10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1Bullying
2.1.1 Pengertian Bullying
Bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seorang/sekelompok orang. Pihak yang kuat di sini tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik, tetapi bisa juga kuat secara mental. Korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan diri karena lemah secara fisik dan atau mental (Yayasan Sejiwa, 2008).
Bullying adalah kondisi ketika satu anak atau sekelompok anak terus menyakiti anak-anak lain dengan kata-kata atau tindakan (Beau Biden, 2006). Bullying dilakukan seperti memukul, mendorong, menendang, menyebarkan desas-desus berita bohong, menteror, membuat orang ketakutan, dan mempermalukan. Tindakan tersebut diatas tidak dapat dikatakan sebagai tindakan bullying apabila dilakukan secara ramah dan menyenangkan kedua belah pihak. Jika ada dua orang atau siswa yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang sama saling berpendapat atau bertengkar, maka hal itu juga tidak bisa dikatakan sebagai bullying (Olweus dan Sohlberg, 2003).
11
untuk membela diri sendiri dari tindakan bullying tersebut. Tindakan bullying tersebut mencakup tiga elemen yang utama yaitu menyakiti korban, tindakan yang berulang-ulang, serta adanya ketidakseimbangan dalam kekuatan antara korban dan pelaku.
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) mendefinisikan school bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying adalah perilaku di mana terjadi ketidakseimbangan kekuatan di antara pelaku bullying dan korbannya, sehingga dapat dikatakan bahwa bully selalu lebih kuat daripada korbannya. Tindakan bullying dapat berupa fisik, verbal maupun psikologis.
2.1.2 Jenis-jenis Bullying
Ada beberapa jenis dan wujud bullying, tetapi secara umum, praktik bullying dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori (Olweus dan Sohlberg, 2003) yaitu:
a. Bullying fisik
12 b. Bullying verbal
Jenis bullying ini juga dapat terdeteksi kerena bisa tertangkap indera pendengaran. Bullying verbal termasuk; mengatai dengan arti negatif atau dengan sesuatu hal yang menyakitkan, memanggil dengan julukan dan nama yang menyakitkan.
c. Bullying mental/ psikologis
Ini jenis paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan di luar pemantauan. Tindakan tersebut seperti: mendiamkan atau mengucilkan seseorang dari kelompoknya, meninggalkan seseorang dengan suatu tujuan tertentu, menyebarkan cerita bohong atau gosip tentang seseorang, mengirimkan catatan untuk mengajak teman lain tidak menyukai seseorang, serta sesuatu yang menyakitkan lainnya.
2.1.3 Karakteristik Korban dan Pelaku Bullying
Ada beberapa tanda-tanda umum apabila seorang siswa telah menjadi korban bullying (Olweus, dalam Hazelden Foundation, 2007), antara lain:
a. Pulang dengan seragam sobek, rusak, atau kotor, kehilangan buku atau barang-barang lainnya.
b. Memiliki luka yang terlihat seperti memar, goresan.
c. Memiliki sedikit teman untuk menghabiskanwaktu bersama.
13
e. Berjalan melalui rute yang panjang atau jalur yang tidak logis saat hendak pergi ke sekolah.
f. Sering sedih, murung, mata berkaca-kaca, atau tertekan ketika pulang ke rumah.
g. Mengeluh sering sakit kepala, sakit perut, atau keluhan fisik lainnya. h. Memiliki kesulitan tidur, dan sering mimpi buruk.
i. Kehilangan nafsu makan.
j. Muncul kecemasan dan rendah diri.
Sedangkan sebagai pelaku bullying juga mempunyai beberapa karakteristik perilaku. Biasanya pelaku dalam melakukan bullying disertai dengan pola reaksi cemas maupun agresif. Para pelaku sering mengalami masalah dengan konsentrasi dan prestasi belajar di kelas. Tidak jarang beberapanya dapat masuk sebagai golongan hiperaktif (Olweus, 1997).
Pelaku bullying cenderung menunjukkan beberapa karakteristik sebagai berikut:
a. Adanya kebutuhan untuk berkuasa, mendominasi, dan menaklukkan siswa lain dengan caranya sendiri.
b. Impulsif dan mudah marah.
c. Menunjukkan sedikit empati bagi siswa yang menjadi korban.
