• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPROVEMENT PRAGMATIC APPROACH TO IMPROVE COMMUNICATION SKILLS STUDENTS AT INDONESIA SUBJECTS SMAN 1 ANGGERAJA ENREKANG TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPROVEMENT PRAGMATIC APPROACH TO IMPROVE COMMUNICATION SKILLS STUDENTS AT INDONESIA SUBJECTS SMAN 1 ANGGERAJA ENREKANG TESIS"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

IMPROVEMENT PRAGMATIC APPROACH TO IMPROVE COMMUNICATION SKILLS STUDENTS AT INDONESIA SUBJECTS SMAN 1 ANGGERAJA

ENREKANG

TESIS

Disusun dan Diajukan oleh

YUSRAN

Nomor induk mahasiswa :105040902514

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2017

(2)

PENERAPAN PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA SMA NEGRI 1 ANGGERAJA

KABUPATEN ENREKANG

Tesis

Sebagai Salah SatuSyaratuntuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

YUSRAN

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2016

i

(3)

PRAKATA

PERNYATAAN KEORISINAL TESIS ABSTRAK

ABSTRACT DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LatarBelakang 1

B. RumusanMasalah 8

C. TujuanPenelitian 9

D. ManfaatPenelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 12

A. TinjauanPustaka 12

1. Penelitian yang Releven 12

2. Pembelajaran Bahasa Indobesia 13

3. Pembelajaran Keteramilan Berbicara Bahasa Indonesia 17

4. BatasanPragmatik 29

5. Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran

Keterampilan Berbicara 45

6. Pemecahan Masalah denganPendekatanPragmatik 50

7. RencanaTindakan 52

(4)

BAB III METODE PENELITIAN 59

A. Jenis Penelitian 59

B. Subjek dan Lokasi 59

C. Definisi Operasional 60

D. Prosedur Penelitian 60

E. Teknik Pengumulan Data 65

F. Instrumen Penelitian 67

G. Teknik Analisis Data 68

H. Indikator Keberhasilan 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 71

A. Hasil Penelitian 71

B. Pembahasan 109

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 113

A. Kesimpulan 113

B. Saran 115

DAFTAR PUSTAKA 116

LAMPIRAN

ii

(5)

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamin, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis masih memiliki kekuatan dan kesehatan untuk berdialektika mengarungi bahtera pencarian kebenaran yang hakiki dalam melakukan penelitian dan penyusunan tesis.

Shalawat dan salam semoga tetaptercurah kepada Baginda Al- Mustafa Nabiullah Muhammad saw. beliau adalah sosok teladan pemimpin yang terpercaya, jujur dan berakhlak ulkarimah yang telah mengeluarkan manusia dari kungkungan kebiadaban. Suatu zaman yang betul-betul primitif, ortodoks, tak beretika, tak beradab dan tak bermoral menuju suatu zaman perubahan yang beradab dengan lebih mengedepankan konsep, etika hidup beragama, berbudaya, berbangsa dan beragama sehingga sampai saat ini manusia mampu memosisikan diri sebagai warga negara yang senantiasa beriman danbertakwa di jalan Allah SWT.

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, penelitian ini tampil sebagaiman ifestasi dari suatu usaha yang tak mengenal lelah dan pantang menyerah, mulai dari tahap awal sampai selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa mulai dari penyusunan hasil penelitian, hingga selesai tidak sedikit hambatan dan tantangan yang dialami.Namun,

iii

iv

(6)

kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi - tingginya dan penghargaan yang sebesar- besarnya kepada Dr. Munira, M.Pd. dan Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum.Ucapan terima kasih tak lupa pula penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, yang telah memberikan kemudahan kepada penulisan, baik pada saat mengikuti perkuliahan, maupun pada saat pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan. Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang diberikan mendapat pahala dari Allah swt.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Drs. Husain Kepala Sekolah dan Rosidah, S.Pd. guru bahasa Indonesia yang turut membantu dalam penelitian ini, serta rekan-rekan guru SMA Negeri 1 Anggeraja Kabupaten Enrekang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan, yang telah memberikan dorongan dan moril dalam perkuliahan dan penyusunan tesis ini.

Terwujudnya tesis ini juga atas doa, dorongan dan restu keluarga.

Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada orang tua tercinta yang selalu memberikan motivasi dan dukungan dalam pendidikan sampai selesai penulisan tesis ini.

v

(7)

kritikan tersebut bersifat konstruktif demi kesempurnaan penelitian ini.

Karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa kritikan. Dengan selesainya penelitian ini, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri penulis pribadi.

Nun WalkalamiWamaYas’urun

BillahiFiiSabililHaqFastabikulKhaerat

Makassar, November 2016 Yusran

vii

(8)

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Yusran

Nim : 105040902514

Program Studi : Mengister Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan bahwa tesis yang bejudul Peneraan Pendekatan Pragmatik dalm Keteramilan Berbicara Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMAN 1 Angeraja Kabuaten Enrekang merupakan karya asli. Seluruh ide yang ada dalam tesis ini, kecuali yang saya nyatakan sebagai kutipan, merupakan ide yang saya susun sendiri. Selain itu, tidak ada bagian dari tesis ini yang saya gunakan sebelumnya untuk memperoleh gelar atau sertifikat akademik.

Jika pernyataan di atas terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh PPs Universitas Muhammadiyah makassar.

Makassar, Februari 2017

Yusran

(9)

Keterampilan Berbicara Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Anggeraja Kabupaten Enrekang, dibimbing oleh Munirah dan Andi Syukri Syamsuri

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan perencanaan pembelajaran keterampilan berbicara dalam penerapan pendekatan pragmatik di SMAN I Anggeraja Kabupaten Enrekang (2) Mengkaji pelaksanaan penerapan pendekatan pragmatic dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas X SMAN I Anggeraja Kabupaten Enrekang (3) Mendeskripsikan penilaian pembelajaran keterampilan berbicara dalam penerapan pendekatan pragmatic siswa kelas X SMAN I Anggeraja Kabupaten Enrekang. Fokus penelitian aktivitas guru dan siswa, serta hasil Pembelajaran berbicara dengan pendekatan Pragmatik dengan subjek penelitian siswa Kelas X SMA yang berjumlah 32 orang.

Teknik pengumpulan data dilakukan di kelas dengan menggunakan tiga penilaian yaitu observasi, tes perbuatan dan wawancara .Analisis data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan tes wawancara, selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif sedangkan data hasil tes perbuatan atau tindakan dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif.

