• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016."

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN

TAHUN AJARAN 2015-2016

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Hamzah Mutahari NIM. 11104241025

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP

NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016” yang disusun oleh

Hamzah Mutahari, NIM.11104241025 ini telah disetujui pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, Januari 2016 Pembimbing

(3)

iii

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali dengan acuan atau kutipan dengan tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, Januari 2016 Yang menyatakan,

(4)

iv

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN AJARAN 2015-2016” yang disusun oleh Hamzah Mutahari, NIM 11104241025 ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 18 Januari 2016 dan dinyatakan lulus.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Kartika Nur Fathiyah, M.Si. Ketua Penguji ... ... Sugiyanto, M.Pd. Sekretaris ... ...

Tin Suharmini, M.Si. Penguji Utama ... ...

Yogyakarta,

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd.

(5)

v MOTTO

“Jalanilah hidup dengan apa adanya dan penuh kejujuran, walaupun rintang bagai dosa hati yang selalu membebani, teruslah berlaku jujur.Ketika kau jujur, berarti

kau dekat dengan kebenaran.”

(Abi dan Umi)

“Hidup itu perjuangan.Tanpa perjuangan, kau akan mati.”

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kami persembahkan kepada:

1. Abi dan Umi tercinta yang telah memberikan kasih sayangnya yang tiada terkira sehingga kami dapat menjadi manusia yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dengan membawa cita-cita panjenengan kekalih yaitu supaya kami menjadi insan yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara

2. Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta sebagai tempat kami belajar menemukan dunia ilmu pengetahuan dengan berbagai dinamikanya sehingga kami dapat mengambil hikmah dari ilmu yang kami dapatkan

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 KALASAN TAHUN

AJARAN 2015-2016

Oleh Hamzah Mutahari NIM. 11104241025

ABSTRAK

Fenomena kecemasan sosial yang dialami remaja di awal perkembangannya dapat berdampak pada kepercayaan diri yang ada pada diri remaja tersebut.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional.Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebanyak 123 siswa.Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik incidental sampling.Alat pengumpul data menggunakan skala kepercayaan diridan skala kecemasan sosial.Uji validitas instrumen menggunakankorelasiproduct moment dari Pearson, sedangkan uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach dengan nilai koefisien 0,911 pada kecemasan sosial.Analisis data untuk menguji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi

product moment dari Pearson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien korelasi (rxy) sebesar -0,525 dan p=0,0000 (p<0,05) yang berarti bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima. Koefisien korelasi bertanda negatif (-) berarti hubungan antara kedua variabel tidak searah, dan berbanding terbalik. Sumbangan efektif kepercayaan diri terhadap kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebesar 25,2%, sedangkan sebesar 74,8% berasal dari faktor lain.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Kelawan nyebut asmaning Allah ingkang Maha Welas lan Maha Asih

Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, atas izin dan kasih sayang-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi (TAS) sebagai sebagian persyaratan guna memperoleh gelar

Sarjana Pendidikan dengan judul skripsi adalah “Hubungan antara Kepercayaan

Diri dengan Kecemasan Sosial pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan Tahun Ajaran 2015-2016”.Selama proses penyusunan Tugas Akhir Skripsi (TAS) penulis mendapat dorongan dan dukungan dari segenap pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, yang telah memberikan sarana dan fasilitas kemudahan sehingga studi kami berjalan dengan baik dan lancar. 2. Bapak Fathur Rahman, M.Si. selaku Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan

Bimbingan sekaligus dosen Penasihat Akademik kami yang telah memberikan bimbingan serta sarannya.

3. Ibu Kartika Nur Fathiyah, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi kami yang dengan sabar memberikan bimbingannya sejak awal proses sampai dengan terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, BK, serta seluruh dosen di FIP UNY yang telah dengan ikhlas memberikan ilmunya kepada kami

5. Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimiwa Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

(9)

ix

7. Bapak Karsin Sucipto dan Ibu Toriyah, kedua orang tua kami tercinta yang

selalu memberikan do’a, motivasi, serta dukungannya kepada kami untuk dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan secepatnya. Panjenengan

kekalih-lah yang selalu menjadi semangat sehingga kami menjadi kuat dalam

menghadapi segala cobaan. Sungguh sesuatu yang tidak ternilai harganya sehingga kami tidak sanggup untuk mengembalikan semuanya.

8. Adik perempuan kami yang paling cantik, Ahlun Nazar dan si bungsu yang paling tampan, Ammar Helmi Hakim Adi Sucipto. Kalian berdua yang senantiasa menjadi motivasi dan semangat bagi kami untuk tidak patah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga besar kami, kawan-kawan, serta guru-guru kami yang senantiasa memberikan dukungannya serta menjadi guru-guru kehidupan bagi kami. 10. Kawan-kawan Bimbingan dan Konseling 2011 terutama BK A yang selalu

menjadi pengisi kehidupan dalam tiap langkah yang telah kita lalui bersama. Kalian sungguh super istimewa.

11. Kakak angkatan 2009, 2010, dan adik angkatan 2012, 2013, dan 2014 yang selama ini menjadi sahabat baik kami. Kalian luar biasa.

12. Seluruh pihak yang turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan kekurangan pasti datang dari dalam diri manusia sebagai makhluk-Nya.Demikian pula kami sebagai penulis dalam penyusunan skripsi ini.Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.Mohon maaf atas segala kekurangan, dan atas perhatiannya kami sampaiakan terima kasih.

Yogyakarta, Januari 2016 Penulis,

(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN ...iii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Identifikasi Masalah ...14

C. Batasan Masalah ...14

D. Rumusan Masalah ...15

E. Tujuan Penelitian ...15

F. Manfaat Penelitian ...15

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian terkait Kecemasan Sosial ...18

1. Pengertian Kecemasan Sosial ...18

2. Aspek-aspek Kecemasan Sosial ...20

3. Simtom-simtom Kecemasan Sosial ...23

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial ...26

5. Dampak-dampak Kecemasan Sosial ...38

6. Strategi Mengatasi Kecemasan Sosial ...40

(11)

xi

1. Pengertian Kepercayaan Diri ...42

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri ...44

3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kepercayaan Diri ...47

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri ...48

5. Strategi untuk Menumbuhkan Kepercayaan Diri ...52

C. Kajian terkait Siswa Kelas VII sebagai Remaja ...56

1. Pengertian Remaja ...56

2. Ciri-ciri Remaja ...61

3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja ...67

4. Masalah-masalah pada Remaja ...71

D. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Sosial pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan Tahun Ajaran 2015-2016 ...73

E. Hipotesis ...76

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...77

B. Tempat dan Waktu Penelitian ...78

C. Variabel Penelitian ...78

D. Definisi Operasional ...80

E. Subyek Penelitian ...81

F. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ...84

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ...89

H. Metode Analisis Data ...96

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi dan Hasil Penelitian ...101

1. Kepercayaan Diri ...101

2. Kecemasan Sosial ...103

B. Pengujian Hipotesis ...104

1. Uji Persyaratan Analisis ...104

2. Uji Hipotesis ...106

3. Sumbangan Efektif...108

(12)

xii

D. Keterbatasan Penelitian ...124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...126

B. Saran ...127

DAFTAR PUSTAKA ...130

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian ...81

Tabel 2. Kisi-kisi Skala Kepercayaan Diri ...88

Tabel 3. Kisi-kisi Skala Kecemasan Sosial Pra-Uji Coba ...89

Tabel 4. Distribusi Item Valid dan Tidak Valid Skala Kecemasan Sosial ...95

Tabel 5. Kisi-kisi Skala Kecemasan Sosial Pasca-Uji Coba ...95

Tabel 6. Batasan Distribusi Frekuensi Kategori Kepercayaan Diri dan Kecemasan Sosial ...97

Tabel 7. Hasil Penghitungan Skor dan Kategorisasi ...98

Tabel 8. Data Kategori Siswa terkait Kepercayaan Diri ...102

Tabel 9. Data Kategori Siswa terkait Kecemasan Sosial ...103

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Penentuan Jumlah Sampel...139

Lampiran 2. Rekapitulasi Skor Item Uji Coba ...140

Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kecemasan Sosial ...145

Lampiran 4. rTable Pearson Product Moment ...147

Lampiran 5. Hasil Uji Prasyarat Analisis ...148

Lampiran 6. Hasil Uji Hipotesis dan Sumbangan Efektif ...149

Lampiran 7. Rekapitulasi Skor Kepercayaan Diri ...150

Lampiran 8. Rekapitulasi Skor Kecemasan Sosial ...155

Lampiran 9. Skala Kecemasan Sosial Pra-Uji Coba ...160

Lampiran 10. Skala Kepercayaan Diri dan Kecemasan Sosial...166

Lampiran 11. Surat Rekomendasi Penelitian ...176

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia hidup di dunia adalah dalam keadaan saling membutuhkan antar satu sama lain. Ketergantungan tersebut adalah tidak terbatas pada warna kulit, jenis kelamin, suku, negara, bahkan kepercayaan tertentu. Manusia diberikan naluri untuk saling membutuhkan dan memberikan bantuan kepada manusia lain dalam keadaan apapun. Hal tersebut yang menurut Bimo Walgito (2003: 25) menjadikan manusia disebut sebagai Homo-Social atau makhluk sosial yang menjadikan kehidupan manusia dalam kondisi saling menjaga hubungan baik dalam melakukan interaksi dengan orang lain dalam lingkungannya.

