• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gadhing. Panjang Mas. Metongso. Hadi Wongso. Gondo. Gondo Trono. Bucu. Beruk. Cemuris commit to user

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gadhing. Panjang Mas. Metongso. Hadi Wongso. Gondo. Gondo Trono. Bucu. Beruk. Cemuris commit to user"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Profil Ki Margono, S.Sn

1. Riwayat Singkat Ki Margono, S.Sn

Ki Margono, S.Sn adalah seorang dalang wayang kulit purwa yang lahir pada tanggal 5 Desember 1978 di dusun Bulu, Punduhsari, Manyaran, Wonogiri. Ia termasuk salah seorang dalang keturunan dari Ki Panjang Mas (dalang keraton pada jaman Sultan Agung Mataram), seperti tertera pada silsilahnya berikut ini:

Gadhing Panjang Mas Metongso Hadi Wongso Gondo Gondo Trono Bucu Beruk Cemuris commit to user

(2)

Bagan 4. 1. Silsilah Ki Margono, S.Sn

Melihat darah seni yang begitu kental mengalir ditubuhnya maka tidaklah mengherankan apabila ia begitu pandai dan memahami tentang seluk beluk wayang kulit purwa, baik itu dari sisi cerita maupun dari sisi bentuk visual wayang kulit purwa.

Berawal dari darah seni yang mengalir ditubuhnya tersebut yang menuntun Ki Margono, S.Sn untuk menggeluti dan mengembangkan bakat

Kemukus Sekargenti Noyo Setiko Guno Warsito Prawiro Dihargo Diatno Carito

Hardo Siswoyo/ Anggoro Lasiyem

Rejo Tani + Nduk Inah

1. Ki Margono, S.Sn 2. Sulistyorini 3. Sasmito Raras Trinem

(3)

seninya di bidang membuat wayang kulit purwa yang mulai ditekuninya sejak kecil.

Bakat alam yang sudah dimilikinya tersebut tidak lantas membuat dirinya merasa cukup dan puas dengan kemampuannya, untuk itu ia masuk di sekolah SMSR Surakarta pada tahun 1996 guna menambah pengetahuannya di bidang seni rupa.

Setelah lulus dari SMSR pada tahun 1996, ia melanjutkan studinya di ISI Surakarta Jurusan Pedalangan. Selama di perkuliahan tersebut, ia mulai mengembangkan bakatnya di bidang membuat wayang kulit purwa, karena adanya pesanan/permintaan baik dari teman-temannya maupun dari dosennya.

2. Berdirinya Sanggar “Gogon”

Berkat dorongan dari teman-temannya tersebut dan juga dukungan dari keluarga serta orang-orang terdekatnya, agar ketrampilannya lebih bisa di kenal oleh masyarakat luas dan lebih bermanfaat, maka ia memberanikan diri mendirikan Sanggar “Gogon” yang beralamat di Jl. Halilintar No.140, RT 03/X, Kentingan, Jebres, Surakarta 57126, pada tanggal 13 Agustus 2008. Nama “Gogon” di ambil dari nama panggilannya sehari-hari oleh teman-temannya.

Kegiatan awal yang dilakukan di sanggar ini mula-mula adalah membuat wayang kulit purwa klasik sesuai dengan pesanan dari para rekan-rekannya. Lama kelamaan hasil produksinya semakin terkenal dan berkembang serta menyebar ke berbagai kalangan. Banyak rekan-rekan dalang di wilayah DIY, JATENG dan JATIM yang senang memesan wayang kulit purwa ke sanggar ini. Tidak hanya sampai pada rekan-rekan dalang saja, namun lambat laun pesanan semakin mengalir bahkan datang dari instansi-instansi pemerintah. Tidak kurang dari 100 dinas, baik itu dari dinas pendidikan maupun dari dinas pariwisata yang tujuannya untuk alat pendidikan maupun cagar budaya.

Melihat begitu banyaknya pesanan yang datang, akhirnya Ki Margono, S.Sn merasa kewalahan dan merasa perlu untuk di bantu oleh para pengrajin/pekerja lainnya. Agar pesanannya menjadi lancar akhirnya ia membentuk suatu organisasi dan membuat suatu manajemen dalam mengelola commit to user

(4)

usahanya. Sampai saat ini sudah ada sekitar 54 pengrajin yang membantu usahanya.

Berikut skema organisasi Sanggar Wayang “Gogon”:

Gambar 4. 1. Denah Struktur Organisasi Sanggar Wayang “Gogon” (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Dengan menerapkan/berpedoman pada visi dan misi seperti berikut ini, sanggar wayang “Gogon” terus berkembang dan maju.

VISI DAN MISI

SANGGAR “GOGON” SURAKARTA VISI :

1. Melalui wayang kulit purwa ini, bisa menjadi media pendidikan yang berkarakter pada anak bangsa.

MISI :

1. Turut menjaga dan melestarikan pusaka budaya Adi Luhung.

2. Mendukung program pemerintah dalam ikut mencerdaskan anak bangsa.

(5)

Selama berkarya hingga sekarang ini sudah banyak sekali pencapaian prestasi yang di raih oleh Ki Margono, S.Sn dan Sanggar “Gogon”nya, antara lain:

1. Pameran di TMII Jakarta, tanggal 16-18 Desember 2009.

2. Pameran di Pagelaran Keraton Surakarta, tanggal 20 Desember – 2 Januari 2010.

3. Pameran di Taman Budaya Surabaya dalam acara Festival Wayang Kulit Purwa, tanggal 30 Juni 2010.

4. Pameran di Museum Barli Bandung Wayang Festival, tanggal 22-30 April 2011.

5. Pameran di acara World Nature dan Cultural Heritage Bali, tanggal 22-24 November 2011.

6. Pameran di Spanyol, tanggal 2-14 Juni 2012.

7. Pameran di Jakarta dalam rangka Festival Wayang Kulit Purwa Nusantara, tanggal 12-15 Juli 2012.

8. Pameran di tiga Negara bagian USA (Los Angeles, Hollywod dan San Fransisco), November-Desember 2012.

9. Pameran di Taman Budaya Surakarta, tanggal 25-29 Juni 2013. 10. Dan lain-lain.

Selain pameran-pameran ke luar Sanggar seperti di atas yang pernah diikutinya, ternyata ada juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Sanggarnya, antara lain kunjungan ke Sanggar oleh:

1. Kunjungan mahasiswa Kelantan Malaysia, dalam rangka pertukaran mahasiswa dan Workshop tanggal 30 Mei 2011.

2. Kunjungan PAUD dan TK Salatiga tanggal 6 April 2011 dalam rangka pengenalan wayang kulit purwa.

3. Kunjungan mahasiswa 12 negara, tanggal 15 Mei 2011 dalam rangka pengenalan wayang kulit purwa.

(6)

4. Kunjungan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Balai Konversi Jakarta, tanggal 25 Mei 2011.

5. Kunjungan mahasiswa 13 negara, tanggal 1 September 2011 belajar tatah-sungging wayang kulit purwa.

6. Kunjungan dari wartawan dan penyelenggara pameran ke luar negeri, tanggal 27 Februari 2012.

7. Kunjungan mahasiswa berprestasi dari beberapa negara dalam rangka pengenalan wayang kulit purwa, tanggal 19 Mei 2012.

8. Dan lain-lain.

B. Hal-hal yang Melatarbelakangi Ki Margono, S.Sn dalam Membuat Wayang Kulit Purwa Kreasi Baru

1. Batas – batas Formal Pertunjukan Wayang Kulit Purwa yang sudah mencair

Sebagai seorang anak yang terlahir dalam keturunan keluarga besar dalang, maka tidaklah mengherankan kalau Ki Margono, S.Sn sudah pandai mendalang sejak kecil. Diusianya yang masih muda, ia sudah akrab sekali dengan dunia pakeliran/pentas wayang kulit purwa, terkadang ia sendiri yang mendalangi, terkadang ia mengikuti pentas yang dimainkan oleh ayahnya. Dari wilayah satu ke wilayah yang lain ia melangkah untuk menggelar pentasnya. Dari pengalamannya menggelar pentas tersebut, tak lupa ia menyempatkan waktu untuk mendengarkan dan mengamati gerak-gerik, antusiasme, karakter/ sikap maupun permintaan/hal-hal yang dikehendaki penonton pada saat itu.

Ia menangkap adanya kecenderungan perubahan tingkah laku, sikap, selera, tanggapan maupun antusiasme penonton dari tahun ke tahun. Ia melihat penonton akan lebih antusias dan banyak yang datang apabila disuguhi dengan hal-hal yang baru, hal-hal yang lebih modern, meskipun hal tersebut kadang sudah keluar dari pakem pagelaran wayang kulit purwa klasik.

Hal seperti yang ditemukan dan dirasakan oleh Ki Margono, S.Sn ini ternyata juga didukung dan dibuktikan oleh Umar Kayam lewat penelitian-commit to user

(7)

penelitian yang dilakukannya. Dalam penelitiannya yang dilakukan sekitar tahun 1987 terhadap kualitas seni pertunjukan wayang kulit purwa, di situ ia menemukan batas-batas formal pertunjukan yang mencair antara lain:

1) Mencairnya batas gaya yang memisahkan. Misalnya: gaya Jogjakarta dengan gaya Surakarta, Banyumas, Jawa Timur atau sebaliknya.

2) Mencairnya batas antara dunia pertunjukan wayang kulit purwa dengan dunia yang secara tradisional dipahami sebagai dunia yang ada diluarnya. Ada dua aspek menonjol yang terkait dengan persoalan ini, yaitu aspek batas antara dunia panggung dan dunia penonton di luar panggung, dan aspek batas antara panggung seni pertunjukan wayang kulit purwa dengan panggung pertunjukan yang lain.

3) Mencairnya batas pembagian kerja dalam struktur penampilan keseluruhan seni pertunjukan wayang kulit purwa itu sendiri. Kalau dahulunya penampilan wayang kulit purwa berpusat pada kelir, yakni pada wayang kulit purwa yang dimainkan di kelir dan pada dunia imajiner yang dipresentasikan dalam kelir itu. Pada saat penelitian ini dilakukan, cenderung unsur pendukung (seperti Sinden, Niyaga, Pelawak, peralatan Gamelan, bingkai kelir dan bahkan bentuk sosok fisik wayang kulit purwanya itu sendiri) semuanya menjadi pusat tontonan/ pusat perhatian. 4) Pencairan selanjutnya terletak pada batas-batas yang memisahkan tempat

gending atau iringan yang satu dari yang lain.

5) Masih terkait dengan kecenderungan di atas, batas terakhir yang juga mencair adalah batas yang memisahkan bahasa wayang kulit purwa dengan bahasa sehari-hari, terutama yang terkait dengan apa yang disebut catur, yang meliputi janturan, pocapan dan ginem.

(Umar Kayam, 2001 : 135-137).

Maka dapat dikatakan bahwa hampir dalam seluruh aspeknya, segala batas dan batasan mengenai seni pertunjukan wayang kulit purwa yang dipercaya sebagai pakem telah mencair pada saat penelitian itu dilakukan.

(8)

Memang kalau melihat keadaan dan situasi seperti di jaman sekarang ini, rasa-rasanya teramat sulit dan tidaklah mungkin untuk mempertahankan kelestarian kesenian wayang kulit purwa seperti pakem yang terdahulu.

Di dorong oleh rasa kecintaannya pada wayang kulit purwa, maka Ki Margono, S.Sn juga merasa turut prihatin atas keberadaan kesenian wayang kulit purwa dewasa ini seperti yang dipaparkan oleh bapak Umar Kayam di atas.

2. Unsur Komersial

Selama ± 5 tahun berkarir di dunia pembuatan wayang kulit purwa, sudah banyak sekali seluk-beluk dan pengalaman hidup yang diperoleh Ki Margono, S.Sn. Selain kemahirannya bertambah, ia juga lebih memahami tentang pangsa pasar dari produk-produknya. Setelah ia amati, ternyata pesanan-pesanan yang mengalir ke sanggarnya selain berupa wayang kulit purwa klasik (pesanan dari para rekan dalang, dari para pandhemen budaya wayang kulit purwa yang fanatik, dan lain-lain) ternyata ada juga yang memesan wayang kulit purwa dalam bentuk lain (misalnya: bentuk binatang, tokoh Guru, Petani, dan lain-lain) yang pesanan tersebut tujuannya adalah untuk media pendidikan (bentuk pengenalan awal tentang wayang kulit purwa pada anak-anak). Dengan melihat wayang kulit purwa ini diharapkan anak-anak bisa diajak belajar untuk mencintai dan melestarikan budaya wayang kulit purwa sejak dini.