Berdasarkan pelaksanaan penelitian tindakan kelas di kelas X SMA Negeri 1 Anggeraja Kabupaten Enrekang pada tahun pelajaran 2015/2016 dapat disimpulkan bahwa penerapan pendekatan pragmatic dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas X SMA Negeri1 Angeraja. Hal ini dapat dilihat hasil ketuntasan belajar siswa dengan nilai rata-rata padasiklus I adalah 71 dengan ketuntasan 62,50%,sedangkan pada siklus II dengan nilai rata-rata 92,12 dengan ketuntasan 93,75%.Dengan penerapan pendekatan pragmatic maka aktivitas belajar siswa meningkat.Hal ini dapat dilihat dengan perolehan nilai rata-rata pada siklus I adalah 79,00%, meningkat menjadi nilai rata-rata 87,72%

pada siklus II. Pendekatan pragmatik dititik beratkan pada keaktifan siswa terutama keterampilan berbicara dengan memberikan kesempatan dan latihan sebanyak mungkin untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Kata kunci : Keterampilan Berbicara dan Pendekatan Pragmatik

ix

(10)

3.1 Kriteria Penilain Tes Perbuatan 64

3.2 Kriteria Ketuntasan Belajar 64

4.1 Persentase Keteramialan Responden Siswa Terhadap Proses Pembelajaran pada Pertemuan Pertama

72 4.2 Persentase Keteramialan Responden Siswa Terhadap

Proses Pembelajaran pada Pertemuan Kedua

74 4.3 Persentase Keteramialan Responden Siswa Terhadap

Proses Pembelajaran pada Pertemuan Ketiga

76 4.4 Persentase Keteramialan Responden Siswa Terhadap

Proses Pembelajaran pada Pertemuan Keempat

78 4.5 Nilai hasil Menyampaikan Pengalaman pribadi Melalui

Peneraan Pendekatan Prgmatik Siklus I

81 4.6 Presentasi Hasil Belajar Siswa pada Siklus I 84 4.7 Hasil Observasi Peningkatan Keterampilan Berbicara

siswa Kelas X SMA Negri I Anggeraja Kabupaten Enrekang melalui Penerapan Pendekatan Pragmatik

86

4.8 Nilai Hasil Menyamaikan Pengalaman Pribadi Melalui Peneraan Pendekatan Prgmatik Siklus II

90 4.9 Presentasi Hasil Belajar Siswa pada Siklus II 94 4.10 Hasil Observasi Peningkatan Keterampilan Berbicara

Siswa Kelas X SMA Negri I Anggeraja Kabupaten Enrekang melalui Penerapan Pendekatan Pragmatik

96

x

(11)
(12)
(13)
(14)

1

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup suatu negara dan bangsa.Hal ini merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia, dan untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan usaha yang keras dari masyarakat dan pemerintah.

Pelaksanaan program pendidikan tidak lepas dari Proses Belajar Mengajar (PBM).Dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti penerapan kurikulum, pendekatan pembelajaran, metode mengajar, teknik pembelajaran, materi pembelajaran, dan sarana dan prasarana.Dari berbagai aspek tersebut yang memegang peranan penting dalam PBM adalah pihak guru. Selengkap apapun sarana dan prasarana yang dimiliki, jika tidak ditunjang oleh kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan, maka kegiatan belajar mengajar tidak akan berhasil. Dalam pengajaran, guru memegang peranan sebagai sutradara sekaligus aktor.Artinya, pada gurulah tugas dan tanggung jawab merencanakan dan melaksanakan pengajaran di sekolah. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki sejumlah kamampuan mengaplikasikan berbagai teori belajar dalam bidang pengajaran dan menerapkan metode pengajaran yang efektif dan efisien, kemampuan melibatkan siswa berpartisipasi aktif dan kemampuan membuat suasana belajar dapat menunjang

(15)

tercapainyatujuan pendidikan. Selain proses belajar, bahan ajar atau mata pelajaran juga sangat penting dalam pelaksanaan program pendidikan.

Salah satu kemampuan yang sangat penting bagi seorang guru dalam mengaplikasikan berbagai teori belajar demi berhasilnya suatu pengajaran adalah penggunaan bahasa. Hal ini harus disadari, khususnya para guru bahasa dan para guru mata pelajaran yang lain. Dalam tugasnya sehari-hari, para guru bahasa harus memahami benar-benar bahwa tujuan akhir pengajaran bahasa ialah agar siswa terampil berbahasa, terampil menyimak, terampil berbicara, terampil membaca, dan terampil menulis.

Pada hakikatnya, fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi.Oleh karena itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.Pembelajaran bahasa selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir, mengungkapkan gagasan, perasaan, pendapat, persetujuan, keinginan, penyampaian, informasi tentang suatu peristiwa dan kemampuan memperluas wawasan.Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia haruslah diarahkan pada hakikat bahasa dan sastrasebagai alat komunikasi.Sekarang ini, orientasi pembelajaran bahasa berubah dari penekanan pada pembelajaran aspek bentuk ke pembelajaran yang menekankan pada aspek fungsi. Menurut Sampson ( dalamDepdinas

(16)

2003:7), proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses negosiasi pesan dalam satu konteks atau situasi.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sekarang ditetapkan sebagai Kurikulum 2006 telah diberlakukan di sekolah-sekolah sejak tahun 2006.Kurikilum 2006 ini ditetapkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berkaitan dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, Kurikulum 2006 (KTSP), pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis. Standar kompetensi bahasa dan sastra Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan barbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.Standar kompetensi dasar bagi siswa untuk dapat memahami dan mengakses perkembangan lokal, regional, dan global.

Salah satu aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya adalah keteampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai konteks dan situasi pada saat sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga akan mampu membentuk generasi masa depan yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran, atau

(17)

perasaan kepada orang lainsecara runtut dan sistematis. Bahkan, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat sedang berbicara. Namun, harus diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa, belum seperti yang diharapkan.

Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam membantu siswa berpikir dan berbahasa sekaligus. Yang lebih memprihatinkan, ada pihak yang sangat ekstrim berani mengatakan bahwa tidak ada mata pelajaran bahasa Indonesia pun siswa dapat berbahasa Indonesia seperti saat ini, asalkan mereka diajari berbicara, membaca, dan menulis oleh guru (Depdiknas 2003:9).

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Ibu Rosida S.Pd guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1Anggeraja Kabupaten Enrekang menunjukkan bahwa keterampilan berbicara siswa kelas X di SMA Negeri 1Anggeraja Kabupaten Enrekangberada pada tingkat yang rendah, diksi (pilihan kata)-nya, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancau, alur tuturannya pun tidak runtut dan kohesif. Ketika menjawab pertanyaan- pertanyaan yang diajukan oleh guru seringkali siswa hanya diam. Sebagian siswa dapat menjawab pertanyaan guru, namun hanya dengan jawaban singkat.Seringkali juga siswa ketika menjawab pertanyaan guru, namun menggunakan bahasa daerah. Para

(18)

siswa mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara.

Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk faktor eksternal di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dalam komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya penggunaan bahasa Indonesiadi lingkungan masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Sementara faktor internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan berbicara bagi siswa. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia cenderung menggunakan pendekatan konvensional dan kurang inovasi, sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung diajak belajar bahasa. Artinya pembelajaran yang disajikan guru tidak sesuai dengan cara siswa berbicara berdasarkan konteks dan situasi tutur, melainkan diajak mempelajari teori tentang bahasa.

