat-tempat lain, antaranya ke paru-paru, ginjal, otak, jantung, dan sebagainya mengakibatkan terjadinya abses-abses di tempat-tempat tersebut.
Keadaan ini dinamakan piemia. Kedua-duanya merupakan infeksi berat namun gejala-gejala septikemia lebih mendadak dari piemia. Pada septikemia, dari permulaan penderita sudah sakit dan lemah. Sampai tiga hari post partum suhu tubuh meningkat dengan cepat, biasanya disertai rasa menggigil. Suhu tubuh berkisar antara 39 – 40°C, keadaan umum cepat memburuk, nadi menjadi cepat (140 – 160X/menit atau lebih). Penderita meninggal dalam enam sampai tujuh hari post partum. Jika ia hidup terus, gejala-gejala menjadi seperti piemia.
Pada piemia, penderita post partum sudah merasa sakit, nyeri perut, dan suhu agak meningkat. Akan tetapi gejala-gejala infeksi umum dengan suhu tinggi serta menggigil terjadi setelah kuman-kuman dengan embolus memasuki peredaran darah. Suatu ciri khusus pada piemia ialah berulang-ulang suhu
meningkat dengan cepat disertai menggigil, kemudian diikuti oleh turunnya suhu.
Ini terjadi pada saat dilepaskannya embolus dari tromboflebitis pelvika. Lambat laun timbul gejala abses pada paru-paru, pneumonia dan pleuritis. Embolus dapat pula menyebabkan abses-abses di beberapa tempat lain (Saifuddin, Abdul Bari, 2006).
2.1.5.3 Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) terjadi pada sekitar 10% wanita hamil, kebanyakan terjadi pada masa prenatal. Mereka yang sebelumnya mengalami ISK memiliki kecenderungan mengidap ISK lagi sewaktu hamil. Servisitis, vaginitis, obstruksi ureter yang flaksid, refluks vesikoureteral, dan trauma lahir mempredisposisi wanita hamil untuk menderita ISK, biasanya dari escherichia coli. Wanita dengan PMS kronis, trutama gonore dan klamidia juga memiliki resiko ISK. Bakteriuria asimptomatik terjadi pada sekitas 5% sampai 15% wanita hamil. Jika tidak diobati akan terjadi pielonefritis kira-kira 30% pada wanita hamil. Kelahiran dan persalinan prematur juga dapat lebih sering terjadi. Biakan dan tes sensitivitas urine harus dilakukan di awal kehamilan, lebih bagus pada kunjungan pertama, spesimen diambil dari urin yang diperoleh dengan cara bersih. Jika didiagnosis adanya infeksi, pengobatan akan dilakukan dengan memberikan antibiotik yang sesuai selama dua sampai tiga minggu, disertai peningkatan asupan air dan obat antispasmodik traktus urinarius. (Saifuddin, Abdul Bari, 2006).
2.1.5.4 Endometritis
Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim). Infeksi ini dapat terjadi sebagai kelanjutan infeksi pada serviks atau infeksi tersendiri dan terdapat benda asing dalam rahim Endometritis adalah infeksi yang berhubungan dengan kelahiran anak, jarang terjadi pada wanita yang mendapatkan perawatan medis yang baik dan telah mengalami persalinan melalui vagina yang tidak berkomplikas Infeksi paska persalinan yang paling sering terjadi adalah endometritis yaitu infeksi pada endometrium atau pelapis rahim yang menjadi peka setelah lepasnya plasenta, lebih sering terjadi pada proses kelahiran caesar, setelah proses persalinan yang terlalu lama atau pecahnya membran yang terlalu dini. Infeksi ini juga sering terjadi bila ada plasenta yang
tertinggal di dalam rahim, mungkin pula terjadi. infeksi dari luka pada leher rahim, vagina atau vulva (Anonym, 2008).
Tanda dan gejalanya akan berbeda bergantung dari asal infeksi, yaitu sedikit demam, nyeri yang samar-samar pada perut bagian bawah dan kadangkadang keluar nanah dari vagina dengan berbau khas yang tidak enak, menunjukkan adanya infeksi pada endometrium. Infeksi karena luka biasanya terdapat nyeri tekan pada daerah luka, kadang berbau busuk, pengeluaran kental, nyeri pada perut, susah buang air kecil Kadang-kadang tidak terdapat tanda yang jelas kecuali peningkatan suhu tubuh. Maka dari itu setiap perubahan suhu tubuh paska persalinan harus segera dilakukan pemeriksaan (Anonym, 2008).
Infeksi endometrium dalam bentuk akut dengan gejala klinis yaitu nyeri abdomen bagian bawah, mengeluarkan keputihan, kadang-kadang terdapat perdarahan, dapat terjadi penyebaran seperti meometritis (infeksi otot rahim), parametritis (infeksi sekitar rahim), salpingitis (infeksi saluran tuba), ooforitis (infeksi indung telur), dapat terjadi sepsis (infeksi menyebar), pembentukan pernanahan sehingga terjadi abses pada tuba atau indung telur (Anonym, 2008).
