• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Definisi Emosi

Kata emosi dalam bahasa Inggris adalah emotion yang berasal dari bahasa latin, yaitu movere, yang berarti menggerakkan atau bergerak (Goleman, 2007). Selain itu, Kartono (2011) mendefinisikan emosi sebagai getaran jiwa, keharuan, dan renjana (rasa hati yang kuat). Sedangkan berdasarkan kamus Oxford English Dictionary (Goleman, 2007) emosi merupakan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.

Pada dasarnya emosi ialah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi (Goleman, 2007). Sedangkan menurut Lanawati (1999), emosi merupakan keadaan perasaan yang banyak berpengaruh pada perilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsang dari luar dan dalam diri individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.

2.1.2 Macam-macam Emosi

Goleman (2007) mengemukakan beberapa macam emosi, diantaranya adalah:

1. Emosi Cinta

Cinta atau perasaan kasih sayang adalah serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang membangkitkan keadaan menenangkan dan memuaskan, akibatnya memudahkahkan terjalinnya kerjasama.

(2)

2. Emosi Bahagia

emosi bahagia mendorong meningkatnya kegiatan di pusat otak, menenangkan perasaan, meningkatkan energi, dan menghambat perasaan negatif. Emosi bahagia mengistirahatkan tubuh secara menyeluruh, menimbulkan kesiapan jiwa, dan antusias untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan.

3. Emosi Sedih

perasaan sedih mendorong penyesuaian diri, menurunkan energi, tetapi kalau berlebihan kesedihan akan memperlambat metabolisme tubuh. Apabila rasa sedih diikuti introspeksi, dapat menciptakan kesempatan untuk merenung sampai akhirnya semangat pulih.

4. Emosi Takut

perasaan takut membuat sirkuit-sirkuit di pusat otak memicu reproduksi hormon yang membuat tubuh waspada, awas, siap bertindak. Emosi takut mendorong otot-otot rangka besar, seperti kaki dan tangan siap bergerak. Emosi takut juga menimbulkan wajah pucat dan darah terasa dingin.

5. Emosi Terkejut

perasaan takut mendorong alis mata naik, bidak mata melebar sehingga cahaya lebih banyak masuk ke retina. Hasilnya adalah intonasi tentang peristiwa yang diterima menjadi baik sehingga memudahkan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

6. Emosi Marah

perasaan marah mendorong meningkatnya detak jantung, membanjirnya hormon seperti adrenalin membangkitkan energi untuk bertindak luar biasa.

(3)

7. Emosi Cemas

inti segala kecemasan adalah kekhawatiran. Isi pokok kekhawatiran adalah kewaspadaan terhadap bahaya yang mungkin timbul. Rasa cemas memacu pemusatan perhatian pada ancaman yang sedang dihadapi. Rasa cemas juga memaksa otak untuk memikirkan terus-menerus bagaimana mengatasi masalah yang dihadapi, akibatnya mengabaikan hal lainnya.

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak (Goleman, 2007). Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.

Menurut Mayer (Goleman, 2007) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu:

1. Sadar diri

Peka terhadap perasaan atau suasana hati yang dialami. Mandiri, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Tidak larut dalam permasalahan yang dihadapi. 2. Tenggelam dalam permasalahan

Merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, mudah marah, tidak peka terhadap perasaannya, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional yang dimiliki, sehingga larut dalam masalahnya dan tidak mencari perspektif baru.

3. Pasrah

Peka terhadap perasaan yang dirasakan, namun cenderung menerima begitu saja suasana hatinya, sehingga tidak berusaha

(4)

untuk mengubahnya. Pasrah terbagi atas dua jenis. Pertama, individu yang terbiasa dengan suasana hati yang menyenangkan, dengan demikian motivasi untuk merubahnya rendah. Kedua ialah individu yang peka terhadap suasana hatinya, rawan terhadap suasana hati yang buruk namun menerimanya dengan sikap yang tidak hirau, tak melakukan apa-apa untuk mengubahnya meskipun tertekan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

2.1.3 Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer pada tahun 1990 (Saphiro, 2001). Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 2001), menyatakan bahwa kecerdasan emosional ialah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedangkan Baron (dalam Goleman, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

Menurut Robbins (2003), kecerdasan emosional merujuk pada satu keanekeragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosional bukanlah lawan kecerdasan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada

(5)

tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 2001).

Menurut Gardner (dalam Goleman, 2007) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal ini dinamakan kecerdasan pribadi oleh Gardner dan Daniel Goleman menyebutnya sebagai kecerdasan emosional.

Gardner (dalam Goleman, 2007), menyatakan bahwa kecerdasan pribadi terdiri dari kecerdasan antar pribadi, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. Dan dalam rumusan lain, Gardner (dalam Goleman, 2007) menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi ialah mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku.

Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (dalam Goleman, 2007) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap

(6)

kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Goleman (2007), mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional terdiri dari aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), bekerjasama dengan orang lain.

