• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi) Bidang Psikologi Industri dan Organisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi) Bidang Psikologi Industri dan Organisasi"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH INNOVATIVE WORK BEHAVIOR DAN JOB CRAFTING TERHADAP WORKFORCE AGILITY PADA KARYAWAN PERUSAHAAN

DI JABODETABEK DENGAN PENGGUNAAN ENTERPRISE SOCIAL MEDIA SEBAGAI MODERATOR

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi) Bidang Psikologi Industri dan Organisasi

Disusun Oleh:

Diah Andam Suri 21190700000014

MAGISTER SAINS FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H / 2021 M

(2)

i

PENGARUH INNOVATIVE WORK BEHAVIOR DAN JOB CRAFTING TERHADAP WORKFORCE AGILITY PADA KARYAWAN PERUSAHAAN

DI JABODETABEK DENGAN PENGGUNAAN ENTERPRISE SOCIAL MEDIA SEBAGAI MODERATOR

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi) Bidang Psikologi Industri dan Organisasi

Disusun Oleh:

Diah Andam Suri NIM: 21190700000014

Pembimbing

Dr. Abdul Rahman Shaleh, S.Ag., M.Si NIP. 9720823 199903 1 002

MAGISTER SAINS FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H / 2021 M

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis yang berjudul “PENGARUH INNOVATIVE WORK BEHAVIOR DAN JOB CRAFTING TERHADAP WORKFORCE AGILITY PADA

KARYAWAN PERUSAHAAN DI JABODETABEK DENGAN

PENGGUNAAN ENTERPRISE SOCIAL MEDIA SEBAGAI MODERATOR” telah diajukan dalam sidang munaqosah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 September 2021. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi (M.Psi) di Fakultas Psikologi.

Jakarta, 30 September 2021 Sidang Munaqosah

Anggota

Wakil Dekan/Sekretaris Merangkap Anggota

Yufi Adriani, M.Psi., Ph.D.

NIP. 19820918 200901 2 006

Dr. Abdul Rahman Shaleh, S.Ag., M.Si NIP. 9720823 199903 1 002

Dr. Yunita Faela Nisa, P.Si NIP. 19770608 200501 2 003

Dr. Ni

NIP. 19620724 88903 2 001

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Tesis yang saya buat ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Psikologi (M.Psi) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber data yang saya gunakan dalam penulisan tesis ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika, dikemudian hari terbukti bahwa karya yang saya buat ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka, saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 September 2021

Diah Andam Suri NIM: 21190700000014

(5)

iv

MOTTO

All our dreams can come true, if we gave the courage to pursue them.

(Walt Disney)

PERSEMBAHAN:

Penulisan karya ilmiah ini dipersembahkan kepada kedua orang tua penulis yang selalu menerima dan menyayangi penulis hingga tesis ini selesai.

(6)

v

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi B) September 2021 C) Diah Andam Suri

D) Pengaruh innovative work behavior dan job crafting terhadap workforce agility pada karyawan perusahaan di Jabodetabek dengan penggunaan enterprise social media sebagai moderator

E) XV + 116 halaman + lampiran

F) Dewasa ini revolusi industri 4.0 merupakan salah satu bahasan yang paling sering di diskusikan pada ranah psikologi industri dan organisasi.

Terjadinya revolusi 4.0 membawa perubahan yang signifikan kepada seluruh tatanan dunia industri, pelaku dunia bisnis dipaksa untuk dapat beradaptasi dengan cepat akan perubahan tersebut. Tak hanya revolusi industri 4.0, terjadinya pandemi COVID-19 juga memaksa seluruh pelaku dunia bisnis untuk bergerak secara cepat dan tepat atau biasa disebut sebagai agile terkait perubahan yang ada. Penelitian ini akan menggunakan karyawan dari sejumlah perusahaan yang beroperasi di wilayah Jabodetabek sebagai sampel penelitiannya. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh innovative work behavior, job crafting dan variabel demografi terhadap workforce agility yang di moderatori oleh penggunaan enterprise social media. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan total sampel penelitian sebanyak 316 karyawan yang berkerja di perusahaan yang berada di wilayah Jabodetabek. Penulis menggunakan teknik non-probability sampling dengan metode purposive sampling, hal ini dikarenakan penulis melakukan penyebaran data secara terbuka melalui google form dan telah menentukan kriteria dari sampel penelitiannya. Penulis mengadaptasi instrumen ukurnya menggunakan workforce agility questionnaire (WAQ) yang dikembangkan Alavi, dkk., skala innovative work behavior milik de jong & den Hartog, skala job crafting milik Tims, dkk., dan skala enterprise social media yang dikembangkan Pitafi. Dengan menggunakan skala ukur tersebut untuk mengukur instrument ukurnya, didapatkan hasil penelitian bahwa enterprise social media memoderatori pengaruh antara innovative work behaviour, job crafting (increasing structural job resources, decreasing hindering job demands, increasing social job resources dan increasing challenging job demands) dan variabel demografi terhadap workforce agility dinilai fit dengan data.

G) Kata kunci : industrial revolution 4.0, COVID-19, workforce agility, innovative work behavior, job crafting, enterprise social media.

H) Bahan bacaan : 60; 4 buku; 54 jurnal; 1 disertasi; 1 data statistik.

(7)

vi

ABSTRACT

A) Faculty of Psychology B) September 2021 C) Diah Andam Suri

D) The effect of innovative work behavior and job crafting on workforce agility for company employees in Jabodetabek by enterprise social media usage as a moderator

E) XV + 116 pages + appendix

F) Today the industrial revolution 4.0 is one of the most frequently discussed topics in industrial and organizational psychology. The occurrence of the 4.0 revolution brought significant changes to the entire industrial world order, business players were forced to adapt quickly to these changes. Not only the industrial revolution 4.0, the occurrence of the COVID-19 pandemic has also forced all business players to move quickly and precisely or commonly referred to as agile regarding existing changes.

This study will use employees from a number of companies that operating in Jabodetabek area as a research sample. Therefore, this study aims to examine the effect of innovative work behavior, job crafting and demographic variables on workforce agility moderated by the use of enterprise social media. This study uses quantitative research with a total sample of 316 employees who work in companies located in Jabodetabek Area. The author uses a non-probability sampling technique with a purposive sampling method, this is because the author distributes data openly through the google form and has determined the criteria of her research sample. The author adapted the measuring instrument using the workforce agility questionnaire (WAQ) developed by Alavi et al., de Jong

& den Hartog's innovative work behavior scale, Tims et al.'s job crafting scale, and the enterprise social media scale developed by Pitafi. By using this measuring scale to measure the measuring instrument, author found it the result that enterprise social media moderates the influence between innovative work behavior, job crafting (increasing structural job resources, decreasing hindering job demands, increasing social job resources and increasing challenging job demands) and demographic variables on workforce agility is considered fit with the data.

G) Keywords : industrial revolution 4.0, COVID-19, workforce agility, innovative work behavior, job crafting, enterprise social media

H) References : 60; 4 books; 54 journal; 1 disertation; 1 statistic reports.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Berkat ridho serta rahmat dari Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian terkait tesis ini yang berjudul “PENGARUH INNOVATIVE WORK BEHAVIOR DAN JOB CRAFTING TERHADAP WORKFORCE AGILITY PADA KARYAWAN PERUSAHAAN DI JABODETABEK DENGAN PENGGUNAAN ENTERPRISE SOCIAL MEDIA SEBAGAI MODERATOR”. Penyusunan tesis ini ditujukan guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Magister Psikologi (M.Psi) di bidang Psikologi Industri dan Organisasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama proses penyusunan tesis ini, tentunya penulis mendapatkan banyak sekali dukungan, motivasi, serta bantuan berupa material maupun moril. Dalam proses penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini penulis akan menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019- 2023, beserta para jajarannya.

2. Ibu Natris Idriyani, M.Si., dan Bapak Mifathuddin, M.Si., selaku ketua dan wakil ketua Program Studi Magister Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak pernah lelah serta tidak pernah henti-hentinya memotivasi dan juga mengingatkan para mahasiswa/i untuk segera menyelesaikan tesisnya.

3. Bapak Dr. Abdul Rahman Shaleh, S.Ag., M.Si., selaku dosen pembimbing penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta kesediaannya untuk memberikan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terimakasih banyak pak dan maafkan saya,

(9)

viii

jika, selama penulisan tesis ini saya banyak melakukan kesalahan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan berkah-Nya kepada bapak beserta keluarga.