Terjadinya infeksi endometrium pada saat persalinan, dimana bekas implantasi plasenta masih terbuka, terutama pada persalinan terlantar dan persalinan dengan tindakan terjadinya keguguran, saat pemasangan alat rahim yang kurang legeartis. Kadang-kadang lokea tertahan oleh darah, sisa-sisa plasenta dan selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokeametra dan dapat menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Uterus pada endometritis akan terlihat membesar, serta nyeri pada perabaan dan teraba lembek (Anonym, 2008).
Pada endometritis yang tidak meluas, penderita merasa kurang sehat dan nyeri perut pada hari-hari pertama. Mulai hari ke-3 suhu tubuh meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam beberapa hari suhu dan nadi menurun dan kurang lebih dalam satu minggu keadaan sudah kembali normal. Lokea pada endometritis biasanya bertambah dan kadang-kadang berbau. Hal ini tidak boleh dianggap infeksinya berat. Malahan infeksi berat kadang-kadang disertai oleh lokea yang sedikit dan tidak berbau. Untuk mengatasinya biasanya dilakukan pemberian antibiotik dengan sesegera mungkin agar hasilnya efektif. Dapat pula dilakukan biakkan untuk menentukan jenis bakteri, sehingga dapat diberikan
antibiotik yang tepat (Anonym, 2008). persalinan, dan dengan melewat amnion dapat menimbulkan infeksi pula pada janin.
2.1.6 Komplikasi Bedah Sesar 1. Anemia
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Factor penyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs, persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat bersalin maupun pasca bersalin serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro, 2007)
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11gr % pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5 gr % pada trimester 2, nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil, terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester 2 (Cunningham. F, 2005).
Terdapat peningkatan 40-45% volume darah dari sebelum dan setelah minggu ke-32 sampai 34 kehamilan yang membuat kondisi menjadi hypervolemia.
Semenjak trisemester pertama sudah terjadi peningkatan volume darah.
Peningkatan plasma dan eritrosit menyebabkan meningkatnya volume darah.
Plasma darah yang lebih banyak dari eritosit membuat konsentrasi hemoglobin dan hematokrit menurun sedikit selama kehamilan. Sehingga ditemukan kadar hemoglobin pada trismeter ke-3 adalah 9,5 sampai 15 g/dl(Abbassi, et al, 2009).
Penyebab kemungkinan terjadinnya anemia pada kasus bedah sesar disebabkan oleh adanya pendarahan antepartum maupun postpartum yang tidak segera diatasi. Jumlah pendarahan sebanyak 25-30% dari volume darah dalam waktu singkat dapat menyebabkan kematian. Keadaan-keadaan yang mungkin timbul adalah tekanan darah menurun, nadi meningkat, pernapasan cepat dan dangkal, tekanan sentral menurun, dan produksi urin semakin menurun (Manuaba,2012). Selain disebabkan oleh pendarahan, anemia pada
pasien bedah sesar dapat juga disebabkan adanya kekurangan gizi selama ibu mengandung.
2. Demam
Kadang-kadang demam setelah oprasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya namun kondisi ini biasa terjadi karena infeksi akibat pembedahan. Pada infeksi yang berat biasanya sering dijumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang pecah terlalu lama. Secara umum gejala infeksi, antara lain timbul rasa nyeri serta panas pada tempat infeksi, suhu tubuh sekitar 38°C, dan bila luka terinfeksi tertutup oleh jahitan serta getah radang tidak dapat keluar, demam bisa naik sampai 39-40°C dengan kadang-kadang disertai menggigil (Prawirohardjo, 2014).
3. Mempengaruhi ASI
Efek pembiusan bisa mempengaruhi produksi ASI jika dilakukan pembiusan total (narkose) akibatnya kolostrum (air susu yang keluar pertama kali) tidak bisa dinikmati bayi dan bayi tidak dapat segera menyusui begitu dilahirkan namun apabila dilakukan dengan pembiusan regional tidak banyak mempengaruhi ASI.
4. Endometriosis
Endometriosis adalah kelainan ginekologis yang ditandai dengan adanya pertumbuhan lapisan endometrium secara ektopik yang ditemukan di luar uterus. Secara lebih spesifik lagi dijelaskan sebagai suatu keadaan dengan jaringan yang mengandung unsur – unsur stroma dan unsur granular endometrium khas terdapat secara abnormal pada berbagai tempat di dalam rongga panggul atau daerah lain pada tubuh (Berek, 2012). Etiologi endometriosis belum diketahui. Sampson mengajukan teori regurgitasi transtuba darah haid dan implantasi (Gant & Cunningham, 2010) bahwa darah menstruasi mengalir ke dalam kavum abdomen.
Gambar 2.4. Endometriosis(Berek,2012).
