1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakikat pembangunan daerah dalam era desentralisasi adalah memberikan kesempatan yang luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan melayani masyarakat secara langsung. Sehingga pembangunan dapat dilakukan dengan melihat kebutuhan nyata masyarakat (real demand comunity).
Kota yang merupakan salah satu hirarki pengwilayahan dalam suatu wilayah administrasi propinsi maupun kabupaten tidak terlepas dari hal tersebut diatas, dimana didalam proses perkembangannya berimplikasi pada pemenuhan tuntutan penambahan fasilitas dan penyesuaian manajemen perkotaan. Secara timbal balik dengan adanya peningkatan fasilitas perkotaan, maka masyarakat itu sendiri perlu selalu menyesuaikan diri dalam pola pikir dan perilaku sehari-harinya. Sehingga diharapkan terwujud sistem hubungan timbal balik antara perkembangan kegiatan manusia dengan perkembangan perkotaan itu sendiri yang saling pengaruh mempengaruhi. Problem perkotaan akan muncul apabila terjadi ketidak seimbangan pada sistem hubungan timbal balik tersebut. Dinamika perkotaan selalu menimbulkan ketidak seimbangan, yang berarti problem perkotaan semakin lama juga semakin berkembang baik jenisnya maupun jumlah intensitasnya.
Hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan perkotaan, biasanya digambarkan sebagai hubungan yang impersonal. Hubungan sepintas lalu, berkotak-kotak, bersifat sering terjadi dan lain-lain, dimana orang lebih bebas memilih hubungannya sendiri. Sedangkan dari segi ekonomi, suatu ciri dari kota yang bukan agraris. Fungsi-fungsi kota khas adalah budaya, industri, perdagangan, niaga dan pemerintahan.
Dengan mempertimbangkan sosial ekonomi dalam perencanaan kota, maka pemenuhan kebutuhan masyarakat akan lebih terarah. Pengadaan fasilitas-fasilitas sosial seperti sekolah, kantor, rumah sakit, peribadatan dan lain-lain. Sedangkan fasilitas ekonomi seperti pasar, bank, pertokoan dan lain-lain. Untuk megantisipasi
pertumbuhan dan perkembangan kota yang semakin kompleks, diperlukan suatu penataan bangunan dan lingkungan kawasan, yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarahan dalam melaksanakan pembangunan.
Sementara itu perwujudan dan penampilan ruang kota di Indonesia dirasakan masih kurang selaras, diantaranya disebabkan oleh kegiatan perencanaan (dan perancangan) ruang kota yang sampai saat ini dilakukan hanya dilakukan dalam matra dua dimensi dan proses penjelmaannya menjadi bangunan tiga dimensi tidak lagi dikendalikan pada skala kota atau kawasan tetapi sudah diserahkan menjadi pekerjaan perencanaan individual dalam bentuk perencanaan dan pembangunan pada tingkat kavling per persil lahan.
Dilain pihak, pertumbuhan fisik bangunan dan lingkungannya yang pesat dikawasan-kawasan kota di Indonesia, terutama di pusat-pusat perkantoran dan perdagangan masih kurang diimbangi oleh keberadaan peraturan-peraturan yang secara operasional dapat mengendalikan dan mengarahkan pembangunan fisik secara maksimal.
Dampak negatif yang terjadi dan langsung dapat dirasakan adalah :
1. Adanya lingkungan terbangun yang kurang selaras dengan tuntutan kaidah ekosistem lingkungan, seperti kepadatan lingkungan yang sangat tinggi, kekumuhan, turunnya kemampuan penyerapan air kedalam tanah, bencana banjir, kebakaran dan sebagainya.
2. Keberadaan pembangunan yang kurang memenuhi persyaratan konstruksi yang berkaitan dengan aspek kekokohan, stabilitas, keamanan bangunan dan sebagainya.
3. Adanya polusi arsitektur yang diakibatkan oleh beragamnya gaya arsitektur bagian yang kurang memberikan sinerji terhadap aspek keindahan ruang suatu kawasan/ kota.
4. Terjadinya ketidakefisienan dalam melakukan investasi pembangunan kota antara berbagai instansi pemerintah karena tidak adanya sarana untuk melakukan sinkronisasi dan koordinasi program.
Kegiatan penataan bangunan dimaksudkan sebagai kegiatan yang bisa menjembatani kegiatan perencanaan kota yang sangat dua dimensional dengan
Laporan Draft Final I - 3
kegiatan perencanaan teknis bangunan yang tiga dimensional dan diharapkan dapat digunakan untuk mengendalikan perwujudan tertib pembangunan bangunan dan fasilitas pendukungnya. Disamping itu juga diharapkan dapat lebih menjamin aspek keselamatan bangunan, lingkungan dan manusia, baik pada saat pembangunannya maupun pada saat pemanfaatannya kelak, serta perlindungan terhadap kawasan bagian kota atau lingkungan bangunan-bangunan tertentu yang mempunyai nilai ekonomi, sosial dan budaya yang penting.
Kegiatan penataan bangunan yang dilaksanakan diantaranya dengan melakukan kegiatan Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang merupakan kegiatan menyusun rancang bangun suatu lingkungan bangunan, dalam rangka menciptakan dan mengendalikan wujud struktural pemanfaatan ruang kota, khususnya dalam bentuk bangunan dan lingkungannya, seperti pengendalian terhadap ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, garis langit dan sebagainya seperti yang tercantum pada UU. No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah rencana teknik dan program tata bangunan serta pedoman pengendalian pembangunannya, sebagai salah satu alat pengendalian pemanfaatan ruang yang diberlakukan secara khusus pada bangunan atau kelompok bangunan pada suatu lingkungan/ kawasan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bangunan Khusus (PBK).
B. Maksud dan Tujuan Penyusunan RTBL Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate
Maksud dari Penyusunan RTBL Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate ini adalah sebagai pedoman untuk memproses pekerjaan penyusunan produk Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), agar proses pencapaian sasaran yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan pemberi tugas. Sasaran pokok dari pekerjaan ini adalah tersusunnya Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten setempat, yang terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menyusun kerangka/ struktur permasalahan dan potensi fisik, sosial ekonomi dan budaya yang ada pada kawasan perencanaan
Laporan Draft Final I - 4
3. Menyusun dan mengusulkan rancang bangun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) pada kawasan perencanaan.
Kegiatan Penyusunan RTBL ini diharapkan dapat menghasilkan produk berupa tersusunnya rancang bangun lingkungan dikawasan perencanaan yang dapat digunakan sebagai sarana mengendalikan pembangunan da pembangunan fisik kawasan di lokasi RTBL. Dengan tersusunnya RTBL ini akan dicapai kesepakatan antar instansi terkait dan pihak-pihak penerima manfaat (stakeholder) tentang masukan-masukan yang diperlukan dalam penyusunan program penataan bangunan di kawasan RTBL terpilih, baik yang bersifat sektoral maupun multi sektoral. Sebagai acuan dalam menyusun produk Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah standar hasil karya RTBL dan pedoman umum RTBL.
Pedoman penataan bangunan (urban design brief) merupakan dokumen pelengkap dari suatu panduan rancang bangun (design guidance) seperti antara lain yang telah tertuang dalam Rencana Penataan Bangunan. Namun demikian, sebagai masukan teknis pedoman penataan bangunan sudah bersifat lebih detail, untuk suatu kawasan tertentu, khususnya menyangkut aspek perancangan bangunan.
Dengan demikian penyiapan Pedoman Penataan Bangunan dimaksud sebagai bangunan dari upaya pengaturan dan pembinaan dibidang rancang bangunan arsitektur beserta elemen lingkungan lainnya. Adanya pedoman penataan bangunan ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pengendalian pembangunan fisik sedini mungkin yaitu pada tahap perencanaannya.
C. Ruang Lingkup Penyusunan RTBL Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate
Lingkup pekerjaan penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate, meliputi :
1. Survey lapangan untuk mendapatkan informasi tentang kondisi fisik, sosial, ekonomi dan budaya setempat serta kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ada dan yang sedang akan ditetapkan oleh pemerintah setempat, khususnya yang terkait dengan aspek penataan bangunan, mencakup antara lain :
a. Peta dan data tanah dan bangunan pada kawasan perencanaan b. Rencana Tata Ruang (RDTR/RBWK dan RTRK)
Laporan Draft Final I - 5
c. Peraturan Daerah (Perda) tentang bangunan yang diberlakukan pada kawasan perencanaan
d. Program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan (air bersih, drainase, persampahan, jalan, jaringan listrik, telepon, pertamanan, yang sedang dan akan dilaksanakan) pada kawasan perencanaan
e. Inventarisasi bangunan atau lingkungan baik yang bersifat baru maupun tradisional dan spesifik pada kawasan perencanaan.