14
e. Sering terlibat dalam kegiatan antisosial atau pelanggaran aturan lain seperti vandalisme, kenakalan remaja (delinquency), dan penggunaan narkoba.
2.2Kebutuhan Berkuasa
2.2.1 Pengertian Kebutuhan Berkuasa
Kebutuhan berkuasa ialah keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain menurut McClelland (dalam Munandar, 2001). Orang yang mempunyai kebutuhan berkuasa yang besar menyukai pekerjaan-pekerjaan yang menempatkan dirinya menjadi pemimpin, dan berupaya mempengaruhi orang lain.
Orang dengan kebutuhan berkuasa ini, menikmati untuk dibebani, bergulat untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai diposisikan ke dalam situasi kompetitif dan berorientasi pada status, dan cenderung lebih peduli akan gengsi, dan memperoleh pengaruh terhadap orang lain daripada kinerja yang efektif (Robbins, 1996).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan berkuasa adalah keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain.
2.2.2 Tipe-tipe Kebutuhan Berkuasa
15
a. Kekuasaan instituasional (Institutional power)
Tipe ini biasanya langsung terarah pada organisasi yang baik. Orang dengan tipe kekuasaan institusional ingin mempengaruhi orang untuk alasan altruistik. Orang tersebut cenderung memperhatikan fungsi organisasi dan mempunyai dorongan untuk melayani orang lain. orang dengan tipe ini juga lebih mengontrol penggunaan kekuasaannya. Penelitian dari McCelland menunjukkan bahwa kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan institusional merupakan orang yang kritis tentang penampilan kepemimpinan yang baik. Orang dengan tipe ini teristimewa bagus dipeningkatan semangat juang, menciptakan harapan yang jelas, serta membuat orang lain bekerja dengan baik di dalam suatu organisasi. b. Kekuasaan personal (Personal power)
Tipe ini langsung terarah pada diri sendiri. Terbalik dengan tipe institusional, orang dengan tipe kekuasaan personal yang tinggi terdorong untuk mempengaruhi orang lain untuk tujuan pribadi sendiri. Orang dengan tipe ini cenderung impulsif dalam menjalankan kekuasaannya, memperlihatkan perhatian yang sedikit kepada orang lain, dan terfokus pada pemberlakuan simbol prestige dan status.
2.2.3 Ciri-ciri Kebutuhan Berkuasa
16
a. Suka menerima tanggung jawab untuk memecahkan masalah.
b. Cenderung menetapkan tujuan pencapaian yang moderat dan cenderung mengambil resiko yang telah diperhitungkan.
c. Menginginkan umpan balik atas kinerja.
Menurut McClelland (dalam Ivancevich, 2006) kekuasaan memiliki dua orientasi. Kekuasaan dapat menjadi negatif pada orang yang berfokus pada dominasi dan kepatuhan. Yang kedua, kekuasaan dapat menjadi positif karena merefleksikan perilaku persuatif dan inspirasional.
Kebutuhan kekuasaan ini dipelajari melalui penyesuaian dengan lingkungan seseorang. Karena kebutuhan dipelajari, maka perilaku mendapatkan penghargaan cenderungan lebih muncul. Siswa yang yang dihargai atas perilaku pencapaian belajarnya maka akan mempertahankan perilaku tersebut dan cenderung mengambil resiko yang moderat.
2.2.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Berkuasa
Menurut McClelland kebutuhan berkuasa membuat seseorang terdorong bekerja sehingga termotivasi dalam pekerjaannya. Cara orang bertindak dengan kekuasaan dipengaruhi oleh (Arep & Tanjung, 2003) : a. Pengalaman masa kanak-kanak
17 b. Kepribadian seseorang
Orang yang terdidik dari kecilnya untuk memelihara kepribadian diri, akan terbiasa ketika dewasanya. Ini merupakan faktor kritis yang terjadi dewasa ini. Banyak pemimpin yang gagal, karena faktor pribadinya, bukan ketidakmampuan bahwa hanya dalam bekerja.
c. Pengalaman kerja
Orang yang mempunyai pengalaman bekerja yang baik, tidak akan pernah berpikir untuk memperlakukan orang lain dengan buruk, apalagi berencana buruk terhadap orang lain.
d. Tipe organisasi
Untuk tipe organisasi non profit, kekuasaan pemimpin tidak dapat dijalankan dengan efisien. Dengan kata lain tidak ada perintah yang diinstruksikan, yang ada hanya permohonan, minta tolong.