Interaksi sosial mencakup penyesuaian sosial, yang di dalamnya individu dapat menyesuaikan diri antar satu sama lain (Bimo Walgito, 2003: 65). Penyesuaian tersebut dapat berarti individu meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu.

(17)

2

9) yang menyatakan bahwa remaja melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya sebagai bagian dari perkembangan dirinya dalam pencarian jati diri. Menurut DeVito (dalam Ayu Lea Lailatussa’diyah, 2014: 3), dengan melakukan interaksi sosial, remaja dapat memperoleh informasi baru, dan dapat mengenal dirinya dengan lebih baik. DeVito juga menambahkan bahwa interaksi sosial pada remaja dapat membuat remaja menjadi lebih mengenal lingkungannya, memodifikasi perilaku, serta lebih menyehatkan jiwa. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa interaksi sosial menjadi penting terhadap pengaruh perkembangan individu remaja.

Di dalam melakukan interaksi sosial, tidak semua remaja dapat nyaman dan leluasa menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya. Adanya perasaan takut dan cemas merupakan salah satu kondisi yang dapat terjadi pada remaja di dalam situasi sosialnya. Peale (2006: 149) berpendapat bahwa kecemasan dalam hubungan sosial memang menjadi gangguan serius yang dialami oleh masyarakat modern, termasuk remaja.

(18)

3

kecemasan sosial merupakan kecemasan yang terjadi dalam situasi sosial tertentu pada saat interaksi sosial sedang berlangsung atau pun belum berlangsung. Di dalam kecemasan sosial terdapat perasaan takut dan cemas yang berlebihan akan penghakiman dan penilaian orang lain terhadap diri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Essau, et al. (dalam Cederlund, 2013: 15), ditemukan data bahwa sebanyak 17% remaja mengalami kecemasan di dalam melakukan interaksi sosial. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Henderson dan Zimbardo (dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 70) yang menemukan data bahwa remaja yang mengalami kecemasan sosial mencapai besaran 61% dengan kategori tinggi. Data-data tersebut menunjukkan bahwa remaja rentan akan kecemasan sosial yang terjadi dalam dirinya.

(19)

4

Sebagai reaksi atas perubahan fisik yang terjadi pada awal masa remaja, remaja memiliki kecenderungan untuk memperhatikan fisik yang dimiliknya guna meningkatkan rasa percaya dirinya agar diterima oleh kelompoknya. Penelitian oleh Gila, et al., (2005: 70); Brinol, Petty, dan Wagner (2009: 1053); Çivitci, (2010: 91); Mares, et al., (2010: 633); dan Catur Baimi Setyaningsih (2013: 82) menghasilkan kesimpulan bahwa bentuk fisik menjadi daya tarik utama untuk meningkatkan penghargaan diri, penerimaan diri, dan kepercayaan diri remaja dalam pergaulan. Penelitian-penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa apabila remaja tidak memiliki bentuk fisik sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka remaja pun akan merasa cemas yang berimbas pada perasaan rendah diri dalam hubungan interaksi sosialnya. Masa remaja juga sering disebut sebagai masa sosial karena hubungan sosial yang terjadi pada masa remaja semakin nampak jelas (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2006: 91). Dengan konformitas yang sedang berkembang, terutama dengan teman sebaya (Russell dan Bakken, 2002: 1), remaja pun mengupayakan adanya penerimaan sosial dari kelompok sebayanya (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 138). Oleh karena itu, menurut Ollendick, King, dan Yule (dalam Carr, 2005: 402), apabila terjadi penolakan oleh teman sebayanya, maka akan terjadi kecemasan yang dialami remaja. Bahkan, remaja pun akan merasa kehilangan atau merasa tidak berharga jika teman-teman sebayanya menolaknya untuk bergabung dalam satu kelompok.

(20)

5

permasalahan muncul ketika remaja tidak mau menerima pendapat orang lain dalam kelompoknya dan menganggap dirinya sebagai yang paling benar atau bahkan merasa dirinya selalu salah dan merasa tidak mampu melawan pendapat orang lain, seiring perkembangan kognitifnya yang berjalan ke arah penyempurnaan (Bloom, et al, dalam Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 132). Dengan demikian, terdapat sebagian remaja yang cenderung cemas dalam menghadapi lawan bicara atau bahkan temannya sendiri karena takut akan penilaian negatif dari orang lain dan lingkungannya terhadap dirinya.

Kecemasan sosial yang dialami individu dapat berdampak pada aspek psikologis individu tersebut. Menurut Nainggolan (2011: 164) dan Jalaluddin Rakhmat (2011: 107), individu yang mengalami kecemasan sosial cenderung menutup diri dan pada umumnya disertai dengan perilaku menghindar karena tidak tahan dengan kritikan yang mungkin akan diterimanya. Hal tersebut sering dikaitkan dengan ketakutan yang berlebihan bahwa orang lain akan menghakiminya. Berdasarkan pendapat tersebut, individu yang mengalami gangguan kecemasan sosial akan mempersepsikan diri bahwa yang akan dialaminya adalah negatif sehingga dirinya merasa takut dan cemas sehingga dirinya harus menghindari situasi tersebut.

(21)

6

akademis. Brennan (Bonetti, 2009: 8) menambahkan bahwa kecemasan sosial juga dapat menyebabkan remaja merasa kesepian, yang sebenarnya kombinasi antara perasaan terasing dan depresi. Hal ini dikarenakan pada masa remaja sebenarnya terjadi permasalahan yang beriringan yang dipicu oleh berbagai permasalahan kompleks. Pederson, et al., (Bonetti, 2009: 10) berpendapat bahwa diantara permasalahan yang kompleks tersebut adalah dikeluarkan dari sekolah, alkoholisme, pemakaian obat-obatan terlarang, kenakalan remaja, agresivitas yang tinggi, obesitas, dan terkadang sampai ke arah perbuatan bunuh diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Gallagher, et al., (2014: 1) yang menemukan data bahwa menguatnya ide melakukan bunuh diri pada remaja akibat tingginya tingkat kesepian yang melanda remaja tersebut.

(22)

7

Sebagaimana uraian sebelumnya, memasuki lingkungan baru merupakan sesuatu yang dapat memicu individu remaja mengalami kecemasan sosial. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulia Putri Ayuningdyah (2009: 3) yang menghasilkan kesimpulan bahwa 80% remaja usia 15-16 tahun mengalami kecemasan sosial karena memasuki lingkungan baru, yaitu memasuki jenjang masa SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Penelitian lain juga dilakukan oleh Ulva Ulandari (2011: 78) yang menghasilkan kesimpulan bahwa sebanyak 76% siswa kelas X di salah satu sekolah mengalami gejala kecemasan sosial terutama dalam hal berinteraksi dengan orang lain di sekolah tersebut.