Akibatnya, keterampilan berbicara hanya melekat pada diri siswa sebagai

(19)

sesuatu yang rasional dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan efektif. Ini artinya, rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk menjadi siswa yang cerdas, kritis, dan berbudaya.

Para siswa akan tetap mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata yang tepat, menyusun kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan interaktif pada saat berbicara.

Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara yang inovatif dan kreatif sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung aktif, efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga untuk belajar dan berlatih, dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang logis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan membosankan.

Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang dinantikan siswa.

Penelitian ini akan difokuskan pada upaya untuk mengatasi faktor internal yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kemampuan siswa kelas X SMA Negeri 1 Anggeraja Kabupaten Enrekang dalam berbicara yaitu kurangnya inovasi dan kreativitas guru dalam

(20)

menggunakan pendekatan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan membosankan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara komprehensif.

Dalam pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan konteks komunikasi alamiah senyatanya.

Prinsip-prinsip pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1) penggunaan bahasa dengan memerhatikan aneka situasi ujaran; (2) pengunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesopanan; (3) penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4) penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak komunikatif.

Melalui penggunaan pendekatan pragmatik dalam keterampilan berbicara, para siswa akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional yang ada dalam dirinya sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan berinteraksi sosial secara matang, arif,

(21)

dan dewasa. Selain itu, siswa juga akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Yang tidak kalah penting, para siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tertulis, mampu menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah perencanaan pembelajaran keterampilan berbicara dalam penerapan pendekatan pragmatik di SMA I Anggeraja Kabupaten Enrekang ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan penerapan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas X SMA I Anggeraja Kabupaten Enrekang ?

3. Bagaimanakah bentuk penilaian pembelajaran keterampilan berbicara dalam penerapan pendekatan pragmatik siswa kelas X SMA I Anggeraja Kabupaten Enrekang ?

(22)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikanperencanaan pembelajaran keterampilan berbicara dalam penerapan pendekatan pragmatik di SMA I Anggeraja Kabupaten Enrekang”.

2. Mengkaji pelaksanaan penerapan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas X SMA I Anggeraja Kabupaten Enrekang

3. Mendeskripsikan penilaian pembelajaran keterampilan berbicara dalam penerapan pendekatan pragmatik siswa kelas X SMA I Anggeraja Kabupaten Enrekang

D. Manfaat Penelitan

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah manfaat secara teoretis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan manfaat teoritis, yaitu dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tolok ukur kajian pada penelitan lebih lanjut yang berupa alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam usaha memperbaiki mutuh dan mempertinggi interaksi belajar mengajar, khususnya dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Manfaat teoritis lainnya adalah menambah khasanah pengembangan pengetahuan

(23)

mengenai pembelajaran keterampilan berbicara. Selain itu, juga mengembangkan teori pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan pendekatan pragmatik.

2. Manfaat Praktis

Ada pun manfaat praktis yang diharapkan dari penelitan ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat bagi siswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kegiatan belajar siswa secara klasikal maupun individual. Dengan meningkatkan kegiatan tersebut, memungkinkan siswa semakin bersemangat dalam belajar sehingga prestasi belajar siswa akan meningkat.

b. Manfaat bagi guru

Penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara yang dihasilkan dapat membantu mereka untuk mengetahui kesulitan yang dialami siswanya dalam memahami fakta, prinsip, dan aturan pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia serta dapat meningkatkan kualitas dan kreativitas mereka dalam mengajarkan bahasa Indonesia.

c. Manfaat bagi sekolah

Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka memajukan dan meningkatkan prestasi sekolah yang dapat disampaikan

(24)

dalam pembinaan guru ataupun kesempatan lain bahwa pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan pendekatan pragmatik sebagai bahan penyampaian hasil belajar maksimal.

(25)

12

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian yang Releven

Banyak karya ilmiah yang meneliti tentang pembelajaran bahasa Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan berbicara peserta didik ataupun meningkatkan prestasi belajar siswa. Penelitian ini bukan merupakan penelitian awal, maka penulis menampilkan penelitian yang releven yang pernah dikaji oleh penulis sebelumnya. Oleh Klara Vivin Madeuw (2011) dengan judul “Peningkatan Keterampilan Berbicara melalui Pendekatan Pragmatik Cooperative Script Bahasa Indinesia Siswa Kelas V B SDN Lusan Puro 3 Kecamatan Kedung Kandang Kota Malang”

. http:Library. Um. Ac. id (diakses tgl 25 April 2012). Penelitian yang dilakukan Madeuw, Klara Vivin ini, mendeskripsikan bahwa sebelum penggunaan pendekatan pragmatik keterampilan berbicara siswa rendah.

Namun, setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan pragmatik ternyata keterampilan berbicara siswa meningkat.

Demikian halnya dengan ImamA.Zubaidy (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas VI di MI AL IHSAN Jeru Turen Malang”. Penulis ini dengan tegas juga mendeskripsikan hasil penelitiannya bahwa hasil belajar siswa berupa pemahaman konsep tentang situasi dan konteks

(26)

saat berbicara secara klasikal mengalami peningkatan. Sulisusiwan (2015) Pendekatan Prgmatik dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Negri 16 Sengah Temila Kabupaten landak Kalimantan Barat dan Ronaldus Rilman (2012) Penggunaan Pendekatan Pragmatik dalam Upaya Meningkatkan Keterampilan Berbicara bagi Siswa SMPN 2 Poco Ranaka Kabupaten Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur, Penelitian yang dilakukan Ronaldus Rilman ini, mendeskripsikan bahwa sebelum penggunaan pendekatan pragmatik keterampilan berbicara siswa rendah. Namun, setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan pragmatik ternyata keterampilan berbicara siswa meningkat

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya diadakan suatu penelitian pendidikan. Dalam hal ini penulis akan mengadakan penelitian dengan topik yang berjudul “Penerapan Pendekatan Pragmatik dalam Meningkatkan Ketrampilan Berbicara SiswaKelas X SMA Negeri 1 Anggeraja Kabupaten Enrekang”.

2. Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2006 (KTSP) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP).Kurikulum ini juga dikenal dengan sebutan Kurikulum

(27)

2006, kurikulum ini mulai diberlakukan secara berangsur-angsur pada Tahun Ajaran 2006-2007.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan penyempurnaan dari Kurkulum 2004 atau yang dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KTSP memberikan kebebasan yang besar kepada sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan yang sesuai dengan : (1) kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan (4) kekhasan daerah. Dalam program pendidikan ini, orang tua dan masyarakat dapat terlibat secara aktif.

Pengembangan dan penyusunan KTSP merupakan proses yang kompleks dan melibatkan banyak pihak: guru, kepala sekolah, guru (konselor), dan komite sekolah (Muslimin,2007:13).

Dalam panduan penyusuan pelaksanaan KTSP pada setiap satuan pendidikan tidak jauh berbeda dari KBK yang disusun sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.