2.1.4. Kemampuan Utama Kecerdasan Emosional

Salovey (dalam Goleman, 2007), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu: a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2007) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

(7)

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2007), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Penelitian Rosenthal (dalam Goleman, 2007) menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2007), ahli psikologi menjelaskan

(8)

bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi yang lancar dengan orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

2.1.5. Komponen Kecerdasan Emosional

Komponen dasar dari kecerdasan emosional menurut Covey (2005) ialah: a. Kesadaran Diri

Kemampuan untuk merefleksikan kehidupan diri sendiri, menumbuhkan pengetahuan mengenai diri sendiri, dan menggunakan kemampuan

(9)

tersebut untuk memperbaiki diri sendiri, serta untuk mengatasi kelemahan diri.

b. Motivasi Diri

Pemicu timbulnya semangat diri yang meliputi visi, nilai-nilai, tujuan, harapan, hasrat, dan gairah yang menjadi prioritas-prioritas seseorang. c. Pengaturan diri sendiri

Kemampuan untuk mengelola diri sendiri agar mampu mencapai visi dan nilai-nilai pribadi.

d. Empati

Kemampuan untuk memahami orang, cara orang lain memandang, dan merasakan berbagai hal.

e. Keahlian sosial

Berkaitan dengan bagaimana cara mengatasi perbedaan, memecahkan masalah, menghasilkan solusi kreatif, dan berinteraksi secara optimal untuk mengejar tujuan-tujuan bersama.

2.2 Agresi

2.2.1 Definisi Agresi

Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia (Alwi, 2007), definisi agresi ialah cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat. Menurut Berkowitz (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu (Baron & Richardson, dalam Krahe, 2005). Hal ini didukung oleh pernyataan Myers (2012), yaitu agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang bertujuan

(10)

untuk menyakiti orang lain. Sedangkan menurut Baron (2005) agresi ialah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup orang lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu.

Sedangkan Dodge & Pettit (dalam Calvete, E & Orue, I., 2010) berpendapat bahwa perilaku agresi adalah sebuah fenomena yang kompleks, dimana terdapat resiko campur tangan termasuk genetis, neurologis, variabel biologi, konteks sosial budaya, dan pengalaman hidup awal antara lain dilihat untuk tinjauan.

Dari beberapa definisi mengenai agresi tersebut, Maka dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh individu yang dapat merusak barang tertentu, membahayakan dan melanggar hak-hak individu lain serta menyakiti individu, baik fisik maupun mental.

2.2.2 Teori Mengenai Agresi

Agresi dapat ditinjau dari berbagai aspek, sehingga banyak teori yang mengemukakan mengenai agresi. Menurut Baron & Byrne (2005) ada berbagai model atau sudut pandang teoritis yang menjelaskan agresi, diantaranya ialah:

2.2.2.1 Teori Insting

Freud (Baron & Byrne, 2005), menyatakan bahwa agresi timbul karena adanya keinginan untuk mati (death wish atau thanatos) yang kuat dimiliki oleh semua orang. Insting ini awalnya memiliki tujuan self-destruction, tetapi arahnya segera diubah menuju orang lain.

Tidak hanya Freud, Lorenz (dalam Baron & Byrne, 2005) mengemukakan bahwa agresi muncul terutama dari insting berkelahi bawaan yang dimiliki oleh makhluk hidup. Insting ini berkembang selama terjadinya evolusi karena hal

(11)

tersebut menolong untuk memastikan bahwa hanya individu yang terkuat yang akan menurunkan gennya pada generasi berikutnya.

2.2.2.2 Teori Dorongan

Teori dorongan agresi berdasarkan kondisi-kondisi eksternal, terutama frustasi membangkitkan motif yang kuat untuk menyakiti orang lain. Dorongan agresif ini kemudian menimbulkan agresi terbuka (Baron & Byrne, 2005).

Gambar

Gambar. 2.1 Teori dorongan agresi.

*Sumber Baron & Byrne (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Menurut Berkowitz (dalam Baron & Byrne, 2005) frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek, terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi. Namun teori hipotesis frustasi-agresi (frustration aggression hyphotesis) dianggap masih lemah.

2.2.2.3 Teori General Affective Aggression Model (GAAM)

Pada teori ini, tidak hanya berfokus pada satu faktor saja sebagai penyebab agresi, namun mengembangkan berbagai bidang psikologi untuk mendapatkan pemahaman tambahan mengenai faktor-faktor yang memainkan peran dalam kemunculan perilaku agresi. Anderson (dalam Baron & Byrne, 2005) melakukan pendekatan General Affective Aggression Model (GAAM). Menurut teori ini, agresi dipicu oleh berbagai variabel input, seperti aspek-aspek dari situasi saat ini (kategori pertama) atau kecenderungan dibawa individu ketika menghadapi sesuatu (kategori kedua).

Kondisi eksternal (misalnya, frustasi, kondisi lingkungan yang

tidak menyenangkan Dorongan untuk menyakiti atau melukai orang lain Agresi yang nyata

(12)

Hal ini memengaruhi keterangsangan, tahap afektif, dan kognisi. Variabel yang termasuk dalam kategori pertama meliputi frustasi, bentuk serangan tertentu dari orang lain, pemaparan terhadap tingkah laku agresif orang lain, munculnya objek yang diasosiasikan dengan agresi (seperti senjata), dan segala hal yang dapat membuat individu merasa tidak nyaman. Pada kategori kedua, meliputi trait yang mendorong individu untuk melakukan agresi, sikap dan belief tertentu terhadap kekerasan, nilai mengenai kekerasan, dan keterampilan spesifik yang terkait pada agresi.