Siswa kelas VII sebagai siswa yang baru memasuki jenjang SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah tersebut. Siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya tersebut tentu saja dapat mengalami masalah dalam hal perkembangan sosialnya, sebagaimana pendapat Rita Eka Izzaty, dkk. (2008: 126) yang berpendapat bahwa remaja dituntut perubahan besar atas sikap dan pola perilakunya demi pemenuhan tugas-tugas perkembangannya. Berdasarkan pendapat tersebut, apabila remaja kelas VII mengalami kecemasan sosial dan tidak dapat berinteraksi dengan baik dengan lingkungannya, maka akan menghambat dirinya dalam memenuhi tugas-tugas perkembangannya.

(23)

8

pada ketidakinginan bersekolah atau bahkan drop out lebih awal. Berdasarkan pendapat tersebut, maka permasalahan kecemasan menjadi tidak dapat dianggap ringan dan sepele, justru sebaiknya mendapat perhatian yang lebih banyak dari berbagai pihak, baik orang tua, guru, maupun aplikasi kebijakan di sekolah.

Kecemasan dalam bentuk apapun adalah salah satu variabel afeksi yang negatif (Park dan Lee, 2004: 197). Park dan Lee menambahkan bahwa salah satu faktor kecemasan adalah kepercayaan diri yang dimiliki sangat rendah atau bahkan hampir tidak ada. Dengan demikian, kepercayaan diri juga mempengaruhi remaja dalam melakukan interaksi dengan orang lain dalam situasi sosial yang sedang dijalaninya.

Kepercayaan diri (self-confidence) merupakan suatu kemampuan yang dapat memanfaatkan kelebihan diri sendiri, bersikap positif dan memiliki keyakinan kuat terhadap diri sendiri (I Made Dwi Andreana, dkk., 2013: 189). Menurut Rahman (dalam Suwarjo dan Eva Imania Eliasa, 2011: 74), kepercayaan diri adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai kesuksesan dengan usaha yang mereka lakukan sendiri. Dengan demikian, orang yang memiliki kepercayaan diri yang baik maka seseorang tersebut memiliki kekuatan, kemampuan dan keterampilan untuk mencapai kesuksesan yang dilandasi keyakinan akan usahanya sendiri.

(24)

9

situasi (Thursan Hakim, 2005: 8-9). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Leary (1999: 32), bahwa kepercayaan diri yang rendah akan berakibat pada meningkatnya kecemasan, bahkan lebih jauh akan mengakibatkan individu akan mengalami gangguan kecemasan sosial sehingga lebih banyak menghindari situasi sosial, atau bahkan tidak terlibat sama sekali dalam interaksi sosial dengan masyarakat.

Menurut Jalaluddin Rakhmat (2011: 107), orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi untuk berhubungan interaksi dengan orang lain. Hal tersebut karena dirinya takut kalau orang lain akan mengejek atau menyalahkannya. Dalam hal berdiskusi pun, ia akan cenderung memilih diam. Dalam berpidato pun, individu akan mengucapkan kata terpatah-patah. Dengan demikian, kepercayaan diri menjadi salah satu faktor yang menentukan individu dalam menghadapi kecemasan yang dialaminya. Kecemasan yang dialami individu menjadi berkurang atau bahkan hilang jika di dalam diri individu terdapat kepercayaan diri.

(25)

10

memilih nilai-nilai yang baik sebagai bagian dari pencarian jati dirinya sebagai pemenuhan tugas-tugas perkembangannya menuju masa dewasanya.

Beberapa penelitian sudah menghubungkan kecemasan sosial dengan variabel lain, antara lain dilakukan oleh Nainggolan (2011: 172) yang menunjukkan hasil adanya hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial. Berdasarkan penelitian tersebut pula, diketahui bahwa individu yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki perasaan yang adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, dapat bersikap lebih tenang, mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, mampu mengendalikan perasaan, serta memiliki internal locus of control yaitu memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung pada usaha yang dilakukan dan tidak mudah menyerah pada keadaan serta tidak mengharapkan bantuan dari orang lain (Nainggolan: 2011: 167).

(26)

11

Penelitian lain dilakukan oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatussa’diyah (2014) yang menghubungkan antara kecemasan komunikasi interpersonal dengan kepercayaan diri. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa semakin tinggi kepercayaan diri yang dimiliki oleh remaja maka semakin rendah pula kecemasan yang dialami dalam situasi komunikasi interpersonal.

Penelitian yang dilakukan oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatussa’diyah (2014) tersebut memang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2011), hanya saja penelitian oleh Nainggolan (2011) cenderung lebih luas karena aspek kecemasan sosial juga lebih luas daripada aspek kecemasan komunikasi interpersonal oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatuss’adiyah (2014). Penelitian yang dilakukan oleh Diah Nuraeni (2010) dan Ayu Lea Lailatussa’diyah (2014) juga menjadi lebih bermakna sebagai bagian dari kecemasan sosial yang dialami oleh individu. Namun, tentu saja perlu adanya pembedaan tegas antara kecemasan komunikasi interpersonal dengan dengan kecemasan sosial dengan melihat karakteristik kecemasan sosial dan kecemasan komunikasi interpersonal yang ada.

(27)

12

tidak dalam kondisi saling berkomunikasi (Nainggolan, 2011: 163). Sedangkan kecemasan komunikasi interpersonal menurut Diah Nuraeni (2010: 34) dan Ayu Lea Lailatussa'diyah (2014: 21) adalah ketegangan yang muncul pada saat komunikasi berlangsung karena individu tidak yakin akan kemampuannya menyampaikan sesuatu yang dikarenakan pengalamannya dalam berkomunikasi yang tidak selalu mulus dan tidak selalu diterima oleh pasangan komunikasinya. Artinya, kecemasan tersebut lebih sempit maknanya dan hanya terjadi pada saat komunikasi antar pribadi. Berdasarkan perbedaan karakteristik tersebut, maka peneliti berpendapat bahwa kecemasan sosial menjadi lebih luas dan lebih umum dibandingkan dengan kecemasan komunikasi interpersonal.

(28)

13

berdasarkan wawancara dengan guru bimbingan dan konseling di sekolah tersebut, ternyata masih terdapat beberapa siswa yang mengalami gejala kecemasan sosial, terutama dialami pada saat awal masuk sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara dalam penelitian ini, diketahui bahwa siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tentu saja pernah mengalami gejala kecemasan sosial, terutama di awal masuk sekolah. Hal tersebut terjadi pada saat para siswa bertemu dengan teman baru, guru-guru baru, maupun aturan sekolah yang baru yang harus ditaati. Selain itu, beberapa siswa juga malu ketika berinteraksi dengan orang lain, dan sering pula siswa malu hanya untuk berbicara di depan kelas. Menurut Çivitci, (2010: 93), hal tersebut dikarenakan bahwa siswa tersebut takut akan dinilai negatif atau ditolak oleh teman sebayanya dalam kelompok pergaulannya. Tentu saja hal tersebut harus segera diatasi dan memerlukan waktu untuk penyesuaian terhadap lingkungan yang baru tersebut.

(29)

14 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasikan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Sebagian siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebagaimana remaja pada umumnya cenderung merasa cemas dan tidak percaya diri dalam menghadapi situasi baru yang di dalamnya membutuhkan penyesuaian yang tinggi terhadap situasi baru tersebut yang biasanya terjadi pada awal masa remaja.

2. Sebagian siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan sebagaimana remaja pada umumnya takut mendapat penolakan dari orang lain baik dalam bentuk kritikan atau penilaian negatif sehingga meminimalkan interaksi sosial.

3. Kecemasan sosial memberikan dampak negatif bagi kelancaran penyesuaian diri remaja dan tidak terselesaikannya tugas perkembangan remaja dengan baik.

4. Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang menghubungkan kepercayaan diri dengan kecemasan sosial dengan subyek adalah remaja pada umumnya.

C. Batasan Masalah

(30)

15 D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat kepercayaan diri pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016?

2. Bagaimana tingkat kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016?

3. Apakah terdapat hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan sosial pada siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalasan tahun ajaran 2015-2016.

F. Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoritis

(31)

16 B. Manfaat Praktis

a. Bagi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini bagi jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan adalah sebagai bahan dan sumber informasi baru dalam melakukan intervensi bimbingan dan konseling.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan menjadi sarana belajar praktis dalam mempraktikkan teori-teori yang telah diperoleh, serta dapat memperkaya wawasan berpikir dan menganalisa suatu permasalahan, khususnya mengenai kecemasan sosial yang dialami oleh remaja awal dengan kepercayaan diri.

c. Bagi Konselor Sekolah atau Guru Bimbingan dan Konseling

Konselor sekolah atau guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu landasan praksis dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling di sekolah, terutama dalam pelayanan yang berhubungan dengan pengamatan dan penilaian terhadap kondisi psikologis peserta didik yang mengalami kecemasan sosial.

d. Bagi Siswa

(32)

17

sosial yang dialami dan hubungannya dengan kepercayaan diri yang ada pada diri siswa tersebut. Dengan demikian, pengembangan diri siswa pun diharapkan dapat menjadi lebih baik.

e. Bagi Penelitian Selanjutnya

Penelitian selanjutnya dapat menggunakan penelitian ini sebagai bahan acuan dan pertimbangan serta untuk penelitian yang mengarah pada menemukan faktor lain yang mempunyai hubungan dengan kecemasan sosial dan kepercayaan diri, serta hasilnya dapat diuji kembali.

f. Bagi Masyarakat

(33)

18 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian terkait Kecemasan Sosial

1. Pengertian Kecemasan Sosial

Kecemasan merupakan respon yang paling umum yang menyatakan kondisi waspada dan mendorong individu untuk melakukan aktifitasnya secara kreatif (I Gede Tresna, 2011: 90). I Gede Tresna menambahkan bahwa pada tingkat kecemasan yang sedang, persepsi individu lebih memfokuskan pada hal-hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal yang lainnya. Pada tingkat kecemasan yang berat atau tinggi, persepsi individu menjadi turun dan hanya memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan yang lainnya, sehingga individu tidak dapat berpikir dengan tenang, dan ini menurut Bhatia (2009: 2) sudah mengarah pada abnormalitas atau ketidakwajaran.

Menurut Rudy Salan (Maria Etty, 2004: 23), kecemasan merupakan perasaan yang bersifat tidak menyenangkan, bervariasi dari perasaan yang sekedar saja sampai dengan yang sangat menonjol dan mencekam. Dengan demikian, kecemasan merupakan gangguan psikologis yang dapat menyebabkan perasaan yang tidak sewajarnya muncul dalam situasi yang sebenarnya bagi sebagian besar orang wajar.

(34)

19

kecemasan sosial adalah perasaan takut dan cemas yang berlebihan akan situasi sosial tertentu, misalnya makan atau berbicara di depan umum. Pendapat lain kemukakan oleh Cederlund (2013: 15) yang menyatakan bahwa kecemasan sosial terjadi dengan diiringi oleh penghindaran terhadap situasi sosial tertentu, dan biasanya terjadi pada saat individu berada dalam masa awal remaja, sebagaimana penelitian Rajender, et al (2009: 61) yang menemukan data bahwa sebanyak 50% remaja mengalami kecemasan sosial pada onset puncak dalam usia 11 tahun.

Pendapat senada disampaikan oleh Spokas dan Heimberg (2008: 1) yang menyatakan bahwa kecemasan sosial merupakan karakter dimana terdapat ketakutan dan penghindaran akan situasi sosial yang diiringi dengan ketakutan berlebih akan penolakan, kritik, atau dipermalukan. Spokas dan Heimberg menambahkan biasanya apabila tingkat kecemasan sosial sudah parah maka dapat disebut dengan pobia sosial.

(35)

20

Berdasarkan uraian pendapat tersebut, maka dapat difokuskan bahwa kecemasan sosial (social anxiety) merupakan ketakutan irasional terhadap kehadiran orang lain atau kekhawatiran akan keberadaan diri sendiri dalam situasi sosial tertentu. Individu berusaha menghindari situasi khusus dimana individu tersebut mungkin dikritik dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau bertingkah laku dengan cara yang memalukan.

2. Aspek-aspek Kecemasan Sosial

Individu yang mengalami cemas secara sosial menurut Dayakisni dan Hudaniah (Nainggolan, 2011: 164) akan memiliki ciri-ciri (a) cenderung menolak orang lain, (b) cenderung menarik diri dan tidak efektif dalam menjalin interaksi dengan orang lain, dan (c) merasa kurang memiliki kemampuan dalam melakukan hubungan sosial. Ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan oleh Leary (1983 dalam Nainggolan, 2011: 164) yang mengemukakan aspek kecemasan sosial yaitu (a) ketakutan akan evaluasi negatif, (b) keyakinan yang tidak rasional, dan (c) standar yang terlalu tinggi.

Pendapat Leary (1983, dalam Nainggolan, 2011: 164) dapat dijabarkan oleh pendapat Leary (2012: 147-148) sebagai berikut.

a. Ketakutan akan evaluasi negatif

(36)

21

bahwa orang lain akan meremehkan dirinya atau orang lain tidak akan menyukai dirinya tersebut.

b. Keyakinan yang tidak rasional

Keyakinan yang tidak rasional ditunjukkan dengan persepsi diri terhadap orang lain yang seolah diri menyatakan bahwa orang lain tidak akan menyukainya. Dengan persepsi yang demikian, diri akan cenderung menghindari situasi sosial dimana dirinya merasa akan dipermalukan.

c. Standar yang terlalu tinggi

Keadaan yang ada pada diri individu membuat individu merasa bahwa dirinya tidak dapat memenuhi harapan sosial, yaitu dirinya tidak dapat membuat orang lain terkesan dengan dirinya. Akibatnya ketakutan akan situasi sosial pun akan semakin tinggi.

La Greca dan Lopez (1998: 88) mengemukakan terdapat 3 (tiga) aspek kecemasan sosial, yaitu (a) ketakutan akan evaluasi negatif; (b) penghindaran sosial dan rasa tertekan terhadap situasi yang baru atau asing; dan (c) penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami terhadap orang-orang yang dikenalnya secara umum. Ketiganya akan dipaparkan sebagai berikut.

a. Ketakutan akan evaluasi negatif

(37)

22

Hal tersebut tidak hanya berlaku pada apa yang sedang dilakukan oleh individu yang mengalami kecemasan sosial, tetapi individu yang mengalami kecemasan sosial akan melihat dirinya sendiri juga dengan penilaian negatif akibat tidak dapat memenuhi harapan lingkungan sosial, baik dari segi fisik tubuhnya, apa yang sedang dikenakannya, ataupun terkait apa yang dilakukannya sehingga diri individu ketakutan jikalau dirinya akan melakukan kesalahan serta kehilangan kontrol mengenai dirinya sendiri.

b. Penghindaran sosial dan rasa tertekan terhadap situasi yang baru atau asing

Individu yang mengalami kecemasan sosial cenderung akan merasa asing dan tertekan dengan situasi yang baru. Tidak betah atau ingin menghindar dengan segera dari situasi yang baru tersebut. Lingkungan baru bagi dirinya adalah sesuatu yang menakutkan dan mencemaskan dan dirinya merasa tidak aman, apalagi merasa nyaman. Individu tersebut akan membutuhkan waktu penyesuaian diri yang cukup lama.

c. Penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami terhadap orang-orang yang dikenalnya secara umum

(38)

23

pada situasi sosial tertentu maka individu tersebut akan merasa cemas dan ketakutan dalam dirinya.

Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek kecemasan sosial yang disampaikan, terdapat kesamaan serta dapat dikerucutkan menjadi seperti pendapat La Greca dan Lopez (1998: 88). Aspek-aspek kecemasan sosial yang dimaksud adalah meliputi 3 (tiga) aspek, yaitu (1) ketakutan akan evaluasi negatif; (2) penghindaran sosial dan rasa tertekan dengan situasi yang baru atau asing; dan (3) penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum dengan orang yang dikenal.

3. Simtom-simtom Kecemasan Sosial

Sebagaimana salah satu unsur dalam diri individu, individu akan menampakkan perilakunya ketika dirinya merasa cemas dalam situasi sosial. Menurut Carr (2005: 401), pada level kognisi, stimulus atau situasi tertentu menjadi sesuatu yang mengancam atau berbahaya. Pada level afeksi, terdapat perasaan aprehensi, sensitif, dan seolah mengalami kesulitan. Pada level psikologis, terdapat sesuatu yang dirasakannya mengancam sehingga dirinya harus melawannya atau bahkan menghindari situasi tersebut yang dirasa mengancam dan berbahaya.