4. Bapak Prof. Dr. Drs. Achmad Syahid, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk menanyakan perkembangan penulisan tesis ini dan juga memberikan saran serta nasehatnya kepada penulis selama studi berlangsung dan selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Magister Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu dan juga pengetahuan yang berguna sehingga membantu penulis dalam penyelesaian proses pembuatan tesis ini.

6. Tata Usaha (TU) dan Akademik Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam pengurusan peradministrasian.

7. Ayah dan Bundo selaku kedua orangtua kandung dari penulis yang selalu memberikan semangat kepada penulis baik itu secara materil ataupun moril serta selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik dan tenang dan juga terima kasih kepada kedua kakak saya yang telah membantu mencari responden terkait penelitian ini.

8. Ika Maya Widiastuti, Rezky Eka Wardana dan Siti Fauziah Aprilia Wijaya yang dengan penuh kesabaran serta ketelatenan dalam mengarahkan penulis guna menyelesaikan penulisan tesis ini serta dengan kebaikan hati telah membantu proses pengolahan data dengan memberikan bimbingan kepada penulis dengan senantiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penulis seputar penelitian.

(10)

ix

9. Chandra Kombara dan Khusnul Fadilah selaku teman seperbimbingan dan seperjuangan yang dengan senang hati berbagi keluh kesah selama penulisan tesis ini, terimakasih juga telah membantu penulis dalam mengolah data serta mencari responden penelitian ini.

10. Kepada teman-teman dekat penulis Siti Habibah Bramandia dan Fahmaiar Oktavena yang selalu memberikan semangat serta masukkan moril yang telah menenangkan penulis ketika menghadapi masalah dalam penyelesaian tesis dan juga kehidupan penulis.

11. Teman-teman Mahasiswa/i Angkatan 2019 Magister Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menjadi saudara dan juga teman seperjuangan penulis baik itu dalam berbagi sedih ataupun suka cita selama perkuliahan.

12. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, peneliti ucapkan banyak terima kasih atas setiap bantuan dan doa yang diberikan. Semoga kebaikan kalian semua dibalas dengan sebaik- baik balasan oleh Allah.

13. Kepada seluruh responden penelitian yang telah bersedia mengisi kuesioner ini, terima kasih atas bantuannya semoga Allah membalas kebaikan teman-teman.

Jakarta, 30 September 2021

Diah Andam Suri

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... I

HALAMAN PENGESAHAN ... II

HALAMAN PERNYATAAN ... III

MOTTO ... IV

ABSTRAK ... IV

ABSTRACT ... VI

KATA PENGANTAR ... VII

DAFTAR ISI ... X

DAFTAR TABEL ... XIII

DAFTAR GAMBAR ... XIV

DAFTAR LAMPIRAN ... XV

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ...1

1.2. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ...10

1.2.1. Pembatasan Masalah ...10

1.2.2. Perumusan Masalah ...12

1.3.Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...13

1.3.1. Tujuan Penelitian ...13

1.3.2. Manfaat Penelitian ...13

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 15

2.1. Workforce Agility ... 15

2.1.1. Definisi Workforce Agility ...15

2.1.2. Dimensi dan Konstruk Workforce Agility ...18

2.1.3. Faktor-Faktor Workforce Agility ...21

2.1.4. Pengukuran Workforce Agility...21

2.2.Innovative Work Behavior ...22

2.2.1. Definisi Innovative Work Behavior...22

2.2.2. Dimensi Innovative Work Behavior ...27

2.2.3. Faktor Innovative Work Behavior ...29

2.2.4. Pengukuran Innovative Work Behavior ...30

2.3.Job Crafting ...30

2.3.1. Definisi Job Crafting...30

2.3.2. Dimensi Job Crafting ...34

2.3.3. Faktor Job Crafting ...37

2.3.4. Alat Ukur Job Crafting ...40

2.4.Penggunaan Enterprise Social Media (ESM) ...40

2.4.1. Definisi Enterprise Social Media (ESM) ...40

2.4.2. Pengukuran Penggunaan Enterprise Social Media ...46

(12)

xi

2.4.Kerangka Berpikir ...47

2.4.1. Hubungan Innovative Work behavior Dengan Workforce Agility ...47

2.4.2. Hubungan Job Crafting Dengan Workforce Agility ...48

2.4.3. Hubungan Penggunaan Enterprise Social Media Dengan Workforce Agility ...50

2.4.4. Hubungan Innovative Work Behavior dan Job Crafting dengan Penggunaan Enterprise Social Media ...52

2.5. Hipotesis ...54

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 55

3.1.Populasi Dan Sampel ...55

3.2.Variabel Dan Definisi Operasional ...57

3.2.1. Workforce Agility (WFA) ...57

3.2.2. Innovative Work Behavior ...58

3.2.3. Job Crafting ...58

3.2.4. Variabel Demografi ...59

3.2.5. Penggunaan Enterprise Social Media (ESM) ...59

3.3.Teknik Pengumpulan Data ...59

3.4.Instrumen Penelitian ...61

3.4.1. Workforce Agility (WFA) ...61

3.4.2. Innovative Work Behavior ...63

3.4.3. Job Crafting ...64

3.4.4. Penggunaan Enterprise Social Media ...66

3.5.Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen ...67

3.5.1. Uji validitas konstruk workforce agility (WFA) ...72

3.5.2. Uji validitas konstruk innovative work behavior...74

3.5.3. Uji validitas konstruk job crafting ...75

3.5.4. Uji validitas konstruk penggunaan enterprise social media (ESM)...77

3.6.Teknik Analisis ...78

3.7. Prosedur Penelitian ...82

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 84

4.1. Gambaran Subjek Penelitian ...84

4.2. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian ...85

4.3. Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ...87

4.4. Hasil Uji Hipotesis Penelitian ...88

4.5. Analisa Pengaruh Langsung Antar Variabel ...91

4.6. Analisa Pengaruh Moderasi Iwb Terhadap Wfa Dimoderasi Oleh ESM ..97

4.7. Analisa Pengaruh Moderasi Jc Terhadap Wfa Dimoderasi Oleh ESM ...99

4.8. Analisa Pengaruh Moderasi Variabel Demografi Terhadap Wfa Dimoderasi Oleh ESM ...102

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 106

5.1. Kesimpulan ...106

5.2. Diskusi ...107

5.3. Keterbatasan Penelitian ...111

(13)

xii

5.4. Saran ...113

5.4.1. Saran Metodologis ...113

5.4.2. Saran Praktis ...114

DAFTAR PUSTAKA ... 117

Lampiran 1 ... 122

Lampiran 2 ... 123

Lampiran 3 ... 130

Lampiran 4 ... 140

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Skor Penilaian Skala Likert Tabel 3.2. Skala Workforce Agility

Tabel 3.3. Skala Innovative Work Behavior Tabel 3.4. Skala Job Crafting

Tabel 3.5. Skala Enterprise Social Media

Tabel 3.6. Muatan Faktor Item Workforce Agility

Tabel 3.7. Muatan Faktor Item Innovative Work Behavior Tabel 3.8. Muatan Faktor Item Job Crafting

Tabel 3.9. Muatan Faktor Item Enterprise Social Media Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Tabel 4.2. Analisis Deskriptif Variabel Penelitian Tabel 4.3. Norma Skor Kategorisasi

Tabel 4.4. Skor Kategorisasi Variabel Penelitian Tabel 4.5. Indeks Model Fit

Tabel 4.6. Koefisien Dampak Langsung Antar Variabel

Tabel 4.7. Indeks Fit Moderasi Antara IWB dan WFA melalui ESM Tabel 4.8. Koefisien Pengaruh Moderasi IWB dan WFA Dimoderasi ESM

Tabel 4.9. Indeks Fit Moderasi Antara JC dan WFA melalui ESM Tabel 4.10. Koefisien Pengaruh Moderasi JC dan WFA Dimoderasi ESM

Tabel 4.11. Indeks Fit Moderasi Antara Variabel Demografi dan WFA melalui ESM

Tabel 4.12. Koefisien Pengaruh Moderasi Variabel Demografi dan WFA Dimoderasi ESM

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berpikir Gambar 4.1. Skema Hasil Uji Model Fit

Gambar 4.2. Hasil Model Fit IWB Terhadap WFA Dimoderasi ESM Gambar 4.3. Hasil Model Fit JC Terhadap WFA Dimoderasi ESM Gambar 4.4. Hasil Model Fit Variabel Demografi Terhadap WFA

Dimoderasi ESM

(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lampiran Instrumen Penelitian Lampiran 2. Lampiran Instrumen Penelitian Lampiran 3. Lampiran Syntax

Lampiran 4. Lampiran Syntax dan Output Path Diagram

(17)
(18)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Persaingan global menyebabkan terjadinya intensitas antar perusahaan menjadi semakin meningkat di dunia bisnis, karena hal tersebut dinilai telah meningkatkan peran dari praktik operasi dalam strategi bisnis pada perusahaan manufaktur dan jasa. Perubahan teknologi pada era ini terjadi dengan sangat cepat, menyebabkan sejumlah perubahan terjadi di lingkungan pada organisasi tersebut. Hal ini dinilai sebagai dampak dari revolusi industri 4.0 yang sedang terjadi, karena di era ini dunia industri dinilai telah berhasil melewati berbagai tahapan.

