• Tidak ada hasil yang ditemukan

EMISI GAS RUMAH KACA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: PENDEKATAN NASIONAL DAN REGIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EMISI GAS RUMAH KACA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: PENDEKATAN NASIONAL DAN REGIONAL"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

EMISI GAS RUMAH KACA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI

INDONESIA: PENDEKATAN NASIONAL DAN REGIONAL

Aji Jayanti Dan Komara Djaja

Abstrak

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi, terutama di tingkat provinsi, terhadap emisi gas rumah kaca. Hal tersebut juga bermaksud untuk menjawab apakah pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan kualitas lingkungan. Penelitian ini menggunakan model regresi data panel dengan memasukkan

data tingkat provinsi dari tahun 2004 hingga 2012 dengan memperhitungkan karakteristik regional seperti Indeks GINI dan Pembangunan Manusia. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa tidak semua provinsi memiliki respon yang sama terkait perubahan pertumbuhan ekonomi

terhadap emisi gas rumah kaca.

Kata Kunci : Environmental Kuznets Curve, Emisi gas rumah kaca, Pertumbuhan ekonomi.

Abstract

The main objective of this study is to examine of how the economic development in Indonesia, especially on province level, influences on greenhouse gas emissions, thereby considering the question of whether or not economic development can coexist with environmental quality. This study is using unbalance panel data regressions with province level data from 2004 to 2012 and

includes the regional characteristic such as GINI index and HDI. The result shows that provinces have difference impact on GHG emissions by the changing of economic development.

Keywords : Environmental Kuznets Curve, Greenhouse Gas Emissions, Economic Development.

 

(2)

Pendahuluan

Seperti yang telah banyak diketahui bahwa emisi gas rumah kaca yang berasal dari aktifitas manusia telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Konsentrasi karbon dioksida atau CO2 telah meningkat dari 280 parts per million (ppm) menjadi 380 ppm sejak dimulainya

revolusi industri yang kebanyakan berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan alih fungsi lahan (IPCC, 2006). Produksi CO2 yang berasal dari aktivitas manusia terutama hasil pembakaran biasanya dibarengi dengan produksi gas rumah kaca lainnya seperti metana dan nitrous oxida sehingga dampaknya di atmosfer akan semakin parah (Stern, 2006).

Peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer memberikan pengaruh terhadap iklim global dan membawa pengaruh secara fisik dan biologis (IPCC, 2001). World Bank menggambarkan bagaimana perubahan pada iklim akan mempengaruhi elemen hidup manusia di dunia dengan meningkatnya kesulitan kepada akses air bersih, produksi pangan, kesehatan, dan menurunnya kualitas lingkungan (World Bank, 1992).

Indonesia merupakan salah satu negara yang merasakan dampak negatif dari adanya perubahan iklim tersebut. Indikator-indikator perubahan iklim seperti cuaca ekstrem dan hujan lebat dapat mempengaruhi sektor pertanian, perikanan, dan membawa ancaman pada kestabilan pangan dan matapencaharian. Indonesia juga menjadi negara yang cukup rentan terhadap perubahan iklim karena sifat kepulauan yang dimiliki sehingga pencairan es kutub membawa pengaruh yang cukup signifikan (KLH, 2012).

Emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim merupakan isu global dimana hal tersebut tidak dapat ditangani oleh satu negara. Fakta ini membawa pada dibentuknya Convention on

Climate Change oleh United Nation (CCCUN) pada tahun 1992. Dalam rangka pencapaian

tujuan dari CCCUN maka dibentuk Kyoto Protocol sebagai kerangka kerja dalam pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan perhatian yang cukup tinggi dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Pada G20 Summit di Pittsurgh pada tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan keinginan untuk berkontribusi secara sukarela dalam penurunan emisis gas rumah kaca sebesar 26% hingga tahun 2020 atau 41% dengan bantuan internasional.