Dari semua pesanan-pesanan tersebut, mereka ternyata tidak menyerahkan bentuk desain yang dikehendaki pada Ki Margono, S.Sn, melainkan menyerahkan sepenuhnya mulai dari ide sampai menjadi bentuk wayang kulit purwa kepada Ki Margono, S.Sn. Semua kepercayaan tersebut ia jalankan dengan sepenuh hati dan berhati-hati. Akhirnya semua tugas tersebut sukses dijalankannya dan sampai sekarang masih banyak pesanan yang mengalir.

Berawal dari pengalaman tersebut, muncul dalam benaknya keinginan untuk juga merubah bentuk rupa wayang kulit purwa klasik ke dalam bentuk-bentuk wayang kulit purwa yang baru, yang tujuannya selain untuk komersial juga untuk mencoba mengasah kreativitasnya dalam berolah seni. commit to user

(9)

3. Pendidikan Seni Rupa yang diperolehnya di Sekolah Menengah Seni Rupa/ SMK N 9 Surakarta

Ketika ia belajar di jurusan Seni Rupa SMK N 9 Surakarta (SMSR), Ki Margono, S.Sn banyak mendapatkan pelajaran Seni Rupa yang berkaitan dengan gambar bentuk, gambar dekoratif, gambar realis, sketsa, ornamen, lukis tradisi dan lain sebagainya. Kesemua pelajaran tersebut dipelajarinya dengan tekun sehingga bisa menambah luas pengetahuan dan ketrampilannya di bidang Seni Rupa.

Ia tahu bahwa wayang kulit purwa yang begitu akrab dengan kehidupan sehari-harinya adalah termasuk salah satu hasil karya Seni Rupa warisan dari nenek moyang kita, ia tahu bahwa hasil karya tersebut sudah sangat tinggi nilainya, baik dari segi bentuk, stilasi, ornamen, pewarnaan maupun dekoratifnya, sehingga sudah dinyatakan/dibakukan sebagai hasil karya seni klasik, artinya suatu hasil karya seni yang sudah mencapai sempurna dan tidak boleh/perlu lagi untuk diubah, yang bisa dilakukan hanyalah meniru/mengeblak saja dari babonnya apabila ingin memperbanyak. Namun begitu seiring dengan perkembangan jaman sekarang ini yang semuanya serba berubah, termasuk di bidang pertunjukan wayang kulit purwa yang sudah sedikit demi sedikit berubah (mencair), membuat Ki Margono, S.Sn memberanikan diri juga untuk berkreasi membuat wayang kulit purwa baru.

Dengan beralasan pada keadaan pertunjukan wayang kulit purwa yang sudah mencair, alasan untuk mengasah kreatifitasnya (komersial) serta merasa memiliki tambahan ilmu di bidang kesenirupaan setelah sekolah di SMSR, maka jadilah ia memberanikan diri menciptakan bentuk wayang kulit purwa kreasi baru. Usaha yang dilakukannya yaitu dengan membuat wayang kulit purwa kreasi baru yang berbeda bentuk dan rupa dengan wayang kulit purwa klasik/pakem, namun secara sekilas masih tetap dikenali oleh masyarakat siapa nama tokoh-tokoh wayang kulit purwa kreasi baru tersebut.

(10)

C. Proses Kreativitas dalam Berkarya 1. Sumber Ide

Dalam mengembangkan bakatnya di bidang Seni Rupa yakni pembuatan wayang kulit purwa kreasi baru, Ki Margono, S.Sn termotivasi oleh beberapa ide yang mendorongnya untuk berkarya, beberapa sumber ide tersebut adalah:

1.1. Kostum Penari Wayang Orang/Sendratari

Sebagai seorang anak dalang, di samping Ki Margono, S.Sn pandai dalam mendalang, ia pun mahir dalam berolah seni karawitan. Untuk itu ia pun biasa terjun dan bermain karawitan membantu teman-temannya baik dari jurusan karawitan, tari maupun pedalangan sendiri.

Ketika sedang mengiringi pentas sendratari, ia begitu memperhatikan gerak-gerik dan kostum dari para penarinya, ia begitu tertarik dan terbesit dalam hatinya untuk membawa bentuk dan kostum wayang orang tersebut ke dalam ranah/dunia wayang kulit purwa. Akhirnya lama kelamaan cita-cita/idenya tersebut terlaksana setelah lewat waktu yang panjang, mulai dari merancang, berkreativitas sampai menunggu waktu yang tepat.

Hasil karyanya tersebut ia harapkan dapat dikembangkan dan dipakai oleh dalang-dalang tenar dalam rangka untuk ikut menangkal kepunahan budaya wayang kulit purwa dari bumi nusantara ini.

1.2. Respon Penonton di Lapangan

Karena sejak kecil Ki Margono, S.Sn sering manggung, maka ia sedikit banyak juga paham akan antusiasme penonton terhadap pertunjukkan wayang kulit purwa. Setelah diselidiki dan dianalisa ternyata tidak sedikit juga dari para penonton yang datang ke pertunjukan hanya sengaja untuk mencari hiburan (penghilang stress). Mereka sangat memperhatikan dan terlihat antusias pada bagian adegan yang lucu (humoris) maupun yang seram-seram (setanan). Melihat hal itu terbesit dihati Ki Margono, S.Sn keinginan untuk membuat wayang kulit purwa commit to user

(11)

jenis setanan dengan berbagai macam bentuk agar bisa menarik perhatian penonton. Hal ini ia lakukan karena dalam wayang kulit purwa, berbagai bentuk dari jenis wayang kulit purwa setanan tersebut tidak ada pakem yang mengikat.

1.3. Trend Jaman

Sebagai seorang yang pekerjaannya berhubungan langsung dengan publik, maka Ki Margono, S.Sn juga tidak lepas pengamatannya terhadap trend-trend yang sedang terjadi di lapangan. Ia harus peka terhadap keadaan yang sedang booming di kalangan publik, bahkan bisa larut didalamnya demi kelangsungan usahanya.

Menyadari akan hal ini, maka Ki Margono, S.Sn pun tidak tinggal diam. Ia berusaha mencari tahu apa yang sedang menjadi trend di kehidupan masyarakat pada saat ini dan ia berusaha menyikapinya. Ternyata akhir-akhir ini di masyarakat ada dua macam kehidupan yang berbeda, di satu sisi: banyak golongan yang menggiatkan kehidupan rohani/akheratnya dengan jalan meningkatkan amal ibadahnya, misalnya: menggalakkan pengajian-pengajian, menata pakaiannya agar lebih syar’i, dan lain-lain. Di sisi lain: banyak juga golongan yang mementingkan kehidupan duniawinya. Mereka lebih suka kehidupan yang hingar-bingar, misalnya: berpakaian seronok, suka berpesta pora, dan lain-lain.