Era revolusi industri merupakan sebuah era di dunia industri yang berfokus pada Internet of Things (IoT). Dimana IoT sendiri merupakan perputaran yang terjadi di dunia industri yang di dasarkan oleh sistem digitalisasi. Semua aset fisik organisasi diintegrasikan ke dalam ekosistem digital. Untuk dapat bertahan pada era ini setiap organisasi harus melakukan transformasi digital. Karena organisasi perlu bertransformasi dan juga melakukan investasi yang besar terhadap pengimplementasian alat-alat digital di perusahan mereka yang nantinya akan membantu mereka dan juga melakukan pelatihan pada karyawan-karyawannya (Sharon & Aggarwal, n.d.).

Tingginya intensitas persaingan global, laju cepat inovasi pada teknologi dan semakin meningkatnya bisnis elektronik merupakan suatu desakan bagi organisasi dalam memberikan respon secara cepat dan juga jelas terkait

(19)

perubahan diri mereka di era ini. Meski begitu, pada kenyataannya banyak organisasi yang mengalami kesulitan dalam mengubah strategi dan juga struktur organisasinya dengan cepat dan tepat untuk mengikuti tuntutan akan ketidakpastian dalam perubahan yang terjadi (Breu et al., 2002). Oleh karena itu, dalam menyikapi revolusi industri 4.0 yang sedang terjadi para karyawan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan perusahaan yang cepat, penuh tekanan dan dinamis.

Selain membawa perubahan, penerapan industri 4.0 ini juga dinilai memberikan hasil serta efek yang positif bagi organisasi. Revolusi industri keempat telah membawa seluruh dunia bisnis ke dalam suatu jaringan yang sangat besar dalam hal ini setiap perusahaan dapat memanfaatkan digitalisasi guna mengembangkan perusahannya (Sharon & Aggarwal, n.d.). Dalam menghadapi perubahan ini, para pelaku industri bisnis harus mencari cara lain dimana untuk dapat membangun kemampuan baru dalam merespons secara cepat terhadap perubahan yang ada, pada keadaan ini perusahaan diharuskan lebih paham akan agility.

Konsep tentang agility sendiri pertama kali muncul karena adanya penelitian di bidang manufaktur. Agile manufacturing dinilai sebagai strategi kompetitif baru, agility dinilai dapat memenuhi kebutuhan pelanggan yang sangat beragam dalam hal harga, spesifikasi, kualitas, kuantitas dan pengiriman (Breu et al., 2002). Agility dinilai sebagai kemampuan yang dikembangkan oleh organisasi untuk secara aktif mengambil keuntungan dari peluang dan secara positif melawan risiko, yang semuanya muncul dari

(20)

perubahan yang sering, besar dan tidak dapat diprediksi, terutama ketidakpastian yang didorong oleh pasar (Qin & Nembhard, 2010). Kemudian, pengertian agility bagi karyawan adalah kemampuan mereka untuk dapat berkontribusi dalam memperoleh keuntungan bagi perusahaan secara terus- menerus dan untuk dapat tetap bertahan dalam perusahaan tersebut (Asari et al., 2014).

Peran agility sendiri tidak lepas dari workforce agility di perusahaan tersebut, karena workforce agility dinilai sebagai salah satu karakter dan kapabilitas penting yang harus dimiliki oleh seorang karyawan yang bekerja di lingkungan bisnis yang dinamis. Workforce agility dinilai dapat membentuk karyawan untuk lebih aktif dalam menyesuaikan diri dan juga menanggapi perubahan yang terjadi. Tak hanya itu, workforce agility sendiri dinilai sebagai salah satu aspek yang dinilai dapat membantu suatu perusahaan atau organisasi dalam mencapai tujuannya.

Dalam menanggapi perubahan yang ada, workforce agility berfokus pada kemampuan yang dimiliki oleh karyawan yang nantinya akan menginovasi kemampuan awal mereka. Kemudian organisasi dinilai perlu memlakukan pemindaian terhadap lingkungan mereka dan menafsirkan dinamikanya secara terus menerus untuk mengantisipasi kebutuhan terkait keterampilan mereka di masa depan. Selanjutnya, workforce agility dianggap memberikan keuntungan yang cukup baik untuk perusahaan karena terciptanya kerjasama yang baik di dalam organisasi ataupun di luar organisasi (Breu et al., 2002).

(21)

Kemudian, para karyawan yang memiliki agile dinilai dapat menciptakan dampak yang baik dalam merubah lingkungan perusahaan, pengetahuan serta keterampilan yang mereka miliki dinilai dapat diaplikasikan dengan baik pada perubahan yang sedang terjadi. Kemudian, karyawan yang memiliki agile juga dinilai dapat dengan segera beradaptasi dengan dinamika lingkungan perusahaan yang berubah-ubah dengan cepat. Dalam proaktif, belajar, inisiatif pribadi, kreativitas, efikasi diri serta inovasi merupakan karakteristik intrinsik yang harus dimiliki guna mencapai agility itu sendiri (Alavi et al., 2014).

Guna membentuk workforce agility yang baik pada diri karyawan perlu adanya pemberdayaan secara psikologis pada karyawan agar dapat menyesuaikan diri mereka dengan lingkungan perusahaan yang cepat, penuh tekanan, dan dinamis. Karena dalam pelaksanaannya, workforce agility membutuhkan komitmen untuk transformasi berkelanjutan dan juga strategi ketangkasan yang melibatkan struktur, kepemimpinan, dinamika pengambilan keputusan, keterampilan serta hubungan interpersonal karyawan di semua tingkatan (Evangelist-Roach, 2009).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa workforce agility merupakan suatu aspek penting yang dinilai dapat menjadikan karyawan lebih tangkas dan juga dapat membuat karyawan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan segala tuntutan dari perubahan yang ada. Workforce agility sendiri dinilai sebagai kemampuan dari para pekerja atau karyawan di suatu perusahaan dalam menanggapi ketidakpastian lingkungan secara strategis. Kemudian, workforce agility dinilai sebagai

(22)

sebuah kemampuan yang harus dimiliki oleh para pekerja untuk mengubah kapasitas dan kapabilitas dari tenaga kerja tersebut yang selanjutnya hal ini dimaksudkan untuk melatih tenaga kerja tersebut dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan mereka secara tepat waktu (Qin & Nembhard, 2010).

Kemudian, tidak hanya revolusi industri 4.0 yang membawa dunia bisnis di Indonesia khususnya di Jabodetabek untuk bergerak menjadi lebih dinamis dan menuntut para pelaku usaha di industri ini untuk bergerak lebih cepat, pandemi COVID-19 yang sedang melanda seluruh negara di dunia juga menjadi salah satu faktor yang mendorong hal tersebut. Terjadinya pandemi COVID-19 juga merubah seluruh kebiasaan di berbagai aspek kehidupan terutama dunia bisnis, para pelaku bisnis di tuntut untuk dapat memberikan respon yang tepat secara cepat dan juga terus melakukan inovasi agar dapat bertahan di kala pendemi ini. Pandemi COVID-19, menuntut perusahaan untuk dapat menerapkan teknologi dengan sebaik-baiknya agar dapat melanjutkan perputaran dunia bisnis mereka.