(3)

Dalam mencapai tujuan tersebut pemerintah membuat program yang salah satunya adalah Rancangan Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Program ini memasukkan program RAD-GRK atau Rancangan Aksi Daerah Gas Rumah Kaca sebagai program daerah dimana program ini memasukkan karakteristik daerah dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

Indonesia sendiri merupakan satu dari negara penghasil emisi gas rumah kaca yang cukup besar. Pada tahun 2000 Indonesia telah memproduksi sekitar 1.377.982,95 Gg CO2e. Sebanyak 81% dari produksi tersebut merupakan CO2. Sektor energi sendiri memiliki kontribusi sebesar 22% produksi CO2 di tahun 2000. Hampir 23% dari total emisi tersebut berhubungan dengan

aktivitas perkotaan (KLH, 2013). Bila kita bandingkan data dari World Bank (2011), Indonesia menjadi salah satu dari 25 negara dengan produksi emisi terbesar di dunia pada tahun 1990, 2000, dan 2011. Beberapa negara dengan tingkat emisi di atas Indonesia diantaranya adalah Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan emisi regional, peningkatan signifikan emisi biasanya terjadi di kota besar dimana terjadi peningkatan populasi yang cukup tinggi yang standar hidup dan kemakmuran materi berada di tingkat yang lebih tinggi dibandingkan daerah (Shobhakar, 2004). Peningkatan populasi dan kepadatan penduduk di wilayah perkotaan membawa pada peningkatan permintaan barang dan jasa. Hal tersebut akan menjadi masalah saat peningkatan permintaan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan teknologi. Di lain pihak, peningkatan emisi gas rumah kaca berhubungan erat dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Fakta ini membawa pada pertanyaan mengenai kemungkinan adanya keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemeliharaan kualitas lingkungan di suatu negara.

Beberapa studi dalam beberapa tahun belakangan telah mencoba memeriksa keterkaitan antara kualitas lingkungan dan tingkat pendapatan suatu negara. Environmental Kurznets Curve atau EKC merupakan salah satu teori yang biasa digunakan untuk menguji dan menganalisis hasil empiris antara kedua hal tersebut. EKC menjelaskan hubungan antara kualitas lingkungan dan tingkat pendapatan dimana semakin menigkat pendapatan maka terjadi degradasi lingkungan. Beberapa penelitian telah mencoba menguji hipotesis ini untuk melihat secara empiris apakah EKC terjadi di sebuah negara seperti yang telah dilakukan di Norwegia (Gang, 2006), dan Jepang (Imai, 2013).

(4)

Selain menguji keberadaan EKC secara empiris, beberapa penelitian lain juga mulai melihat adanya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, dengan memasukkan faktor ekonomi lain, terhadap penurunan kualitas lingkungan seperti penelitian yang dilakukan oleh Puzon (2012), dan imai (2013). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Jiang, Lin, dan Zhuang (2008) telah menggunakan data regional dengan memisahkan antara daerah berkembang dengan daerah maju di Cina.

Seperti halnya penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah, dengan mengunakan data panel dari Indonesia, ingin membuktikan apakah teori mengenai hubungan antara emisi dan pendapatan berlaku di Indonesia. Selain itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi determinan lain yang mungkin mempengaruhi emisi gas rumah kaca di Indonesia terutama dengan menangkap karakter daerah.

Studi Literatur

Teori yang paling dikenal dalam menganalisis hubungan antara pertubuhan ekonomi dan emisi adalah Environmental Kuznets Curve atau EKC yang dikenalkan oleh Simon Kuznets. Sejak tahun 1991 hipotesis ini menjadi basis dari banyak penelitian terutama yang memiliki kaitan dengan kebijakan lingkungan. Hipotesis ini memperlihatkan adanya kenaikan tren degradasi lingkungan sebagai akibat dari peningkatan pendapatan per kapita hingga titik tertentu sampai peningkatan pendapatan per kapita lebih lanjut akan menurunkan degradasi lingkungan atau yang biasa dikenal dengan inverted U-shape curve.

(5)

Gambar 2.1. Grafik EKC

Salah satu studi awal yang menguji hipotesis ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Grossman dan Krueger pada tahun 1991. Mereka memperlihatkan adanya EKC pada hubungan pendapatan per kapita dan emisi sulfur dioksida. Penelitian tersebut membuktikan secara empiris bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan polusi pada titik tertentu namun tren tersebut akan bergerak berkebalikan pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Penelitian ini kemudian digunakan kembali dan dipopulerkan melalui The World Development Report 1992 oleh World Bank dimana dijelaskan bahwa aktivitas ekonomi akan menurunkan kualitas lingkungan. Saat pendapatan tersebut semakin naik, terjadi peningkatan permintaan untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang menekan pemerintah dan organisasi terkait sehingga cepat atau lambat akan terjadi peningkatan sumber investasi yang lebih ramah lingkungan.

Beberapa penelitian untuk melihat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan telah banyak menggunakan teori EKC. Studi yang dilakukan oleh Jiang, Lin, dan Juzhong (2008) memperlihatkan bahwa terjadi EKC di perekonomian Cina. Hal tersebut didemonstrasikan menggunakan emisi buangan hasil aktivitas produksi. Namun, dalam penelitian tersebut tidak adanya hubungan yang signifikan pada limbah padat.