2.3Hubungan antara Kebutuhan Berkuasa dan Tindakan Bullying
Setiap individu yang mempunyai kebutuhan berkuasa maka akan cenderung untuk menguasai, mempengaruhi, dan mengontrol orang lain. Siswa yang mempunyai kebutuhan berkuasa yang tinggi maka cenderung menonjol dalam setiap kegiatan-kegiatan di sekolah seperti kerja kelompok, dan seterusnya.
18
karena adanya perbedaan kekuatan antara yang mempunyai kekuatan maupun kekuasaan dengan pihak yang lemah.
McClelland (dalam Kusari, 2010) menemukan bahwa adanya kekerasan yang dilakukan oleh individu yang mempunyai kebutuhan berkuasa yang tinggi dan dengan kebutuhan afiliasi yang rendah. Hal tersebut menyebabkan individu kurang mempunyai kepedulian dengan orang lainnya. Biasanya kekerasaan tersebut dipakai untuk mempertahankan atau menegaskan kekuasaannya kepada orang lain atau kepada kelompoknya.
Hawkins (dalam Freeman, 1994) yang menyatakan bahwa siswa bermasalah mengekspresikan kebutuhan berkuasa dengan cara yang impulsif dan destruktif. Tindakan tersebut dapat berupa bertindakan membahayakan orang, merusak barang, menyalahgunakan alkohol bahkan narkoba. Kecenderungan siswa yang bermasalah dengan peraturan maka akan menyalurkan kebutuhan berkuasanya dengan perilaku yang negatif pula.
19
Widom,dkk (dalam Freeman, 1994) menegaskan kebutuhan berkuasa yang tinggi ada hubungan dengan perilaku kenakalan remaja yang ditunjukkan dengan perilaku impulsif pada siswa. Hal ini dapat menjelaskan bahwa kebutuhan berkuasa berkorelasi dengan tindakan yang merusak seperti tindakan bullying.
Zulfiyaturrizqiyah (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Perilaku
Bullying di Kalangan Remaja Awal (Studi Fenomenologi Sekolah Menengah Pertama)” menegaskan bahwa setiap jenjang kelas tedapat peluang terjadinya
kasus bullying. Tenyata, pelaku tidak hanya terdapat dari kalangan anak biasa namun pelaku juga berasal dari kalangan anak-anak popular disekolah. Tindakan bullying juga tidak hanya dilakukan secara individu melainkan juga dilakukan secara kelompok.
Penyebab pelaku melakukan tindakan bullying adalah adanya permasalahan di masa lalu dengan korban dan pelaku juga memanfaatkan kepopulerannya di sekolah untuk mendapatkan dukungan dari teman-teman maupun gurunya. Kurangnya perhatian dari keluarga juga menjadi faktor penyebab anak berperilaku bullying.
20
bahkan perilaku korban sehari-hari yang bisa menjadikan penyimpangan perilaku yang dilakukan korban untuk menghindari tindakan bullying.
Dalam tindakan lingkaran suatu bullying sebenarnya pelaku dapat menjadi korban bullying juga. Dampak yang besar dalam tindakan bullying tentu dirasakan oleh korban. Penelitian yang dilakukan Luthfina, Fidya (2011) tentang “Dampak Psikologis Korban Tindakan Bullying (Studi Kasus di SMP Negeri Y Kota Malang)” menyatakan bahwa ada beberapa dampak dari
tindakan bullying antara lain (1) dampak terhadap pribadi sosial sehingga korban menarik diri dari pergaulan dan kegiatan ekstrakulikuler, (2) dampak terhadap belajar sehingga menjadi kurang konsentrasi, melamun saat kegiatan belajar-mengajar, serta nilai yang terus menurun.
Belum banyak ditemukan penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan penulis. Hal ini disebabkan belum banyak penelitian mengenai bullying maupun kebutuhan berkuasa terutama di Indonesia.
2.4Hipotesis
“Ada hubungan yang positif signifikan antara kebutuhan berkuasa dengan