Maka dari itu, workforce agility dinilai sebagai salah satu kemampuan dasar dan salah satu strategi yang harus dimiliki oleh karyawan di Jabodetabek pada era revolusi 4.0 dan juga pandemi COVID-19 jika ingin bertahan di suatu perusahaan. Dalam menyikapi perubahan yang terjadi, banyak perusahaan yang meyakini bahwa peran dari workforce agility, penggunaan media sosial, juga terus melakukan inovasi pada perusahaannya serta melibatkan para karyawannya untuk terus berpartisipasi terhadap perubahan

(23)

yang ada merupakan suatu usaha yang harus dilakukan jika ingin tetap bertahan di dunia bisnis yang semakin dinamis ini.

Karena seperti yang kita ketahui pada masa sebelum revolusi 4.0 mulai diterapkan di Indonesia dan juga sebelum pandemi COVID-19 terjadi, perusahaan-perusahaan melakukan penjualan produk dan juga penawaran jasa mereka di titik beratkan pada sistem offline melalui gerai resmi mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu dan juga dengan terjadinya pandemi COVID-19, banyak perusahaan di Jabodetabek harus menemukan cara lain demi keberlangsungan hidup perusahaannya dengan mulai menawarkan produk-produk yang mereka jual melalui media online baik itu melalui marketplace ataupun via website resmi mereka. Hal ini dinilai sebagai bentuk dari adaptasi dan juga respon dari perusahaan terhadap perubahan pada dunia bisnis yang terjadi karena adanya pandemi COVID-19 dan revolusi industri 4.0.

Semakin beragamnya tuntutan pekerjaan yang dimiliki oleh karyawan perusahaan di Jabodetabek juga menjadi salah satu hal lain yang mengharuskan para karyawan untuk memiliki sikap yang tangkas dan gesit, jika, ingin bertahan di dunia industri ini. Dalam hal ini para karyawan diharuskan dapat mengikuti perubahan yang ada serta menguasai berbagai kemampuan yang sesuai dengan pekerjaan mereka. Maka dari itu, workforce agility dinilai sebagai salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki para karyawan pada saat ini. Pada penelitian ini para karyawan yang ada di Indonesia khususnya di wilayah Jabodetabek, para karyawan pada masa

(24)

seperti saat ini dituntut untuk memiliki kemampuan beradaptasi dengan cepat dan memberikan jawaban secara tepat terkait perubahan yang sedang terjadi karena adanya revolusi industri 4.0, pandemi COVID-19 dan juga tuntutan akan bidang pekerjaan.

Akan tetapi, dalam menjawab tuntutan-tuntutan yang ada tidak hanya workforce agility yang harus dimiliki, penerapan teknologi dalam hal ini media sosial sebagai media penjualan produk mereka juga dinilai sebagai kemampuan dalam merespon tuntutan tersebut. Dalam hal ini, perusahaan- perusahaan juga dituntut untuk terus melakukan inovasi terkait produk ataupun jasa yang di tawarkan untuk dapat terus bertahan. Kemudian, sebagai kunci dari keberlangsungan suatu perusahaan karyawan di suatu perusahaan juga berperan penting dalam menyikapi perubahan lingkup kerja ini, para karyawan dituntut untuk memiliki inisiatif yang tinggi dalam menyampaikan aspirasi atau pendapat mereka melalui sebuah platform online yang telah disiapkan oleh perusahaan untuk berkomunikasi.

Terjadinya revolusi industri 4.0 di dunia bisnis dan pandemi COVID-19 tentu memberikan dampak kepada para pelaku bisnis di dunia tersebut dari berbagai negara. Hal ini tentunya membuat sejumlah pelaku dunia bisnis di Indonesia melakukan berbagia persiapan guna menerapkan revolusi industri 4.0 di perusahaannya. Di kutip dari beberapa artikel berita yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa perusahaan di Indonesia yang telah melakukan perubahan-perubahan pada sistem kerja di perusahaannya guna menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dunia industri yang semakin dinamis.

(25)

Berdasarkan beberapa artikel berita, perusahaan-perusahaan ini meyakini bahwa dalam menghadapi perubahan revolusi industri 4.0, agility merupakan hal yang sangat penting agar dapat bertahan di industri ini.

Guna dapat bertahan dengan perubahan lingkungan kerja yang terus terjadi di dunia bisnis ini. Para pelaku usaha dunia bisnis meyakini bahwa peran agility pada perusahaan dan juga agility pada karyawan di perusahaan tersebut memiliki peran yang sangat penting. Kemudian, tak hanya agility yang diperlukan pada era 4.0 dan dimasa pandemi seperti saat ini, innovative work behavior atau perilaku kerja yang inovatif dianggap sebagai faktor penting lain yang tercipta dari adanya perubahan lingkungan seperti saat ini.

Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jannah, (2021), perilaku kerja yang inovatif merupakan variabel independen yang memberikan pengaruh terhadap workforce agility karena innovative work behavior merupakan suatu sikap positif yang harus dimiliki oleh para tenaga kerja yang gesit di suatu perusahaan.

Dalam menyikapi perubahan ini, para pelaku usaha juga diharuskan merubah sistem kerja mereka dengan melibatkan peran dari karyawannya.

Perusahaan menerima masukan ataupun ide dari karyawannya, yang biasa dikenal sebagai job crafting, hal ini di rasa penting untuk dapat bertahan karena dimasa seperti saat ini, melibatkan karyawan dinilai dapat meringankan beban perubahan. Selanjutnya, era 4.0 merupakan era digital yang menggunakan enterprise social media dalam pelaksanaan pekerjaan mereka dinilai akan sangat berpengaruh bagi proses bisnis yang berjalan di perusahaan

(26)

tersebut. Karena ESM dapat berfungsi sebagai alat penting untuk memfasilitasi workforce agility melalui peningkatan komunikasi dan kolaborasi. Penggunaan ESM memungkinkan manajemen pengetahuan dan berbagi dan pemecahan masalah, yang dapat meningkatkan kinerja karyawan (Pitafi et al., 2020).

Tak hanya itu penggunaan internal media sosial dinilai dapat membantu karyawan dalam memenuhi tugas pengetahuan mereka dengan cara yang relatif informal (Qi & Chau, n.d.). Karena pada era ini penggunaan media sosial memainkan peran penting bagi organisasi dalam menyebarkan informasi terkait produk yang mereka jual dan juga untuk berkomunikasi dengan pelanggan (Jermsittiparsert, n.d.). Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa peran dari penggunaan ESM dinilai dapat memperkuat hubungan antar variabel. Sehingga penulis meyakini bahwa penggunaan ESM pada kalangan karyawan di Jabodetabek akan memperkuat hubungan IV dan DV dalam penelitian ini.

Penelitian ini akan menggunakan sejumlah perusahaan yang berada di Jabodetabek. Pemilihan lingkup perusahaan yang berada di Jabodetabek ini dipilih sebagai bentuk untuk memudahkan jangkauan penyebaran kuesioner penelitian ini. Perusahaan-perusahaan yang dipilih oleh penulis sebagai subjek penelitiannya merupakan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang manufaktur dan jasa saja. Jumlah tenaga kerja atau populasi dari penelitian ini yang berada di Jabodetabek selama tahun 2018 – 2020 menurut data Badan

(27)

Pusat Statistik (BPS) sekitar 25 juta jiwa. Dalam penelitian ini diambil sebanyak 316 tenaga kerja sebagai sampel penelitian.

Dalam penelitian ini, penulis akan mencari tahu terkait hubungan antara innovative work behavior, job crafting dan variabel demografi serta penggunaan enterprise social media (ESM) terhadap workforce agility (WFA). Penelitian yang dilakukan penulis akan berbentuk empiris, karena belum adanya penelitian terdahulu yang pernah membahas terkait hubungan antara ketiga variabel tersebut. Kemudian, berdasarkan penjelasan terkait latar belakang masalah penelitian terdahulu dari variabel yang menjadi fokus penelitian, maka penulis memberikan judul untuk penelitian ini adalah

“Pengaruh Innovative Work Behavior Dan Job Crafting Terhadap Workforce Agility Pada Karyawan Perusahaan di Jabodetabek dengan

Penggunaan Enterprise Social Media Sebagai Moderator”.