5. Persalinan (> 24 jam)
Partus luar biasa (abnormal) ialah pervaginam dengan bantuan alat- alat atau melalui dinding perut dengan operasi sesarea (Mochtar, 2012). Istilah sesarea sendiri berasal dari bahasa Latin Caedere yang artinya memotong atau menyayat. Tindakan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk melahirkan bayi melalui tindakan pembedahan dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Menurut sejarah seksio sesarea, bayi terpaksa dilahirkan melalui cara ini apabila persalinan alami sudah dianggap tidak efektif (Kasdu, 2003).
Seksio sesarea yang diputuskan mendadak, tanpa perawatan pre-operatif yang memadai, dan tanpa direncanakan sebelumnya disebut seksio sesarea emergensi (Hasiholan, 2007).
6. Ketuban pecah dini
Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of Membrane (PROM) merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan.
Bila KPD terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, disebut sebagai ketuban pecah dini pada kehamilan prematur atau Preterm Rupture of Membrane (PPROM). Pecahnya selaput ketuban tersebut diduga berkaitan dengan perubahan proses biokimiawi yang terjadi dalam kolagen matriks ekstrasel amnion, korion dan apoptosis membran janin(Soewarto S., 2010). KPD berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan persalinan disebut periode laten (lag period = LP).
Bila periode laten terlalu panjang dan ketuban sudah pecah, maka terjadi infeksi yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan anak.
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Sujiayatini, 2012). Dalam menghadapi ketuban pecah dini harus dipertimbangkan beberapa hal diantaranya pada fase laten dilihat lamanya waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi persalinan dan semakin panjang fase laten semakin besar kemungkinan terjadinya infeksi (Manuaba, 2007). Kasus ketuban pecah dini yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar dan jika menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis (Sujiyatini, 2012).
Gambar 2.5. referat ketuban pecah dini (KPD)(Manuaba,et.al)
Ciri chorioamnionitis yaitu abdomen terasa tegang, pemeriksaan laboratorium terjadi leukositosis, protein C meningkat dan kultur cairan amnion positif, sehingga akan terjadi desiduitis yaitu infeksi yang terjadi pada lapisan desidua (Manuaba dkk, 2007).
7. Pre-eklamsia dan eklamsia
Preeklamsia dan eklamsia adalah penyakit hipertensi yang khas dalam kehamilan, dengan gejala utama hipertensi yang akut pada wanita hamil dan nifas. Pre-eklampsia merupakan suatu sindrom khas kehamilan berupa
penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel. Kriteria minimum pre-eklampsia yaitu tekanan darah ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan proteinuria dimana terdapat 300 mg atau lebih protein urin per 24 jam atau 30 mg/dL (1+ pada dipstick) dalam sampel urin acak (Cunningham et al., 2010).
Kombinasi proteinuria dan hipertensi selama kehamilan ditandai sebagai faktor resiko yang meningkatkan nilai mortalitas dan morbiditas selama periode perinatal (Cunningham et al., 2010).
2.2 Manajemen penanganan bedah sesar 2.2.1 Terapi bedah sesar
Sefalosporin termasuk golongan antibiotik betalaktam.
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya. sefalosporin yang lazim digunakan dalam pengobatan, telah mencapai generasi keempat (Tjay dan Rahardja, 2002). Golongan sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasi, yang terdiri dari generasi I, generasi II, generasi III, dan generasi IV. Tampak pada tabel 2.
Tabel 1. Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin
Generasi Contoh Aktivitas
I Sefaleksin, sefalotin, sefazolin, sefradin, sefadroksil
Antibioti yang efektif terhadap Gram positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap Gram-negatif.
II Sefaklor, sefamandol,
Aktivitas antibiotik Gram-negatif yang lebih tinggi dari pada generasi-I.
sefuroksim, sefoksitin, sefotetan, sefmetazol, sefprozil.
III Sefotaksim, seftriakson, seftazidim, sefiksim, sefoperazon, seftizoksim, sefpodoksim, moksalaktam.
Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-postif disbanding generasi-I tapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta- laktamase. Seftazidim dan sefoperazon juga aktif terhadap P.aeruginosa, tapi kurang aktif disbanding generasi-III lainnya terhadap kokus Gram-positif.
IV Sefepim,sefpirom Aktivitas lebih luas disbanding generasi- III dan tahan terhadap beta-laktamase.
Sumber: Kemenkes (2011) 2.2.2 Terapi Farmakologi 2.2.2.1 Antibiotik Bedah Sesar
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Ganiswara dkk., 2001). Antibiotik profilaksis dianjurkan pada persalinan bedah sesar karena dapat mencegah atau mengurangi kejadian infeksi yang disebabkan oleh kuman pada saat operasi (Lamont, et al., 2011). Terapi antibiotik profilaksis diberikan sebelum operasi atau segera saat operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-
tanda nyata adanya infeksi. Diharapkan saat operasi jaringan target sudah mengandung kadar antibiotik tertentu yang efektif untuk menghambat pertumbuhan kuman atau membunuh kuman (Saifudin, 2008). Suatu tindakan obstetrik (seperti bedah sesar atau pengeluaran plasenta secara manual) dapat meningkatkan risiko seorang ibu terkena infeksi.