2. Analisis dan penyusunan konsep pengendalian kawasan, khususnya yang berkenaan dengan substansi rencana teknis tata bangunan dan lingkungan.
3. Substansi rencana tata bangunan dan lingkungan yang harus dimuat jelas pada laporan akhir sekurang-kurang terdiri atas 6 (enam) hal, yaitu :
a. Program Tata Bangunan dan Lingkungan
Program kebutuhan bangunan dan lingkungan yang disusun untuk kurun waktu tertentu (5 – 10 tahun), yang menyangkut macam, jumlah, besaran dan luasan. Termasuk didalam program adalah penetapan fungsi-fungsi bangunan, kebutuhan ruang terbukla, fasilitas umum dan fasilitas sosial.
b. Arahan Program Investasi
Program investasi yang disusun berdasarkan program bangunan dan lingkungan bersifat indikasi, tidak hanya investasi pembangunan yang akan dibiayai oleh pemerintah dari berbagai sektor, daerah dan pusat, tetapi juga oleh dunia usaha dan masyarakat.
c. Rencana Umum
Arahan umum wujud bangunan dan lingkungan meliputi :
Rencana peruntukan tanah mikro (land use) . Termasuk disini yaitu rencana perpetakan dan rencana tapak.
Rencana wujud bangunan; ketinggian, kedalaman, garis sempadan, KDB, KLB, elevasi/peil, gubahan massa, orientasi, bentuk dasar, fasade, bahan eksterior bangunan (building form and massing)
Rencana sistem pergerakan/sirkulasi dan masalah parkir
Rencana ruang terbuka (open space) ; pertamanan, perkerasan, termasuk perabot linkungan (misalnya bangku taman).
Laporan Draft Final I - 6
Rencana jalan setapak (pedestrian ways) termasuk sarana penyeberangan.
Pendukung aktifitas atau sarana untuk kegiatan umum. Termasuk segala penggunaan dan aktifitas yang mendukung berfungsinya ruang-ruang publik (umum) dimana terjadi saling melengkapi antara kegiatan dan sarana fisik. Elemen menyangkut bagaimana suatu lingkungan dirancang hingga dapat mendukung kegiatan yang ada. Oleh karena suatu pendukung aktifitas tidak hanya mencakup penyediaan pedestrian atau plaza saja misalnya, melainkan pula mempertimbangkan pemanfaatan elemen-elemen lain yang dapat menggerakkan kegiatan, antara lain adanya pertokoan, taman, rekreasi, civic centre, perpustakaan umum dan sebagainya.
Rambu/ sejenis papan tanda (signage) yang memberikan petunjuk suatu lingkungan dengan fungsi tertentu, misalnya papan nama taman rekreasi dan sebagainya, termasuk papan reklame.
Rencana preservasi, menyangkut hal-hal yang perlu dijaga kelestariannya tidak hanya yang berkaitan dengan bangunan atau tempat bernilai sejarah melainkan pula mempertimbangkan elemen lain yang secara ekonomis dan budaya memiliki nilai penting.
d. Rencana Detail
Arahan rencana detail dari elemen-elemen bangunan dan lingkungan yang bersifat spesifik untuk masing-masing lingkungan, merupakan detail dari rencana umum wujud bangunan, ruang terbuka dan rencana umum lainnya, seperti detail fasad, signage, perabot jalan/ lingkungan, pencahayaan lingkungan dan pedestrian.
e. Pedoman Pengendalian Program dan Rencana
Berupa perangkat administratif untuk mengendalikan pelaksanaan rencana dan program pada poin 1 sampai dengan point 4 diatas. Bersifat mengantisipasi perubahan pada tahap pelaksanaan karena berbagai hal, tetapi masih dapat memenuhi persyaratan daya dukung lahan, kapasitas prasarana lingkungan dan masih sejalan dengan rencana dan program penataan kotanya. Perangkat tersebut misalnya penerapan pola insentif,
Laporan Draft Final I - 7
disinsentif, pengalihan hak membangun, dan hak membangun diruang udara dalam batas tertentu.
f. Pedoman Pengendalian Pelaksanaan
Bersifat rumusan arahan substansi teknis dari rencana-rencana dan program tersebut pada point 1 sampai dengan point 5 diatas, sebagai masukan teknis bagi peraturan daerah tentang bangunan pada lingkungan tertentu (PBK), yang pengembangan lingkungannya mengacu pada rencana teknis tata bangunan dan lingkungan yang telah disusun. Kelengkapan, kedalaman dan luasan dari rencana teknis tata bangunan dan lingkungan tersebut (dan PBK-nya) adalah sangat tergantung dari pola pelaksanaan penataan bangunan yang ditetapkan dan kemampuan serta kondisi lokal yang ada.
Dalam konteks Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), produk penataan ruang yang ada akan digunakan sebagai kawasan dasar studi dalam melaksanakan identifikasi, analisa, maupun proses perumusan strategi dan kebijaksanaan yang berlingkup makro. Sedangkan bagi kajian potensi, permasalahan dan perumusan strategi dan kebijaksanaan yang sifatnya mikro, kawasan dasar studinya adalah kawasan Perencanaan Tata Bangunan dan Lingkungan yang telah ditentukan.
D. Manfaat Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)
Manfaat langsung yang diperoleh dari adanya Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) ini adalah :
1. Adanya masukan rencana dan program pembangunan fisik bagi pemerintah
setempat pada tingkat lingkungan yang memiliki pertumbuhan cepat.
2. Adanya masukan teknis bagi pemerintah setempat yang bersifat terinci dalam
mengendalikan perwujudan bangunan dan lingkungan pada tingkat lingkungan.
3. Adanya masukan teknis bagi pemerintah setempat dalam mengarahkan peran
serta seluruh pelaku pembangunan (pemerintah dan swasta) dalam mewujudkan lingkungan yang dikehendaki.
4. Adanya masukan teknis bagi pemerintah setempat dalam memantapkan
Laporan Draft Final I - 8 E. Lokasi Kawasan Perencanaan
Lokasi kawasan perencanaan Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) secara administrasi berada dalam wilayah Kota Ternate yaitu pada Kawasan Tapak I Plus yang merupakan kawasan yang oleh Pemerintah Kota Ternate secara hirarkis telah ditetapkan sebagai kawasan pengembangan dengan fungsi dominan sebagai pelayanan sarana transportasi (terminal kota) di Kota Ternate.
F. Dimensi Waktu Perencanaan
Dimensi waktu Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate adalah 5 sampai dengan 10 tahun terhitung mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2017 yang program pelaksanaan pembangunannya dilaksanakan secara bertahap setiap lima tahun.
G. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate, meliputi :
1. Pendahuluan
Pada bagian ini pembahasan meliputi latar belakang yang mengilhami pelaksanaan kegiatan Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate, maksud dan tujuan Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate, ruang lingkup Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate, manfaat Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate, lokasi kawasan perencanaan, dimensi waktu perencanaan Penataan Bangunan dan Lingkungan Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate dan sistematika pembahasan Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate.
2. Landasan Hukum dan Kebijakan Pelaksanaan Kegiatan
Membahas mengenai landasan hukum yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan dan kebijaksanaan pembangunan ditingkat propinsi dan kota yang menjadi wilayah studi sebagai upaya mengimplementasikan produk hukum dan
Laporan Draft Final I - 9
kebijaksanaan dalam bentuk perencanaan yang terarah, terkendali dan berkesinambungan (sustainable).
3. Profil Wilayah Kota Ternate
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum Kota Ternate yang meliputi data administratif, kondisi geografis, kondisi fisik wilayah, kependudukan serta kondisi sarana dan prasarana kota yang ada.
4. Metode Pendekatan Pelaksanaan Kegiatan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai metode pendekatan pelaksanaan kegiatan oleh konsultan pelaksana, mencakup metode pendekatan pelaksanaan pekerjaan, tahapan pendekatan pelaksanaan pekerjaan serta metode survey yang akan diterapkan pada Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Tapak I Plus Kota Ternate.
5. Analisis Penataan Bangunan Dan Lingkungan
Pada bagian ini pembahasan di titikberatkan pada analisis mengenai penataan bangunan dan lingkungan yang merupakan rencana teknis/rancangan bangunan dan program tata bangunan dan lingkungan, serta pedoman pengendalian pembangunannya, sebagai salah satu alat pengendalian pemanfaatann ruang yang diberlakukan secara khusus pada bangunan atau kelompok bangunan dalam suatu lingkungan/kawasan (Urban Building Design And Development
Guidelines).