(39)

24

lain akan marah, menatap tajam, dan sebagainya; (2) takut kalau orang lain akan memandangnya dengan sinis, mencela, atau bahkan melukai fisik; (3) sangat yakin bahwa orang lain akan mempermalukannya; dan (4) dihantui oleh rasa takutnya sendiri.

Nainggolan (2011: 166) menyebutkan bahwa kecemasan sosial cenderung dapat menimbulkan:

a. Respon-respon cemas seperti berkeringat, gemetar, dan sebagainya. b. Kesulitan berkomunikasi, seperti gagap berbicara, lupa untuk

mengucapkan kalimat yang sesuai atau tidak bisa berkata sesuai apa yang dipikirkannya.

c. Menghindari kontak dengan situasii sosial baik secara fisik, maupun psikologis (tingkah laku menghindar) seperti berbicara sedikit, kontak mata yang sedikit, atau menarik diri.

d. Tingkah laku yang menutupi kesan diri (self image) akan ketidakmampuannya.

(40)

25 a. Simtom Fisik

Simtom atau gejala fisik yang dialami oleh individu yang sedang mengalami kecemasan adalah pernapasan menjadi lebih cepat, detak jantung mempercepat, merasa pusing, perasaan mendapatkan masalah dalam perut, merasa sakit atau kebutuhan toilet, mulut kering dan merasa sulit untuk menelan, berkeringat lebih banyak dari biasanya, dan merasa gugup, senewen, dan memilih untuk di posisi pinggir. Dalam sebuah studi oleh Essau, et al (Cederlund, 2013: 28), semua kasus dengan gangguan kecemasan sosial (N = 17) dan 308 (63%) dari orang-orang dengan kecemasan sosial mengalami setidaknya dua gejala fisik seperti jantung berdebar, berkeringat, sesak napas dan gemetar selama tugas yang menantang sosial.

b. Simtom Kognitif

Simtom atau gejala secara kognitif yang dialami oleh individu yang sedang cemas adalah merasa ketakutan, merasa bahwa dirinya akan sakit atau terkena serangan jantung atau bahkan stroke, atau bahkan merasa gila, merasa bahwa orang lain sedang melihat kepada diri individu, takut akan kehilangan kontrol atau bahkan akan melakukan sesuatu yang memalukan di depan orang lain, dan merasa bahwa dirinya harus melarikan diri dan mencari tempat yang aman. c. Simtom Tingkah Laku

(41)

26

pengalihan rasa cemas, ingin keluar dengan terburu-buru dari tempat atau situasi yang membuat cemas, menghindari keramaian atau menyimpang jalan untuk menghindari orang lain, atau bahkan meminum obat atau sesuatu yang menurunkan cemas sebelum melakukan sesuatu yang akan membuatnya penuh kecemasan.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial

Terdapat beberapa pendapat mengenai faktor-faktor kecemasan sosial. Book dan Randall (2002: 131) berpendapat bahwa kecemasan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya latar belakang genetik, traumatis pada pengalaman pembelajaran awal, mengamati perilaku orang tua, serta adanya ketidakteraturan sistem kimia di dalam otak.

Menurut Tirtojiwo (2012: 4-5), hal-hal yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan sosial adalah perbedaan jenis kelamin; riwayat keluarga atau genetik; lingkungan; temperamen; tuntutan pekerjaan dan tuntutan sosial yang baru; kondisi fisik; kimia otak; struktur otak; dan pengalaman negatif yang dialami individu. Pendapat lain diungkapkan oleh Cederlund (2009: 26-32) yang menyatakan bahwa faktor-faktor kecemasan sosial adalah genetik; perkembangan otak; temperamen; kondisi fisik; gaya kelekatan; riwayat orang tua; pembelajaran sosial; dan pola asuh orang tua.

(42)

27

lebih rinci membagi faktor kecemasan sosial menjadi 3 (tiga) faktor besar yang terdiri dari (a) faktor biologis, meliputi genetik, perkembangan otak, amigdala, dan pubertas; (b) faktor perkembangan, meliputi gaya kelekatan, dan temperamen; dan (c) faktor sosial, meliputi pola asuh orang tua, dan teman sebaya, serta Hofmann dan DiBartolo (2010: 71) juga menambahkan unsur budaya sebagai salah satu faktor kecemasan sosial. Beberapa pendapat tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

a. Faktor Biologis 1) Genetika

(43)

28 2) Perkembangan Otak

Bahan kimia di dalam tubuh individu memiliki peranan dalam gangguan kecemasan sosial (Tirtojiwo, 2012: 5). Tirtojiwo menambahkan, misalnya terjadi ketidakseimbangan dalam serotonin kimia otak dapat menjadi faktor. Serotonin adalah neurotransmitter yang dapat membantu mengatur suasana hati dan emosi. Individu dengan gangguan kecemasan sosial memiliki sentifitas yang berlebihan dikarenakan efek dari serotonin tersebut.

Hofmann dan DiBartolo (2010: 228) menuturkan bahwa dalam beberapa cara yang sama, neuropsikolog mungkin memanfaatkan pengetahuan luas tentang sistem saraf untuk membantu memperjelas penurunan fungsi sekolah dalam istilah defisit yang lebih spesifik dalam kecepatan pemrosesan terhadap memori kerja lalu terhadap perhatian, model neurosains kognitif sosial berusaha untuk menjelaskan penurunan fungsi sosial dalam hal defisit bidang seperti dalam hal interaksi sosial.

3) Amigdala

(44)

29

Amigdala adalah struktur berbentuk buah kenari yang berada di dalam bagian anterior dari lobus temporal, yang terdiri dari komponen sistem limbik dan diketahui berperan dalam mengendalikan emosi, motivasi, dan memori (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 228).

Cederlund (2013: 26) menyatakan bahwa di dalam korteks, masukan sensorik dianalisis dan dalam beberapa kasus diberhentikan, namun karena jalur kurang berkembang kembali ke amigdala, pesan dari korteks tidak seefektif sebaliknya. Beberapa orang diyakini memiliki amigdala yang lebih reaktif daripada yang lain, atau dengan kata lain, terjadi peningkatan "sistem alarm" di otak. Dengan demikian, semakin reaktif amigdala maka semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami individu.

4) Pubertas

(45)

30

Izzaty, dkk., (2008: 130) berpendapat bahwa pada saat tersebut pula sudah mulai adanya ketertarikan terhadap lawan jenis yang menjurus ke arah emosi percintaan remaja. Perempuan biasanya mengalami pubertas 12-18 bulan lebih awal daripada laki-laki (UNICEF, 2011: 8).

Ketika masa pubertas, individu cenderung harus melakukan penyesuaian terhadap kondisi perubahan fisiknya. Dalam masa itu, remaja cenderung memperhatikan kondisi fisiknya dan belajar bagaimana merawat tubuhnya. Dengan demikian, remaja cenderung cemas dalam menghadapi perubahan dalam dirinya dan mulai takut akan perubahan dirinya, dan seringkali remaja menjadi resah dan tidak nyaman (Catur Baimi Setyaningsih, 2013: 1).

(46)

31

yang lebih tinggi serta merasa rendah diri dalam memandang tubuhnya. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik Australia pada tahun 1997

(Mental Illness Fellowship Victoria dalam

www.mifellowship.org), Cox et al., (2005, dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 70), Essau, Conradt, dan Petermann (1999, dalam Cederlund, 2013: 21), dan Mehetre (2015: 133) yang menghasilkan kesimpulan bahwa perempuan lebih banyak dan lebih rentan mengalami kecemasan sosial dibandingkan laki-laki.

5) Kondisi Fisik

(47)

32

yang dialami oleh subjek dirasakan sangat mengganggu dalam hal hubungan sosialnya dengan lingkungan.

b. Faktor Perkembangan

1) Attachment (Gaya Kelekatan)

Menurut Hofmann dan DiBartolo (2010: 236), segera setelah lahir, bayi menjadi anggota sosial dalam hubungan yang lebih mendalam. Gaya kelekatan yang aman dapat dikembangkan dengan mencari pengasuh yang handal, dan bersedia untuk secara efektif menenangkan anak ketika dalam masa stres. Cassidy dan Berlin, (1994 dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 236) berpendapat bahwa gaya kelekatan yang aman diduga berkembang selama terjadi pengasuhan yang menenangkan. Bayi akan belajar merespon rasa takut dengan memperkuat ketenangan. Apabila terdapat kesalahan, maka bayi pun akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah cemas dan salah-suai.