Menyikapi hal ini, timbul ide dibenaknya untuk membuat wayang kulit purwa yang bisa mensimbolkan dari keadaan-keadaan tersebut, akhirnya ia berani membuat wayang kulit purwa, tapi tidak pada wayang kulit purwa bakunya, tetapi diambilkan pada tokoh wayang kulit purwa humorisnya dengan maksud untuk tidak menyimpang dari pakem. Contoh wayang kulit purwa yang dibuatnya adalah: Petruk memakai peci, Limbuk dan Cangik memakai hijab, Limbuk berpakaian seronok, dan sebagainya.

(12)

2. Proses Kreatif dan Teknik

Buah kerja budaya disebut “Kagunan” (Hal yang berguna), yang tercipta atas dasar kecerdasan atau pengetahuan (Kawruh). Al hasil “Kawruh” itu adalah suatu alat atau “Perabot Budaya” belaka. Untuk menghasilkan “Kagunan” yang baik, rasa-perasaan tadi harus diselaraskan dengan hasrat atau kehendak (Kayun) masing-masing (Seno Sastroamidjojo, 1964: 18).

Dari pendapat tersebut kita dapat memahami bahwa kesenian (Kagunan) bermula dari kecerdasan atau pengetahuan (Kawruh atau ngelmu). Menurut Sri Mangkunegara IV dalam tulisannya Serat Wedhatama mengatakan bahwa “Ngelmu iku kelakone kanthi laku”. Artinya untuk mencari ilmu pengetahuan (ngelmu) harus diupayakan dengan tindakan (laku). Pada masa itu yang disebut laku adalah laku batin, yaitu mensucikan diri dengan mengurangi makan, minum dan tidur, disertai berdoa atau bersemedi untuk memperoleh ide, ilham atau wisik dari Tuhan Yang Maha Kuasa (Suyamto, 1992: 20).

Ide, ilham atau wisik dari Tuhan Yang Maha Kuasa, harus dipadukan dengan rasa atau perasaan yang ada di dalam dirinya, agar dapat menimbulkan keindahan (estetis). Dengan demikian, bentuk dari ide akan menjadi semakin jelas. Meskipun demikian, tanpa adanya karsa atau kehendak (kayun) yang kuat, ide hanya tetap menjadi ide. Karsa menurut Sutarjo dapat “Menimbulkan nilai kebaikan (etis). Dengan cara demikian ide tersebut bila dapat terbabar dalam karya yang indah dan memiliki nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat (Suwaji Bastomi, 1933: 12).

Ki Margono, S.Sn dalam menciptakan wayang kulit purwa baru juga tidak lepas dari pendapat-pendapat para ahli tersebut di atas.

Adapun proses dan teknik yang ditempuh oleh Ki Margono, S.Sn sebagai berikut:

1. Mendesain/Membuat Pola

Ia berkonsentrasi untuk menemukan ide-ide seperti yang diangankan dan dikehendakinya dengan tetap berpijak pada bentuk-bentuk wayang kulit purwa klasik. Ketika ia sudah mempunyai gambaran tentang tokoh yang

(13)

akan dibuatnya, kemudian ia mulai menuangkan ide-ide yang telah diperolehnya tersebut di atas kertas.

Gambar 4. 2. Ki Margono, S.Sn saat menunjukkan sketsa wayang kulit purwa Dewi Jembawati

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 3. Sketsa wayang kulit purwa Raden Bima Sena dan Dewi Rukmini, karya Ki Margono, S.Sn

(14)

Wayang kulit purwa yang dibuat Ki Margono, S.Sn sengaja diperbesar ukurannya ± 10% dari bentuk biasanya (wayang kulit purwa klasik). Tujuannya agar terlihat gagah saat ditampilkan di atas kelir.

Sebagai contoh perbandingan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Nama Tokoh

Wayang Kulit Purwa

Wayang Kulit Purwa Klasik Gaya Surakarta

Wayang Kulit Purwa Kreasi Baru Karya Ki

Margono, S.Sn

Tinggi Lebar Tinggi Lebar

Bima Sena Jembawati Petruk Raksasa Setanan 73 cm 39 cm 70 cm 85 cm 58 cm 43 cm 20 cm 35 cm 49 cm 28 cm 80, 5 cm 43 cm 77 cm 93, 5 cm 64 cm 47 cm 22 cm 39 cm 53 cm 32 cm Tabel 4.1. Tabel perbandingan ukuran wayang kulit purwa

(Sumber: Copy file Ki Margono, S.Sn, 2013) 2. Mempersiapkan Alat dan Bahan

Untuk mengerjakan wayang kulit purwa kreasi barunya, Ki Margono, S.Sn terlebih dahulu mempersiapkan alat dan bahannya yakni:

- Bahan yang dipakainya dipilih dari kulit kerbau, yang ia pesan dari pelanggannya di Gunung Kidul dengan berbagai alasan, diantaranya karena pemasok tersebut sudah paham dengan kriteria kulit yang diinginkan Ki Margono, S.Sn. Alat yang dipakainya berupa tatah yang terdiri dari 14 macam, pandhukan, gandhen, tindhih, dll.

Gambar 4. 4. Alat-alat untuk menatah wayang kulit purwa (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013) commit to user

(15)

Gambar 4. 5. Kulit kerbau yang masih berbentuk gulungan (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 6. Kulit kerbau yang sudah dikeringkan, di ukur tebal tipisnya sesuai dengan yang dikehendaki, dan siap untuk dibuat wayang kulit purwa

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

3. Nyorek

Setelah desain wayang kulit purwa di atas kertas tersebut dianggap baik, kemudian dituangkan di atas kulit kerbau. Proses ini disebut nyorek. Caranya dengan meletakkan pola/ gambar desain tadi dibawah kulit yang bening. Jika pola telah selesai, selanjutnya ditaruh di atas kulit kemudian digambar pula bagian-bagian yang penting ditepi wayang kulit purwa commit to user

(16)

tersebut. Alat yang digunakan adalah corekan/pensil. Pada proses menyorek di atas kulit ini, untuk bagian-bagian wayang kulit purwa yang benar-benar baru, dilakukan sendiri oleh Ki Margono, S.Sn, dan untuk hal-hal yang lain dilakukan oleh pengrajin dengan bimbingan serta pengawasan yang ketat dari Ki Margono, S.Sn.