6. Konsep Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai strategi/pengendalian tata bangunan dan strategi percepatan perwujudan tata bangunan serta menetapkan konsep dasar fungsi dan struktur kawasan. Elemen – elemen utama dalam konsep ini yaitu transportasi, fasilitas pelayanan (umum dan sosial), perumahan, utilitas, wisata, dan perekonomian.
7. Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan
Pada bagian ini merupakan pembahasan program rencana yang bersifat arahan penyediaan macam-macam bangunan, luas bangunan, kebutuhan bangunan dan
Laporan Draft Final I - 10
lingkungan, peruntukan lahan, besaran massa bangunan, kebutuhan ruang terbuka, sirkulasi, ruang terbuka hijau, rencana tata letak bangunan dan lingkungan serta fasilitas pelayanan umum/sosial.
2
LANDASAN HUKUM DAN KEBIJAKAN
PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Landasan Hukum Pelaksanaan
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3186);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317); 6. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran
Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3294); 7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
8. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3437); 9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Alam (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470); 10. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 12. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
13. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1985 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3239);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 104);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta dalam Rangka Penyusunan Tata Ruang Wilayah. (Lembaran Negara RI Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3934);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
21. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
22. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1991 tentang Penggunaan Tanah Bagi Kawasan Industri;
23. Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Lampiran V Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor:327/KPTS/M/2002 Tanggal 12 Agustus 2002.
24. Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung 25. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
26. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Laporan Draft Final II - 3 B. Kebijakan Pembangunan Propinsi Maluku Utara
1. Visi dan Misi Pembangunan Propinsi Maluku Utara
Dalam Pola Dasar Pembangunan Propinsi Maluku Utara Tahun 2003-2007 disebutkan visi pembangunan daerah, adalah sebagai berikut :
“ Terwujudnya propinsi Maluku Utara Sebagai Propinsi Kepualuan, Dalam lingkungan Masyarakat yang agamis, Berbudaya, Maju, Mandiri, Adil dan Sejahtera Berbasis Sumber Daya Tahun 2023 “.
Kondisi yang ingin dicapai dengan ditetapkannya visi tersebut, antara lain:
a. Terbentuknya Maluku Utara sebagai propinsi kepulauan dengan keagamaan sosiokultural yang dinamis dan inovatif, berbasis pada sumber daya yang mengedepankan penghayatan nilai-nilai ajaran agama, ilmu pengetahuan dan teknologi serta moral masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa kepada tuhan yang maha esa.
b. Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, efisien dan transparan didalam suasana kehidupan yang aman tentram dalam kerangka otonomi daerah.
c. Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah yang bertumpu pada tata nilai budaya serta sumberdaya yang berkelanjutan dengan mengembangkan kerukunan hidup antar warga masyarakat, baik antar agama, suku dan budaya.
d. Tersedianya lapangan kerja yang memberikan penghasilan cukup secara adil dan merata.
e. Terciptanya msyarakat yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dalam segala aspek kehidupan,
f. Terciptanya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang cukup baik, sehingga faktor sumberdaya manusia yang maju, mandiri dan sejahtera dalam lingkungan yang sehat, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber daya pembangunan.
Berdasarkan visi pembangunan serta kondisi yang diharapkan terbentuk secara bertahap tersebut diatas, maka ditetapkan misi pembangunan daerah, sebagai berikut :
Laporan Draft Final II - 4
a. Mendorong terwujudnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran-ajaran agama yang menghargai keberagamaan;
b. Mendukung terciptanya wawasan kebangsaan dan sistem keamanan yang tangguh;
c. Mewujudkan sistem dan iklim pendidikan yang agamais, demokratis dan berkualitas serta menguasai IPTEK.
d. Mewujudkan sosial budaya yang sehat, dinamis dan berdaya tahan dari pengaruh globalisasi.
e. Mendorong terwujudnya sistem dan kesadran hukum yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM;
f. Mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis sumber daya lokal yang berdaya saing dan berelanjutan.
g. Memantapkan pelaksanaan otonomi daerah yang berbasis padap emerintahan yang bersih dan berwibawa;
h. Meningkatkan dan mengembangkan infrastruktur wilayah yang berkelanjutan;
i. Mengembangkan potensi sumber daya alam secara optimal.
2. Arah Kebijakan Pembangunan Daerah
Arah kebijakan berisikan kebijakan pembangunan daerah secara makro untuk dapat dipedomani disegala bidang pembangunan. Diharapkan dapat dicapai secara bertahap dalam jangka waktu lima tahunan, baik yang menyangkut kepentingan daerah sendiri dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah, maupun dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Oleh karena itu, perlu dijabarkan kedalam strategi pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan hidup bagi seluruh warga masyarakat dengan memantapkan nilai-nilai keagamaan dan budaya yang berbasiskan sumberdaya, serta membentuk struktur ekonomi daerah, dilakukan berdasarkan arah kebijakan dan strategi, serta pendekatan pembangunan daerah.
Strategi jangka panjang pembangunan di Propinsi Maluku utara adalah sebagai berkut:
a. Mendukung pembangunan sektor-sektor ekonomi dengan penekanan sektor unggulan, secara terpadu dan bersinergi antar sektor dan antar wilayah.
Laporan Draft Final II - 5
b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang dapat diandalkan dalam persaingan global.
c. Memantapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggungjawab yang didukung aparatus pemerintah yang handal, profesional, transparan dan akuntabel.
Sedangkan strategi jangka pendek meliputi :
a. Menanggulangi dampak pasca konflik horizontal, dengan menciptakan kondisi politik dan sosial ekonomi yang lebih kondusif melalui penciptaan kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat miskin.
b. Menyiapkan perangkat lunak dan perangkat keras bagi aparatur pemerintah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan penyiapan infrastruktur diwilayah-wilayah pemekaran.
c. Menjamin kehandalan ketahanan pangan yang merata kepada segenap masyarakat diwilayah-wilayah rawan pangan.
d. Mengantisipasi dan menanggulangi dampak bencana, baik fisik maupun non fisik yang terencana dengan baik.
3. Pendekatan Pembangunan Daerah
Sesuai dengan semangat undang Nomor: 24 Tahun 1992, Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1999, Undang-Undang-undang Nomor: 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor: 46 Tahun 1999, Undang-undang Nomor: 1 Tahun 2003, peraturan pemerintah Nomor: 25 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor: 84 Tahun 2000, dimana Pemerintah dan Daerah mempunyai kewenangan yang kuat dalam menyusun kebijaksanaan pembangunan daerah. Terkait dengan hal tersebut, akan ditempuh pendekatan pembangunan daerah baik pembangunan sektoral maupun penataan ruang. Pendekatan yang akan ditinjau pada bagian ini adalah yang berkaitan dengan penataan ruang.
Dalam kegiatan penataan ruang digunakan pendekatan pengembangan wilayah. Wilayah sebagai ajang pembangunan, pengembangannya didasarkan pada satuan geografi serta segenap unsur yang terkait padanya, yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi atau aspek fungsional. Berdasarkan aspek fungsional, di Propinsi Maluku Utara telah berkembang hubungan interaksi desa kota yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Laporan Draft Final II - 6
Perkembangan wilayah perkotaan sampai dengan saat ini telah memuncculkan adanya skala dan hirarki atau wilayah perkotaan atau kota. Secara fungsional, di Propinsi Maluku Utara terdapat wilayah perkotaan meliputi Kawasan Ternate, tidore, Sofifi dan Sidangoli, Jailolo, Tobelo, Galela, Daruba, Maba/Buli, Weda Labuha, Laiwui, Flaabisahaya dan Sanana. Sedangkan pada hirarki yang lebih rendah maupun ibukota Kecamatan Pemerkaran, Serta Ibukota Kecamatan Persiapan.
a. Pengembangan Wilayah Terpadu
Pembangunan daerah dengan pendekatan pengembangan wilayah terpadu bertujuan untuk mempaduserasikan sebagai sektor dan kegiatan sehingga dapat lebih mengoptimalkan tujuan dan sasaran pembangunan pada masing-masing wilayah berdasarkan kondisi obyektif dan potensi riil diwilayah yang bersangkutan, dengan menetapkan sektor potensial dan strategis dan sektor penunjang secara terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah.
b. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Andalan
Pengembangan Kawasan sentra produksi/andalan bertujuan untuk meningkatkan pembangunan pada kawasan tersebut, sebagai andalan daerah, guna memacu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat. Kawasan Sentra produksi berfungsi sebagai sentra atau aglomerasi ekonmi yang diharapkan akan memacu pengembangan wilayah.