Untuk kasus bedah, profilaksis diberikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pasca bedah atau yang berakibat berat bila terjadi infeksi pasca bedah. Antibiotik profilaksis digunakan untuk membantu mencegah infeksi. Jika seorang ibu dicurigai atau didiagnosis menderita suatu infeksi, pengobatan dengan antibiotik merupakan jalan yang tepat. Pemberian antibiotik profilaksis 30 menit sebelum memulai suatu tindakan, jika memungkinkan, akan membuat kadar antibiotik dalam darah yang cukup pada saat dilakukan tindakan. Dalam operasi bedah sesar, antibiotik profilaksis sebaiknya diberikan sewaktu tali pusat dijepit setelah bayi dilahirkan. Satu kali dosis pemberian antibiotik profilaksis sudah mencukupi dan tidak kurang efektif jika dibanding dengan tiga dosis atau pemberian antibiotik selama 24 jam dalam mencegah infeksi (Saifudin, 2008).
Agar terapi profilaksis optimal maka antibiotik profilaksis diberikan dalam dosis yang adekuat dosis yang digunakan adalah dosis maksimum tidak efektif karena tidak mampu mencapai konsentrasi dalam darah yang dibutuhkan saat pembedahan dimulai. Administrasi harus diulang intraoperative jika operasi masih berlangsung 2 kali waktu paruh antibiotik profilaksis yang digunakan setelah dosis pertama untuk memastikan antibiotic masih cukup adekuat juga diidentifikasikan bila saat operasi terjadi kehilangan darah yang berlebihan yaitu kisaran antara >1000-1500 mL(ASHP,2013;Ongom and Kijjambu, 2013).
Pemilihan jenis, serta waktu dan durasi pemberian antibitik profilaksis untuk kasus bedah sesar perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut tidak hanya mempertimbangkan risiko keamanan ibu melainkan juga keamanan janin/bayi factor lain yang menjadi perhatian adalah terkait dosis, rute pemberian, dan adanya resistensi dan atau alergi terhadap antibiotic yang digunakan. Factor-faktor tersebut berkaitan dengan farmakodinamika dan farmakokinetika dari tiap antibiotik(Ongom and Kijjambu, 2014; Doherty and way, 2006). Terapi antibiotik
profilaksis dosis tunggal lebih efektif dibandingkan terapi multidosis. Terapi dengan dosis tunggal juga mengurangi biaya, potensial toksisitas, dan risiko kolonisasi organisme resistensi (Murtha and Silverman, 2011).
Antibotik terapi ialah antibiotik yang diberikan pada saat setelah operasi sesar dilakukan. Penggunaan antibiotik terapi untuk pengobatan infeksi operasi sebenarnya tidak berbeda dengan pemberian antibiotik pada umumnya, perbedaannya ialah bahwa terapi antibiotik merupakan terapi tambahan setelah antibiotik profilaksis diberikan. Tujuan pemberian terapi antibiotik adalah untuk mencegah dan mengobati infeksi dengan cara menurunkan atau megeliminasi bakteri sampai daya tahan tubuh sendiri dapat mengatasi organisme patogen (Antibiotik Guidelines, 1992). Kebanyakan infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik peroral dengan rawat jalan, tetapi pada keadaan infeksi bedah yang berat terapi harus diberikan antibiotik secara intravena.
2.2.2.2 Antibiotik Sefalosforin Bedah Sesar 2.2.2.2.1 Sefazolin
Sefalosforin adalah golongan antibiotic yang paling sering diresepkan untuk profilaksis bedah karena memiliki spektrum luas, profil farmakokinetika yang menguntungkan, efek samping jarang terjadi, dan murah. Sefazolin merupakan sefalosforin generasi pertama dan antibiotik profilaksis pilihan untuk bedah sesar. Rekomendasi penggunaan sefazolin sebagai profilaksis yaitu 2 g dosis tunggal dan diberikan 30-60 menit sebelum pembedahan. Kombinasi klindamisin dan aminoglikosida menjadi pilihan terapi untuk pasien yang alergi dengan betalaktam (ASHP, 2013; Kanji and Devlin, 2008).
2.2.2.2.2 Sefuroxim
Sefuroxim merupakan sefalosforin generasi II yang lebih poten melawan E. coli, K. pneumonia, dan p, mirabilis dibandingkan dengan sefalosforin generasi I. generasi II ini mampu melawan Nisseria spp., dan H.
influenzae (Hauser,2013). Sefuroxim memiliki keamanan dan efektifitas yang sama dengan ampicillin yang dikombinasi dengan sulbaktam sebagai antibiotic profilaksis pada prosedur bedah sesar (Ziogos, et al,.2010).