Variabel situasional dan individual tersebut kemudian dapat menimbulkan agresi yang terbuka (overt) melalui pengaruh dari tiga proses dasar. Yaitu, keterangsangan (variabel yang dapat meningkatkan keterangsangan fisiologis dan antusiasme, keadaan afektif (variabel yang dapat membangkitkan emosi negatif), dan kognisi (variabel yang dapat membuat inidividu memiliki pemikiran kebencian atau membawa ingatan kebencian atau permusuhan dalam pikiran) (Baron & Byrne, 2005).

Gambar 2.2 General Affective Aggression Model (GAAM). *Sumber Baron & Byrne (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Variabel input

Provokasi

Frustasi

Pemaparan terhadap model agresif

Tanda yang berhubungan dengan agresi

Penyebab dari afek tidak nyaman/negatif

Afektivitas negatif

Trait mudah marah

Belief mengenai agresi

Nilai-nilai proagresi

Pola tingkah laku tipe A

Keterangsangan

Agresi

Kognisi agresif Keadaan afektif

(13)

2.2.2.4 Teori Belajar Sosial

Bandura (dalam Myers, 2012), mengemukakan teori tentang agresi yang disebut teori belajar sosial (social-learning theory). Menurut Bandura, individu belajar agresi tidak hanya dengan merasakan dampak perbuatannya, tetapi juga dengan mengamati orang lain. Sama seperti individu yang mempelajari sesuatu dengan melihat orang lain dalam berperilaku dan memperhatikan konsekuensinya yang diterima. Bandura yakin bahwa dalam kehidupan individu terpapar model agresi dalam keluarga, kelompok masyarakat, dan media massa.

Patterson, dkk. (dalam Myers, 2012) menyatakan bahwa anak yang agresif secara fisik cenderung memiliki orangtua yang sering melakukan tindak kekerasan pada anak mereka seperti memberikan hukuman fisik dengan tujuan mendisiplinkan anak dengan memberikan contoh agresi, misalnya memukul, menampar, dan lain sebagainya. Para orangtua ini biasanya memiliki orangtua yang sering memberi hukuman fisik juga (Bandura & Walters, 1959; Straus & Gelles, 1980, dalam Myers, 2012). Perilaku menghukum dengan cara agresi yang dilakukan para orangtua dapat meningkat menjadi suatu penganiayaan meskipun sebagian besar anak yang mengalami kekerasan yang telah dilakukan orangtuanya tidak menjadi orangtua yang kasar juga nantinya, namun, 30% dari mereka juga menyiksa anaknya (Kaufman & Zigler, 1987; Widom, 1989, dalam Myers, 2012).

Triandis (dalam Myers, 2012), menyatakan bahwa pengaruh keluarga juga muncul dalam tingkat kekerasan yang tinggi dalam budaya dan keluarga tanpa adanya seorang ayah. Hal ini dibenarkan oleh Lykken (dalam Myers, 2012) yang memperkirakan bahwa anak yang dibesarkan tanpa sosok ayah tujuh kali lipat lebih rentan menjadi korban kekerasan, keluar dari sekolah, menjadi pelarian, menjadi sosok orangtua remaja tanpa pernikahan, serta melakukan kejahatan dengan kekerasan. Dalam hal ini, yang menjadi penekanannya ialah

(14)

pada korelasi, jika ayah tidak hadir, maka resiko munculnya perilaku agresi menjadi meningkat.

Selain keluarga, lingkungan sosial juga dapat menjadi model untuk ditiru. Kelompok masyarakat yang sering melakukan tindakan kejahatan cenderung memberikan model pembelajaran bagi orang lain untuk melakukan tindakan agresif yang serupa. Suatu penelitian remaja yang dilakukan oleh Bingenheiner dkk pada tahun 2005 di Chicago menyatakan bahwa remaja yang sama-sama memiliki resiko menghadapi kekerasan dan pernah melihat kekerasan senjata memiliki resiko ganda untuk melakukan kekerasan juga (dalam Myers, 2012).

Individu mempelajari respon agresi dengan mengalami dan mengamati model yang mencontohkan untuk berbuat agresi (Myers, 2012). Tindakan agresi tersebut dimotivasi oleh berbagai pengalaman yang tidak menyenangkan

(afersive) seperti frustasi, sedih, dan penghinaan yang diterimanya. Pengalaman

tertentu membangkitkan emosional. Namun keputusan untuk bertindak agresi atau tidak bergantung pada konsekuensi yang diperkirakan (Bandura, 1979, dalam Myers, 2012).

2.2.3 Macam-macam Agresi

Strube dkk (dalam Baron & Byrne, 2005), menyatakan bahwa jenis agresi terbagi dua, diantaranya ialah:

1. Hostile Aggression

Hostile aggression atau agresi rasa benci ini bertujuan untuk melakukan

kekerasan pada korbannya. Cenderung bersifat reaktif yang terjadi sebagai jawaban atas tantangan, rasa nyeri, ancaman, atau kekecewaan (Bailey, dalam Mangunwibawa, 2004). Selain itu, situasi yang tidak menyenangkan dapat memicu agresi dengan memancing pikiran benci, rasa benci, dan keterbangkitan fisik. Sehingga individu cenderung

(15)

mengartikan segala sesuatu menjadi berbahaya dan bereaksi agresif (Anderson, Deuser, & DeNeve, 1995, dalam Myers, 2012). Sedangkan Myers (2012) menyatakan bahwa hostile aggression merupakan ungkapan kemarahan yang bertujuan untuk melukai, merusak, bahkan dapat merugikan orang lain. Perilaku jenis ini disebut juga dengan agresi jenis panas. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat.