Gambar 4. 7. Proses menyorek oleh pengrajin Ki Margono, S.Sn (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

4. Ambedhah

Setelah proses nyorek selesai, dilanjutkan dengan proses mbedhah. Ambedhah maksudnya adalah tindakan memisahkan bentuk wayang kulit purwa yang telah digambar dari kulit yang masih utuh/ dari klowongan. Caranya dengan memahat bagian tepi wayang kulit purwa yang telah digambar, diambil jarak sekitar 0,5 sampai 1,5 cm mengelilingi bentuk wayang kulit purwa tersebut, sehingga memudahkan dalam menatah/ memahat wayang kulit purwa nantinya. Wayang kulit purwa yang diperoleh ini dinamakan wayang kulit purwa “gebingan”. Artinya wayang kulit purwa yang dapat diambil dari lembaran kulit aslinya, masih berupa “gatra” yakni satu wujud wayang kulit purwa yang masih utuh dengan corekan yang perlu.

(17)

Gambar 4. 8. Ki Margono, S.Sn saat menunjukan bentuk wayang kulit purwa yang sudah dibedah dari Klowongannya

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013) 5. Proses Menatah/memahat

Setelah wayang kulit purwa gebingan siap, proses selanjutnya adalah menatah wayang kulit purwa. Penatahan dimulai dari bagian dalam, terutama bagian yang menumpang/bagian yang menutupi bagian lain. Bagian yang ditumpangi akan ditatah kemudian agar jalur-jalur penatahan tidak terkecoh. Contohnya:

 Penatahan sumping harus didahulukan daripada penatahan rambut dan gelung.

 Penatahan kalung harus didahulukan daripada penatahan ulur-ulur.  Penatahan badhong harus didahulukan daripada penatahan uncal

wastra.

 Penatahan uncal kencana harus didahulukan daripada penatahan seluwar (celana pendek) atau kunca (wiru).

 Penatahan gelang kaki didahulukan sebelum menatah kaki.

Oleh karenanya, perlu sekali memperjelas corekan sebelum mulai menatah.

(18)

Gambar 4. 9. Ki Margono, S.Sn sedang menatah dibantu para pengrajinnya

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013) 6. Ambedhah Rai

Tahap terakhir dalam penatahan wayang kulit purwa adalah pembedahan pada bagian muka/wajah wayang kulit purwa, yaitu menatah bagian muka wayang kulit purwa, antara lain: hidung, mulut, dan mata. Keahlian khusus betul-betul sangat diperlukan untuk pekerjaan ini, karena bila pembedahan rai tidak sempurna, maka seluruh pekerjaan menatah wayang kulit purwa yang telah dilakukan akan menjadi sia-sia belaka, bahkan menjadi tidak bermutu sama sekali. Pembedahan pada bagian wajah ini akan mewujudkan karakter dan bahkan wanda wayang kulit purwa.

Gambar 4. 10. Proses Ambedhah Rai (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013) commit to user

(19)

7. Bahan dan Alat untuk Menyungging

Proses selanjutnya adalah memberi warna pada wayang kulit purwa yang sudah selesai ditatah. Proses pewarnaan pada wayang kulit purwa ini dinamakan menyungging. Hal ini alasannya adalah karena ingin menghormati orang yang pertama kali menggambar dan memberi warna-warna pada wayang kulit purwa pada jaman Majapahit, yakni Raden Sungging Prabangkara.

Dalam proses menyungging ini, perlu dipersiapkan terlebih dahulu serangkaian alat dan bahannya yaitu: kuas, pena, pena kodok, cawen, pensil, penggaris, lem dan macam-macam pewarna yang masih tradisional. Macam-macam warna tradisional tersebut antara lain:

 Warna putih dibuat dari bakaran tulang hewan  Warna kuning dibuat dari batu atal

 Warna biru dibuat dari nila

 Warna hitam dibuat dari hoyan (langes/kukus lampu)  Warna merah dibuat dari gincu merah

Pewarna tersebut saat digunakan perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu ancur kering yang sudah dicairkan/dilarutkan dengan air yang mendidih. Larutan ini nanti setelah didinginkan akan berbentuk kental seperti perekat/lem.

Gambar 4. 11. Alat dan bahan yang dipersiapkan untuk menyungging (masih tradisional)

(20)

Ki Margono, S.Sn berani menambahkan/menggantikan warna-warna tradisional tersebut dengan pigmen, cat acrylic, tinta cina (untuk warna hitam) bahkan Gesso (sebagai cat untuk mendasari agar permukaan lebih halus), serta lem fox untuk menggantikan ancur dalam proses penyunggingan ini, karena mengganggap bahan-bahan tradisional tersebut sudah sulit dicari.

Gambar 4. 12. Bahan-bahan yang digunakan oleh Ki Margono, S.Sn sebagai tambahan/pengganti bahan pewarna tradisional

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013) 8. Proses Menyungging

 Proses Mengamplas

Setelah siap segala sesuatunya, maka proses menyungging dapat segera dimulai, pertama kali diambil wayang kulit purwa yang sudah selesai ditatah, kemudian digosok dengan benda halus agar permukaan wayang kulit purwa tersebut halus. Proses demikian disebut nguwuk. Dengan amplas halus, wayang kulit purwa tersebut digosok pelan-pelan sampai halus. Kehalusan permukaan wayang kulit purwa akan berpengaruh sekali pada hasil sunggingannya nanti. Amplas yang commit to user

(21)

digunakan adalah jenis amplas kayu ukuran 500, karena ukuran ini sudah paling halus diantara ukuran yang lainnya.

Gambar 4. 13. Amplas yang dipergunakan Ki Margono, S.Sn dalam mengamplas wayang kulit purwa kreasi barunya

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 14. Proses mengamplas wayang kulit purwa kreasi baru Ki Margono, S.Sn

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

 Pemberian Warna Dasar

Sesuai dengan namanya, warna ini menjadi dasar agar pori-pori kulit tertutup, juga agar wayang kulit purwa tidak transparan. Warna yang digunakan adalah warna kuning atau warna putih. Caranya dikuaskan dengan kuas yang besar.