2.2.2.2.3 Seftriakson
Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosforin generasi III.
Modifikasi yang ada pada generasi ini yaitu penambahan aminotiazol yang dapat meningkatkan penetrasi agen antibiotik untuk menembus membrane luar bakteri, meningkatkan afinitas dan meningkatkan stabilitas saat melawan bakteri. generasi ini dapat pula melawan E. coli, Klebsiella spp., Neisseria spp., and H. influenza.
Selain itu dapat pula melawan Enterobacteriaceae, termasuk Enterobacter spp., Citrobacter freundii, provedencia spp., Morganii, dan Serratia spp. Karena kemampuannya yang tidak sesuai untuk mencegah dan mengatasi bakteri yang bias mengkontaminas pada prosedur bedah, maka sefalosforin generasi III, IV tidak direkomendasikan sebagai profilaksis bedah (Hauser,2013). Sementara itu walaupun penggunaan sefalosporin golongan III tidak dianjurkan, penggunaan sefalosporin golongan III khususnya seftriakson sudah sangat lazim digunakan dan juga diterima dikalangan medis (Geroulanos S, et al.2013). pertimbangan untuk penggunaan seftriakson didasarkan dari pemetaan kuman yang ada dirumah sakit. Penggunaan seftriakson sebagai antibiotik profilaksis yaitu 2 g iv diberikan 30 menit sebelum pembedahan (ASHP, 2013). didapatkan hasil bahwa penggunaan seftriakson biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan seftotaksim (Nurkusuma & Arlina Dewi, 2017).
2.2.2.2.4 Sefotaksim
Sefotaksim merupakan golongan antibiotik dengan spektrum luas, dengan aktivitas yang kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan sefaloporin golongan I tetapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta laktamase. Kemampuan ini tidak sesuai untuk mencegah dan mengatasi bakteri yang biasa mengkontaminasi pada prosedur bedah. sehingga sefalosporin golongan III kurang efektif sebagai antibiotik profilaksis bedah (Hauser, 2013).
Gambar. 2.6. struktur kimia sefotaksim (Pubchem)
Pertimbangan pemilihan sefalosporin generasi III yaitu sefotaksim sebagai antibiotik profilaksis bedah sesar pada pedoman rumah sakit didasarkan oleh pola kuman yang ada di rumah sakit.Beberapa percobaan juga menunjukkan antibiotik spektrum luas mampu menurunkan morbiditas infeksi (SOGC, 2010).
Efek samping yang umumnya terjadi seperti utikaria, peradangan pada tempat injeksi. Efek samping lain yang mungkin termasuk peradangan pada lokasi suntikan, obat ini relatif aman untuk digunakan selama kehamilan dan menyusui (Hamilton, Richart,2015).
2.2.2.2.5 Mekanisme Kerja Sefotaksim
Sefotaksim adalah antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Cefotaxime sangat stabil terhadap hidrolisis beta laktamease, maka Cefotaxime digunakan sebagai alternatif lini pertama pada bakteri yang resisten terhadap Penisilin. (Suratman,2012).
Pada percobaan penghambatan dengan E. Coli dan fraksi dinding sel Pseudomonas aeruginosaI sefotaksim telah menunjukkan bahwa sefotaksim memiliki afinitas yang besar protein pengikat penisilin. Afinitas ini dapat menjelaskan bagaimana potensi bakterisidal atau kemampuan untuk membunuh kumannya sangat tinggi. (LeFrock, et al, 1982).
2.2.2.2.6 Farmakokinetika Sefotaksim
Dalam semua studi yang dijelaskan sifat farmakokinetikanya, sefotaksim diberikan sebagai garam natrium, dosis obat yang dinyatakan dalam sefotaksim(McEvoy,2008). Sefotaksim merupakan senyawa kurang diserap dalam saluran pencernaan sehingga harus diberikan secara parenteral(Sweetman,2009). Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang sehat dengan fungsi normal ginjal, tunggal 500 mg, 1 g, atau 2 g dosis sefotaksim diberikan melalui suntikan IV selama 5 menit(McEvoy,2008).
Sefotaksim didistribusikan secara luas pada jaringan dan cairan tubuh, umumnya mencapai konsentrasi terapi di cairan serebrospinal(CSS), terdapat pula pada plasenta. Sefotaksim didistribusikan ke ASI. Dalam sebuah penelitian, aktivitas mikrobiologis pada susu berkisar 0,25-0,52 mcg/mL 2-3 jam setelah 1 g IV dosis tunggal sefotaksim. pada empedu didapati konsentrasi yang tinggi
(Sweetman,2009). Sefotaksim diberikan melalui injeksi sebagai garam natrium, memiliki konsentrasi plasma puncak sekitar 12 dan 20 mikrogram/ml setelah pemberian 30 menit. Waktu paruh sefotaksim 1 jam dan dari metabolisme aktifnya desacetylcefotaxime sekitar 1,5 jam. Sefotaksim dan desacetylcefotaxime didistribusikan secara luas dalam jaringan tubuh dan cairan.
dan obat hendakhnya diberikan setiap 4 sampai 8 jam untuk infeksi yang serius.