2. Agresi instrumental

Agresi instrumental bukan bertujuan untuk menyakiti korban tetapi untuk mencapai tujuan lain tertentu, seperti akses pada sumber daya yang berharga. Perilaku agresi ini merupakan alat bagi individu untuk mencapai apa yang diharapkannya (Bailey, dalam Mangunwibawa, 2004). Contohnya pujian, penghargaan, kekuasaan, dan lain sebagainya. Agresi ini hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu (Myers, 2012).

Battencourt, Talley, Valentine, dan Benjamin (2006), juga menyatakan bahwa agresi terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Agresi reaktif

Individu cenderung lebih bersikap memusuhi tanggapan terhadap ancaman atau provokasi. Persepsi ancaman maupun pengalaman kemarahan mendorong individu untuk membalas dengan sikap reaktif agresif. Tujuan dari agresi reaktif ialah untuk balas dendam atau ganti rugi terhadap perlakuan tidak menyenangkan yang pernah diterima sebelumnya.

(16)

2. Agresi proaktif

Tujuan dari agresi proaktif ialah untuk mendapatkan sumber daya atau kontrol atas orang lain sehingga dapat mengintimidasi orang lain dan tidak perlu menanggapi provokasi.

Sedangkan Buss & Perry (1992) menyimpulkan bahwa ada empat faktor yang merupakan subtrait dari agresi yaitu physical aggression, verbal

aggression, anger, dan hostility yang membentuk trait kepribadian agresi. Berikut

ini adalah penjelasan mengenai 4 domain atau dimensi agresi menurut Buss dan Perry (1992):

1. Physical aggression

Tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik sebagai bentuk kemarahan atau agresi seperti mencubit, memukul, dan lain sebagainya. Perilaku tersebut dapat diobservasi (overt).

2. Verbal aggression

Tindakan yang dapat diamati dan memiliki kecenderungan untuk menyerang orang lain dengan tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang secara verbal seperti cacian, mengumpat, membentak dan lain sebagainya.

3. Anger

Reaksi afektif berupa dorongan fisiologis sebagai tahap persiapan agresi. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah

irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat

(17)

4. Hostility

Tergolong kedalam agresi covert (tidak kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari resentment seperti cemburu dan iri terhadap orang lain, dan suspicion seperti adanya ketidakpercayaan dan kekhawatiran.

2.2.4 Sumber-sumber Pengaruh Perilaku Agresi

Menurut Kartono (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresi pada remaja meliputi:

1) Kondisi pribadi remaja, yaitu kelainan yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun psikis, lemahnya kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan, kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kurangnya dasar keagamaan.

2) Lingkungan rumah dan keluarga yang kurang memberikan kasih sayang dan perhatian orang tua sehingga remaja mencarinya dalam kelompok sebayanya, kurangnya komunikasi sesama anggota keluarga, status ekonomi keluarga yang rendah, ada penolakan dari ayah maupun ibu, serta keluarga yang kurang harmonis.

3) Lingkungan masyarakat yang kurang sehat, keterbelakangan pendidikan pada masyarakat, kurangnya pengawasan terhadap remaja serta pengaruh norma-norma baru yang ada diluar.

4) Lingkungan sekolah, seperti kurangnya fasilitas pendidikan sebagai tempat penyaluran bakat dan minat remaja, kurangnya perhatian guru, tata cara disiplin yang terlalu kaku atau norma-norma pendidikan yang kurang diterapkan.

(18)

Menurut Baron & Byrne (2005) hal-hal yang dapat memengaruhi perilaku agresi diantaranya ialah:

1 Faktor Sosial 1) Frustasi

Frustasi selalu mengarah ke salah satu bentuk agresi, dan agresi selalu berasal dari frustasi (Dollard at all, 1939, dalam Baron & Byrne, 2005). Menurut Barkowitz (dalam Gerungan, 2009) Frustasi yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya harapan atau goal atas hubungan sosial, tidak secara langsung menyebabkan agresi, namun frustasi dapat merangsang terjadinya perilaku agresi. Orang-orang mengalami frustasi apabila maksud dan keinginan yang diperjuangkan dengan intensif mengalami hambatan atau kegagalan. Sehingga, akibat dari frustasi itu mungkin akan timbul perasaan agresif.

Selain itu, Berkowitz (dalam Myers, 2012) menyatakan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan merupakan pemicu dasar dari agresi permusuhan. Frustasi merupakan salah satu bentuk yang tidak menyenangkan. Namun, segala peristiwa tidak mengenakan, baik penghinaan, cacian, rasa sakit, dan lain sebagainya dapat menimbulkan luapan emosi. Bahkan kondisi depresi dapat meningkatkan suatu permusuhan dan perilaku agresif.

2) Provokasi

Kritik yang kasar serta tidak sopan yang dapat menyerang diri sendiri dan bukan merupakan kritik terhadap perilaku diri yang salah, merupakan provokasi yang kuat sehingga dapat memunculkan perilaku agresi.Kita cenderung untuk membalas, memberikan agresi

(19)

sebanyak yang kita terima, terutama jika orang tersebut menyakiti diri kita (Chermack, Berman, & Taylor, 1997; Ohbuchi & Kambara, 1985, dalam Baron & Byrne, 2005).