Tujuan Pengembangan kawasan sentra produksi/andalan, selain memacu pengembangan wilayah, juga dimaksudkan agar pengembangan kawasan sentra produksi mampu menjadi wilayah, juga dimaksudkan agar pengembangan kawasan sentra produksi mampu menjadi pedoman yang memadukan ruang bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian pangan dan perikanan.
Pembagian wilayah pengembangan kawasan sentra produksi di propinsi Maluku Utara menjadi 2 (dua) bagian, dengan masing-masing wilayah memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
Laporan Draft Final II - 7
Kawasan Sentra produksi Halmahera Utara, meliputi; Kecamatan Tobelo, Tobelo Selatan, Galela, Morotai Utara, Morotai Selatan, Morotai Selatan Barat, Loloda Utara, Kao dan Malifut.
Kawasan sentra produksi halmahera barat, meliputi; Kecamatan Jailolo, Jailolo Selatan, Suhu, Ibu dan Loloda.
Kawasan Sentra produksi Halmahera Timur, meliputi; Kecamatan Wasile, Maba, Maba Selatan dan Wasile Selatan.
Kawasan Sentra Produksi Halmahera Tengah, meliputi; Kecamatan Weda, Petani dan Pulau Gebe.
Kawasan Sentra Produksi Kota Ternate, meliputi; Kecamatan Pulau Ternate, Ternate Telatan, Ternate Utara dan Moti.
Kawasan Sentra Produksi Kota Tidore Kepulauan, meliputi; Kecamatan Pulau Tidore, Tidore Selatan, Tidore Utara, Oba Utara dan Oba.
Kawasan Sentra Produksi Halmahera Selatan, Meliputi; Kecamatan Pulau Makian, Kayoa, Gane timur, Gane Barat, Obi, Obi Selatan, Bacan, Bacan Timur dan Bacan Barat.
Kawasan Sentra Produksi Kepulauan Sula, Meliputi; Kecamatan Sanana, Mangole Timur, Sulabesi Barat, Taliabu Barat, Taliabu Timur dan Mangole Barat.
Dengan sebaran kawasan sentra produksi seperti ini, diharapkan akan terjadi persebaran efek ganda untuk pelaksanaan pembangunan.
c. Kecamatan Sebagai Pusat Pertumbuhan
Pendekatan pengembangan kecamatan sebagai pusat pertumbuhan, maliputi bidang ekonomi, Sosial budaya keamanan dan ketertiban masyarakat. Untuk bidang eonomi mendasarkan pada bidang ekonomi yang baik yang menyangkut sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder (industri pengolahan). Sedangkan untuk sektor tersier (jasa pelayanan) diarahkan pada kota kecamatan dengan intensitas pertumbuhan sektor yang dinamis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya kemampuan masyarakat untuk mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya melalui pendekatan fungsi kewilayahan dan pembangunan berbasis masyarakat (Community Based Development). Sebagai model
Laporan Draft Final II - 8
pembangunan, diharapkan dapat mengakomodasi pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada kabupaten/Kota.
Konstelasi kecamatan dalam hal ini adalah sebagai titik temu antara kebutuhan pada tingkat kabupaten/kota dan masyarakat perdesaan sebagai produsen. Dalam model ini diharapkan akan terjadi rantai ekonomi yang lebih efektif yaitu antara produksi, distribusi dan pemasaran.
d. Pengembangan Kawasan Strategis
Dalam pelaksanaan pembangunan daerah, pasti terdapat perbedaan kondisi dan potensi di masing-masing wilayah. Dari segi spasial terdapat wilayah-wilayah yang tumbuh cepat maupun lambat, sedangkan dari segi potensi sosial ekonomi terdapat wilayah-wilayah yang mampu berkembang karena masyarakatnya mampu memanfaatkan potensi sebagai peluang yang berada diwilayah tersebut. Pengembangan kawasan strategis dimaksudkan untuk mempercepat terbentuknya struktur dan pola pemangfaatan ruang sesuai dengan tujuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya beberapa program dimulai dari tata ruang sampai dengan program pengembangan dan percepatan pemanfaatan potensi, maka untuk mengendalikan dampak negatif yang mungkin timbul, baik dalam bentuk kesenjangan antar wilayah, maupun pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukung, perlu disiapkan perencanaan bagi pelaksanaan program-program pada masing-masing wilayah tersebut.
e. Kawasan Tertinggal
Pengembangan kawasan tertinggal berfgungsi sebagai upaya untuk mendorong pembangunan agar lebih merata. Dari sudut wilayah, kawasan ini merupakan kawasan residual dari kawasan-kawasan atau wilayah-wilayah yang selama ini belum banyak tersentuh oleh program maupun kebijakan pembangunan, serta terbatasnya akses antar wilayah/kawasan sehingga kondisinya menunjukkan perkembangan yang sangat lambat.
Konsep pengembangan pada kawasan tertinggal ini adalah kebalikan dari kawasan strategis dan tumbuh cepat. Program pembangunan harus lebih
Laporan Draft Final II - 9
bersifat pemberdayaan dan pemenuhan pelayanan, baik sarana dan prasarana maupun pelayanan fasilitas umum beserta paningkatan bina usaha perekonomian maupun pengembangan SDM pada wilayah tersebut, serta peningkatan lingkungan yang berkelanjutan.
f. Pengembangan Sistem Kota-kota
Pengembangan sistem kota-kota dimaksud sebagai upaya untuk menetapkan kota-kota yang ada dipropinsi Maluku Utara agar berkembang sesuai dengan fungsi pelayanan dan interaksi baik antar kota maupun terhadap wilayah belakangnya agar lebih sinergis dalam rangka pengembangan wilayah.
Dinamika perkembangan kota akan mendorong kecenderungan meningkatnya jumlah penduduk kota, maka sebagai upaya untuk mengembangkan sistem dan jaringan pelayanan penduduk kota, maka sebagai upaya untuk mengembangkan sistem dan jaringan pelayanan kota sekaligus untuk pemerataan pembangunan, telah diidentifikasi kota-kota secara hirarkis, sebagai berikut.
Hirarki Pertama:
Kota Ternate dan Sofifi, Sebagai pusat kegiatan pelayanan pemerintahan Propinsi.
Hirarki Kedua:
Kota Tidore, Jailolo, Tobelo, Maba, Weda, Labuha dan Sanana, Sebagai Pusat Pelayanan Pemerintahan Kabupaten.
a. Hirarki Ketiga:
Kota Galela, Daruba, Bere-Bere, Kao, Malifut, Kedi, Tongute Sungi, Sahu, Sidangoli, Buli, Wasile, Payahe, Gurapin, Laiwui, Mafa, Saketa, Babang, Falabisahaya dan Bobong.
Hirarki Keempat:
Laporan Draft Final II - 10 g. Daerah Perbatasan
Daerah perbatasan dikembangkan dalam rangka mendorong keserasian, keseimbangan dan percepatan laju pembangunan. Hal ini diaksudkan untuk mencapai keseimbangan dan keserasian pembangunan, serta menghindarkan konflik antar daerah dengan memanfaatkan potensi yang ada. Untuk itu dilakukan secara bersama antar kabupaten/kota dan Antar Propinsi Maluku Utara dengan Propinsi lain dalam meningkatkan pelayanan serta penyediaan prasarana dan sarana di kedua wilayah perbatasan tersebut.
Dalam mengembangkan daerah perbatasan ini akan diusahakan penanganan kegiatan, antara lain meningkatkan kepedulian masyarakat sekitar perbatasan terhadap wilayahnya, memajukan wilayah perairan, serta kerjasama antar kabupaten/kota maupun antar propinsi.
Bagian wilayah yang ditangani secara terpadu di propinsi Maluku Utara adalah Kawasan Pulau Morotai, Kawasan Tanjung Lelei, Kawasan Patani Gebe, kawasan pulau batang dua dan kawasan pulau Taliabu. Penanganan Kawasan Ini dilakukan secara terpadu antar sektor baik penggunaan untuk pertanian lahan kering, peternakan, perikanan dan pariwisata. Penataan ruang dan penyiapan prasarana penunjang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan hidup yang ada.
h. Penataan Ruang dan Pertanahan
Sebagai acuan dalam penyusunan Tata Ruang Wilayah Propinsi Maluku Utara adalah Rencana Tata ruang Nasional (RTRWN), rumusan yang terdapat didalamnya mengakomodasi kepentingan di tingkat lokal, regional dan nasional, Kegiatan Penataan ruang yang telah dihasilkan berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Maluku Utara, RTRK Sofifi, RUTRD Kabpaten/ Kota dengan pendekatan RTRW yang berskala Kawasan. Pada saat ini belum semua wilayah di Propinsi Maluku Utara memiliki rencana induk sistem prasarana wilayah, maupun desain kawasan tumbuh cepat. Secara riil, kegiatan penataan ruang tidak dapat dipisahkan dengan masalah pertanahan.