Obat ini di metabolisme secara in vivo menjadi desasetilsefotaksime, yang tidak begitu aktif sebagian besar senyawa induknya. Namun, metabolitnya ini bekerja secara sinergis bersama-sama senyawa induknya untuk melawan mikroba tertentu. Beberapa sefalosforin (contohnya, sefotaksim, seftriakson dan sefeksim) berpenetrasi ke dalam CSF dalam kadar yang cukup untuk pengobatan meningitis, dan infeksi yang lainnya. (Goodman & Gilman, 2010).
Table 2. Nama Dagang Pada Sediaan Sefotaksim
Baxima Ethiclaf Kalfoxim Simexim Taximax
Biocef Foxim Lancef Starclaf Timoc
Cefotaxime Glocef Metxime Taxecap Yaforan
Clafexim Inkasim Siclaxim Taxegram Zenotaxim
(PIO Nas, 2015) 2.2.3 Antibiotik Profilaksis
2.2.3.1 Definisi
Antibiotik profilaksis bedah didefinisikan sebagai antibiotik yang diberikan kepada penderita sebelum adanya tanda dan gejala suatu infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya manifestasi klinik infeksi tersebut yang diduga akan/bisa terjadi (Prasetya, 2013).
2.2.3.2 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Prinsip penggunaan antibiotik
profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung (Permenkes, 2011).
1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan (Permenkes, 2011):
a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO).
b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.
c. Penghambatan muncul flora normal resisten.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus bersangkutan.
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.
4. Rute pemberian
a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian antibiotik intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit.
Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) b. Skor ASA (American Society of Anesthesiologists)
c. Lama rawat inap sebelum operasi Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan meningkatkan kejadian ILO.
d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll) e. Indeks Risiko Dua ko-morbiditas (skor ASA>2) dan lama operasi
dapat diperhitungkan sebagai indeks risiko.
f. Pemasangan implant Pemasangan implan pada setiap tindakan bedah dapat meningkatkan kejadian ILO.
2.2.3.3 Keuntungan dan Risiko Antibiotik Profilaksis
Keberhasilan terapi antibiotik pada suatu infeksi tergantung pada beberapa faktor. Untuk mudahnya, konsentrasi antibiotik pada tempat infeksi harus mencukupi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebabnya. Jika pertahanan tubuh inang sempurna dan aktif, efek hambatan minimum, seperti yang ditunjukkan oleh senyawa bakteriostatik (yakni senyawa yang mengganggu pertumbuhan atau replikasi mikroorganisme, namun tidak membunuhnya), mungkin memadai. Sebaliknya jika pertahanan tubuh inang terganggu, pemusnahan dengan antibiotik (yakni efek bakterisid) mungkin diperlukan untuk mengatasi infeksi tersebut. Konsentrasi obat pada lokasi infeksi hendaknya tidak hanya mampu menghambat organisme tersebut, namun juga harus tetap di bawah kadar toksiknya terhadap sel manusia. Jika hal ini dapat dicapai, mikroorganisme tersebut dapat dikatakan rentan terhadap antibiotik. Jika konsentrasi penghambatan atau bakterisid tidak dapat dicapai secara aman, maka mikroorganisme tersebut dikatakan resisten terhadap obat itu (Mark, A.T, dkk, 2009).
Kesalahan dalam pemberian dosis, yang dapat berupa kesalahan frekuensi pemberian atau penggunaan dosis yang berlebihan maupun dosis dibawah dosis terapetik, merupakan hal yang umum terjadi. Meskipun obat antibiotik termasuk
dalam obat yang paling aman dan paling sedikit toksisistasnya dalam praktek medis, namun jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan toksisitas yang berarti.
Penggunaan dosis yang terlalu rendah dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan sangat mungkin menyebabkan terjadinya seleksi resistensi mikroba. Pada beberapa buku menyarankan penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah mayor karena dapat mencegah infeksi luka operasi sehingga efektivitas biaya pengobatan dan perawatan dapat diperoleh (Gilman, G.A., 2008).
2.2.3.4 Antibiotik Profilaksis Bedah Sesar
Penisilin dan sefalosporin merupakan kelompok antibiotik β lactam yang telah lama dikenal. Review yang pernah ada menyimpulkan bahwa ampisilin dosis tunggal atau sefalosforin generasi pertama mempunyai efikasi yang sama dalam mengurangi infeksi puerperal(Saraswati,2013).