3) Agresi yang Dipindahkan

Agresi ini merupakan hasil provokasi yang ia tahan, kemudian sewaktu-waktu ia luapkan pada seseorang yang bukan sumber dari provokasi awal yang kuat (Dollard dkk, 1939, dalam Baron & Byrne, 2005).

4) Kekerasan pada Media

Beberapa film menggambarkan adegan-adegan kekerasan, bahkan terkadang lebih banyak daripada kenyataan sebenarnya (Reiss & Roth, waters, et all, dalam Baron & Byrne, 2005). Makin banyak film atau program televisi dengan kandungan kekerasan, maka makin tinggi tingkat agresi. Selain film, dapat terjadi pula “copycat crimes”, dimana suatu kejahatan yang dilaporkan di media kemudian ditiru oleh orang-orang. Dampak lain dari kekerasan pada media ialah timbulnya efek disensitisasi. Setelah individu menonton banyak adegan kekerasan, individu tersebut menjadi acuh pada kesakitan dan penderitaan orang lain.

Meinarno (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), menyatakan bahwa khusus untuk media massa televisi yang merupakan media tontonan dan secara alami memiliki kesempatan yang lebih tinggi bagi pemirsanya untuk mengamati apa yang disampaikan secara jelas dibandingkan media massa lainnya. Sehingga kekerasan pada tayangan televisi menjadi modelling bagi masyarakat. Semakin banyak adegan kekerasan yang ditonton di televisi, maka individu

(20)

tersebut semakin agresif (Eron, 1987; Turner dkk., 1986, dalam Murray, 2008).

Media lain yang menyebabkan seseorang berperilaku agresi ialah

video games. Saat ini banyak sekali remaja yang sering memainkan

permainan komputer dengan adegan-adegan kekerasan atau penyerangan, sehingga mereka belajar dari model pada permainan tersebut (Myers, 2012). Pada penelitian Anderson (dalam Myers, 2012) menghasilkan lima dampak konsisten dari suatu permainan yang berisi kekerasan. Diantaranya ialah meningkatkan keterangsangan fisik, meningkakan pikiran agresif, meningkatkan perasaan agresif, meningkatkan perilaku agresif, dan mengurangi perilaku prososial.

Selain televisi dan video games, tayangan pornografi merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan tindakan agresi. Pornografi yang menggambarkan agresi seksual sebagai sesuatu yang menyenangkan bagi korban, meningkatkan penerimaan terhadap penggunaan paksaan dalam relasi seksual (Myers, 2012). 5) Keterangsangan yang Meningkat

Keterangsangan dapat berasal dari sumber-sumber yang bervariasi seperti partisipan dalam permainan kompetitif (Christy, Gelfand, & Hartmann, dalam Baron & Byrne, 2005), jenis olahraga yang keras (Zilmann, 1979, dalam Baron & Byrne, 2005), serta musik tertentu (Rogers & Ketcher, 1979, dalam Baron & Byrne, 2005). Frustasi, suhu yang panas, serta penghinaan dapat memperkuat terjadinya keterangsangan fisik. Ketika hal demikian terjadi, maka

(21)

keterangsangan fisik, pikiran serta perasaan bermusuhan, sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Myers, 2012).

6) Keterangsangan Seksual

Hubungan antara keterangsangan seksual dengan agresi bersifat

curvilinear. Keterangsangan seksual ringan mengurangi agresi hingga

tingkat yang lebih rendah daripada yang ditunjukkan oleh tidak adanya keterangsangan, sedangkan keterangsangan yang lebih tinggi malah meningkatkan agresi di atas tingkat ketiadaan keterangsangan. Hal ini disebabkan karena materi erotis yang ringan akan memunculkan perasaan-perasaan positif yang menghambat agresi, sedangkan stimulus seksual yang lebih eksplisit akan memunculkan perasaan negatif sehingga meningkatkan agresi (Zillmann, 1984, dalam Baron & Byrne, 2005).

2 Faktor Kultural

Beberapa norma di suatu Negara mengizinkan adanya tindakan agresi untuk mempertahankan harga dirinya yang telah dinodai oleh orang lain. Yosep (2007) menyatakan bahwa adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresi mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekpresikan marah dengan cara yang asertif. Ekspresi kemarahan sangat dipengaruhi oleh apa yang diterima dalam suatu budaya.

(22)

3 Faktor Personal

1) Pola Perilaku Tipe A

Pola perilaku tipe A (Type A behavior pattern) merupakan tipe kepribadian yang kompetitif, selalu dalam keadaan terburu-buru, mudah tersinggung dan agresi (Glass, 1977; Stube, 1989, dalam Baron & Byrne, 2005). Individu tipe A cenderung melakukan agresi

hostile, dimana tujuan utamanya ialah untuk melakukan kekerasan

pada korban (Strube, dkk., 1984, dalam Baron & Byrne, 2005). Sedangkan individu yang tidak sangat kompetitif, yang tidak selalu bertanding dengan waktu, dan yang tidak mudah kehilangan kendali dikategorikan pola perilaku tipe B (type B behavior pattern) (Baron & Byrne, 2005).