(6)

Pada penelitian yang mereka lakukan dijelaskan bahwa pada daerah yang lebih maju memiliki titik balik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang masih berkembang. Temuan ini juga memperlihatkan bahwa teknologi dan regulasi memegang peranan penting dalam penurunan degradasi lingkungan. Walaupun hanya beberapa daerah yang telah berada pada batas titik balik namun hasil proyeksi dari penelitian ini menunjukkan bahwa daerah lain di Cina mampu mencapai titik balik tersebut dalam beberapa tahun.

Penelitian menggunakan teori EKC juga dilakukan di Pakistan oleh Shahib, Maryam, dan Rabbi (2014) dimana dalam penelitian ini diperlihatkan adanya EKC dalam hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan. Pada penelitian tersebut juga diperlihatkan bahwa kepadatan penduduk memiliki hubungan positif dalam peningkatan emisi karbon per kapita.

Liu di tahun 2006 melihat hubungan antara GDP dan emisi udara di Norwegia. Determinan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah panjang jalan, elektrifitas, irigasi, penelitian dan pengembangan, dan curah hujan. Hasil dari penelitian ini adalah panjang jalan dan elektrifitas memiliki hubungan yang postif terhadap emisi namun tidak ditemuka hasil yang signifikan secara statistik pada determinan lainnya.

Menggunakan Ordinary Least Squares, Iwami (2004) memperlihatkan tidak hanya pendapatan, aktivitas ekonomi seperti efisiensi energi, dan struktur industri akan mempengarui emisi. Dalam penelititian tersebut terlihat adanya fenomena EKC di sembilan negara yang diteliti.

Metode Penelitian

Seperti yang terlihat pada teori dasar EKC, degradasi lingkungan merupakan variabel terikat dalam model tersebut sedangkan pendapatan perkapita merupakan variabel bebas. Untuk membuktikan hipotesis EKC pada penelitian ini akan digunakan model dasar EKC yaitu:

!"!"!!" = !!+ !!!"!!"+ !!(!"!!")!+ !

!" (3.1)

Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji keberadaan EKC di Indonesia menggunakan data panel dari provinsi-provinsi yang ada di Indonesia. EKC akan terjadi bila

(7)

koefisien pendapatan perkapita, atau Y, bernilai positif dan bentuk koefisien kuadrat dari pendapatan per kapita, atau Y2, bernilai negatif.

Penggunaan bentuk log dilakukan karena dirasa lebih tepat bila dibandingkan bentuk biasa karena pertumbuhan variabel-variabel seperti jumlah populasi dan pendapatan mengikuti bentuk pertumbuhan eksponensial (Stern, 2004). Selain itu, pada kenyataannya jumlah variabel-variabel dalam model tidak bernilai nol atau negatif sehingga penggunaan log akan membatasi hal tersebut.

Berdasarkan model asli EKC, penelitian ini melakukan penyesuaian untuk melihat hubungan antara emisi gas rumah kaca dengan determinan lain terutama untuk menangkap perbedaan karakter antar regional. Berdasarkan penelitian dari Borghesi (2012) dan Samimi (2011) Indeks Gini dan Pembangunan Manusia merupakan faktor yang cukup menggambarkan perbedaan antar daerah. Selain itu, kebakaran yang terjadi di beberapa provinsi juga dimasukkan untuk menangkap kejadian tidak biasa, sehingga didapat model:

!"!"!!" = !!+ !!!"!!"+ !!(!"!!")!+ !

!!"#"!"+ !!!"#!"+ !!!"!"+ !!!"!!"+ !!" (3.3) dimana GHGit : Emisi gas rumah kaca per kapita provinsi i pada tahun t

Yit : Produk domestik regional bruto per kapita, provinsi i pada tahun t

Y2it : PDRB per kapita kuadrat provinsi i di tahun t

GINIit : Gini indeks provinsi i pada tahun t

HDIit : Indeks pembangunan manusia provinsi i pada tahun t

WFit : Variabel boneka dari keberadaan kebakaran hutan

POPit : Tingkat pertumbuhan penduduk provinsi i tahun t

Εit : Standar error

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dalam bentuk panel data. Data berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Kehutanan. Rentan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2004 hingga 2012 pada 15 provinsi di Indonesia. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena adanya keterbatasan data maka rentan waktu yang digunakan berbeda-beda tiap provinsinya.