Laporan Draft Final II - 11
Masalah pokok yang dihadapi dalam penataan ruang antara lain kurangnya sosialisasi rencana tata ruang kepada masyarakat dan kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Sementara permasalahan dibidang pertanahan di perkotaan adalah terbatasnya lahan untuk keperluan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sedangkan didaerah perdesaan adalah adanya kegiatan perladangan berpindah-pindah, serta belum teridentifikasi secara rinci kepemilikan lahan oleh keluarga petani. Masalah lainnya adalah banyaknya tanah milik masyarakat yang belum tersertifikat.
Kebijaksanaan tata ruang merupakan upaya pendekatan pembangunan yang menganggap ruang sebagai satu kesatuan wilayah, sehingga pelaksanaan pembangunan harus dilaksanakan diseluruh bagian ruang sesuai dengan potensi, kendala dan tetap mengacu pada tujuan pembangunan wilayah secara keseluruhan. Terkait hal tersebut, kemajuan pembangunan wilayah diupayakan secara optimal merata diseluruh wilayah, dengan demikian pendekatan tata ruang bertujuan untuk memacu kegiatan pembangunan di daerah-daerah yang belum maju. Selain itu untuk lebih mendorong kegiatan pembangunan di daerah-daerah yang belum maju. Selain itu untuk lebih mendorong kegiatan pembangunan secara keseluruhan pada setiap wilayah sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah tersebut, hingga terjadi spesialisasi wilayah, yang akan menciptakan kondisi saling ketergantungan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perencanaan tata ruang dalam lingkup wilayah propinsi Maluku Utara dimaksudkan untuk membangun seluruh wilayah daam satu kesatuan pembangunan yang utuh.
3
PROFIL WILAYAH
KOTA TERNATE
A. Karakteristik Wilayah 1. Letak Geografis
Batas astronomis wilayah Kota Ternate berada pada posisi 0º - 2º Lintang Utara dan 126º - 128º Bujur Timur. Luas daratan Kota Ternate seluas 249.6 Km², sementara luas lautannya seluas 5.547.55 Km². Kawasan kota ini seluruhnya dikellilingi oleh laut dan mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Maluku b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Maluku c. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Halmahera d. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku.
Kota Ternate mempunyai ciri daerah kepulauan dimana wilayahnya terdiri dari 8 (delapan) buah pulau, 5 (lima) didiami penduduk sedangkan 3 (tiga) lainnya berukuran kecil dan hingga saat ini belum dihuni oleh penduduk. Nama dan luas pulau serta statusnya di Kota Ternate dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.1 : Nama dan Luas Pulau Serta Statusnya Dalam Wilayah Kota Ternate Tahun 2004
Nama Pulau Luas (Km²) Status
1. Ternate 2. Hiri 3. Moti 4. Mayau 5. Tifure 6. Maka 7. Mano 8. Gurida 110.70 12.40 24.60 78.40 22.10 0.50 0.50 0.55 Dihuni Dihuni Dihuni Dihuni Dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Pulau-pulau tersebut diatas terletak dalam lingkup yang bergerak melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa yang dikelilingi oleh lengkung Sulawesi dan Pulau Sangihe dimana keduanya berkarakter Vulkanis.
Sementara itu secara administrasi wilayah, Kota Ternate terdiri atas 4 (empat) kecamatan yakni Kecamatan, Pulau Ternate, Moti, Ternate Selatan dan Kecamatan Ternate Utara. Dari keempat kecamatan tersebut, Kecamatan Pulau Ternate merupakan kecamatan terluas dan Kecamatan Ternate Utara yang terkecil. Lebih jelasnya mengenai luas wilayah Kota Ternate dirinci perkecamatan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.2 : Luas Wilayah Kota Ternate Dirinci Perkecamatan
Tahun 2004
No. Kecamatan Luas (Km²) Terhadap Luas Kota Persentase
Ternate (%) 1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 174.13 24.60 28.96 22.06 69.72 9.85 11.60 8.83 Jumlah 249.75 100.00
Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Seperti umumnya daerah kepulauan yang mempunyai ciri banyak memiliki Desa/Kelurahan pantai, Kota Ternate pun demikian adanya. Dari seluruh kelurahan yang ada di daerah ini 45 kelurahan atau 71% merupakan klasifikasi daerah pantai dan 18 kelurahan atau 29% nya bukan pantai. Lebih Jelasnya mengenai desa/kelurahan pantai dan bukan pantai serta ktinggian dari permukaan laut di wilayah Kota Ternate dapat dilihat tabel berikut :
Tabel 3.3 : Banyak Desa Pantai dan Bukan Pantai Dirinci Perkecamatandi Kota Ternate Tahun 2004 No. Kecamatan Pantai Desa Bukan Desa
Pantai Ketinggian DPL (m) 0 - 499 500 - 699 700+ 1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 20 6 9 10 1 - 10 7 21 6 15 11 - - 3 3 - - 1 3 Jumlah 45 18 53 6 4
Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Laporan Draft Final III - 3
Dari segi orbitasi wilayah, dari 4 (empat ) kecamatan dalam wilayah Kota Ternate, Kecamatan Ternate Utara dengan ibukota Dufa-dufa merupakan ibukota kecamatan terdekat dari Kota Ternate, sedangkan jarak terjauh dari dan ke Kota Ternate adalah Kecamatan Moti dengan ibukota Moti Kota. Selengkapnya mengenai orbitasi kecamatan dalam wilayah Kota Ternate dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3.4 : Orbitasi Kota Ternate Dengan Ibukota Kecamatan
Dalam Wilayah Administrasi Kota Ternate Tahun 2004
Uraian Jarak (Km)
Ternate – Jambula Ternate – Moti Kota Ternate – Kalumata Ternate – Dufa-dufa 10.00 26.80 4.60 5.20 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Laporan Draft Final III - 4 Gambar 3.1
Laporan Draft Final III - 5 Gambar 3.2
Laporan Draft Final III - 6 Gambar 3.3
Laporan Draft Final III - 7 Gambar 3.4
Laporan Draft Final III - 8 Gambar 3.5
Laporan Draft Final III - 9 2. Kondisi Fisik Dasar
a. Iklim dan Topografi
Kota Ternate dan juga umumnya daerah pantai di Propinsi Maluku Utara memiliki tipe iklim tropis, sehingga sangat dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai indikasi umum iklim tropis. Didaerah ini mengenal dua musim yakni utara – barat dan timur – selatan yang sering kali diselingi dengan dua kali masa pancaroba disetiap tahunnya.
Selama Tahun 2004 kondisi iklim Kota Ternate menurut hasil pengukuran Stasiun Metereologi dan Geofisika Ternate adalah sebagai berikut :
Temperatur rata-rata 21.0ºC – 32.5ºC
Kelembaban nisbi rata-rata 80.33%
Tingkat penyinaran sinar matahari rata-rata 60.08%
Kecepatan angin rata-rata 4.58 Km/Jam dengan kecepatan maksimum mutlak rata-rata 20.83 Km/Jam
Selengkapnya mengenai kondisi iklim di Kota Ternate, dapat dilihat pada sajian tebel-tabel berikut ini :
Tabel 3.5 : Temperatur Rata-rata, Kelembaban Nisbi, Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate Tahun 2004
Bulan Temperatur
Rata-rata Maksimum Minimum
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 26.5 26.7 27.5 27.3 27.3 27.5 26.4 26.9 25.3 27.3 27.5 27.9 30.6 30.5 31.6 31.8 31.5 31.1 29.5 31.0 30.6 32.2 32.5 31.0 23.2 24.1 24.6 24.2 24.2 24.5 21.0 23.6 23.4 23.4 24.2 24.4 Rata-rata 27.01 31.16 23.73
Laporan Draft Final III - 10 Lanjutan Tabel 3.5 : Temperatur Rata-rata, Kelembaban Nisbi,
Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate
Tahun 2004
Bulan Temperatur
Kelembaban Nisbi Rata-rata
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 83 85 82 84 84 75 80 67 87 74 79 84 52 49 70 67 60 70 40 87 53 74 56 43 Rata-rata 80.33 60.08
Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Tabel 3.6 : Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah Angin di Kota Ternate Tahun 2004
Bulan Angin Rata - Kecepatan rata
Kecepatan
Maksimum Kecepatan Minimum
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 4 5 6 3 3 7 4 8 3 4 4 4 20 18 22 18 16 22 19 27 24 19 15 30 340 340 340 330 320 210 170 200 140 190 340 340 Rata-rata 4.58 20.83 246.67
Laporan Draft Final III - 11 Tabel 3.7 : Banyaknya Hari Hujan di Kota Ternate Menurut Bulan Tahun 2000 - 2004
Bulan 2000 2001 2002 2003 2004 Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 20 24 20 22 20 24 9 16 15 19 22 18 26 20 25 20 21 20 9 5 19 15 25 21 20 12 19 12 15 17 2 5 1 2 15 17 15 14 18 19 14 12 21 12 5 13 17 23 18 15 15 18 21 13 13 1 17 6 17 21 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Tabel 3.8 : Banyaknya Curah Hujan di Kota Ternate Menurut Bulan Tahun 2000 - 2004 Bulan 2000 2001 2002 2003 2004 Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 374 299 201 195 227 337 169 69 150 371 215 264 294 454 186 199 261 224 34 12 81 209 263 566 307 102 201 127 276 185 - 63 1 22 135 140 74 126 211 196 250 53 191 124 53 174 131 398 138 160 189 156 288 75 66 - 57 5 59 145 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Kondisi topografi Kota Ternate ditandai dengan tingkat ketinggian dari permukaan laut yang beragam. Namun secara sederhana dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu : rendah (0 – 499m), sedang (500 – 699m) dan tinggi (labih dari 700m). Berdasarkan klasifikasi tersebut, daerah ini memiliki kelurahan dengan tingkat ketinggian dari permukaan laut dengan kriteria rendah sebanyak 53 kelurahan atau 84%, sedang sejumlah 6 kelurahan atau 10% dan tinggi sebanyak 4 kelurahan atau 6%.