2) Narsisme

Individu yang memiliki tingkat narsisme yang tinggi, dapat menunjukkan perilaku agresi yang tinggi juga dibandingkan orang lain. Hal ini disebabkan karena ia memiliki keraguan yang mengganggu mengenai kebenaran ego mereka yang besar sehingga bereaksi pada tindakan kekerasan atau hinaan kepada individu lain sebagai bentuk rasa marah.

3) Hostile Attributional Bias

Atribusi berperan pada reaksi kita terhadap perilaku orang lain, terutama pada provokasi nyata yang memengaruhi perilaku agresi. Hal ini mengacu pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif hostile dalam tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu. Ketika individu memiliki bias atribusional hostile yang tinggi, ia jarang mempersepsikan tindakan hostile yang dilakukan orang lain

(23)

sebagai ketidaksengajaan, namun mengasumsikan bahwa tindakan provokasi tersebut memang sengaja dilakukan, dan individu tersebut segera melawan membalasnya.

4) Perbedaan Gender

Umumnya pria cenderung melakukan tindakan agresi secara langsung ditujukan kepada targetnya, seperti memaki, mendorong, berteriak, dan lain sebagainya. Sedangkan wanita cenderung melakukan agresi secara tidak langsung, seperti bergunjing masalah orang lain. Tindakan ini memungkinkan individu menutupi identitasnya dari target yang dituju. Sehingga, target tidak dapat mengetahui siapa pelakunya. Pada tahun-tahun awal sekolah, perbedaan gender dalam hal agresi menjadi tampak jelas. Menurut Condry dan Ross (dalam Hogg & Vaughan, 2002) sejak awal masa anak-anak, laki-laki cenderung lebih agresif daripada wanita.

Begitupula Maccobay & Jacklin (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa kebanyakan laki-laki lebih agresif daripada kebanyakan wanita. Anak laki-laki pada umumnya memperlihatkan tingkat agresi fisik yang lebih tinggi daripada perempuan. Hocker (dalam sarwono, 2000) menyebutkan bahwa perbedaan proses sosialisasi antara pria dan wanita menghasilkan perbedaan agresivitas antara keduanya. Perbedaan ini mudah terlihat dalam tingkah laku bermain. Anak laki-laki melakukan permainan yang menuntut kekuatan motorik, bersifat ekspansif dan agresif (bermain bola, perang-perangan) sedangkan anak perempuan melakukan permainan yang menuntut kehalusan motorik dan non agresif (masak-masakan, bermain boneka). Darvill dan Cheyne (dalam Hetherington, 1999) menyatakan bahwa pola agresi pada laki-laki dan perempuan

(24)

berbeda dalam cara tertentu. Laki-laki cenderung membalas setelah diserang daripada perempuan. Selain itu, remaja pria cenderung terlibat dalam agresi pada pria lainnya dibandingkan dengan wanita, sedangkan bagi wanita perbedaan ini tidak terjadi.

4 Faktor Situasional 1) Temperatur

Suhu dapat berkorelasi positif dengan perilaku agresi. Iklim yang berlangsung temporer memiliki pengaruh terhadap perilaku. Saat cuaca panas, tindakan kekerasan lebih sering terjadi (Anderson & Anderson, 1984; Cohn, 1993; Cotton, 1981, 1986; Harries & Stadler, 1988; Rotton & Frey, 1985, dalam Myers, 2012). Suatu penelitian yang dilakukan oleh Griffitt (dalam Myers, 2012) menyatakan bahwa individu yang berada pada ruangan dengan temperatur tinggi (melebihi 90 ‘F) merasa lebih lelah, agresif, dan menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang asing. Penelitian berikutnya mengungkapkan bahwa panas juga dapat memicu tindakan balas dendam (Bell, 1980; Rule dkk, 1987, dalam Myers, 2012).

2) Alkohol

Gantner dan Taylor (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa alkohol mungkin merupakan salah satu faktor situasional yang berkontribusi pada munculnya agresi, dan bahwa dampak seperti ini dapat menjadi kuat khususnya untuk orang-orang yang tidak biasa terlibat dalam tindakan agresi.

(25)

2.2.5 Perkembangan Agresi

Loeber dan Hay (dalam Krahe, 2005) menyatakan bahwa sampai batas tertentu agresi bersifat normatif umur (age-normatif) terutama dikalangan anak-anak dan remaja. Ini berarti bahwa perilaku yang dilakukan dengan niat menyakiti orang lain diperlihatkan, paling tidak sekali-sekali, oleh banyak atau kebanyakan anggota kelompok umur ini. Tetapi, ada sejumlah anak dan remaja yang menyimpang dari proses perkembangan normal ini.

Perilaku agresi akan berubah tingkat dan polanya pada masa remaja dan pada masa dewasa-muda. Perubahan penting pada perilaku agresif tersebut karena lebih terorganisasi secara sosial. Selanjutnya Loeber dan Stouthamer (dalam Krahe, 2005) mengatakan bahwa perilaku agresi terus menurun sebagaimana fungsi umur. Sikap agesif ini dapat terjadi pada semua kalangan masyarakat, tetapi akan beragam tingkat agresifnya. Biasanya mereka melakukan tindakan agresi dalam tingkatan yang berbeda, dalam cara yang berbeda, dan untuk alasan yang berbeda (Krahe, 2005).