KTSP pada dasarnya adalah proses belajar mengajar yang berlangsung dalam rangka pengonstruksian dan penyusunan pengetahuan oleh peserta didik dengan memberi makna dan merespons ilmu pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari/oleh peserta didik dalam suasana fun, demokratis, dan terbuka (Hamzah,2007:17).

KTSP pada dasarnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan

(28)

Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) yang berpedoman pada paduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh Badan Nasional Pendidikan (BNP) serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah dengan prinsip- prinsip sebagai berikut:

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya;

2. Beragam dan terpadu. Beragam artinya KTSP disusun sesuai dengan karateristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Terpadu artinya ada keterkaitan antara muatan wajib, muatan lokal, dan pengembangan diri dalam KTSP;

3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seni;

4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang;

5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Menyeluruh artinya KTSP mencakup keseluruhan dimensi kompetensi dan bidang kajian keilmuan. Berkesinambungan artinya KTSP antarsemua jenjang pendidikan berjenjang dan berkelanjutan;

6. Belajar sepanjang hayat;

7. Seimbang antara kepentingan nasional dan daerah.

(29)

KTSP berlaku selama sesuai dengan kebutuhan pengembangan peserta didik di satuan pendidikan yang bersangkutan. Idealnya KTSP sekolah satu dengan yang lain tidak sama, karena karateristik peserta didik dan kondisi sekolah satu dan lainnya berbeda-beda.

Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian sekolah.KTSP yang sesuai dengan dinamika kehidupan di Indonesia sekarang ini.Pelaksanaan KTSP menuntut banyak hal dari sekolah dan masyarakat, seperti profesionalisme, kreativitas, kemandirian guru, dan kepala sekolah, serta keterlibatan masyarakat. Pelaksanaan KTSP harus pula memberikan perencanaan pendidikan yang baik dan terarah, penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, dan birokrasi/prosedur administrasi yang sederhana, juga partisipasi dan kepedulian masyarakat. Dengan persiapan yang matang dan suasana kondusif, KTSP berpeluang besar untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi yang diharapkan.

(http://johnherf.wordpress.com/2007/3/15/ktsp-dan-pembelajaran- bhs-Indonesia)

(30)

3. Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Indonesia Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan pada penguasaan empat aspek keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.Keempat keterampilan itu menjadi sarana utama manusia dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan pendapat sesuai dengan konteks komunikasi yang harus dikuasai oleh pemakai bahasa.Keempat keterampilan tersebut diajarkan secara terpadu dan berkesinambungan dengan materi dan tingkat kesulitan bahasa yang bersifat progresif.

Penguasaan keterampilan berbicara, mengalami suatu proses perkembangan. Berbicara merupakan aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia.Berbicara merupakan cermin pikiran manusia yang harus berkembang.Aktivitas berbicara merupakan pemandu yang mengungkapkan hal-hal yang ada di dalam hati dan menjelaskan hal-hal yang tersembunyi yang dirahasiakan dalam nurani dengan mengunakan bahasa sebagai sarana penyalurnya.

a. Hakikat Berbicara

Berbicara merupakan suatu keterampilan berbahasa produktif.Perkembangannya dilakukan berkenaan dengan aktivitas setelah keterampilan reseptif dalam menyimak dan memahami bacaan.Jadi, berbicara dan menulis selalu berada di belakang kecakapan reseptif.

(31)

Berbicara bukan saja aktivitas mengeluarkan kata-kata tetapi dalam berbicara seseorang harus mengetahui maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada orang lain dan orang lain pun mengerti hal yang hendak disampaikan. Untuk maksud tersebut, tentunya seseorang harus menguasaiketerampilan berbicara, seperti menguasai intonasi dalam pembicaraan, tekanan, penguasaan kata atau kalimat.Yang diutamakan dalam berbicara adalah hal yang diutarakan dimengerti dan dipahami oleh si penerima, baik itu berupa ekspresi sikap dan lainnya (Kridalaksana,1993:25).

Tarigan, (1990:16) menyatakan bahwa berbicara adalah suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pendengar dan penyimak.Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi.Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka pembicara seharusnya memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan; dan dia harus mengetahui prinsip- prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan.

Pengertian lain mengenai berbicara terdapat dalam Depdiknas, (2003:19) bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan gagasan, pendapat, dan perasaan kepada pihak lain secara lisan, ketepatan penggunaan gagasan.

Pendapat, dan perasaan sebaiknya didukung oleh penggunaan

(32)

bahasa secara tepat, dalam arti sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku.

Untuk memperdalam mengenai kemampuan berbicara, diuraikan konsep dasar berbicara (Tarigan, dkk. 1997:12), yaitu : (1) berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal, (2) berbicara adalah dua proses individu berkomunikasi, (3) berbicara adalah ekspresi yang kreatif, (4) berbicara adalah tingkah laku, (5) berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari, (6) berbicara distimulasi oleh pengalaman, (7) berbicara alat untuk memperluas cakrawala, (8) kemampuan linguistik dan lingkungan, dan (9) berbicara adalah pancaran kepribadian.

Dengan pernyataan ini, maka pembelajaran bahasa tidak sekedar belajar kaidah gramatikal, menguasai kosakata, tetapi lebih dari itu dia harus berusaha memperoleh kemampuan bahasa yang dipelajarinya sebagai sarana komunikasi dalam pemakaian bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks komunikasi.

b. Unsur- Unsur Keterampilan Berbicara 1) Rasional yang baik

Unsur ini mengandung makna bahwa penyampaian pesan dalam komunikasi harus didukung oleh rasional.Tanpa ada unsur rasional, pesan yang disampaikan tidak mempunyai kekuatan atau dasar. Aristoteles (Syafi’ie, 1988 : 4) menyebutnya unsur rasonal dengan istilah dalam good reason dan Wallace (Syafi’ie,

(33)

1988 : 4) menyebutnya dengan istilah proof ‘ pembuktian, alasan, argumen’ . Lebih lanjut Wallace (Syafi’ie 1988 : 4) menjelaskan bahwa yang dimaksud proofitu mungkin artistik dan mungkin pula inartistik. Artistik proof harus disusun oleh manusia, yaitu orang melaksanakan komunikasi ; pada inartistic proof , manusia tinggal menemukan dan mengambilnya dari alam, lingkungan, atau situasi.

Artistic proof terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) ethical proof ‘ pembuktian, alasan, argumentasi yang bersifat etis’ yang menjanjikan sifat atu karakter yang baik dari pembicara untuk membangun kredibilitasnya sebagai penutur; (2) psychological proof ; pembuktian, alasan, argumentasi yang bersifat psikologis ‘ yang membawa auditor (pendengar/pembaca ) ke dalam suasana yang menunjang untuk menerima alasan yang dikemukakan oleh penutur ; (3) logical proof ‘ pembuktian, alasan, argumentasi yang bersifat logis’ yang membuat kasus dikemukakan atau muncul dalam peristiwa komunikasi.