(48)

33 2) Temperamen

Temperamen secara umum didefinisikan sebagai sesuatu yang tidak dipelajari, secara aturan berdasarkan pada perbedaan individu baik dalam gaya penampilan dan kemampuan untuk mengatur emosi, perhatian, dan perilaku (Rothbart dan Bates, 2006 dalam Hofmann dan DiBartolo, 2010: 238). Berdasarkan pendapat tersebut, sebenarnya kecemasan datang karena ketidakmampuan diri dalam mengelola emosi, perhatian, dan perilaku.

(49)

34

Anak-anak yang pemalu atau penakut ketika menghadapi situasi yang baru atau orang-orang yang baru, kemungkinan dalam mengalami kecemasan sosial menjadi lebih besar (Tirtojiwo, 2012: 4). Salah satu alasannya menurut Cederlund (2013: 28) adalah kemungkinan besar akan terdapat kerentanan yang besar akan perasaan takut dalam situasi baru yang mengarah ke perilaku menghindar, dan ini menyebabkan penguatan negatif dari perilaku penghindaran dan menarik diri. 3) Pengalaman Negatif

Menurut Tirtojiwo (2012: 5), individu yang mengalami

bullying, penolakan, ejekan atau penghinaan dari teman

(50)

35 c. Faktor Sosial

Sebelumnya, menurut Hofmann dan DiBartolo (2010: 71), terdapat unsur penting yang mempengaruhi individu dalam mengalami kecemasan sosial yaitu kebudayaan. Lebih lanjut, Hofmann dan DiBartolo (2010: 71) menjelaskan bahwa kebudayaan sebenarnya mendefinisikan "diri untuk dapat sesuai dengan kebudayaan yang berlaku dalam suatu wilayah dimana individu tersebut tinggal. Selain itu, menurut Butler (1999: 22) juga dikatakan bahwa kebudayaan yang dipelajari oleh individu diinternalisasikan ke dalam diri individu sehingga terdapat beberapa kondisi sosial tertentu yang dianggap kaku atau tabu.

Dengan demikian, individu yang memegang teguh kebudayaan tertentu, akan merasa cemas dan merasa tidak nyaman jika berada dalam situasi sosial yang dianggapnya tabu atau bahkan terlarang oleh budayanya, atau bahkan ketika budaya tersebut justru mengharuskan dirinya untuk dapat bergaul dengan sesamanya. Kebudayaan dalam struktur sosial diinternalisasikan ke dalam lingkungan keluarga dan pergaulan sehingga pola asuh orang tua dan teman sebaya menjadi faktor penting dalam memberikan pengaruh kecemasan terhadap individu.

1) Pola Asuh Orang Tua

(51)

36

kecemasan sosial (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 239; Tirtojiwo, 2012: 5). Orang tua sebaiknya bukan hanya memberikan penegasan kepada anak bahwa anak harus menghormati orang tua dan harus meniru perilaku orang tua, akan tetapi orang tua juga sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak untuk berbagi, mencurahkan keinginannya ataupun keluhannya (Hofmann dan DiBartolo, 2010: 239), dan ini juga yang dikatakan Das Salirawati (2002: 3) sebagai gaya pola asuh

(52)

37

bagian dari overprotection dan penolakan adalah adanya umpan balik negatif atas kontrol orang tua.

Dalam menghadapi kecemasan, juga berlaku teori belajar sosial oleh Albert Bandura. Seperti dilansir dalam

www.mifellowship.org, beberapa individu mungkin pernah

mengalami situasi atau perasaan yang sama sehingga membuat diri individu stres. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa individu tersebut belajar bagaimana menghadapi situasi yang sama yang membuatnya stres atau mengalami perasaan cemas dan khawatir.

2) Pengaruh Teman Sebaya

(53)

38

Berdasarkan uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan sosial, keseluruhan faktor dapat lebih diperincikan ke dalam 3 (tiga) faktor yaitu (1) faktor biologis, yang meliputi genetika, perkembangan otak, amigdala, pubertas, dan kondisi fisik; (2) faktor perkembangan yang meliputi gaya kelekatan, temperamen, dan pengalaman negatif; serta (3) faktor sosial yang meliputi pola asuh orang tua dan teman sebaya dimana individu tinggal. Masing-masing faktor tersebut saling mempengaruhi kecemasan sosial yang dialami oleh individu walaupun keseluruhan pengaruhnya tidak datang pada saat yang bersamaan.

5. Dampak-dampak Kecemasan Sosial

Sebagai bagian penting dari manusia, kecemasan merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup (Dixon, 2011: 12). Dixon melanjutkan bahwa kecemasan dapat menjadi lebih kuat dan menimbulkan masalah-masalah yang melibatkan hal seperti terus-menerus khawatir dan ketakutan, obsesi dan dorongan, fobia, panik dan depresi. Bagaimana individu berurusan dengan kecemasan tersebut, begitulah individu dapat diketahui apakah sampai ke tahap gangguan atau masih dalam tahap kecemasan biasa.

(54)

39

Etty (2004: 17) berpendapat bahwa perasaan cemas yang berlarut-larut cenderung memberikan pengaruh negatif secara fisik maupun psikologis, begitu pula dengan kecemasan sosial. Dampak kecemasan sosial secara umum dibagi ke dalam 2 ranah, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis.

Aspek fisik yang dialami individu yang mengalami kecemasan sosial adalah menurut Luciani (2001: 51-52) penyakit fisik yang dialami individu yang mengalami kecemasan antara lain adalah gula darah menjadi naik, kejang otot, mulut menjadi kering, jantung berdetak sangat cepat, mengalami sakit kepala, pusing, mengalami diare, insomnia (gangguan sulit tidur), lemahnya konsentrasi, serta munculnya perasaan cemas yang berlebihan pula pada kondisi-kondisi umum.

Secara psikologis, menurut Baldwin dan Main (2001: 1637), kecemasan sosial sering kali terjadi pada diri individu sehingga individu merasa kaku dengan situasi sosialnya. Hal tersebut karena individu akan merasa aneh, merasa gugup, dan merasa berdebar sehingga berkeringat. Bahkan individu akan melakukan penghindaran terhadap situasi sosial yang dianggapnya dapat mempermalukan dirinya di depan umum, yang justru dapat berdampak pada adanya rasa kesepian (loneliness) dan

kesulitan hubungan yang lainnya. Menurut Jackson (dalam Sübaşı, 2013:

(55)

40

Berdasarkan uraian yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa kecemasan sosial yang dialami individu terutama remaja dapat mempengaruhi kehidupan terutama dalam aspek kondisi fisik maupun kondisi psikologis individu remaja tersebut.

6. Strategi Mengatasi Kecemasan Sosial

Dalam menangani kecemasan sosial, Veale (2003: 260-263) menjabarkan bahwa terdapat 2 (dua) cara penanganan, yaitu dengan farmakoterapi (medis) dan psikoterapi. Keduanya akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Farmakoterapi (medis)

Menggunakan obat-obatan untuk kecemasan adalah bertujuan untuk menyeimbangkan zat-zat kimia dalam tubuh. Benzodiazepine

adalah yang paling banyak digunakan, meskipun penggunaan dalam waktu yang lama juga menjadi masalah tersendiri. Antidepresan yang baik juga dapat membantu individu dalam mengurangi kecemasan yang dialaminya. Paroxetine juga diperbolehkan dalam penanganan menggunakan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

(SSRI). Dapat pula menggunakan Mono-Amine Oxidase Inhibitor

(MAOI). b. Psikoterapi

Psikoterapi digunakan dengan sasaran utamanya adalah respon belajar dan faktor kepribadian individu, salah satunya adalah

(56)

41

bertujuan untuk mengubah pikiran yang tidak masuk akal (irrational) dan mendorong adanya kontrol yang lebih besar terhadap pikiran, emosi, dan perilaku individu.