2.3 Remaja

2.3.1 Definisi Remaja

Remaja dalam bahasa Inggris ialah adolescent yang berasal dari kata latin, yakni adolescence yang artinya tumbuh kearah kematangan fisik dan sosial psikologis (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Steinberg (2002), menyatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak dan dewasa, yang berarti tumbuh menuju kematangan. Santrock (2003) dan Papalia, Olds, dan Feldman (2007), menambahkan pernyataan Steinberg dengan menyebutkan terjadinya perubahan kognitif, biologis dan sosio-emosional pada masa remaja.

Untuk menentukkan rentang usia remaja, Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan usia remaja ialah individu yang berusia antara 11-21 tahun.

(26)

Sedangkan WHO (dalam Sarwono, 2006) membatasi usia remaja dengan dimulai pada usia 10 hingga 20 tahun. Hurlock (2011) menyebutkan masa remaja dimulai dari usia 13 hingga 21 tahun. Hurlock membagi usia remaja menjadi dua bagian, yaitu:

1) Remaja awal (Early Adolecence)

Awal masa remaja berlangsung kira-kira 13 hingga 16 sampai 17 tahun (Hurlock, 2011). Sedangkan Santrock menyatakan usia remaja awal berkisar 11 hingga 14 tahun atau setara dengan tingkat pendidikan menengah pertama.

2) Remaja akhir (Late Adolescence)

Santrock (2003), menyatakan usia remja akhir berkisar 15 hingga 19 tahun. Pada usia ini, remaja berada pada tingkat pendidikan menengah atau sudah masuk di universitas. Umumnya pada usia ini, remaja sudah muncul minat terhadap karir, pasangan, dan sudah mulai memikirkan masa depannya. Hurlock (2011) lebih memberikan batas usia yang lebih panjang, yaitu dimulai dengan usia 17 sampai dengan 21 tahun.

Di Indonesia, sulit untuk menentukan batas usia remaja, hal ini disebabkan beragamnya budaya, suku, ekonomi dan pendidikan yang berbeda. Sebagai acuan, maka dapat digunakan batasan usia 11 hingga 24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia (Sarwono, 2006).

Kartono (2008), membagi batas usia remaja menjadi tiga bagian, diantaranya ialah:

1. Remaja Awal (12-15 Tahun)

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif sehingga minat anak

(27)

pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun sebelum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.

2. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal maka pada rentan usia ini mulai timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.

3. Remaja Akhir (18-21 Tahun)

Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

(28)

2.3.2 Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja dapat dibedakan dengan masa sebelumnya (kanak-kanak) dengan masa selanjutnya (dewasa). Menurut Hurlock (2011) Ciri-ciri tersebut ialah:

1. Masa Remaja Sebagai Periode yang Penting

Semua masa memiliki kadar kepentingan yang berbeda. Pada masa remaja perkembangan fisik cepat terjadi disertai cepatnya perkembangan mental. Hal ini terjadi pada remaja usia 12 sampai 16 tahun (Tanner, dalam Hurlock 2011). Semua perkembangan tersebut menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

2. Masa Remaja sebagai Periode Peralihan

Peralihan merupakan perkembangan ke tahap selanjutnya. Remaja berasal dari masa kanak-kanak, dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukanlah kanak-kanak sehingga ia akan dituntut untuk bersikap lebih dewasa. Namun, jika ia bersikap terlalu dewasa, maka ia akan dianggap terlalu berlebihan dalam berpikir.

3. Masa Remaja sebagai Periode Perubahan

Beberapa perubahan pada masa remaja, diantaranya ialah meningginya emosi, perubahan tubuh, minat serta perannya di lingkungan, nilai-nilai, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

4. Masa Remaja sebagai Usia Bermasalah

Masa remaja merupakan masa yang sering bermasalah dan sulit diatasi. Hal ini disebabkan ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri

(29)

masalahnya menurut cara yang mereka yakini. Mereka menolak untuk dibantu oleh orangtuanya dan merasa mampu menyelesaikan sendiri. Sehingga ketika ia tidak sanggup untuk mengatasi masalahnya, maka timbul permasalahan baru.

5. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas

Erikson (dalam Hurlock, 2011) menyatakan identitas diri yang dicari remaja merupakan usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, dan bagaimana masa depannya.

6. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan

Timbulnya stereotip yang menganggap bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan remaja ke masa dewasa menjadi sulit. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orangtua sehingga timbulnya jarak diantara mereka yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orangtua dalam mengatasi berbagai masalahnya.

7. Masa Remaja sebagai Masa Tidak Realistik

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kacamata dirinya, bukan memandang dengan apa adanya. Sehingga selalu timbul keinginan yang tidak realistik. Meningginya emosi merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya, maka ia akan semakin marah ketika apa yang diharapkannya tidak terwujud.

8. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa

Semakin remaja menuju masa dewasa, mereka akan merasa gelisah dengan stereotip yang menggambarkan masa dewasa merupakan masa yang sulit. Sehingga mereka mencoba untuk berperilaku dan berpakaian seperti orang dewasa.

(30)

2.3.3 Perkembangan Masa Remaja

Tahap perkembangan pada masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, diantaranya ialah:

1. Perkembangan Biologis

Menurut Santrock (2003) perubahan fisik yang terjadi pada remaja tampak terlihat pada saat masa pubertas, yaitu meningkatnya tinggi dan berat badan serta kematangan sosial. Diantara perubahan fisik itu, yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin lebar dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2006). Selain itu, Santrock (2003) menambahkan bahwa perubahan biologis pada remaja terjadi pada perkembangan otak, perubahan hormon, dan semua refleks perubahan biologis.