2) Etika dan Nilai Moral

Unsur ini mempunyai makna bahwa retorika merupakan suatu aktivitas komunikasi yang bertanggung jawab.Karena itu, unsur ini menjadi sangat penting dalam retorika.Tanggung jawab itu hanya dapat dilaksanakan apabila manusia dibimbing oleh

(34)

etika dan moral dalam semua perilakunya, termasuk dalam bahasa.

3) Bahasa

Unsur ini merupakan media yang paling efektif untuk membangun komunikasi, keterampilan menggunakan bahasa yang baik dan benar oleh komunikator dan audiens merupakan tuntutan yang harus dipenuhi agar peristiwa komunikasi dapat berjalan dengan baik.Penggunaan bahasa yang baik adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan situasi dan konteks komunikasi.Pemakaian bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan sistem kaidah.Pemakaian bahasa yang baik dan benar ini dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek kejelasan (clarity), kesingkatan (consiseness), dan hidup yang bersemangat (vigorously).

4) Pengetahuan

Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang relevandengan pesan komunikasi yang disampaikan.Komunikator harus mengetahui serta memahami benar hal yang ingin disampaikan.Karena itu, harus memiliki sejumlah fakta yang relevan, ide, gagasan, yang jelas, wawasan yang luas mengenai pesan yang disampaikan. Penguasaan yang mendalam tentang hal yang akan disampaikan dalam komounikasi merupakan modal utamayang ikut menentukan keberhasilan komunikasi.

(35)

c. Aspek-aspek yang Menunjang Keterampilan Berbicara

Untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara harus memberikan kesan bahwa ia menguasai masalah yang dibicarakan dan memperlihatkan keberaniannya. Selain itu, pembicara juga harus berbicara dengan jelas dan tepat.Agar kegiatan berbicara menjadi efektif, seorang pembicara harus memperhatikan aspek-aspek berbicara yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan.

1) Aspek kebahasaan

Aspek kebahasaan yang menunjang keterampilan berbicara dapat diuraikan sebagai berikutini:

a) Lafal

Menurut Arsyad dan Mukti (1988:19), secara resmi lafal standar bahasa Indonesia belum ada. Namun, dalam Seminar Bahasa Indonesia tahun 1968, Seminar Politik Nasional tahun 1975, dan beberapa karangan, secara tidak langsung tampak kecenderungan mengenai kehadiran lafal yang dapat dijadikan lafal standar bahasa Indonesia. Lafal yang demikian itu dirumuskan sebagai lafal yang tidak menperlihatkan ciri-ciri bahasa daerah.

Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat.Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat, dapat mengalihkan

(36)

perhatian pendengar. Pola ucapan dan artikulasi yang kita gunakan tidak selalu sama. Setiap pembicara memiliki gaya tersendiri dan gaya bahasa yang dipakai berubah-ubah sesuai dengan pokok pembicaraan, perasaan, dan sasaran.

Tetapi kalau perbedaan dan perubahan itu tidak terlalu mencolok sehingga menjadi suatu penyimpangan, maka keefektifan komunikasi akan terganggu.

Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang tidak tepat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik sehingga terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi, atau pemakaiannya dianggap aneh.

b) Diksi (pilihan kata)

Berbicara dapat dianggap kurang bermutu jika pilihan katanya kurang cermat walaupun organisasi penyajiannya baik, cermat, susunan kata dalam kalimat teratur, dan gaya bahasanya baik. Kekurangtepatan dalam pemilihan kata dapat berakibat pada penilaian pendengar atau pembaca bahwa pembicara atau penulis kurang mampu menggunakan kosakata bahasanya (Depdiknas, 2003:75).Kekurang- mampuan itu kemungkinan besar disebabkan oleh kurang luasnya penguasaan kosakata dan makna kata penutur atau penulis.Semakin sedikit penguasaan kosakata seseorang

(37)

akansemakin sempit ruang lingkup pilihan katanya. Yang terpenting dalam hal ini adalah cara seseorang mampu menggunakan kata-kata secara cermat dan tepat sesuai dengan tujuan dan keperluannya.

Pilihan kata adalah mutu dan kelengkapan kata yang dikuasai seseorang sehingga mampu menggunakan secara tepat dan cermat berbagai perbedaan dan persamaan makna kata sesuai dengan tujuan dan gagasan yang akan disampaikan serta kemampuan untuk memperoleh bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki pembaca dan pendengar.

Kridalaksana, (1993:50) menyatakan bahwa diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau karang mengarang. Lebih lanjut. Keraf, (2004:22) menyatakan bahwa diksi adalah (1) kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara membentuk pengelompokan kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam suatu situasi, (2) kemampuan membedakan secara tepat nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang serasi (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki

(38)

kelompok masyarakat pendengar, dan (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.

Pendengar lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya.Selain itu, pilihan kata juga harus disesuaikan dengan pokok pembicaraan.

c) Keefektifan Kalimat

Arsyad dan Mukti, (1988:20) mengemukakan bahwa kalimat efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian dan kehematan. Ciri keutuhan akan terlihat jika setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari sebuah kalimat. Perpautan, bertalian dengan hubungan antara unsur-unsur kalimat, misalnya antara kata dan kata, frase dan frase dalam sebuah kalimat.Hubungan itu harus jelas dan logis.Kalimat efektif juga harus hemat dalam pemakaian kata sehingga tidak ada kata-kata yang mubazir artinya tidak berfungsi sehingga harus dibuang.

Kalimat dikatakan efektif jika mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung sempurna.

Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran pendengar

(39)

persis seperti sesuatu yang dimaksud oleh pembicara.

Disamping itu, seorang pembicara harus mengetahui pendengarnya dan menyesuaikan gaya kalimatnya dengan pendengarnya, dengan memperhatikan ciri kalimat efektif yaitu: (1) kesatuan (unity), (2) kehematan (economy), (3) penekanan (emphasis) dan (4) kevariasian (variety).

2) Aspek Nonkebahasaan

Selain aspek kebahasaan, keterampilan berbicara juga didukung oleh aspek nonkebahasaan.Bahkan dalam pembicaraan formal, aspek nonkebahasaan sangat mempengaruhi keterampilan berbicara. Dalam proses belajar mengajar berbicara, aspek nonkebahasaan juga perlu diperhatikan. Aspek nonkebahasaan yang dimaksud adalah fluensi (kefasihan/kelancaran, keterbukaan, relevansi, keberanian dan ketenangan) dalam berbicara.

Demikian halnya Arsyad dan Mukti, (1988:8) mengungkapkan bahwa pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar menangkap isi pembicaraannya.

Aspek keterampilan berbicara yang menjadi fokus dalam penelitian ini ada dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan yakni: ketepatan pilihan kata, dan keefektifan kalimat sedangkan aspek

(40)

nonkebahasaan yakni: kefasihan/kelancaran, keterbukaan, relevansi, keberanian dan ketenangan.

Berbicara dalam situasi formal seperti diskusi debat, tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Walaupun secara alamiah setiap orang mampu berbicara, namun berbicara secara formal atau dalam situasi resmi sering menimbulkan kegugupan sehingga gagasan yang dikemukakan menjadi tidak teratur dan akhirnya bahasanya pun tidak teratur.