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan Masalah

Dari penjelasan di latar belakang masalah dalam penelitian ini, penulis melakukan pembatasan bahasan terhadap penelitian ini. Adapun pembahasan dalam penelitian ini befokus pada pengaruh innovative work behavior, job crafting, variabel demografi dan penggunaan enterprise social media (ESM) terhadap workforce agility (WFA) pada karyawan-karyawan yang bekerja di perusahaan di Jabodetabek. Adapun pengertian singkat dari beberapa variabel dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

(28)

a. Workforce Agility (WFA) didefinisikan oleh Alavi et al., (2014) sebagai kemampuan karyawan dalam menangani dan menanggapi perubahan serta ketidakpastian yang terjadi dengan beradaptasi akan perubahan dan kondisi tersebut yang berkaitan dengan bidang bisnis mereka.

b. De Jong & Den Hartog, (2010) mendefinisikan innovative work behavior sebagai suatu perilaku individu yang mengarah pada peran kerja, proses, produk, atau prosedur baru yang bermanfaat. Dalam penelitian ini innovative work behavior diukur berdasarkan empat dimensi yang disebutkan oleh De Jong & Den Hartog (2010), yaitu, idea exploration, idea generation, idea championing dan idea implementation.

c. Job Crafting di definisikan oleh Tims, M., Bakker, A. B., & Derks, D., (2012) sebagai perilaku akan perubahan kerja yang ditujukan individu untuk nanti perilaku tersebut dilakukan guna menyeimbangakan antara sumber daya pekerjaan (job resources) serta untutan pekerjaan (job demand). Adapun beberapa dimensi yang dinilai dapat mempengaruhi perilaku job crafting tersebut adalah increasing structural job resources, decreasing hindering job demands, increasing social job resources dan increasing challenging job demands (Tims, M., Bakker, A. B., & Derks, D. 2012).

d. Variabel Demografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin dan lama bekerja seorang karyawan di perusahaan tempat mereka bekerja.

(29)

e. Penggunaan enterprise Social media (ESM) dapat dipahami sebagai suatu platform berbasis web yang memungkinkan pekerja untuk melakukan beberapa hal, seperti: 1. Mengkomunikasikan pesan dengan rekan kerja tertentu atau menyebarkankan pesan ke seluruh orang yang ada di organisasi; 2. Menunjukkan secara jelas ataupun secara tersirat dalam mengungkapkan rekan kerja tertentu sebagai mitra komunikasi; 3.

Memposting, mengedit, dan mengurutkan teks serta file yang ditautkan ke mereka sendiri atau ke orang lain; 4. Melihat pesan, koneksi, teks, dan file yang dikomunikasikan, diposting, diedit serta disortir oleh siapa pun dalam organisasi kapan pun mereka pilih (Leonardi et al., 2013).

f. Penelitian ini dilakukan pada karyawan-karyawan perusahaan yang beroperasi di wilayah Jabodetabek.

1.2.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di latar belakang yang berada pada halaman-halaman sebelumnya, maka, penulis menentukan rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan enterprise social media (ESM) memoderatori antara innovative work behavior, job crafting (increasing structural job resources, decreasing hindering job demands, increasing social job resources dan increasing challenging job demands) dan variabel demografi terhadap workforce agility (WFA)?

2. Apakah innovative work behavior, job crafting dan variabel demografi mempengaruhi workforce agility (WFA)?

(30)

3. Apakah innovative work behavior mempengaruhi workforce agility (WFA)?

4. Apakah job crafting (increasing structural job resources, decreasing hindering job demands, increasing social job resources dan increasing challenging job demands) mempengaruhi workforce agility (WFA)?

5. Apakah variabel demografi mempengaruhi workforce agility (WFA)?

6. Apakah penggunaan enterprise social media (ESM) mempengaruhi workforce agility (WFA)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari innovative work behavior, job crafting dan variabel demografi yang dimoderatori penggunaan enterprise social media (ESM) terhadap workforce agility (WFA) di era revolusi industri 4.0 dan di masa pandemi seperti saat ini pada karyawan perusahaan yang beroperasi di wilayah Jabodetabek.

1.3.2. Manfaat Penelitian 1.3.2.1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap hasil penelitian yang telah dilakukannya dapat menjadi salah satu sumbangsih baru dalam perkembangan ilmu psikologi industri dan organisasi terutama yang berkaitan dengan variabel workforce agility (WFA), innovative work behavior, job crafting serta penggunaan enterprise social (ESM), dan juga dapat memberikan kontribusi sebagai literatur penelitian selanjutnya.

(31)

1.3.2.2. Manfaat Praktis

Penelitian yang telah dilakukan ini diharapkan dapat menjadi saran atau informasi tambahan bagi perusahaan yang berada di Jabodetabek dalam penerapan dan juga pengembangan workforce agility (WFA) dalam diri para karyawan di masa pandemi dan revolusi industri 4.0 seperti saat ini di perusahaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam penerapan serta pengembangannya dapat dilakukan secara efektif bagi organisasi tersebut guna memperoleh hasil yang maksimal. Karena karyawan yang unggul merupakan suatu aset dan penggerak dari roda kehidupan di organisasi tersebut. Kemudian, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Jabodetabek terkait penerapan workforce agility, innovative work behavior, job crafting dan penggunaan enterprise social media sehingga dapat meningkatkan kinerja dari karyawan di perusahaan- perusahaan yang beroperasi di wilayah Jabodetabek.

(32)

15 BAB 2

LANDASAN TEORI 2.1. Workforce Agility

2.1.1. Definisi Workforce Agility

Pengertian terkait workforce agility berangkat dari konsep agility di tahun 90-an. Konsep agility sendiri sudah lama berkembang, akan tetapi, konsep ini mulai berkembang pada jasa manufaktur di tahun 90-an, yang kemudian menjadi dasar penelitian agility di dunia industri. Belakangan ini agility menjadi suatu bahasan yang mendapatkan minat yang cukup besar dari para peneliti dan industrialis. Konsep agility di dunia industri pun berkembang dari mulai konsep organizational agility hingga ke konsep workforce agility itu sendiri. Akan tetapi, pemahaman terkait workforce agility dapat dipahami melalui agile workforce terlebih dahulu.

Menurut Prahalad dan Hamel; Yusuf et al., agile workforces merupakan kemampuan yang dimiliki karyawan yang secara proaktif menginovasi basis keterampilan mereka tepat sebelum kebutuhan akan perubahan. Pada penerapannya agile worforce sendiri dianggap mendapatkan keuntungan dari adanya kolaborasi yang tercipta, baik di dalam maupun di luar organisasi.

Kolaborasi yang dilakukan dapat melalui banyak bentuk, baik itu melalui tim proyek lintas fungsi, usaha kolaboratif dengan perusahaan lain atau organisasi virtual. Terkait penerapan agile workforce, karyawan dituntut untuk bergerak cepat, cepat dan efektif untuk di aplikasikan ke dalam lingkungan kolaborasi apapun (Breu et al., 2002).

(33)

Workforce agility pada dasarnya berarti bagaimana karyawan suatu organisasi mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan kerja. Menurut Kidd dalam Muduli & Pandya, (2018), workforce agility terdiri dari dua hal utama yang mempengaruhinya, yaitu: kemampuan yang dimiliki para tenaga kerja untuk bereaksi terhadap perubahan ekologi dengan cara yang paling sesuai dalam waktu yang optimal, dan hal yang digunakan para tenaga kerja untuk melihat tantangan yang ada sebagai suatu peluang. Definisi lain dari workforce agility adalah sebuah kemampuan yang dimiliki oleh para pekerja untuk mengubah kapasitas dan kapabilitas dari tenaga kerja yang selanjutnya dimaksudkan untuk melatih tenaga kerja tersebut dalam menguasai pengetahuan dan keterampilan mereka secara tepat waktu (Qin & Nembhard, 2010).

Kidd, (1994) menyebutkan bahwa workforce agility (WFA) melibatkan dua elemen utama, yaitu: WFA merupakan kemampuan dari karyawan dalam merespon perubahan dengan cara yang tepat, dan WFA merupakan kemampuan dari karyawan mengeksploitasi perubahan dan mengambil keuntungan dari perubahan tersebut yang membuat perubahan tersebut sebagai peluang bagi mereka (Muduli, 2016). Workforce agility juga didefinisikan oleh Alavi et al., (2014) sebagai kemampuan karyawan dalam menangani dan menanggapi perubahan dengan beradaptasi secara cepat akan perubahan dan juga kondisi baru yang tercipta karena perubahan tersebut.