(22)

Gambar 4. 15. Proses pemberian warna dasar (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

 Penyunggingan

Penyunggingan ini sebetulnya merupakan proses pewarnaan secara gradasi, karena warna akan disapukan secara gradasi menurut aturan penyunggingan. Warna yang paling awal dikuaskan setelah warna dasaran kering adalah:

- Warna hitam

Warna ini untuk bagian kepala, suluhan muka (rambut sinom), bodholan rambut dan semua jenis rambut.

- Warna prada

Perabot yang perlu diprada misalnya bagian-bagian tutup kepala, karawista, modangan dan jamang.

- Warna jambon (merah muda)

Setelah prada selesai dilanjutkan dengan pemberian warna jambon. Warna ini misalnya pada jamang, garudha dan pucuk mas-masan.

- Warna kuning

Setelah selesai mewarna jambon, dilanjutkan dengan mewarna kuning. Warna ini disapukan dibagian-bagian yang pantas dan serasi, misalnya pada jamang, sumping, garudha dan mas-masan. commit to user

(23)

- Warna biru dan jingga

Setelah selesai mewarna kuning, kemudian mewarna biru muda, dilanjutkan dengan warna jingga, disapukan pada tempat-tempat: muka garudha, dawala, intan-intanan, lung praba, dsb.

Gambar 4. 16. Wayang Kulit Purwa Raden Gatutkaca Rai Wong dan Raden Bima Sena Rai Wong yang sedang dalam proses penyunggingan

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Semua tahap pengerjaan mewarna di atas baru tahap mewarna muda, umumnya pemberian warna permulaan merupakan warna muda. Apabila pewarnaan muda ini sudah selesai, baru nanti diteruskan dengan warna-warna tua. Setelah selesai semua pekerjaan mewarna-warna, pekerjaan terakhir yang dilakukan dalam proses menyungging adalah memberi warna pada muka/ wajah. Wayang kulit purwa yang bermuka merah harus diwarnai merah (raksasa dan sejenisnya), wayang kulit purwa yang berwarna hitam harus diwarnai hitam (Raden Bima Sena, Raden Gathutkaca, Prabu Kresna, dan sebagainya).

9. Proses Penggapitan

Dalam memberikan gapit, Ki Margono, S.Sn juga mempunyai teknik khusus yang berbeda dengan orang lain. Khusus wayang kulit purwa buatannya, diberi gapit dengan ukuran yang lebih besar dari wayang kulit purwa kebanyakan. Hal ini berhubungan dengan wayang kulit purwa commit to user

(24)

yang dibuatnya, karena wayang kulit purwa yang dibuatnya berukuran agak diperbesar dari wayang kulit purwa biasa (klasik).

Sebagian besar gapit yang akan dipasang pada wayang kulit purwa ini tidak hanya lurus bentuknya, tapi dibuat berliuk-liuk (bengkokan-bengkokan yang khas), alasannya:

- Sebagai konstruksi keseimbangan agar wayang kulit purwa dapat berdiri tegak dan tidak kepleh/ lentur.

- Sebagai keindahan (apabila bisa mendapatkan tanduk kerbau bule, maka warnanya akan terlihat serasi dengan warna sungging wayang kulit purwanya, akhirnya akan menambah keindahan wayang kulit purwa tersebut).

- Dipasang melengkung dan dipasang tidak sampai ujung atas adalah sebagai trik dari Ki Margono, S.Sn untuk kepentingan gerak sabet wayang kulit purwa kreasi barunya. Alasannya untuk menggetarkan wayang kulit purwa agar terkesan hidup saat dimainkan.

Tahap-tahap yang dilakukan Ki Margono, S.Sn dalam pemberian gapit, yakni:

- Gapit yang dipesan berukuran lebih besar dari ukuran gapit biasa ( ˃ 0,25 cm dari ukuran biasa) dan panjangnya 30 cm lebih panjang dari ukuran tinggi wayang kulit purwanya (ukuran untuk wayang kulit purwa biasa (klasik) lebihnya hanya 25 cm).

- Kemudian ia membengkokkan gapit tersebut sesuai kebutuhan, dengan cara gapit dipanaskan di atas nyala api lampu minyak sambil dipijat-pijat, kemudian dibentuk sesuai bagian-bagian yang dikehendaki. Pembengkokan tersebut dilakukan setelah panas gapit merata, karena apabila pembengkokan gapit dilakukan sebelum panas merata, akan menyebabkan gapit patah.

(25)

- Selanjutnya adalah pemasangan gapit. Gapit dipasang pada wayang kulit purwa dengan cara menjahit gapit tersebut dengan wayang kulit purwa melalui lubang-lubang tatahan yang dilalui gapit.

Gambar 4. 17. Ki Margono, S.Sn saat mengeluk gapit (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 18. Proses pemasangan gapit oleh Ki Margono, S.Sn (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

(26)

D. Visualisasi Wayang Kulit Purwa Kreasi Baru Ciptaan Ki Margono, S.Sn Selama berkreativitas seni, sudah banyak sekali bentuk-bentuk wayang kulit purwa kreasi baru yang diciptakan oleh Ki Margono, S.Sn, bahkan sudah lengkap satu kotak yang ia beri nama “Wayang Kulit Purwa Rai Wong” yang terdiri dari enam kriteria kelompok/ penggolongan wayang kulit purwa ditinjau dari aspek Seni Rupa.

Untuk meneliti kesemuanya tersebut tidaklah mungkin bagi peneliti, karena adanya keterbatasan waktu, pengetahuan, dan lain sebagainya. Untuk itu peneliti hanya akan mengambil enam wayang kulit purwa kreasi baru Ki Margono, S.Sn yang dianggap sudah mewakili dari keenam kriteria/penggolongan wayang kulit purwa ditinjau dari aspek Seni Rupa tersebut, yakni:

1. Golongan wayang kulit purwa ekspresif dekoratif

Wayang kulit purwa ekspresif dekoratif maksudnya adalah bentuk wayang kulit purwa yang tercipta karena cetusan (ekspresi) dari angan-angan senimannya, yang dituangkan dalam bentuk hiasan dekor /hiasan bidang. Oleh karena itu hasil penciptaan dari segala bentuk wayang kulit purwa apa saja selalu disesuaikan dengan apa saja perilaku tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan senimannya. Misalnya: orang yang baik, divisualkan badannya lurus/gagah perkasa, mukanya tajam, warnanya hitam, mulutnya tertutup/tersenyum dan seterusnya. Sedangkan orang yang jahat, untuk mulutnya lebar/gusen, warna mukanya merah dan seterusnya. Wayang kulit purwa ekspresif dekoratif ini berdasarkan perlengkapan perabot dan pakaiannya dapat diklasifikasikan lagi menurut kelasnya, yakni:

- Golongan Dewa - Golongan Putran - Golongan Pendeta - Golongan Raksasa - Golongan Satria - Golongan Punggawa - Golongan Raja - Golongan Putri

Dalam penelitian ini diambil satu tokoh, yakni Raden Bima Sena yang mewakili dari golong Satria. Dipilih tokoh Raden Bima Sena dengan alasan karena: Raden Bima Sena merupakan salah satu tokoh yang commit to user

(27)

menjadi icon dalam cerita wayang kulit purwa, dengan begitu semua orang akan lebih cepat mengenal siapa tokoh Bima Sena dibanding dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga bila ada perubahan sedikit saja dalam bentuk tokoh tersebut, orang akan cepat tahu.