3) Metode penyampaian berbicara

Mulgrave dalam Tarigan, (1990:26) menjelaskan metode penyampaian berbicara sebagai berikut:

1) Penyampaian secara mendadak

Metode ini digunakan jika seseorang yang tidak terdaftar untuk berbicara mungkin saja dipersilakan berbicara sedikit atau tanpa persiapan oleh karena itu,mungkin hanya mempunyai waktu untuk memilih ide pokok sebab dia harus memulai berbicara secara mendadak.

2) Penyampaian dari naskah

Metode penyampaian dari naskah biasanya dilaksanakan pada saat-saat yang penting dan kerap kali digunakan untuk siaran radio dan televisi serta pembicara harus mampu memahami makna yang dibacanya itu dan memelihara serta mempertahankan hubungan yang erat tanpa pendengar.

(41)

3) Penyampaian dari ingatan

Dalam memakai olahan ingatan sebagai kekuatan penyampaian gagasan maka pembicara harus menguasai topik yang akan disampaikannya melalui persiapan tertulis, kemudian menghafalnya kata demi kata.

4) Penyampaian tanpa persiapan

Pembicara dapat mempersiapkan diri sepenuhnya sejauh waktu dan bahan mengizinkan.Akan tetapi,pembicara hendaklah tidak bergantung pada penyampaian khusus ide- idenya.Pembicara haruslah mengetahui ide utamanya dan urutan yang tepat dari ide-idenya serta memilih bahasa yang tepat sebaik dia berbicara.

4) Penilaian keterampilan berbicara

Nurgiyantoro, (2001:277) menyatakan bahwa hal yang mempengaruhi keadaan pembicaraan adalah masalah yang minjadi topik pembicaraan dan lawan bicara karena kedua hal tersebut adalah hal yang esensial sehingga harus diperhitungkan dalam tes kemampuan berbicara siswa.

Pelaksanaan penilaian berbicara juga sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan siswa,baik dari segi keterampilan berbahasa maupun berpikirnya.

Jika keterampilan berbahasa siswa masih sederhana,tugas berbicara yang diberikan masih bersifat “membimbing”,misalnya

(42)

berdialog sederhana.Berbicara dapat dilaksanakan dengan rangsang gambar,tajuk dan cerita dongeng,buku-buku bacaan sedrhana dan boneka dari tongkat atau kaos kaki dan sebagainya.

Sebaliknya,jika keterampilan berbahsa siswa sudah lebih tinggi,tugas berbicara yang diberikan akan lebih bebas,seperti tugas diskusi,debat,berpidato,bermain peran,wawancara,berbicara dengan rangsang buku yang lebih kompleks dan sebagainya.

4. Batasan Pragmatik

Ilmu falsafah sejak dulu mengkaji bahasa selain dari sudut bentuk, juga dari sudut makna. Kalimat dihubungkan dengan makna yang diungkapkan atau “proposisi” yang dipandang terjadi dari dua bagian utama yaitu subjek (hal yang dibicarakan) dan predikat (keterangan tentang subjek itu).

Levinson ( dalam Nababan,1987:2) memberikan dua definsi pragmatik yaitu:

a. Pragmatik adalah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari pengertian penjelasan bahasa. Di sini, pengertian atau pemahaman bahasa menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan diluar makna kata danhubungan tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteks pemakaiannya.

b. Pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai dengan kalimat itu.

Menurut Leech ( dalam Simatupang, 1999:177) bahwa pragmatik merupakan studi yang mencoba mempelajari aneka aspek situasi ujaran (utterances) yang mempunyai makna dalam

(43)

situasi.Hal ini bararti penggunaan bahasa tidak sebagai sistem formal,tetapi keduanya dipelajari secara bersistem.

Heatherington (dalam Tarigan,1984:30) mengemukakan bahwa pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi- situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka macam cara yang merupakan wadah aneka kontrol sosial performasi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpertasi.

Tarigan, (1984:30) mengemukakan bahwa pragmatik (semantic bihavioral) menelaah keseluruhan perilaku insan,terutama sekali dengan tanda-tanda atau lambang- lambang.Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dalam keseluruhan situasi pemberi tanda dan penerima tanda.

Sudiati dan Widyamartaya, (1996:21) mengatakan tujuan pragmatik adalah mengoptimalkan komunikasi dengan bahasa.Agar bahasa yang digunakan dalam komunikasi benar- benar komunikatif,bentuk-bentuk bahasa sebaiknya disesuaikan dengan situasi bahasa.Dalam berkomunikasi, tidak hanya dituntut kesamaan gagasan antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca,tetapi juga dituntut keenakan perasaan antara kedua belah pihak.Keenakan perasaan itu terjamin apabila kedua bela pihak menyelaraskan diri dan bahasanya dengan situasi.

(44)

Secara praktis,pragmatik didefenisikan sebagai studi mengenai ujaran-ujaran dalam situasi tertentu.Pragmatik memperhatikan prinsip-prinsip bahasa dan aspek proses komunikatif.Oleh sebab itu,dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya,pragmatik merupakan keterampilan atau kemampuan menggunakan bahasa sesuai dengan faktor penentu tindak komunikator.

Telaah umum mengenai cara konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik.Teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik dan pragmatik merupakan bagian dari performansi linguistik.Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks dan pragmatik mencakup cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan ucapan-ucapan.Para pembicara kerap kali membuat asumsi- asumsi secara eksplisit mengenai dunia nyata dan rasa suatu ucapan dapat bergantung pada asumsi ini,yang para linguis disebut dengan presuposisi(perkiraan).Pertimbangan-pertimbangan pragmatik juga menunjang membuat ucapan-ucapan yang secara semantis ganjil ini mejadi bermakna (Tarigan,1984:31).

Yule (1996: 3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicaraan; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang

(45)

dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utteranceinterpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosisasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (meaning in interaction).

Leech (1983: 6) (dalam Gunarwan 2004: 2) melihat pragmatik dalam kajian linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik.

Keterkaitan ini ia sebut semantisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisme yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. (http://bahasa.kompasiana.com/2012/04/10 mengenal perbedaan-semantik-dan-pragmatik), diakses 6 September 2012.

Mey (1998), seperti yang dikutip Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu (1) kecenderungan anti

(46)

sintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi. Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert.

(www.scribd.com/doc/14548085/prgamatik/mengapa pragmatik dipelajari), diakses 6 September 2012.

Istilah pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini diperkenalkan oleh seorang filosof yang bernama Charless Morris tahun 1938.Ketika ia membicarakan bentuk umum ilmu tanda (semiotic). Ia menjelaskan (dalam Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis merupakan kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda.Semantik adalah kajian linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.