1. Penisilin
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Absorpsi kebanyakan penisili setelah pemberian parenteral berlangsung lengkap dan cepat. Pemberian dengan cara intravena sering lebih disukai karena suntikan dosis besar intramuscular mengakibatkan iritasi dan nyeri pada tempat suntikan. Penisilin didistribusikan secara luas ke dalam cairan tubuh dan jaringan setelah diabsorpsi. Kebanyakan penisilin yang diabsorpsi akan cepat diekskresi oleh ginjal ke dalam urin dan dalam jumlah kecil akan diekskresi melalui jalur lain(Saraswati,2013).
2. Sefalosporin
Sefalosporin muncul sebagai agen terpilih pada profilaksis bagi sebagian besar tindakan operasi. Sefalosporin banyak dipakai karena sefalosporin mempunyai spektrum aktivitas yang luas dan efek sampingnya sedikit(Saraswati,2013).
Antibiotik sefalosporin dikelompokkan berdasarkan generasinya.
Senyawa generasi pertama (contoh: sefalotin dan sefazolin) memiliki aktivitas terhadap gram positif dan sedikit aktivitas terhadap gram negatif.
Generasi kedua (contoh sefaklor, sefuroksim dan sefoksitin) memiliki aktivitas yang sedikit lebih baik terhadap gram negatif serta meliputi
beberapa senyawa yang memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob. Generasi ketiga (contoh sefotaksim, seftriakson, dan seftazidim) memiliki aktivitas terhadap organisme gram negatif dan aktivitas yang lebih besar terhadap Enterobacteriaceae, serta satu kelompok yang aktif terhadap P. Aeruginosa.
Generasi keempat (contoh: sefepim) yang memiliki spektrum mirip generasi ketiga, tetapi memiliki stabilitas yang lebih baik terhadap hidrolisis oleh β- laktamase. Suntikan intravena sefalosporin generasi pertama mengalami penetrasi dengan baik pada kebanyakan jaringan dan merupakan obat terpilih untuk profilaksis pembedahan, terutama sefazolin(Saraswati,2013).
Tabel 3. Rekomendasi Dosis dan Dosis Berulang Beberapa Antibiotik Profilaksis Antibiotik Rekomendasi Dosis Half-life
dengan fungsi ginjal normal (jam)
Rekomendasi Dosis berulang
(jam)
Ampicillin-sulbactam 3 g (ampicillin 2 g/
sulbactam 1 g)
0,8-1,3 2
Ampicillin 2 g 1-1,9 2
Cefazolin 2 g 1,2-2,2 4
Cefuroxime 1,5 g 1-2 4
Cefotaxime 1 g 0,9-1,7 3
Ceftriaxone 2 g 5,4-10,9 6
Clindamysin 900 mg 2-4 -
Gentamisin 5 mg/kgBB 2-3 -
Metronidazol 500 mg 6-8 -
(ASHP Therapeutic Guideline, 2013)
2.2.4 Analgesik pada Bedah Sesar 2.2.4.1 Ketorolak
NSAID parenteral seperti ketorolac biasanya digunakan sebagai bagian dari pendekatan multimodal untuk manajemen nyeri pasca operatif akut.
Ketorolak merupakan satu dari sedikit NSAID yang tersedia untuk pemberian parenteral ((Morgan GE, et al, 2006). Absorbsi oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam 30-50 menit. Dosis intramukular 30- 60 mg; IV 15-30 mg dan oral 5-30 mg (Gunawan dan Sulistia,2010). Seperti NSAID lainnya, ketorolac menghambat agregasi platelet dan memperpanjang waktu perdarahan. Ketorolak dan NSAID lainnya oleh karenanya harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan risiko perdarahan pasca operasi.
Pemberian jangka panjang dapat menyebabkan toksisitas ginjal (misalnya, nekrosis papiler) atau ulkus saluran pencernaan dengan perdarahan dan perforasi (Morgan GE, et al, 2006).
2.2.4.2 Tramadol
Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghambat sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. merupakan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) yang digunakan untuk mengatasi nyeri sedang yang akut (Meliala Lucas, 2004; Omoigui Sota, 2012; and Tramadol, 2012). kasus bedah sesar dengan anestesi umum paling efektif menggunakan Tramadol 1 mg/kgBB IV Sebagai obat penghilang nyeri, tramadol lebih efektif pada kasus nyeri berat terkontrol, tetapi lebih kurang efektif pada nyeri ringan.
2.2.5 Antiemetika
Antiemetika yang biasa digunakan untuk meredakan mual dan muntah pasca tindakan oprasi maupun kemoterapi yaitu ondansetron. Untuk menangani mual dan muntah akibat operasi dapat digunakan dengan tablet ondansetron 16 mg satu jam sebelum tindakan anestesi dan ondansetron iv 4 mg sebelum tindakan anestesi dan setelah 2 jam saat tindakan operasi berjalan.