Pengertian lain dari workforce agility disebutkan oleh Dyer dan Shafer, (2001), adalah sebagai kemampuan karyawan yang proaktif, adaptif dan generatif.

Dalam hal ini para karyawan dituntut untuk belajar dan mendidik secara

(34)

bersamaan di berbagai bidang kompetensi dengan aktif berbagi informasi dan pengetahuan (Muduli, 2016). Workforce agility juga dianggap sebagai kemampuan gesit karyawan di tempat kerja yang dapat diamati, bukan kepribadian, kecenderungan, atau atribut (Sya & Mangundjaya, 2020). Definisi lain dari workforce agility diartikan sebagai suatu kondisi yang berkaitan dengan kemampuan karyawan dalam beradaptasi akan perubahan lingkungan kerja mereka (Paul et al., 2020).

Menurut Gunasekaran, workforce agility mengacu pada aspek individual dari ketangkasan secara keseluruhan dari seorang karyawan di suatu perusahaan.

Inti dari workforce agility sendiri adalah kemampuan untuk mengubah kapasitas dan kapabilitas dari tenaga kerja yang selanjutnya akan melatih tenaga kerja di suatu perusahaan untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan secara tepat waktu. Selanjutnya, dalam mengidentifikasi workforce agility dapat berdasarkan lima kemampuan, yaitu: intelligence, competencies, collaborations, culture, dan information systems (Qin & Nembhard, 2010).

Dalam hal ini workforce agility diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan dari organisasi dan memberikan manfaat bagi organisasi tersebut. Peran WFA dinilai penting karena untuk meningkatkan produktivitas, laba dan pangsa pasar dari organisasi tersebut, untuk menumbuhkan bisnis yang baik dalam pasar kompetitif yang mengalami perubahan secara terus menerus dan tak terduga, serta untuk meningkatkan kemungkinan bagi organisasi agar dapat bertahan di lingkungan bisnis yang tidak stabil dan global (Breu et al., 2002). Terdapat beberapa faktor yang dinilai memberikan pengaruh dalam pembentukan

(35)

workforce agility pada karyawan, yaitu: berbagi informasi, pelatihan, penghargaan, pembagian kekuasaan, praktek manajemen tenaga kerja, organisasi kerja dan komitmen organisasi (Sya & Mangundjaya, 2020).

Secara singkat workforce agility dapat diartikan sebagai kemampuan dari karyawan dalam merespon suatu ketidakpastian secara strategis cepat dan tepat di lingkungan industri yang dinamis serta untuk merespons perubahan kebutuhan bisnis berdasarkan pengetahuan dan kemampuan teknis yang mereka miliki di semua bidang bisnis mereka. Kemampuan tersebut bertujuan guna mengembangkan diri mereka dan juga perusahaan tempat mereka bekerja.

Workforce agility dapat dihasilkan dari serangkaian atribut, perilaku, kompetensi, kapabilitas, atau pola berpikir dari karyawan di suatu perusahaan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pemahaman terkait workforce agility yang dikembangkan oleh Alavi, karena dirasa paling sesuai dengan keadaan tenaga kerja di Indonesia.

2.1.2. Dimensi dan Konstruk Workforce Agility

Alavi et al., (2014) menyebutkan bahwa terdapat tiga dimensi dalam workforce agility, yaitu proactivity, adaptability dan resiliency. Pernyataan Alavi ini diperkuat dengan pernyataan Sherehiy, Sherehiy & Karwowski, (2014) menyebutkan bahwa workforce agility hanya memiliki tiga dimensi. Tiga dimensi tersebut adalah proactive, adaptive dan reseilience. Adapun penjelasan ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Proactive behavior merupakan perilaku karyawan dalam mengantisipasi masalah yang berkaitan dengan perubahan serta pencarian solusi dari

(36)

masalah tersebut dan melakukan perbaikan secara keseluruhan dalam pekerjaannya.

b. Adaptive behavior berkaitan dengan kemampuan fleksibilitas professional dari karyawan itu sendiri. Dalam hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengambil banyak tanggung jawab, berpindah dengan mudah dari satu peran ke peran lain, serta dapat bekerja secara bersamaan pada tugas yang berbeda dalam tim yang berbeda.

c. Resilience behavior berarti kemampuan karyawan untuk bersikap positif terhadap perubahan, ide baru, dan penerapan teknologi baru. Kemudian, sikap toleransi terhadap situasi yang tak terduga, perbedaan pendapat, dan juga sikap toleransi terhadap situasi yang menimbulkan stres serta cara mengatasi stress tersebut.

Definisi lain yang berkaitan dengan dimensi dari workforce agility dijelaskan oleh Wei et al., (2020). Wei, menyebutkan bahwa dimensi adaptability melibatkan kemampuan karyawan dalam mengadopsi perubahan pasar dan berkolaborasi dengan kolega secara cepat dalam melintasi batas-batas dari organisasi. Kemudian, dimensi proactivity merupakan kemampuan yang dimiliki karyawan untuk menemukan peluang baru dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, dan juga menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah. Selanjutnya, dimensi resiliency merupakan kemampuan yang dimiliki karyawan untuk melakukan tugas secara efisien di bawah lingkungan yang penuh tekanan dan memiliki sikap toleransi terhadap situasi yang tidak terduga (Wei et al., 2020).

(37)

Menurut Virchez, (2015) yang menjadi kerangka referensi untuk menguji karakteristik workforce agility tidak lagi hanya berdasarkan tiga dimensi yang disebutkan Sherehiy dan Karwowski, melainkan menjadi lima dimensi. Adapun kelima dimensi tersebut, yaitu proactivity, adaptivity, reseiliency, business orientation dan self awareness. Kelima dimensi ini dinilai menjadi komponen utama untuk mengukur workforce agility pada saat ini. Adapun pengertian dari kelima dimensi ini adalah, sebagai berikut:

Proactivity dipahami sebagai antisipasi masalah terkait perubahan.

Adaptivity merupakan adaptasi interpersonal dan budaya perusahaan. Resiliency mempelajari tugas dan tanggung jawab baru serta menumbuhkan sikap toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan tidak terduga. Business orientation merupakan pengetahuan yang dimiliki karyawan terkait operasi organisasi, lingkungan bisnis dan prioritas terhadap masa depan. Self awareness merupakan sikap karyawan terhadap pengembangan diri dan belajar mandiri yang juga berkaitan dengan sikap terhadap kesehatan fisik dan psikologis dari diri mereka (Virchez, n.d.).

Kemudian Muduli, (2016), menyebutkan bahwa terdapat empat elemen yang menjadi dimensi dari agility itu sendiri, yaitu: proactiveness, radicalness, responsiveness,dan adaptiveness. Proactiveness merupakan kemampuan untuk menciptakan serta mengendalikan situasi. Radicalness adalah ketelitian dalam menanggapi perubahan ekstrim yang terjadi pada organisasi yang sepenuhnya merujuk pada perubahan penerapan teknologi di perusahaan tersebut.

Responsiveness adalah kualitas menanggapi perubahan dengan cepat dan positif.

(38)

Adaptiveness sedang siap dan mampu beradaptasi dengan perubahan. Semua dimensi ini penting agar gesit (Muduli, 2016).

2.1.3. Faktor-Faktor Workforce Agility

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu di ketahui bahwa terdapat beberapa faktor yang dinilai memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penerapan workforce agility di suatu perusahaan. Faktor-faktor tersebut merupakan Independent Variable (IV) dari penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dan didapatkan hasil bahwa variabel-variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap workforce agility. Adapun beberapa faktor yang dinilai dapat mempengaruhi penerapan workforce agility di suatu perusahaan adalah sebagai berikut: Organizational Practices, Psychological Empowerment, Workplace Spirituality, Organizational Learning, Organic Structure, Manufacturing Flexibility, Organizational Intelligence, Agility Strategy, Work Organization, Enterprise Social Media, Meta Knowledge, Organization Agility, HR Practices, Affective Commitment dan Workplace Performance.