Laporan Draft Final III - 12 B. Aspek Pemerintahan
Kota Ternate yang semula berstatus Kota Administratif secara yuridis telah ditingkatkan menjadiKotamadya sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor : 11 Tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Ternate pada tanggal 27 April 1999.
Aktivitas pemerintahan dan kemasyarakatan di Kota Ternate pada awal pembentukannya, secara administrative dibagi menjadi 3 Kecamatan dengan 58 Desa/Kelurahan. Dinamika pembangunan yang terjadi akibat pelaksanaan secara sinergis antara Pemerintah daerah dan masyarakat telah membawa dampak perubahan yang ditandai perkembangan dan kemajuan di berbagai aspek. Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang disamping pertimbangan rentang kendali pemerintahan, maka wilayah tertentu dimana perkembangannya dipandang memungkinkan untuk ditingkatkan status administrasinya seperti Pulau Moti misalnya, perlu ditempuh langkah kebijakan untuk direalisasikan. Terkait dengan itu maka Pemerintah Daerah kemudian mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2001 tentang pembentukan Kecamatan Moti yang tadinya merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Pulau Ternate. Sebagai konsekwensi pelaksanaan Perda dimaksud, 4 (empat) Desa yang ada di Pulau Moti dimekarkan dan ditingkatkan statusnya menjadi 6 (enam) Kelurahan. Perkembangan lain yang dicapai dari segi administrasi pemerintahan adalah dimekarkannya 2 (dua) Kelurahan di Pulau Batang Dua yaitu Mayau dan Tifure Kecamatan Pulau Ternate menjadi 5 (lima) kelurahan, melalui Perda Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kelurahan Lilewi, Bido dan Pante Sagu.
Dengan ditingkatkannya status administrasi pemerintahan Pulau Moti menjadi Kecamatan berikut 4 (empat) desanya dan juga pemekaran Kelurahan di Pulau Mayau dan Tifure Kecamatan Pulau Ternate seperti disebutkan di atas maka Kota Ternate yang tadinya terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 58 (lima puluh delapan) Desa/Kelurahan, bertambah menjadi 4 (empat) Kecamatan dengan jumlah Kelurahan sebanyak 63 (enam puluh tiga).
Laporan Draft Final III - 13 Tabel 3.9 : Kecamatan dan Jumlah Kelurahan diKota Ternate Tahun 2004
No. Kecamatan Jumlah Kelurahan Ibukota
1. 2. 3. 4. Pulau Ternate M o t i Ternate Selatan Ternate Utara 21 6 19 17 Jambula Moti Kota Kalumata Dufa-Dufa Jumlah 63 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
C. Aspek Kependudukan
Kependudukan merupakan salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Beberapa hal yang tercakup didalamnya antara lain jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk. Kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup penduduk menjadi fokus utama dari berbagai program pembangunan yang dilaksanakan. Suatu kebijakan yang dibuat tanpa memperhitungkan data kependudukan, dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar karena kebijakan tersebut tidak tepat guna dan tidak mencapai sasaran dalam implementasinya di lapangan. Demi mewujudkan berbagai program pemerintah dalam menata masalah kependudukan, tentunya diperlukan informasi atau data penduduk yang akurat dan dapat digunakan sebagai landasan untuk menyusun perencanaan dan penentu kebijakan di berbagai bidang pembangunan.
1. Jumlah Penduduk
Sampai dengan akhir tahun 2004, jumlah penduduk Kota Ternate berdasarkan hasil P4B adalah sebanyak 151.178 jiwa, hal ini menunjukan adanya kenaikan sebesar 2.232 jiwa atau 1,499 % bila dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 148.946. Tingkat penyebaran penduduk menurut kecamatan dapat dilihat seperti uraian berikut :
a. Kecamatan Pulau Ternate : 17.485 jiwa (11,56 %) b. Kecamatan Moti : 4.563 jiwa ( 3,02 %)
c. Kecamatan Ternate Selatan : 68.498 jiwa (45,31 %) d. Kecamatan ternate Utara : 60.632 jiwa (40,11 %)
Laporan Draft Final III - 14 Tabel 3.10 : Kecamatan dan Jumlah Kelurahan di Kota Ternate
Tahun 2002 - 2004
No. Kecamatan Penduduk (Jiwa) Luas Wilayah (Km²) (Jiwa/ Km²) Kepadatan
1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 17.485 4.563 68.498 60.632 174,13 24,60 28,96 22,06 100 185 2.365 2.748 Jumlah 2004 2003 2002 151.178 148.946 120.865 249,75 249,75 249,75 605 596 484 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
2. Kepadatan Penduduk
Komposisi penduduk menurut penyebarannya secara geografis yang lazim disebut distribusi penduduk tidak lain untuk mengetahui merata atau tidaknya penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Informasi distribusi penduduk akan lebih berarti jika menggunakan ukuran demografi lainnya yaitu kepadatan penduduk. Hal ini penting mengingat diferensiasi jumlah penduduk antar wilayah dalam suatu daerah tidak mutlak menggambarkan kepadatan penduduknya. Suatu daerah yang memiliki jumlah penduduk yang besar, belum tentu dirasakan padat bila wilayahnya juga luas. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dalam kurun waktu setahun, maka kondisi Kota Ternate dirasakan semakin padat. Dengan luas wilayah daratan 249,75 km² dan jumlah penduduk sebanyak 151.178 jiwa maka kepadatan penduduk Kota Ternate pada tahun 2004 sebesar 605 jiwa per km², hal ini berarti mengalami peningkatan sebanyak 9 jiwa per km² atau 1,51 % bila dibandingkan tahun 2003 yang berjumlah 596 jiwa per km². Perbandingan antar kecamatan dalam wilayah Kota Ternate menunjukan Kecamatan Ternate Utara memiliki kepadatan penduduk sebesar 2.748 jiwa per km² sekaligus merupakan kecamatan yang paling padat penduduknya. Sementara ketiga kecamatan lainnya bila diurutkan dari yang paling padat adalah Ternate Selatan, Moti dan Pulau Ternate, masing-masing mempunyai kepadatan penduduk sebesar : 2.365 jiwa/km², 185 jiwa/km² dan 100 jiwa/km². Selengkapnya mengenai kepadatan penduduk tiap kecamatan di Kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 3.10 diatas.