(8)

Model Ekonometrika

Model Pooled Least Square (PLS) merupakan model regresi dengan menggabungkan seluruh observasi dan meregresi dengan metode OLS tanpa memperhitungkan dimensi waktu dan tempat. Asumsi yang digunakan adalah tidak terdapat korelasi antara variabel bebas dengan residual, tidak terdapat kolinearity sempurna antara variabel bebas, dan homokedastis dan tidak autokorelasi antar variabel bebasnya.

Penggunaan PLS ini dilakukan karena adanya keterbatasan data yang digunakan, selain itu rentan tahun yang perbedaannya cukup tinggi antar provinsi sehingga memasukkan perhitungan waktu akan tidak efisien. OLS telah digunakan dalam penelitian sebelumnya yakni oleh Iwami (2004) untuk melihat hubungan antara pendapatan, efisiensi energi, dan struktur industri dengan emisi.

Hasil Penelitian

PLS telah digunakan dalam model ini, berikut merupakan hasil regresi dari model EKC: Tabel 4.2. Hasil Regresi EKC

15 Provinsi Tanpa Jakarta

Variable Coefficient P value Variable Coefficient P value

lnY 15,36196* 0,066 lnY -97,38901* 0,070 (lnY)2 -0,824650* 0,062 (lnY)2 5,626229* 0,067 Konstanta -62,53583 0,110 Konstanta 429,5946* 0,068 F(2,40) 2,15 F(2,35) 3,19 Prob>F 0,1298 Prob>F 0,0533 R-Squared 0,0970 R-Squared 0,1543

*** Signifikan pada level 1% ** Signifikan pada level 5% *Signifikan pada level 10%

F-test pada hasil regresi seluruh provinsi memperlihatkan bahwa model tidak dapat menjelaskan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan baik karena nilainya yang lebih tinggi dari alfa. Namun, untuk menghindari adanya misleading akibat adanya outlier maka dilakukan pula regresi dengan tidak mengikut sertakan Jakarta.

(9)

Hasil regresi setelah dikeluarkannya Jakarta memperlihatkan F-stat yang lebih kecil dari alfa. Dengan demikian hasil tersebut dapat menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dengan tingkat signifikansi pada level 10%.

Pada model dengan memasukkan variabel penjelas lain memperlihatkan adanya hasil yang lebih signifikan secara statistik. Metode PLS telah digunakan dalam model tersebut, berikut merupakan hasil regresi model EKC non linear dengan mengikut sertakan variabel kontrol lainnya:

Tabel 4.5. Hasil Regresi EKC Non-Linear dengan Variable Kontrol

15 Provinsi Tanpa Jakarta

Variable Coefficient P value Variable Coefficient P value

LNY 29,64412** 0,001 LNY 29,56003 0,645 (LNY)2 -1,560502** 0,001 (LNY)2 -1,553432 0,669 GINI -3,12666 0,746 GINI -3,569739 0,509 HDI -0,0268861 0,525 HDI -0,0305352 0,750 WF -0,2804582 0,412 WF -0,2930767 0,431 POP 0,6565653*** 0,000 POP 0,656717** 0,001 Constant -129,0694** 0,002 Constant 276,5538 0,646 F(6,31) 6,80 F(6,27) 5,32 Prob>F 0,0001 Prob>F 0,0010 R-Squared 0,5682 R-Squared 0,5418

*** Signifikan pada level 1% ** Signifikan pada level 5% *Signifikan pada level 10%

F-test pada hasil regresi seluruh provinsi di atas memperlihatkan bahwa parameter dalam model signifikan pada tingkat kepercayaan 95% yang berarti bahwa model dapat menjelaskan hubungan antara variabel bebas dan terikat. Tiga dari enam variabel yang signifikan secara statistik yakni pendapatan per kapita, pendapatan per kapita kuadrat, dan populasi dengan tingkat kepercayaan 95%.

(10)

Untuk menghindari misleading maka regresi juga dilakukan dengan membuang provinsi outlier yaitu Jakarta. Hasil regresi dalam model tersebut tidak memperlihatkan adanya hasil yang signifikan secara statistik pada variabel-variabel bebasnya kecuali pada variabel populasi.

Diskusi

Pada hasil regresi yang mencakup ke-15 provinsi tidak ditemukan adanya hasil yang signifikan secara statistik. Namun, setelah dikeluarkannya Jakarta dalam model, justru hasil menunjukkan bahwa pola hubungan antara pendapatan per kapita dengan emisi gas rumah kaca berbentuk huruf U, artinya jumlah emisi gas rumah kaca semakin menurun dengan adanya peningkatan pendapatan per kapita tertentu, setelah melewati tingkat tersebut jumlah emisi gas rumah kaca di udara akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan.

Seperti halnya penemuan Frazer (2006) bahwa negara-negara berkembang memiliki kecenderungan untuk membentuk kurva U dalam hipotesis EKCnya. Selain itu, kecenderungan Jakarta yang lebih maju dibandingkan provinsi lain akan membawa hasil yang berbeda antara dengan dan tanpa dimasukkannya Jakarta dalam model. Berdasarkan argument tersebut maka penelitian ini akan menitikberatkan pada argument U-shaped curve.

Setelah dilakukan perhitungan, titik balik dari model tersebut sebesar 5.738 ribu rupiah secara keseluruhan. Beberapa provinsi yang masih berada di sisi kiri kurva U tersebut diantaranya adalah Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua. Artinya, provinsi-provinsi yang berada di sisi kiri kurva akan mengalami penurunan pertumbuhan emisi saat terjadi pertumbuhan ekonomi.

Pada hasil regresi dengan mengikutsertakan seluruh provinsi terlihat bahwa pendapatan per kapita, pendapatan per kapita kuadrat, dan populasi signifikan di level 1%. Artinya, kenaikan pendapatan per kapita akan menaikkan emisi gas rumah kaca namun pada titik tertentu akan menurun seiring dengan terus naiknya pendapatan per kapita. Temuan ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Iwami (2004), dan Puzon (2012) yang juga memasukkan variabel kontrol lain.

(11)

Pada populasi juga ditemukan pengaruh yang positif dengan tingkat signifikansi di level 1%. Hasil ini cukup wajar karena adanya peningkatan populasi akan meningkatkan permintaan barang dan jasa dan konsumsi energi sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Pada hasil regresi dengan mengeluarkan provinsi DKI Jakarta tidak ditemukan hasil yang signifikan secara statistik pada variabel-variabel bebas kecuali populasi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Jakarta memiliki nilai yang cukup signifikan dalam mempengaruhi model.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil regresi model dengan data yang telah ada dapat disimpulkan bahwa terjadi fenomena U-Shaped curve di Indonesia, dengan kata lain terjadinya peningkatan pendapatan per kapita di Indonesia akan menurunkan emisi gas rumah kaca hingga titik tertentu, namun seiring terus meningkatnya pendapatan per kapita akan menaikkan emisi gas rumah kaca.

Setelah dihitung titik balik kurva tersebut terlihat bahwa mayoritas provinsi berada pada kenaikan emisi seiring dengan terjadinya kenaikan pendapatan per kapita. Namun, pada empat provinsi yakni Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua terlihat masih berada di sisi kiri kurva U.

Selain pertumbuhan ekonomi, populasi memiliki hubungan yang positif terhadap emisi gas rumah kaca dimana semakin meningkatnya populasi akan menaikkan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa, sesuai teori, meningkatnya pertumbuhan penduduk akan meningkatkan permintaan akan berang dan jasa sehingga mendorong produksi dan alih fungsi lahan.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Aldy, J. E. (2005). An Environmental Kuznets Curve Analysis of US State-Level Carbon Dioxide Emissions. The Journal of Environment Development , 48-72.

Bappenas, & KLH. (2013). Potret Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisis Gas Rumah Kaca. Jakarta: Bappenas.

Bappenas, BPS, & UN. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: Katalog BPS. Boopen, S., & Vinesh, S. (2011). On the Relationship between CO2 Emissions and Economic

growth: The Mauritian Experience. EDIA Conference: Center for The Study of African

Economies .

Bouvier, R. A. (2004). Air pollution and Per Capita Income. Workingpaper Series Political

Economiy Research Institute .

Chengxuan, G. (2013). Empirical Research on the Relationship between Economic Growth and Environmental Pollution in Jiangsu Province. Mediterranean Journal of Social Sciences , 322-326.

Chertow, M. R. (2000). The IPAT Equation and Its Variants. Journal of Industrial Ecology Vol.4 , 13-29.

Clement, M., & Meunie, A. (2008). Economic Growth, Inequality and Environment Quality: An Empirical Analysis Applied to Developing and Transition Countries. Cahiers du

GREThA .

Day, J. (2012). Growth In Indonesia's Manufacturing Sectors: Urban and Localization Contributions. Sixth urban Research and Knowledge Symposium 2012 .

Dhakal, S. (2004). Urban Energy Use and Greenhouse Gas Emissions In Asian Mega-Cities.

Institute For Global Environmetal Strategies .

Gang, L. (2006). A Causality Analysis on GDP and Air Emissions in Norway. Discussion

(13)

Glaeser, E. L., & Kahn, M. E. (2008). The Greenness of Cities: Carbon Dioxide Emissions and Urban Development. Journal of Urban Economics , 404-418.

Grossman, G. M., & Krueger, A. B. (1995). Economic Growth and the Environment. MIT Press , 353-377.

Imai, K. (2013). Urban Characteristics and CO2 Emissions: The Case of Japanese Cities. OIDA

International Journal of Sustainable Development , 83-92.

Iwami, T. (2004). Economic Development and/or Environmental Quality: Emissions of CO2 and SO2 in East Asia. CIRJE Discussions Paper .

Kadmaerubun, C. M., & Hermana, J. (2013). Kajian Tentang Kontribusi Jawa Timur terhadap Emisi CO2 melalui Transportasi dan Pneggunaan Energi. Jurnal Teknik Pomits , 251-255.

KLH. (2012). Laporan National Summit: Perubahan Iklim 2. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.

Lantz, V. (2002). Is There an Environmental Kuznets Curve for Clearcutting in Canadian Forests? Journal Forest Economcs 8 , 199-212.

Lieb, G. M. (2003). The Environmental Kuznets Curve: A Survey of The Empirical Evidence and of possible Causes. Discussion Paper Series No.391 , 1-60.

Liu, G. (2006). A Causality Analysis on GDP and Air Emissions in Norway. Discussion Paper

No.447 , 1-19.

Penman, J., Gytarsky, M., Hiraishi, T., Irving, W., & Krug, T. (2006). 2006 IPCC Guidelines for

National Greenhouse Gas Inventories. International: IPCC.

Puzon, K. A. (2012). Carbon Emissions and Economic Development in East Asia: A Macroeconometric Inquery. Chulalongkorn Journal of Economics , 1-10.

Reeves Jr, K. (2003). Transport Energy Use and Greenhouse Gases in Urban Passenger Transport Systems: A Study of 84 Global Cities. Third Conference of the Regional

(14)

RI, M. o. (2010). Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change. Ministry of Environment Publisher .

Stern, D. I. (2003). The Environmental Kuznets Curve. Rensselaer Polytechnic Institute .

Stern, D. I. (2004). The Rise and Fall of The Environmental Kuznets Curve. World Development

Vol. 32 , 1419-1439.

Stern, D. (2006). Stern Review on The Economics of Climate change. London: HM Treasury. Trabelsi, I. (2012). Is There an EKC Relevant to the Industrial Emission of Water Pollution for

SEMC and EU Countries? Environmental Management and Sustainable Development , 31-43.

Gambar

Gambar 2.1. Grafik EKC
Tabel 4.2. Hasil Regresi EKC
Tabel 4.5. Hasil Regresi EKC Non-Linear dengan Variable Kontrol

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil kalkulasi,tingkat emisi Gas Rumah Kaca di Kabupaten Indramayu cenderung tinggi dilihat dari jumlah emisi yang dihasilkan dari sektor industri

Berdasarkan hasil kalkulasi,tingkat emisi Gas Rumah Kaca di Kabupaten Indramayu cenderung tinggi dilihat dari jumlah emisi yang dihasilkan dari sektor industri

Opsi yang dapat diberikan sebagai upaya potensi penurunan emisi gas rumah kaca di RPH PT Elders Indonesia, yaitu pemanfaatan limbah padat dan cair untuk biogas,

REKAPITULASI PERHITUNGAN EMISI SUMBER GAS RUMAH KACA YANG BERASAL DARI PABRIK PENGOLAHAN

Walaupun Indonesia bukan merupakan negara kelompok “Annex I” maupun “Annex II” sehingga tidak wajib menurunkan emisi gas rumah kaca, tetapi sebagai negara yang t elah

Dapat disimpulkan bahwa semakin besar perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan diri perusahaan tersebut untuk melakukan pengungkapan emisi gas rumah kaca

Dapat disimpulkan bahwa semakin besar perusahaan, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan diri perusahaan tersebut untuk melakukan pengungkapan emisi gas rumah kaca

Dalam penelitian ini, varibel independen yang mempengaruhi pengungkapan sukarela emisi gas rumah kaca oleh perusahaan di Indonesia adalah peringkat PROPER, ukuran