Sejak itulah, pragmatik mengalami dua perkembangan makna yang berbeda.Di satu sisi pragmatik dengan konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Morris di atas tetap dipertahankan.Di sini istilah pragmatik digunakan dalam berbagai judul buku yang membahas masalah-masalah yang beragam seperti psikopatologi komunikasi dan evolusi sistem simbol. Di sisi lain, istilah pragmatik mengalami penyempitan makna. Dalam hal ini seorang Filosof sekaligus ahli logika yang bernama Carnap mengatakan bahwa apabila di dalam suatu penelitian terdapat rujukan yang konkret

(47)

terhadap pembicara atau dalam istilah yang lebih umum, terhadap pengguna bahasa, maka dia menetapkan bahwa penelitian tersebut berada dalam bidang kajian pragmatik. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, oleh Levinson (1983) pengertian tersebut dianggap terlalu sempit dan ekslusif; dan oleh karenanya pengertian tersebut dimodifikasi menjadi kajian bahasa yang bereferensi atau berhubungan dengan faktor dan aspek-aspek kontekstual.

Pembahasan pragmatik menurut Joko Nurkamto, pragmatik yang sekarang berkembang pada umumnya mengacu pada pengertian yang kedua dari di atas.Dalam hal ini Levinson (1983:21-24) menjelaskan kurang lebih tujuh pengertian pragmatik. Dan diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, “Pragmatics is the study of the relation between language and context that are basic to an account of language understanding”. Pengertian inimenunjukkan bahwa untuk memahami makna bahasa orang seorang penutur dituntuk untuk tidak saja mengetahui makna kata dan hubungan gramatikal antar kata tersebut tetapi juga menarik kesimpilan yang akan menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang diasumsikan, atau apa yang telah dikatakan sebelumnya.

Kedua, “Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the contexts in which they would be

(48)

appropriate”. Pengertian kedua ini lebih menekankan pada pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya.

Ada dua hal penting yang perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaan bahasa dan konteks tuturan.Penggunaan bahasa di sini menyangkut fungsi bahasa (language functions). Untuk apa orang menggunakan bahasa?

Beberapa ahli menjelaskan fungsi bahasa tersebut. Di antaranya adalah Van Ek dan Trim (1991), yang mengategorikan fungsi bahasa menjadi 6 (enam) macam yaitu: 1) menyampaikan dan mencari informasi faktual, 2) Mengekspresikan dan mengubah sikap, 3) Meminta orang lain berbuat sesuatu, 4) Sosialisasi, 5) Membangun wacana, dan 6) Meningkatkan keefektifan komonikasi.

Masing-masing kategori tersebut di atas, dijabarkan kedalam beberapa subkategori yang lebih rinci dan praktis. Fungsi pertama, misalnya, dijabarkan menjadi 5 (lima) sub-kategori, yaitu: 1) mengidentifikasi/mendefinisis, 2) melaporkan, mendeskripsikan atau menceritakan, 3) mengoreksi, 4) bertanya, dan 5) menjawab pertanyaan.

Adapun masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 (enam) dimensi, yaitu: 1)tempat dan waktu (setting), seperti ruang kelas, di masjid, di ma’had, di perpustakaan, dan di warung makan, 2) pengguna bahasa (participants), seperti

(49)

dokter dengan pasien, ustadz dan santri, penjual dengan pembeli, 3) topik pembicaraan (content) seperti politik, seks, pendidikan, kebudayaan, 4) tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, mengejek, dan menyuruh, 5) nada (key) seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan lemah lembut, dan 6) media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon, melalui surat, E-mail, dan, melalui tangan.

Dimasukkannya konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan untuk membangun prinsip- prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait erat dengan budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Apa yang dianggap sebagai topik pembicaraan yang wajar oleh masyarakat Arab misalnya, mungkin dianggap sebagai topik pembicaraan yang absurd oleh masyarakat Indonesia, atau sebaliknya. Oleh karena itu, pengertian pragmatik yang diberikan oleh Levinson di atas, menurut hemat penulis, pada prinsipnya memberikan kerangka umum tentang bagaimana berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kenyataan bahwa konteks itu bisa berbeda-beda dari masyarakat satu ke masyarakat lain, dan hal ini tidak menjadi fokus bahasa Levinson.

(50)

Itulah sebabnya, Leech (1983) lebih suka menggunakan istilah Pragmatik umum (general pragmatics) untuk mengacu pada kajian tentang kondisi umum penggunaan bahasa untuk komunikasi.Ia mendasarkan gagasannya pada kenyataan bahwa prinsip kerjasama dan sopan santun dalam berkomunikasi berlaku secara berbeda–beda dalam setiap masyarakat.

Dalam pragmatik umum sama sekali tidak mengatur masalah itu. Bahkan menurut Leech, hal-hal yang bersifat lokal dan situasional dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics) dan pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena kedua bidang ini merupakan cabang dari pragmatik umum. Sosio-pragmatik yang telah dikelaskan Leech (1983) memiliki kesamaan dengan istilah yang oleh Canale (1983) disebut dengan ketepatan isi (appropriateness in meaning), yaitu sejauh mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi.

Sebagai ilustrasi, membicarakan pesta ulang tahun yang penuh dengan kegembiraan dengan teman-temannya pada saat menjenguk orang sakit keras di rumah sakit, hal ini secara konteks tuturan jelas tidak tepat. Sementara itu, pragmalinguistik menurut Leech kurang lebih sama dengan ketepatan bentuk (appropriateness in form) menurut Canale. Hal ini mengacu pada sejauh mana makna bahasa direpresentasikan ke dalam bentul

(51)

verbal atau non verbal yang sesuai dengan konteks pembicaraan.Ini terkait erat dengan dengan tata bahasa yang sesuai dengan konteks pembicaraan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa UIN yang berterima kasih kepada dosennya dengan hanya mengucapkan trims, atau memanggil Dosen /Ustadz hanya dengan menggunakan kata sapaan ”Boss” biasanya di lingkungan UIN hal itu dianggap tidak sopan. Seyogyanya ia mengatakan, sekurang-kurangnya terima kasih Pak/Bu (Sykron Ustadz...) atau

”Jam berapa Ustadz?” dan lain-lain. Dengan kata lain, sosio- pragmatik ini sangat berkaitan dengan apa yang harus dikatakandalam situasi tertentu, sedangkan pragmalinguistik berkenaan dengan bagaimana seorang penutur dapat mengatakan secara tepat.

(www.jurnallingua.com/edisi-2006/5-vo-1-no1/13-pragmatik-konsep- dasar-memahami-konteks-tuturan.htwl. diakses 6 Sepetember 2012)

Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasabukan pada struktural semata. Konteks- konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana- wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji.

(52)

Menurut Maidar Arsyad(1997 : 3.17), pragmatik membaca pengkajian bahasa lebih jauh ke dalam keterampilan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi praktis dalam segala situasi yang mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pendapat tersebut terlihat jelas bahwa orientasi pengkajian pragmatik adalah pada suatu komunikasi praktis, di mana pada tataran praktis, muncul berbagai faktor di luar bahasa yang turut memberi makna dalam proses komunikasi tersebut.