Barber (2015: 5) berpendapat bahwa pada dasarnya, individu yang mengalami kecemasan sosial adalah terletak pada ketakutannya akan evaluasi negatif. Ketakutan negatif tersebut yang membuat dirinya seolah berada dalam situasi yang berbahaya karena dapat menimbulkan kritik dan penilaian negatif dari orang lain atas rendahnya keterampilan yang mereka miliki. Berdasarkan pendapat tersebut, maka penggunaan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dapat dianggap tepat untuk diterapkan dalam kasus gangguan kecemasan sosial.

(57)

42

yang muncul, misalnya teknik relaksasi, teknik bernafas dengan pelan, serta adanya kontrol terhadap pelampiasan.

Menurut Barber (2015: 2-3), pada dasarnya, terdapat beberapa anggapan bahwa kombinasi antara intervensi farmakologis dan psikoterapi adalah hal yang paling baik untuk dilakukan. Namun demikian, sebaiknya dilakukan psikoterapi terlebih dahulu guna mengurangi dampak psikologis yang paling tampak. Selain itu, hal ini juga sebagai langkah awal pencegahan ketergantungan terhadap obat-obatan.

B. Kajian terkait Kepercayaan Diri

1. Pengertian Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri merupakan suatu sifat yang sangat penting dan harus ada dalam diri manusia. Peale (2006: 6) berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap mental yang sehat dan penting untuk mencapai kesuksesan. Dengan percaya diri, individu dapat menyingkirkan rasa rendah diri, yang dapat melemahkan harapan. Dengan percaya diri pula, individu dapat mencapai aktulisasi diri serta keberhasilan dalam mencapai prestasi. Berdasarkan pendapat tersebut, maka kepercayaan diri menjadi sangat penting untuk dimiliki oleh manusia dalam segala usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

(58)

43

esteem (penghargaan diri) dan self efficacy (keyakinan diri). Menurut Lopez (2009: 875, 880), pengertian self esteem (penghargaan diri) dan

self efficacy (keyakinan diri) sendiri. Menurut Lopez, Self esteem secara umum merupakan suatu perasaan mengenai keberhargaan akan suatu nilai. Keberhargaan tersebut dapat berkenaan tentang suatu kecakapan atau kompetensi tertentu, berhubungan dengan kondisi nyata atau impian individu yang bersifat rasial, etis, atau kelompok lain sebagai bagian dari bentuk identifikasi atas diri mereka. Sedangkan Keyakinan diri atau

self-efficacy merupakan suatu keyakinan tentang keterampilan, tetapi keyakinan tentang kemampuan individu untuk melatih sutau keterampilan dalam kondisi tertentu, terutama di dalam kondisi perubahan dan yang menantang.

(59)

44

berasal dari dalam diri serta memanfaatkannya secara positif demi ketercapaian suatu tujuan, terlepas dari hasil akhir dari dorongan tersebut. Dengan demikian, berdasarkan uraian pendapat yang sudah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa istilah kepercayaan diri digunakan untuk merujuk kepada individu yang menilai diri mereka sendiri dengan positif, mampu untuk menghadapi berbagai situasi, serta optimis dalam usaha mewujudkan ketercapaian tujuan. Kepercayaan diri dalam diri individu pun sangat berkenaan dengan ranah tingkah laku, ranah emosi, dan ranah spiritual manusia. Individu dengan kepercayaan diri yang tinggi merasa yakin tentang kemampuan mereka untuk mencapai tujuan, kompetensi akademis dan hubungan mereka dengan orang tua dan teman-temannya.

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri

De Angelis (2002: 58) berpendapat bahwa kepercayaan diri sebenarnya melingkupi 3 (tiga) dimensi, yaitu dimensi tingkah laku, dimensi emosi, dan dimensi spiritual. Ketiga dimensi tersebut dijelaskan oleh De Angelis (2002: 58-59) sebagai berikut.

a. Kepercayaan diri tingkah laku adalah kepercayaan diri untuk mampu bertindak dan menyelesaikan tugas-tugas.

b. Kepercayaan diri emosi adalah kepercayaan diri untuk yakin dan mampu menguasai segenap sisi emosi.

(60)

45

yang positif, bahwa keberadaan diri mempunyai makna, dan adanya tujuan hidup individu selama rentang usia kehidupannya.

Aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara lain adalah ambisius, mandiri, optimis, tidak mementingkan diri sendiri, dan toleransi, (Muhammad Idrus dan Annas Rohmiati, 2008, dalam I Made Dwi Andreana, dkk., 2013: 699). Lebih lanjut, individu yang percaya diri dapat diindikasikan menurut Nainggolan (2011: 166), memiliki perasaan yang adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, memiliki ketenangan sikap, dapat berkomunikasi dengan baik, kemampuan untuk bersosialisasi, merasa optimis, dapat mengendalikan perasaannya, percaya akan kompetensi/kemampuan diri, dan memiliki internal locus of

control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha

diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain).

Sedangkan pendapat lain lebih terperinci yaitu dari M. Nur Ghufron dan Rini Risnawita S. (2010: 36) menyatakan bahwa aspek-aspek kepercayaan diri adalah memiliki rasa aman, yakin pada kemampuan sendiri, tidak mementingkan diri sendiri dan toleran, ambisi yang normal, mandiri, dan optimis. Keenam aspek tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Memiliki rasa aman. Perasaan aman maksudnya adalah terbebas dari

(61)

46

b. Yakin pada kemampuan sendiri. Individu merasa tidak perlu

membandingkan dirinya dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. Walaupun mengetahui bahwa dirinya memiliki kekurangan, tetap masih dapat menerima diri dan berusaha mengembangkan diri dengan sunggih-sungguh.

c. Tidak mementingkan diri sendiri dan toleran. Individu mampu mengerti kekurangan yang ada pada dirinya serta dapat menerima pandangan dari orang lain. Kekurangan dapat berupa fisik, sosial, dan psikis serta tetap berusaha memperbaiki diri.

d. Ambisi yang normal. Individu dapat menyesuaikan keinginan dengan

kemampuan, tidak ada kompensasi dari ambisi yang berlebihan, dapat menyelesaikan tugas dengan baik, dan bertanggung jawab. e. Mandiri. Individu tidak tergantung pada orang lain dan tidak terlalu

memerlukan dukungan orang lain dalam memerlukan sesuatu.

f. Optimis. Individu memiliki pandangan dan harapan yang positif mengenai diri dan masa depannya.

(62)

47

3. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kepercayaan Diri

Thursan Hakim (2005: 5) merincikan ciri-ciri individu yang percaya diri adalah sebagai berikut.

a. Selalu bersikap tenang dan tidak mudah cemas di dalam mengerjakan segala sesuatu.

b. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai.

c. Mampu menetralisasi ketegangan yang muncul di dalam berbagai situasi.

d. Mempu menyesuaikan diri dan berkomunikasi dalam berbagai situasi.

e. Memiliki kondisi mental dan fisik yang cukup menunjang penampilannya.

f. Memiliki kecerdasan yang cukup.

g. Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.

h. Memiliki keahlian atau keterampilan lain yang menunjang kehidupannya, misalnya kemampuan berbahasa asing.

i. Memiliki kemampuan bersosialisasi.

j. Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik.

k. Memiliki pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan di dalam menghadapi berbagai cobaan kehidupan.

(63)

48 dirinya.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Kanar (2011: 5) bahwa individu yang percaya diri adalah individu yang dapat fleksibel (supel), memiliki motivasi diri yang tinggi, mau mengambil tindakan yang berrisiko, antusias, bertanggung jawab, mudah dalam mengelola diri, berorientasi kepada proses, fokus, memiliki komitmen yang tinggi, mau mencoba hal baru, pekerja keras, memiliki empati yang baik, memiliki kecerdasan emosional yang baik, serta berorientasi kepada masa depan. Berdasarkan pendapat tersebut, memang percaya diri sangat diperlukan oleh diri untuk mewujudkan perkembangan diri yang optimal.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

Dalam mencapai kepercayaan diri yang baik, tentu saja terdapat proses-proses yang harus dilalui. Thursan Hakim (2005: 6) menjabarkan garis-garis besar pembentukan rasa percaya diri tersebut, yaitu sebagai berikut.

a. Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu.

b. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliknya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya.

(64)

49

d. Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

Thursan Hakim (2005: 6) menambahkan bahwa apabila terdapat kekurangan pada salah satu proses tersebut, kemungkinan besar individu dapat mengalami hambatan untuk memperoleh kepercayaan diri. Dengan demikian, proses-proses tersebut menjadi sangat penting untuk dapat menjadikan individu memperoleh kepercayaan diri yang baik.

Secara lebih rinci, Argo Yulan Indrajat (2013: 40-43) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri adalah sebagai berikut.

a. Faktor Internal

1) Harga Diri dan Perasaan Dibutuhkan

Individu akan merasa bahagia jika dibutuhkan oleh orang lain. Pemenuhan akan harga diri, penghargaan, penyesuaian diri yang baik merupakan hal yang penting dalam pembentukan kepercayaan diri. Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka individu akan merasa rendah diri. Menumbuhkan harga diri yang sehat akan berpengaruh positif terhadap perkembangan kepercayaan diri.

2) Keberhasilan

(65)

50

lebih mudah bagi dirinya untuk memiliki rasa kepercayaan diri. Apabila kegagalan terus-menerus menimpa maka individu akan cenderung tidak berani melangkah kembali dan merasa tidak berarti. Hal terebut senada dengan pendapat Crozier (1997: 177) bahwa memang benar bahwa pengalaman keberhasilan yang dialami oleh individu dapat menjadi salah satu faktor meningkatkatnya rasa kepercayaan diri individu.

3) Kondisi Fisik

Kondisi fisik merupakan keadaan yang tampak secara langsung dan melekat pada diri individu. Kepercayaan diri berawal dari pengenalan diri yang fisik, bagaimana individu menilai, menerima atau menolak gambaran dirinya. Individu yang merasa puas dengan kondisi fisiknya cenderung memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

4) Pengalaman

(66)

51

keberhasilan yang pernah dialami akan meningkatkan kepercayaan diri individu.

b. Faktor Eksternal 1) Orang Tua

Penilaian dan harapan orang tua terhadap diri individu menjadi penilaian dalam memandang dirinya. Kekhawatiran pun akan muncul ketika individu berpikir seandainya dirinya tidak mampu memenuhi sebagian harapan orang tua, sehingga individu pun menjadi merasa tidak diakui oleh orang tuanya serta akan menimbulkan rasa rendah diri dan merasa tidak mampu. Berdasarkan penelitian Muhammad Idrus dan Anas Rohmiati (2008: 14) menghasilkan kesimpulan bahwa pola asuh orang tua dengan tingkat kepercayaan diri remaja sangat signifikan dan bersifat positif.

2) Sekolah

Sekolah adalah tempat panutan kedua setelah keluarga. Siswa yang sering dihukum atau sering ditegur oleh sekolah cenderung akan lebih sulit mengembangkan rasa percaya dirinya jika dibandingkan dengan siswa yang sering mendapat pujian atau penghargaan atas prestasinya.

3) Teman Sebaya

(67)

52

merasa diterima, disenangi, dan dihormati oleh temannya, maka akan cenderung merasa percaya diri dan merasa terpacu untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat difokuskan bahwa kepercayaan diri dalam diri individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi pemahaman individu dalam pemaknaan setiap kehidupan berupa adanya penghargaan terhadap diri, kondisi fisik individu, dan pengalaman individu dalam melakukan sesuatu. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kepercayaan diri individu adalah lingkungan keluarga, dan lingkungan pendidikan, serta lingkungan pergaulannya di dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut menjadi satu rangkaian yang saling mempengaruhi baik secara bersamaan maupun dalam situasi yang terpisah.

5. Strategi untuk Menumbuhkan Kepercayaan Diri

(68)

53

dengan orang lain, serta membiasakan tersenyum sangat membantu dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri.

Nagata (2004: 195) berpendapat bahwa kepercayaan diri dapat tumbuh dengan efektif apabila dilakukan pelatihan secara bertahap serta adanya contoh penyampaian yang baik yang tanggap dengan kondisi lingkungan sekitar, misalnya sedang mengajar di kelas, sehingga siswa seharusnya dapat lebih dipahami dengan berbagai perilaku yang tampak dari mereka sehingga siswa pun akan merasa diperhatikan.

Dalam hal komunikasi misalnya, kepercayaan diri pada siswa pun harus ditumbuhkan. Menurut Kanar (2011: 291), terdapat 4 (empat) langkah dalam membangun keterampilan komunikasi yang penuh percaya diri. Keempat langkah tersebut akan dirincikan sebagai berikut. a. Meningkatkan kualitas komunikasi serta tetap menjaga hubungan

baik dengan orang lain.

b. Mendengarkan, mengkomunikasikan, serta bekerja sama dalam kelompok.

c. Menggunakan teknologi komunikasi dengan efektif dan efisien. d. Meningkatkan kemampuan berbicara di depan umum atau saat

presentasi.

(69)

54

a. Mengembangkan Harga Diri Positif

Harga diri positif adalah peletak dasar kepribadian percaya diri. Harga diri sendiri didefinisikan oleh Harter (1999, dalam Manning (2007: 11) adalah keseluruhan penilaian terhadap diri, yang meliputi perasaan atau kebahagiaan yang umum serta kepuasan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka individu yang memiliki harga diri positif akan merasakan puas serta menilai positif terhadap segala sesuati yang dimiliki oleh diri.

b. Mengubah keterbatasan diri menjadi keyakinan diri

Untuk mengembangkan rasa percaya diri, berkembang dan maju dalam hidup, individu perlu mengganti keyakinan akan keterbatasan dengan memberdayakan keyakinan diri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mulai mengakui setiap keyakinan yang membatasi dan mempertanyakan apakah itu benar atau tidak, kemudian menggantinya dengan memberdayakan keyakinan, (misalnya "saya akan berhasil"). Setelah itu, penetapan tujuan dan rencana tindakan untuk mencapai sesuatu yang diri benar-benar ingin dan percaya bahwa dirinya dapat melakukannya.

c. Menggunakan penguatan positif

(70)

55

pikiran bawah sadar dan mengubah pemikiran diri yang negatif dan keyakinan-keyakinannnya menjadi individu yang positif.

d. Visualization (membayangkan) diri menjadi diri yang percaya diri Menggunakan visualisasi secara teratur mengenai aktivitas yang membuat diri individu merasa nyaman akan semakin mempercepat tercapainya kepercayaan diri individu yang maksimal.

e. Memutuskan apa yang diinginkan dan berusaha mewujudkannya Ketika hendak memutuskan tujuan-tujuan atau keinginan-keinginan, hendaknya individu meyakinkan terlebih dahulu dari segi spesifikasi dan kejelasan, dapat diukur atau tidak, dapat diterima atau tidak, relevan, dan realistis dari segi waktu. Kepercayaan diri akan tumbuh dan dirasakan ketika kebutuhan individu terpenuhi dengan usaha-usahanya sendiri.

f. Merasakan ketakutan tersebut

Untuk menghadapi ketakutan, individu hendaknya melakukan hal-hal (1) mengenali ketakutan, (2) menemukenali ketakutan tersebut, (3) mengkonfrontasi ketakutan, dan (4) berani.

g. Menjaga kesehatan

(71)

56 h. Berusaha berpenampilan menarik

Kepercayaan diri akan muncul seirin

Gambar

Gambar 2. Skema Hubungan Antarvariabel
Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian
Gambar 3. Distribusi Sampel Penelitian
Tabel 2. Kisi-kisi Skala Kepercayaan Diri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa dengan kepercayaan diri tinggi memiliki kecemasan yang rendah saat menghadapi; (2) Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan

Kepercayaan diri diartikan sebagai suatu sikap dan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut tidak merasa cemas dalam setiap tindakannya,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan komunikasi interpersonal pada siswa kelas VII

Rendahnya kepercayaan diri yang dimiliki seseorang akan me- nyebabkan rendah pula asertivitasnya karena individu yang kurang percaya diri akan memiliki

Lauster menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas

Berpedoman pada uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa siswa–siswi yang memiliki kepercayaan diri tinggi, ia tidak akan malu untuk tampil dalam kegiatan- kegiatan

Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa penampilan fisik pada individu memiliki hubungan sangat erat dengan kepercayaan diri, sehingga apabila

Kepercayaan diri ialah suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak cemas dalam bertindak, dapat merasa