2.1.4. Pengukuran Workforce Agility

Dalam penelitian ini penulis mengukur workforce agility menggunakan Workforce Agility Questionnaire (WAQ). Konstruksi pertanyaan dari alat ukur ini dirancang oleh Sherehiy et al., yang kemudian dikembangkan dan divalidasi ulang oleh Alavi et al., di tahun 2014 dan 2016. Alat ukur yang dirancang Sherehiy et al., mengklasifikasikan atribut dari alat ukurnya berdasarkan tiga dimensi dari

(39)

workforce agility, yaitu: proactivity, adaptability dan resiliency. Ketiga dimensi tersebut, merujuk kepada kemampuan beradaptasi dan ketahanan dari seorang karyawan.

Kuesioner yang dikembangkan Alavi terdiri dari 39 item yang kemudian di modifikasi ulang oleh Alavi, (2016), menjadi 23 item yang datanya diukur menggunakan skala Likert 6 poin dengan rentang skor 1-6. Dengan poin 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) hingga poin 6 untuk jawaban Sangat Setuju (SS). Dengan perolehan nilai validitas berdasarkan analisis data menggunakan CFA, workforce agility adalah (χ2 (296) = 449.175, p <0,001), maka dari itu, indeks kecocokan alat ukur ini dapat diterima. Kemudian nilai  Cronbach dari masing-masing dimensi adalah 0.95, 0.93 dan 0.91(Alavi, 2016). Alat ukur ini dinilai memiliki nilai yang stabil dalam mengukur agility dari seorang karyawan sehingga WAQ dapat diterima.

2.2. Innovative Work Behavior

2.2.1. Definisi Innovative Work Behavior

Revolusi industri 4.0 membuat lingkungan dunia bisnis saat ini menjadi sangat dinamis karena pada era ini setiap perusahaan dituntut untuk bergerak cepat. Dalam menanggapi perubahan lingkungan ini perusahaan dituntut untuk terus melakukan inovasi bagi perusahaannya agar dapat tetap bertahan di dunia bisnis ini. Perusahaan juga dinilai tidak bisa hanya mengandalkan culture yang sudah lama terdapat di perusahaan, mereka harus melakukan inovasi terhadap culture tersebut akan tetapi, tidak menghilangkan apa yang menjadi value dari perusahaan. Kemudian, sebagai penggerak inovasi di perusahaan karyawan juga

(40)

dituntut untuk memiliki innovative work behavior yang dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuan dan juga membantu perusahaan untuk dapat bertahan di dunia bisnis. Hal tersebut dilakukan para karyawan juga guna mempertahankan eksistensinya di perusahaan tersebut.

Scott dan Bruce, (1994) menyebutkan bahwa innovative work behavior berangkat dari pemahaman terkait inovasi individu itu sendiri terhadap pekerjaan dan organisasinya. Pemahaman terkait inovasi individu dimulai dengan pengenalan masalah dan generasi ide atau solusi, baik yang baru maupun yang diadopsi. Maka dari itu, inovasi dipandang sebagai proses dengan berbagai tahapan yang didalamnya terdapat aktivitas yang berbeda serta perilaku individu yang berbeda di setiap tahapnya. Inovasi ini sebenarnya terjadi karena aktivitas yang tidak berkesinambungan dengan tahapan berurutan, dalam hal ini individu dapat terlibat dalam pembentukan kombinasi apapun dari perilaku pada satu waktu. (Scott & Bruce, 1994).

Menurut West dan Farr dalam De Spiegelaere et al., (2014) innovative work behavior didefinisikan sebagai semua perilaku karyawan yang diarahkan pada pembuatan, pengenalan ataupun penerapan terkait peran, kelompok atau organisasi, yang meliputi ide, proses, produk atau prosedur, baru untuk unit adopsi yang relevan. Definisi ini membatasi perilaku inovatif pada upaya yang disengaja untuk memberikan hasil baru yang memberikan manfaat bagi organisasi (Janssen, 2000). Kemudian, definisi innovative work behavior juga disebutkan oleh Kleysen, (2001) sebagai tindakan yang dilakukan oleh individu karena terjadinya kemunculan, pengenalan serta penerapan ide-ide baru yang dinilai

(41)

menguntungkan organisasi di berbagai tingkatan (Kleysen & Street, 2001). Maka dari itu, innovative work behavior dianggap sebagai sebuah perilaku yang memberikan manfaat bagi sebuah organisasi (De Spiegelaere et al., 2014).

Yuan & Woodman, (2010) menyebutkan bahwa innovative work behavior merupakan niat dari karyawan untuk membuat, memperkenalkan serta menerapkan ide-ide baru yang mereka miliki dalam kelompok atau organisasi tempat mereka bekerja, yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja dari kelompok ataupun organisasinya. Innovative work behavior juga didefinisikan sebagai suatu perilaku kompleks yang terdiri dari tiga tugas berbeda, yaitu:

pembentukan ide, promosi ide serta realisasi ide. Innovative work behavior dimulai dengan pembuatan ide, atau produksi ide atau solusi baru, yang dapat berupa orisinal atau diadaptasi dari produk atau proses yang ada (Fang et al., 2015).

Innovative work behavior adalah semua perilaku karyawan yang diarahkan pada pembuatan, pengenalan atau penerapan ide, proses, produk atau prosedur, baru untuk unit adopsi yang relevan yang seharusnya secara signifikan menguntungkan unit yang relevan (De Spiegelaere et al., 2012). Janssen, (2000), menyebutkan bahwa innovative work behavior merupakan hasil dari kreatifitas yang sengaja dilakukan oleh karyawan, pengenalan dan penerapan ide-ide baru dalam peran kerja, pada kelompok ataupun organisasi tempat mereka bekerja dengan tujuan memberikan manfaat pada kinerja peran, kelompok atau organisasi.

Selanjutnya, Yuan dan Woodman, (2010), mengkonseptualisasikan innovative work behavior sebagai perilaku kompleks yang terdiri dari kegiatan yang

(42)

berkaitan dengan pengenalan ide-ide baru (baik itu yang didapat dari diri sendiri ataupun diadopsi dari pemahaman orang lain) serta merealisasikan atau mengimplementasikan ide-ide baru tersebut. Dalam hal ini, pelaksanaan innovative work behavior dinilai akan memberikan keuntungan bagi kelompok ataupun perusahaaan.

De Jong & Den Hartog, (2010), mendefinisikan innovative work behavior sebagai suatu perilaku individu yang mengarah pada peran kerja, proses, produk, atau prosedur baru yang bermanfaat. Lebih lanjut lagi, De Jong & Den Hartog, (2010), memandang innovative work behavior sebagai suatu 'kesediaan' dari seorang karyawan untuk mengembangkan inovasi. Istilah kesediaan disini merujuk pada sikap atau niat karyawan lebih dari perilaku karyawan yang efektif.

Selanjutnya Carmeli dkk, dalam De Spiegelaere et al., (2014) mendeskripsikan innovative work behavior mengacu pada berbagai aktivitas yang dapat dimasukkan sebagai perilaku yang inovatif dari diri karyawan. Definisi ini membicarakan tentang bagaimana menghasilkan dan mengembangkan ide, menemukan dukungan dan implementasi inovasi yang efektif di tempat kerja.

Carmeli dkk, juga menyebutkan secara jelas terkait maksud dari adanya inovasi untuk berkontribusi pada kinerja organisasi. Sebaliknya, definisi ini sangat menyarankan bahwa satu karyawan harus bertanggung jawab atas semua fase inovasi (De Spiegelaere et al., 2014).

Definisi innovative work behavior disebutkan oleh Tuominen dan Toivonen adalah seluruh kegiatan yang bertujuan untuk berkontribusi pada penciptaan dan pemanfaatan hal-hal baru yang bermanfaat bagi kelompok ataupun

(43)

perusahaan. Pengertian ini menghilangkan ketergantungan akan hasil dari definisi innovative work behavior dengan menyatakan bahwa dalam penerapannya innovative work behavior perlu fokus pada hal-hal baru yang positif. Akan tetapi, definisi ini memiliki satu kelemahan kecil yaitu definisi ini tidak secara jelas menunjukkan bahwa inovasi yang dilakukan oleh karyawan harus selalu baru untuk konteks tertentu (Spiegelaere, n.d.).