Adapun Nababan (1987 : 70)mengemukakan beberapa faktor penentu dalam berkomunikasi:

Siapayang berbahasa dengan siapa; untuk tujuan apa;

dalam situasi apa (tempat dan waktu); dalam konteks apa (peserta lain, kebudayaan dan suasana); dengan jalur apa (lisan atau tulisan); media apa (tatap muka, telepon, surat, dan sebagainya); dalam peristiwa apa (bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, dan sebagainya)

Dari pendapat tersebut terdapat beberapa faktor yang mungkin sekali memengaruhi proses tindak komunikasi yaitu pelaku, tujuan, situasi, konteks, jalur, media, dan peristiwa. Senada dengan Nababan, Suyono (1990 : 18)juga mengemukakan tiga konsep dasar dalam komunikasi. Suyono mengemukakan tiga konsep dasar dalam penggunaan bahasa (studi pragmatik) yaitu tindak komunikatif, peristiwa komunikatif dan situasi komunikatif. Melihat dua pendapat tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja

(53)

Suyono lebih meringkas lagi faktor-faktor penentu tersebut dalam tiga konsep dasar.

Dengan berpijak pada beberapa hal di atas, jelaslah bahwa pragmatik akan sangat membantu dalam pengajaran bahasa (khususnya di sekolah). Pengajaran bahasa yang berorientasi pada kajian bahasa secara “struktural” jelas akan menimbulkan banyak kendala ketika tidak dikaitkan dengan penggunaan bahasa secara praktis di lapangan. Dalam kegiatan berbahasa seseorang dituntut untuk mencapai kualitas yang bersifat pragmatis. … Dengan bentuknya yang pragmatis diharapkan siswa dapat menggunakan bahasa sasaran sesuai konteks yang melatari kegiatan bahasa nyata (Nurhadi, 1995 : 146). Dari pendapat tersebut komunikasi yang terjadi diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis, sehingga pengguna (dalam hal ini siswa) dapat menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.

Pembelajaran bahasa sudah semestinya mampu mengakomodasi kebutuhan berbahasa secara praktis sesuai dengan kondisi yang nyata. Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik, proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh siswa secara otomatis akan mengacu pada suatu kondisi praktis tindak komunikasi. Orientasi pembelajaran yang seperti ini juga akan menuntut penyesuaian pada berbagai aspek pembelajaran, dari kurikulum sampai tataran praktis pembelajaran. Seperti

(54)

dikemukakan oleh Maidar Arsyad (1997 : 3.17) bahwa dalam pengajaran berbahasa, pembuat kurikulum, atau program pembelajaran harus memikirkan bahan tentang berbagai ragam bahasa dan melatihkannya sesuai dengan situasi dan konteks pemakaiannya. Ada tiga hal penting dari pendapat tersebut yaitu program belajar, ragam bahasa, dan pelatihan sesuai situasi dan konteks.

Tiga hal tersebut memang sangat penting ketika suatu pembelajaran bahasa sudah berorientasi pada penggunaan bahasa pada tataran praktis. Dari program, materi (bahan), ragam bahasa, dan menciptakan suatu situasi dan konteks yang sesuai jelas tidak dapat dihindarkan ketika target akhir dari pembelajaran bahasa adalah “siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis”

(BSNP, 2006).

Ada juga pendapat lain yang lebih jauh merambah aspek lain di luar bahasa. Eny (2004), berpendapat:

Pengajaran bahasa Indonesia seharusnya berdasarkan pada dimensi kultural karena dalam pembelajaran itu diungkapkan gagasan mengenai masalah yang berkaitan dengan ilmu, teknologi dan atau budaya yang sedang dipelajarinya. Pengajaran itu difokuskan pada kemahiran menggunakan bahasa yang benar,

(55)

jelas, efektif, dan sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.

Dari pendapat tersebut, Eny mencoba melibatkan dimensi kultural karena berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan yang lain.

Memang suatu bahasa pada akhirnya akan bersinggungan dengan berbagai aspek yang lain ketika manusia dalam menuangkan gagasan apapun akan menggunakan suatu bahasa. Jadi akan sangat berterima jika suatu pembelajaran bahasa harus berdasar pada kondisi praktis.

Berangkat dari berbagai paparan di atas, dapat kita tarik suatu simpulan bahwa pembelajaran bahasa yang diorientasikan pada tataran praktis tindak komunikasi akan sangat diperlukan bagi peserta didik. Dalam hal ini, pendekatan komunikatif (lebih spesifik pragmatik) sangat membantu dalam mengarahkan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan, terutama pada tataran pendidikan formal atau sekolah.

http://lib.balaibahasa.org/viewdetail.php?id=1163 (diakses pada 22 April 2012).

Definisi pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek- aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara

(56)

alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk- bentuk tersaebut.

Menurut Yule (1996:3) ada empat definisi pragmatik yaitu Bidang yang mengkaji makna pembicara Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunukasikan oleh pembicara Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Mey (1998) seperti dikutip oleh

Gunarwan(2004:5),mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu Kecenderungan antisintaksisme Kecenderungan sosial-kritis Tradisi filsafat Tradisi etnometodologi.

Tindak tutur dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif.

Tindak tutur konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat

(57)

mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau tidak.

Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan : (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori: Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.

Gambar

Tabel Kriteria Nilai Ketuntasan Belajar Siswa
Tabel  4.1  Persentase  Ketercapaian  Respons  Siswa  terhadap  Proses Pembelajaran pada Pertemuan Pertama
Tabel 4.2  Persentase  Ketercapaian  Respons  Siswa  terhadap  Proses Pembelajaranpada Pertemuan Kedua
Tabel  4.3      Persentase  Ketercapaian  Respons  Siswa  terhadap  ProsesPembelajaranpada Pertemuan Ketiga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan ini dilaksanakan di laksanakan pada bulan Nopember sampai Desember 2013 yang bertempat di Desa Pekalobean Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang, lokasi

Peneliti menggunakan dua kelompok tersebut untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara kelompok yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Pair Check

MENDO BARAT SISWA MASUK PINDAHAN Entry Data SMA Asal Entry Surat Keterangan Masuk Pindahan Entry Surat Rekomendasi Cetak Surat Rekomendasi SISWA MUTASI Entry Surat Permohonan

Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan menunjukkan daerah muara Sungai Suwannee, Mississippi, Mobile, Chochawatchee, Apalachicola, dan Teluk Tampa memiliki nilai R rs yang

Dasar teori mencakup aspek kegeologian cekungan Jawa Barat Utara sebagai lokasi penelitian dan aspek kegeokimiaan yang terdiri dari evaluasi batuan induk yang meliputi

Perjanjian kerjasama pengolahan lahan pertanian bawang merah di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang dilakukan antara pihak pemilik lahan dan penggarap lahan yang pada

Jika subjek kalimat aktif transitif berupa pronomina persona ketiga atau nama diri yang relatif pendek, maka padanan pasifnya dapat dibentuk dengan cara pertama atau

Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah:Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 21-22.. Semua faktor yang yang telah disebutkan di atas