Laporan Draft Final III - 15 3. Komposisi Penduduk
a. Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rumahtangga dan Anggota Rumah Tangga
Untuk mengetahui komposisi penduduk menurut jenis kelamin digunakan suatu indikator yang disebut Rasio Jenis Kelamin yang menggambarkan banyaknya laki-laki diantara 100 perempuan. Sesuai data P4B tahun 2004, rasio jenis kelamin Kota Ternate adalah 103 yang berarti lebih banyak laki-laki daripada perempuan, tidak berbeda dengan tahun sebelumnya dimana laki-laki juga mendominasi komposisi penduduk dengan rasio jenis kelamin sebesar 102. Bila dilihat per kecamatan, Moti memiliki komposisi penduduk yang hampir berimbang antara laki-laki dan perempuan dengan rasio sebesar 100,2. Sementara tiga kecamatan lainnya yaitu Pulau Ternate, Ternate Selatan dan Ternate Utara mempunyai karakteristik yang sama yaitu lebih banyak penduduk laki-laki daripada perempuan dengan rasio jenis kelamin masing-masing di atas 100. Masih berdasarkan hasil P4B, terdapat sebanyak 29.667 rumahtangga di Kota Ternate. Dengan jumlah penduduk 151.178 jiwa berarti terdapat kurang lebih 5 jiwa setiap rumahtangganya, tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. Bila diamati tiap kecamatan maka rata-rata anggota rumah tangga yang mendiami satu rumahtangga adalah berkisar antara 5 sampai 6 jiwa.
Tabel 3.11 : Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Dirinci Per Kecamatan di Kota Ternate Tahun 2002 – 2004
No. Kecamatan Perempuan Penduduk (Jiwa) Laki-laki Jumlah
1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 8.807 2.284 34.710 30.707 8.678 2.279 33.788 29.925 17.485 4.563 68.498 60.632 Jumlah 2004 2003 2002 76.508 75.195 59.803 74.670 73.751 61.062 151.178 148.946 120.865 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
Laporan Draft Final III - 16 Tabel 3.12 : Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rasio Jenis Kelamin di
Kota Ternate Tahun 2002 - 2004
No. Kecamatan Perempuan Penduduk (Jiwa) Laki-laki Ratio Sex Tangga Rumah
1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 8.807 2.284 34.710 30.707 8.678 2.279 33.788 29.925 101,5 100,2 102,7 102,6 3.604 906 13.088 12.069 Jumlah 2004 2003 2002 76.508 75.195 59.803 74.670 73.751 61.062 103 102 98 29.667 27.552 22.873 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
b. Penduduk Menurut Agama
Gambaran penduduk menurut agama menunjukkan sebagian besar penduduk di Kota Ternate merupakan pemeluk agama Islam dengan jumlah pemeluknya sebesar 148.254 jiwa, sedangkan kedua terbesar adalah pemeluk agama Kristen Protestan dengan jumlah pemeluknya sebanyak 3.316. Sedangkan pemeluk agama lainnya seperti Budha dan Hindu berdasarkan data yang ada jumlahnya sangat minim. Selengkapnya mengenai komposisi penduduk berdasarkan agama, dapat dilihat pada sajian tabel berikut ini :
Tabel 3.13 : Penduduk Menurut Agama Per Kecamatan di Kota Ternate Tahun 2004
No. Kecamatan Islam Protestan Kristen Khatolik Kristen Budha Hindu
1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 17.089 4.489 63.832 62.844 1.069 - 532 1.715 1.073 - 409 424 - - - 11 - - 19 6 Jumlah 148.254 3.316 1.906 11 25
Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004 1. Ketenagakerjaan
Salah satu sektor penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembangunan perekonomian dalam kaitannya dengan upaya pemerintah mengatasi masalah kemiskinan adalah ketenagakerjaan. Dalam setiap proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat diperlukan tenaga kerja sebagai faktor utama kegiatan. Data ketenagakerjaan umumnya diperoleh dari
Laporan Draft Final III - 17
hasil survei seperti Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) maupun Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh BPS setiap tahun.
Indikator ketenagakerjaan yang dapat menggambarkan banyaknya penduduk usia kerja (10 tahun ke atas) yang aktif secara ekonomis di suatu daerah adalah TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja). TPAK diukur sebagai persentase jumlah angkatan kerja (bekerja dan pengangguran) terhadap jumlah penduduk usia kerja. Indikator ini menunjukan besaran relatif dari pasokan tenaga kerja (Labour supply) yang tersedia untuk proses produksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian.
Berdasarkan hasil SUSENAS tahun 2004 diketahui TPAK Kota Ternate sebesar 49,40 %, hal ini menunjukan bahwa terdapat kurang lebih 49 orang dari 100 penduduk tergolong sebagai angkatan kerja. Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran adanya penurunan jumlah angkatan kerja sebanyak 2 orang setiap 100 penduduk atau 3,9 % dibanding tahun sebelumnya yang TPAK mencapai 51,04 %.
D. Aspek Sosial Ekonomi Wilayah 1. Pertanian
Komposisi penduduk Indonesia menurut tempat bermukim lebih didominasi pada daerah perdesaan, hal ini berdasarkan hasil Sensus Penduduk, dimana kehidupan mereka sangat bergantung pada sektor pertanian. Dalam pemulihan perekonomian nasional, sector pertanian masih dapat diandalkan karena terbukti dapat memberikan kontribusi pada perbaikan kondisi ekonomi di saat negara Indonesia dilanda krisis, hal mana disebabkan antara lain karena tingginya penyerapan tenaga kerja dan sumbangan devisa yang dihasilkan melalui sektor ini. Potensi pertanian di Kota Ternate cukup besar, hal ini terlihat dari peranannya terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB ) di daerah ini yang mana sektor pertanian menempati posisi ke empat setelah sector perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan/komunikasi dan jasa-jasa, di samping itu yang tidak kalah penting andil sektor pertanian dalam hal penyerapan tenaga kerja terutama di daerah perdesaan. Untuk itu perhatian Pemerintah Daerah terhadap pembangunan bidang pertanian semakin meningkat setiap tahun melalui berbagai program dan kebijakan yang bertujuan untuk
Laporan Draft Final III - 18
meningkatkan produksi sektor pertanian sekaligus memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani.
a. Sub Sektor Tanaman Pangan
Jenis komoditi tanaman bahan makanan yang banyak diusahakan petani di daerah ini adalah ubi kayu, jagung dan kacang tanah dengan pola pertanian relatif masih bersifat subsisten serta penggunaan teknologi maupun sarana produksi yang juga relatif masih terbatas. Selama kurun waktu tahun 2004, luas panen, produksi dan produktivitas dari beberapa komoditi tersebut diatas tercatat : ubi kayu luas panennya 372 ha dengan jumlah produksi sekitar 2.287 ton dan produktivitas 6,15 ton/ha; ubi jalar luas panen 243 ha dengan jumlah produksi 1.281 ton dan produktivitas sekitar 5 ton/ha; sementara jagung dan kacang tanah memiliki luas lahan dan produksi masingmasing adalah 151 ha, 98 ton dengan produktivitas sebesar 0.65 ton/ha dan 42 ha, 25 ton dengan produktivitas 0,6 ton/ha. Selain komoditi tanaman palawija, petani di daerah ini juga mengusahakan tanaman hortikultura berupa sayuran dan buah-buahan. Masih dalam tahun 2004, produksi tanaman sayuran tercatat anatara lain ketimun 116,9 ton, terong 79,95 ton dan kangkung 34,25 ton. Sementara produksi buah-buahan dalam tahun yang sama adalah sebagai berikut, pisang sebesar 4.211,6 ton, nenas 227,89 ton dan alpokat 96,10 ton.
b. Sub Sektor Perkebunan
Seperti daerah di Propinsi Maluku Utara umumnya, corak pertanian Kota Ternate pun didominasi oleh sub sektor tanaman perkebunan. Secara historis komoditi tanaman perkebunan terutama cengkih dan pala dari daerah ini sudah dikenal sejak zaman kolonial. Bahkan saksi sejarah itu yang ada pada masa penjajahan hingga sekarang masih tegak berdiri, adalah "Cengkih Afo" (Cengkih Tua) yang tumbuh kokoh di lereng gunung Gamalama. Jenis usaha tani komoditi tanaman perkebunan banyak diusahakan oleh rumahtangga usaha di Kota Ternate, disebabkan produksinya mempunyai nilai ekonomis yang relatif lebih tinggi dibandingkan hasil pertanian lainnya. Produksi tanaman perkebunan tidak saja dipasarkan di dalam negeri tetapi juga merupakan komoditi ekspor yang mempunyai prospek ekonomi cukup
Laporan Draft Final III - 19
potensial untuk dipasarkan ke luar negeri. Adapun jenis tanaman perkebunan yang banyak diusahakan rumahtangga pertanian di derah ini antara lain : Cengkih, Kelapa, Pala dan kayu manis sementara coklat dan lada masih kurang diusahakan. Luas tanaman menghasilkan, jumlah produksi dan produktivitas beberapa komoditi tanaman perkebunan di Kota Ternate pada tahun 2004 antara lain adalah : Cengkih luas tanaman menghasilkan 1.578 ha, produksi 734 ton dengan produktivitas 0,5 ton/ha ; Kelapa luas tanaman menghasilkan 1.373 ha, produksi sekitar 1.510 ton dengan produktivitas 1,1 ton/ha; pala luas tanaman menghasilkan 749 ha, produksinya mencapai 375 ton dan produktivitasnya sebesar 0,5 ton/ha.