Innovative work behavior berkaitan dengan bagaimana karyawan menemukan, menyarankan dan menerapkan ide-ide baru yang bermanfaat dengan pekerjaan mereka (De Spiegelaere et al., 2014). Kemudian, innovative work behavior dinilai sebagai niat dari suatu individu untuk menciptakan, memperkenalkan serta menerapkan ide-ide baru yang dimilikinya dengan tujuan untuk mengoptimalkan kinerja dari kelompok dan juga organisasi. Singkatnya innovative work behavior merupakan niat dari suatu individu yang diekspresikan dalam pekerjaan terhadap kelompok dan juga organisasi mereka. Dalam penerapannya innovative work behavior merupakan suatu kondisi yang dapat diciptakan oleh setiap individu yang ada, karena setiap individu memiliki potensi untuk berinovasi terkait pekerjaannya yang dibantu dengan iklim dan lingkungan organisasi yang memadai.

Innovative work behavior dapat dibedakan dari konsep seperti kreativitas karyawan karena dua alasan utama, yaitu kreativitas berfokus secara eksklusif pada fase 'idea generation’, karena innovative work behavior mencakup semua perilaku karyawan yang berkaitan dengan proses inovasi itu. Selanjutnya, kreativitas secara umum mengacu pada penciptaan sesuatu yang 'benar-benar

(44)

baru', dalam hal ini innovative work behavior berfokus pada sesuatu yang baru, untuk unit adopsi yang relevan (Spiegelaere et al., 2015).

Singkatnya innovative work behavior berkaitan dengan bagaimana suatu perusahaan dalam menemukan, menyarankan dan menerapkan ide-ide baru yang mereka miliki dan memberikan manfaat bagi pekerjaan mereka. Penelitian ini menggunakan pemahaman innovative work behavior yang di teliti dan dikembangkan oleh De Jong & Den Hartog karena dinilai lebih sesuai dengan keadaan tenaga kerja saat ini. Dalam menemukan ide-ide baru yang berkaitan dengan pekerjaan mereka para tenaga kerja harus melalui beberapa tahapan untuk dapat mengimplementasi suatu ide yang mereka miliki.

2.2.2. Dimensi Innovative Work Behavior

Menurut De Jong & Den Hartog, (2010), terdapat empat dimensi yang berkaitan dengan innovative work behavior adalah idea exploration, idea generation, idea championing dan idea implementation. Adapun penjelasan terkait keempat dimensi yang mempengaruhi innovative work behavior, adalah sebagai berikut:

a. Idea exploration adalah cara untuk meningkatkan produk, layanan atau proses saat ini atau mencoba untuk memikirkannya dengan cara alternatif.

b. Idea generation adalah pembentukkan ide yang mungkin berhubungan dengan produk, layanan atau proses baru, masuk ke pasar baru, perbaikan dalam proses kerja saat ini, atau secara umum, solusi untuk masalah yang teridentifikasi.

(45)

c. Idea championing merupakan sebagian besar ide yang dimiliki dan perlu dipromosikan karena seringkali tidak sesuai dengan apa yang telah digunakan dalam kelompok kerja atau organisasi mereka.

d. Idea implementation merupakan upaya yang cukup besar dan sikap yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mewujudkan ide tersebut.

Implementasi ide ini termasuk membuat inovasi sebagai bagian dari proses kerja dan perilaku yang dilakukan dalam mengembangkan produk atau proses kerja baru.

Selanjutnya, penjelasan terkait dimensi yang masih berkaitan dengan dimensi yang dikemukakan De Jong & Den Hartog, (2010) untuk mengukur innovative work behavior dijelaskan kembali oleh Spiegelaere dalam Pradana &

Suhariadi,(2020) hanya terdapat dua dimensi yaitu idea generation (exploring ideas dan generating ideas) dan idea implementation (promotion of ideas dan application of ideas) dalam innovative work behavior. Pemahaman terkait kedua dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Exploring ideas (idea exploration). Eksplorasi ide merupakan dimensi yang merupakan tahapan awal dari perilaku inovatif dimana karyawan dapat menemukan peluang atau masalah. ini termasuk menemukan cara untuk mengembangkan produk, layanan, dan proses yang mencoba memikirkan alternatif lain.

b. Generating ideas (idea generation). Karyawan dapat mengenali masalah yang terjadi di dalam organisasi dan kemudian menciptakan ide atau solusi baru yang

(46)

berguna. ide atau solusi dapat asli atau dimodifikasi dari produk dan proses kerja yang ada.

c. Promoting ideas (idea championing). Karyawan mempromosikan ide atau solusi baru yang telah diciptakan kepada rekan kerja agar ide tersebut dapat diterima dalam organisasi. Pada tahap ini diharapkan karyawan mulai terpacu untuk mencari dukungan dalam mewujudkan ide inovasi yang telah dihasilkan. Ini termasuk menemukan koalisi sehingga ide-ide baru dapat diterapkan dan mempercayai keberhasilan ide-ide tersebut.

d. Implementation of ideas (idea implementation), dalam hal ini, tenaga kerja akan menghasilkan prototipe atau model ide-idenya menjadi produk dan proses kerja yang berwujud sehingga dapat diterapkan dalam lingkup pekerjaan, kelompok, atau organisasi secara keseluruhan untuk meningkatkan efisiensi kerja organisasi.

2.2.3. Faktor Innovative Work Behavior

Yuan & Woodman, (2010), menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dinilai mempengaruhi innovative work behavior itu sendiri, yaitu:

a. Climate dan organizational culture;

b. Relationship with superiors atau attachment to supperiors;

c. Job characteristics yang berkaitan dengan job understanding, job standardization dan job implementation;

d. Social atau group context;

e. Individual differences.

(47)

2.2.4. Pengukuran Innovative Work Behavior

Dalam mengukur innovative work behavior, penulis menggunakan skala ukur 10 item yang di kembangkan oleh De Jong & Den Hartog, (2010), yang dalam pengisian kuesioner penelitiannya menggunakan skala Likert dengan 5 poin. Pada skala ukur yang dikembangkan oleh De Jong dan Den Hartog mengukur innovation behavior seseorang berdasarkan empat dimensi, yaitu idea exploration, idea generation, idea championing dan idea implementation.

Jumlah item dari masing-masing dimensi pada skala ukur ini adalah 3, 2, 2 dan 3. Skala ukur ini memiliki nilai  Cronbach untuk masing-masing dimensi adalah 0.90, 0.88, 0.95, 0.93 (De Jong & Den Hartog, 2010). Dengan nilai  Cronbach yang tinggi, sehingga skala ukur ini dapat diterima dan dinilai memiliki valliditas yang baik serta dinilai stabil dalam mengukur innovative work behavior karyawan.

2.3. Job Crafting

2.3.1. Definisi Job Crafting

Era revolusi industri 4.0 juga berdampak pada perubahan perilaku dari diri seorang karyawan guna menyikapi perubahan kerja mereka antara sumber daya yang dimiliki perusahaan tempat mereka bekerja dengan tuntutan terhadap pekerjaan mereka di perusahaan. Penerapan job crafting sendiri dinilai oleh penulis merupakan hal yang cukup sesuai dengan lingkungan yang semakin dinamis pada era 4.0 dan juga keadaan pandemi seperti saat ini, karena dalam hal ini perusahaan akan menerima masukkan dari karyawan terkait langkah atau ide-

Gambar

Gambar 2.1.            Bagan Kerangka Berpikir   Gambar 4.1.            Skema Hasil Uji Model Fit
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berpikir
Tabel 3.1. Skor Penilaian Skala Likert
Tabel 3.2. Skala Workforce Agility   Blueprint Workforce Agility Questionnaire
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang teknologi kendali sangat pesat sekali dan telah membawa perubahan di segala bidang terutama

Istilah pejabat umum terdapat dalam pasal 1 PJN (Peraturan Jabatan Notaris) yang menyebutkan Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa 1 pengendalian internal tidak berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi 2 manajemen risiko tidak berpengaruh positif terhadap

Darsono, Drs., M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya serta Dosen Pembimbing I yang

Skripsi ini disusun karena merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1 jurusan Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik FISIP Universitas

Yang kemudian kronologi peristiwanya yaitu Pemohon merupakan pemilik sebidang tanah dengan luas lebih kurang 395 m 2 (tiga ratus sembilan puluh lima) meter per segi,

Penulisan skripsi ini dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan

Metode Analisis Data Karena penelitian ini difokuskan pada Al-Qur‟an sebagai objek utama penelitian ini, maka metode analisis data yang utama adalah pendekatan ilmu tafsir, dengan