2. Golongan wayang kulit purwa ekspresif dekoratif humoris karikatur

Maksudnya juga termasuk wayang kulit purwa yang bentuk ekspresif dekoratif, namun menggambarkan tokoh-tokoh yang bentuknya sudah lucu. Bentuk-bentuk wayang kulit purwa yang seperti ini juga dibedakan menjadi lima golongan, yakni:

- Humoris karikaturis pengikut Ksatria, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

- Humoris karikaturis pengikut Raksasa, yaitu: Togok, Sarawito. - Humoris karikaturis pengikut Dewa, yaitu: Patuk dan Temboro. - Humoris karikaturis pengikut Pendeta, yaitu: Cantrik Janaloka. - Humoris karikaturis Wanita, yaitu Cangik dan Limbuk.

Dalam penelitian ini diambil satu tokoh, yakni Petruk. Dipilih tokoh Petruk dengan alasan karena terdapat perubahan-perubahan yang cukup signifikan pada tokoh tersebut, baik dari segi bentuk fisik wayang kulit purwanya maupun dari segi makna simboliknya.

3. Golongan wayang kulit purwa yang menggambarkan kelompok atau suatu kompleks yang menggambarkan kelompok pasukan atau kompleks tumbuh-tumbuhan, binatang dan bangunan, yaitu: Perampokan (Ampyakan) dan Gunungan.

Dalam penelitian ini diambil satu bentuk, yakni bentuk Gunungan. Dipilih bentuk Gunungan karena bentuk ini mengandung makna simbolik yang sangat sakral.

(28)

4. Wayang kulit purwa yang melukiskan atau menggambarkan binatang dan kendaraan, seperti: kuda, kereta kencana, gajah, naga, burung garuda, dan sebagainya.

Dalam penelitian ini diambil satu bentuk binatang, yakni bentuk Burung Garuda. Dipilih bentuk Burung Garuda karena bentuk ini paling sering tampil diantara kelompok golongan ini.

5. Wayang kulit purwa yang melukiskan senjata seperti: panah, keris, gada, alugara, senjata cakra, dan sebagainya.

Dalam penelitian ini diambil satu bentuk senjata, yakni bentuk senjata Cakra. Dipilih bentuk Senjata Cakra karena makna simboliknya diubah drastis dari makna klasiknya.

6. Wayang kulit purwa yang melukiskan roh halus berupa siluman, setan, seperti: Jurumeya, Jarameya Keblok, dsb.

Dalam penelitian ini diambil satu tokoh setanan. Dipilih tokoh Setanan karena tokoh ini paling digemari penonton dan paling banyak di buat oleh Ki Margono, S.Sn.

Berikut ini contoh-contoh wayang kulit purwa kreasi baru (wayang kulit purwa rai wong) hasil karya ciptaannya:

(29)

a. Contoh wayang kulit purwa ekspresif dekoratif:

Gambar 4. 19. Wayang Kulit Purwa Raden Bima Sena (Klasik)

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 20. Wayang Kulit Purwa Raden Bima Sena Kreasi Baru (Karya Ki Margono, S.Sn)

(30)

b. Contoh wayang kulit purwa ekspresif dekoratif humoris karikatur:

Gambar 4. 21. Wayang Kulit Purwa Petruk (Klasik) (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 22. Wayang Kulit Purwa Petruk Kreasi Baru (Karya Ki Margono, S.Sn)

(31)

c. Contoh wayang kulit purwa yang menggambarkan kompleks tumbuh-tumbuhan:

Gambar 4. 23. Wayang Kulit Purwa Gunungan (Klasik) (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 24. Wayang Kulit Purwa Gunungan Kreasi Baru (Karya Ki

Margono, S.Sn)

(32)

d. Contoh wayang kulit purwa yang menggambarkan binatang:

Gambar 4. 25. Wayang Kulit Purwa Garuda (Klasik) (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 26. Wayang Kulit Purwa Garuda Kreasi Baru (Karya Ki Margono, S.Sn)

(33)

e. Contoh wayang kulit purwa yang menggambarkan senjata:

Gambar 4. 27. Boneka Wayang Kulit Senjata Cakra (Klasik) (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 28. Wayang Kulit Purwa Senjata Cakra Kreasi Baru (Karya Ki Margono, S.Sn)

(Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

(34)

f. Contoh wayang kulit purwa yang menggambarkan setanan:

Gambar 4. 29. Wayang Kulit Purwa Setanan (Klasik) (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)

Gambar 4. 30. Wayang Kulit Purwa Setanan Kreasi Baru (Karya Ki Margono, S.Sn)

(35)

E. Makna Simbolik Wayang Kulit Purwa Rai Wong Karya Ki Margono, S.Sn

Seperti telah diungkapkan di atas bahwa wayang kulit purwa diciptakan oleh nenek moyang kita pada mulanya adalah sebagai sarana atau alat untuk mengungkapkan kebutuhan batin nenek moyang kita, oleh karena itu semua bentuk-bentuk wayang kulit purwa yang diciptakan akan mengandung makna-makna simbolik, baik itu sejak jaman pra sejarah hingga jaman sekarang ini.

Hal ini didukung oleh pendapat dari S. Haryanto yang menyatakan bahwa: evolusi bentuk wayang kulit purwa secara kronologis dapat dikatakan sebagai berikut:

1. Jaman Pra Majapahit sampai menjelang abad XIII

Pada jaman itu wayang kulit purwa masih berbentuk dekoratif tapi primitif, simbolik dan spiritual.