Ondancetron tidak disetujui FDA untuk kehamilan, persalinan, kelahiran atau menyusui.Sebuah studi kasus-kontrol terbaru menunjukkan ada peningkatan risiko bibir sumbing terkait dengan ondansetron.Ondancetron
agenantiemetik potensial adalah hydroxytryptamine reseptor 3 antagonis yang menghalangi efek serotonin Inidirancang secara original untukkemoterapi induksi mual dan muntah Obat ini pada label utamanya untuk digunakan dalam mual dan muntah yang berhubungan dengan terapiradiasi,anestesi dan pembedahan .Dalam kasus ini ondancetron diberikansecara bolus IV sebelum pemberian anastesi bupivacain untuk mengatasi mual dan muntah akubat efek anastesi(Koren, 2012). Efek samping ondansetron tidak terjadi pada pasien,berarti efek samping ondansetronbersifat potensial.Ondansetron di ekskresikan pada air susu tikus dan kelinci, belum diketahui diekskresikan pada ASI, penelitian reproduksi pada tikus dan kelinci IV dosis sampai 4 mg/kg/hari tidak menunjukkan kerusakan kesuburan,atau gangguan pada fetus (Zofran, 2015).
2.2.6 Terapi Non Farmakologi 2.2.6.1 Rekalsasi Autogenic
Mengkombinasikan metode non farmakologis dengan obat- obatan merupakan cara yang paling efektif untuk mengontrolnyeri. Pengendalian nyeri non farmakologis menjadi lebih murah, mudah, efektif dan tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry, 2005) satu metode untuk mengatasi nyeri secara non-farmakologis adalah terapi relaksasi autogenik (Asmadi, 2008).
Relaksasi merupakan suatu keadaan dimana seseorang merasakan bebas mental dan fisik dari ketegangan dan stress. Teknik relaksasi bertujuan agar individu dapat mengontrol diri ketika terjadi 30 rasa ketegangan dan stres yang membuat individu meras dalam kondisi yang tidak nyaman (Potter &
Perry, 2005) 2.2.6.2 Diet
Tujuan diet pasca bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut:
1. Memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
2. Mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
3. Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan Jenis Diet dan Indikasi Pemberian (Almatsier, 2010)
a. Makanan pasca bedah I (MPB I)
Diet ini diberian kepada semua pasien pasca bedah. Pasca bedah kecil: setelah sadar atau rasa mual hilang Pasca bedah besar : setelah rasa sadar atau mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai bekerja. Selama 6 jam sesudah pembedahan, makanan yang diberikan berupa air putih, teh manis, air kacang hijau, sirup, air jeruk manis dan air kaldu jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu yang sesingkat mungkin, karena kurang dari semua zat gizi. Makanan diberikan secara bertahap sesuai kemampuan dan kondisi pasien, mulai dari 30 ml/jam.
b. Makanan pasca bedah II (MPB II)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagainperpindahan dari diet pasca bedah I. Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata 8-10 kali sehari selama pasienntidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan kondisi pasien. Diet ini diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang.
c. Makanan pasca bedah III (MPB III)
Diberikan pada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca bedah II. Makanan yang diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2.000 ml sehari.
d. Makanan pasca bedah IV (MPB IV)
Diberikan pada:Pasien pasca bedah kecil, setelah diet pasca bedah I Pasien pasca bedah besar, setelah diet pasca bedah II Makanan diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan lengkap dan 1 kali makanan selingan.
Pemberian Diet Dini Pasca Operasi Pemberian makan enteral dini pasca operasi melalui oral atau jalur nasoenterik telah disarankan sebagai cara untuk menurunkan durasi dari ileus pasca operasi. Alasan logis dibalik pemberian diet enteral dini adalah bahwa asupan makanan dapat, (1) menstimulasi refleks yang memproduksi aktivitas gerakan usus yang terkordinasi dan (2) memicu sekresi dari hormone gastrointestinal, yang
secara keseluruhan menyebabkan efek positif pada motilitas saluran cerna.
Peran dari pemberian makanan enteral dini pasca operasi masih tetap belum jelas karena beberapa studi mendukung dan studi lainnya menolak keuntungannya yang dapat memperpendek post operative ileus (Luckey,2003; Vather ,2013).
2.2.6.3 Kompres Air Hangat
Salah satu penanganan non farmakologi yaitu kompres hangat merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan memberikan rasa hangat dengan suhu 40ᵒ-43ᵒC di sekitar area insisi sectio caesarean selama 5 sampai dengan 10 menit dengan menggu nakan buli-buli yang berisi air hangat (Potter and Perry, 2010). Kompres hangat bertujuan untuk melebarkan pembuluh darah sehingga me-ningkatkan sirkulasi darah ke bagian yang nyeri, menurunkan ketegangan otot sehingga mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan otot(
Potter and Perry, 2010) Teknik non farmakologi ini dapat diterapkan di semua rumah sakit dan umah bersalin, karena teknik Non farmakolgi ini sangat mudah dilkukan dan biayanya terjangkau(Asmadi,2008).