2. Kognitif

Piaget (dalam Santrock, 2003) mengidentifikasikan remaja ke dalam masa perkembangan operasi formal. Pada masa remaja terjadi perubahan dalam proses berpikir dan kecerdasan (Santrock, 2003). Pada tahap ini, remaja dapat mengembangkan kemampuannya dalam melakukan abstraksi terhadap penalaran, membuat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi berdasarkan informasi yang diperoleh serta menyusun rencana-rencana berdasarkan pengalaman masa lalu (Papalia, Olds, Feldman, 2007).

3. Psikososial

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit ialah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari

(31)

pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit ialah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam berperilaku sosial, pengelompokkan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Hurlock, 2011). Sedangkan Santrock (2003) mengungkapkan bahwa pada transisi sosial remaja mengalami perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain yaitu dalam emosi, kepribadian, dan peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Papalia, Olds, & Feldman (2007), menyatakan perubahan psikososial meliputi pencarian identitas diri, seksualitas, dan interaksi remaja dengan keluarga, teman, serta masyarakat.

WHO (dalam Sarwono, 2006) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual. Tiga kriteria perkembangan remaja, yaitu:

1. Biologis

Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Psikologis

Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Sosial ekonomi

Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) bahwa secara umum ada 2 faktor yang mempengaruhi perkembangan individu (bersifat dichotomy), yakni:

(32)

Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan orang tuanya, misalnya tinggi badan, bakat minat, kecerdasan, dan lain sebagainya.

b. Faktor exogen (nurture)

Pandangan faktor exogen menyatakan bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik, contohnya letak geografis, cuaca, iklim, dan lain sebagainya. Maupun lingkungan sosial seperti tetangga, teman, lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan sebagainya.

2.4 Kerangka Berpikir

Dewasa ini, perilaku agresi remaja seperti berbuat anarkis, berlaku kasar, tidak sopan, dan dapat merugikan orang lain sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia. Setiap tahun kejahatan yang dilakukan oleh remaja semakin meningkat (Tambunan, 2001). Agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk melukai orang lain baik secara fisik maupun mental (Berkowitz, 1993, dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku agresi, salah satunya ialah kecerdasan emosional. Goleman (2007) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri, mengenal perasaan orang lain dan dapat menjaga hubungan dengan orang lain. Dari definisi tersebut, Goleman (2007) membagi kecerdasan emosional dalam lima dimensi, yaitu, dimensi kesadaran diri, kontrol diri, motivasi diri, empati, serta keterampilan sosial.

(33)

Goleman (dalam Feldman, Olds, & Papalia, 2007), menyatakan bahwa kecerdasan emosional sebagian besar terbentuk pada masa remaja, karena pada masa ini otak mulai bekerja untuk mengontrol bagaimana seseorang akan bersikap berdasarkan kematangan emosinya. Remaja yang terlalu mengikuti emosinya yang tidak stabil memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan perilaku-perilaku negatif seperti narkotika, melakukan seks diluar nikah, pelanggaran aturan di sekolah, dan sebagainya (Sarwono, 2006). Begitu pula dengan Lazzari (2000) yang menyatakan bahwa perilaku negatif berupa kekerasan, penyalahgunaan obat-obatan, serta kenakalan remaja yang lain berhubungan dengan kecerdasan emosional.

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Keterangan Gambar:

: Meningkat : Dimensinya

: Menurun : Menyebabkan

: Disebabkan

: Berhubungan Kasus-Kasus Kekerasan Pada Remaja

Kecerdasan Emosional Kemampuan Mengenali Emosi Diri Kemampuan Mengelola Emosi Kemampuan Memotivasi Diri Kemampuan Memahami Orang Lain Kemampuan Membina Hubungan Agresi

Agresi Fisik (Phisical Aggression)

Agresi Verbal (Verbal Aggression)

Agresi Marah (Anger) Agresi Benci

Gambar

Gambar 2.2 General Affective Aggression Model (GAAM).
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir  Keterangan Gambar:

Referensi

Dokumen terkait

Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal edisi kali ini sebanyak 5 (lima) artikel yang meliputi: Integrasi Sistem Elektronik Log Book Penangkapan Ikan (ELPI) dengan

Sejak aksi teror bom yang terjadi di bali pemerintah negara Indonesia mulai melakukan reaksi untuk bagaimana menangkal aksi terorisme yang pada saat itu belum ada aturan

Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya

Tanaman triploid untuk produksi buah tanpa biji dapat dihasilkan dari jaringan endosperma yang diregenerasi secara embriogenesis somatik. Penelitian bertujuan untuk memperoleh

33 Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

Tes penala merupakan pemeriksaan pendengaran kualitatif dan terdiri atas berbagai macam tes.[1] Tes penala lebih akurat dalam mendeteksi adanya penurunan pendengaran daripada

Pada parameter berat basah brangkasan, berat kering brangkasan, berat basah akar, dan berat kering akar menunjukkan bahwa setiap perlakuan pemberian komposisi formula inokulan

Berdasarkan hasil penelitian yang kita dapat melalui foto atau narasumber dari lingkungan sekolah tersebut maka penulis akan menjabarkan berbagai permasalahan yang ada