2. Jaman Majapahit (1292 – 1478)

Lahirnya wayang Beber sebagai pendahulu wayang kulit purwa. Wayang kulit purwa pada masa itu masih berbentuk profil watak dan pribadi tertentu. 3. Jaman Demak (1478 – 1546) dan Jaman Pajang (1546 – 1586)

Pada jaman ini bentuk wayang kulit purwa mulai berkembang pesat, namun tetap disesuaikan dengan ajaran Islam. Biarpun dibatasi dengan ajaran-ajaran Islam, namun tidak melupakan segi artistik dan daya cipta senimannya. Semuanya itu berdasarkan kreativitas para pencipta yang menggambarkan watak tokoh-tokoh manusia.

4. Jaman Kerajaan Mataram (1586 – 1680) hingga sekarang

Pada jaman ini penggemar wayang kulit purwa semakin banyak dan fanatik dari berbagai daerah dengan berbagai macam alasan, daerah yang satu tidak mau wayang kulit purwanya sama bentuk dan coraknya dengan wayang kulit purwa daerah lain, misal: wayang kulit purwa daerah kedu, Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, dan lain-lain. Semua wayang kulit purwa tersebut di buat berbeda/mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dan makna simbolik sendiri-sendiri. (S. Haryanto, 1991 : 30).

(36)

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa bukan hanya pada lakon yang diceritakan dalam pagelaran saja yang menggambarkan falsafah dan makna-makna simbolik, tetapi juga dalam wayang kulit purwanya bahkan sejak jaman Demak wayang kulit purwa diciptakan dengan maksud sebagai lambang watak manusia.

Dalam dunia pewayangan watak lemah-lembut, kasar, angkara murka, lucu dan yang lain, masing-masing mempunyai gambaran yang khusus. Dengan kata lain tiap-tiap bentuk wayang kulit purwa mengandung arti perlambang tersendiri. Bentuk tiap tokoh wayang kulit purwa merupakan tipe tiap-tiap manusia dengan wataknya masing-masing. (Suwaji Bastomi, 1996 : 10).

Perlambang yang tersirat di dalam bentuk tiap tokoh wayang kulit purwa dapat diungkap melalui:

1) Mata. Bentuk mata “thelengan” memberi kesan watak tegas. Bentuk mata “liyepan” memberi kesan watak lembut dan sebagainya.

2) Hidung. Bentuk hidung tidak jelas menunjukkan perwatakan jika tidak dikaitkan dengan bentuk mata.

3) Mulut. Bentuk mulut “ngablak” memberi kesan watak galak dan lain sebagainya.

4) Warna muka. Tiap warna yang dipulaskan pada muka wayang kulit purwa mengandung arti perlambang. Secara umum warna mengandung arti sebagai berikut:

- Hitam adalah lambang ketenangan, kesungguhan, kejujuran.

- Merah adalah lambang kemarahan, keberanian, ketamakan dan kemurkaan.

- Putih adalah lambang kesucian dan kelembutan. - Kuning adalah lambang keremajaan dan kebesaran.

- Merah jingga adalah lambang kemarahan dan kemauan keras. - Merah jambu adalah lambang pengecut dan emosional.

- Biru muda adalah lambang lemah pendirian dan setengah bodoh. 5) Wanda. Wanda wayang kulit purwa diartikan wujud atau dapur, yaitu wujud

(37)

Secara garis besar tokoh wayang kulit purwa yang jumlahnya lebih dari seratus itu dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok tokoh wayang kulit purwa yang melambangkan watak baik dan kelompok wayang kulit purwa yang melambangkan kejahatan. Wayang kulit purwa yang melambangkan kebaikan ditempatkan pada bagian sebelah kanan dalang, artinya yang baik itu dikanankan (Jawa: ditengenake atau pradaksina), sedangkan wayang kulit purwa yang melambangkan kejahatan ditempatkan pada bagian sebelah kiri dalang (Jawa: dikiwakake atau bala kiwa/ala). Kesimpulan, wayang kulit purwa adalah lambang budi. Penciptaan bentuk-bentuk wayang kulit purwa didasarkan pada pengetahuan tipologi dan karakterologi. (Suwaji Bastomi, 1996 : 11).

Ki Margono S.Sn dalam mencipta wayang kulit purwa kreasi barunya ternyata juga tak lepas dari tujuan dan maksud-maksud tertentu, seperti halnya penciptaan wayang kulit purwa terdahulu. Ia berusaha menambahkan ataupun merubah makna simbolik pada bagian-bagian tertentu dari wayang kulit purwa klasik yang sudah ada dengan makna simbolik baru yang disesuaikan dengan kondisi jaman pada saat sekarang ini.

Berikut makna-makna simbolik tersebut:

Gambar

Gambar 4. 1. Denah Struktur Organisasi Sanggar Wayang “Gogon”
Gambar 4. 2. Ki Margono, S.Sn saat menunjukkan sketsa wayang  kulit  purwa Dewi Jembawati
Gambar 4. 4. Alat-alat untuk menatah wayang kulit purwa  (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013) commit to user
Gambar 4. 5. Kulit kerbau yang masih berbentuk gulungan  (Dokumentasi: Retna Kusuma Dewi, 2013)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masa kecil JR dilalui dengan keadaan yang kurang menyenangkan. Hal ini dikarenakan perselisihan keluarganya dengan keluarga besar ayah JR. perselisihan ini yang

Pada pembahasan sebelumnya mengenai kedudukan hukum anak dalam keluarga yang dilahirkan melalui proses bayi tabung dengan menggunakan sperma donor penulis telah

Koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,390 menggambarkan bahwa sumbangan pengaruh Kecerdasan Emosional dan Keharmonisan Keluarga terhadap Kecenderungan Kenakalan

Tujuan dari sekolah dan asrama tersebut sebenarnya untuk menerima anak-anak asli perkebunan yang tidak dapat mengawasi anaknya dan anak-anak dari para pegawai

a) Pembangunan kijing tersebut agar kuburan mudah dikenali oleh keluarga dan anak cucu selanjutnya. b) Agar kuburan tidak hilang dikemudian harinya. c) Agar kuburan

Pengaruh Keharmonisan Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak (Siswa MI Miftahul Huda Kedunglumpang). Minuchin, 1974 keluarga merupakan tempat yang penting

Secara garis besar, TK Alam Auliya mempunyai tujuan pendidikan yaitu: memberikan bekal dasar bagi anak-anak untuk menjadi generasi yang mencintai Al- Qur’an, menjadikan

Sebagian besar wanita menikah tidak bekerja memiliki tingkat keharmonisan keluarga yang sedang, hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh bahwa 29 orang wanita