Tabel 3.14 : Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Komoditi di Kota Ternate Tahun 2000 – 2004 (Ton)
No. Kecamatan 2000 2001 2002 Tahun 2003 2004
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Kelapa Coklat Cengkeh Pala Lada Kayu Manis Vanili 1.388 - 343 237 1 1.525 - 1.365 85 348 245 1 15.750 - 1.768,61 93,41 1.718,79 542,4 1 1,68 - 933,66 80,625 419,02 317,5 2,775 170,114 - 1.510 51,6 734 375 2 191 - Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
c. Sub Sektor Perikanan
Kota Ternate memiliki luas wilayah perairan atau laut mencapai 903,73 km² sehingga mempunyai corak maritim. Kondisi wilayah seperti ini berarti potensi laut yang dikandung sangat besar pula, sehingga jika dikelola dan dikembangkan secara maksimal akan berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat khususnya di daerah pesisir yang lebih banyak bermata pencaharian sebagai nelayan. Sampai saat ini potensi laut yang dimiliki daerah ini belum dapat dikelola dan dikembangkan secara optimal disebabkan antara lain ketersediaan sumber daya manusia dan aspek pembiayaan yang belum memadai. Jenis-jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis dan produksi tinggi antara lain tuna/cakalang, layang/selar, tongkol serta kakap/kerapu. Produksi jenis-jenis ikan tersebut di daerah sepanjang tahun 2004 adalah tuna/cakalang 5.038,73 ton mengalami kenaikan 25,7 ton atau sekitar 0,5 %; tongkol 1.309,3 ton mengalami
Laporan Draft Final III - 20
kenaikan 6,51 ton atau 0,5 %; laying/selar 1.027,3 ton terjadi kenaikan sebesar 5,11 ton atau sekitar 0,5 % serta kakap/kerapu mencapai 219,4 ton terjadi kenaikan produksi sebanyak 1,09 ton atau sekitar 0,5 % dibanding tahun 2003.
Tabel 3.15 : Perkembangan Hasil Produksi Perikanan (Ton) Per Kecamatan di Kota Ternate Tahun 2000 - 2004
No. Kecamatan Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 1. 2. 3. 4. Pulau Ternate Moti Ternate Selatan Ternate Utara 1 .465 751 1.683 2.559 1.627 790 1.870 2.843 2.971 833 1.945 1.708 3.347,33 1.178,97 1.267,58 4.204,62 364,24 1.191,75 1.267,12 4.225,39 Jumlah 6.158 7.130 7.457 9.998,50 10.048,50
Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004 d. Sektor Peternakan
Kebutuhan konsumsi hasil ternak masyarakat di Kota Ternate, hingga saat ini masih didominasi suplai stok dari luar daerah ini, hal tersebut disebabkan produksi ternak lokal masih relatif rendah sementara dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan permintaan terhadap hasil ternak menjadi makin meningkat pula. Jenis ternak dan hasil ternak yang banyak didatangkan dari luar Kota Ternate seperti ayam potong, sapi dan telur. Meskipun dengan tingkat produksi yang relatif rendah dibanding tingkat kebutuhan masyarakat, namun masih cukup banyak pula petani yang mengusahakan ternak. Rumah tangga petani ternak di daerah ini lebih banyak mengusahakan jenis ternak seperti sapi dan kambing serta unggas berupa ayam buras. Hingga tahun 2004, populasi jenis ternak dan unggas di Kota Ternate tercatat : sapi 1.489 ekor, kambing 12.468 ekor dan unggas 115.483 ekor. Dibandingkan tahun 2003, terjadi penurunan jumlah populasi sapi sebanyak 67 ekor atau -4,3 %, demikian juga jenis ternak unggas mengalami penurunan sebanyak 10.468 ekor atau -8,3 %. Sementara populasi kambing mengelami peningkatan sebanyak 656 ekor atau 5,6 % dalam periode waktu yang sama.
Laporan Draft Final III - 21 Tabel 3.16 : Populasi Ternak Menurut Jenis Ternak di Kota Ternate
Tahun 2000 – 2004 (Ekor)
No. Kecamatan 2000 2001 Tahun 2002 2003 2004
1. 2. 3. 4. 5. Sapi Kuda Kambing Babi Unggas 1.147 76 8.586 161 110.304 1.262 84 9.445 110 121.875 1.415 84 10.741 - 105.449 1.556 87 11.812 - 125.969 1.489 28 12.468 - 115.483 Sumber : BPS. Kota Ternate Dalam Angka Tahun 2004
e. Sub Sektor Kehutanan
Kawasan hutan di Kota Ternate yang ada seluruhnya seluas 4.914.70 Ha. Dimana luasan tersebut menurut fungsinya hanya berupa hutan lindung, sedangkan untuk hutan dengan fungsi lainnya tidak terdapat di Kota Ternate.
2. Perdagangan
Kota Ternate yang saat ini masih sebagai pusat pemerintahan sementara Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Barat dan Kota Ternate sendiri dengan situasi keamanan yang makin kondusif pasca konflik yang melanda daerah ini, tentunya semakin diminati investor baik lokal maupun dari luar daerah ini untuk mengembangkan usaha. Salah satu sektor yang mempunyai prospek baik untuk dikembangkan adalah perdagangan, hotel dan restoran/rumah makan. Perkembangan usaha perdagangan di Kota Ternate menunjukan trend yang menggembirakan. Indikator mengenai peningkatan ini dapat dilihat dari struktur perekonomian daerah ini yang dalam pembentukan PDRB masih didominasi oleh sektor tersebut. Pada tahun 2003 tercatat dari total PDRB yang dihitung, sektor ini memberikan konstribusi sebesar 32,24 %.
3. Perindustrian
Kelompok industri kecil dan rumah tangga merupakan sub sektor yang memiliki peran cukup besar di Kota Ternate dilihat dari beragamnya jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat, di samping itu yang tidak kalah penting adalah dalam hal penyerapan tenaga kerja. Seiring dengan makin banyaknya usaha industri kecil di daerah ini, pemerintah daerah terus memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangannya baik dari segi pembinaan teknis untuk
Laporan Draft Final III - 22
meningkatkan keterampilan pelaku industri sehingga berdampak pada peningkatan kualitas produk yang dihasilkan, demikian juga aspek permodalan untuk peningkatan volume usaha.
Banyaknya usaha industri kecil di Kota Ternate semakin berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 jumlah industri kecil sebanyak 300 perusahaan yang terbagi menjadi : industri pangan berjumlah 60 buah; industri kimia dan bahan bangunan sebanyak 187 buah; industri sandang, kulit, kerajinan dan umum sebanyak 46 buah serta industri kecil bidang logam sebanyak 7 buah. Dibanding tahun 2003 mengalami kenaikan jumlah perusahaan industri kecil sebanyak 118 buah atau sebesar 64,84 %. Banyaknya tenaga kerja yang terserap di sub sector ini yaitu dari 300 perusahaan yang ada di daerah ini berjumlah 1190 orang. Jika dilihat berdasarkan jenis industri maka yang menyerap tenaga kerja paling banyak adalah kelompok industri kimia dan bahan bangunan yaitu sebanyak 804 orang (67,56 %), diikuti dengan industri pangan 208 orang (17,48 %); sandang, kulit kerajinan dan umum 160 orang (13,45 %) serta industri kecil bidang logam 18 orang (1,51 %).
E. Aspek Sarana dan Prasarana Wilayah
Ketersediaan sarana dan prasarana wilayah Kota Ternate hingga saat ini jika dibandingkan jumlah penduduk pada prinsipnya belum memadai baik dari segi pelayanan, dan radius pencapaian untuk mendukung aktifitas penduduk secara keseluruhan. Hasil survey yang dilakukan menunjukkan fasilitas yang tersedia saat ini terdiri atas; fasilitas pemerintahan, fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan pelayanan jasa.
Sedangkan prasarana yang dapat menunjang akses pencapaian dan sistem pergerakan di Kota Ternate adalah prasarana jalan dan sistem transportasi laut. Prasarana lainnya yang sudah tersedia jaringan listrik dan air bersih. Akan tetapi, pelayanan prasarana tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan pelayanan maksimal kepada penduduk secara keseluruhan.
1. Fasilitas Kesehatan
Pembangunan di bidang kesehatan antara lain bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata.